Anda di halaman 1dari 160

BUKU AJAR SOCIAL SKILL

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Social Skill

Dosen Pengampu:

Dr. Pargito, M.Pd.

Disusun Oleh:
1. Syafna Syainla (2013034003)
2. Nadia Budiarti Pranoto (2013034005)
3. Vina Azzahra (2013034023)
4. Chantrika Anindhia (2013034031)
5. Hilda Nur Safitri (2013034035)
6. Diah Ayu Andina (2013034039)
7. Jihan Apriyanti (2013034041)
8. Achmad Rizki (2013034049)
9. Mohamad Ari Prasurya (2013034053)
10. Jody Andika Prasetyo (2053034001)
11. Ghinaa Alyaa Arzski (2053034011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2020/2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

BAB I PENGERTIAN, TUJUAN MANFAAT SOCIAL SKILL ....................1

BAB II KETERAMPILAN SOSIAL ABAD KE-21 .........................................5

BAB III PEMBELAJARAN KETERAMPILAN IPS ......................................18

BAB IV PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL DALAM IPS ......29

BAB V STARATEGI PEMBELAJARAN SOCIAL SKILL DALAM IPS ....46

BAB VI MODEL-MODEL PEMBELAJARAN SOCIAL SKILL ....................53

BAB VII ANALISIS KURIKLUM KETERAMPILAN SOCIAL DALAM IPS


..............................................................................................................67

BAB VIII PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN


SOSIAL PESERTA DIDIK ................................................................71

BAB IX MACAM-MACAM KETERAMPILAN SOSIAL .................................

BAB X FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERAMPILAN


SOSIAL ...................................................................................................

BAB XI DIMENSI KETERAMPILAN SOSIAL .................................................

BAB XII CIRI-CIRI KETRERAMPILAN SOSIAL ..............................................

BAB XIII HAMBATAN DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN


SOSIAL DI DALAM DUNIA PENDIDIKAN ......................................

BAB XIV CONTOH-CONTOH INDIKATOR PENILAIAN KETERAMPILAN


SOSIAL ...................................................................................................

BAB XV DAMPAK PENGEMBANGAN KETERAMPILANS SOSIAL BAGI


PESERTA DIDIK ...................................................................................

BAB XVI PEMBENTUKAN KETERAMPILAN SOSIAL PESERTA DIDIK .....

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENGERTIAN, TUJUAN, MANFAAT SOCIAL SKILL

1. Pengertian Social Skill / Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial berasal terdiri dari kata keterampilan dan sosial. Kata
keterampilan digunakan untuk menunjukkan bahwa kompetensi sosial
bukan merupakan ciri dari kepribadian melainkan sekumpulan proses yang
dipelajari dan perilaku yang dapat diperoleh. Sedangkan sosial berarti
bagaimana kita dapat bersama dengan orang lain meliputi teman, saudara,
orang tua, dan guru.

Keterampilan sosial merupakan bagian penting dari kemampuan hidup


manusia. Tanpa memiliki keterampilan sosial manusia tidak dapat
berinteraksi dengan orang lain yang ada dilingkungannya karena
keterampilan sosial dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan
sosial menurut Wikipedia (2007) sebagai berikut; “Keterampilan sosial
adalah keterampilan yang digunakan untuk berinteraksi dan berkomukasi
dengan orang lain sesuai peran dalam struktur sosial yang ada.”

Keterampilan sosial merupakan pikiran, tindakan, dan aktivitas regulasi


emosi yang memungkinkan anak untuk mencapai tujuan personal atau
tujuan sosial sementara menjaga kesesuaian dengan partner sosialnya
(Shaffer, 2009). Keterampilan sosial meliputi kemampuan untuk memulai,
membangun, dan menyokong pertemanan; kemampuan untuk membangun
hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain; kemampuan untuk
membuat dan memelihara hubungan intim yang saling menguntungkan;
kemampuan untuk menjadi empati; dan kemampuan untuk menjadi
altruistic.

Keterampilan sosial juga merupakan sebuah prilaku sosial yang perlu


dipelajari karena memungkinkan individu dapat berinteraksi untuk

1
memperoleh respon positif dan menghindari respon negatif. Ada strategi
khusus yang digunakan oleh seorang individu untuk menampilkan tugas
sosial dengan efektif sebagai kompetensi sosial. Keterampilan sosial juga
sebagai sebuah rangkaian kompetensi penting bagi peserta didik untuk
memulai dan memelihara hubungan positif dengan teman sebaya, para
guru, keluarga, dan lingkungan masyarakat lain.

Berdasarkan dari definisi di atas, dapat disimpullkan bahwa keterampilan


sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan, dan sikap yang ditampilkan
oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan
ketepatan dan kecepatan dalam merespon sehingga memberikan
kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya.

Keterampilan sosial atau keterampilan interpersonal itu mempunyai arti


yang sama hanya saja penyebutan istilahnya yang berbeda, namun kedua
kata tersebut menjelaskan hal yang sama yaitu kemampuan untuk
menciptakan, membangun, dan mempertahankan suatu hubungan antar
pribadi (sosial) yang sehat dan saling menguntungkan.

Jadi, keterampilan sosial membawa siswa untuk lebih berani berbicara,


mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan
sekaligus menemukan penyesuaian yang adaptif, sehingga tidak mencari
pelarian ke hal-hal yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang
lain.

2. Tujuan Keterampilan Sosial

Ada beberapa alasan penting mengapa memiliki keterampilan


interpersonal atau keterampilan sosial tingkat tinggi bukan hanya penting
tetapi juga merupakan dasar bagi kesejahteraan anak. Berikut pentingnya
keterampilan sosial:

2
1) Untuk menjadi orang dewasa yang sadar secara sosial mudah
menyesuaikan diri
2) Menjadi berhasil dalam pekerjaan
3) Untuk mencapai kesejahteraan emosional dan fisik.

Selain beberapa alasan di atas, pengembangan keterampilan sosial


bertujuan untuk mengajarkan pada siswa keterampilan bekerja sama dan
kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa
sebab banyak di antara mereka yang keterampilan sosialnya kurang.
Karena keterampilan sosial inilah yang memungkinkan kita untuk
membangun kedekatan, pengaruh, pimpinan, dan membangun hubungan
dengan masyarakat. Dengan keterampilan ini kita mampu untuk membina
hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita. Kita mampu
memahami dan memperkirakan perasaan serta keinginan orang lain dan
menanggapinya secara layak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang


memiliki keterampilan sosial tinggi akan lebih mudah untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya dan mampu untuk mencapai kesejahteraan
emosional serta jasmaninya.

3. Manfaat Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial sangat penting karena bisa membantu seseorang untuk


memiliki dan mempertahankan interaksi positif dengan orang lain.
Keterampilan sosial merupakan landasan untuk persahabatan, dan
memberikan anak kesempatan untuk belajar dari teman sebaya serta
belajar bagaimana bersikap penuh perhatian dengan orang-orang yang
mereka temui di masa depan. Keterampilan sosial memberikan anak rasa
percaya diri. Anak yang memiliki keterampilan sosial juga dapat
bertanggung jawab atas tindakan mereka dan mampu mengendalikan diri
mereka sendiri.

3
Interaksi sosial tidak selalu berjalan mulus dan seorang anak perlu dapat
menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ketika
mengalami kesulitan. Penting juga bagi anak untuk memiliki ’empati’
(yaitu, dapat menempatkan diri pada posisi orang lain dan mengenali
perasaan mereka) karena hal itu memungkinkan seorang anak untuk
merespons dengan pengertian dan kepedulian terhadap perasaan orang
lain.

Beberapa manfaat yang kita dapatkan apabila mempelajari keterampilan


sosial sejak dini yang akan digunakan sepanjang hidup, seperti :

• Menyapa orang lain


• Memulai percakapan
• Menanggapi orang lain
• Mempertahankan percakapan
• Berbagi dan bergiliran
• Meminta bantuan

Penelitian menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat


membantu perkembangan seseorang, yaitu :

• Membangun Harga Diri / Percaya Diri


• Berkomunikasi Secara Efektif
• Membaca Isyarat Sosial
• Meningkatkan Pemecahan Masalah
• Memahami Pengambilan Perspektif
• Mengelola Stres / Kecemasan
• Menekankan Kerjasama

4
BAB II

KETERAMPILAN SOSIAL ABAD-21

Abad ke-21 ditandai sebagai abad keterbukaan atau abad globalisasi,


artinya kehidupan manusia pada abad ke-21 mengalami perubahan-
perubahan yang fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam
abad sebelumnya. Dikatakan abad ke-21 adalah abad yang meminta
kualitas dalam segala usaha dan hasil kerja manusia. Dengan sendirinya
abad ke-21 meminta sumberdaya manusia yang berkualitas, yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga yang dikelola secara profesional
sehingga membuahkan hasil unggulan. Tuntutan-tuntutan yang serba baru
tersebut meminta berbagai terobosan dalam berfikir, penyusunan konsep,
dan tindakan-tindakan.

Abad 21 memiliki banyak perbedaan dengan abad 20 dalam berbagai hal,


diantaranya dalam pekerjaan, hidup bermasyarakat dan aktualisasi diri.
Abad 21 ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi yang sangat
pesat serta perkembangan otomasi dimana banyak pekerjaan yang sifatnya
pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh mesin, baik
mesin produksi maupun komputer. Sebagaimana sudah diketahui dalam
abad ke 21 ini sudah berubah total baik masyarakat maupun dunia
pendidikannya.

Abad ke-21 juga dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age),


dalam era ini, semua alternative upaya pemenuhan kebutuhan hidup dalam
berbagai konteks lebih berbasis pengetahuan. Upaya pemenuhan
kebutuhan bidang pendidikan berbasis pengetahuan (knowledge based
education), pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
based economic), pengembangan dan pemberdayaan masyarakat berbasis
pengetahuan (knowledge based social empowering), dan pengembangan

5
dalam bidang industri pun berbasis pengetahuan (knowledge based
industry).

Wagner (2010) dan Change Leadership Group dari Universitas Harvard


mengidentifikasi kompetensi dan keterampilan bertahan hidup yang
diperlukan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan, dunia kerja, dan
kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh (7) keterampilan
berikut: (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2)
kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan kemampuan
beradaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu
berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu
mengakses dan menganalisis informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu
dan imajinasi.

Delors Report (1996) dari International Commission on Education for the


Twenty-first Century, mengajukan empat visi pembelajaran yaitu
pengetahuan, pemahaman, kompetensi untuk hidup, dan kompetensi untuk
bertindak. Selain visi tersebut juga dirumuskan empat prinsip yang dikenal
sebagai empat pilar pendidikan yaitu learning to know, lerning to do,
learning to be dan learning to live together. Kerangka pemikiran ini dirasa
masih relevan dengan kepentingan pendidikan saat ini dan dapat
dikembangkan sesuai dengan keperluan di abad ke-21. Pada bagian berikut
dijelaskan sekilas tentang kompetensi dan keterampilan sesuai empat pilar
pendidikan yang terdapat pada Delors Report.

1) Learning to Know
Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh,
memperdalam dan memanfaatkan materi pengetahuan. Penguasaan
materi merupakan salah satu hal penting bagi siswa di abad ke-21.
Siswa juga harus memiliki kemauan untuk belajar sepanjang hayat.
Hal ini berarti siswa harus secara berkesinambungan menilai
kemampuan diri tentang apa yang telah diketahui dan terus merasa

6
perlu memperkuat pemahaman untuk kesuksesan kehidupannya
kelak. Siswa harus siap untuk selalu belajar ketika menghadapi
situasi baru yang memerlukan keterampilan baru. Pembelajaran di
abad ke-21 hendaknya lebih menekankan pada tema pembelajaran
interdisipliner. Empat tema khusus yang relevan dengan kehidupan
modern adalah: 1) kesadaran global; 2) literasi finansial, ekonomi,
bisnis, dan kewirausahaan; 3) literasi kewarganegaraan; dan 4)
literasi kesehatan. Tema-tema ini perlu dibelajarkan di sekolah
untuk mempersiapkan siswa menghadapi kehidupan dan dunia
kerja di masa mendatang dengan lebih baik.

2) Learning to Do
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat
yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar
berkarya. Siswa maupun orang dewasa sama-sama memerlukan
pengetahuan akademik dan terapan, dapat menghubungkan
pengetahuan dan keterampilan, kreatif dan adaptif, serta mampu
mentrasformasikan semua aspek tersebut ke dalam keterampilan
yang berharga.

a. Keterampilan berpikir kritis


Keterampilan ini merupakan keterampilan fndamental pada
pembelajaran di abad ke-21. Keterampilan berpikir kritis
mencakup kemampuan mengakses, menganalisis,
mensintesis informasi yang dapat dibelajarkan, dilatihkan
dan dikuasai. Keterampilan berpikir kritis juga
menggambarkan keterampilan lainnya seperti keterampilan
komunikasi dan informasi, serta kemampuan untuk
memeriksa, menganalisis, menafsirkan, dan mengevaluasi
bukti. Pada era literasi digital dimana arus informasi sangat
berlimpah, siswa perlu memiliki kemampuan untuk
memilih sumber dan informasi yang relevan, menemukan

7
sumber yang berkualitas dan melakukan penilaian terhadap
sumber dari aspek objektivitas, reliabilitas, dan
kemutahiran

b. Kemampuan menyelesaikan masalah


Keterampilan memecahkan masalah mencakup
keterampilan lain seperti identifikasi dan kemampuan untuk
mencari, memilih, mengevaluasi, mengorganisir, dan
mempertimbangkan berbagai alternatif dan menafsirkan
informasi. Seseorang harus mampu mencari berbagai solusi
dari sudut pandang yang berbeda-beda, dalam memecahkan
masalah yang kompleks. Pemecahan masalah memerlukan
kerjasama tim, kolaborasi efektif dan kreatif dari guru dan
siswa untuk dapat melibatkan teknologi, dan menangani
berbagai informasi yang sangat besar jumlahnya, dapat
mendefinisikan dan memahami elemen yang terdapat pada
pokok permasalahan, mengidentifikasi sumber informasi
dan strategi yang diperlukan dalam mengatasi masalah.
Pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari
keterampilan berpikir kritis karena keterampilan berpikir
kritis merupakan keterampilan fundamental dalam
memecahkan masalah. Siswa juga harus mampu
menerapkan alat dan teknik yang tepat secara efektif dan
efisien untuk menyelesaikan permasalahan.

c. Komunikasi dan kolaborasi


Kemampuan komunikasi yang baik merupakan
keterampilan yang sangat berharga di dunia kerja dan
kehidupan sehari-hari. Kemampuan komunikasi mencakup
keterampilan dalam menyampaikan pemikiran dengan jelas
dan persuasif secara oral maupun tertulis, kemampuan
menyampaikan opini dengan kalimat yang jelas,

8
menyampaikan perintah dengan jelas, dan dapat
memotivasi orang lain melalui kemampuan berbicara.
Kolaborasi dan kerjasama tim dapat dikembangkan melalui
pengalaman yang ada di dalam sekolah, antar sekolah, dan
di luar sekolah. Siswa dapat bekerja bersama-sama secara
kolaboratif pada tugas berbasis proyek yang autentik dan
mengembangkan keterampilannya melalui pembelajaran
tutor sebaya dalam kelompok. Pada dunia kerja di masa
depan, keterampilan berkolaborasi juga harus diterapkan
ketika menghadapi rekan kerja yang berada pada lokasi
yang saling berjauhan. Keterampilan komunikasi dan
kolaborasi yang efektif disertai dengan keterampilan
menggunakan teknologi dan sosial media akan
memungkinkan terjadinya kolaborasi dengan kelompok-
kelompok internasional.

d. Kreativitas dan inovasi


Pencapaian kesuksesan profesional dan personal,
memerlukan keterampilan berinovasi dan semangat
berkreasi. Kreativitas dan inovasi akan semakin
berkembang jika siswa memiliki kesempatan untuk berpikir
divergen. Siswa harus dipicu untuk berpikir di luar
kebiasaan yang ada, melibatkan cara berpikir yang baru,
memperoleh kesempatan untuk menyampaikan ide-ide dan
solusi-solusi baru, mengajukan pertanyaan yang tidak
lazim, dan mencoba mengajukan dugaan jawaban.
Kesuksesan individu akan didapatkan oleh siswa yang
memiliki keterampilan kreatif. Individu-individu yang
sukses akan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih
baik bagi semuanya.

e. Literasi informasi, media, dan teknologi

9
Literasi informasi yang mencakup kemampuan mengakses,
mengevaluasi dan menggunakan informasi sangat penting
dikuasai pada saat ini. Literasi informasi memiliki pengaruh
yang besar dalam perolehan keterampilan lain yang
diperlukan pada kehidupan abad ke-21. Seseorang yang
berkemampuan literasi media adalah seseorang yang
mampu menggunakan keterampilan proses seperti
kesadaran, analisis, refleksi dan aksi untuk memahami
pesan alami yang terdapat pada media. Kerangka literasi
media terdiri atas kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam
berbagai bentuk media, menciptakan suatu pemahaman dari
peranan media pada masyarakat, dan membangun
keterampilan penting dari informasi hasil penyelidikan dan
ekspresi diri. Literasi media juga mencakup kemampuan
untuk menyampaikan pesan dari diri dan untuk
memberikan pengaruh dan informasi kepada orang lain.

f. Literasi informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT)


Kemampuan literasi ICT mencakup kemampuan
mengakses, mengatur, mengintegrasi, mengevaluasi, dan
menciptakan informasi melalui penggunaan teknologi
komunikasi digital. Literasi ICT berpusat pada
keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam
mempertimbangkan informasi, media, dan teknologi di
lingkungan sekitar. Setiap negara hendaknya
menumbuhkan secara luas keterampilan ICT pada
masyarakatnya karena jika tidak, negara tersebut dapat
tertinggal dari perkembangan dan kemajuan pengetahuan
ekonomi berbasis teknologi. Terdapat beberapa keterkaitan
antara tiga bentuk literasi yang meliputi literasi komunikasi
informasi, media dan teknologi. Penguasaan terhadap

10
keterampilan tersebut memungkinkan penguasaan terhadap
keterampilan dan kompetensi lain yang diperlukan untuk
keberhasilan kehidupan di abad ke-21 (Trilling & Fadel,
2009).

3) Learning To Be
Keterampilan akademik dan kognitif memang keterampilan yang
penting bagi seorang siswa, namun bukan merupakan satu-satunya
keterampilan yang diperlukan siswa untuk menjadi sukses. Siswa
yang memiliki kompetensi kognitif yang fundamental merupakan
pribadi yang berkualitas dan beridentitas. Siswa seperti ini mampu
menanggapi kegagalan serta konflik dan krisis, serta siap
menghadapi dan mengatasi masalah sulit di abad ke-21. Secara
khusus, generasi muda harus mampu bekerja dan belajar bersama
dengan beragam kelompok dalam berbagai jenis pekerjaan dan
lingkungan sosial, dan mampu beradaptasi dengan perubahan
zaman.

a. Keterampilan sosial dan lintas budaya


Keterampilan sosial dan lintas budaya yang baik sangat
penting dalam mewujudkan kesuksesan di sekolah maupun
kehidupan. Keterampilan ini memungkinkan individu untuk
berinteraksi secara efektif dengan orang lain (misalnya
mengetahui saat yang tepat untuk mendengarkan dan
berbicara, dan bagaimana memperlakukan diri secara
hormat, secara profesional), bekerja secara efektif dalam
sebuah tim yang memiliki anggota beragam (misalnya
menghormati perbedaan budaya dan berkolaborasi dengan
orang-orang yang berasal dari berbagai kondisi sosial dan
latar belakang budaya), berpikiran terbuka terhadap ide-ide
dan nilai-nilai yang berbeda, dan menggunakan perbedaan

11
sosial dan budaya untuk menghasilkan ide-ide, inovasi dan
kualitas kerja yang lebih baik.

b. Tanggung jawab pribadi, pengaturan diri, dan inisiatif


Tingginya tingkat interaksi dan kerja sama tim dalam
lingkungan kerja di abad ke-21 diharapkan dapat
diantisipasi dengan meningkatkan kualitas pribadi siswa.
Kemampuan pengaturan diri adalah jantung dari
pembelajaran abad ke-21. Siswa yang mandiri bertanggung
jawab terhadap proses belajarnya sendiri dan bersedia
meningkatkan kemampuan sepanjang kariernya. Herring
(2012) berpendapat bahwa siswa yang mandiri
mendapatkan motivasi dari dalam dirinya sendiri. Siswa
mandiri paham bahwa semangat belajar adalah kemampuan
dasar yang akan membuat mereka berhasil di tempat kerja.

c. Keterampilan berpikir logis


Generasi muda saat ini hidup di dunia yang lebih
menantang, sehingga mereka perlu mengembangkan
kemampuan berpikir logis terhadap isu-isu global yang
kompleks dan penting. Mereka harus siap untuk mengatasi
berbagai masalah, termasuk konflik manusia, perubahan
iklim, kemiskinan, penyebaran penyakit dan krisis energi.
Sekolah harus menyediakan berbagai peluang, bimbingan
dan dukungan agar siswa memahami peran dan tanggung
jawabnya di dunia nyata, serta mengembangkan
kompetensi yang memungkinkan mereka untuk memahami
situasi dan lingkungan baru.

d. Keterampilan metakognitif
P21 telah mengidentifikasi pembelajaran mandiri sebagai
salah satu keterampilan dasar dalam kehidupan dan karir

12
yang diperlukan untuk mempersiapkan pendidikan dan
pekerjaan di abad ke-21. Metakognisi didefinisikan sebagai
'thinking about thinking'. Seseorang yang memiliki
pengetahuan metakognitif berarti menyadari berapa banyak
mereka memahami topik pembelajaran dan faktor-faktor
yang mempengaruhi pemahaman mereka. Keterampilan
metakognitif dapat meningkatkan pembelajaran dan
pemahaman siswa. Beberapa langkah penting untuk
mengajarkan keterampilan metakognitif sebagai berikut: (a)
ajarkan kepada siswa bahwa belajar itu tidak terbatas
jumlahnya dan kemampuan seseorang untuk belajar dapat
diubah, (b) ajarkan bagaimana menetapkan tujuan belajar
dan merencanakan pencapaiannya, dan (c) berikan siswa
banyak kesempatan untuk berlatih memantau kegiatan
belajarnya secara akurat. Tanamkan pada siswa bahwa hal-
hal tersebut penting dan merupakan kebutuhan bagi siswa
itu sendiri.

e. Kemampuan berpikir berwirausaha


buhan lapangan pekerjaan yang cepat dan industri yang
sedang berkembang membutuhkan kreativitas pekerja,
termasuk kemampuan untuk berpikir yang tidak biasa (out
of the box), memikirkan kebijakan konvensional,
membayangkan skenario baru dan menghasilkan karya
yang menakjubkan. Memiliki pola pikir kewirausahaan
(kemampuan untuk mengenali dan memanfaatkan peluang
dan kesanggupan untuk bertanggung jawab dan
menanggung resiko), memungkinkan seseorang untuk
menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri dan
orang lain. Oleh karena itu, siswa harus dilatih menjawab
pertanyaan dan membuat keputusan dengan cepat. Mereka
juga harus dilatih untuk berpikir inventif, mengamati dan

13
mengevaluasi peluang dan ide-ide baru. Namun demikian,
penting untuk diperhatikan bahwa ide-ide tersebut harus
bermanfaat atau berdampak positif bagi organisasi dan
komunitas tempat tinggal atau kerja. Kegiatan
kewirausahaan di sekolah harus dirancang sedemikian rupa
sehingga memungkinkan siswa untuk memimpin dan
menumbuhkan otonomi yang lebih besar.

f. Belajar untuk belajar dan kebiasaan belajar sepanjang hayat


Sepanjang hidupnya, seseorang akan selalu menemukan
informasi baru yang mengubah pengetahuan yang
dimilikinya. Bolstad (2011) berpendapat bahwa sekolah
yang berorientasi masa depan harus memperluas kapasitas
intelektual siswa dan memperkuat kemauan dan
kemampuan mereka untuk terus belajar sepanjang hidup.
Keterampilan belajar untuk belajar, memiliki keterbukaan
dan komitmen untuk belajar seumur hidup dan mempelajari
kehidupan secara lebih luas sangat penting bagi siswa untuk
beradaptasi. Kemampuan siswa untuk belajar lebih
diutamakan dibandingkan akumulasi pengetahuan.

