Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PERKEMBANGAN KOGNITIF PESERTA DIDIK

PERKEMBANGAN KOGNITIF,AFEKTIF DAN


PSIKOMOTORIK  

DI SUSUN OLEH

NAMA : LALU SUPARMAN


NIM : 1801414340
KELAS: PGSD 1I

UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO


2018/2019

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peserta didik tidak pernah lepas dari belajar, baik di sekolah lingkungan keluarga,
maupun lingkungan masyarakat. Kemampuan kognitif sangat diperlukan peserta didik
dalam pendidikan. Perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dalam perkembangan peserta didik. Kita ketahui bahwa peserta didik
merupakan objek yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, sehingga
perkembangan kognitif sangat menentukan keberhasilan peserta didik dalam sekolah.
Dalam perkembangan kognitif di sekolah, guru sebagai tenaga kependidikan yang
bertanggung jawab dalam melaksanakan interaksi edukatif dan pengembangan kognitif
peserta didik, perlu memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang
perkembangan kognitif pada anak didiknya.
Orang tua juga tidak kalah penting dalam kognitif anak karena perkembangan dan
pertumbuhan anak dimulai di lingkungan keluarga. Namun, sebagian pendidik dan
orang tua belum terlalu memahami tentang perkembangan kognitif anak, karakteristik
perkembangan kognitif, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
perkembangan kognitif anak.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya perkembangan kognitif bagi peserta didik,
diperlukan penjelasan perkembangan kognitif lebih detail baik pengertian maupun
tahap-tahap karakteristik perkembangan kognitif peserta didik.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang perkembangan kognitif peserta didik, dapat kita ambil masalah-
masalah yang mendasar terhadap perkembangan kognitif, antara lain:
1.      Apa pengertian perkembangan kognitif afektif, dan psikomotorikanak sd
2.      Bagaimana proses perkembangan kognitif,afektif, dan psikomotorik anak sd?
3.      Apa saja karakteristik perkembangan kognitif ,afektif, dan psikomotorik anak sd dan
tahap-tahapnya?
4.      Masalah apa yang berkaitan dengan perkembangan kognitif ,afektif, dan psikomotorik
anak sd
dan bagaimana solusinya ?
1.3. Tujuan
Dari rumusan masalah perkembangan kognitif peserta didik, tujuan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian perkembangan kognitif,afektif, dan psikomotorikanak sd.
2.      Mengetahui proses perkembangan kognitif,afektif, dan psikomotorik anak sd
3.      Mengetahui karakteristik perkembangan kognitif,afektif,dan psikomotorik anak sd
4.      Mengetahui masalah seputar karakteristik perkembangan kognitif,afektif,dan
psikomotorik anak sd dan solusinya.
1.4. Manfaat
1.      Bagi penulis makalah ini memberikan manfaat yang sangat besar, karena dengan
adanya penyusunan makalah mengenai perkembangan kognitif peserta didik, dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perkembangan kognitif.
2.      Bagi pembaca khususnya para peserta didik, makalah ini dapat memberikan wawasan
mengenai perkembangan kognitif dan tahaprt. Dengan adanya makalah ini peserta
didik dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan kognitif yang dimilikinya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian Perkembangan Kognitif
Serupa dengan aspek-aspek perkembangan yang lainnya, kemampuan kognitif
anak juga mengalami perkembangan tahap demi tahap. Secara sederhana, pada buku
karangan (Desmita, 2009) dijelaskan kemampuan kognitif dapat dipahami sebagai
kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan
penalaran dan pemecahan masalah. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini
akan memudahkan peserta didik menguasai pengetahuan umum yang lebih luas,
sehingga anak mampu melanjutkan fungsinya dengan wajar dalam interaksinya dengan
masyarakat dan lingkungan.
Sehingga dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan, yaitu semua proses
psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya, sesuai buku karangan (Desmita, 2009).
Teori perkembangan kognitif, menurut Pieget Perkembangan kognitif seorang
anak terjadi secara bertahap, lingkungan tidak tidak dapat mempengaruhi
perkembangan pengetahuan anak. Seorang anak tidak dapat menerima pengetahuan
secara langsung dan tidak bisa langsung menggunakan pengetahuan tersebut, tetapi
pengetahuan akan didapat secara bertahap dengan cara belajar secara aktif
dilingkungan sekolah.
Kemudian, pandangan perkembangan kognitif menurut Vygotsky berbeda dengan
piaget. Vygotsky lebih menekankan pada konsep sosiokultural, yaitu konteks sosial dan
interaksi dengan orang lain dalam proses belajar anak. Vygotsky juga yakin suatu
pembelajaran tidak hanya terjadi saat disekolah atau dari guru saja, tetapi suatu
pembelajaran dapat terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
pernah dipelajari disekolah namun tugas-tugas itu bisa dikerjakannya dengan baik,
misalnya di masyarakat.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan dan dapat dipahami bahwa
kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk
menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran,
ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh
pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua
proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan,
mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya.
(Desmita, 2009).

2.2.  Proses Perkembangan Kognitif


Dalam pembahasan proses perkembangan kognitif, ada dua alternative proses
perkembangan kognitif yaitu pada teori dan tahap-tahap perkembangan yang
dikemukakan oleh Piaget dan proses perkembangan kognitif oleh para pakar psikologi
pemprosesan informasi.
1.      Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget meyakini bahwa pemikiran seorang anak berkembang dari bayi sampai dia
dewasa. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang
baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan
kognitif, yaitu tahap sensori-motorik (dari lahir sampai 2 tahun), tahap pra-operasional
(usia 2 sampai 7 tahun), tahap konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun), dan tahap
operasional formal (usia 11 tahun ke atas), dalam buku karangan Desmita(2009:101)
dan (Anwar Holil,2008).
a.       Tahap Sensori-Motorik (usia 0-2 tahun)
Desmita (2009:101) Dikatakan bahwa bayi bergerak dari tindakan reflex instinktif
pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman sensor
dengan tindakan fisik.
b.      Tahap Pra-Operasional (usia 2-7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dari berbagai
gambar. Kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran
simbolis dan melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik (Desmita, 2009).
c.       Tahap Konkret-Operasional (usia 7-11 tahun)
Ditahap ini anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang
konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda
(Desmita, 2009). Tetapi dalam tahapan konkret-operasional masih mempunyai
kekurangan yaitu, anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya
dalam situasi yang konkrit. Dengan kata lain, bila anak dihadapkan dengan suatu
masalah secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkrit, maka ia belum mampu
untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
d.      Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun-dewasa)
Ditahap ini remaja berfikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealistik.

