Anda di halaman 1dari 15

BAB 15

Terhadap Model Praktis Konseling Islami

Pendahuluan

KONSELOR menggunakan “model” atau representasi untuk membantu mereka memahami


masalah diri manusia dan bagaimana membantu klien untuk mencapai kehidupan yang lebih
berhasil dan memuaskan. Dalam bab-bab sebelumnya, telah disampaikan bahwa penerapan
beberapa elemen dari pendekatan konseling arus utama untuk intervensi terapeutik sering tidak
sesuai dengan kondisi klien Muslim (al Abdul-Jabbar dan al-Issa, 2000; Azhar dan Varma
(2000); Banawi dan Stock ton, 1993; Carter dan el-Hindi, 1999; Haque, 2008, 2010). Namun,
dengan munculnya psikologi Islam dan semakin banyak literatur tentang konseling Islam,
sekarang ada penelitian yang lebih kritis dari dasar teoretis dan pendekatan yang diperlukan
untuk membentuk model kerangka intervensi dalam konseling Islam. Ini menyebabkan
munculnya beberapa model konseling Islam berdasarkan pada ideologi dan pendekatan yang
berbeda. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk konseling Islam ada lah dengan
dimasukkannya aspek-aspek yang baik dari konseling arus utama dan menggabungkannya
dengan ajaran dari al-Qur'an dan Sunnah. Bab ini bertujuan untuk membahas model atau
pendekatan yang berbeda untuk konseling Islam dan menguraikan kerangka kerja untuk prakit
konseling Islam.

Model-model konseling Islam

Dari perspektif sejarah, model tradisional konseling Islam disampaikan dalam berbagai
bentuk, dan yang paling umum adalah "pemberian nasihat" dan "berbagi hikmah". Islam
menekankan nilai keikhlasan dan nasihat yang tulus dalam hubungan sesama Muslim: 'Nabi saw
bersabda (tiga kali), "Agama adalah nasihat yang tulus dan keikhlasan." Kami berkata, "Kepada
siapa?" Beliau berkata, "Kepada Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan kepada para pemimpin
Muslim dan masyarakat umum (Muslim, n.d.). Kepala suku, para lanjut usia atau pemimpin
agama me nawarkan jaringan dan sumber daya dukungan penting untuk membantu masalah
individu dan keluarga.

Abdullah (2007) telah mengidentifikasi tiga pendekatan untuk konseling: (1) penyembuhan
tradisional (model budaya), (2) hukum personal Muslim (Muslim Personal Law) (MPL) dan (3)
Sufisme.

Penyembuhan tradisional dalam komunitas Muslim secara luas diprak tikkan oleh tabib,
Sheikh atau Imam setempat untuk memahami masalah psikologis atau spiritual yang disebabkan
oleh mata jahat atau roh (jin) yang merasuki. Jenis praktik penyembuhan ini terbukti memiliki
nilai te rapi yang sama dengan pendekatan konseling arus utama (al-Krenawi dan Graham, 1997)
dan banyak yang masih mengakses layanan jenis ini di dunia Muslim (al-Rawi et al., 2011;
Azaizeh et al., 2010; Edwards, 2011; Ypinazar dan Margolis, 2006, hlm. 780). Namun, banyak
dari ritual pe mulihan tradisional mencakup sihir dan ilmu hitam, yang tidak dapat di terima
dalam ajaran Islam karena mereka tidak sesuai dengan ajaran da lam al-Qur'an dan Sunnah, dan
bahkan dilarang di negara-negara Muslim tertentu (al-Issa, 2000).
Abdullah (2007) telah mengidentifikasi model konseling Islam lainnya berdasarkan MPL:
'Karena para imam biasanya menangani masalah per nikahan dan keluarga, hukum personal
Muslim (MPL) memberikan kerangka hukum untuk mengatur kehidupan keluarga dalam Islam,
dan sebagai dasar intervensi mereka (hlm. 45). Fokus dari jenis terapi ini terkait dengan hal-hal
seperti perceraian, penjagaan, hak asuh anak, dan warisan berdasarkan hukum Islam (Syari'ah).

Pendekatan lain dalam model konseling Islam didasarkan pada "su fisme" (Badri, 1979;
Jafari, 1993). Telah disimpulkan bahwa Sufisme dapat menimbulkan hasil terapeutik dan aspek
praktiknya, terutama dzikir, adalah bagian dari nasihat dalam MPL (model personal law) dan
pemu lihan tradisional Islam (Abdullah, 2007).

Prinsip-prinsip Sufisme dalam konseling kadang-kadang digabung kan dengan kosmologi,


numerologi, dan astrologi (Bakhtiar, 1994) dan peng gunaan praktik kebaktian, musik, puisi, dan
pengalaman mistik, termasuk cinta llahi oleh Rumi (Ozelsel, 2007; van Bruinessen dan Howell,
2007). Berbagai peran Sheikh Sufisme termasuk peran seorang psikolog/ kon selor/pekerja
sosial/ psikiater (Spiegelman et al., 1991).

Konsep "transnasional Sufisme dari bawah" sebagai bentuk konseling agama telah diusulkan
oleh Rytter (2014). Konsep ini ditunjukkan ketika keluarga migran mengalami periode
perubahan sosial yang radikal dan beralih ke Sheikh Sufisme di negara asal mereka untuk
mengikuti konse ling agama dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.

Model lain dari konseling Islam adalah yang dikembangkan oleh Ste- phen Maynard &
Associates (Dharamsi dan Maynard, 2010). Para penulis berpendapat bahwa model mereka
didasarkan pada al-Qur'an, Sunnah dan Ilmu Islam tentang Diri (Tassawuf). Menurut Maynard
dan Dharamsi (n.d.), konseling Islam didasarkan pada studi atau ilmu tentang diri dan pada
hubungan antara orang-orang, dunia, dan alasan keberadaan itu sendiri.