4) Learning To Live Together


Berbagai bukti menunjukkan bahwa siswa yang bekerja secara
kooperatif dapat mencapai level kemampuan yang lebih tinggi jika
ditinjau dari hasil pemikiran dan kemampuan untuk menyimpan
informasi dalam jangka waktu yang panjang dari pada siswa yang
bekerja secara individu. Belajar bersama akan memberikan
kesempatan bagi siswa untuk terlibat aktif dalam diskusi,
senantiasa memantau strategi dan pencapaian belajar mereka dan
menjadi pemikir kritis.

a. Menghargai keanekaragaman

14
Pada abad ke-21, siswa harus turut berperan dalam kegiatan
pendidikan. Peran aktif siswa membantu mereka
mengembangkan kompetensi dalam kehidupan dan bekerja
bersama dalam masyarakat yang memiliki keanekaragaman
budaya dan organisasi. Mereka harus belajar bahwa mereka
tidak akan selalu dihargai, tetapi mereka harus mencari dan
menggunakan bakat dan ide-ide mereka di antara beragam
siswa lainnya. Ini merupakan keterampilan penting yang
harus dilatih dan sering digunakan oleh siswa.

b. Teamwork dan interconnectedness


Keterampilan teamwork dan interconnectedness harus
menjadi perhatian utama dunia pendidikan. Keterampilan
ini sangat penting baik dalam kehidupan masyarakat
ataupun di tempat kerja. Hasil survei Conference Board
(2006, dikutip Scott, 2015b) menemukan bahwa
profesionalisme, etika kerja yang baik, komunikasi secara
lisan dan tertulis, kerja tim, kolaborasi, berpikir kritis dan
kemampuan memecahkan masalah merupakan
keterampilan paling penting. Keterampilan-keterampilan ini
memungkinkan seseorang mendapatkan nilai lebih di mata
kolega sekaligus berkembang di lingkungan kerja yang
kolaboratif. Di antara kompetensi penting di abad ke-21
adalah kemampuan untuk membantu perkembangan
kerjasama interdisipliner dan pertukaran ide-ide global
untuk melawan potensi diskriminasi karena suku, jenis
kelamin atau usia.

c. Civic dan digital citizenship


Civic literacy (literasi bermasyarakat) merupakan
keterampilan penting, karena siswa perlu mengetahui hak
dan kewajiban warganegara di lingkup lokal, regional, dan

15
nasional; mengembangkan motivasi, watak dan
keterampilan untuk berpartisipasi dalam masyarakat; dan
memahami dampak dari masalah kemasyarakatan secara
lokal dan global. Selain hal tersebut, keterampilan abad ke-
21 yang lain adalah digital citizenship (masyarakat yang
melek digital) – memahami bagaimana cara untuk
berpartisipasi secara produktif dan bertanggung jawab
secara online. Hal ini penting untuk membantu siswa dalam
memahami bagaimana untuk berpartisipasi dengan cerdas
dan etis sebagai warga negara yang bertanggung jawab
dalam komunitas virtual. Hal ini melibatkan pembelajaran
tentang bagaimana mengakses reliabilitas dan kualitas dari
informasi yang ditemukan dari internet dan menggunakan
informasi yang diperoleh secara bertanggung jawab.

d. Kompetensi global
Siswa yang memiliki kompetensi global akan mampu
mengambil tindakan melalui banyak cara dan cenderung
menganggap diri mereka sebagai warga dunia, bukan dari
warga bangsa tertentu. Mereka mampu menggunakan
keterampilan berpikir kritis untuk mensurvei dan
memikirkan masalah yang perlu diprioritaskan,
mengidentifikasi solusi yang dapat dilakukan, menilai
solusi yang dipilih dan rencana tindakan yang akan
dilakukan berdasarkan bukti, dan mempertimbangkan
dampak potensial dan konsekuensi yang mungkin muncul
dari tindakan yang akan dilakukan.

e. Kompetensi antar budaya


Kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan
masyarakat lintas budaya atau yang memiliki kebudayaan
yang berbeda adalah prasyarat mendasar di dunia kerja.

16
Semua siswa perlu mendapatkan kompetensi antarbudaya.
Untuk alasan ini, pendidikan antarbudaya, yang bertujuan
untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan ini,
dapat memberikan kontribusi untuk menjaga kedamaian
dan pembelajaran inklusif. Kompetensi antarbudaya tidak
diperoleh secara otomatis, melainkan harus dipelajari,
dipraktikkan dan dipelihara sepanjang hidup. Guru
memiliki peran yang sangat penting dalam memfasilitasi
pengembangan kompetensi antarbudaya di antara siswa.

17
BAB 3

PEMBELAJARAN KETERAMPILAN IPS

IPS atau Social Studies mempunyai tugas mulia dan menjadi fondasi penting bagi
pengembangan intelektual, emosional, kultural, dan sosial peserta didik, yaitu
mampu menumbuhkembangkan cara berfikir, bersikap, dan berperilaku yang
bertanggungjawab selaku individual, warga masyarakat, warga negara, dan warga
dunia. Selain itu IPS pun bertugas mengembangkan potensi peserta didik agar
peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif untuk perbaikan segala ketimpangan, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang
di masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program
pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.
Di satu sisi, pembelajaran IPS sering dianggap
 ”second class” setelah IPA,
 IPS tidak memerlukan kemampuan yang tinggi dan cenderung lebih santai
dalam belajar;
 IPS sering kali dianggap jurusan yang tidak dapat menjamin masa depan
dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih prestigius di
masyarakat.
Di sisi lain, melemahnya nasionalisme, maraknya penyimpangan sosial
seperti tawuran, korupsi, hedonisme, disintegrasi bangsa, ketidakramahan
terhadap lingkungan, individualisme, krisis kepercayaan, dan sebagainya
merupakan fakta yang disebabkan lemahnya modal sosial. Pengembangan modal
sosial merupkan tugas utama pembelajaran IPS. Maraknya masalah sosial tersebut
boleh jadi disebabkan dianggap remehnya pendidikan IPS.
Pendidikan IPS, memang mengalami tantangan yang sangat berat, disaat
kaum ibu masuk ke dalam sektor publik, maka pendidikan anak di rumah menjadi
terabaikan, disaat budaya baca belum terbentuk maka budaya visual melalui TV
masuk dengan intensif, di saat modal sosial belum terbina, individualisme melalui
permainan, home schooling, tugas individual menjadi kebutuhan dan tuntutan,
disaat etos kerja atau belajar dan produktivitas belum terbina, budaya santai telah

18
terbentuk, disaat profesionalisme semakin sulit digapai, maka tuntutan materi
begitu mendesak. Keteladanan pun menjadi menjadi sesuatu yang sangat langka.
Kesenjangan antara teori dan aplikasi kerap pula terjadi karena berbagai kendala.
Penamaaan IPS sebenarnya sudah melekat dengan keterpaduan (integrated)
ilmu-ilmu sosial, tujuannya sudah jelas untuk meningkatkaan kepekaan dan
keterampilan dalam memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan psikologi
perkembangan peserta didik. Pada kenyataannya, kurikulum IPS masih
terpisahpisah, Kurikulum baru (KTSP) di SMP memang sudah dipadukan namun
masih tetap masih tampak nyata generik ilmu sosialnya, dan pendekatannya pun
belum tematik, kecuali kelas 1, 2, dan 3 di SD. Di SMA IPS sudah mengarah ke
ilmu sosial, IPS hanya dipergunakan sebagai payung ilmu-ilmu sosial dan nama
salah satu jurusan saja.

A. Definisi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

lmu Pengetahuan Sosial (IPS) sering diidentikan dengan istilah Social


Studies, Social Education, Citizenship Education dan Social Science Education.
Somantri (2000:3) mengemukakan bahwa Pendidikan IPS ini digambarkan
sebagai “program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari disiplin ilmu-
ilmu sosial dan humanities yang diorganisasisan dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan”. Hal senada dikemukakan oleh Al Muchtar
(2001: 32) yang mengatakan bahwa Pendidikan IPS merupakan berbagai macam
pengorganisasian ilmu-ilmu sosial dan kegiatan-kegiatan dasar manusia dengan
segala permasalahannya, yang diorganisisr dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan IPS.
Ilmu Pengetahuan Sosial (Puskur, 2006: 5) adalah merupakan integrasi
dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi,
ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu pengetahuan Sosial dirumuskan atas
dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan
interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya).

19
Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena
sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-
cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum,
dan budaya). IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum sekolah
yang diturunkan dari isi materi cabangcabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat, dan psikologi sosial. Geografi,
sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang
tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan
dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studistudi
komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial,
aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual,
teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan
ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas
yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial
merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi,
proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti
inidigunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial.
Problem mendasar adalah bahwa mata pelajaran yang tergabung ke dalam
rumpun ilmu sosial menghadapi problem yang hampir sama yaitu bahwa
pembelajaran pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan,
fakta dan konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan
pendapat Somantri (2001) dalam Rahmania (2006), yang menyatakan bahwa
pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang
kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan
proses. Hal ini menyebabkan pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan
membosankan dan dianggap oleh peserta didik sebagai pelajaran kelas dua.

B. Ilmu Pengetahuan Sosial Sebagai Mata Pelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang mempelajari


kehidupan sosial yang didasarkan pada suatu realita bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan di muka bumi senantiasa

20
berada pada dimensi ruang dan waktu. Pada tataran ruang dan waktu inilah
manusia menjalani suatu kehidupan. Di dalam menjalani suatu kehidupan itu
manusia akan terkait dengan berbagai aspke kehidupan dan kegiatan. Ini artinya
keberadaan manusia di dunia in tidak terlepas dari tiga hal yakni ruang, waktu dan
perjuangan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Barth (1990:360) yang menyatakan
bahwa Social Studies was assigned the mission of citizenship education, that
mission included the study of personal/social problems in an interdiciplinary
integrated school curriculum that would emphasize the practice of decision
making. Jadi Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran membawa misi
pendidikan kewarganegaraan sehingga para siswa dapat belajar masalah individu
atau masalah social. Hal senada dikemukakan oleh NCSS (National Counsil for
Social Studies ) pada tahun 1992 yang menyatakan bahwa “Social studies is the
integrated study of social science and humanities to promote civic competence.
Within the school pogram, socials studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as
well as appropriate content from humanities, mathematics and natural sciences”.
Eksistensi manusia tersebut tidak terlepas dari tiga dimensi yakni ruang,
waktu dan perjuangan. Unsur ruang terkait dengan studi geografi, yang
memaparkan aktivitas dan peranan manusia dalam upaya beradaptasi dengan
tantangan dan tawaran lingkungan alam dan manusia (adaptasi ekologis). Unsur
waktu terkait dengan studi sejarah yang memaparkan peristiwa dan perubahan
masyarakat. Pengalaman umat manusia dari masa lampau untuk memahami dan
menjadi pengalaman hidup masa kini serta merencanakan masa yang akan datang.
Dalam hal ini ada proses pewarisan budaya. Sementara yang terkait dengan
perjuangan hidup berbagai aspek dan aktivitas, seperti upaya pemenuhan
kebutuhan (ekonomi), struktur dan hubungan antar anggota masyarakat
(sosiologi), tertib masyarakat (hukum), kekuasaan dan kewenangan (politik), hasil
kebudayaan manusia (antropologi budaya), peristiwa masa lampau yang penting
dan bermakna (sejarah), dan sistem berbangsa dan bernegara (kewarganegaraan).

21
Materi kajian pengetahuan sosial berasal dari struktur keilmuan sosiologi,
geografi, ekonomi dan sejarah. Dari kelima struktur keilmuan itu kemudian
dirumuskan materi kajian untuk Pengetahuan Sosial. Materi pengetahuan sosial
juga menyangkut masalah sosial dan tema-tema yang dikembangkan dengan
pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. Interdisipliner maksudnya
melibatkan disiplin ilmu ekonomi, geografi dan sejarah. Multidisipliner artinya
materi kajian itu mencakup berbagai aspek.
Materi Pengetahuan Sosial menyangkut peristiwa dan perubahan
masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis, masalah-
masalah sosial, dan isu-isu global yang terjadi di masyarakat, adaptasi dan
pengelolaan lingkungan, serta upaya perjuangan untuk survive (perjuangan hidup),
termasuk pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan
serta sistem berbangsa dan bernegara. Hal ini senada dengan pendapat Martorella
(1994:7) yang menyatakan bahwa: “The Social Studies are selected information
and modes of investigation from the social sciences, selected information from
any area that relates directly to an undestanding of individuals, groups, and
societies and applications of the selected information to citizenship education”.
Pendapat ini diperkuat oleh Jarolimek (1986: 4) yang menyatakan bahwa “The
major mission of social studies education is to help children learn about the social
world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social
realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skilsl, needed to help shape
an enlightened humanity.”

C. Skill Sosial Aspek yang Dikembangkan IPS

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan


potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi,
dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang
menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut
dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah
diorganisasikan secara baik. Hal ini tercermin dari Standar kompentensi darimata
pelajaran IPS yang telah dirumuskan oleh Depdiknas (2003: 5) adalah peserta

22
didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia
dan warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena
masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan
teknologi serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang
multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan itu dituntut oleh kebutuhan
siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut
dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara
global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus berkualitas internasional
seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan bertindak
lokal. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan
global, yaitu meliputi:
 Kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri
sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan
bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain)
 Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali
informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan
masalah.
 Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti
kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem
sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta
tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.
 Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang
kita tidak hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan
sosial adalah keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian
diri, bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan
membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Aness (1984: 249) dalam Rahmania
(2006), yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam
memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari
informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang
berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat.

23
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata
pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai
warga negara, warga masyarakat dan warga dunia yangdapat berperan dalam
masyarakatnya.
Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276),
guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill)
yaitu meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar,
pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan
narasumber. Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam
mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
 Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan
dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang
relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran cooperative
learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan
yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satusatunya sumber
informasi, melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif
karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja
kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa
akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan
belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam
semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk
memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an
juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan
pembelajaran berlangsung.
 Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa
sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat
digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social.
Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan
informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat

24
memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam
mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan
sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi
harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga
harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan
menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan
tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga
menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang
diterima.
 Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan
keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru
atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut
Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
o Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih
realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan
data dalam memcahkan masalah.
o Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu
tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang
bermakna bagi mereke secara pribadi.
o Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi
perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
Wiraatmadja (2002: 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu
social agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna
(meaningful), yaitu:
 Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap
yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar
sekolah.
 Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat
dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi
siswa.
 Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana
cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.

25
 Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih
dan bukan pada pembahasan seklas sebanyak mungkin materi.
 Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya
difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau
gagasangagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka
pelajari.
 Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/
persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.

Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan
sesuai dengan harapan. Hal ini karena adanya beberapa hambatan yang
menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan,
yaitu :
 Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model
mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar siswa
 Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut
mempengaruhi proses belajar IPS
 Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran
konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja
dan tidak mendapat hasil proses.
 Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang
mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas
sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum
memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
D. KONSEP PEMBELAJARAN TERPADU DALAM ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

Untuk dapat memenuhi harapan yang cukup besar dari pendidikan IPS,
maka perlu dikembangkan pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering
disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada
hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan
menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud,

26
1996:3). Salah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui
pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung,
sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan
memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian,
peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang
dipelajari.
Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun
dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan
pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu
cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam
dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu,
peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan
yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang,
contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial,
modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

1. Model Integrasi Berdasarkan Potensi Utama


Dalam pembelajaran IPS keterpaduan dapat dilakukan berdasarkan topik
yang terkait, misalnya, kegiatan ekonomi penduduk‟. Kegiatan ekonomi
penduduk dalam contoh yang dikembangkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu
yang tercakup dalam IPS. Kegiatan ekonomi penduduk dalam hal ini ditinjau dari
persebaran dan kondisi fisis-geografis yang tercakup dalam disiplin Geografi.
Secara sosiologis, Kegiatan ekonomi penduduk dapat mempengaruhi interaksi
sosial di masyarakat atau sebaliknya. Secara historis dari waktu ke waktu kegiatan
ekonomi penduduk selalu mengalami perubahan. Selanjutnya penguasaan konsep
tentang jenis-jenis kegiatan ekonomi sampai pada taraf mampu menumbuhkan
krteatifitas dan kemandirian dalam melakukan tindakan ekonomi dapat
dikembangkan melalui kompetensi yang berkaitan dengan ekonomi.

2. Model Integrasi Berdasarkan Potensi Utama


Keterpaduan IPS dapat dikembangkan melalui topik yang didasarkan pada
potensi utama yang ada di wilayah setempat; sebagai contoh, “Potensi Bali
Sebagai Daerah Tujuan Wisata”. Dalam pembelajaran yang dikembangkan dalam

27
Kebudayaan Bali dikaji dan ditinjau dari faktor alam, historis kronologis dan
kausalitas, serta perilaku masyarakat terhadap aturan. Melalui kajian potensi
utama yang terdapat di daerahnya, maka peserta didik selain dapat memahami
kondisi daerahnya juga sekaligus memahami Kompetensi Dasar yang terdapat
pada beberapa disiplin yang tergabung dalam IPS.

3. Model Integrasi Berdasarkan Permasalahan


Model pembelajaran terpadu pada IPS yang lainnya adalah berdasarkan
permasalahan yang ada, contohnya adalah “Tenaga Kerja Indonesia”. Pada
pembelajaran terpadu, Tenaga Kerja Indonesia ditinjau dari beberapa faktor sosial
yang mempengaruhinya. Di antaranya adalah faktor geografi, ekonomi, sosiologi,
dan historis.

28
BAB 4

PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL

Keterampilan sosial adalah suatu bentuk perilaku, perbuatan, sikap yang di


terampilan oleh individu ketika berinteraksi dengan makhluk social lainnya baik
secara verbal maupun non verbal. Libet dan Lewinsohn (Cartledge dan Milburn,
1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks
untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan. Michelson, dkk. (dalam Ramdhani, 1994) menyebutkan bahwa
ketrampilan sosial merupakan suatu ketrampilan yang diperoleh individu melalui
proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial
dengan tepat dan baik. Secara umum, keterampilan sosial ini dapat dilihat dalam
beberapa bentuk perilaku: pertama, perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri
(bersifat intrapersonal) seperti mengontrol emosi, menyelesaikan permasalahan
sosial secara tepat, memproses informasi dan memahami perasaan orang lain;
kedua, perilaku yang berhubungan dengan orang lain (bersifat interpersonel)
seperti memulai interaksi dan komunikasi dengan orang lain; dan ketiga perilaku
yang berhubungan dengan akademis, seperti mematuhi peraturan dan melakukan
apa yang diminta oleh guru.

A. Definisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial berasal terdiri dari kata keterampilan dan sosial. Kata
keterampilan digunakan untuk menunjukkan bahwa kompetensi sosial bukan
merupakan ciri dari kepribadian melainkan sekumpulan proses yang dipelajari dan
perilaku yang dapat diperoleh. Sedangkan sosial berarti bagaimana kita dapat
bersama dengan orang lain meliputi teman, saudara, orang tua, dan guru. Secara
umum keterampilan sosial merupakan perilaku interpersonal yang kompleks.
(Michelson, Sugai, Wood, & Kazdin, 1983).
Mussen, at al (Lismayanti, 2008) menyatakan pengertian keterampilan
sosial yaitu istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk mengacu pada
Tindakan moral yang diekspresikan secara kultural, seperti berbagi, membantu

29
seseorang yang membutuhkan, bekerjasama dengan orang lain, dan
mengungkapkan simpati.
Menurut Shafer, 2009. Keterampilan sosial merupakan pikiran, tindakan
dan aktivitas regulasi emosi yang memungkinkan anak untuk mencapai tujuan
sosial sementara menjaga kesesuaian dengan patner sosialnya. Menurut (Salkind,
2006) Keterampilan sosial meliputi kemampuan untuk memulai, membangun, dan
menyokong pertemanan; kemampuan untuk membangun hubungan interpersonal
yang sehat dengan orang lain; kemampuan untuk membuat dan memelihara
hubungan intim yang saling menguntungkan; kemampuan untuk menjadi empati;
dan kemampuan untuk menjadi altruistik.
Michelson, Sugai, Wood, dan Kazdin (1983) mengemukakan bahwa
keterampilan sosial diperoleh individu melalui proses belajar. Keterampilan itu
meliputi keterampilan mengemukakan dan menerima pujian, mengemukakan dan
menerima keluhan, menolak permintaan yang tidak beralasan, menegaskan hak-
hak individu, meminta tolong, mengusulkan perubahan perilaku orang lain,
menyelesaikan masalah, bergaul dengan teman yang berlainan jenis kelamin, dan
bergaul dengan orang yang lebih dewasa.
Ciri-ciri dari ciri individu yang memiliki keterampilan sosial yaitu
proaktif, prososial, saling memberi dan menerima secara seimbang, berani
berbicara, memberikan pertimbangan yang mendalam, memberikanrespon yang
lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti- bukti yang
dapat menyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah,menuntut hubungan timbal
balik, serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan
sosial adalah sebagai cara-cara remaja berinteraksi terhadap orang-orang
sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Meskipun
banyak situasi yang tidak dapat dikendalikan namun orang yang memiliki
keterampilan sosial dapat mengubah cara dalam menganggapi situasi tersebut.
Untuk itu, remaja membutuhkan keterampilan sosial yaitu, kemampuan untuk
mengungkapkan suatu pernyataan, pikiran, perasaan, dan jujur tanpa
mengakibatkan perasaan tegang, bersalah, maupun cemas.

