Anda di halaman 1dari 3

APLIKASI TEORI DALAM BERMAIN

Teori-Teori dalam Bermain :


1. Surplus energytheory: Herbert Spencer

Teori bermain yang paling menonjol muncul dari karya filsuf dan sosiolog Inggris ini adalah
penguaraiannya tentang teori surplus energi yang menjelaskan alasan hewan terlibat dalam
kegiatan bermain. Spencer mengembangkan pandangan Schiller bahwa pada prinsipnya terdapat
hubungan antara bermain, seni, dan estetika. Dirinya percaya,perhatian dengan penampilan
estetika terwujud pada manusia yang bertindak atas dorongan“untuk mempertahankan
kenikmatan kebutuhan luar”dan dengan demikian dapat merangsang imajinasinya dalam
mewujudkannya. Kebutuhan luar dalam perspektif Spencer adalah perjuangan untuk bertahan
hidupdalam masa evolusi hewan. Hewan yang memiliki tingkat evolusi lebih rendah,
misalnya serangga, katak, dsb. memiliki sumber energi yang terbatas sehingga untuk
mempertahankan hidupnya harus mengeluarkan energi yang lebih besar.

2. Recreationtheory: Moritz Lazarus

Teori bermain ini kontra diktif dengan terori sebelumnya yang diajukan oleh Herbert Spencer.
Artinya, jika dalam pandangan Spencer, individu bermain untuk menyalurkan energi lebih
(surplus energy), maka Lazarus berdalil bahwabermain bukan untuk menyalurkan energi
lebih dalam diri individu, melainkan sebagai bentuk pemulihan (recorvery) dari energi yang
telah dikeluarkan oleh individu tersebut.Filsuf Jerman ini membedakan antara energi fisik
dan mental, poinnya adalah ketika otak menjadi lelah (asalkan tidak lelah berlebihan), maka
perubahan kegiatan teristimewa pada kegiatan fisik akan mengembalikan energi saraf
individu. Sehingga perbedaan penafsiran ini sangat jelas, jika Spencer mengutamakan pada
kegiatan fisik, maka Lazarus menggunakan media fisik untuk merelaksasikan otak atau
mental dari rutinitas kegiatan (misalnya dalam bekerja, dsb.). Lebih lanjut, recapilation theory
dapat diilustrasikan dengan pekerja (pemerintahan maupun swasta) bermain tenis setelah bekerja
sepanjang hari secara bersamaan membuang kelebihan energi fisik dan mengembalikan energi
mentalnya. Perjelasan ini semakin mempertegas bahwa manfaat dari kegiatan bermain tidak
hanya selalu dikonotasikan dengan melatih kekuatan otot semata, melainkan ada manfaat
rehabilitasi untuk kesehatan saraf dan mental individu.

3. Psychoanalytic theory: Sigismund S. Freud

Teori bermain psikoanalisis Freud, memandang bermain sama halnya dengan fantasi atau
lamunan. Dengan bermain anak dapat memproyeksikan ekspektasi,konflik, maupun pengalaman-
pengalamannya yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dalam kehidupannya. Hal
tersebut dilakukan sebagai upaya anak dalam memenuhi ekspektasi yang tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan nyata dengan mengatasi konflik dan pengalaman yang tidak
menyenangkan. Dengan bermain, anak telah mampu memproyeksikan fantasinya untuk
menjadi figur atau profesi yang diidamkan oleh anak tersebut di kemudian hari. Teknik ini
secara umum telah digunakan oleh sejumlah kalangan. Misalnya anak-anak yang ingin
menjadi seorang dokter, maka dirinya akan mememilih kegiatan-kegiatan bermain yang
menyerupai seorang dokter (pakaian, media, dsb.) dan memanipulasi lingkungan bermain
seperti di rumah sakit.Selain itu, bermain juga sebagai media yang penting untuk anak
menyalurkandan melepaskan emosinya serta mengembangkan penghargaan atas diri sendiri
ketika anak dapat menguasai tubuhnya, media, dan sejumlah keterampilan sosial lainnya pada
saat anak bermain.
4. Cognitive theory: Jean Piaget

Teori bermain kognitif Piaget menjelaskan anak mengembangkan kemampuan berpikirnya


menurut teori perkembangan kognitif Piaget dalam bermain adalah sebagai berikut: a)
Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa, oleh sebab itu guru/ fasilitator
menggunakkan bentuk komunikasi (bahasa) yang sesuai dengan karakteristik berpikir anak; b)
Anak akan bermain dengan baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik, guru
harus membantu anak mengakomodasi lingkungan tersebut sehingga anak dapat
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya secara optimal; c) Media yang dipelajari
anak hendaknya dirasakan sebagai media baru namun tidak asing baginya; d) Anak
diberikan kesempatan untuk bermain sesuai dengan tahapan perkembangannya tanpa adanya
intervensi lebih dari guru/ fasilitator; dan e) Pada saat bermain, hendakanya anak-anak
diberikan kesempatan untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan teman-temannya
untuk mengafirmasi keterampilan berpikirnya.

Anda mungkin juga menyukai