Dalam kerangka ini, kesehatan mental dianggap sebagai keadaan se imbang yang dinamis
antara aspek fisik dan spiritual seseorang. Dalam pendekatan holistik ini, menghadirkan masalah
merupakan sarana untuk pengembangan diri, dan melalui refleksi diri klien dapat
menyembuhkan diri mereka sendiri. Mereka menambahkan bahwa konseling Islam bukan
"menghakimi orang atau memberi mereka nasihat tentang Fiqh (hukum Islam) tetapi membantu
orang-orang untuk memfasilitasi mereka dalam mencapai potensi tertinggi mereka (konseling
Islam)".

Beberapa karakteristik model konseling Islam sebagaimana diajukan oleh Stephen Maynard
& rekan adalah: (1) pengetahuan diri; (2) melihat orang orang dalam hal potensi sejati mereka;
(3) kebaikan pada orang: (4) proses transformatit; dan (5) hubungan pertentangan. Model ini
diasumsikan didasarkan pada konsep Tauhid, dan konselor Islam mengambil peran multi-aspek
bahwa mereka memberikan nasihat, informasi, dukungan, konsultasi dan konseling tubuh,
pikiran dan jiwa bekerja dengan inter personal pada tingkat sosial dan/atau politik.

Keshavarzi dan Haque (2013) mengusulkan model konseling/psiko terapi untuk


meningkatkan kesehatan mental dalam konteks Islam. Mo del ini memiliki pandangan bahwa
budaya Islam umumnya bersifat kolektivis. Kerangka kerja model ini didasarkan pada
penggunaan kon septualisasi jiwa manusia oleh al-Ghazali, ke dalam empat aspek se seorang
yang menandakan identitas spiritualnya. Aspek itu adalah Nafs, Aql, Ruh dan Qalb (hati). Nafs,
mirip dengan konsepsi Freud tentang id, adalah kecenderungan bawaan yang diperoleh manusia
(lihat Bab 4). Aq! terkait dengan logika, alasan dan keyakinan intelektual yang diperoleh. Ruk
adalah roh dan Qalb adalah hati, kadang-kadang diistilahkan mirip dengan 'diri' dan 'jiwa'.
Namun, umat Islam juga diatur oleh tiga disiplin ilmu di mana mereka dituntut untuk terlibat
secara aktif, baik secara inte lektual maupun pengalaman, untuk menjalani kehidupan sebagai
Muslim yang sepenuhnya.

Disiplin-disiplin ini meliputi syahadat Islam (Aqidah), hukum (Figh), dan ilmu yang
ditujukan untuk memelihara jiwa (Tazikiyyah atau Tassarouf). Menurut Keshavarzi dan Haque
(2013), untuk menghilangkan penyakit hati, 'seseorang harus berupaya mengubah kecenderungan
Nafs ke arah yang baik, merestrukturisasi dan memperoleh pemikiran positif/moral.
Jon Agt dan memberi asupan roh melalui dzikir kepada Tuhan' (him. Tujuan praktisi dalam
model ini fokus pada intervensi pada salah sa level ini (Nafs, Ruh atau Aql) atau pada ketiga
level diri menuju hati ng sehat dan menuju aktualisasi diri sepenuhnya. Komponen dari mo dini
meliputi: aliansi terapeutik, menggunakan rasa ingin tahu untuk mengumpulkan informasi untuk
penilaian; penggunaan pendekatan di mint: dan pemberian nasihat. Selain itu, psikoedukasi,
terapi perilaku Lognitif terintegrasi, dan praktik penyembuhan spiritual adalah bagian dari
intervensi pengobatan.

Kekurangan dan kelebihan model Islami saat ini

Beberapa model teoretis konseling Islam yang dibahas di atas terbatas pada uraian filosofi,
asumsi, prinsip dan elemen dasar, konsep, strategi, dan tek yang mendasarinya. Sehubungan
dengan model teoretis inti, beberapa model ini memberikan informasi terbatas atau gagal
memenuhi kriteria berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
 Asumsi apa yang dibuat tentang sifat dan perkembangan manusia?
 Bagaimana masalah psikologis berkembang? Bagaimana model ini menjelaskan
kelangsungan masalah psikologis?
 Bagaimana model ini menjelaskan proses perubahan terapeutik? Apa rentang strategi
intervensi terapeutik yang dijelaskan dalam model inti?
 Bagaimana model ini mengatasi perbedaan nyata antara aspek teoretisdan praktis?
 Bagaimana perbandingannya dengan pendekatan konseling/ psiko-terapi lainnya?

Beberapa model sifatnya esoterik, dan sangat dipengaruhi oleh ideo logi dan praktik
Sufisme. Praktik penyembuhan spiritual Sufisme, termasuk ritual pelengkap dan supererogatory,
serta dianggap sebagai inovasi baru bid'ah). Para ulama Islam arus utama menganggap
melafadzkan dzikir berulang sebagai 'sufisme' yang tidak menyenangkan, yang dapat me dorong
pengalaman ekstatik, terutama dalam kinerja kelompok yang di mana orang dapat mewujudkan
ucapan mereka melalui gerakan tubuh yang empatik atau menemani mereka dengan tarian '(van
Bruins dan Howell, 2007, him, 7), Intervensi spiritual ini tidak konsisten dengan norma dan
praktik Islam dan kepercayaan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Model Keshavarzi dan Haque (2013) saat ini adalah model yang paling komprehensif dan
kuat untuk meningkatkan kesehatan mental Muslim dalam konteks Islam, Model ini bukan teori
yang digerakkan oleh teknik Namun, model ini memenuhi sebagian besar kriteria dalam
kaitannya de ngan filosofi, asumsi, konsep, strategi dan teknik. Satu kekuatan khus dari model
Keshavarzi dan Haque adalah ia tidak terikat pada teknik terapi tertentu, tetapi memang
meningkatkan hubungan konseling terapeutik kolaboratif.