B. Jenis-Jenis Keterampilan Sosial

30
Beaty (Afiati dalam Lismayanti, 2008) menyebutkan bahwa keterampilan
sosial atau disebut juga Prosocial Behavior mencakup perilaku-perilaku seperti:
 Empati yang di dalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan
memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena
suatu masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang
mengalami konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan orang
lain.
 Kemurahan hati atau kedermawanan yang di dalamnya anak-anak berbagi
dan memberikan barang sesuatu miliknya kepada seseorang.
 Kerjasama yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian
menuruti perintah secara suka rela tanpa menimbulkan pertengkaran.
 Memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu seseorang untuk
melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan

C. Pola-Pola Perilaku Sosial

Menurut Hurlock (1996) pola-pola perilaku sosial yang ditampilkan anak-


anak adalah sebagai berikut:
1) Meniru, agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku
orang lain yang sangat dikaguminya .

2) Persaingan, keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain


tampak pada usia empat tahun. Ini dimulai di rumah dan kemudian
berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah.

3) Kerjasama, pada akhir tahun ketiga bermain kooperatif dan kegiatan


kelompok mulai berkembang dan meningkat baik dalam frekuensi maupun
lamanya berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya kesempatan untuk
bermain dengan anak lain.

4) Simpati, karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan-


perasaan dari emosi orang lain maka hal ini hanya kadang-kadang timbul
sebelum tiga tahun, semakin banyak kontak bermain, semakin cepat
simpati akan berkembang.

31
5) Dukungan sosial, menjelang berakhirnya masa anak-anak, dukungan dari
teman-teman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang-orang
dewasa. Anak beranggapan bahwa perilaku nakal merupakan cara untuk
memperoleh dukungan dari teman-teman sebaya.

6) Membagi, dari pengalaman bersama orang lain, anak mengetahui bahwa


salah satu cara memperoleh persetujuan sosial adalah dengan membagi
miliknya, terutama mainan untuk anak lain.

7) Perilaku akrab, anak yang pada bayi memperoleh kepuasan dari


hubungan yang hangat, erat, dan personal dengan orang lain berangsur-
angsur memberikan kasih sayang kepada orang di luar rumah, seperti guru
taman kanak-kanak atau benda mati seperti mainan kesayangan atau
bahkan selimut (objek kesayangan).

D. Dimensi Keterampilan Sosial

Untuk dapat meraih puncak prestasi, keterampilan sosial atau social skills
memiliki makna inti. Makna intinya adalah adanya kemampuan atau kepintaran
individu berupa seni untuk menangani emosi orang lain dan menggugah respon
orang lain, sehingaga terjadi hubungan sosial yang lancar. Hubungan sosial yang
lancer terjadi dapat ditinjau dari dimensi-dimensi dari keterampilan sosial yang
menjadi indikatornya yaitu :

 Dimensi Pengaruh, yaitu suatu dimensi yang menggambarkan suatu


kemampuan individu untuk mempengaruhi atau menerapkan taktik
persuasi secara efektif sehingga orang lain terpengaruh olehnya Ciri-ciri
orang yang dapat mempengaruhi orang lain dintaranya adalah :
 Terampil dalam persuasi
 Menyesuaikan presentasi untuk menarik hati pendengar
 Menggunakan strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak
langsung untuk membangun konsesus dan dukungan
 Memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar
menghasilkan sesuatu secara efektif.

32
 Dimensi Komunikasi, yaitu suatu dimensi untuk mengukur kemampuan
individu untuk berkomunikasi dengan cara mendengarkan secara terbuka
dan mengirimkan pesan yang dapat meyakinkan kepada orang lain.
Menurut Daniel Goleman (1999) juga ciri-ciri orang yang mempunyai
keterampilan dalam berkomunikasi antara lain yaitu :
 Efektif dalam memberi dan menerima, menyertakan isyarat emosi
dalam pesan- pesan mereka.
 Menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda.
 Mendengarkan dengan baik, berusaha saling memahami, dan
bersedia berbagi informasi secara utuh.
 Menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima
kabar buruk sebagai mana kabar baik

 Dimensi Manajemen Konflik, yaitu dimensi yang menggambarkan suatu


kemampuan individu dalam mengelola konflik dengan cara merundingkan
dan mengidentifikasi potensi konflik untuk diselesaikan secara terbuka
dengan prinsip solusi ‘win-win’. Pertikaian yang berakibat adanya konflik
sangat menyusahkan jika tidak segera ditangani. Seseorang yang bisa
menyelesaikan masalah dengan baik tanpa banyak yang dirugikan maka
orang tersebut berarti mempunyaimaejemena konflik yan bagus.

 Dimensi Kepemimpinan, yaitu suatu dimensi yang menunjukkan


kemampuan individu dalam memimpin dengan cara mengilhami,
memotivasi dan membimbing individu ke arah tujuan yang benar. Satu
cara yang ditempuh oleh pemimpin adalah untuk membangun kredibilitas
adalah dengan menangkap perasaan-perasaan secara kolektif yang tidak
diucapkan itu lalu mengungkapkannya kepada mereka, atau bertindak
sedemikian yang tanpa kata-kata pun menunjukan bahwa mereka
dimengerti. Jika pemimpinya dapat mengarahkan kebaikan dan kesuksesan
maka orang-orang yang dibawahnya juga ikut terkenal sukses. Sebaliknya
jika pemimpinnya membuat kegaduahan, berbuat yang tidak baik, dan
arahannya tidak bisa menguntungkan maka orang orang yang dibawahnya
juga terkenal jelek bahkan.

33
 Dimensi Katalisator Perubahan, yaitu suatu dimensi yang
menggambarkan kemampuan individu berperan sebagai katalisator
perubahan dengan cara menginisiasi dan mengelola perubahan untuk
menyadarkan orang lain akan perlunya perubahan dan dihilangkannya
hambatan. Mengawali suatu perubahan tidaklah mudah untuk bisa
bergerak dan sukses dalam mencapai tujuan. Perubahan diperlukan ide
yang cemerlang, keuletan, dan bekerja cepat. Dengan tiga faktor tersebut
organisasi atau perusahaan bisa dengan mudah mengelola suatu
perubahan.

Sedangkan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riggio (1986)


terdapat enam dimensi keterampilan sosial, yaitu :

 Emotional Expressivity
Emotional expressivity mengacu pada keterampilan umum dalam
mengomunikasikan pesan nonverbal. Pada dimensi ini mencerminkan
kemampuan individu untuk mengekspresikan diri secara spontan dan akurat,
merasa kondisi emosionalnya memiliki kemampuan untuk mengekspresikan sikap
nonverbal dan isyarat yang berorientasi interpersonal. Emotional expressivity
melibatkan keterampilan dalam berkomunikasi mempengaruhi, sikap, dan status.
Individu dengan emotional expressivity ini mungkin cenderung kurang memiliki
pengendalian emosi, karena mereka memiliki emosi yang spontan.

 Emotional Sensitivity
Emotional sensitivity mengacu pada keterampilan umum seseorang dalam
menerima dan mengintepretasikan komunikasi nonverbal dengan orang lain. Hal
itu berkaitan erat dengan sensitivitas nonverbal, individu dengan emotional
sensitivity yang tinggi terkait dengan kewaspadaan dalam mengamati isyarat
emosi nonverbal orang lain mampu menintepretasikan komunikasi emosional
dengan cepat dan efisien meskipun pesat tersebut tidak disampaikan secara
terang-terangan, mereka mungkin lebih mudah tersentuh atau terangsang
emosinya oleh orang lain.

 Emotional Control

34
Emotional control merupakan kemampuan umum untuk mengontrol dan
meregulasi emosinya serta bagaimana mereka menampilkan emosi secara
nonverbal. Individu dengan emotional control yang tinggi kemungkinan dapat
memainkan emosi dengan baik, mampu menimbulkan emosi dengan isyarat, dan
mampu menggunakan konflik emosi sebagai isyarat untuk menyembunyikan
keadaan emosional (misalnya, tertawa tepat pada lelucon; memasang wajah ceria
untuk menutupi kesedihan).

 Social Expressivity
Social exspressivity secara umum mengacu pada keterampilan berbicara
verbal dan kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam interaksi sosial. Social
expressivity ini mengukur kemampuan individu dalam ekspresi verbal dan
kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam kegiatan sosial. Orang yang
memiliki social exspressivity yang tinggi tampil ramah tamah dan suka berteman
karena mereka memiliki kemampuan untuk memulai percakapan dengan orang
lain.

 Social Sensitivity
Social sensitivity merupakan kemampuan untuk memecahkan kode serta
memahami komunikasi verbal yang disampaikan orang lain dan pengetahuan
umum tentang norma-norma yang mengatur perilaku sosial. dengan tepat. Oleh
masyarakat individu yang sensitif memperhatikan orang lain (misalnya, pengamat
yang baik dan pendengar). Karena pengetahuan mereka tentang norma-norma
sosial dan aturan, orang yang memiliki social sensitivity yang tinggi dapat
menjadi overconcerned (terlalu khawatir) sesuai dengan perilaku mereka sendiri
dan perilaku orang lain. Perhatian orang yang memiliki social sensitivity tinggi
dengan perilaku sosial yang tepat dapat menyebabkan kesadaran diri dan
kecemasan sosial yang dapat menghambat partisipasi orang dalam interaksi sosial.

 Social Control
Social control mengacu pada keterampilan umum menempatkan diri dalam
lingkungan sosial. Social control mengukur kemampuan dalam menempatkan diri,

35
bermain peran dan bagaimana cara individu mempresentasikan atau membawakan
diri didepan orang lain. Individu yang memiliki social control yang tinggi pada
umumnya bijaksana, terampil secara sosial, dan percaya diri. Selain itu mereka
terampil dalam memainkan peran, mampu memainkan berbagai peran sosial dan
dapat dengan mudah mengambil sikap tertentu atau orientasi dalam diskusi.
Individu social control yang tinggi secara sosial canggih dan bijaksana, karena itu
mereka mampu menyesuaikan perilaku pribadi agar sesuai dengan apa yang
mereka anggap sesuai dengan situasi sosial tertentu.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang secara


alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari
keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain.
sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka
perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu
kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai
sarana dan media pembelajaran. secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :

 Kondisi Anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan
sosial anak, antara lain temperamen anak (Kagan & Bates dalam Rubin,
Bukowski & Parker,1998), regulasi emosi (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam
Rubin, Bukowski & Parker,1998) serta kemampuan sosial kognitif (Robinson
&Garber, 1995). Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki
temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut
dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-
anak yang ramah dan terbuka lebih responsive terhadap lingkungan sosial (Kagan
& Bates dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998). Selain itu anak-anak yang
memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsive sehingga
sering ditolak oleh teman sebaya (Kagan & Bates dalam Rubin, Bukowski &
Parker,1998). Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk

36
berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media
yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi keterampilan sosial
anak. Penelitian yang dilakukan oleh (Rubin,Coplan, Fox & Calkins dalam Rubin,
Bukowski & Parker,1998) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat
membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar maupun
yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. anak
yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka
walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara
konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak
yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung
akan berperilku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu
bersosialisasi dan mengontol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani
bereksplorasi.

 Interaksi Anak dengan Lingkungan


Lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
keterampilan sosial adalah lingkungan keluarga dan lingkungan diluar keluarga,
misalnya lingkungan sekolah. Sekolah adalah tempat yang kritis untuk
meningkatkan tidak hanya aspek kognitif (seperti belajar), tetapi juga aspek
perilaku dan emosi (Warwick dalam Mulder, 2008).
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan
pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor
eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial
anak. Anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan
proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya,
ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan
penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang
tua dan teman sebaya.

37
 Usia
Anak pada usia pra sekolah memiliki sifat egosentris yang tinggi dan
masih sulit untuk memahami orang lain, akan tetapi ketika anak mulai memasuki
usia akhir kanak-kanak dan mulai bersekolah maka sikap egosentris anak sudah
mulai berkurang, anak mulai berpusat pada kebutuhan orang lain serta mulai
mempertimbangkan orang lain (Graha, 2007). Pada usia sekolah anak semakin
sering berinteraksi dengan anak-anak lain, yang dapat meningkatkan kemampuan
serta pemahaman anak akan pentingnya untuk memiliki keterampilan yang dapat
membantu dalam menjalin hubungan dengan orang lain serta teman sebayanya.

 Jenis Kelamin
Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal
ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya
sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek
aspek tertentu juga berbeda. Pada masa kanak-kanak anak laki- laki lebih
menyukai permainan yang banyak melibatkan aktivitas fisik dalam berinteraksi
dengan sosial. Sedangkan anak perempuan lebih menyukai permainan yang lebih
bersifat pasif dan menetap. Perbedaan gender tersebut dipengaruhi oleh dampak
biologis, namun berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh, belajar sosial
mempunyai pengaruh yang lebih tinggi. Anak perempuan mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadinya penarikan sosial (menarik diri) dibandingkan dengan anak
laki-laki pada ibu yang otoriter (Nelson et al, 2006).

 Keadaan Sosial Ekonomi


Kondisi perekonomian orang tua (keluarga) akan berdampak pada sikap
interaksi sosial anak. Secara umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang
memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik maka anak akan memiliki
kepercayaan yang baik pula, seperti yang dikemukakan oleh Darajat (1987) Anak-
anak orang kaya memiliki berbagai kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang
berbeda. Payne (dalam Mulder, 2008) menyatakan anak yang tinggal dalam
keluarga dengan sumber penghasilan ekonomi sedikit cenderung kurang

38
mempunyai kompetensi sosial pada usia muda karena kesempatan sosial jarang
karena terbatasnya waktu dan uang.

 Pendidikan Orang Tua


Pendidikan orang tua mempengaruhi bagaimana anak bersikap dengan
lingkungannya. Ketidaktahuan orang tua akan kebutuhan anak untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya tentu membatasi anak untuk dapat lebih leluasa
melakukan eksplorasi sosial diluar lingkungan rumahnya. Pendidikan orang tua
yang tinggi atau pengetahuan yang luas maka orang tua memahami bagaimana
harus memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. orang tua yang
memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik maka akan mendukung anaknya
agar bisa berinteraksi sosial yang baik.

 Jumlah Saudara
Menurut Downey and Condrom (dalam Mulder, 2008) menyatakan bahwa
keterampilan sosial dan interpersonal anak mempunyai pengaruh positif melalui
interaksi dengan saudara kandung dirumah dan keterampilan itu menjadi lebih
berguna saat berada diluar rumah. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa para
guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai
keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai
saudara kandung.

 Struktur Keluarga
Hasil penelitian yang dilakukan Hastuti (2009) membandingkan antara
keluarga besar dan keluarga inti terhadap perkembangan psikososial anak, dimana
hasil uji statistik menyatakan besarnya keluarga tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan terhadap perkembangan psikososial anak. Davis dan Forsythe
(dalam Mu’tadzin 2002) Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam
keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap
lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau
broken home dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka
anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya.

39
 Pekerjaan
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada
kondisi ibu bekerja diluar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan
menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan
membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

F. Keterampilan Sosial dan Perilaku Sosial pada Anak Usia Dini

Perilaku sosial adalah salah satu aspek terpenting yang harus di


kembangkan sebab sangat mempengarui proses pertumbuhan kembang anak.
Pengembangan perilaku social pada anak usia dini adalah suatu aspek yang sangat
mendukung perkembangan anak terutama dalam perkembangan social. Orang
yang berhasil melakukan perilaku sosial dengan baik apabila mampu melakukan
tindakan yang wajar yang sesuai dengan ukuran-ukuran yang digunakan di
masyarakat dan diterima. Sebaliknya prilaku sosial yang menyimpang manakala
tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat. Seseorang yang
berhasil melakukan perilaku sosial dengan baik mampu mengembangkan sikap
sosial yang menyenangkan, seperti kesediaan untuk membantu orang lain.
Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial terkait dengan
standar dari setiap kelompok sosial tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk
dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat
diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang
dapat diterima. Bentuk perilaku sosial anak juga dikemukakan oleh Dariyo
(2005:114) yaitu “ditandai dengan adanya proses identifikasi” seorang anak dapat
untuk mengembangkan perilaku sosial secara positif yang ditandai dengan
kemampuan untuk memiliki hubungan secara emosional, seorang anak akan dapat
menyerap nilai-nilai, norma-norma dan etika dari budaya sosialnya terutama dari
orangtua dan gurunya.
Lingkungan berperan dalam pengembangan moral anak usia dini. Melalui
proses tersebut, sebenarnya seorang anak akan mengimitasi atau meniru sikap dan
tindakan tokoh model guna melakukan proses identifikasi dengan orangtuanya.
Keberhasilan melakukan proses identifikasi ditandai dengan kesadaran internal
bahwa seseorang melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai, etika

40
atau norma sosial budaya, bukan karena dipaksa atau terpaksa, tetapi karena anak
memang sadar apa yang dilakukan tersebut merupakan hal yang benar.

G. Peran Guru IPS dalam Pengembangan Keterampilan Sosial Anak


Usia Sekolah

Guru berperan penting dalam peningkatan mutu pendidikan, namun


seiring perkembangan ilmu dan teknologi tantangan yang dihadapi guru semakin
berat. Sebagai pelaksana penting dalam pendidikan seorang guru mempunyai
tugas yang harus dilaksanakan, salah satu diantaranya yaitu mengembangkan
keterampilan sosial pada peserta didik. Aspek keterampilan sosial yang diajarkan
dalam pembelajaran IPS salah satunya pada aspek berkomunikasi dan berinteraksi.
Guru berperan sebagai pengarah (direktor) dan fasilitator dalam mengembangkan
keterampilan pada peserta didik. Guru harus menguasai kemampuan dasar
mengajar yang baik seperti kemampuan dalam bertanya, memberi penguat,
mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran,
membimbing diskusi kecil, mengajar kelompok kecil dan perorangan dan
mengelola kelas, dengan demikian nantinya peserta didik akan meniru dan
mencontoh, sehingga memudahkan guru dalam mengembangkan keterampilan
sosial pada peserta didik.
Guru berperan sebagai pendidik, pembimbing, pengajar, pengarah,
motivasi, fasilitator, pendorong, dan guru juga memiliki tanggung jawab besar
bagi keberhasilan peserta didik. Pentingnya pengembangan keterampilan sosial
pada peserta didik supaya mereka tidak hanya pintar dalam pengetahuannya,
namun keterampilannya juga bagus. Diterapkannya k 13 menjadikan peserta didik
lebih berkembang dan melatih mereka untuk lebih banyak berbicara, sehingga
model ceramah tidak selalu digunakan oleh guru, dengan demikian pembelajaran
di kelas tidak membosankan dan mereka menjadi aktif dan terampil.
Aspek-aspek dalam keterampilan sosial berkomuniksi dan berinteraksi
meliputi: kemampuan bekerjasama, berbicara, menghargai, mengontrol diri, dan
kemampuan berinteraksi baik di lingkungan sekolah maupun masayrakat. Dalam
mengembangkan keterampilan sosial pada peserta didik, diperlukan cara dan
pelaksanaan dalam pembelajaran. Pengembangan keterampilan sosial pada peserta

41
didik tidak hanya padamateri pembelajaran yang bertemakan isu-isu sosial, namun
dikembangkan melalui metode dalam pelaksanaan pembelajaran. Proses
pengembangan keterampilan sosial pada peserta didik terdiri dari tiga tahap,
diantaranya perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.

H. Keterampilan Sosial Yang Harus Dimiliki Anak Usia Sekolah

Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh anak usia sekolah adalah :
1) Perilaku Interpersonal Perilaku interpersonal adalah perilaku yang
menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi
sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.
2) Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri Perilaku ini merupakan
ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi
sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan
orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.
3) Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis Perilaku
ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di
sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah
dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.
4) Penerimaan Teman Sebaya Hal ini didasarkan bahwa individu
yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung
ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul
dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah:
memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat
emosi orang lain, dan sebagainya.
5) Keterampilan Berkomunikasi Keterampilan ini sangat diperlukan untuk
menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan
balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar
yang responsif.

42
I. Langkah-Langkah Dalam Membantu Pengembangan Keterampilan
Sosial Anak Usia Dini

The Consultative Group on Early Childhood Care and Develepment


memberikan gambaran tentang langkah-langkah dalam membantu pengembangan
keterampilan sosial anak usia dini yaitu:

a. Memberikan kesempatan perkembangan sosial secara positif, pada


anak. Misalnya memberikan kesempatan pada anak untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
b. Menciptakan proses pendidikan dan pembelajaran yang
memberikan wahana untuk pengembangan sosial anak secara
positif. Misalnya menciptakan area permainan drama dan area
lainnya yang relevan.
c. Menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
pengembangan sosial secara positif. Misalnya membiarkan anak
bermain dan melengkapi alat permaianan yang dibutuhkan.

J. Perkembangan Keterampilan Sosial Anak Usia Dini Sebagai Bibit


Untuk Masa Depan

Perkembangan social anak sangat tergantung pada individu anak, peran


orang tua, lingkungan masyarakat dan termasuk Taman Kanak-kanak. Ada kaitan
erat antara keterampilan bergaul dengan masa bahagia dimasa kanak-kanak.
Kemampuan anak untuk menyessuaikan diri dengan lingkungan. Penerimaan
lingkungan serta pengalaman-pengalaman positif lain selama melakukan aktivitas
social merupakan modal dasar yang sangat penting untuk satu kehidupan sukses
dan menyenangkan dimasa yang akan datang, apa anak dipupuk dimasa kanak-
kanak akan mereka petik buahnya dimasa dewasa kelak. Perkembangan social
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan
sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma kelompok, moral,
dan tradisi.

43
Secara (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan sebagai makluk sosial
(zoon politicon) namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam
interkasi dengan lingkungan manusia-manusia lain.

