Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya
pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada perkembangan
anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang
filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari
bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan apel
kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok kepada anak usia tiga tahun
pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang ahli bangunan.
Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan apa
yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Dari tokoh-tokoh yang mengadakan reformasi di bidang
pendidikan seperti Comenius (abad 17), Rousseau, Pestalozzi dan Frbel (abad 18 serta awal abad
19) akhirnya lambat laun para pendidik dapat menerima pendapat bahwa pendidikan untuk anak perlu
disesuaikan dengan minat serta tahap perkembangan anak. Frbel lebih menekankan pentingnya bermain
dalam belajar karena berdasarkan pengalamannya sebagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain
maupun mainan yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta mengembangkan
pengetahuan mereka. Jadi Plato, Aristoteles, Frbel menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai
nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan
tertentu pada anak. Sayangnya pada tersebut, teori perkembangan psikologi anak belum mempunyai
sistematika yang teratur. Akibatnya, apa yang dikemukakan oleh Frbel bahwa bermain dapat meningkatkan
minat, kapasitas serta pengetahuan anak sulit dibuktikan.
Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori
bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga
sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak
bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada
makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori klasik.
Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam
Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi
filosofis dan bukan melalui riset eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam
dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller
seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19)
mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain. Herbert Spencer di dalam
bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan
bermain seperti berlari, melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak
binatang perlu dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada
manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi lebih
rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Ketrampilan
kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga
untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas yang
akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang
lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya tampungnya.
Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun
teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat akan
menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk
seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain
merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.
Berlawanan dengan teori surplus energi, maka teori rekreasi mengajukan dalil bahwa tujuan bermain
adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja. Menurut penggagasnya, seorang penyair
Jerman bernama Moritz Lazarus, kegiatan bekerja menyebabkan berkurangnya tenaga. Tenaga ini akan dapat
dipulihkan kembali dengan cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja.
Bermain adalah lawan dari bekerja dan merupakan cara yang ideal untuk memulihkan tenaga. Tentu saja teori
yang dikemukakan oleh Lazarus terkesan kurang ilmiah walaupun teori ini bisa menjelaskan aktifitas rekreatif
yang dilakukan orang dewasa, seperti bermain catur sebagai selingan setelah bekerja keras.
Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang
dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di dalam
bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa manusia merupakan
hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk
mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau sebelumnya pendekatan yang
dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah,
melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas perkembangan anak-anak
mereka.
G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan bidang
pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau bermain dari teori
rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: anak merupakan mata rantai evolusi dari binatang
sampai menjadi manusia.Artinya anak menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan
bersel satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak
lahir, melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species ikan
sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan mengulangi
perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman nenek moyangnya akan tertampil didalam
kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi
penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi
makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek
moyangnya, species ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat
pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain
jenis ini muncul sebelum anak terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 12 tahun, anak
senang berkemah, berperahu, memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin
kebiasaan masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan, tetapi
setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk
mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.
Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain berfungsi
untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang. Dasar teori Groos
adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan
hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga
binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan
hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya. Jadi
tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa
nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup dapat kita
amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap
mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh.
Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.
Bagaimana halnya dengan instink atau naluri yang sudah dimiliki binatang untuk mempertahankan
hidupnya? Gross mengatakan bahwa pada binatang yang sudah dilengkap oleh instink, tidak perlu bermain
karena mereka sudah dapat mempertahankan diri secara instinktif. Beda halnya dengan binatang yang
mempunyai tingkatan evolusi lebih tinggi dan manusia yang memerlukan perlindungan serta perawatan lebih
lama agar dapat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini perlu diberi latihan-latihan melalui bermain dan
meniru (imitasi). Pertanyaan lain adalah mengapa manusia tetap bermain sampai usia dewasa bahkan
sampai tua?. Karl Gross memberi sanggahan dengan mengatakan bahwa bermain adalah sesuatu yang
menyenangkan di masa muda, oleh karena itu tetap dilakukan dimasa dewasa.
Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan
karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai manfaat
secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain merupakan
sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.
Tabel: Teori-teori Klasik
No
1
Teori
Surplus
Energi
Penggagas
Schiller/Spencer
Tujuan Bermain
Mengeluarkan
berlebihan
energi
Rekreasi
Lazarus
Memulihkan tenaga
Rekapitulasi
Hall
Memunculkan
nenek moyang
Praktis
Groos
Menyempurnakan
instink
instink
Sumber:
Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Diposkan oleh SUGIPARYANTOdi 09.28
Dalam makalah ini akan dibahas teori bermain bagi akan menurut beberapa teori.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BERMAIN MENURUT AHLI
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena
terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada
perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain
adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat
pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari
aritmatika dengan cara membagikan apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan
miniature balok-balok kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut
menjadi seorang ahli bangunan.
Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai berikut [1] :
1.
Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman diantara tahun
1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan dari kerja
dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan bermain-main apabila ia merasa capai sesudah
berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa me-rekriir
kembali kesegaran tubuh yang tengah lelah.
Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall dengan pandangannya yang biogenetis menyatakan bahwa
selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase kemanusiaan. Permainan itu merupakan
penampilan dari semua factor hereditas ( waris, sifat keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis
manusia sepanjang sejarah akan diwariskan kepada anak keturunannya, mulai dari pengalaman hidup
dalam gua-gua, berburu, menangkap ikan, berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai
dengan menciptakan kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk
permainan-permainannya.
4.
teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian hari Maria Montesori juga bergabung pada
paham ini ) : menyatakan bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macammacam fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan baik bagi anak untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu sendiri.
Sarjana William Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan taktik dan
manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia itu memiliki masa
remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri dan memperoleh kegembiraan.
5. Teori Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongan- dorongan
yang tidak disadari pada anaka anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang paling penting
menurut Alder ialah : dorongan berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan seksual atau libidi
sexualis. Alder berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau kompensasi terhadap
perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa disalurkan perasaan-perasaan yang
lemah dan perasaan- perasaan rendah hati.
6. Teori fenomenologis, professor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan teori
fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan satu,
fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan. Dorongan bermain
merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus bertujuan untuk
mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi, tujuan
permainan adalah permaianan itu sendiri.
Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori
bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga
sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan karena pada anak kecil yang
tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan
bermain pada makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori
klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain.
Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori itu dibangun
berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset eksperimental. Teori klasik mengenai bermain
dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori
rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan
Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan
mengapa
ada
perilaku
bermain.
Herbert
Spencer
di
dalam
bukunya Principles
of
Psychology, pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti
berlari, melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu
dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada
manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi
lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup.
Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak
menguras tenaga untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem
kerja air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih
kuat dan butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya
tampungnya.
Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun
teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat akan
menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai. Bayi yang sudah
mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas
tergambar bahwa bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.
Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang
dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di dalam
bukunya Origin of Species(dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa manusia
merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat
para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau
sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka
sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat
pencatatan atas perkembangan anak-anak mereka.
G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan
bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau bermain dari
teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: anak merupakan mata rantai evolusi dari
binatang sampai menjadi manusia. Artinya anak menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari
protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan
sperma sampai anak lahir, melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan
perkembangan dari species ikan sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan
sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman nenek
moyangnya akan tertampil didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al,
1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain
yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk
bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek moyangnya, species ikan yang mendapat
kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan
ke dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak
terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu,
memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan masyarakat
primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat
di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari
perilaku anak dalam berbagai tahap usia.
Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain
berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang.
Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang
dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain.
Bayi yang baru lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini
penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan
menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi
ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup
dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan
menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk
mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.
Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan
karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai
manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat bahwa
bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.
Tabel: Teori-teori Klasik
No
1
2
3
4
Teori
Surplus
Energi
Rekreasi
Rekapitulas
i
Praktis
Penggagas
Schiller/Spencer
Lazarus
Hall
Groos
Tujuan Bermain
Mengeluarkan energi
berlebihan
Memulihkan tenaga
Memunculkan instink
nenek moyang
Menyempurnakan
instink
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain mampu
mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan
membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk
masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk
menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena melalui
bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial
emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui permainan
motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan, kelincahan,
koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak jika anak tumbuh dan berkembang
dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki
konsep diri yang positif . Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial
emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak mempunyai
rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja sama
dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam kelompok anak juga akan
belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan
egonya, belajar menahan diri, mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari
sisi emosi, keinginan yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan
sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian dan
konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih ingatan,
mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak yang
membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan menyerap dalam hidup anak
sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya dengan baik.
Bermain memberi kontribusi alamiah untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada satu program pun
yang dapat menggantikan pengamatan, aktivitas, dan pengetahuan langsung anak pada saat bermain.
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain memberikan
motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi positif yang terlihat dari
rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum
merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif
merupakan indikasi umum anak sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung
bermain sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini
sesuai dengan teori bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan
rasa senang pada saat melakukan kegiatan (Mayke S Tedjasaputra; 2001)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih dan belajar
berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan sukses jika anak aktif
dan mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks yang belum pernah ia dapatkan
sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar
yang kondusif, tantangan, dan memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam
menerapkan teori dan melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.
Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat terkenal
Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa bermain adalah hal
dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan bermain tersebut terpancar
kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat membedakan kegiatan bermain dengan
kegiatan tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang menerapkan prinsip pendidikan anak dengan
belajar yang bermain, mengalami kerancuan dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara
kegiatan bermain dengan kegiatan yang bukan bermain.
Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang dapat
mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain [2] :
1.
Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya apabila hal itu
memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan hadiah atau karena diperintahkan
oleh orang lain.
2.
Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain, sekalipun
mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi merupakan kegiatan bermain.
Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan
oleh anak sebagai suatu pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain
jika anak diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
3.
Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan bahagia dalam
melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya ditandai dengan
tertawa dan komunikasi yang hidup.
4.
Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada anak usia
prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu membangun suatu
dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada, sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta
kreativitas mereka yang kaya.
5.
Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun keduanya
sekaligus.
BAB III
KESIMPULAN
Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain. Beberapa
manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek perkembangan anak.
Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak, sehingga kegiatan
bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak. Ketika pentingnya bermain
dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih
utama dalam kegiatan belajar untuk anak. Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan
merancang lingkungan yang kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator
untuk anak ketika anak sedang bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth H, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga, 1978
http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/
http://sugiparyanto-sugiparyanto.blogspot.com/2009/01/sejarah-perkembanganteori-bermain.html
Kartono, Kartini,Psikologi Anak, Bandung : Bandar Maju : 1995
Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan.Jakarta: Penerbit PT
Teori-teori Bemain
1. Teori rekreasi atau teori pelepasan
Teori ini diutarakan oleh bangsa Jerman, yang bernama Schaller dan Lazarus, menerangkan bahwa
permainan itu merupakan kegiatan manusia yang berlawanan dengan kerja dan kesungguhan hidup, tetapi
permainan itu merupakan imbangan antara kerja dengan istirahat. Orang yang merasa penat, ia akan
bermain untuk mengadakan pelepasan agar dapat mengembalikan kesegaran jasmani maupun rohani.
2. Teori surplus atau teori kelebihan tenaga
Teori ini diutarakan oleh Herbert Spencer, seorang bangsa Inggris, ia mengatakan bahwa kelebihan
tenaga (kekuatan atau vitalitas) pada anak atau orang dewasa yang belum digunakan, disalurkan untuk
bermain. Kelebihan tenaga dimaksudkan sebagai kelebihan energi, kelebihan kekuatan hidup dan vitalitas,
dianggap oleh manusia untuk memelihara lewat permainan.
3. Teori teleologi
Karl Groos, seorang bangsa Jerman, mengatakan bahwa permainan mempunyai tugas biologik,
yang mempelajari fungsi hidup sebagai persiapan untuk hidup yang akan datang. Pengutaraan teori ini
merupakan pengutaraan yang paling terkenal dan pengutaraan tentang permainan yang dapat diterima.
4. Teori sublimasi
Teori ini diutarakan oleh seorang bangsa Swiss yang bernama Ed Claparede. Ia mengutarakan
bahwa permainan bukan hanya mempelajari fungsi hidup (teori Groos), tetapi juga merupakan proses
sublimasi (menjadi lebih mulia, tinggi atau indah), ialah dengan bermain, insting rendah akan menjadi
tingkat perbuatan yang tinggi.
5. Teori Buhler
Carl Buhler seorang Jerman, mengatakan bahwa permainan itu kecuali mempelajari fungsi hidup
(teori Groos), juga merupakan Function Lust (nafsu berfungsi), dan juga merupakan Aktivitas Drang
(kemauan untuk aktif). Selanjutnya ia mengatakan bahwa bila perbuatan seperti berjalan, lari, dan lompat
itu mempunyai kegunaan bagi kehidupannya kelak, di samping itu haruslah anak mempunyai kemampuan
untuk berjalan, lari, dan lompat.