Pendekatan ini mampu memperkuat pertumbuhan dan pengembang. an pribadi klien, dan
membantu klien menyelesaikan perjuangannya da lam pengembangan spiritual mereka. Model
ini bersifat psikososial dalam orientasinya dan lebih dekat dengan intervensi praktis yang
konsisten dengan pandangan Islam tentang berbagai elemen manusia. Model ini memberikan
konselor seperangkat prinsip dan konstruksi yang berfungsi sebagai panduan untuk dasar
melaksanakan praktik konseling Islam. Dalam model konseling Islam Keshavarzi dan Haque
(2013), penulis mengidentifikasi beberapa keterbatasannya. Mereka menyatakan:
model ini tidak didalilkan cukup komprehensif sebagai petunjuk untuk mengatasi gangguan
dalam masyarakat Muslim, juga tidak menawarkan pe mahaman yang memadai tentang berbagai
presentasi patologi klinis yang akan memerlukan akomodasi atau penyesuaian dalam penerapan
modelnya (hlm. 246)

Seperti yang dicatat Rogers, setiap teori, termasuk teorinya sendiri. mengandung "sejumlah
kesalahan dan kesimpulan tak akurat yang tidak diketahui (dan mungkin pada saat itu belum
bisa/ tidak diketahui)". Dia percaya bahwa sebuah teori harus berfungsi sebagai stimulus untuk
ber gkir kreatif lebih lanjut. Selain itu, Keshavarzi dan Haque (2013) meng lam bahwa model
mereka juga sangat bergantung pada investasi agama in motivasi klien. Dengan demikian, jika
seseorang tidak dikenali sebagai seorang Muslim sama sekali, maka banyak dari model ini
mungkin tidak dapat diterapkan, kecuali jika pendekatannya dipertahankan, tetapi dise kularisasi
(hlm. 246). Dikatakan bahwa, meskipun motivasi klien sedikit, dan sangat baik untuk
memungkinkan atau 'mendorong klien dari ta hap pra-kontemplasi ke tahap kontemplasi
(Prochaska dan Velicer, 1997; Prochaska et al., 1992) dalam kaitannya dengan kesiapan untuk
berubah.

Selain itu, model ini tidak sesuai untuk masyarakat non-Muslim yang mungkin akan lebih
mendapat manfaat dari konseling berorientasi Barat. Selain itu, bagaimana Anda mensekulerkan
pendekatan yang berorientasi dam dan yang memiliki pengembangan spiritual sebagai dimensi
intinya dalam proses konseling?

Apa yang tidak jelas dengan model ini adalah penerapannya, dalam praktik, bagi mereka
yang mengalami diagnosis ganda dan mengalami gangguan kepribadian. Lebih lanjut, bukti
menunjukkan bahwa penyem buhan tradisional Islam berfungsi terutama untuk mengobati gejala
neu nuk sebagai lawan dari penyakit mental atau fisik yang parah di mana ia akan gagal (Razali,
1999).

Selain itu, model ini mengasumsikan tingkat kemampuan verbal se hingga perlu disesuaikan
untuk digunakan dengan klien dengan keteram pilan verbal yang terbatas. Perbaikan lebih lanjut
perlu dilakukan untuk membuat penerapannya lebih layak dalam situasi yang berbeda dengan a
masalah psikososial dan spiritual.

Terhadap model praktik konseling Islami


Model praktik konseling adalah kumpulan ide, pengetahuan, nilai nilai dan aplikasi praktik
mengenai konseling yang menentukan cara konselor menggunakan struktur tertentu untuk
menangani klien mera Model praktik konseling Islam adalah adaptasi yang didasarkan pada mo
del praktik kerja sosial Barise (2005), yang mengintegrasikan proses kerja sosial dan kerangka
kerja konseptual untuk membantu, memecahkan ma salah dan mengubah dengan menggunakan
pandangan Islam. Penting untuk melihat model praktik konseling Islam sebagai alat untuk proses
konseling, daripada sekadar sebagai kaku untuk menjalankan praktik konseling. Model praktik
konseling Islam disajikan pada Gambar 15.1.

Model sebelas tahap ini telah dikonseptualisasikan untuk berbagai perilaku bermasalah dan
strategi intervensi. Model yang diusulkan terdiri dari konsep-konsep yang dipilih (Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah, n.d.) dan didasarkan pada tahapan-tahapan sebagai berikut: pencerahan (Qauman)
dan niat (Niyyah); konsultasi (Istisharah); kontemplasi (Tafakkur); mencari bimbingan
(Istikhara); keputusan yang disengaja ("Azm); visi tujuan-dan rute (Basirah); kepercayaan
mutlak pada Tuhan (Al-Tawakkul-Allah); aksi ("Amal); mencari bantuan (Isti'uanah); swa-
monitor (Muraqabah); dan evaluasi diri (Muhasabah).

Model praktik konseling Islam adalah model sirkular (atau spiral) bu kan model linier.
Secara umum, diasumsikan bahwa ketika satu tahap se lesai, klien akan beralih ke tahap
berikutnya. Sementara ini adalah suatu kemungkinan, lebih dimungkinkan bahwa klien dapat
melalui beberapa siklus perenungan (Qafnah) kontemplasi (Tafakkur) dan visi tujuan dan rute
(Basirah) sebelum mencapai tindakan ('Amal) atau keluar dari sistem tanpa pencapaian dari
tujuan yang diinginkan dan diizinkan. Tahap-tahap ini tidak digambarkan secara jelas, dan
banyak tahapan harus dialami kembali atau disesuaikan kembali, sebagian atau seluruhnya, dan
klien melewati proses konseling, dan masuk dan keluar pada tahap mana pun dan sering berulang
beberapa kali seperti tergambar pada diagram berikut:
Seeking God’s Assistane = Mohon Petunjuk Tuhan
Putting Trust In God = Yakin Kepada Tuhan
Awakening Intention = Niat Untuk Bangkit
Self-Evaluation = Evaluasi Diri
Self-Monitoring = Pemantauan Diri
Action = Tindakan
Decision = Keputusan
Goal And Route Vision = Visi Rute Dan Tujuan
Contemplation = Perenungan
Consultation = Konsultasi

Salah satu manfaat utama model praktik konseling Islam adalah ia cukup fleksibel untuk
memungkinkan konselor mengatasi keragaman bu daya Muslim. Namun, model praktik ini
didasarkan pada asumsi bahwa klien adalah seorang Muslim, karena model ini condong ke arah
perspek teologis Islam dan orientasi model praktik. Barise (2005) menyatakan bah wa konselor
harus menyadari, dan menghormati tingkat religiositas klien yang berbeda dalam komunitas
Muslim, dan klien harus diizinkan untuk memilih sampai sejauh mana mereka ingin mematuhi
model ini.