1. Ciri-ciri Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Sujiono (2009)


a. Kelahiran sampai usia tiga tahun
a) Bereaksi terhadap orang lain
b) Menikmati pada saat bergaul dengananak-anak lain
c) Dapat memelihara keterlibatan dengan anak yang lain
untuk suatu periode yang sangat pendek
d) Mampu berbagi tanpa perlu membujuk
e) Menunjukkan kemampuan yang sangat kecil untuk
menunda kepuasaan.
b. Usia 3-4 tahun
a) Menjadi lebih sadar akan diri sendiri
b) Mengembangkan perasaan rendah hati
c) Menjadi sadar akan rasial dan perbedaan seksual
d) Dapat mengambil arah, mengikuti beberapa aturan
e) Memiliki perasaan yang kuat kearah rumah dan keluarga
c. Usia 5-6 tahun
a) Menyatakan gagasan yang kaku peran jenis kelamin
b) Memiliki teman baik, meskipun untuk jangka waktu yang
pendek
c) Ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan pengalaman di
sekolah
d) Menjadi lebih posesif terhadap barang-barang
kepunyaannya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak Usia Dini


(Hurlock, 1995)
a. Faktor Lingkungan Keluarga
Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar
tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain.

44
Kemampuan ini diperoleh anak melalui kesempatan atau
pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya, baik
orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa lainnya.
Dan lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama yang
pertama akan dikenal anak.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses
perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal
berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan
bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada
anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim
disebut sosialisasi.

b. Faktor Dari Luar Rumah


Faktor di luar rumah adalah wadah bagi anak untuk
bersosialisasi. Di luar rumah anak akan bertemu dengan orang
yang lebih banyak, seperti temans ebaya, orang yang lebih kecil
darinya, orang dewasa, sehingga socialnya akan berjalan sesuai
dengan perannya di lingkungan tersebut.

c. Faktor Pengaruh Pengalaman Sosial Anak


Jika seorang anak memiliki pengalaman sosial yang buruk,
seperti tidak diperbolehkan main keluar rumah oleh orang tuanya,
maka hal itu, akan berpengaruh bagi proses sosialisasinya kepada
lingkungan sekitarnya yang berada di luar rumah. Hal ini, akan
menyebabkan anak menjadi tidak tahu dan kurang bersosialisasi
dengan lingkungan di luar rumah.

45
BAB V

STRATEGI PEMBELAJARAN SOCIAL SKILLS DALAM IPS

1. Pengertian Pembelajaran Social Skills Dalam IPS

Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat IPS (Social studies) didefinisikan


sebagai program yang meliputi aspek-aspek hubungan antar manusia dan nilai-
nilai sosial, keadaan dan perubahan-perubahan yang diyakini memberi- kan
pengaruh penting dalam pendidikan siswa secara umum. Di Indonesia IPS (Social
studies) menjadi mata pelajaran yang diberikan pada tingkat sekolah dasar (SD)
sampai sekolah menengah pertama (SMP). Berbeda dengan ilmu sosial secara
umum, ilmu pengetahuan sosial (IPS) tidak memusatkan diri pada satu topik
secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.

Tujuan pembelajaran IPS antara lain: (1) untuk memaksimalkan peran-


peran efektif siswa sebagai warga negara yang baik, berdasarkan nilai-nilai
penghargaan pada individu seperti; kesamaan, keadilan, dan kesadaran umum, (2)
untuk mengembangkan pemahaman tentang interaksi dan hubungan antar manusia
berdasarkan pada data, konsep, dan faktafakta yang digambarkan dalam ilmu
pengetahuan sosial, (3) untuk mengembangkan pemikiran, pengambilan
keputusan, penemuan baru, dan pengambilan nilai-nilai, (4) untuk
mengembangkan dan mempraktekkan keterampilan belajar, baik individu maupun
kelompok kerja yang sesuai dengan ilmu pengetahuan sosial, (5) mengembangkan
keterampilan dan sikap belajar bagaimana seharusnya belajar, (6) untuk
membantu siswa memahami dan merefleksikan nilai-nilai sosia, mengembangkan
dan mengklarifikasi nilai-nilai personal, (7) untuk memaksimalkan partisipasi
siswa sesuai dengan aktifitas sosial baik sebagai individu maupun kelompok.

Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, maka


IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah
menengah pertama (SMP). Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di jenjang pendidikan
SMP terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Dengan demikian ruang lingkup

46
IPS tidak lain adalah perilaku sosial, ekonomi, dan budaya manusia yang ada di
masyarakat.

2. Permasalahan Pembelajaraan Social Skill Dalam IPS

Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur pendidikan


dan pembekalan pada peserta didik. Penekanan pembelajarannya bukan sebatas
pada upaya menjejali peserta didik dengan sejumlah konsep yang bersifat hafalan
belaka, melainkan terletak pada upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang
telah dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni
kehidupan masyarakat di lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sinilah sebenarnya
penekanan misi dari pembelajaran IPS. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran
guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai dengan kondisi dan
perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar
berguna dan bermanfaat bagi siswa itu sendiri.

Tetapi ada problem yang dihadapi dalam pembelajaran IPS dalam


mencapai tujuan pembelajaran yaitu lemahnya proses pembelajaran. Lemahnya
proses pembelajaran IPS tersebut antara lain; pembelajaran masih berpusat pada
guru (teacher centered), pembelajaran kurang didorong untuk mengembangkan
kemampuan berpikir, proses pembelajaran hanya diarahkan kepada kemampuan
anak untuk menghafal informasi, anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun
berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu
untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-harinya. Akibatnya ketika
anak didik kita lulus dari sekolah, dan hidup ditengah-tengah masyarakat mereka
mengalami kepincangan dalam hal kehidupan sosial. Mereka pintar secara teoritis
atau keilmuan, tetapi mereka sebenarnya miskin sekali tentang aplikasinya dalam
kehidupan sosial di masyarakat, sehingga tujuan pembelajaran IPS agar menjadi
warga Negara yang baik tidak maksimal tercapai.

3. Strategi Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) tipe Jigsaw

Pendekatan pembelajaran yang masih berpusat pada guru (teacher


centered), guru mendominasi perannya sebagai satu-satunya penyampai informasi

47
melalui ceramah, tanya jawab, menyerahkan tugas, hal ini berakibat peserta didik
cenderung untuk menghafal materi pelajaran daripada. memahami makna yang
dipelajari. Pembelajaran inilah oleh Lindquist disebut dengan pembelajaran
tradisional. Akibat dari pola pembelajaran yang demkian, maka mata pelajaran
IPS menjadi mata pelajaran yang menghafal, membosankan, dan tidak menarik.
Untuk mengatasi masalah pembelajaran IPS di atas, sudah seharus guru merubah
paradigma pembelajarannya dari teacher centered ke students centered, sehingga
pembelajaran yang dilakukan pembelajar merupakan upaya untuk membelajarkan
pebelajar (siswa), serta mendorong dan memfasilitasi siswa agar terjadi proses
belajar. Oleh karena itu kemampuan pembelajar (guru) dalam memilih dan
menggunakan strategi pembelajaran sangat menentukan efektifitas pencapaian
hasil belajar.

Berangkat dari tujuan pembelajaran IPS, strategi pembelajaran kooperatif


(cooperative learning) tipe jigsaw menjadi salah satu pilihan untuk memecahkan
masalah pembelajaran IPS. Strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini
memungkinkan peserta didik saling membantu dan mendukung serta kerja sama
saling tergantung (interdependence) untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam
proses belajar. Selain itu strategi ini dapat meningkatkan keterampilan sosial
peserta didik dalam berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas kelompok mereka.
Dalam kelompok mereka akan membagi peran sesuai macam tugas seperti peran
pencatat, pembuat kesimpulan, pengatur materi, atau fasilitator dan pembina mata
pelajaran sebagai pemonitor proses belajar. 8 Dengan demikian, keterampilan
sosial (Social skills) yang merupakan bawaan siswa mampu memberikan
dorongan untuk berperan dan berpartisipasi dalam mencapai peran dan suksesnya
individu dalam pembelajaran cooperative.

Falsafah yang mendasari pembelajaran kooperatif (pembelajaran gotong


royong) adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Pembelajaran ini menekankan pada sikap atau perilaku bersama
dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang
teratur, dalam kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran
kooperatif merupakan strategi pembelajaran dengan kelompok–kelompok kecil

48
dan kemampuan hiterogen. menggunakan berbagai aktifitas belajar untuk
meningkatkan pemahaman mereka. Oleh karenanya tujuan dari pembelajaran
kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan
dan dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Pembelajaran kooperatif
dikembangkan dengan tujuan untuk mencapai tiga hal yaitu hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan
social.

Data empiris menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif mampu


meningkatkan prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap
keanekaragaman, pengembangan keterampilan sosial, menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta mampu meningkatkan harga diri.
Selain itu pembelajaran kooperatif juga dapat merealisasikan kebutuhan pebelajar
(siswa) dalam belajar berfikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan
pengetahuan dan keterampilan social. Oleh karena itulah tidak berlebihan jika
pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan seluruh dimensi pebelajar.

Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Wang, pada lembaga


pendidikan guru bahasa Inggris di universitas Kun Shan–Cina untuk mengetahui
perbandingan tentang kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran
tradisonal dan pembelajaran kooperatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaannya memiliki kelebihan yaitu
mendorong siswa untuk ambil bagian dalam pembelajara, kerjasama dalam
kelompok. Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran tradisional bahwa untuk
mendapatkan nilai yang tinggi, dan tujuan individu, kompetisi individu sangat
diperlukan. Jadi siswa menjadi lebih egois dan saling tergantung negative.

4. Pengaruh Strategi Pembelajaraan Kooperatif Dan Social Skill Terhadap


Hasil Belajar IPS

Pembelajaran kooperatif pada ilmu pengetahuan sosial adalah efek


pengembangan sosial siswa, di samping memperkuat dan memperluas
pemahaman terhadap kurikulum, hal ini termasuk empati terhadap orang lain
dalam berbudaya, menjadi warga negara yang baik serta berfikir kritis. Hasil

49
penelitian Ali (2011), menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan yaitu
bahwa pembelajaran kooperatif lebih efektif dalam hal pencapaian hasil belajar
yang berupa pengetahuan dan aplikasi kursus manajemen proyek. Hasil penelitian
Baghcheghi, et al. (2011) juga memberikan rekomendasi bahwa pembelajaran
kooperatif lebih efektif dalam meningkatkan komunikasi dan interaksi pada
mahasiswa keperawatan dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Ahmad
& Mahmood, dalam penelitiannya juga memberikan rekomendasi bahwa efek
Cooperative learning mampu meningkatkan kerjasama dan peduli terhadap
sesama dalam pembelajaran dibandingkan dengan pembelajaran tradisional.

Ada beberapa tipe dalam pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan,


salah satunya adalah jigsaw. Sebagai salah satu bentuk pembelajaran kooperatif,
jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan
teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan
teman-teman di Universitas John Hopkins. Dalam teknik ini, guru memperhatikan
skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siwa mengaktifkan
skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. siswa bekerja sama
dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab


siswa tersebut terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus
siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya
yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan
harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan”.
Pembelajaran kooperatif jigsaw yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu
kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan
mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.

Dengan demikian dalam pembelajaran kooperatif jigsaw, memungkinkan


interaksi antar siswa, sehingga siswa dengan hiterogennya kemampuannya saling
terlibat. Oleh karena itu kooperatif sangat erat dengan interaksi sosial antar siswa
yang berwujud keterampilan sosial (social skills). Dengan interaksi sosial dalam

50
kelompok maka kelemahan salah satu anggota kelompok akan dapat dibantu oleh
kemampuan anggota kelompok yang lain. Hasil penelitian Naomi & Githua
menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif jigsaw (Jigsaw cooperative
learning strategy) efektif dalam pencapaian hasil belajar.

Keterampilan sosial (social skills) adalah kemampuan individu untuk


berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun non verbal
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini
merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan
mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain. Keterampilan sosial membawa
remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau
permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif,
sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Dalam konteks inilah strategi pembelajaran kooperatif Jigsaw akan


memperkuat keterampilan sosial (social skills), siswa melakukan kerjasama yang
efektif dan saling ketergantungan. Antar siswa saling interaksi untuk saling
menyampaikan ide, gagasan serta pesan berkaitan dengan materi pembelajaran.
Keterampilan sosial (social skills) sebagai sifat yang di miliki setiap siswa, akan
memberikan pengaruh pada hasil belajar siswa. Hasil belajar merupakan efek
yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode.
Efek dari penggunaan metode bisa sengaja dirancang (ditetapkan lebih dahulu)
maka metode harus dipilih agar optimal mencapai tujuan hasil belajar, sebaliknya
jika bisa jadi efek tidak dirancang (hasil nyata/tidak terkondisikan) maka metode
ditetapkan dan kita melihat efek yang terjadi. Hasil belajar sebagai efek dari peng
gunaan metode baik hasil belajar yang dirancang maupun tidak dirancang, dapat
diklasifikasikan menjadi tiga:

1. kefektifan pembelajaran
2. efisiensi pembelajaran
3. daya tarik pembelajaran.

51
Reigeluth & Merrill sebagaimana dikutif dalam Degeng mengemukakan bahwa

1. keefektifan pembelajaran berkaitan erat dengan pencapaian tujuan


pembelajaran, oleh karena itu pengukurannya difokuskan pada tingkat
pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Efisiensi pembelajaran berkaitan dengan waktu, personalia, dan sumber
belajar yang dipakai, oleh karena itu pengukurannya berapa lama, berapa
banyak waktu, personalia dan sumber belajar yang yang dirancang dan
digunakan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
3. Sedangkan daya tarik erat kaitannya dengan daya tarik siswa pada mata
pelajaran yang dipelajari, oleh karena itu pengukurannya berfokus pada
siswa untuk tetap dan terus belajar

52
BAB VI

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL SKILL

1. Pengertian Model Pembelajaran Interaksi Sosial

Model interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran yang menekankan


pada terbentuknya hubungan antara peserta diklat yang satu dengan yang
lainnya. Model ini berawal dari paradigma bahwa individu tidak mungkin bisa
membebaskan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Dalam konteks yang
lebih luas, hubungan itu mengarah pada hubungan individu dengan
masyarakat. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dapat menjadi wahana
untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat berinteraksi secara ekstensif
dengan masyarakat, mengembangkan sikap dan perilaku demokratis, serta
menumbuhkan produktivitas kegiatan belajar peserta didik. Model interaksi
sosial didasarkan pada dua hipotesis pokok, yaitu;

1. Masalah-masalah sosial dapat diredam dan dipecahkan melalui


musyawarah bersama melalui proses-proses sosial yang melibatkan
berbagai kelompok masyarakat;
2. Proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan dalam upaya
perbaikan sistem kehidupan sosial masyarakat secara terarah dan
berkesinambungan.
2. Macam-macam Model Pembelajaran Interaksi Sosial

a. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok merupakan sarana untuk memajukan dan
membimbing keterlibatan siswa di dalam proses pembelajaran. Dalam
investigasi kelompok, kebermaknaan pembelajaran sangat bergantung pada
aspek kebutuhan-kebutuhan siswa dalam memperoleh dan mengembangkan
domain kognitif, nilai-nilai (value), serta pengalaman belajar mereka dapat
terpenuhi secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
di sekolah. Pembelajaran investigasi kelompok yang di dalamnya sangat
menekankan vitalnya komunikasi yang bebas dan saling bertukar (sharing)

53
pengalaman yang dimiliki akan memberikan lebih banyak manfaat
dibandingkan jika mereka melakukan tugas secara sendirisendiri.
Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 16) mengungkapkan bahwa model
investigasi kelompok dapat digunakan untuk membentangkan
permasalahan amoral dan sosial yang terjadi di lingkungan siswa,
selanjutnya siswa dapat diorganisasikan dengan teknik melakukan
penelitian bersama atau cooperative inquiry terhadap masalah-masalah
sosial dan moral, maupun masalah akademis.
1) Langkah-langkah Pembelajaran Investigasi Kelompok Berikut ini
adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan
Investigasi kelompok yang antara lain:

Adapun untuk memperjelas langkah tersebut berikut salah satu contoh


model pembelajaran yang dilakukan oleh Killen (dalam Aunurrahman 2012:
152) memaparkan beberapa ciri esensial penerapan investigasi kelompok
sebagai model pembelajaran, yaitu:

a. Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil (maksimal 4


orang) dan memiliki independensi terhadap guru.
b. Kegiatan yang dilakukan siswa terfokus pada upaya-upaya untuk
menjawab beberapa pertanyaan yang telah dirumuskan.

54
c. Pengalaman belajar siswa yang harus dikuasai meliputi;
mengumpulkan dan menganalisis sejumlah data, selanjutnya
merumuskan kesimpulan.
d. Dalam kegiatan belajar, siswa dapat memanfaatkan berbagai ragam
pendekatan yang bervariatif.
e. Hasil-hasil dari penelitian para siswa dirundingkan dengan bergiliran
di antara seluruh siswa dalam kelompok.

2) Sistem Sosial dalam Pembelajaran Investigasi


Kelompok Sistem sosial adalah model pembelajaran investigasi
kelompok menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis yang diatur oleh
suatu kesepakatan yang dikembangkan atau paling tidak divalidasi oleh
pengalaman kelompok dalam batas dan hubungan terhadap fenomena
rumit yang kemudian dijelaskan oleh seorang guru sebagai objek
pembelajaran. Aktivitas kegiatan kelompok timbul dalam sejumlah
struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. Sistem
sosial dalam pembelajaran ini menjelma dalam kegiatan kelompok antara
perbedaan peran siswa dan guru meskipun status keduanya yang sama.
Atmosfer merupakan salah satu alasan negosiasi.

3) Peran Guru dalam Pembelajaran Investigasi Kelompok


Berikut ini adapun peran guru dalam model pembelajaran
Investigasi Kelompok sebagai berikut:
a. Guru berperan sebagai fasilitator yang langsung dan implikasi dalam
kegiatan kelompok (membimbing siswa dalam merumuskan
rancangan, action, dan mengelola kelompok).
b. Memberikan informasi (pengetahuan tentang metode yang
digunakan).
c. Konselor akademik (membantu siswa saat menghadapi suatu
keadaannyang membingungkan kemudian guru akan menguji dan
memperhatikan kebiasaan alami mereka yang tercermin dalam reaksi
yang berbeda-beda).

55
d. Membantu siswa membingkai proposisi yang reliable.
e. Memberikan bantuan kepada siswa tanpa harus menekan siswa.

4) Sistem Dukungan dalam Pembelajaran Investigasi Kelompok


Sistem pendukung dalam investigasi kelompok harus komprehensif
dan responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Sekolah harus dilengkapi
dengan sebuah ruang perpustakaan yang menyediakan informasi dan
opini dari berbagai macam media; sekolah juga harus memberikan akses
terhadap referensi-referensi luar. Siswa harus diberi motivasi untuk
menyelidiki dan berkoneksi dengan orang-orang yang dapat dijadikan
testimoni di luar sekolah. Pada intinya, guru dan siswa harus dapat
menghimpun segala sesuatu yang dibutuhkan oleh mereka.

5) Dampak-dampak Instruksional dan Pengiring dalam Model Investigasi


Kelompok Model Investigasi Sosial memiliki daya tarik,
bermanfaat serta komprehensif untuk dikaji dan diterapkan dalam
pembelajaran di sekolah. Model ini memadukan tujuan penelitian
akademi, integrasi sosial, dan pembelajaran serta proses sosial. Model ini
dapat digunakan dalam semua subjek pelajaran dan cocok untuk segala
tingkat umur siswa. Jika guru berpretensi untuk mengaksentuasikan
proses formulasi dan resulasi masalah dalam beberapa aspek ilmu
pengetahuan dibanding memasukan informasi yang belum terstruktur dan
belum ditetapkan. Model Investigasi Kelompok sebagai suatu cara
langsung yang harmonis dan begitu afektif dalam pengajaran ilmu
pengatahuan secara akademik serta mampu menyentuh proses dan aspek-
aspek sosial. Model ini juga mempresentasikan sebuah pembimbingan
atau konseling satu sama lain dengan suasana yang hangat, penuh
kepercayaan, dan respons positif terhadap regulasi serta kebijakan yang
dinegosiasikan, serta rasa liabel terhadap orang lain.

56
b. Bermain Peran (Role Playing)
Role Playing merupakan sebuah model pembelajaran yang didasarkan
pada perspektif pendidikan individu maupun interaksi sosial. Model ini
mengakomodasi kebutuhan tiap-tiap siswa untuk dapat menemukan makna
pribadinya dalam jagat sosial mereka dan menunjang cara memecahkan
masalah/dilema pribadi dengan dukungan golongan sosialnya. Dalam
dimensi sosial model ini membantu memudahkan individu untuk
bekerjasama menganalisis keadaan sosial, khususnya masalah antar
manusia. Model ini juga membantu dalam proses pengembangan sikap
sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah.
1) Langkah-langkah Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)
Adapun langkah-langkah model pembelajaran Role Playing
(Bermain Peran) akan dijabarkan pada tabel berikut ini :

57
2) Sistem Sosial dalam Pembelajaran dalam Pembelajaran Role Playing
(Bermain Peran)
Sistem sosial dalam model ini cukup terukur. Guru memiliki
tanggungjawab, paling tidak pada awal permainan, untuk memulai
tahap-tahap dan membimbing siswa melalui aktivitas dalam setiap
tahap. Kendatipun materi eksklusif dalam musyawarah dan pemeranan
sangat ditentukan oleh siswa. Pertanyaan yang diajukan oleh guru
seharusnya dapat merangsang ekspresi atau ungkapan yang kredibel
serta bebas dan menggambarkan perasaan atau pikiran siswa yang
sebenarnya. Guru harus menanamkan kualitas dan kepercayaan antara
dirinya dan siswa-siswanya. Walaupun guru reflektif dan sportif, siswa
tetaplah pihak yang berperan mengambilalih atau mengontrol, arah
pengajaran, serta hal yang terpenting lagi yaitu memutuskan apa yang
harus diperiksa dan usulan mana yang akan dieksplorasi. Pada intinya,
guru memformat penelusuran tingkah laku dengan berpegangan pada
ciri khas pertanyaan yang muncul, guru juga menetapkan fokus.

3) Peran Guru dalam Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)


Berikut ini peran guru dalam pembelajaran Role Playing (bermain
peran) yang antara lain:
a. Guru seharusnya menerima semua respon dan saran siswa terlebih
gagasan dan perasaan mereka, dengan teknik yang tidak terkesan
menjustifikasi mereka.
b. Guru harus responsif sebagai upaya mendorong siswa untuk
menelusuri bidang-bidang yang berbeda dalam situasi permasalahan
tertentu, serta mempertimbangkan alternatif yang berbeda.
c. Meningkatkan pemahaman siswa berkenaan perasaan dan pikiran
mereka sendiri.
d. Menitikberatkan beberapa cara yang berbeda untuk memainkan
peran yang sama dan konsekuensi yang berbeda yang akan mereka
temukan.

58
e. Membantu siswa untuk merefleksikan dan memerhatikan
konsekuensi-konsekuensi untuk mengevaluasi resolusi dan
menganalogikannya dengan alternatif yang lain.