6. Teori Reinkarnasi
Di samping ke lima teori tersebut, ada suatu teori lain yang masih banyak dibicarakan orang ialah
teori reinkarnasi. Adapun maksud dari teori tersebut ialah bahwa anak-anak selalu bermain dengan
permainan yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Jadi anak selalu bermain permainan yang telah
dilakukan orang-orang terdahulu. Teori ini sebenarnya telah usang karena sekarang banyak anak bermain
dengan permainan baru sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teori bermain yang tersebutkan tadi merupakan sebagian dari usaha penelaahan tentang bermain
yang kiranya dapat digunakan dalam usaha pendidikan. Teori yang bermacam-macam itu masing-masing
berdiri sendiri-sendiri, tidak ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Namun juga tidak
bertentangan. Memang ada beberapa teori yang sedikit mencakup dan menerima teori yang lain dan
membubuhi teorinya sendiri sehingga menjadi teori yang lebih baik. Ada juga para pakar lain yang
mengkritik teori-teori tadi, tetapi perkembangan teori bermain sebagai wahana pendidikan banyak
sedikitnya didorong atau dijiwai oleh teori-teori klasik ini. Adapun beberapa pendapat tentang teori
bermain sebagai wahana pendidikan dibicarakan pada bagian berikut ini.
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pendapat Huizinga (1950) karena masalah permainan dalam perluasannya merupakan gejala kebudayaan,
maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan praktis.
Montessori (Bigot, Kohnstamm, dan Pallad, 1950:273) menyebutkan permainan sebagai alat untuk
mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis permainan, akan merupakan
dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu.
Bucher (1960:48) berpendapat bahwa permainan yang telah lama dikenal oleh anak-anak, orang tua, lakilaki maupun perempuan, mampu menggerakkan untuk berlatih, bergembira, dan rileks. Permainan
merupakan salah satu komponen pokok pada tiap program pendidikan jasmani, oleh sebab itu guru
pendidikan jasmani harus mengenal secara mendalam tentang seluk beluk permainan.
Cowell dan Honzeltn (1955:146) mengatakan bahwa untuk membawa anak kepada cita-cita pendidikan,
maka perlu adanya usaha peningkatan keadaan jasmani, sosial, mental, dan moral anak yang optimal. Agar
memperoleh peningkatan tersebut, anak dapat dibantu dengan permainan, karena anak dapat
menampilkan dan memperbaiki keterampilan jasmani, rasa sosial, percaya diri, peningkatan moral dan
spiritual lewat fairplay dan sportmanship atau bermain dengan jujur, sopan, dan berjiwa olahragawan
sejati.
Drijarkara (1955:15) mengutarakan bahwa dorongan untuk bermain itu pasti ada pada setiap manusia.
Akan tetapi lebih-lebih pada manusia muda, sebab itu sudah semestinya bahwa permainan digunakan pada
pendidikan.
Hadi Soekatna (Taman Siswa, 1956:165) mengemukakan bahwa memang kita kaum Taman Siswa
mempunyai keyakinan setebal-tebalnya bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat pendidikan itu
dapat membimbing anak kita ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan semurni-murninya.
Rob dan Leetouwer (1950:38) mengatakan, bila seorang guru permainan menentukan dan menempati
tujuan permainan, bahwa anak bermain untuk kesenangannya, para pemain akan bermain dengan senang,
maka akan timbullah realitas yang harmonis dengan ditandai dengan adanya ketertiban dan keteraturan,
akan timbul banyak situasi pedagogik.
Rijsdorp (1971:47) mengutarakan bahwa anak yang bermain kepribadiannya akan berkembang, dan
wataknya akan terbentuk juga.
D. Makna Bermain Dalam Pendidikan
Dalam Sub Bab Fungsi Bermain dalam Pendidikan, telah dipaparkan pendapat para pakar yang
membahas kaitan bermain dan pendidikan. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat ditentukan makna
bermain dalam pendidikan sebagai berikut.
Sifat bermain
1. Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan dengan suka rela atas dasar rasa senang.
2. Bermain dengan rasa senang, menumbuhkan aktivitas yang dilakukan secara spontan.
3. Bermain dengan rasa senang, untuk memperoleh kesenangan, menimbulkan kesadaran agar bermain
dengan baik perlu berlatih, kadang-kadang memerlukan kerja sama dengan teman, menghormati lawan,
mengetahui kemampuan teman, patuh pada peraturan, dan mengetahui kemampuan dirinya sendiri.