2.3. Karakteristik Perkembangan Kognitif Peserta Didik

a)      Kemampuan yang mampu dikuasai anak


Pada tahap ini kemampuan anak berada pada tahap praoperasional. Dikatakan
praoperasional karena pada tahap ini anak belum memahami. Fase praoperasional
dapat dibagi ke dalam tiga subfase, yaitu subfase fungsi simbolis, subfase berpikir
secara egosentris dan subfase berpikir secara intuitif. Fase ini rnemberikan andil yang
besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada fase praoperasional, anak tidak berpikir
secara operasional yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan jalan
menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengaitkannya dengan
kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya. Fase ini merupakan fase permulaan
bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab
itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara baik.
Fase praoperasional mencakup tiga aspek, yang memiliki kemampuan yaitu:
1.         Berpikir Simbolik
Berpikir simbolik yaitu kemampuan untuk berpikir tentang objek dan peristiwa
walaupun objek dan peristiwa tersebut tidak hadir secara fisik (nyata) di hadapan anak.
Subfase fungsi simbolis terjadi pada usia 2 - 4 tahun. Pada masa ini, anak telah
memiliki kemampuan untuk menggarnbarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir.
Contoh kemampuan ini membuat anak dapat rnenggunakan balok-balok kecil untuk
membangun rumah-rumahan, menyusun puzzle, dan kegiatan lainnya. Pada masa ini,
anak sudah dapat menggambar manusia secara sederhana. Pada fase praoperasional,
anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya tidak
hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, akan tetapi juga dapat dilakukan
melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Anak tidak harus berada dalam kondisi kontak
sensorimotorik dengan objek, orang, atau peristiwa untuk memikirkan hal tersebut.
Anak dapat membanyangkan objek atau orang tersebut memiliki sifat yang berbeda
dengan yang sebenarnya.
Contoh: Citra bertanya kepada ibunya tentang gajah yang mereka lihat dalam
perjalanan mereka ke sirkus beberapa bulan yang lalu.

2.         Berpikir Egosentris


Aspek berpikir secara egosentris, yaitu cara berpikir tentang benar atau tidak benar,
setuju atau tidak setuju, berdasarkan sudut pandang sendiri. Oleh sebab itu, anak
belum dapat meletakkan cara pandangnya di sudut pandang orang lain. Menurut
Piaget, pemikiran itu khas bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan
bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain. Subfase berpikir
secara egosentris terjadi pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara egosentris ditandai oleh
ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Anak
berasumsi bahwa orang lain berpikir, menerima dan merasa sebagaimana yang mereka
lakukan.
Contoh: Clara menyadari bahwa dia harus mebalik buku agar ayahnya dapat melihat
gambar yang dia minta untuk diterangkan. Dia malah memegang buku di depan
wajahnya sehingga hanya dia sendiri yang dapat malihat buku tersebut.

3.         Berpikir lntuitif


Fase berpikir secara intuitif, yaitu kemarnpuan untuk menciptakan sesuatu, seperti
menggambar atau menyusun balok, akan tetapi tidak mengetahui dengan pasti alasan
untuk melakukannya. Subfase berpikir secata intuitif tenadi pada usia 4 - 7 tahun. Masa
ini disebut subfase berpikir secara intuitif karena pada saat ini anak kelihatannva
mengerti dan mengetahui sesuatu. Contoh: Ani menyusun balok meniadi rumah-
rumahan, akan tetapi pada hakikatnya Ani tidak mengetahui alasan-alasan yang
menyebabkan balok itu dapat disusun meniadi rumah. Dengan kata lain, anak belum
memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu
kejadian.

Kemampuan lain yang dikuasai anak tahap ini adalah:


a.      Memahami identitas
Anak memahami bahwa perubahan di permukaan tidak mengubah karakter alamiah
sesuatu.
Contoh: Boris mengetahui bahwa gurunya sedang berbusana bajak laut tetapi orang itu
tetap gurunya yang berada di dalam kostum.
b.      Memahami sebab akibat
Anak mengetahui bahwa peristiwa memiliki sebab dan akibat.
Contoh: Anas melihat bola menggelinding dari balik tembok, lalu dia melihat belakang
tembok untuk mencari siapa yang menendang bola tersebut.
c.       Mampu mengklasifikasi
Anak mengorganisir objek, orang, dan peristiwa kedalam kategori yang memiliki makna.
Contoh: Susan memilah mainannya ke kelompok bagus dan jelek.
d.      Memahami angka
Anak dapat berhitung dan bekerja dengan angka.
Contoh: Rosa membagi permen kepada teman-temannya dan menghitung permen
yang dia punya untuk memastikan setiap orang mendapatkan permen yang sama.
e.       Empati
Anak menjadi lebih mampu untuk membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Contoh: Budi mencoba untuk menenangkan temannya yang sedang kecewa dan
menangis.
f.       Teori pikiran
Anak menjadi lebih dasar akan aktivitas mental dan fungsi pikirannya.
Contoh: Putri ingin menyimpan beberapa potong coklat untuk dirinya sendiri, karena itu
ia menyimpan coklat dari adiknya ke dalam kotak pensil. Dia mengetahui bahwa
coklatnya akan aman didalam kotak tersebut karena sang adik tidak akan mencarinya
ke tempat yang biasanya tidak terdapat coklat.