4) Masalah Sosial dalam Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)


Berikut ini beberapa permasalahan sosial yang mudah untuk
ditelusuri yang bantuan model Role Playing yaitu:
a. Konflik Interpersonal. Memunculkan konflik antara beberapa
orang sihingga siswa dapat menemukan teknik untuk mengatasi
konflik tersebut.
b. Relasi Antarkelompok. Ciri Role Playing yang satu ini dapat
digunakan untuk membuaka Stereotype dan prasangka atau untuk
mendorong penerimaan terhadap hal-hal yang ganjil.
c. Dilema Individu. Hal yang paling problematis dalam Role Playing
ini adalah membuat siswa dapat mengakses dilema dan membantu
mereka untuk mengerti mengapa hal tersebut terjadi dan apa yang
seharusnya dilakuakan.
d. Masalah Historis atau Kontemporer. Dalam Role Playing ini
dihadapkan pada pembuat kebijakan, dan pemimpin politik, atau
negarawan harus mengahdapi suatu masalah dan kemudian
membuat keputusan.

59
Adapun fokus-fokus yang ada dalam sesi Role Playing yang antara
lain sebagai berikut:

5) Sistem Pendukung dalam Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)


Materi atau bahan yang terkandung dalam Role Playing memang
hanya segelintir, akan tetapi hal itu tidak mempengaruhi nilai atau
perannya yang sangat vital. Perangkat utamanya adalah situasi
problematis. Situasi ini akan membantu siswa dalam membentuk dan
mengarahkan pada setiap peran.

c. Pembelajaran Yurisprudensial
Pada mulanya model ini merupakan studi kasus dalam proses peradilan
yang selanjutnya diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Dalam model ini para peserta didik sengaja dilibatkan dalam ragam
permasalahan sosial yang menuntut pabrikasi kebijakan pemerintah yang
diperlukan serta pelbagai macam pilihan untuk mengatasi isu sosial
tersebut, misalnya tentang konfrontasi moral, intoleransi dan tingkah laku
sosial lainnya. Model ini juga didasarkan atas konsep tentang keberagaman
masyarakat dalam menafsir perbedaan-perbedaan paradigma dan prioritas

60
bahkan konfrontasi nilai antara seseorang dengan yang lain. Untuk
mengatasai masalah yang komplek terutama tentang isu-isu yang
kontrofersial maka menuntut warga negara untuk dapat berbicara satu sama
lain, dapat bernegosiasi mengenai perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
tersebut. Model ini potensial untuk digunakan dalam kajian bidang studi
yang membahas tentang isu-isu kebijaksanaan umum atau berkaitan dengan
kebijaksanaan umum, termasuk yang berkenaan dengan isu-isu atau konflik
moral dalam kehidupan sehari-hari.

1) Langkah-langkah Pembelajaran Yurisprudensial


Berikut ini adapun langkah-langkah pelaksanaan proses
pembelajaran Yurisprudensial yang antara lain:

2) Sistem Sosial dalam Pembelajaran Yurisprudensial


Struktur dalam model ini menjangkau wilayah mulai dari level
tertinggi hingga terendah. Guru dapat memulai dari tahap pertama,
kemudian berlanjut pada tahap-tahap berikutnya. Setiap tahap dalam

61
langkah-langkah pembelajaran Yurisprudensial, guru memantau
(monitoring) perkembangan kemampuan siswa dalam menyelesaikan
tugasnya. Setelah mempelajari model ini, siswa seharusnya dapat
melaksanakan prosesnya tanpa bantuan siapapun.

3) Peranan Guru dalam Pembelajaran Yurisprudensial


Dalam model ini guru memiliki peranan sebagai berikut.
a) Memeriksa substansi yaitu merespon anotasi siswa dengan
menanyakan kembali terkait relevansi, koherensi,
partikularitas, dan kejelasan definitif.
b) Guru mendorong siswa untuk berpikir, sehingga satu pikiran
atau urutan alasan dapat dikejar dan diperpanjang untuk
ekmudian mengantarkan pada konklusi yang logis sebelum
memulai membahas argumen yang lain.
c) Mengantisipasi tuntutan siswa terhadap nilai-nilai yang harus
dipersiapkan untuk menantang dan melakukan penjejakan serta
pemeriksaan.
d) Guru memeriksa pendapat salah seorang siswa secara
mendetail sebelum menantang siswa yang lain.
4) Sistem Pendukung dalam Pembelajaran Yurisprudensial
Materi utama yang dapat menjunjung model ini adalah inskripsi-
inskripsi sumber yang fokus pada situasi permasalahan. Ciri yang
membedakan pendekatan ini adalah bahwa kasus-kasus tersebut
merupakan catatan-catatan mengenai situasi-situasi yang nyata dan
hopotikal. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa semua fakta yang
berasosiasi dengan situasi dan kondisi semacam ini dapat dimasukan
dalam materi-materi kasus sehingga kasus yang dibahas tidak akan kabur
dan membingungkan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Model Pembelajaran Interaksi


Sosial

62
Selama model pembelajaran Interaksi Sosial diterapkan, proses interaksi
akan muncul dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Beberapa factor
tersebut meliputi;
1) Faktor Imitasi, merupakan aktifitas meniru individu terhadap gaya hidup
orang lain yang diamatinya ketika menghadapi situasi dan keadaan
tertentu;
2) Faktor Sugesti, merupakan penilaian berdasarkan sudut pandang atau
sikap individu yang berasal dari individu itu sendiri namun diterima oleh
orang lain. Factor ini serupa dengan proses yang terjadi pada factor
imitasi, namun letak perbedaannya pada titik tolaknya yaitu si penerima
(orang lain) mengalami kondisi emosi yang serupa, akibatnya
kemampuan rasionalnya menjadi terhambat;
3) Faktor Identifikasi, merupakan kecenderungan individu secara sadar
maupun tidak sadar untuk menjadi serupa dengan orang lain;
4) Faktor Simpati, merupakan suatu proses individu yang tertarik pada
pihak lain. Meskipun factor simpati berupa keinginan individu untuk
memahami dan bertindak kooperatif dengan orang lain, tapi sebenarnya
peran vital dalam faktor ini adalah lebih condong pada perasaan individu
tersebut.

4. Penerapan Model Pembelajaran Interaksi Sosial


Dalam penerapan ini yang akan dipilih untuk mengajarkan materi IPS di
SD adalah model Inkuiri Sosial yang termasuk dalam Model Yurisprudensial,
melalui tahap-tahap berikut ini:
1) Tahap Orientasi, Dalam tahap ini, siswa diminta memilih masalah
sosial (tentu saja yang relevan dengan GBPP) yang akan dijadikan
pokok bahsan. Masalah dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa sosial
di kelas, sekolah atau masyarakat sekitar sekolah.
2) Tahap Hipotesis, Tahap hipotesis dilakukan setelah perumusan dan
pembahasan masalah. Fungsi perumusan hipotesis adalah sebagai
acuan dalam usaha menemukan pemecahan masalah.Hipotesis yang
baik, diperlukan beberapa kriteria yaitu;

63
a) Valid atau mempunyai kejelasan untuk melakukan pengujian
(menguji apa yang seharusnya diuji),
b) Kompatibilitas, yaitu kesesuaian antara hipotesis dengan
pengalaman siswa atau guru yang pernah diperoleh, dan
c) Mempunyai hubungan dengan peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi sebelumnya.
3) Tahap Definisi, Pada tahap ini siswa mengadakan pembahasan secara
konseptual secara definitif tentang latihan-latihan yang terdapat dalam
hipotesis. Hal ini penting agar terdapat pengertian dan pemahaman
yang selaras pada setiap siswa.
4) Tahap Eksplorasi, Tahap eksplorasi adalah tahap pengujian hipotesis
dengan logika konklusif dan mengembangkan hipotesis dengan
implikasi serta asumsi-asumsi. Apabila telah reliabel antara hipotesis
dengan dasar logika, maka tahap selanjutnya yaitu tahap justifikasi
dengan fakta-fakta.
5) Tahap Pembuktian, Dalam tahap ini, para siswa mengumpulkan data
dengan metode yang sesuai. Misalnya, melalui wawancara, angket dan
observasi. Jika data telah terkumpul, kemudian diadakan analisis data
untuk disimpulkan dan ditentukan hipotesis diterima atau ditolak.
6) Tahap Generalisasi, Tahap ini merupakan tahap akhir dari model
inkuiri sosial. Pada tahap ini telah dapat disusun afirmasi terbaik dalam
pemecahan masalah. Generalisasi yang dihasilkan hendaknya disusun
secara sederhana sehingga mudah dipahami oleh siswa.

5. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Interaksi Sosial

Secara keseluruhan berdasarkan berbagai macam model Interaksi Sosial


tersebut, berikut ini adapun kekurangan dari model Interaksi Sosial antara lain:

a. Kekurangan Model Interaksi Sosial :


1) Keterhubungan menjadi tidak jelas; transfer pembelajaran lebih sedikit.
2) Disiplin-disiplin ilmu tidak berkaitan; content tetap terfokus pada satu
disiplin ilmu.

64
3) Siswa bingung berkenaan dengan konsep utama dari suatu kegiatan
atau materi pelajaran yang telah dipelajari.
4) Membutuhkan kolaborasi yang kontinu dan fleksibilitas yang tinggi,
karena para pendidik memiliki lebih sedikit otonomi untuk merancang
kurikulum.
5) Membutuhkan waktu yang panjang danfleksibilitas, komitmen dan
kompromi dari semua kalangan terutama untuk kegiatan pembelajaran
kolaboratif.
6) Guru harus selektif dalam menetukan tema yang relevan sesuai dengan
konten materi ajar, sehingga pembelajaran bermakna dapat terwujud.
7) Disiplin-disiplin ilmu yang saling terkait tetap dikaji terpisah-pisah
satu sama lain.
8) Dapat memecah perhatian siswa, sehingga segala upaya yang
direncanakan menjadi tidak efektif.

b. Kelebihan Model Interaksi Sosial


Secara keseluruhan berdasarkan berbagai macam model Interaksi Sosial
tersebut, adapun kelebihan dari model Interaksi Sosial yang antara lain:
1) Adanya kejelasan dan pandangan yang terkotak-kotak dalam suatu mata
pelajaran.
2) Konsep-konsep utama saling terkoneksi, mengarah pada repetisi
(review), rekonseptualisasi, dan asimilasi gagasan-gagasan dalam suatu
disiplin ilmu.
3) Memberikan minat pada berbagai bidang studi yang berbeda dalam
waktu yang bersamaan, serta mampu memperkaya dan memperluas
topic pembelajaran.
4) Memudahkan transfer pengetahuan dan pembelajaran yang berintegrasi
dengan beberapa mata pelajaran lain.
5) Diperoleh berbagai macam pengalaman instruksional bersama, apabila
pembelajaran dilaksanakan berkolaboratif dengan guru lain.
6) Mampu memotivasi siswa sehingga memudahkan siswa untuk
mengintegrasikan antar gagasan.

65
7) Bersifat proaktif; siswa terstimulan oleh informasi, kecakapan (skill),
atau konsepsi baru.

66
BAB VII

ANALISIS KURIKULUM KETERAMPILAN SOSIAL DALAM IPS

1. Latar Belakang Analisis Kurikulum Keterampilan Sosial Dalam IPS

Kemajuan teknologi informasi menyebabkan derasnya lalu lintas


informasi, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Kondisi global ini
berdampak pada perubahan di segala bidang, khususnya dunia pendidikan.
Muatan kurikulum pendidikan harus bisa merespon tuntutan perubahan
tersebut. Peserta didik sejak dini harus dibekali dengan keterampilan, baik
hardskills maupun softskills. Hardskills terdapat pada muatan kurikulum
kejuruan, sedangan sofskills terdapat pada muatan kurikulum IPS. Hasil
penelitian Ramakrishnan & Yasin (2011, hlm. 10855) menjelaskan bahwa
pada abad ke - 21, telah terjadi kekhawatiran tentang peran institusi
pendidikan terhadap penyediaan sumber daya manusia yang bisa beradaptasi
dengan perkembangan dan perubahan dunia. Oleh karena itu perlu
merekayasa ulang kurikulum agar sumber daya manusia terus diperbarui
sesuai dengan kebutuhan perkembangan dunia. Pada tahun 2020, kebutuhan
sumber daya manusia meningkat dengan keterampilan sosial yang diarahkan
pada bidang yang berbasis pengetahuan. Yang dibutuhkan untuk sukses
dalam hidup adalah soft skills. Hal ini didukung oleh survei pada suatu
penelitian menyatakan bahwa keterampilan komunikasi yang baik sebagai
bagian dari sofskills, menyumbang 68% kesuksesan.

Keterampilan memecahkan masalah merupakan keterampilan pokok


dalam menghadapi kesulitan apapun. Tantangan saat ini semakin meningkat
sehingga diperlukan sumber daya manusia yang bisa beradaptasi dengan
perubahan jaman. Kemampuan beradaptasi seseorang mengindisikan
keterampilan menyelesaikan masalah yang diamatinya. Semakin tinggi
keterampilan menyelesaikan masalah yang dimiliki seseorang, semakin
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Baines (1984, hlm. 118) mengemukakan bahwa pemecahan masalah
merupakan keterampilan yang relevan untuk memberikan solusi yang

67
memungkinkan dengan menganalisis, mengklarifikasi sifat masalah,
mengumpulkan semua data yang diperlukan.

2. Pengertian Softskills Dalam Keterampilan Sosial

Soft skills adalah keterampilan menggunakan sifat-sifat atau karakter atau


kemampuan yang ada pada dirinya seperti kemampuan mengelola waktu,
kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan mempengaruhi, kecakapan
berorganisasi, pengendalian emosi, pendirian, kredibilitas, respect kepada
orang lain, perilaku, berpikir kreatif, kemampuan bersosialisasi, pengetahuan
baik teknis maupun non teknis untuk melakulan suatu pekerjaan secara efektif
dan efisien (Klauss, 2007, hlm. 2). Softskills yang dikaji meliputi
keterampilan berkomunikasi dan keterampilan menyelesaikan masalah.
Komunikasi adalah sistem yang mengatur pengiriman pesan untuk ditanggapi
oleh penerima, karena itu proses transmisi dari sebagian informasi atau pesan
yang berasal dari sumber itu harus dirancang menarik, sehingga dapat
mencapai tujuan akhir (Liliweri, 2011, hlm. 35). Sedangkan pemecahan
masalah menurut D'Zurilla (1988) adalah proses kognitif-emosional-perilaku
yang meliputi cara efektif untuk mengatasi masalah yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari dan untuk menentukan dan mengeksplorasi individu
(atau kelompok).

3. Keterampilan Sosial Dalam Lingkup IPS

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia


No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, Pengertian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) salah satu mata
pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB
yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang
berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS
memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi.

Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi
warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga
dunia yang cinta damai. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22

68
tahun 2006, tujuan Mata Pelajaran IPS adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:

1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan


masyarakat dan lingkungannya.
2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam
kehidupan sosial.
3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan
global.

Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006,


ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1) Manusia, Tempat, dan Lingkungan.

2) Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan.

3) Sistem Sosial dan Budaya.

4) Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.

Posisi IPS dipertegas dalam PP 19 Tahun 2005, Pasal 7 ayat 3 :


Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SD/MI/SDLB/Paket A, dan Pasal 7 ayat 4: Kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, Pasal 70 ayat 2
dan 4 : Pada program paket A, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika, Dmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Perubahan kurikulum pendidikan IPS di Indonesia terus dilakukan dan


pada kurikulum 2013 ini hanya dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan
dari kurikulum 2006. Pada kurikulum 2013, muatan softskills tercermin dari
komptensi inti dan kompetensi dasar (Permendikbud No. 24 Tahun 2016).

69
Berdasarkan muatan kurikulum IPS SMP, softskills dari aspek komunikasi
adalah perilaku santun, peduli, dan menghargai perbedaan pendapat dalam
interaksi sosial dengan lingkungan sebaya. Sedangkan softskills dari aspek
keterampilan memecahkan masalah adalah perilaku rasa ingin tahu, terbuka,
dan kritis terhadap permasalah sosial sederhana.

4. Muatan Kurikulum Dalam Keterampilan Sosial Dalam IPS

Muatan kurikulum IPS SMP mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,


konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial yang mencakup
materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran
IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia
yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta
damai.Kajian materi tersebut memuat aspek softskills keterampilan
berkomunikasi dan keterampilan menyelesaikan masalah yang ditunjukkan
oleh kompetensi inti dan kompetensi dasar.

Muatan kurikulum IPS harus bisa mewadahi kesempatan untuk


memperoleh pengalaman belajar aktif yang bermakna, memungkinkan siswa
untuk mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya dalam dunia nyata.
Hal ini memerlukan tanggung jawab dan kerja sama antara orang tua,
sekolah, dan masyarakat untuk membuat seting pembelajaran yang tidak
hanya di dalam kelas, tetapi juga dalam seting sosial masyarakat yang
sebenarnya.

70
BAB VIII

PERAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN


SOSIAL PESERTA DIDIK

A. Pemahaman Guru tentang Keterampilan Sosial


Dalam pembelajaran IPS, guru tidak hanya dituntut untuk
memberikan pengetahuan kepada siswa dalam menguasai konsep-konsep
yang terkait kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Lebih dari itu guru
IPS diharapkan mampu membekali peserta didik memiliki keterampilan
sosial. Pengembangan keterampilan sosial siswa perlu diupayakan oleh
seorang guru, mengingat keterampilan sosial merupakan salah satu
kompetensi penting yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat menjaga
hubungan sosial secara baik dengan orang lain.

Pembelajaran IPS memiliki peran urgen dalam mengembangkan


keterampilan sosial. Menurut Bloom aspek keterampilan yang harus
diajarkan melalui pembelajaran IPS adalah “keterampilan berfikir,
keterampilan akademis, keterampilan sosial, dan keterampilan meneliti”.
Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka tujuan pengembangan
keterampilan sosial dalam mata pelajaran IPS adalah menjadikan siswa
mampu berinteraksi dengan teman-temannya di lingkungan sehingga
mampu menyelesaikan tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan
dirasakan kebaikannya oleh masing-masing dari semua anggota.
Pengembangan keterampilan sosial siswa sangat tergantung pada seorang
guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas mendidik,
mengajar dan melatih siswa. Guru berperan memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan menanamkan nilai-nilai yang baik pada siswa. Dalam
hal ini guru IPS memiliki tugas tidak hanya dalam hal mengajar
menyampaikan materi, akan tetapi guru IPS harus mampu
mengembangkan keterampilan sosial anak, supaya anak dapat hidup
bersosial dengan baik.

71
Sebelum guru mata pelajaran IPS memahami tentang keterampilan
sosial maka terlebih dahulu mengetahui tentang tujuan IPS. Mata pelajaran
IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1)
Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya. (2) Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. (3)
Berkomitmen terhadap nilainilai sosial dan kemanusiaan. (4)
Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global (Gunawan, 2011:39).

Apabila seorang guru telah mengetahui tujuan IPS maka guru akan
dapat memahami bahwa mata pelajaran IPS bukan sekedar mata pelajaran
hafalan konsep-konsep saja akan tetapi mata pelajaran ini merupakan mata
pelajaran yang mengajarkan berbagai keterampilan yaitu keterampilan
berfikir logis, berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi di
masyarakat. Pemahaman guru terhadap keterampilan sosial sangat penting,
mengingat peran guru sebagai perancang pembelajaran, pelaksana
pembelajaran dan penilai dalam proses pembelajaran. Apabila guru
memahami pentingnya keterampilan sosial ini maka guru akan merubah
cara pembelajaran atau cara mengajarnya. Dalam praktik di lapangan,
walaupun guru mengaku memahami tujuan IPS yang mengarah pada
pengembangan keterampilan sosial tetapi kenyataannya pembelajaran IPS
masih banyak mengandalkan hafalan materi saja.

B. Keterampilan Yang Harus Dimiliki Guru Untuk Menanamkan


Keterampilan Sosial Peserta Didik

Keterampilan merupakan ekspresi kemampuan seseorang dalam menjalin


hubungan dengan sesama sesuai tujuan yang diharapkan. Kemampuan
berkomunikasi merupakan usaha penyampaian pesan antar sesama
manusia. Sedangkan kemampuan berinteraksi merupakan kemampuan

72
seseorang dalam menjalin hubungan antar perorangan sehingga
menghasilkan kerjasama.

Udin (2004: 7.1) mengungkapkan bahwa mengajar merupakan suatu


pekerjaan profesional, yang menuntut kemampuan yang kompleks untuk
dapat melakukannya. Sebagaimana halnya pekerjaan profesional lain,
pekerjaan seorang guru menuntut keahlian tersendiri sehingga tidak setiap
orang mampu melakukan pekerjaan tersebut sebagaimana mestinya. Ada
seperangkat kemampuan yang harus dimiliki seorang guru. Perangkat
kemampuan tersebut disebut kompetensi guru, agar dapat melaksanakan
tugas dengan baik yang merupakan aspek penting dalam kompetensi guru.
Sudharto (2009: 87-88) mengatakan seorang guru memiliki empat
kompetensi, yaitu:

a. Kompetensi Pedagogik
Ialah kemampuan untuk mendidik atau ilmu mendidik (pedagogik).
Pendidik harus menguasai cara-cara mendidik, teori mendidik, strategi
mendidik, seperti menanamkan nilai dan kemampuan atau tingkat
perkembangan peserta didik sesuai bakat dan minat perserta didik,
mempertimbangkan situasi dan kondisi guru sesuai dengan tempat dan
waktu serta kebudayaan dimana dan kapanpun pendidikan itu
berlangsung.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi individu atau personal ialah kematangan diri sebagai
pribadi yang stabil (mantap dan mapan), memahami atau menyadari
dirinya, mencintai atau menghargai dirinya secara wajar, memiliki
nilai-nilai kemanusiaan, susila, etis dan estetis, jujur, berjati diri,
memiliki identitas dan integritas, mandiri, dan tanggung jawab.
c. Kompetensi Sosial
Wujud dari kompetensi sosial adalah guru sebagai pribadi yang
dewasa, susila, dan sosial memiliki kematangan sosial yang tetap atau
stabil, memahami situasi dan kondisi masyarakat, mampu bekerjasama
dengan pihak lain, dengan atasan (pimpinan, kepala sekolah, kepala

73
dinas) dan dengan sesama atau sederajat (teman guru, orang tua
peserta didik, pelanggan atau pemangku kepentingan), serta bawahan
(peserta didik).
d. Kompetensi Profesional
Kemampuan profesional tercapai pada kemampuan menguasai materi
atau bahan ajar, ilmu pengetahuan yang terkait dengan bidang
kajiannya serta mampu untuk mengajarkannya. Untuk dapat mengajar
dengan baik perlu menguasai ilmu cara mengajar (metodik),
bagaimana mengajarkan materi dengan menarik, mudah dipahami, dan
menyenangkan peserta didik untuk belajar atau belajar secara
PAIKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Menyenangkan) perlu juga
diperhatikan kata “Menyenangkan” tidak selalu bersenang-senang atau
mencari yang disenangi melainkan mampu memberi dorongan atau
motivasi sedemikian rupa sehingga pelajaran yang kurang menarik,
membosankan menjadi menarik dan membuat peserta didik senang
untuk mempelajarinya.