Pembahasan tentang bermain dan permainan
Jenis permainan yang dimainkan oleh anak sangat ditentukan oleh umur anak. Untuk kelompok
umur tertentu jenis permainannya akan berbeda dengan jenis permainan yang dimainkan oleh kelompok
umur yang lain. Hal in disebabkan oleh kemampuan anak, dan juga oleh kesenangan anak. Dari penelitian
Hurlock (1978 : 294) yang diamati dalam waktu satu minggu diperoleh kesimpulan bahwa jumlah
permainan yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang jumlah permainannya yang dimainkan oleh
anak pada kelompok umur yang berbeda-beda, akan berbeda juga. Adapun hasil penelitian itu sebagai
berikut :
Umur 8 tahun : rata-rata ganti permainan 40,11 %
Umur 12 tahun
: rata-rata ganti permainan 17,71 %
Hal ini dapat terjadi sebab ada kemungkinan bahwa anak pada kelompok umur lebih tua hanya
mempunyai waktu luang yang sedikit, dan pada kelompok umur yang lebih muda untuk memperoleh rasa
senang, mereka dapat bermain tanpa alat, atau dengan alat, atau dengan alat yang mereka peroleh dari
tempat di sekelilingnya. Mereka dapat bermain sendiri dengan berfantasi, atau bermain dengan teman
siapa saja yang mau menemani dan ikut bermain. Anak-anak yang lebih muda akan bermain dengan
aktivitas jasmani yang lebih sedikit dibandingkan dengan permainan anak-anak yang lebih tua. Anak
kelompok umur lebih tua akan memainkan permainan yang mempunyai peraturan yang tetap dan biasanya
menuntut aktivitas jasmani yang lebih berat.
KARAKTERISTIK DAN
TAHAP PERKEMBANGANBERMAIN
A. KARAKTERISTIK BERMAIN
Dengan mengenali karakteristik bermain anak, kita akan lebih peka dan lebih
tanggap lagi menilai tentang kegiatan bermain yang diprogramkan dalam satuan
kegiatan harian (SKH) sesuai dengan ciri-ciri bermain anak sehingga dapat membuat
penilaian bermain terhadap anak yang valid, adil dan dapat mengukur kompetensi
anak secara individual.
menyelidiki
dan
Lingkunagn yang kurang memadai fasilitasnya, tidak aman dan tidak menyenangkan,
akan menyebabkan ruang gerak bermain bagi anak terbatas. Oleh sebab itu agar anak
dapat bermain dengan leluasa maka perlu disediakan sarana dan prasarana yang
dapat mendukung keinginan dan aktivitas bermain anak.
c. Perilaku anak dalam bermain
Melalui bermain anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan
dari dalam diri yang tidak mungkin terpuaskan dalam kehidupan nyata. Bila anak
dapat menyalurkan perasaan tegang, tertekan dan menyalurkan dorongan-dorongan
yang muncul dari dalam dirinya, setidaknya membuat anak lega dan relaks akan
mengubah perilaku yang negatif menjadi positif.
Kemungkinan adanya kesalahan diakui dan dapat dimaafkan serta ada kesempatan
untuk mencoba lagi.
g. Pengalaman diberikan dalam hal pengendalian diri akan rasa frustasi sementara.
h. Semua komponen permainan menumbuhkan kemampuan berinteraksi sosial secara
positif.
menjadi pusat dari program kegiatan belajarnya. Namun, mereka merasa ragu-ragu
untuk membenarkan alasan kegunaannya dengan apa yang mereka katakan Bermain
adalah pekerjaan anak-anak, sementara ungkapan ini menyamakan bermain dengan
bekerja hal itu juga berarti bahwa bekerja itu serius dan bermain tidak demikian
dengan kata lain bermain itu sepele dapat dilakukan dan bila tidak ada masalah.
TAHAPAN BERMAIN
2. Pandangan Parten
Menurut parten yang meneliti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi anak,
terhadap 6 tahapan perkembangan bermain yang dapat dilihat dan diamati ketika
anak-anak melakukan kegiatan bermain. ia juga mengungkapkan adanya
perkembangan kegiatan bermain dari tingkat sederhana sampai dengan tingkat yang
tinggi.
Onlookers(berperilak
u seperti penonton
atau pengamat)
Bermain Solitaire
(bermain sendiri)
Bermain paralel
Bermain Associative
Bermain kooperatif
(group play)
3. Pandangan Hurlock
Menurutnya perkembangan bermain terjadi melalui tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Eksplorasi
Bila anak-anak diberikan benda atau alat yang baru dikenalnya, pertama-tama mereka
mencari tahu, mengamati, menyelidiki apa yang dapat dilakukan benda atau alat
tersebut.
b. Tahap Alat Permainan (toy stage)
Usia prasekolah anak bermain dengan mainan dan menganggap dapat berkomunikasi
degannya, seperti dengan manusia, anak bercakap-cakap dan dengan boneka yang
disebutnya anaknya atau teman sekolahnya.
c. Tahap Bermain (play stage)
Ditahap ini anak sudah tahu berbagai jenis permainan bersama maupun sendiri
dengan alat permainan seperti bermain games, bermain ular tangga dan olah raga.
d. Tahap Melamun (daydream stage)
Tahap ini anak sudah merasa besar dan tidak cocok lagi dengan bermain mobilmobilan atau bermain dengan boneka, kecuali boneka empuk dan lucu untuk di pelukpeluk di kamar sambil menghayal dan melamun.