Batasan pemikiran praoperasional (merujuk kepada piaget), yaitu:


·           Sentrasi: ketidakmampuan untuk decenter
Diskripsi: Anak fokus kepada satu aspek dari situasi dan mengabaikan yang lain.
Contoh: Timon menggoda adik perempuannya bahwa ia memiliki juice yang lebih
kerena juice-nya dituangkan ke dalam gelas yang panjang dan ramping sedangkan
milik adiknya dituangkan dalam gelas yang pendek dan melebar.
·           Irreversibility
Diskripsi: Anak gagal memahami bahwa beberapa operasi atau tindakan dapat dibalik,
dikembalikan ke situasi semula.
Contoh: Timon tidak menyadari bahwa juice dalam tiap gelas dapat dikembalikan ke
dalam kotak juice yang merupakan tempat semula juice tersebut, dan berlawanan
dengan klaim miliknya lebih banyak dibandingkan milik sang adik.
·         Fokus kepada situasi, bukan kepada transformasi
Diskripsi: Anak gagal memahami nilai penting transformasi antar pernyataan
Contoh: Dalam tugas percakapan, Timon tidak memahami bahwa tranformasi bentuk
cairan (dituangkan dari satu tempat ke tempat yang lain) tidak mengubah jumlah.
·         Penalaran transduktif
Diskripsi: Anak tidak menggunakan penalaran deduktif atau induktif, mereka malah
melompat dari satu penalaran ke yang lain dan mencari sebab ketika tidak
menemukannya.
Contoh: Sarah memarahi adiknya, kemudian adiknya jatuh sakit, sarah menyimpulkan
bahwa yang menyebabkan adiknya sakit adalah dia.
·         Animisme
Diskripsi: Anak mengatributkan kehidupan kepada objek yang tidak hidup.
Contoh: Amanda mengatakan bahwa musim semi mencoba untuk datang dan musim
gugur berkata, “saya tidak mau pergi! Saya tidak mau pergi!”.
·         Ketidakmampuan membedakan penampakan dengan kenyataan
Diskripsi: Anak merasa bingung dengan apa yang sebenarnya penampilan.
Contoh: Budi merasa bingung dengan spon yang dibuat berbentuk batu. Dia
menyatakan bahwa benda tersebut berbentuk seperti batu dan benar-benar batu.
1.      Masa anak sekolah dasar
Menurut teori Piaget, pemikiran anak – anak  usia sekolah dasar disebut pemikiran
Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang
difokuskan pada objek – objek  peristiwa nyata atau konkrit. Masa ini berlangsung pada
masa kanak-kanak akhir. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi
terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai
mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan
kenyataan sesungguhnya. Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak
berkembang secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir
anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak
sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya
menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan
operasi – operasi, yaitu :
a)      Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan-
hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau keadaan yang lain.
b)      Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-
akibat dalam suatu keadaan.
c)      Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda yang
ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu
perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini
anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk
melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
KEMAJUAN KOGNITIF
·         Pemikiran spasial
Contoh : Dani dapat menggunakan peta atau model untuk membantunya mencari objek
tersembunyi dan dapat memberikan arah untuk menemukan benda tersebut kepada
orang lain. Dia dapat menemukan jalan ke sekolah dan pulang ke rumah, dapat
memperkirakan jarak, dapat menilai berapa waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari
satu tempat ke tempat yang lain.
·         Sebab akibat
Contoh : Doni mengetahui atribut fisik objek mana yang akan memengaruhi hasil
(misalnya, jumlah objek berpengaruh sedangkan jumlah warna tidak). Tetapi dia belum
mengetahui faktor spesial mana seperti posisi dan penempatan objek, yang membuat
perbedaan.
·         Klasifikasi
Kemampuan mengategorisasi membantu anak untuk berpikir secara logis.
Contoh : elena dapat memilah objek ke dalam beberapa kategori, seperti bentuk,
warna, atau keduanya. Dia mengetahui bahwa subkelas (mawar) memiliki anggota
yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelas yang menjadi induknya (bunga).
·         Seriasi dan kesimpulan transitif
Kemampuan untuk mengenali hubungan antara dua objek dengan mengetahui
hubungan antara masing-masing objek tersebut dan objek ketiga.
Contoh : nina dapat mengatur kumpulan tongkat sesuai urutan, dari yang paling pendek
ke yang paling panjang, dan dapat memasukkan tongkat berukuran menengah ke
tempat yang tepat. Dia mengetahui apabila satu tongkat lebih panjang dibandingkan
tongkat kedua, dan tongkat kedua lebih panjang dari tongkat ketiga, maka tongkat
pertama lebih panjang dari tongkat ketiga.
·         Penalaran induktif dan deduktif
Penalaran induktif merupakan tipe penalaran logis yang bergerak dari yang
observasi khusus terhadap anggota kelas hingga mencapai kesimpulan tentang kelas
tersebut. Dan penalaran deduktif merupakan tipe penalaran logis yang bergeneral dari
premis umum tentang sebuah kelas kepada sebuah kesimpulan tentang anggota
tertentu atau beberapa anggota dari kelas tersebut.
Contoh : Dara dapat memecahkan masalah induktif maupun deduktif dan mengetahui
bahwa kesimpulan induktif (yang didasarkan pada beberapa premis tertentu) memiliki
tingkat kepastian yang lebih rendah dibandingkan dengan kesimpulan deduktif
(didasarkan kepada premis umum).
·         Konservasi
Dalam memecahkan berbagai masalah konservasi, anak-anak yang berada dalam
tahap operasi konkret dapat mencari jawabannya dalam kepala mereka: mereka tidak
harus mengukur atau menimbang objek tersebut.
Contoh : Pada usia 7 tahun, Andre mengetahui apabila bola tanah liat digulung menjadi
bentuk sosis, maka ia memiliki jumlah tanah liat yang sama (konservasi substansi).
Pada usia 9 tahun, dia mengetahui bahwa berat bola dan sosis sama. Baru pada usia
awal remaja, dia mengetahui bahwa keduanya meluberkan jumlah cairan yang sama
jika keduanya diletakkan dalam segelas air.
POKOK BAHASAN KOGNITIF
a.      Perkembangan Memori
Cara otak menyimpan informasi dipercaya bersifat universal, walaupun efisiensi
dari sistem tersebut bervariasi dari orang ke orang (Siegler, 1998). Model pemrosesan
informasi menggambarkan otak memiliki tiga “gudang”, yaitu:
1.      Memori sensoris (sensory memory) adalah sistem penyimpanan awal “tangki
penampungan” sementara bagi informasi sensoris yang masuk. Ingatan sensoris
menunjukkan sedikit perubahan berkaitan dengan usia; sebagaimana yang telah kita
saksikan, bayi pun memilii ingatan sensoris.
2.      Memori kerja (working memory) adalah sebuah “gudang” jangka pendek bagi
informasi yang sedang dikerjakan oleh seseorang pada saat ini; dan informasi tersebut
adalah informasi yang berusaha untuk dipahami, diingat, atau dipikirkan.
3.      Memori jangka panjang (long-term memory) adalah sebuah “gudang” dengan
kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas, yang menyimpan informasi dalam jangka
waktu yang lama.
Ø  Metamemori: Memahami memori
Antara anak usia 5 dan 7 tahun, lobus frontal mengalami perkembangan signifikan
dan reorganisasi, memungkinkan peningkatan pemanggilan kembali dan metamemori,
pengetahuan tentang proses memori (Janowsky & Carper, 1996). Anak-anak TK dan
tingkat pertama mengetahui bahwa orang akan mengingat lebih baik jika mereka
belajar lebih lama, orang akan melupakan sesuatu seiring dengan berjalannya waktu,
dan akan lebih mudah untuk mempelajari kembali sesuatu yang telah dipelajari
daripada mempelajarinya untuk pertama kali.
Ø  Mnemonik: Strategi untuk Mengingat
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik.
Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai
adanya keterbatasan – keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak
berusaha menggunakan teknik untuk membantu ingatan (strategi mnemonik) yang
digunakan untuk meningkatkan memori. Terdapat 4 macam strategi mnemonik, yaitu:
a.       Bantuan memori eksternal : Terpancing oleh sesuatu dari luar orang tersebut.
Pada anak usia 5 dan 6 tahun dapat melakukan hal ini, tetapi yang berusia 8 tahun
lebih sering berpikir untuk melakukannya.
Contoh : Roni membuat daftar yang harus dia lakukan hari ini.
b.        Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara
mengulang berkali-kali informasi yang telah disampaikan.
Pada anak usia 6 dan 7 tahun dapat diajari untuk melakukan hal ini, anak usia 7 tahun
melaksanakannya secara spontan.
Contoh : tim berulang-ulang menyebutkan huruf dalam kata ejaannya sampai dia
mengetahuinya.
c.       Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang
digunakan untuk mesningkatkan memori.
Sebagian besar anak tidak dapat melakukan hal ini sampai mereka berusia 10 tahun,
tetapi anak yang lebih muda dapat diajari melakukannya.
Contoh : anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan
dimana mereka duduk dalam satu kelas.
d.      Elaborasi : mengasosiasikan item yang akan diingat dengan sesuatu yang lain seperti
frasa, scene, atau cerita.
Anak yang berusia lebih tua lebih sering melakukan ini secara spontan dan mengingat
lebih baik apabila mereka membuat asosiasi mereka sendiri; anak yang lebih muda
akan mengingat lebih baik apabila ada orang lain yang membuatkannya untuk mereka.
Contoh : Yolanda mengingat garis nada musik (E,G,B,D,F) dengan
mengasosiasikannya dengan frasa “Every good boy does fine”.