Dalam konteks ini, konselor dapat membantu klien yang menghadapi isu-isu untuk merasa
seolah-olah nilai-nilai agama mereka adalah bagian yang diterima dari proses konseling, dan
karena itu me rupakan bagian penting dari solusi untuk memecahkan masalah juga (Po dikunju-
Hussain, 2006).

Model praktik yang diusulkan juga sesuai untuk klien yang tidak termotivasi untuk berubah,
karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan psikologis dan spiritual klien. Model yang diusulkan
memungkinkan ke terlibatan anggota keluarga, karena sangat penting bagi konselor untuk
terbiasa dengan harapan budaya keluarga yang lebih luas (Springer et al., 2009). Keterlibatan
keluarga dalam proses konseling memungkinkan ang gota keluarga memahami apa yang dialami
klien, sehingga menghasilkan dukungan psikososial dan spiritual yang lebih baik bagi klien.

Konsep yang dipilih untuk dimasukkan dalam model praktik konse ling Islam adalah
kontrak (Musharata) (al-Ghazali, 1853/1986). Kontrak ini, dalam konteks model yang diusulkan,
ada dua. (1) Kontrak pribadi; dibuat untuk memenuhi tujuan yang diidentifikasi. Tujuan yang
diidentifikasi, target terapi, dinegosiasikan antara konselor dan klien selama tahap kon templasi
(Tafakkur) proses konseling (lihat di bawah). Selain itu, kontrak profesional atau kesepakatan
bersama juga dinegosiasikan antara konselor dan klien. (2) Kontrak profesional;
mengartikulasikan tanggung jawab konselor dan klien dalam hubungan terapeutik dan proses
konseling.

Kontrak dapat mencakup masalah kode etik, kerahasiaan, batasan, lamanya sesi konseling,
biaya (jika perlu), pembatalan sesi, diberikan secara gratis persetujuan untuk kontrak ini, catatan,
dan pemutusan kontrak. Kontrak ini disahkan oleh klien dan konselor.

Tahap kebangkitan (Qawmah) dan niat (Niyyah)

Qawmah, yang berarti bangkit atau tersadar, adalah bagian dari tahap Tahap pertama model
praktik konseling Islam. Qawmah sering kali membuat Alim mencari bantuan profesional. Pada
awalnya, penting bagi konselor untuk menilai kesiapan klien untuk berubah.

Model trans-theoretical (Prochaska dan Velicer, 1997; Prochaska et al., 1992) adalah model
integratif di mana perubahan perilaku dipandang se bagai proses individu pada berbagai tingkat
motivasi atau tahapan untuk melakukan 'kesiapan' demi perubahan (pra-kontemplasi,
kontemplasi, persiapan, tindakan, dan penjagaan). Berbagai intervensi dapat digunakan untuk
memfasilitasi transisi dari tahap-tahap perubahan yang berbeda. Ini Jermasuk dukungan,
konseling, wawancara motivasi (Miller dan Rollnick, 2002, dan terapi perilaku kognitif.

Menurut Barise (2005), Qawmah merujuk pada klien yang menyadari perlunya perubahan
dan masalah yang harus diselesaikan. Dengan me nerapkan tahap-tahap model perubahan, klien
dalam tahap Qawmah ber ada dalam fase kontemplasi, persiapan, dan tindakan.
Klien pada tahap pra-Qawmah (pra-kontemplasi) dapat menyangkal atau gagal
mengidentifikasi bahwa mereka memiliki masalah karena kurangnya pengetahuan dan tidak
ingin mempertimbangkan adanya perubahan. Untuk klien, dampak dari masalah belum
sepenuhnya disa dari, atau mereka telah merasa putus asa akan kemungkinan adanya per ubahan.
Bahkan, beberapa klien mungkin tidak akan berubah karena me reka percaya mereka tidak bisa
berubah.

Adalah peran konselor untuk memfasilitasi atau 'mendorong' klien dari tahap pra-Qawmah
ke tahap Qawmah (dari pra-kontemplasi ke kontem plasi). Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah (n.d.)
menyatakan bahwa salah satu tanda Qawmah "adalah kepekaan terhadap berlalunya waktu
karena orang tersebut menyadari bahwa tidak ada waktu untuk dihabiskan lagi.

Resolusi untuk mengubah kebiasaan atau lingkungan negatif adalah ha dari Qawmah, dan
klien perlu memulai perjalanan transformasinya.

Niat perilaku (Niyyah) adalah komponen utama dari model prakt konseling Islam. la
memiliki kolaborasi erat dengan Qawmah. Mak niat (Niyyah) dan turunannya ditemukan dalam
al-Qur'an. Kata-kata berarti kehendak (al-iraada), tujuan (al-qasd) dan tekad (al-azm). Semua
kats ini menunjukkan "mereka ingin melakukan atau tidak melakukan s yang spesifik" dan
menunjukkan pengetahuan dan tindakan (Zarabo 2008, hlm. 98). sesuatu

Konsep niat (Niyyah) dalam Islam adalah komponen penting dan esensial dalam
memengaruhi perbuatan dan tindakan. Dasar dari tiap tindakan manusia terletak pada niat
mereka. Umat Islam meyakin pentingnya niat dan pentingnya pengingat atas perbuatan mereka,
baik d dunia ini maupun di akhirat, di mana keaslian dan penerimaan perbuatan bergantung.