Sudharto (2009: 88) mengatakan bahwa pendidik yang bertanggung


jawab adalah guru yang mau melaksanakan tugas dengan sebaik-
baikna demi tercapainya tujuan pendidikan. Guru harus mencintai
peserta didik untuk lebih maju, merasa bahagia dan bangga dapat
membantu peserta didik menjadi berkembang, manusiawi dan
mempunyai harga diri. Pendidik belajar melalui mendidik, guru belajar
melalui pendidikan dan pengajaran, menjadi susila dan berbudaya
melalui pembudayaan.

Sardiman (2011: 143-146) mengatakan sehubungan dengan fungsinya


sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing, diperlukan adanya
berbagai peranan pada diri seorang guru, peranan guru senantiasa
menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai
interaksinya baik dengan peserta didik, sesama guru, maupun dengan

74
staf lain. Peran guru dalam kegiatan belajar mengajar dapat dijabarkan
sebagai berikut :
a. Informator
Berperan sebagai pelaksanaan cara mengajar informator,
laboratium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan
akademik maupun umum.
b. Organisator
Berperan sebagai pergola kegiatan akademik, silabus, workshop,
jadwal pelajaran dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat
mencapai efektivitas dan efesiensi dalam belajar pada diri peserta
didik.
c. Motivator
Berperan sebagai rangka meningkatkan gairah dan pengembangan
kegiatan belajar peserta didik. Guru berperan merangsang dan
memberikan dorongan, menumbuhkan swadaya, dan daya cipta
peserta didik, sehingga akan menghasilkan dinamika di dalam
proses belajar mengajar.
d. Pengarah atau direktor
Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih menonjol,
guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar
peserta didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
e. Inisiator
Guru berperan sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar,
seperti barang tertentu yang dapat menghasilkan ide kreatif dan
dapat dicontoh oleh peserta didik.
f. Transmitter
Guru berperan sebagai penindak yang sabar dalam menghadapi
berbagai problematik sesuai kebijakan pendidikan dan
pengetahuan.
g. Fasilitator
Guru berperan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses
belajar mengajar, serta menciptakan suasana kegiatan belajar yang

75
menarik yang serasi dengan perkembangan peserta didik, sehingga
interaksi belajar-mengajar akan berlangsung secara efektif.
h. Mediator
Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar peserta didik,
misalnya sebagai penengah atau memberikan jalan keluar dari
kemacetan dalam kegiatan diskusi peserta didik.
i. Evaluator
Guru berperan sebagai otoritas untuk menilai prestasi peserta didik
dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga
dapat menentukan bagaimana peserta didiknya berhasil atau tidak.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator) dalam


hubungan (relasi dan komuniaksi) dengan peserta didik dan anggota
komunitas sekolah. Peran guru dalam manajemen perilaku siswa bertugas
dalam mengontrol kondisi kelas saat kegiatan belajar mengajar, serta
mengetahui bagaimana kepribadian dan perilaku peserta didik selama
dikelas maupun sekolah, karena guru lebih sering bertatap muka dengan
mereka dibandingkan dengan karyawan lain, guru juga berperan dalam
menangani permasalahan secara individual dengan cara mencari faktor
mengapa peserta didik berprilaku menyimpang karena permasalahan dari
guru, sekolah maupun peserta didiknya dan guru akan mencari solusi agar
sekolah dapat kondusif untuk kegiatan pembelajaran (Sutomo, 2016: 193-
197).

Keterampilan dasar mengajar merupakan suatu keterampilan yang


menuntut latihan yang terprogram untuk dapat menguasainya. Penguasaan
tersebut memungkinkan guru mengelola kegiatan pembelajaran secara
lebih efektif. Menurut hasil penelitian Turney dalam Udin (2004: 7.5)
terdapat 8 keterampilan dasar mengajar untuk menentukan keberhasilan
pembelajaran, yaitu:
1. Keterampilan bertanya

76
Tujuan keterampilan bertanya adalah untuk memperoleh informasi,
kegiatan bertanya yang dilakukan guru tidak hanya bertujuan untuk
memperoleh informasi, namun untuk meningkatkan terjadinya
interaksi antara guru dengan peserta didik, dan antara peseta didik
dengan sesama (Udin, 2004: 7.5).
2. Keterampilan memberi penguatan
Penguatan adalah respon yang diberikan terhadap perilaku atau
perbuatan yang dianggap baik, yang dapat membuat meningkatnya
perilaku yang dianggap baik. Tujuannya untuk meningkatkan
keefektifan kegiatan pembelajaran, pujian atau respon positif serta
akan membuat mereka merasa senang karena dianggap mempunyai
kemampuan (Udin, 2004: 7.29).
3. Keterampilan mengadakan variasi
Variasi adalah keanekaaan yang membuat sesuatu tidak monoton,
tujuannya untuk menciptakan perubahan atau perbedaan yang
memberikan kesan menarik dan unik, seperti variasi dalam gaya
mengajar, pola interaksi dan penggunaan media (Udin, 2004: 7.45).
4. Keterampilan menjelaskan
Tujuan dari memberi penjelasan adalah peserta didik mampu
memahami masalah yang sedang dijelaskan, guru hendaknya
meluangkan waktu untuk memeriksa pemahaman peserta didik dengan
cara mengajukan pertanyaan atau melihat ekspresi wajah peserta didik
setelah mendengarkan penjelasan (Udin, 2004: 7.60).
5. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
Kegiatan yang berkaitan langsung dengan pembahasan materi
pelajaran, berupa menyiapkan mental peserta didik agar siap dalam
menerima pelajaran, mengetahui keberhasilan peserta didik,
memberikan gambaran pendekatan atau kegiatan yang akan
diterapkan, dan mengembangkan kemampuan yang baru saja dikuasai
(Udin, 2004: 8.3).
6. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil

77
Tujuan keterampilan dalam membimbing diskusi kelompok kecil atau
bermusyawarah agar nantinya peserta didik mampu memiliki
keterampilan bermusyawarah baik di kelas, sekolah, masyarakat,
maupun tingkat yang lebih tinggi. Guru akan peserta didik untuk
berlatih menguasai keterampilan ini seperti dalam diskusi kelompok
(Udin, 2004: 8.19).
7. Keterampilan mengelola kelas
Guru memegang peranan penting dalam menciptakan iklim kelas yang
kondusif, dan merupakan tuntutan yang wajar jika guru harus mampu
mengatur barang dan orang hingga tercipta iklim kondusif,
kemampuan itu sering diacu sebagai keterampilan mengelola kelas
(Udin, 2004: 8.37).
8. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
Kegiatan kelompok kecil dan perorangan memungkinkan guru
memberikan perhatian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-
beda, guru dapat membantu peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan peserta didik. Dengan keterampilan tersebut dapat
memantapkan timbulnya kebiasaan melakukan interaksi sosial pada
kalangan yang lebih luas serta kesadaran akan adanya keterbatasan
dalam usaha memenuhi kebutuhan (Udin, 2004: 8.56).

Aspek-aspek dalam keterampilan sosial berkomuniksi dan berinteraksi


meliputi: kemampuan bekerjasama, berbicara, menghargai, mengontrol
diri, dan kemampuan berinteraksi baik di lingkungan sekolah maupun
masayrakat. Dalam mengembangkan keterampilan sosial pada peserta
didik, diperlukan cara dan pelaksanaan dalam pembelajaran.
Pengembangan keterampilan sosial pada peserta didik tidak hanya pada
materi pembelajaran yang bertemakan isu-isu sosial, namun
dikembangkan melalui metode dalam pelaksanaan pembelajaran. Proses
pengembangan keterampilan sosial pada peserta didik terdiri dari tiga
tahap, diantaranya perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
a. Perancangan Pembelajaran

78
Langkah awal untuk mengembangkan keterampilan sosial peserta
didik perlu adanya rancangan atau rencana yang harus dipersiapkan
guru untuk diterapkan dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Guru juga melakukan pelatihan untuk menambah wawasan yang lebih
luas, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan pendidikan, guru
harus bisa menyesuaikan kebijakan yang sudah ditetapkan. Untuk
merancang pembelajaran guru juga menyesuaikan kondisi, materi, dan
kemampuan peserta didik, sehingga rancangan pembelajaran dapat
berjalan sesuai tujuan yang diharapkan.

79
BAB IX

MACAM-MACAM KETERAMPILAN SOSIAL

Keterampilan sosial adalah keterampilan ataupun kemampuan untuk melakukan


sebuah interaksi sosial dengan seseorang dan lingkungan nya baik secara verbal
maupun non verbal, dan pola pikir yang positif. Macam-macam Keterampilan
sosial adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan bersikap/ berperilaku


Kemampuan ini meliputi simpati, empati, tanggung jawab,jujur dan sikap-
sikap baik untuk berinteraksi dengan orang lain. Dengan adanya
kemampuan ini seseorang akan lebih peka dalam berhubungan dengan
orang lain. Kemampuan bersikap atau berperilaku sangatlah penting dalam
sebuah interaksi sosial dikarenakan dalam hubungan masyarakat perlu
adanya sebuah interaksi sosial yang baik sehingga dapat menimbulkan
stigma yang baik di masyarakat.
2. Kemampuan bersifat
kemampuan ini sangat berkaitan dengan kemampuan bersikap atau
berperilaku karena keduanya merupakan hasil dari pembelajaran dan
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. kemampuan bersifat adalah
sebuah kemampuan pembawaan diri kepada orang lain yang berisi sopan
santun yang di mana seseorang memiliki pembawaan sopan santun dan
apabila dipandang oleh seseorang akan lebih dihormati. Sehingga
kemampuan bersifat dalam sebuah interaksi sangat diperlukan karena di
dalam sebuah lingkungan masyarakat Indonesia masih sangat diperlukan
adanya sopan santun
3. Kemampuan berkomunikasi
kemampuan berkomunikasi atau bertutur dibutuhkan dalam melakukan
kontak sosial dengan orang lain yang di mana kemampuan ini harus
menguasai kebiasaan yang baik dan benar dan cara bertutur, public
speaking serta cara berbicara secara personal dengan seseorang baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan adanya kemampuan ini seseorang

80
akan lebih mudah membangun sebuah komunikasi dan pertemanan pada
seseorang.
4. Kemampuan bekerjasama
kemampuan bekerjasama atau berkelompok sangat penting untuk
mengatur dan memaksimalkan sebuah tujuan. sehingga apabila seseorang
tidak memiliki kemampuan bekerja sama akan berkelompok maka dalam
lingkungan masyarakat yang tidak diperlukan dan tidak dibutuhkan
5. Kemampuan bertanya
Bertanya merupakan sebuah ucapan verbal untuk meminta sebuah respon
dari seseorang yang dikenal. kemampuan bertanya sangat diperlukan
dalam sebuah interaksi sosial yang akan dilakukan oleh seorang karena
keterampilan bertanya merupakan sebuah komponen dasar yang perlu
dimiliki oleh seseorang untuk mengungkapkan sebuah pertanyaan.
sehingga seseorang sangat perlu memiliki kemampuan bertanya
6. Kemampuan memperoleh informasi
Informasi merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui oleh semua
orang. Informasi sangat mudah diperoleh oleh seseorang, banyak cara
yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi seperti membaca
buku, melalui media massa, membaca koran dll. seseorang perlu memiliki
sebuah keterampilan memperoleh informasi dikarenakan untuk mencari
sebuah informasi diperlukan keterampilan keterampilan yang tinggi
sehingga apabila seseorang tidak memiliki keterampilan sosial tersebut
maka informasi yang akan didapatkan adalah informasi yang tidak tepaf
7. Kemampuan menganalisis informasi
setelah mendapatkan informasi dan sekumpulan data yang diperoleh maka
langkah selanjutnya adalah menganalisis. Menganalisis adalah melihat
sebuah susunan dan struktur dari sebuah informasi dan mengembangkan
informasi-informasi tersebut serta melihat dampak-dampak yang timbul
dari informasi tersebut. Seseorang perlu memiliki sebuah keterampilan
dalam menganalisis informasi karena hal tersebut sangat dibutuhkan dari
menganalisis informasi seseorang dapat tahu bahwa apa yang akan terjadi
kedepannya dan bagaimana cara mengatasinya. selain itu dengan memiliki

81
kemampuan menganalisis keterampilan sosial seseorang dapat
mempelajari sebuah informasi yang yang ditemukan dan menerapkannya
dalam interaksi sosial sehari-hari. singa keterampilan dalam menganalisis
informasi sangatlah dibutuhkan dan sangat penting.

Keterampilan sosial dapat di kelompok kan menjadi 4 kelompok yaitu sebagai


berikut :

 Keterampilan dasar berinteraksi: berusaha untuk saling mengenal dan


menjalin hubungan akrab, ada kontak mata, berbagi informasi
 Keterampilan komunikasi: mengemukakan pendapat, mendengar dan
berbicara secara bergiliran, melembutkan suara (tidak membentak),
meyakinkan orang untuk dapat mengemukakan pendapat
 Keterampilan membangun kelompok (bekerja sama): mengakomodasi
pendapat orang, bekerja sama, saling menolong, saling memperhatikan,
saling menghargai
 Keterampilan menyelesaikan masalah: mengendalikan diri, taat terhadap
kesepakatan, mencari jalan keluar dengan berdiskusi, memikirkan orang
lain, empati

82
BAB X

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KETERAMPILAN SOSIAL

Pada dasarnya keterampilan sosial seseorang muncul akibat interaksi sehari-hari


dengan orang lain dan interaksi dengan lingkungan nya sebagai sebuah
kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan
keterampilan sosial seseot di pengaruhi dari berbagai faktor. Hasil study Davis
dan Forstythe (2002, dalam Syamsul, 2010) terdapat 6 faktor yang mempengaruhi
keterampilan sosial yaitu sebagai berikut :

1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam
menentukan bagaimana remaja akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken
home tidak akan mendapatkan kepuasan psikis yang cukup, maka akan
sulit untuk mengembangkan keterampilan sosialnya.
2. Lingkungan
Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak akan mengetahui
bahwa anak memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari
saudara,orang tua, kakek dan nenek saja. Lingkungan sangat
mempengaruhi keterampilan sosial karena di lingkungan melakukan
interaksi dan kegiatan sehingga keterampilan sosial bisa muncul dengan
cara di tiru serta melakukan interaksi dengan orang lain
3. Kepribadian
Secara umum keperibadian sering diidentikan dengan keperibadian
seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu
menggambarkan peribadi seseorang yang sebenarnya. Orang tua dalam hal
ini berperan untuk memberikan penanaman nilai-nilai untuk menghargai
harkat martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti
materi dan penampilan.
4. Pendidikan

83
Pada dasarnya pendidikan mengajarkan banyak keterampilan pada
seseorang. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan sosial
yang dikaitkan dengan cara-cara belajar efisien dan berbagai teknik belajar
yang sesuai dengan jenis pelajarannya. Pendidikan sangat penting dalam
pengembangan keterampilan sosial karena keterampilan sosial dapat
muncul akibat kegiatan belajar dan mengajar, serta dalam pendidikan
keterampilan sosial dapat di kontrol dengan baik karena seseorang sudah
tahu bagaimana keterampilan sosial tersebut di gunakan
5. Persahabatan dan solidaritas kelompok
Pada masa remaja peran kleompok sangatlah besar. Biasanya remaja lebih
memilih urusan kelompok dibandingkan dengan urusan keluarganya. Hal
tersebut merupakan suatu hal yang normal sejauh kegiatan yang dilakukan
remaja dan kelompoknya bertujuan positif. Dalam persahabatan dapat
memunculkan keterampilan sosial dan mengembangkan keterampilan
sosial seseorang.
6. Lawan Jenis
pengidentifikasian sex role behavior yang diberikan kepada seorang
individu bahwasannya pergaulan itu tidak hanya dengan sesame jenis ,
tetapi mencangkup pergaulan dengan lawan jenis. Seorang individu agar
belajar dan dapat menyesuaikan diri ketika bergaul dengan sesame
maupun lawan jenisnya sehingga individu tersebut mengerti bagaimana
berprilaku di lingkungan sekitar.

Sedangkan menurut Cartledge & Milburn (1995: 5) mengemukakan faktor yang


mempengaruhi keterampilan sosial yaitu:

1. Learner Characteristics (Lingkungan sosial). Lingkungan dapat


merangsang individu memperoleh kesempatan untuk menggunakan
kemampuan sosial semaksimal mungkin.
2. Development level (Tingkat perkembangan). Perkembangan individu yang
normal memungkinkan individu untuk memenuhi tugas perkembangannya
untuk berinteraksi dengan orang lain.

84
3. Gender (Jenis kelamin). Jenis kelamin atau gender sangat mempengaruhi
keterampilan sosial. Papalia (2008: 388) menyebutkan bahwa anak laki-
laki menunjukkan perhatian lebih pada berbagai permainan dibandingkan
dengan perempuan.
4. Cognitive and behavioral skill deficit (gangguan pada kemampuan kognitif
dan perilaku). Individu yang memiliki gangguan pada kemampuan
kognitif dan perilaku akan lebih sulit untuk berinteraksi dengan orang lain.
5. Umur. Hurlock (1980: 266) menyatakan bahwa faktor usia menimbulkan
kesan bahwa kematangan sosial terjadi pada usia yang lebih tua. Hal itu
berarti bahwa semakin tinggi usia individu, maka semakin tinggi pula
lekemampuan sosial individu.

85
BAB 11

DIMENSI KETERAMPILAN SOSIAL

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional
adalah kemempuan dalam mengorganisir materi pembelajaran. Untuk melakukan
tugas tersebut, guru hendaknya memiliki keterampilan bagaimana merencanakan
pembelajaran tersebut sesuai dengan karakteristik bahan materi pembelajaran
disamping karakteristik siswa, kondisi lingkungan sekolah dan masyarakat
sekitarnya.

Proses pembelajaran di kelas untuk para siswa hendaknya dapat mengarakan,


membimbing, dan mempermudah mereka dalam penguasaan sejumlah konsep
dasar sehingga mereka dapat membentukstruktur ilmu pengetahuannya sendiri.
Tugas ini sebenaranya tidak mudah mengingat kemampuan sisiwa sekolah
memiliki latar belakang kemampuan dan lingkungan yang berbeda. Oleh karena
itu, sangat perlu ada upaya pencarian dan penerapan model pembelajaran yang
tepat agar proses belajar mengajar lebih berkualitas.

Penguasaan dan pengembangan dimensi dan struktur pembelajaran dalam


PIPS sangat penting bagi guru karena siswa sekolah menengah diharapkan telah
memiliki kemampuan berfikir abstrak dan parsial atau spesialisasi serta berpikir
analitis. Untuk memfasilitasi kebutuhan ini mahasiswa calon guru perlu
mempersiapkan model pembelajaran yang tepat yang didukung oleh kemampuan
penguasaan terhadap dimensi-dimensi PIPS dan strukturnya.

A. Dimensi Pengetahuan Dalam Pendidikan IPS

Setiap orang memiliki wawsan tentang pengetahuan sosial yang berbeda-


beda. Secara konseptual, pengetahuan (knowledge) hendaknya mencakup: (1)
Fakta; (2) Konsep; dan (3) generalisasi yang dipahami oleh siswa. Fakta adalah
data yang spesifik tentang peristiwa, objek, orang dan hal-hal yang terjadi
(peristiwa). Dalam pembelajaran IPS diharapkan siswa dapat mengenal berbagai
jenis fakta khususnya yang terkait dengan kehidupan. Pada dasarnya fakta yang

86
disajikan untuk para siswa hendaknya disesuaikan dengan usia dan tingkat
kemampuan berfikirnya. Secara umum, fakta untuk siswa SD hendaknya berupa
peristiwa, objek, dan hal-hal yang bersifat konkret.
Oleh karena itu guru perlu mengupayakan agar fakta disesuaikan dengan
karakteristik siswa kelas masing-masing. Konsep merupakan kata-kata atau frase
yang mengelompok, berkatagori, dan memberi arti terhadap kelompok fakta yang
berkaitan. Konsep merujuk pada suatu hal atau unsur kolektif yang diberi label.

Konsep dasar yang relevan untuk pembelajaran IPS diambil terutama dari
disiplin-disiplin ilmu sosial. Banyaknya konsep yang terkait dengan lebih dari
satu disiplin, isu-isu sosial, dan tema-tema yang berasal dari banyak dimensi ilmu
sosial. Konsep-konsep tersebut tergantung pula pada jenjang dan kelas sekolah.

Konsep yang dibentuk secara multidisiplin berasal dari konsep disiplin


tradisional dan menjadi pemerkaya bagi kajian IPS. Konsep-konsep ini muncul
karena adanya keperdulian dan persepsi sosial serta munculnya permasalahan
social yang semakin kompleks. Hal ini telah dipandang sebagai cara alternatif
dalam mengorganisasikan konsep-konsep IPS. Generalisasi merupakan suatu
pernyataan dari dua atau lebih konsep yang saling terkait. Generalisasi memiliki
tingkat kompleksitas isi, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

Pengembangan konsep dan generalisasi adalah proses mengorganisir dan


memaknai sejumlah fakta dan cara hidup bermasyarakat. Merumuskan
generalisasi dan mengembangkan konsep merupakan tujuan pembelajaran IPS
yang harus dicapai oleh siswa dengan bimbingan guru. Hubungan antara
generalisasi dan fakta bersfat dinamis. Memperkenalkan informasi baru yang
dapat mendorong siswa untuk merumuskan generalisasi merupakan cara yang
baik untuk menkondisikan terjadinya proses belajar bagi siswa. Dengan informasi
baru, pada siswa dapat mengubah dan memperbaiki generalisasi yang telah
dirumuskan terlebih dahulu.
B. Dimensi Keterampilan Dalam Pendidikan IPS

Menurut Goleman (1999) untuk dapat meraih puncak prestasi, keterampilan


sosial atau social skills memiliki makna inti. Makna intinya adalah adanya

87
kemampuan atau kepintaran individu berupa seni untuk menangani emosi orang
lain dan menggugah respon orang lain, sehingaga terjadi hubungan sosial yang
lancar. Hubungan sosial yang lancarterjadi dapat ditinjau dari dimensi-dimensi
dari keterampilan sosial yang menjadi indikatornya yaitu :

1. Dimensi Pengaruh, yaitu suatu dimensi yang menggambarkan suatu


kemampuan individu untuk mempengaruhi atau menerapkan taktik persuasi
secara efektif sehingga orang lain terpengaruh olehnya. Ciri-ciri orang yang
dapat mempengaruhi orang lain dintaranya adalah a) terampil dalam persuasi
b) menyesuaikan presentasi untuk menarik hati pendengar c) menggunakan
strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak langsung untuk
membangun konsesus dan dukungan d) memadukan dan menyelaraskan
peristiwa-peristiwa dramatis agar menghasilkan sesuatu secara efektif.