b.      Perkembangan Pemikiran Kritis


Perkembangan pemikiran kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap
permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak
mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta
mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.
c.       Perkembangan Kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan
sekolah.
d.      Perkembangan Bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut.
Perkembangan bahasa pada usia sekolah yaitu antara lain:
a)      Aspek pada penggunaan bahasa adalah narasi dan percakapan.
Umumnya pada usia ini, tugas komunikasi menjadi kompleks dan sulit , sehingga
anak-anak usia ini mengalami kesulitan untuk memahami perasann orang lain, lalu
anak usia 5-6 tahun cenderung kurang mampu mengkomunikasikan informasi dari anak
yang lebih tua, jadi informasi yang abstrak belum mampu dikomuikasikan pada anak-
anak.
b)      Meningkatnya jumlah pembendaharaan dan spesifikasi definisi.
Dalam masa pertumbuhan pemahaman kata dan hubungannya berlangsung terus
menerus, sehingga mereka dapat memperkaya perbendaharaan katanya lebih banyak
melalui bacaan-bacaan yang sifatnya konstekstual, peningkatan tersebut mungkin
setelah kelas empat SD. Namun walaupun terjadi peningkatan perbendaharaan kata
tidak selalu anak dapat memahami makna suatu kata atau kalimat. Karena, dapat
terjadi bila anak tidak menguasai perbendaharaan dari semua kata di dalam kalimat,
tapi anak itu dapat memahami makna kata atau kalimat secara tepat. Sebaliknya, anak
yang menguasai arti dari seluruh kata dalam suatu kalimat tertentu tidak dapat
memahami makna kata atau suatu kalimat. Untuk itu dalam memaknai suatu kata
ataupun kalimat diperlukan lebih banyak kemampuan menjustifikasi suatu kata atau
kalimat daripada sekedar mengetahui arti kata.
.

Kemampuan yang dimiliki pada tahap operasional formal ini adalah:


a.      Abstrak

Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang
benar-benar terjadi. Mampu memunculkan kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau
dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak.

b.      Fleksibel dan kompleks

Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu
hal. Mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri, orang lain, dan dunia, serta
membandingkan diri mereka dengan orang lain dan standard-standard ideal ini.
Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya
mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja
berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih
berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami
bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan
datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari
tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Di
negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), masih banyak sekali remaja yang
belum mampu berpikir dewasa. Sebagian masih memiliki pola pikir yang sangat
sederhana. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan di Indonesia banyak menggunakan
metode belajar mengajar satu arah atau ceramah, sehingga daya kritis belajar seorang
anak kurang terasah. Bisa juga pola asuh orang tua yang cenderung masih
memperlakukan remaja seperti anak-anak sehingga mereka tidak punya keleluasan
dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usianya. Seharusnya seorang
remaja harus sudah mencapai tahap perkembangan pemikiran abstrak supaya saat
mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk
menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

c.       Logis

Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu
membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock,
2001). Mulai mampu mengembangkan hipotesis atau dugaan terbaik akan jalan keluar
suatu masalah, menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah dan
menguji pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis. Misal : Dalam
pengambilan keputusan oleh remaja mulai dari pemikiran, keputusan sampai pada
konsekuensinya, bagaimana lingkungannya yang menunjukkan peran lingkungan
dalam membantu pengambilan keputusan pada remaja.

2.4. Masalah Perkembangan Kognitif Peserta Didik.


a.     Masa anak sekoah
Permasalahan membaca dan pemahaman di SD saat ini umumnya menggunakan
sistem klasikal yang menempatkan kecepatan memahami isi bacaan berdasarkan
kecepatan rata-rata memahami isi buku atau siswa merasa bahwa pembelajaran
membaca pemahaman yang dilakukan oleh guru terlalu cepat.
Solusi: Guru mengefektifkan pembelajaran membaca interpretatif dengan
mengelompokkan siswa menjadi 8 kelompok dengan memahami isi bacaan & sharing.
A. Perkembangan Afektif
Afektif mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik, yang juga
perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran. Pemahaman guru tentang perkembangan
afektif siswa sangat penting untuk keberhasilan belajarnya. Aspek afektif tersebut dapat terlihat
selama proses pembelajaran, terutama ketika siswa bekerja berkelompok.