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah (n.d.) mengartikan niat sebagai "penge tahuan pelaku tentang
apa yang dia lakukan, dan apa tujuan di balik fin dakan ini]". Dia menyatakan bahwa pelaku
yang cerdas tidak melakukan apa pun tanpa terlebih dahulu memahami dan menginginkannya.
"Ini adalah kenyataan niat, bukan sesuatu yang eksternal untuk konseptualis orang dan tujuannya
untuk melakukannya" (Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah n.d.).

Al-Suyooti menyatakan: "Niat menggambarkan kekuatan pendo dalam hati terhadap ketika
orang tersebut tampaknya berkenan dengan apa yang dia inginkan, baik yang membawa
kebaikan atau membahayakan, di saat ini maupun di masa depan"? Ucapan penting dari Nabi
Muhammad saw adalah "Sesungguhnya, semua tindakan hanyalah didorong oleh niar". Ya itu,
perbuatan adalah aspek eksternal, dan niat di belakangnya adalah as pek internal. Zarabozo
menjelaskan ini sebagai berikut:

Pertama, harus ada pengetahuan tentang tindakan yang ingin dilakukan seorang. Maka
tindakan harus diikuti, selama tidak ada faktor pencegah. Faktanya, tidak ada tindakan yang akan
diselesaikan kecuali ia memiliki tiga Lomponen: pengetahuan tentang tindakan, keinginan
melakukan tindakan, dan kemampuan untuk melakukan tindakan. (2008, hlm. 106-107).

Tahap konsultasi (Istisharah)


Istisharah (konsultasi) adalah proses mengumpulkan informasi yang relevan tentang masa
lalu klien dan masalah yang diajukan klien. Kon glor berkonsultasi dengan semua sumber
informasi yang tepat, mulai da klien, keluarga, atau orang lain yang penting dan relevan.

Bentuk konsultasi ini meliputi proses penilaian. Penilaian konseling berfokus pada
pengumpulan informasi tentang kebutuhan bio-psikososial dan spiritual klien. Penilaian harus
mencakup pernyataan masalah yang ida sejarah perkembangan dan pendidikan, sejarah keluarga,
penilaian kesehatan mental, dan penilaian risiko (jika perlu).

Remeriksaan mental/psikologis difokuskan pada faktor-faktor kogni efektif dan perilaku


(penampilan, pikiran, perasaan, wawasan, dan lain lan) dan pengamatan selama periode waktu
tertentu. Proses penilaian dapat ditingkatkan melalui gaya interaksi, yang harus bersifat non-kon
frontatif, empatik, dan menghormati pengalaman subjektif klien. Upaya untuk melakukan
pendekatan konfrontasional dan menghakimi dapat memperburuk potensi klien untuk
melepaskan diri dari proses penilaian dan konsultasi.

Tahap kontemplasi/perenungan (Tafakkur)

Tahap keterlibatan berikutnya dengan klien adalah tahap Tafakkur, yang sering
diterjemahkan sebagai perenungan/ kontemplasi (Badri, 200), atau refleksi diri. Menurut Barise
(2005), Tafakkur, dalam konteks ini, berarti proses berpikir yang lebih luas yang memerlukan
perenungan dan refleksi. Tahap kontemplasi, refleksi dan perencanaan kebutuhan klien
melibatkan pengembangan rencana dan merupakan komponen kunci dari proses konseling
terstruktur.

Konselor dan klien terlibat dalam proses menganalisis 'masalah atau isu, menetapkan tujuan
yang realistis, dan secara tentatif mengidentifikasi strategi intervensi yang sesuai. Namun,
efektivitas rencana didasarkan pada keterlibatan klien selama proses penilaian dan konseling, dan
s cara aktif terlibat dalam perumusan tujuan yang diidentifikasi. Barise (2005) juga
mengemukakan bahwa, jika masalah yang identifikasi adalah masalah primer dan sekunder yang
bersifat psikologis, kognitif, sosial atau biologis, masalah utamanya sering kali akan bersifat
spiritual.

Selain aspek-aspek analisis dan perencanaan, pada tahap ini, klien harus "merefleksikan
ciptaan Tuhan dan karunia-Nya yang tak terhitung untuk mempertajam visinya dan secara
spiritual memperkuat motivasi nya" (Barise, 2005), Perenungan Islam, di samping mencapai
manfaat me ditasi yang sifatnya menenangkan, berbeda secara mendasar dari prosedur meditasi
Timur karena tujuan utamanya lebih kognitif dan intelektual.

Perenungan Islam berasal dari perintah al-Qur'an dan bertujuan un tuk mencari pengetahuan
mendalam tentang Allah sebagai Sang Pencipta dan Penjaga alam semesta (Badri, 2000). Badri
(2000) menyatakan bahwa ada tingkat kontemplasi individu yang bervariasi dalam derajatnya
yang ditentukan oleh faktor pribadi, sosial, budaya dan lingkungan. Dia ber pendapat bahwa
faktor penentu dalam kedalaman proses perenungan/ kontemplasi adalah tingkat keyakinan
seseorang, yaitu, iman yang dalam dan kesadaran akan Tuhan adalah "tulang punggung"
kontemplasi.
Tahap pencarian petunjuk (Istikharah)

Setelah refleksi dan kontemplasi yang diprakarsai oleh konselor, tahapselanjutnya adalah
pencarian bimbingan dari Allah yang Mahakuasa Ibnu Hijr berkata: "Istikharah adalah sebuah
kata yang berarti meminta Allah untuk membantu seseorang membuat pilihan, artinya memilih
yang terbaik dari dua hal di mana seseorang perlu memilih salah satunya. Artinya, setiap kali
seorang Muslim ingin membuat keputusan penting distankan untuk berkonsultasi dengan orang
lain juga (konselor/imam) sebelum shalat Istikharah

Al-Nawawi mengatakan: Dianjurkan, sebelum shalat istikharah, untuk berkonsultasi dengan


seseorang yang Anda kenal, peduli dan memiliki pengalaman, dan yang dapat dipercaya terkait
komitmen dan pengetahuan keagamaannya. Allah berfirman (terjemahnya);

