Anda di halaman 1dari 3

Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena

terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada
perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain
adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat
pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika
dengan cara membagikan apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature
balok-balok kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang
ahli bangunan.
Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai berikut:
1. Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman diantara tahun
1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan dari
kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan bermain-main apabila ia merasa capai
sesudah berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa “
me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh yang tengah lelah.
2.  Teori Pemunggahan ( Ontlading Stheorie ) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer, permainan
disebabkan oleh mengalir keluarnya enegi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan menumpuk apad diri
anak itu menuntut dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan itu energi tersebut “mencair”
dan “menunggah” dalam bentuk permainan.
Teori ini disebut juga sebagai teori “kelebihan tenaga” ( krachtoverschot-theorie ). Maka permainan
merupakan katup-pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan.
3.  Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall dengan pandangannya yang biogenetis menyatakan bahwa
selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase kemanusiaan. Permainan itu merupakan
penampilan dari semua factor hereditas ( waris, sifat keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis
manusia sepanjang sejarah akan diwariskan kepada anak keturunannya, mulai dari pengalaman hidup
dalam gua-gua, berburu, menangkap ikan, berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai
dengan menciptakan kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk
permainan-permainannya.
4.  Teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian hari Maria Montesori juga bergabung pada
paham ini ) : menyatakan bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macam-macam
fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan baik bagi anak untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu sendiri.
Sarjana William Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan taktik dan
manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia itu memiliki masa
remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri dan memperoleh kegembiraan.
5.  Teori Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongan- dorongan yang
tidak disadari pada anaka – anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang paling penting menurut 
Alder ialah : dorongan berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan seksual atau libidi sexualis. Alder
berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau kompensasi terhadap perasaan-
perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa disalurkan perasaan-perasaan yang lemah dan
perasaan- perasaan rendah hati.
6.  Teori fenomenologis, professor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan teori
fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan satu,
fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan. Dorongan bermain
merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus bertujuan untuk
mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi, tujuan
permainan adalah permaianan itu sendiri.
7. Teori Teleologi/Pembawaan (K. Groos & Roeles). Permainan merupakan kegiatan yang mempunyai
tugas biologis yang akan dipergunakan mempelajari fungsi hidup, penguasaan gerak, keingintahuan,
persaingan sebagai persiapan hidup dimasa yang akan datang.
8. Teori Surplus Energi (H. Spencer). Kelebihan tenaga yang dimiliki oleh seseorang akan disalurkan atau
dikeluarkan melalui kegiatan bermain atau permainan. Surplus/kelebihan tersebut meliputi: Kelebihan
energy, penyaluran emosi&vitalitas
9. Teori Rekreasi/Pelepasan (Lazarus & Schaller). Bermain sebagai perimbangan antara kerja dengan
istirahat. Kepenatan dan kejenuhan seseorang akan disalurkan melalui kegiatan bermain&berekreasi
sebagai pelepasan agar kesegaran jasmani&rohaninya segera kembali.
10. Teori Sublimasi (Ed. Clapatade). Melalui bermain seseorang yang memiliki insting/naluri yang rendah
berproses menuju perubahan menjadi perbuatan& tindakan kea rah yang lebih baik
11. Rekapitulasi / Evolusi / Reinkarnasi (Hall). Permainan merupakan kesimpulan dari masa lalu (anak
akan bermain permainan yang pernah dimainkan oleh nenek moyangnya), anak akan tumbuh secara
wajar jika ia mengalami tahap pertumbuhan dan perkembangan secara wajar sehingga perlu
diperhatikan dan didukung tahap perkembangan anak tersebut.
12. Teori Belajar Sosial. Manusia sebagai makluk monodualisme yaitu makluk individu dan makluk sosial.
Bermain dapat menjadi sarana atau media untuk bersosialisasi dan berinteraksi, berkomunikasi dengan
individu lain atau makhluk sosial 
13. Teori Psikoanalisa (Sigmund Freud). Bermain sebagai media, sarana, alat atau cara untuk
menyalurkan emosi-emosi dari dalam diri. Bermain juga sebagai media untuk belajar mengatasi
pengalaman traumatik atau frustasi.
14. Teori Kompensasi. Bermain selain berfungsi sebagai pengisi waktu luang dan penyalur rekreasi tetapi
tetapi menjadi kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan sebagai pertahanan hidup (sebagai
profesi).
15. Teori Kognitif (Piaget&Vygotsky). Bermain merupakan bagian atau tahap perkembangan kognitif (daya
tangkap, daya tiru, daya imajinasi daya ingat) yang harus dilalui oleh seorang anak. Bermain juga
merupakan sarana belajar berpikir dan mengungkapkan ide-ide (kreatifitas/daya cipta) maupun
imajinasi Tokoh Nasional Indonesia Ki Hadjar Dewantara, tentang bermain :yaitu : Bermain bagi anak
merupakan kodrat alam mempunyai pembawaan masing masing serta kebebasan untuk berbuat serta
mengatur dirinya sendiri.
Kekuatan kodrati yang ada pada anak ini tiada lain adalah suatu kekuatan dalam kehidupan lahir dan
batin anak yang ada karena kekuasaan kodrat (karena faktor pembawaan atau keturunan yang
ditakdirkan secara ajali).
Ki Hadjar Dewantara menaruh perhatian penuh terhadap permainan anak dalam kaitannya dengan
pendidikan Nasional. Permainan sesuai dengan jiwa anak sebagai pemenuhan daya khayal dan
dorongan bergerak, maka permainan merupakan faktor yang sangat penting untuk pendidikan yang
banyak diberikan di Taman Indrya, Taman Anak, dan Taman Muda.

Anda mungkin juga menyukai