1.    Pengertian Emosi


Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi yang khusus dimiliki oleh manusia. Emosi
merupakan gejala perasaan disertai dengan perubahan atau perilaku fisik seperti marah yang
ditunjukan dengan teriakan suara keras atau tingkah laku yang lain (Sitti Hartina: 2008). Emosi
merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan
psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (daniel goleman: 1995).
Emosi adalah perasaan-perasaan yang menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih
terarah (Sarlito, 1982:59). Berbagai macam emosi contohnya: gambira, cinta, marah, takut,
cemas dan benci. Pengertian lain dari emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada
fisik antara lain berupa:
         Reaksi elektris pada kulit meningkat apabila terpesona.
         Peredaran darah menjadi bertambah cepat apabila sedang marah.
         Denyut jantung bertambah cepat apabila merasa terkejut.
         Bernapas panjang dan kaku apabila merasa kecewa.
         Pupil mata membesar apabila sedang marah.
         Liur mengering kaku saat merasa takut dan tegang.
         Bulu roma berdiri kaku saat merasa takut.
         Mengalami gangguan pencernaan atau diare saat merasa tegang.
         Otot akan menegang atau bergetar (tremora) apabila dalam kondisi tegang atau ketakutan.
         Komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar
lebih aktif.

2.    Karakteristik Perkembangan Emosi


a.    Cinta atau kasih sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kafasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Seorang remaja akan mengalami
“jatuh cinta” didalam masa kehidupannya setelah mencapai belasan tahun (Garrison, 1956:483).
Para remaja yang berontak secara terang-terangan dan nakal besar kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b.    Gembira
Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berjalan dengan baik dan para
remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai sahabat atau diterima cintanya.
c.    Kemarahan dan permusuhan
 Dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan
pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya
seseorang tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri. Dalam upaya memahami
remaja ada empat faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah:
1.    Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki
dirinya dan menjadi dirinya sendiri.
2.    Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya
merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut tapi juga
mempunyai sikap-sikap dimana ada sisa kemarahan masa lalu.
3.    Seringkali perasaan marah segaja disembunyikan dan seringkali samar-samar.
4.    Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri.
d.   Ketakutan dan kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan
panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Biehler (1972)
membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia:
1.   Remaja rentang usia 12-15 tahun
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang sangat cepat, yaitu dengan mulai
tumbuhnya ciri-ciri keremajaan yang terkait dengan matangnya organ-organ seks. Perumbuhan
fisik yang terkait dengan seksual ini mengakibatkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan,
dan kekawatiran pada diri remaja. Bahkan kondisi ini dapat mempengaruhi kesadaran
beragamanya, apalagi jika remaja kurang mendapatkan pengalaman atau pendidikan agama
sebelumnya. Remaja cenderung skeptis (acuh tak acuh dan cuek) sehingga malas dan enggan
melakukan berbagai ritual keagamaan, seperti sholat.
Ciri-ciri emosional remaja pada usia 12-15 tahun (Biehlier:1972):
1.    Pada usia ini seorang siswa atau anak lebih banyak murung dan tidak dapat diterka.
2.    Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3.    Ledakan-ledakan kemarahan bisa terjadi.
4.    Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain.
5.    Siswa-siswa mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif dan mungkin
marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu).

2.    Remaja rentang usia 15-18 tahun


Ciri-ciri emosional remaja pada usia 15-18 tahun:
1.    Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan atau ekspresi perubahan yang
universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2.    Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang
tua mereka.
3.    Siswa pada usia ini sering melamun, memikirkan masa depan mereka.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Pada dasarnya, pola perkembangan emosi remaja sama dengan pola emosi masa kanak-
kanak, hanya saja penyebab muncul dan memuncaknya emosi yang berbeda. Pada masa anak-
anak, ledakan lebih banyak disebabkan olen hal-hal yang bersifat materil kongkret, sedangkan
pada masa remaja penyebabnya bersifat abstrak, misalnya menjadi marah jika dikatakan sebagai
kanak-kanak, merasa diperlakukan tidak adil atau ditolak cintanya. Pelampiasan emosi pada
remaja tidak lagi dalam bentuk yang meledak-ledak dan tidak terkendali seperti menangis keras
atau bergulung-gulung, tetapi lebih terlihat dalam gerakan tubuh yang ekspresif, tidak mau bicara
atau melakukan kritik terhadap objek penyebab. Perilaku semacam ini disebabkan oleh mulai
adanya pengendalian emosi yang dilakukan remaja dan biasanya  tercapai kematangan emosional
pada akhir masa remaja (Sitti Hartina:2008).
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka
bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266).
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain:
1.    Belajar dengan coba-coba
 Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku
yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2.    Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3.    Belajar dengan dengan cara mempersamakan diri
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.

4.    Belajar melalui pengkondisian.


Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun awal kehidupan anak kecil
kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
5.    Pelatihan atau belajar dibawah bimbingan pengawasan terbatas pada aspek reaksi.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara
emosional teerhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan

4. Hubungan Antara Emosi Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Rasa takut atau marah, kegembiraan yang berlebihan, kecemasan-kecemasan, dan
kekuatiran-kekuatiran dapat menyebabkan menurunnya kegiatan sistem pencernaan dan kadang-
kadang menyebabkan sembelit. Satu-satunya cara penyembuhan yang efektif adalah
menghilangkan penyebab dari tegangan emosi tersebut. Gangguan emosi juga dapat menjadi
penyebab kesulitan berbicara. Reaksi kita terhadap orang lain juga merangsang timbulnya emosi.
Berbeda orang yang kita temui maka berbeda pula respon yang kita berikan, sehingga
merangsang munculnya emosi yang berbeda pula.
Seorang siswa tidak senang pada gurunya bukan karena pribadi guru, tapi mungkin
karena situasi belajar di kelas. Jika siswa pernah merasa malu karena gagal dalam menghafal di
muka kelas, pada kesempatan berikutnya ia mungkin takut untuk berpartisifasi atau bahkan
memilih untuk bolos.
Reaksi setiap pelajar tidak sama, maka rangsangan yang diberikan juga harus berbeda
sesuai dengan kondisi anak. Rangsangan yang diberikan juga akan menghasilkan perasaan yang
akan berpengaruh terhadap hasil belajar.