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan in ('Ali Imran,3:159)

Nabi Muhammad saw bersabda: "Jika salah satu dari kalian bingung dengan keputusan yang
harus diambilnya, maka hendaklah dia shalat su nah dua raka'at, kemudian katakan: "Ya Allah,
aku memohon petunjuk Mu (dalam membuat pilihan] berdasarkan pengetahuan-Mu, dan aku
memohon kemampuan berdasarkan kekuatan-Mu, dan aku memohon dari karunia besar dari-Mu.
Engkau Yang Maha Kuasa, aku hamba-Mu yang lemah. Dan Engkau Maha Tahu, aku tidak tahu.
Engkaulah Maha Mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Ya Allah, jika Engkau berkehendak, hal
ini (maka harus disebutkan masalahnya) baik untuk saya di dunia ini dan di akhirat (atau: dalam
agamaku, pekerjaanku dan urusanku), maka perkenankanlah untukku, buatlah mudah bagiku,
dan berkatilah aku. Dan jika menurut-Mu, itu buruk bagiku dan bagi agamaku, pekerjaanku dan
urursanku (atau: untukku baik di dunia ini dan akhirat), maka berpalinglah aku dari hal itu, [dan
jauhkanlah dariku), dan berikan bagiku kebaikan di mana pun berada dan membuatku senang
dengannya". (Bukhari, dalam islamqa (a), n.d.).

Transliterasi bahasa Arab-nya adalah sebagai berikut:

Allaahumma inni astakheeruka bi ilmika wa astaqdiruka hi qudratika wa as'aluka min


fadlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdir, wa ta'lamu wa laa a'lam, wa anta 'allam al-ghuyooh
Allahumma fa in kunta talamu haadha'i amra (sebutkan urusan Anda) khayran li fi 'aajil amri
wa aalihi (or: fi deeni wa ma'aashi wa 'aaqibati amri) fagdurhu li wa yassirhu li thurmma
baarik li fihi. Allahumma wa in kunta ta'lamu annahu sharrun li fi deeni wa ma'ashi wa'aaqibati
amri (or: fi 'ajili amri wa aajilihi) fasrifni 'anhu [wasrafhu 'annu] waqdur li al-khayr haythu
kaana thumma radini bihi.

Masalah Istikharah terbatas pada hal-hal yang diperbolehkan, disukai atau didorong ketika
ada keputusan yang harus diambil tentang mana yang harus diprioritaskan. Hikmah di balik
pelaksanaan Istikharah adalah:

takwa pada Allah dan menunjukkan praktis seseorang tidak memiliki kel atan dan tidak
memiliki kekuatan sendiri. Itu berarti kita harus berbalik pada Allah dan berusaha
menggabungkan kebaikan dunia ini dan akhirat. Untuk mencapai hal itu, seseorang harus
mengetuk pintu rezeki dari Allah SWT dan tidak ada yang lebih bermanfaat dalam hal ini selain
shalat dan berrdoa, karena perbuatan itu memuliakan Allah, memuji-Nya, dan mengungkapkan
kebutuhan seseorang akan kehadiran-Nya. Kemudian setelah shalat istikharah, seseorang harus
melakukan apa yang menurutnya terbaik (islamqa [b], n.d.).

Para ulama sepakat dengan suara bulat bahwa bagi umat Islam yang memohon petunjuk
untuk membuat keputusan yang benar dari Allah adalah sunnah, dan wajib untuk percaya pada
apa yang telah Nabi saw katakan kepada kita, dan untuk mematuhi perintahnya. Al-Qur'an
berbicara tentang pentingnya sunnah Nabi, misalnya: Allah berfirman (terjemahnya):4:80).

Siapa mematuhi Rasulullah, sungguh telah mematuhi Allah. (an-Nisa’,4:80)


Wahai orang beriman! Taatilah Allah dan utusan-Nya. (an-Nisa’,459)

Keempat mazhab fiqh Islam sepakat bahwa shalat mohon petunjuk ditentukan dalam kasus-
kasus di mana seseorang tidak tahu keputusan tepat yang mana untuk menyelesaikan konflik dan
ambivalensi belum diselesaikan. Orang yang ingin shalat Istikharah harus memiliki pikiran buka
dan belum memutuskan tindakan tertentu.

Tahap visi rute dan tujuan (Basirah)

Setelah melaksanakan shalat mohon petunjuk, klien mematuhi tujuan dan strategi tindakan
yang mengkristal dan dia merasa nyaman dengan hal itu (Barise, 2005). Ini melibatkan
klarifikasi tujuan dan tindakan dari peta jalan dan tetap patuh pada strategi perubahan tersebut.
Dalam proses ini, klien mencapai Basirah atau visi tujuan dan rute. Barise (2005) menyatakan
bahwa:

melalui perenungan klien membayangkan manfaat spiritual yang akan dia dapatkan dan
kesenangan yang akan dia rasakan, baik di kehidupan ini maupun di akhirat. Dengan kata lain, ia
membayangkan manfaat dari masa lah yang telah dipecahkan dan bagaimana ini akan menambah
tujuan akhir kehidupan, yaitu menyembah Allah untuk mencapai kebahagiaan dan ke sejahteraan
sepenuhnya di dunia ini dan di akhirat.

Tahap keputusan yang diniatkan ('Axm)

Ini adalah tahap selama proses konseling di mana konselor memta silitasi atau mendorong
klien untuk membuat keputusan untuk bertindak ("Azm). Ini sesuai dengan tahap persiapan (niat
untuk mengubah perilaku) dari model perubahan (Prochaska et al., 1992).

Tahap ini adalah kesiapan untuk mengubah periode, yang merupakan langkah terakhir dalam
tahap perencanaan tindakan, di mana klien ber gerak menuju tujuan dan intervensi yang
diinginkan. Selama tahap ini, be berapa klien dapat bereksperimen dengan perubahan kecil
karena tekad mereka untuk berubah akan meningkat. Tahap ini menggabungkan niat dan tekad
dan klien akan siap serta berkomitmen untuk bertindak.