2. Dimensi Komunikasi, yaitu suatu dimensi untuk mengukur kemampuan


individu untuk berkomunikasi dengan cara mendengarkan secara terbuka dan
mengirimkan pesan yang dapat meyakinkan kepada orang lain. Menurut
Daniel Goleman (1999) juga ciri-ciri orang yang mempunyai keterampilan
dalam berkomunikasi antara lain yaitu: a) efektif dalam memberi dan
menerima, menyertakan isyarat emosi dalam pesanpesan mereka b)
menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda c) mendengarkan dengan
baik, berusaha saling memahami, dan bersedia berbagi informasi secara utuh
d) menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima kabar
buruk sebagai mana kabar baik.

3. Dimensi Manajemen Konflik, yaitu dimensi yang menggambarkan suatu


kemampuan individu dalam mengelola konflik dengan cara merundingkan dan
mengidentifikasi potensi konflik untuk diselesaikan secara terbuka dengan
prinsip solusi ‘win-win’. Pertikaian yang berakibat adanya konflik sangat
menyusahkan jika tidak segera ditangani. Seseorang yang bisa menyelesaikan
masalah dengan baik tanpa banyak yang dirugikan maka orang tersebut berarti
mempunyaimaejemena konflik yan bagus. Dalam hal ini Goleman (1999: 289)
menuturkan bahwa orang yang bisa memanajemen konflik mempunyai

88
kecakapan-kecakapan diantaranya yaitu: a) menangani orang-orang sulit dan
situasi tegang dengan diplomasi dan taktik, b) mengidentifikasi hal-hal yang
berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka
dan membantu mendinginkan situasi, c) menganjurkan debat dan diskusi
secara terbuka, d) mengantar ke solusi menang-menang.

4. Dimensi Kepemimpinan, yaitu suatu dimensi yang menunjukkan kemampuan


individu dalam memimpin dengan cara mengilhami, memotivasi dan
membimbing individu ke arah tujuan yang benar. Satu cara yang ditempuh
oleh pemimpin adalah untuk membangun kredibilitas adalah dengan
menangkap perasaan-perasaan secara kolektif yang tidak diucapkan itu lalu
mengungkapkannya kepada mereka, atau bertindak sedemikian yang tanpa
kata-kata pun menunjukan bahwa mereka dimengerti. Jika pemimpinya dapat
mengarahkan kebaikan dan kesuksesan maka orang-orang yang dibawahnya
juga ikut terkenal sukses. Sebaliknya jika pemimpinnya membuat kegaduahan,
berbuat yang tidak baik, dan arahannya tidak bisa menguntungkan maka
orang-orang yang dibawahnya juga juga terkenal jelek bahkan. Ciri-ciri orang
yang mempunyai kecakapan dalam seni memimpin diantaranya yaitu: a)
mengartikulasikan dan mengembangkan semangat untuk meraih visi serta misi
bersama b) melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan tidak peduli
sedang dimana c) memandu kinerja orang lain namun tetap memberikan
tanggungjawab kepada mereka d) memimpin lewat teladan.

5. Dimensi Katalisator Perubahan, yaitu suatu dimensi yang menggambarkan


kemampuan individu berperan sebagai katalisator perubahan dengan cara
menginisiasi dan mengelola perubahan untuk menyadarkan orang lain akan
perlunya perubahan dan dihilangkannya hambatan. Mengawali suatu
perubahan tidaklah mudah untuk bisa bergerak dan sukses dalam mencapai
tujuan. Perubahan diperlukan ide yang cemerlang, keuletan, dan bekerja cepat.
Dengan tiga faktor tersebut organisasi atau perusahaan bisa dengan mudah
mengelola suatu perubahan. adapun orang-orang yang mempunyai kecakapan
dalam katalisator perubahan yaitumempunyai ciri-ciri diantaranya: a)

89
menyadari perubahan dan dihilangkannya hambatan b) menantang status quo
untuk menyatakan perlunya perubahan c) menjadi pelopor perubahan dan
mengajak orang lain ke dalam perjuangan itu d) membuat model perubahan
seperti yang diharapkan oleh orang lain.

Kelima dimensi yang menjadi indikator keterampilan sosial tersebut di atas


saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang dapat memberikan gambaran
kemampuan individu dalam mengekspresikan perasaannya baik verbal maupun
non verbal sehingga mampu ditanggapi olehorang lain ketika interaksi sosial
terjadi.

Sedangkan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riggio (1986) terdapat


enam dimensi keterampilan sosial, yaitu:

1. Emotional Expressivity

Emotional expressivity mengacu pada keterampilan umum dalam


mengomunikasikan pesan nonverbal. Pada dimensi ini mencerminkan
kemampuan individu untuk mengekspresikan diri secara spontan dan akurat,
merasa kondisi emosionalnya memiliki kemampuan untuk mengekspresikan sikap
nonverbal dan isyarat yang berorientasi interpersonal. Emotional expressivity
melibatkan keterampilan dalam berkomunikasi mempengaruhi, sikap, dan status.
Individu dengan emotional expressivity ini mungkin cenderung kurang memiliki
pengendalian emosi, karena mereka memiliki emosi yang spontan.

2. Emotional Sensitivity

Emotional sensitivity mengacu pada keterampilan umum seseorang dalam


menerima dan mengintepretasikan komunikasi nonverbal dengan orang lain. Hal
itu berkaitan erat dengan sensitivitas nonverbal, individu dengan emotional
sensitivity yang tinggi terkait dengan kewaspadaan dalam mengamati isyarat
emosi nonverbal orang lain mampu menintepretasikan komunikasi emosional
dengan cepat dan efisien meskipun pesat tersebut tidak disampaikan secara
terang-terangan, mereka mungkin lebih mudah tersentuh atau terangsang

90
emosinya oleh orang lain dan mudah bersimpati dengan keadaan emosi yang
sedang dialami orang lain.

3. Emotional Control

Emotional control merupakan kemampuan umum untuk mengontrol dan


meregulasi emosinya serta bagaimana mereka menampilkan emosi secara
nonverbal. Individu dengan emotional control yang tinggi kemungkinan dapat
memainkan emosi dengan baik, mampu menimbulkan emosi dengan isyarat, dan
mampu menggunakan konflik emosi sebagai isyarat untuk menyembunyikan
keadaan emosional (misalnya, tertawa tepat pada lelucon; memasang wajah ceria
untuk menutupi kesedihan).

4. Social Expressivity

Social exspressivity secara umum mengacu pada keterampilan berbicara


verbal dan kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam interaksi sosial. Social
expressivity ini mengukur kemampuan individu dalam ekspresi verbal dan
kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam kegiatan sosial. Orang yang
memiliki social exspressivity yang tinggi tampil ramah tamah dan suka berteman
karena mereka memiliki kemampuan untuk memulai percakapan dengan orang
lain.

5. Social Sensitivity

Social sensitivity merupakan kemampuan untuk memecahkan kode serta


memahami komunikasi verbal yang disampaikan orang lain dan pengetahuan
umum tentang norma-norma yang mengatur perilaku sosial dengan tepat. Oleh
masyarakat individu yang sensitif memperhatikan orang lain (misalnya, pengamat
yang baik dan pendengar). Karena pengetahuan mereka tentang norma-norma
sosial dan aturan, orang yang memiliki social sensitivity yang tinggi dapat
menjadi overconcerned (terlalu khawatir) sesuai dengan perilaku mereka sendiri
dan perilaku orang lain. Perhatian orang yang memiliki social sensitivity tinggi
dengan perilaku sosial yang tepat dapat menyebabkan kesadaran diri dan
kecemasan sosial yang dapat menghambat partisipasi orang dalam interaksi sosial.

91
6. Social Control

Social control mengacu pada keterampilan umum menempatkan diri dalam


lingkungan sosial. Social control mengukur kemampuan dalam menempatkan diri,
bermain peran dan bagaimana cara individu mempresentasikan atau membawakan
diri didepan orang lain. Individu yang memiliki social control yang tinggi pada
umumnya bijaksana, terampil secara sosial, dan percaya diri. Selain itu mereka
terampil dalam memainkan peran, mampu memainkan berbagai peran sosial dan
dapat dengan mudah mengambil sikap tertentu atau orientasi dalam diskusi.
Individu social control yang tinggi secara sosial canggih dan bijaksana, karena itu
mereka mampu menyesuaikan perilaku pribadi agar sesuai dengan apa yang
mereka anggap sesuai dengan situasi sosial tertentu.

C. Dimensi Nilai dan Sikap Dalam Pendidikan IPS

Pada hakekatnya, nilai merupakan sesuatu yang berharga. Nilai yang


dimaksud disini adalah seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah
mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang ketika
berpikir atau bertindak. Umumnya, nilai dipelajari sebagai hasil dari pergaulan
atau komunikasi antarindividu dalam kelompok seperti keluarga, himpunan
keagamaan, kelompok masyarakat atau persatuan dari orang-orang yang satu
tujuan.

Heterogenitas nilai yang ada di masyarakat tentu menimbulkan masalah


tersendiri bagi guru dalam pembelajaran IPS di kelas. Di suatu pihak, nilai dapat
masuk ke dalam masyarakat dan tidak mungkin steril dari isu-isu yang menerpa
dan terhindar dalam masyarakat demokratis. Di pihak lain, tidak dipungkiri bahwa
nilai tertentu muncul dengan kekuatan yang sama dalam masyarakat dan menjadi
pembelajaran yang baik serta menjadi perlindungan dari berbagai penyimpangan
dan pengaruh luar. Agar ada kejelasan dalam mengkaji nilai di masyarakat, maka
nilai dapat dibedakan atas nilai sustantif dan nilai prosedural.

a. Nilai Substantif

92
Nilai substantif adalah keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan
umumnya hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau menyampaikan
informasi semata. Setiap orang memiliki keyakinan atau pendapat yang berbeda-
beda sesuai dengan keyakinannya tentang sesuatu hal. Dalam mempelajari nilai
substantif, para siswa perlu memahami proses-proses, lembaga-lembaga, dan
aturan-aturan untuk memecahkan konflik dalam masyarakat demokratis. Dengan
kata lain, siswa perlu mengetahui ada keragaman nilai dalam masyarakat dan
mereka perlu mengetahui isi nilai dan implikasi dari nilai-nilai tersebut.

Manfaat lain dari belajar nilai substantif adalah siswa akan menyatakan
bahwa dirinya memiliki nilai tertentu. Guru harus menjelaskan bahwa siswa
membawa nilai yang beragam ke kelas sesuai dengan latar keluarga, agama, atau
budaya. Selain itu, guru perlu menyadari pula bahwa nilai yang dia anut tidak
semuanya berlaku secara universal. Program pembelajaran IPS hendaknya
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan, merefleksi, dan
mengartikulasikan nilai-nilai yang dianutnya. Proses ini tergantung pada nilai-
nilai prosedural di kelas. Siswa hendaknya memiliki hak mengambil posisi nilai
mana yang akan dianut tanpa paksaan atau menangguhkan keputusan dan tetap
tidak mengambil keputusan. Dengan kata lain, siswa hendaknya didorong untuk
bersiap diri membenarkan posisinya, mendengarkan kritikan yang ditujukan
terhadap dirinya dan atau mengubah keputusannya bila ada pertimbangan lain.

b. Nilai Prosedural

Nilai-nilai prosedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara lain nilai
kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati kebenaran dan menghargai orang
lain. Nilai-nilai kunci ini merupakan nilai yang menyokong masyarakat
demokratis, seperti: toleran terhadap pendapat yang berbeda, menghargai bukti
yang ada, kerja sama, dan menghormati pribadi orang lain. Apabila kelas IPS
dimaksudkan untuk mengembangkan partisipasi siswa secara efektif dan
diharapkan semakin memahami kondisi masyarakat Indonesia yang beraneka
ragam, maka siswa perlu mengenal dan berlatih menerapkan nila-nilai tersebut.

93
Pembelajaran yang mengaitkann pendidikan nilai ini secara eksplisit atau
implisit hendaknya telah ada dalam langkah-langkah atau proses pembelajaran
dan tidaklah menjadi bagian dari konten tersendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai
ini tidak perlu dibelajarkan secara terpisah. Selain itu, masyarakat demokratis
yang ideal harus mampu mengungkapkan nilai-nilai pokok dalam proses
pembelajaran bukan hanya retorika semata bahkan harus menghormati harkat dan
martabat manusia, berkomitmen terhadap keadilan sosial, dan memperlakukan
manusia sama kedudukannya di depan hukum.

D. Dimensi Tindakan Dalam IPS

Tindakan sosial merupakan dimensi PIPS yang penting karena tindakan


dapat memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif. Mereka pula dapat
belajar secara konkret dan praktis. Dengan belajar dari apa yang diketahui dan
terpikirkan tentang isu-isu sosial untuk dipecahkan sehingga jelas apa yang akan
dilakukan dan bagaimana caranya, para siswa belajar menjadi warga Negara yang
efektif di masyarakat.

Dimensi tindakan sosial dapat dibelajarkan pada semua jenjang dan semua
tingkatan kelas kurikulum IPS. Dimensi tindakan social untuk pembelajaran IPS
meliputi tiga model aktivitas sebagai berikut.

 Percontohan kegiatan dalam memecahkan masalah di kelas seperti cara


berorganisasi dan bekerja sama.
 Berkomunikasi dengan anggota masyarakat dapat diciptakan.
 Pengambilan keputusan dapat menjadi bagian kegiatan kelas, khususnya
pada saat siswa diajak untuk melakukan inkuiri.

94
BAB 12

CIRI-CIRI KETERAMPILAN SOSIAL

Keterampilan sosial sangat dibutuhkan sejak dini sebagai modal dasar untuk
hidup bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, bekerja sama, mengontrol diri,
mampu menghadapi dan memecahkan masalah di lingkungan sekitar. Namun,
dalam kenyataanya masih banyak anak yang belum mampu bersosialisasi dengan
baik. Oleh karena itu, anak perlu dibantu untuk memiliki keterampilan sosial pada
dirinya.

1. Ciri-Ciri Keterampilan Sosial Menurut Beberapa Ahli

Menurut Elksnin dan Elksnin (Tuti Istianti, 2015, hlm. 34) anak yang memiliki
keterampilan sosial yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Keterampilan Menjalin Persahabatan


Ciri-Ciri
2. Keterampilan Mengatur Diri Sendiri Dalam Situasi
Keterampilan
Sosial
Sosial
3. Keterampilan Yang Dapat mendukung Prestasi Belajar
4. Perilaku Yang Dapat Penerimaan Teman Sebaya
5. Keterampilan Berkomunikasi

1. Perilaku Interpersonal, yaitu perilaku yang menyangkut keterampilan yang


digunakan selama melakukan interaksi sosial salah satunya keterampilan
dalam menjalin persahabatan.
2. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri, yaitu perilaku seseorang
yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial.
3. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademik (academic
achievement), yaitu perilaku yang dapat mendukung prestasi belajar
disekolah.

95
4. Penerimaan teman sebaya (peer acceptance), perilaku yang berhubungan
dengan penerimaan sebaya, misalnya mengajak teman terlihat dalam suatu
aktivitas, memberi dan menerima informasi dan dapat menangkap dengan
tepat emosi orang lain.
5. Keterampilan berkomunikasi, yaitu keterampilan yang diperlukan untuk
menjalin hubungan sosial yang baik.

Sementara, menurut Eri Nuraida dan Rita Milyartini (2015, hlm. 4) ciri-ciri
anak dengan keterampilan sosial yang rendah menyebabkan kesulitan beradaptasi
dengan lingkungan di sekitarnya, seperti menarik diri dari lingkungan, mudah
tersinggung, kurang fokus, pendiam, tidak dapat mengendalikan emosi, dan
kesulitan dalam berteman.

Menururt Caldarella dan Merrel, keterampilan sosial dapat diidentifikasikan


dengan beberapa ciri yaitu: (a) hubungan dengan teman sebaya (peer relationship);
(b) manajemen diri (self-management); (c) kemampuan akademis (academic); (d)
kepatuhan (compliance); dan (e) perilaku assertif (assertion).

1. Hubungan dengan teman sebaya (peer relationship)


Yaitu perilaku yang menunjukkan hubungan yang positif dengan
teman sebaya. Dimensi ini ditunjukkan dengan beberapa perilaku sebagai
berikut : (1) memberikan pujian terhadap teman sebaya; (2) menawarkan
bantuan atau pertolongan ketika dibutuhkan; (3) mengundang atau
mengajak teman untuk bermain atau berinteraksi; (4) berpartisipasi dalam
diskusi, berbicaradengan teman dalam waktu yang lama; (5) membela hak
teman dan membela teman yang dalam kesulitan; (6) dicari oleh teman
untuk bergabung bersama dalam aktivitas, menjadi seseorang yang
disenangi oleh semua orang; (7) memiliki kemampuan dan keterampilan
yang disukai oleh teman sebaya, berpartisipasi penuh dengan teman
sebaya; (8) mampu mengawali atau bergabung dalam percakapan dengan
teman sebaya; (9) peka terhadap perasaan teman (empati dan simpati);
(10) memiliki keterampilan kepemimpinan yang baik, melaksanakan peran
kepemimpinan dalam aktivitas bersama teman sebaya; (11) mudah untuk

96
berteman dan memiliki banyak teman; dan (12) memiliki selera humor
yang baik dan dapat bercanda atau bergurau dengan teman.

2. Manajemen diri (self-management)


Yaitu kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri serta
dapat mengontrol emosinya dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan
melalui perilaku sebagai berikut: (1) tetap bersikap tenang ketika ada
masalah dan dapat mengontrol emosi ketika marah; (2) mengikuti
peraturan-peraturan, menerima batasan-batasan yang diberikan; (3)
melakukan kompromi secara tepat dengan orang lain ketika menghadapi
konflik; (4) menerima kritikan dari orang lain dengan baik; (5) merespon
gangguan dari teman dengan cara mengabaikan, memberikan respon yang
tepat terhadap gangguan; dan (6) bekerjasama dengan orang lain dalam
berbagai situasi.

3. Kemampuan akademis (academic)


Yaitu kemampuan atau perilaku individu yang mendukung prestasi
belajar di sekolah. Bentuk – bentuk perilaku tersebut misalnya: (1)
mengerjakan tugas secara mandiri menunjukkan keterampilan untuk
belajar secara mandiri; (2) mampu menyelesaikan tugas individual; (3)
mendengarkan dan melaksanakan petunjuk dari guru; (4) dapat bekerja
sesuai dengan kapasitas yang dimiliki; (5) memanfaatkan waktu luang
dengan baik; (6) mengatur diri pribadi dengan baik; (7) bertanya atau
meminta bantuan secara tepat; dan (8) mengabaikan gangguan dari teman
ketika sedang bekerja atau belajar.

4. Kepatuhan (compliance)
Yaitu kemampuan individu untuk memenuhi permintaan orang lain.
Dimensi ini ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut: (1)
mengikuti petunjuk atau instruksi; (2) mematuhi dan mentaati aturan; (3)
memanfaatkan waktu luang dengan baik; (4) menggunakan fasilitas
bersama; (5) memberikan respon yang tepat terhadap kritik; (6)

97
menyelesaikan tugas; dan (7) menempatkan tugas pada tempat yang
sesuai.

5. Perilaku assertif (assertion)


Yaitu perilaku yang didominasi oleh kemampuan-kemampuan yang
membuat individu dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi
yang diharapkan. Perilaku-perilaku yang termasuk di dalamnya adalah: (1)
mengawali percakapan; (2) memperkenalkan diri; (3) menerima atau
memberikan pujian; (4) mengundang teman untuk bermain; (5) percaya
diri; (6) mempertanyakan peraturan yang tidak adil; (7) bergabung dengan
suatu aktivitas kelompuk yang sedang berlangsung; dan (8) tampil percaya
diri dengan lawan jenis.

Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial menurut Eisler,


yaitu: orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam,
memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap,
mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah
menyerah, menuntut hubungan timbale balik, serta lebih terbuka dalam
mengekspresikan dirinya.

2. Ciri-Ciri Keterampilan Sosial Secara Umum

Banyak orang yang mengkaitkan orang memiliki keterampilan sosial


sebagai orang yang mengerti dan memahami semua ilmu-ilmu yang ada. Bahkan
dapat menjawab segala pertanyaan yang tersulit sekalipun. Namun banyak orang
yang belum mengetahu bagaimana sebenarnya karakteristik orang yang memang
benar benar memiliki keterampilan sosial.

1. Mampu Untuk Beradaptasi

Salah satu ciri ciri dari orang memiliki keterampilan sosial adalah
kemampuannya dalam beradaptasi. Orang dengan tingkat intelegensi yang cukup
tinggi akan menjadi orang yang fleksibel serta mampu untuk menyesuaikan diri
pada berbagai perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya. Dirinya tidak
membatasi diri di lingkungan sosial. Bahkan kebanyakan orang memiliki

98
keterampilan sosial akan mengubah perilakunya agar dapat beradaptasi dengan
lingkungan baru nya.

2. Tingkat Penasarannya Begitu Tinggi

Orang memiliki keterampilan sosial biasanya memiliki rasa penasaran


yang begitu tinggi, apalagi pada hal-hal yang belum diketahui olehnya. Karena
didorong dengan rasa penasaran yang tinggi, maka terkadang membuatnya dapat
menemukan hal-hal yang luar biasa. Anda bisa melihat berbagai contohnya seperti
Alexander Graham Bell yang menemukan telepon, Thomas Alva Edison yang
menemukan lampu pijar pertama, Mark Zuckerberg yang menciptakan facebook,
dan masih banyak lainnya. Berawal dari rasa penasaran, orang-orang tersebut
dapat menemukan sesuatu yang berguna untuk masa depan. Banyak Bertanya

3. Banyak Bertanya
Banyak orang yang mengkaitkan orang pintar dengan orang yang bisa
memberikan segala jawaban. Namun berbeda dengan orang memiliki
keterampilan sosial yang selalu mencari jawaban. orang-orang yang memiliki
keterampilan sosial biasanya tidak akan malu untuk bertanya. Mereka tidak takut
terlihat bodoh karena mereka sadar jika masih banyak hal yang belum dimengerti
olehnya.