5. Perbedaan Individu dalam Perkembangan Emosi


Meningkatnya usia anak maka emosi juga diekspresikan dengan cara yang lebih lunak
karena mulai adanya pengendalian emosi yang dilakukan.
Ekpresi emosional yang muncul juga berbeda-beda, ada yang cenderung mengekang atau
menyembunyikan emosinya dan ada pula yang mengekspresikannya secara terbuka. Perbedaan
ini bisa disebabkan oleh faktor fisik, taraf kemampuan intelektualnya, dan juga oleh kondisi
lingkungan. Misalnya, anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan anak yang
kurang sehat atau anak yang pandai beraksi lebih emosional terhadap berbagai rangsangan
dibandingkan anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya mereka juga pandai dalam
menyembunyikan ekspresi emosi mereka.

6. Upaya Pengembangan Emosi anak sd dan Implikasinya dalam 


Penyelenggaraan  pendidikan
Terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola
emosi yang diinginkan dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan
sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat, diantaranya:
1.    Untuk menghadapi remaja yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka guru perlu
memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab.
2.    Untuk menghadapi mereka yang bertingkah laku kasar , guru dapat membantu dengan
mendorong mereka untuk bersaing dengan dirinya sendiri.
3.    Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya guru segera mengecilkan ledakan emosi
tersebut dengan cara lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktifitas baru.
4.    Bertambahnya kebebasan remaja maka sikap pemberontaknya akan semakin mucul, salah satu
cara untuk mengatasinya adalah dengan meminta siswa menuliskan perasaan-perasaan negatif
mereka dan guru juga harus menghargai kebebasan individual mereka.
5.    Masa remaja adalah keadaan yang membingungkan, serba sulit dan sering muncul konflik
dengan orang tua sehingga siswa sering merasa bingung dan perlu menceritakan penderitaannya,
karena itulah guru diminta untuk menjadi pendengar yang simpatik.
6.    Ada siswa yang hanya memiliki kecakapan terbatas tapi ”memimpikan kejayaan”, upaya yang
bisa dilakukan oleh guru untuk menghadapi siswa seperti ini adalah dengan mendorongnya untuk
berusaha namun tetap mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan.
7.    Kebanyakan siswa menganggap remeh suatu pekerjaan tertentu, dalam hal ini guru perlu
meyakinkan siswa semua pekerjaan itu bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh,
hati-hati, dan bertanggung jawab.

B. Perkembangan nilai, Moral, dan Sikap


1.    Pengertian dan Saling Keterkaitan Antara Nilai, Moral, dan Sikap serta pengaruhnya
Terhadap Tingkah Laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat
kebiasaan dan sopan santun. Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan,
akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral sering dianggap sebagai prinsip dan patokan yang
berhubungan dengan masalah benar dan salah dalam masyarakat tertentu, dapat pula diartikan
sebagai perbuatan yang sesuai dengan norma benar salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku yang membedakan antara perbuatan benar dan salah. Nilai-nilai
kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan
buruk, jadi berkaitan dengan moral.
Sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek tersebut atau kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal.
Sikap mendasari tingkah laku seseorang.
Dengan demikian keterkaitan semuanya dapat disimpulkan bahwa,  nilai-nilai perlu
dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap
tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai
yang dimaksud.

2.    Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja


Dalam pertumbuhan dan perkembangannya remaja sangat memerlukan kelompok sosial
yang dapat menerima dia sebagaimana adanya,  corak dan kehidupan kelompok remaja akan
dapat merubah perilaku remaja seperti pola dan perilakunya. Michel meringkaskan lima
perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja:
1.      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2.      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif, sehingga remaja lebih berani mengambil keputusan.
4.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.

Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg:


Tingkat I; Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak merasa ia harus
menurut, kalau tidak akan mendapatkan hukuman.
Pada stadium 2, pada tahap ini berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Anak tidak lagi
secara mutlak bergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain,
tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi ada Relativisme, yang
artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik).

Tingkat II: Konvensional


Stadium 3, pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun. Anak
memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang
lain. Menjadi “anak manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, tahap mempertahankan norma-norma sosial. Sudah muncul kesadaran bahwa
perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar
tidak timbul kekacauan.

Tingkat III: Pasca-Konvensional


Stadium 5, tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial atau
masyarakat.
Stadium 6, tahap ini disebut Prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik di samping
norma pribadi dan subjektif, remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang
dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Tidak hanya
memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya atau mengamalkannya.

3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap


Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu
ternyata faktor lingkungan memegang peranan penting, terutama unsur lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang.
Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi
adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang
ideal yang diciptakan sendiri.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap
moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal yang
berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas
spontan pada anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak
dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral, Kohlberg
menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan
yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses
penalaran yang didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi
tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.

4.    Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap


Terdapat perbedaan-perbedaan individual dalam pemahaman nilai-nilai, dan moral
sebagai pendukung sikap dan perilaku untuk mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap
serta tingkah laku yang diharapkan. Berbeda umur maka akan berbeda pula pemahamannya
tentang pengertian nilai, moral dan sikap. Perbedaan seseorang juga dapat dilihat dari perbedaan
kebudayaan, bukan hanya mengenai cepat lambatnya perkembangan yang dicapai, melainkan
juga mengenai batas tahap-tahap perkembangan yang dicapai.

5.    Upaya Mengembangkan Nilai, Moral dan Sikap Remaja serta Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap
remaja:
1.      Menciptakan komunikasi
Di sekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisifasi untuk mengembangkan
aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga mereka lebih aktif tidak hanya sebagai
pendengar.
2.      Menciptakan iklim lingkungan yang serasi
Para remaja sering bersikap kritis, menentang nilai-nilai dan dasar-dasar hidup orang tua
dan orang dewasa. Karena itu, orang tua dan para guru serta orang dewasa lainnya perlu
memberi contoh perilaku yang merupakan perwujudan nilia-nilai yang diperjuangkan. Untuk
remaja, moral merupakan kebutuhan tersendiri karena remaja sedang membutuhkan pedoman
dalam menemukan jati diri. Oleh karen itulah, nilai-nilai keagamaan sangatlah penting karena
agama juga mengajarkan tingkah laku yang baik dan buruk.
A. Pengertian Perkembangan Aspek Psikomotorik
Psikomotorik adalah hubungan yang mengarah kepada akibat-akibat motor dari proses
mental (kerja otak). Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan
(skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil
belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami
sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-
kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik,
misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.Kata kemampuan motorik
berasal dari bahasa Inggris yaitu motor ability, dalam Filosofi Pembelajaran dan MasaDepan
Teori Pendidikan Jasmani Kephart, mendefinisikan bahwa motoradalah gerak dari dorongan
dalam (internal) yang diarahkan kepada beberapamaksud lahiriah (external) dengan ujud
ketrampilan rendah Perkembangan keterampilan motorik (motor skill) ini
merupakanketerampilan yang dimiliki seseorang untuk mampu melakukan suaturangkaian
gerakan jasmaniah dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak berbagai
anggota badan secara terpadu.