Komitmen untuk berubah tanpa keterampilan dan kegiatan yang te pat dapat membuat
rencana tindakan menjadi rapuh dan tidak lengkap. Intervensi konselor, dengan memberikan
solusi konkret dan meningkatkan harga diri dan kemandirian klien, penting dilakukan. Dalam
beberapa ka sus, klien tidak punya pilihan selain mengubah perilaku awalnya yang tidak
diinginkan, menuju perilaku yang lebih dapat diterima, dir dan diinginkan Karena klien sangat
termotivasi dan memiliki kepa untuk berubah, resistensi cenderung bisa terjadi. Dikatakan bahwa
Ass tidak mengesampingkan fleksibilitas dalam tujuan dan strategi indika yang diperlukan ketika
keadaan berubah atau kebutuhan baru mine (Barise, 2005)

Tahap penyerahan diri kepada Tuhan (Al-Tawakkul-Allah)

Begitu pengambilan keputusan aichir telah terjadi. klien harus yakin pada keyakinan mutlak
pada Tuhan. Tawakkal adalah bagian mendasar dan kepercayaan Islam dan diartikan sebagai
kepercayaan atau ketergantung Menempatkan kepercayaan kita kepada Tuhan terkait dengan
keimanan dan berkontribusi pada pandangan kita tentang kehidupan ini. Untuk mem perjelas hal
ini, Allah berfirman dalam al-Qur'an (terjemahnya):

Lalu, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertakwalah kepada Allah Sungguh Allah
mencintai orang yang bertawakal. (Ali Imran, 3: 159).

Ada ayat-ayat lain dari al-Qur'an yang secara jelas memerintahkan umat Islam untuk yakin
dan percaya pada Tuhan dalam kehidupan mereka (65: 3; 3: 160; 9: 51; 26: 21). Dengan
memegang kepercayaan mutlak pada Tuhan, individu perlu menyadari fakta bahwa hanya Tuhan
yang dapat mengendalikan alam semesta dan kebaikan dan keburukan hanya ada di tangan-Nya.
Oleh karena itu, tindakan kita dan sumber daya material yang tersedia bagi kita tidak menjamin
hasil dari segala usaha yang sudah kita lakukan.

Manfaat psiko-spiritual Tawakkal adalah klien akan merasa lega dan diberdayakan karena
apa pun cobaan atau kesengsaraan yang dialam klien, Tuhan telah menetapkannya. Namun, ada
kesalahpahaman bahwa karena kepercayaan dan keyakinan kita pada Tuhan, kita tidak perlu me
lakukan upaya keras untuk mengubah sikap dan perilaku kita. Kisah Nabi saw berikut ini
menggambarkan hal tersebut

Suatu hari Rasulullah memperhatikan seorang "Badu (suku Arab gu Tun) meninggalkan
untanya tanpa mengikatnya, dan beliau bertanya kepa danya Mengapa engkau tik mengikat
utamu? Si Balui menjawab Saya yakin pada Tuhan saya, Nabi sao lalu berkata, Bat untamu
terlebih damu, lalu percayakan urusanmu pada Allah. (Tirmidzi, dikutip dalam islamhelpline,
n.d.),

Barise (2005) menunjukkan bahwa, meskipun kepercayaan mutlak kepada Tuhan ditekankan
setelah pengambilan keputusan itu terus digu nakan sepanjang tahapan proses konseling yang
berbeda.

Tahap bertindak (Amal)

Selama tahap perubahan ini, klien mulai mengambil tindakan lang sung untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Proses ini melibatkan niat dan pelaksanaan rencana tindakan,
Pencapaian tujuan-tujuan yang mereka inginkan tidak dapat direalisasikan kecuali jika
menghasilkan perubahan dalam perbaikan diri di dalam dan di luar. Itu membutuhkan tindakan
yang tepat sesuai dengan apa yang dimaksudkan dan dipahami dari tahap sebelumnya. Sering
kali, tindakan yang dilakukan gagal karena langkah langkah sebelumnya tidak diberikan cukup
pemikiran atau waktu.

Pencapaian tujuan-tujuan kecil harus dihargai atau diperkuat. Pe nguatan dan dukungan
sosial sangat penting dalam membantu menjaga langkah positif menuju perubahan. Dukungan
perlu diberikan oleh ke luarga dan konselor. Pada tahap ini, klien harus bisa mandiri setelah me
naruh kepercayaan penuh pada Tuhan. Allah berfirman dalam al-Qur'an (terjemahnya).

Barang siapa mengerjakan kebaikan, maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan barang
siapa mengerjakan keburukan, menjadi tnaggungannya sendiri dan Tuhanmu tidak mendzalimi
hamba-hamba-Nya. (Fussilat, 41:46)

Tahap pencarian bantuan (Isti'aanah)

Pencarian bantuan atau Isti'ainak adalah salah satu proses utama yang dilakukan di semua
tahapan model praktik konseling Islam Men nut Barise (2005), Istiaanah merujuk pada memohon
bantuan Tuhan da lam proses penyelesaian masalah. Selama masa ujian dan cobaan, bag
kebanyakan Muslim, Tuhan adalah sumber utama bantuan Orang-orang Muslim mencari
kenyamanan dan bimbingan melalui kalam Allah dalam al-Qur'an. Allah mengingatkan kita
bahwa semua orang akan diadili dan diuji dalam kehidupan, dan menyerukan umat Islam untuk
menanggung cobaan ini dengan 'sabar dan shalat. Allah berfirman dalam al-Qur'an
(terjemahnya):

Dan mohon pertolongan (kepada Allah) melalui sabar dan shalat, dan sesungguhnya,
(shalat) itu berat keculai bagi yang khusyuk [kepada Allah). (al-Baqarah, 2:45).

Wahai orang-oran beriman, mohonlah pertolongan melalui shalat dan sabar.


Sesungguhnya, Allah bersama orang yang bersabar, (al-Baqarah, 2 153).