Ciri khas dari keterampilan motorik adalah otomatisme, yaiturangkaian gerak-gerik yang
berlangsung secara teratur dan berjalan lancar tanpa dibutuhkan banyak refleksi atau berfikir
terhadap apa yang harusdilakukan dan mengapa harus mengikuti suatu gerakan.Keterampilan
motorik memegang peranan yang sangat penting dalamkehidupan manusia, seorang anak yang
memiliki keterampilan motoriksempurna, ia mampu merawat dirinya sendiri dan bergerak secara
efektif danefisien, misalnya seorang anak kecil yang belajar berjalan tegak, menaikitangga,
memegang dan mengambil benda dan sebagainya. Berkembangnyakemampuan motorik tersebut
didapatkan dari hasil belajar dan latihan.Dengan belajar dan latihan tersebut akan membuat
fungsi otot dan persendianmenjadi lebih kuat.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yangdimaksud dengan
perkembangan psikomotorik adalah perkembangankepribadian manusia yang berhubungan
dengan gerakan jasmaniah dan fungsiotot akibat adanya dorongan dari pemikiran, perasaan dan
kemauan daridalam diri seseorang.

B. Pentingnya Aspek Perkembangan Psikomotorik Dalam Pembelajaran


Kemampuan psikomotorik hanya bisa dikembangkan dengan latihan latihan yang menuju
kearah peningkatan kemampuan anak. Pengembangan ini memerlukan rangsangan yang adekuat
agar perkembangan potensi psikomotorik anak bisa optimal.
Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam kesuksesan pengajaran. Dengan peningkatan kemampuan motorik, anak
akan mampu menerima pengajaran sesuai dengan batasan jenjang pendidikanya. Beberapa
konstelasi perkembangan motorik individu dipaparkan oleh Hurlock (1996) sebagai berikut :
a). Melalui ketrampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan
senang. Seperti anak merasa senang memiliki ketrampilan memainkan boneka, melempar bola
dan memainkan alat alat mainan.
b). Dengan keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi tidak berdaya pada bulan
bulan pertama dalam kehidupanya kepada kondisi yang independen. Anak dapat bergerak dari
satu tempat ketempat yang lain, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya sendiri. Kondisi ini akan
menunjang perkembangan rasa percaya diri.
c). Melalui peningkatan potensi perkembangan psikomotorik anak dapat menyesuaikan dangan
lingkungan sekolah. Pada masa pra sekolah atau pada masa awal sekolah dasar, anak sudah dapat
dilatih menulis menggambar melukis dan baris berbaris.
d). Melalui peningkatan potensi prkembangan psikomotorik yang normal memungkinkan anak
dapat bermain dan bergaul dengan teman sebayanya, sedangkan yang tidak normal akan
menghambat dalam bergaul dengan teman sebayanya, bahkan dia akan terkucilkan atau menjadi
anak yang terpinggirkan
e). Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik sangat penting bagi perkembangan self
concept (kepribadian anak)
C. Tahap Perkembangan Aspek Psikomotorik
1.      Tahap Kognitif
    Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan gerakan yang kaku dan lambat. Hal tersebut terjadi
karena anak ataupun siswa masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan gerakanya.
Dia harus berfikir sebelum melakukan suatu gerakan, pada tahap tersebut siswa sering membuat
kesalahan dan kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

2. Tahap Asosiatif
    Pada tahap ini seorang anak ataupun siswa membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk
memikirkan tentang gerakanya, dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang
dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan
dalam perkembangan psikomotorik oleh karena itu gerakan gerakan  dalam tahap ini belum
menjadi gerakan yang bersifat otomatis. Pada tahap ini siswa ataupun anak masih menggunakan
pikiranya untuk melakukan suatu gerakan, tetapi waktu yang diperlukan untuk berfikir lebih
sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Gerakannya sudah tidak kaku
kerena waktu yang dipergunakan untuk berfikir lebih pendek.

3. Tahap otonomi
    Pada tahap ini seorang siswa telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi, proses belajarnya
sudah hampir lengkap meskipun dia masih dapat memperbaiki gerakan garakan yang
dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi karena siswa sudah tidak memerlukan kehadiran
instruktur untuk melakukan gerakan gerakan. Pada tahap ini gerakan yang dilakukan secara
spontan oleh karenanya gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajaran untuk
memikirkan tentang gerakanya.

D. Faktor-faktor Perkembangan aspek psikomotorik


Perkembangan psikomotorik anak dipengarui beberapa faktor yaitu :
a)      faktor pola asuh orang tua
Pola asuh ornag tua adalah sebuah faktor penghambat psikomotorik anak disaat pola asuh orang
tua terlalu otoriter ataupun terlalu memaksa, karena karakteristik seorang anak sangat sensitif
ditambah setiap anak tidak dapat secara langsung dioptimalkan secara cepat dengan kata lain
memaksakan kemampuan danagan waktu yang singkat.
Apabila orangtua memaksakan peningkatan potensi perkembangan psikomorik anak
kebanyakan malah menyebabkan gangguan mental terhadap anak tersebut biasanya
anak akan cenderung merasa canggung, merasa serba salah tidak percaya pada diri
sendiri dan merasa tertekan.
Pola asuh bukan hanya bisa menggangu peningkatan potensi psikomotorik anak akan
tetapi malah akan menurunkan kemampuan psikomotorok anak, pada saat anak dalam
kondisi depresi dan ditambah dengan tuntutan dari orangtua yang tidak dapat dipenuhi
oleh anak, anak yang sedang dalam keadaan depresi sangat mudah untuk diketahui hal
ini dikarenakan keadaan anak bisa berubah secara drastis, tanda tandanya antara lain,
yang biasanya anak tersebut suka bercanda berubah menjadi pemurung, yang biasanya
ceria berubah menjadi gampang marah, yang biasanya aktif berubah menjadi
pemalas.
 b) Gen Dari Orang Tua
Gen dari orang tua juga bisa menjadi penghambat dalam upaya meningkatkan kemampuan
psikomotorik anak, apabila orang tua mempunyai pembawaan sifat gen yang unggul maka dalam
mengembangkan potensi kemempuan psikomotorik anak pun juga akan lancar. Hal sebaliknya
apabila anak membawa pembawaan gen dari oarang tua dimana gen tersebut adalah gen yang
lemah maka kemampuan meningkatkan potensi psikomotorik anak itu biasanya juga akan lemah.
Atau yang paling parah apabila anak itu menderita autis maka akan  sulit sekali meningkatkan
potensi kemampuan motorik yang ada.
 c) Pengaruh Lingkungan
Lingkungan atau situasi kehidupan. Lingkungan tempar seseorang dibesarkan, hubungan
dengan anggota keluarga dan orang lain turut berpengaruh terhadap perkembangan psikomotorik
pada anak, di antaranya yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan bermain :
1. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak- anak dan
remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian
daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Proses sosialisasi awal ini di mulai
dengan proses belajar menyesuaikan diri dan mengikuti apa yang diajarkan orang- orang paling
dekat. Dalam keluarga dikenal adanya dua pola sosialisasi yaitu sosialisasi represif yang
mengutamakan  adanya ketaatan anak pada orang tua dan pola sosialisasi partisipasi yang
mengutamakan adanya pertisipasi anak
Suatu perkembangan psikomotorik anak adalah Genetika. Genetika atau disebut juga GEN
merupakan bawaan anak dari oramg tuanya. Pengaruh dari pada gen ini sangatlah bermacam-
macam tergantung dari orangtuanya. Misalnya : pemarah, penyabar, santun, nakal, luwes, keras
kepala, kuat kemauan dll. Yang mana watak atau kepribadian dasar ini akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan psikomotorik dan aspek lain si anak.
2. Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan artifisial yang sengaja diciptakan untuk membina anak- anak ke
arauh tujuan, khususnya untuk memberikan kemampuan dan keterampilan sebagai bekal
kehidupannyai kemudian hari. Di sini mereka akan menerapkan kebiasaan yang dilatih oleh
orang tua masing- masiang. Para orangtua berharap lingkungan pendidikan yang disajikan pada
anak- anak dapat memberikan warna yang positif, jangan sampai mereka didoktrin tentang
kebiasaan- kebiasaan buruk. Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari
membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang
sejara, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan
kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya (Supriadi,
2002: 40).  Sekolah juga merupakan rumah kedua bagi si anak dan di tempat ini pula anak- anak
memperoleh pendidikan formal dan berlatih untuk meningkatkan kemampuan berlandaskan
tentang apa yang telah diperoleh dari keluarga. Di sekolah juga terdapat bermacam
ekstrakurikuler sehingga si anak dapat memilih kegiatan itu sesuai bakat yang di miliki. Pada
saat inilah anak- anak meningkatkan perkembangan psikomotoriknya.
3. Lingkungan bermain
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R.
Semiawan bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan
karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk
memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan,
anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik
maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan
jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
 d) Interior Ruang Belajar Mempengaruhi Peningkatan Potensi Psikomotorik Anak
 Preiser dalam Laurens menjelaskan bahwa kebiasaan mental dan sikap perilaku seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya. Adapun lingkungan fisik tersebut antara lain berupa
kondisi fisik hunian (bangunan), ruang (interior) beserta segala perabotnya, dan sebagainya. Jika
bangunan itu memiliki ruang-ruang yang sangat nyaman untuk dihuni dan untuk beraktivitas di
dalamnya, maka dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku manusia.
E. Jenis Permainan Dalam Aspek Perkembangan Psikomotorik
Berikut ini merupakan contoh beberapa permaian yang dapat mengembangkan psikomotorik
anak :
1. Out bond
Wahana outbound bisa  melatih keberanian dan kemandirian anak serta melatih tingkat
kecerdasan anak. Selain itu outbound juga melatih psikomotorik anak agar lebih cepat
menyesuaikan diri dengan lingkungan alam bebas dan mencintai alam.
Outbound untuk anak-anak bertujuan untuk melihat kemampuan dan perkembangan anak
baik secara fisik maupun mental. Dengan wahana permainan yang dibuat sedemikian rupa,
menjadikan si anak berusaha dan mampu untuk memecahkan suatu permasalahan.

Diharapkan setelah mengikuti outbound anak lebih berani,percaya diri dan mampu
berkomunikasi dengan baik, terutama dengan orang tua dan teman-temannya. Outbound juga
memacu kreatifitas dan kemampuan berfikir anak. Banyak manfaat yang bisa didapatkan anak
dari permainan outbound.

2. Origami

Origami dapat melatih kemampuan psikomotorik halus si anak dan merangsang tumbuhnya
motivasi, kreativitas serta ketekunan anak , memunculkan potensi anak yang tersimpan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Psikomotorik adalah hubungan yang mengarah kepada akibat-akibat motor dari proses mental
(kerja otak). Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau
kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar
psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu)
dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan
berperilaku). Dalam meningkatkan potensi psikomotorik anak, ada beberapa tahapan diantaranya
tahapan kognitif, tahapan asosiatif dan tahapan otonomi. Potensi perkembangan psikomotorik
sangat penting bagi anak didik karena merupakan salah satu faktor yang mendukung kesuksesan
pengajaran. Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari,
melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Hartinah, Siti, 2009. Perkembangan Peserta Didik, PT. Rafika Adiatma, Bandung
Poerwati, Endang & Nur Widodo, 2000. Perkembangan Peserta Didik, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang

Sujanto, Agus, 1981. Psikologi Perkembangan, Aksara Baru, jakarta


www.organisasi.org,2009, Perkembangan Peserta Didik
www.box.net,2009, Pendidikan dan Peserta Didik
Ngalim P,1991, Psikologi Pendidikan, CV Remaja Karya, Bandung.

Hendriati Agustian,2006. Psikologi Perkembangan. Aditama. Bandung.


http://biosatudeumm.blogspot.com/2012/12/aspek-perkembangan-psikomotorik-
peserta_6060.html

Anda mungkin juga menyukai