Dari perspektif Islam, umat Islam diserukan untuk memberikan ke percayaan mereka kepada
Tuhannya, dan tidak boleh putus asa. Namun, memohon bantuan dari Tuhan tidak berarti bahwa
klien tidak boleh me mohon bantuan dari konselor atau imam untuk mengatasi masalah ke luarga
dan masalah pribadi. Jika perlu, memohon bantuan dari orang lain perlu dianjurkan kepada klien
asal mereka hanya dilihat sebagai sarana, dan Tuhan sebagai Pemberi bantuan utama.
Berkonsultasi dengan orang lain adalah bagian dari praktik Islam sebagaimana ditekankan dalam
Sun nah Nabi. Tuhan menyebutkan berkonsultasi dengan orang lain mengenai suatu urusan
sebagai suatu sifat positif dari orang beriman yang saleh da lam al-Qur'an (terjemahnya):

Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedangkan
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan
sebagian rezeki yang Kami berikan kepad mereka. (Ash-Shura, 42:38).
Orang beriman menyeru kepada Tuhan dan berdoa dalam shalat minimal 17 kali sehari
semalam. Mereka berkata: Hanya kepada Engkau kami menyembah dan kepada Engkau kami
mohon pertolongan (al-Fatihah, 1:5).

Tahap pemantauan diri (Muraqabah)

Muraqabah atau pemantauan diri adalah proses utama yang men cakup semua hal yang
digunakan di semua tahapan model praktik kon Islam. Baskett (1985) mendefinisikan
pemantauan diri sebagai "ke mampuan untuk menyadari dan memberi label yang benar pada
perilaku seseorang sendiri" (him. 107), Pemantauan diri digunakan dalam proses konseling, baik
sebagai strategi intervensi dan sebagai cara untuk me agumpulkan data untuk mengevaluasi
efektivitas intervensi Pemantauan diri memungkinkan klien untuk mengamati perilakunya dari
tahap awal hingga implementasi rencana aksi.

Tahap ini terdiri dari; pengamatan diri (misalnya, refleksi diri dan me nilai perilaku
seseorang) dan mencatat diri sendiri (misalnya, mencatat penilaian di atas kertas) (Moore et al.,
2001). Sebagai tingkat intervensi pemantauan diri, diyakini bahwa tindakan mengamati dan
mencatat pe mlaku, pikiran, dan perasaan seseorang dapat menyebabkan perubahan perilaku
(Mahoney, 2013). Dari perspektif Islam, klien juga sadar bahwa Tuhan sedang mengawasi dan
mengamatinya, dan ini mungkin satu-satu nya mekanisme terpenting dalam mengubah pemikiran
atau perilaku. Allah berfirman dalam al-Qur'an (terjemahnya):

Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada semua manusia?
(al-'Ankabut, 29: 10).
Allah mengetahu apa yang kau rahasiakan dan yang kau lahirkan. (are Nalu, 16: 19).
Dia mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, dan mengetahui apa. yang kami
rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Me ngetahui segala isi hati. (at-
Taghabun, 64:4).
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada mereka fan apa yang mereka
nyatakan. (al-Qasas, 28: 69).

Kesadaran akan Tuhan membuat klien menjadi jujur dengan d mereka sendiri dan konsisten
antara proses internal dan eksternal me (Barise, 2005). Ini adalah Muraqabah an-Nafs,
mengawasi diri kita sendi untuk mencegah kita melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan
mempertahankan perubahan perilaku menuju kebaikan.

Tahap evaluasi (Muhasabah)

Muhasabah, atau evaluasi, adalah proses terakhir dalam model prak konseling Islam.
Evaluasi dalam konseling sangat penting untuk menil apakah konseling itu membantu, apakah
ada penurunan gejala pada klien, apakah klien telah meningkatkan atau memperoleh
keterampilan penanganan dan realisasi dari perubahan yang diinginkan.

Penurunan gejala dan realisasi perubahan yang diinginkan pada klien adalah bagian dari
proses perubahan yang sering terjadi pada klien selama durasi sesi konseling. Oleh karena itu,
penting untuk mengevaluasi proses dan hasil konseling, karena ini memberikan peluang bagi
kelanjutan per kembangan psikososial dan spiritual klien. Evaluasi harus menjadi proses yang
berkelanjutan. Barise (2005) menegaskan:

seperti semua proses lain dalam model Islam, tidak ada perbedaan antara aspek 'material'
dan 'spiritual'. Orang Muslim percaya bahwa Tuhan ak mengevaluasi semua tindakan mereka di
dunia ini, dan mereka akan diberi ganjaran yang sesuai baik di dunia ini maupun di akhirat.

Kesimpulan

Bab ini telah memberikan tinjauan luas tentang pendekatan dan mo del konseling Islam yang
ada. Sebagian besar model dan pendekatan ter batas dalam konstruksi teoretis dan praktis, tetapi
mereka memberikan perkembangan historis mengenai kemunculan dan validitas konseling islam.
Model yang diusulkan berbeda dari konseling arus utama karena di dasarkan pada orientasi
psikososial dan spiritual konseling.

Perbedaan utama antara model utama dan model praktik konseling blam meliputi peran
dominan spiritual daripada kebutuhan psikososial, Tuhan sebagai sumber bantuan, proses
mencari bantuan dan pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Dalam model ini, teknik
dan pendekatan konseling non-direktif dan direktif yang diterima dari perspektif Islam bersifat
operasional.

Akhirnya, model yang diusulkan tidak diklaim paling komprehensif, tetapi memberikan
panduan untuk pengembangan dan perbaikan lebih lanjut. Selain itu, teknik dan contoh-contoh
spesifik dapat dimasukkan pada setiap tahap dalam model. Model praktik yang diusulkan harus
dipertimbangkan sebagai proses eksplorasi pemetaan pendahuluan dan pengaturan agenda. Para
ulama, psikolog, dan dokter Muslim harus ikut serta dalam pengembangan ini.

Anda mungkin juga menyukai