4. Tidak Gampang Percaya dan Selalu Menyelidiki Dahulu


Ciri ciri lainnya yang terlihat dari orang memiliki keterampilan sosial adalah
sikapnya yang tidak gampang percaya dengan informasi-informasi yang belum
pasti, sehingga mereka lebih senang menyelidikinya terlebih dahulu. Mereka
memiliki keingintahuan untuk membuktikan hal-hal yang didengarnya. Mereka
lebih menggunakan logika ketika menerima sebuah informasi.

5. Tidak Takut Untuk Mengatakan “Tidak Tahu”


Orang memiliki keterampilan sosial biasanya akan lebih mengenali
kelemahan serta ketidaktahuannya. meskipun begitu, dirinya tidak malu

99
mengakui hal tersebut. Karena dengan sikap ini lah dirinya sadar jika
ketidaktahuannya dapat dirubah dengan belajar.

6. Mau Mengakui Kesalahannya


Orang orang memiliki keterampilan sosial biasanya tidak akan malu
untuk mengakui kesalahannya. Ketidaktahuannya tersebut tidak
membuatnya takut untuk untuk terus mencoba sesuatu yang baru. Orang
orang memiliki keterampilan sosial memiliki keberanian utnuk bisa
melakukan hal baru dan tidak takut melakukan kesalahan. Meskipun
akhirnya mereka melakukan sebuah kesalahan, maka mereka tidak akan
gengsi untuk mengakui kesalahannya tersebut.

7. Mampu Belajar Dari Setiap Kegagalan


Keberaniannya dalam mencoba berbagai hal baru membuat
mengalami beragam kegagalan. Namun kegagalan yang terjadi tidak lantas
membuatnya menyerah dan putus asa. Mereka akan terus belajar dari
kegagalan yang ada untuk membuatnya menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Sehingga tidak masalah besar jika anda mengalami sebuah
kegagalan, yang terpenting anda mau belajar dari setiap kegagalan
tersebut. (baca juga: Gangguan Kepribadian Anankastik).

8. Open Minded
Orang orang yang memiliki keterampilan sosial tidak akan menutup
diri mereka dari ide serta kesempatan baru yang ada di sekitarnya. Mereka
terbuka, menerima, serta mempertimbangkan pendapat orang lain dengan
pola pikirnya yang terbuka juga. Namun meskipun mereka terbuka pada
pandangan orang lain, namun mereka juga berhati hati dengan ide dari
orang lain tersebut.

9. Individualistis
Kebanyakan dari orang-orang memiliki keterampilan sosial memang
senang menyendiri dibandingkan bersosialisasi dengan orang lain di

100
lingkungannya. Bukan berarti mereka tidak ingin menyatu dengan
lingkungannya, hanya saja mereka merasa jika hidup terasa kurang
memuaskan.

10. Tidak Asal Berbicara


Orang memiliki keterampilan sosial tidak akan asal dalam berbicara,
bahkan mereka cenderung untuk berpikir terlebih dahlu sebelum
membicarakannya. Mereka akan memastikan jika yang dikatakannya
adalag benar, bermanfaat, dan tidak akan menyakitkan orang lain. Mereka
juga mengerti kapan waktu yang tepat untuk tidak berbicara dan tidak. Jika
tidak bermanfaat, maka mereka akan lebih memilih untuk diam.

11. Memiliki Penguasaan Diri Yang Baik


Orang memiliki keterampilan sosial rata-rata mampu untuk
mengatasi berbagai hal karena kemampuannya dalam merencanakan serta
menentukan tujuan hingga mengembangkan berbagai solusi dan strategi
alternatif. Mereka juga mampu untuk memikirkan konsekuensi dari hal-hal
yang mungkin sudah direncanakannya tersebut.

12. Kreatif
Orang-orang memiliki keterampilan sosial senang menghubungkan
kembali konsep yang sebenarnya tidak tampak berhubungan, namun
mereka mampu untuk melihat sesuatu yang mungkin tidak dapat dilihat
oleh orang lainnya. Hal ini lah yang dinamakan kreativitas. Sehingga rata-
rata orang memiliki keterampilan sosial cenderung kreatif.

101
BAB 13

HAMBATAN DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL


DI DALAM DUNIA PENDIDIKAN

HAMBATAN GURU DALAM


PENERAPAN KETERAMPILAN SOSIAL
PADA PEMBELAJARAN IPS

HAMBATAN FASILITAS DALAM


PEMBELAJARAN IPS

HAMBATAN DALAM
MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL DI
DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
HAMBATAN PESERTA DIDIK DALAM
PENERAPAN KETERAMPILAN SOSIAL
PADA PEMBELAJARAN IPS

STRATEGI PEMBELAJARAN IPS DALAM


MENINGKATKAN KETERAMPILAN
SOSIAL

102
Pokok Bahasan :

1. Bab ini berisi penjelasan mengenai hambatan guru dalam penerapan


keterampilan sosial.
2. Bab ini berisi penjelasan mengenai hambatan fasilitas dalam pembelajaran
IPS.
3. Bab ini berisi penjelasan mengenai hambatan peserta didik dalam
penerapan keterampilan sosial.
4. Bab ini berisi penjelasan mengenai strategi pembelajaran IPS dalam
meningkatkan keterampilan sosial.

Tujuan :

1. Agar pembaca memahami tentang hambatan guru dalam penerapan


keterampilan sosial.
2. Agar pembaca memahami tentang hambatan fasilitas dalam pembelajaran
IPS.
3. Agar pembaca memahami tentang hambatan peserta didik dalam
penerapan keterampilan sosial.
4. Agar pembaca memahami tentang strategi pembelajaran IPS dalam
meningkatkan keterampilan sosial.

103
Permasalahan dalam pembelajaran IPS yang diterapkan di dalam dunia
pendidikan seringkali terjadi, seperti: 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di
sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya
tenaga guru yang ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS
yang sesuai dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di
sekolah. Peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus
diperhatikan secara serius. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan guru
dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau tradisional,
pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping disebabkan
oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong oleh rendahnya
pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang bermutu
(bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran IPS
terpadu yang efektif. Rendahnya hasil pembelajaran pada peserta didik juga dapat
menghambat terhadap pengembangan keterampilan sosial dalam pembelajaran
IPS di sekolah. Selain dari adanya hambatan terhadap pengembangan
keterampilan sosial tersebut dapat diterapkan strategi dalam pembelajaran IPS
agar dapat mencapai tujuan dari pada pengembangan keterampilan sosial peserta
didik.

104
A. Hambatan Guru dalam Penerapan Keterampilan Sosial Pada
Pembelajaran IPS

Menurut Rohani, pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan oleh


individu untuk memperoleh sesuatu yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Aktivitas
belajar setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar, kadang-
kadang individu memiliki semangat tinggi, tetapi kadang-kadang juga sulit untuk
menumbuhkan konsentrasi. Demikian kenyataan yang sering dijumpai pada setiap
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan proses
pembelajaran akan ditemui berbagai faktor penghambat. Hambatan tersebut
datang dari guru, peserta didik, lingkungan keluarga maupun faktor fasilitas.
Hambatan dalam proses pembelajaran tidak hanya disebabkan karena faktor
intelegensi yang rendah, akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor
penghambat lainnya, seperti metode pembelajaran yang kurang baik, tugas rumah
yang terlalu banyak, dan peserta didik malas belajar. Salah satu faktor
penghambat pembelajaran adalah guru yang mengalami kesulitan dalam
memperlajari berbagai bidang studi, khusunya pembelajaran IPS dalam
mengembangkan keterampilan sosial pada peserta didik. Dalam pembelajaran IPS,
guru dituntut menggunakan media yang tepat dan sesuai dengan materi yang
diajarkan. Namun pada kenyataannya, guru kurang memanfaatkan media yang ada
di lingkungan sekolah dan guru juga mengalami permasalahan dengan waktu yang
telah ditentukan dalam proses pembelajaran IPS. Seperti yang diketahui bahwa
pembelajaran IPS sangat penting pada proses pembelajaran di sekolah. Jika
seorang guru dapat menerapkan pembelajaran IPS dengan baik dan sesuai dengan
indikator pencapaiannya, maka keterampilan sosial yang di terapkan pun akan
terlaksana dan dapat dikembangkan agar peserta didik dapat menguasai materi
yang diberikan serta memiliki keterampilan dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi.
Guru dalam kegiatan pembelajaran sebagai fasilitator yang memungkinkan
siswa dapat belajar, guru sebagai orang yang menyediakan fasilitas dan
menciptakan sesuatu yang mendukung agar siswa dapat mewujudkan kemampuan
belajarnya. Selain itu, guru juga harus mampu memahami kondisi serta

105
permasalahan yang ada pada peserta didik sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik.
Menurut Arifin (2003:9), tugas guru dalam proses pembelajaran adalah: (1)
Perencanaan yang merupakan kegiatan awal yang harus dilakukan guru sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajaran, perencanaan pengajaran antara lain
meliputi penyusunan perangkat pembelajaran, dan kesiapan dalam menguasai
materi pelajaran/ bahan ajar; (2) Pengelolaan kelas; dan (3) Evaluasi kegiatan
pembelajaran, baik berupa evaluasi hasil proses pembelajaran yang dilakukan
setelah berlangsungnya pembelajaran ataupun evaluasi hasil belajar. Dalam
pembelajaran yang terjadi di sekolah atau khususnya di kelas, guru adalah pihak
yang paling bertanggung jawab atas hasilnya. Dengan demikian, guru patut
dibekali dengan evaluasi sebagai ilmu yang mendukung tugasnya, yakni
mengevaluasi hasil belajar siswa. Dalam hal ini guru bertugas mengukur apakah
siswa sudah menguasai ilmu yang dipelajari oleh siswa atas bimbingan guru
sesuai dengan tujuan yang dirumuskan (Arikunto, 2002:4).
Rohani (2010: 181) mengatakan bahwa guru merupakan faktor penghambat
dalam melaksanakan penciptaan suasana yang menguntungkan dalam proses
pembelajaran. Faktor penghambat yang datang dari guru juga berupa hal-hal
seperti berikut:
a) Tipe kepemimpinan guru.
b) Format belajar mengajar yang monoton.
c) Kepribadian guru.
d) Pengetahuan guru.
e) Pemahaman guru tentang peserta didik.

Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk
mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang
mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan
horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep,
proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan
juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki
kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara
terpadu diorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan,

106
memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-
nilai kemanusiaan.
Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah keterampilan sosial dalam
menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang
dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan
sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan
aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat
berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik.
Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan
proses pembelajaran lebih efektif.
Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan
akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh
keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan,
serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat
direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Keberhasilan dalam menguasai dan
menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan adannya keinginan yang
untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan, yang bisa
dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa dengan studi lanjut, pelatihan,
MGMP, dan lain sebagainya.
Proses pembelajaran yang menyenangkan merupakan salah satu faktor
yang dapat menunjang keberhasilan suatu pembelajaran karena ketika
pembelajaran itu di lakukan dengan cara yang menyenangkan, maka materi yang
di pelajari akan mudah di terima dan di mengerti dengan baik oleh siswa. Untuk
mengatasi pembelajaran IPS agar tidak monoton dan lebih bervariasi, maka dapat
di gunakan media pembelajaran. Tujuan penggunaan media pembelajaran tersebut
adalah untuk memperjelas penyampaian materi pelajaran serta memfokuskan
perhatian siswa terhadap materi pelajaran. Menciptakan suasana belajar yang
variatif dan aktif sangatlah penting, oleh karenanya pemilihan strategi dengan
menggunakan media pembelajaran yang tepat merupakan salah satu kuncinya.
Dalam pembelajaran di kelas, guru IPS kurang menggunakan metode
pembelajaran yang bervariasi dan masih kurang menggunakan metode diskusi di

107
dalam kelas. Ada beberapa metode pembelajaran yang harus divariasikan oleh
guru di kelas, misalnya tanya jawab, kartu berpasangan, mind mapping dan lain
sebagainya. Metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru sudah baik, namun
masih kurang menggali kemampuan siswa untuk menemukan ide-ide baru dan
berdiskusi.
Pembelajaran IPS yang masih jarang menggunakan kegiatan diskusi,
bukan merupakan masalah utama dalam proses pembelajaran di kelas. Ada
berbagai macam masalah yang sering dialami oleh guru IPS di dalam kelas,
misalnya siswa belum aktif di dalam kelas yang ditandai dengan siswa jarang
mengeluarkan pendapat maupun bertanya, siswa ribut sendiri bersama temannya
saat proses pembelajaran, dan siswa belum aktif dalam kegiatan kelompok.
Metode pembelajaran merupakan suatu cara/jalan yang harus dilalui dalam
mengajar. Metode pembelajaran mempengaruhi belajar, metode mengajar guru
yang kurang baik mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula (Slameto,
2003:65). Metode pembelajaran yang kurang baik dapat terjadi karena guru
kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru
menyajikan dengan tidak jelas/sikap guru terhadap siswa dan terhadap mata
pelajaran itu sendiri kurang baik, sehingga siswa kurang senang terhadap
pelajaran/gurunya, akibatnya siswa malas untuk belajar.
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode yang monoton/tidak
bervariasi akan menyebabkan siswa menjadi bosan, mengantuk, dan pasif
sehingga guru harus mencoba mengajar dengan menggunakan metode yang baru
atau memvariasikan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa. Agar siswa dapat belajar dengan baik maka metode mengajar harus
diusahakan seefektif mungkin. Adanya hambatan/kesulitan dalam menggunakan
metode pada umumnya tampak pada siswa dalam mengikuti pelajaran. Jika siswa
terlihat gelisah, bosan dan enggan mengikuti pelajaran mungkin terdapat
kesalahan dalam penggunaan metode. Gejala lain yang dapat diamati adalah pada
saat ulangan, jika sebagian besar siswa dalam ulangannya tidak/kurang
memuaskan maka hal tersebut merupakan indikasi bagi guru untuk menilai
kembali metode mengajar yang digunakan.

108
Dengan begitu setiap guru IPS harus dapat mengembangkan
pengetahuannya, yang sangat berguna dalam pembelajaran bagi peserta didik,
termasuk dalam hal mengembangkan metode pembelajaran yang diterapkan
dalam proses pembelajaran pada peserta didik. Hal ini menjadi lebih penting lagi
mengingat ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke
arah yang lebih maju, terutapa dalam proses pengembangan keterampilan sosial
pada peserta didik. Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak negatif,
termasuk bagi peserta didik.
Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk sanggup mengabdi
terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan dalam pembelajaran.
Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS di sekolah akan
tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional, tidak dilakukan dengan
strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.

B. Hambatan Fasilitas Dalam Pembelajaran IPS

Faktor fasilitas merupakan salah satu penghambat dalam pembelajaran.


Faktor tersebut meliputi: a. Jumlah Peserta Didik dalam Kelas Kelas yang jumlah
peserta didiknya banyak sulit untuk dikelola. Jumlah peserta didik dalam suatu
kelas mencapai rata-rata 50 orang peserta didik, hal tersebut dapat menyebabkan
hambatan dalam pembelajaran. b. Besar Ruangan Kelas Ruang kelas yang kecil
dibanding dengan jumlah peserta didik dan kebutuhan peserta didik untuk
bergerak dalam kelas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya
hambatan dalam pembelajaran. c. Ketersediaan Alat Jumlah buku yang kurang
atau alat lain yang tidak sesuai dengan jumlah peserta didik yang
membutuhkannya akan menimbulkan masalah dalam pembelajaran (Rohani, 2010:
183-184).
Dalam rangka pengembangan berkelanjutan tenaga pendidik, pemerintah
pusat dan daerah sudah pada tempatnya lebih pro-aktif dalam memfasilitasinya.
Setelah era otonomi daerah, diakui atau tidak, kesempatan guru untuk
mengembangkan diri sangat sedikit dan tidak bisa diikuti secara merata dan
berkeadilan. Disamping membantu guru dalam hal studi lanjut, pelatihan dan

109
sejenisnya, pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya harus mampu mendorong
terselenggaranya kegiatan MGMP IPS yang aktif dan berdaya guna untuk
menunjang pembelajaran IPS di sekolah. Hal ini menjadi sangat penting,
mengingat tenaga pendidik IPS masih sangat kurang, atau pemerintah belum
mampu mengangkat guru IPS secara keseluruhan sesuai dengan spesialisasi
keilmuannya. Semakin lebih penting lagi karena guru IPS belum memiliki tingkat
kemampuan memahami dan menguasai ilmu-ilmu sosial yang secara mantap, ada
kecenderungan di antara mereka hanya mau menggeluti atau menguasai bidang
keilmuan sosial yang hanya menjadi spesialisasinya dan tidak bersifat terpadu.
Dengan begitu diharapkan terjadi peningkatan perolehan nilai hasil belajar peserta
didik secera signifikan dalam mata pelajaran IPS.
Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah dan ruang belajar,
sedangkan sarana pembelajaran seperti buku dan alat/media pembelajaran.
Lengkapnya sarana dan prasarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran
yang baik tetapi jika tidak dikelola maka proses pembelajaran tidak akan berjalan
dengan baik (Dimyati dan Mudjiono, 2002:250). Alat/media pembelajaran erat
hubungannya dengan cara belajar siswa, karena alat pelajaran yang dipakai oleh
guru pada waktu mengajar dipakai oleh siswa untuk menerima bahan yang
diajarkan. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan
siswa dalam menerima pelajaran dan menguasainya sehingga belajarnya akan
menjadi lebih giat dan maju (Djamarah dan Azwan Zain, 2002:67).
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:250), peran guru dengan sarana dan
prasarana yaitu: (1) memelihara dan mengatur prasarana untuk menciptakan
suasana belajar yang menggembirakan; (2) memelihara dan mengatur sasaran
pembelajaran yang berorientasi pada keberhasilan belajar siswa; (3)
mengorganisasi belajar siswa sesuai dengan sarana dan prasarana yang tepat guna.
Sedangkan peran siswa adalah: (1) ikut serta membantu memelihara sarana dan
prasarana dengan baik; (2) memanfaatkan sarana dengan baik; (3) menghormati
sekolah sebagai pusat pembelajaran dalam rangka pencerdasan kehidupan
generasi muda bangsa.
Disamping disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS,
juga didorong oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses

110
pembelajaran yang bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya
cara pembelajaran IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga
pendidik, model pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik
mengingat guru kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang
lain, selain yang menjadi spesialisasinya. Ada beberapa hal yang di keluhkan oleh
guru dalam proses pembelajaran IPS, misalkan fasilitas pendukung pembelajaran
IPS yang tidak sesuai dengan kebutuhan, ketidaksiapan dari guru yang ada di
sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara modern melalui media yang canggih.
Oleh karena itu, diperlukan peningkatan terhadap fasilitas pembelajaran
IPS di sekolah yang memadai terkait dari pada tenaga pendidik di setiap sekolah,
fasilitas kebutuhan material sekolah, maupun kualitas tenaga pendidik dari adanya
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan pengajaran tenaga pendidik
khususnya pada pembelajaran IPS.

C. Hambatan Peserta Didik dalam Penerapan Keterampilan Sosial Pada


Pembelajaran IPS

Faktor lain yang dapat merupakan hambatan dalam pembelajaran adalah


faktor peserta didik. Peserta didik dalam kelas dapat dianggap sebagai seorang
individu dalam suatu masyarakat kecil yaitu kelas dan sekolah. Mereka harus tahu
hak-haknya sebagai bagian dari suatu kesatuan masyarakat di samping juga harus
tahu akan kewajibannya dan keharusan menghormati hak-hak orang lain.
Peserta didik harus sadar bahwa menggangu teman yang sedang belajar
berarti tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota suatu masyarakat kelas dan
tidak menghormati hak peserta didik lain untuk mendapatkan manfaat yang
sebesar-besarnya dari kegiatan pembelajaran. Kekurangsadaran peserta didik
dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai anggota suatu kelas atau suatu sekolah
dapat merupakan faktor utama penyebab hambatan dalam pembelajaran (Rohani,
2015: 182-183).
Belajar merupakan proses yang aktif sehingga apabila siswa tidak turut serta
dalam berbagai kegiatan belajar sebagai tanggapan/respons siswa terhadap
stimulus dari guru maka siswa tidak mungkin dapat mencapai hasil belajar yang

111
maksimal (Hendra, 2003:29). Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran
merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai suatu keberhasilan dalam
pencapaian hasil belajar yang maksimal. Partisipasi siswa dalam proses
pembelajaran tergantung bagaimana seorang guru dalam membangkitkan dan
merangsang siswa agar melakukan kegiatan belajar.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu :
1) Intelegensi
Intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan
untuk menghadapi dan menyesuaikan dalam situasi yang baru dengan
cepat dan efektif, mengetahui menggunakan konsep-konsep yang abstrak
secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat
(Slameto, 2003:56). Tingkat intelegensi antar siswa tentunya berbeda,
siswa yang mempunyai tingkat intelegensi lebih tinggi akan lebih berhasil
dalam belajar daripada siswa yang mempunyai intelegensi yang rendah.
2) Perhatian
Perhatian berupa keaktifan siswa, untuk menjamin hasil belajar yang baik
maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang
dipelajarinya. Jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa maka
akan menimbulkan kebosanan sehingga siswa tidak suka belajar, agar
siswa dapat belajar dengan baik maka pelajaran harus menarik perhatian
siswa sehingga siswa akan lebih aktif dalam mengikuti proses
pembelajaran.
3) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan
mengenang beberapa kegiatan (Slameto, 2003:57). Minat besar
pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan yang dipelajari tidak
sesuai dengan minat siswa maka siswa tidak akan belajar dengan baik. Jika
terdapat siswa yang kurang berminat terhadap pelajaran, dapat diusahakan
agar siswa mempunyai minat yang lebih besar dengan menjelaskan hal-hal
yang menarik dan berguna bagi kehidupan sehingga siswa menjadi lebih
tertarik.

112
4) Bakat
Bakat adalah kemampuan siswa untuk belajar (Slameto, 2003:57),
kemampuan ini akan terlihat setelah siswa belajar/berlatih. Bakat
mempengaruhi belajar, jika bahan yang dipelajari siswa sesuai dengan
bakatnya maka hasil belajarnya akan lebih baik karena ia merasa senang
dalam mempelajarinya.

D. Strategi Pembelajaran IPS dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial

Banyaknya permasalah dalam pembelajaran IPS sebagaimana yang telah


dijabarkan di atas, maka pembelajaran IPS di era globalisasi perlu melakukan
pembenahan diri. Di mana harus mampu mengubah paradigma siswa tentang
pembelajaran IPS yang monoton, membosankan. Maka strategi yang perlu
dilakukan, yaitu:

1. Memberikan Perhatian
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses penciptaan kondisi
atau upaya mengorganisasikan lingkungan seseorang sehingga
memungkinkan terciptanya perbuatan atau kondisi dari peserta didik.
Untuk itu, guru harus berusaha menarik perhatian siswa untuk belajar.
Perhatian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam kegiatan
pembelajaran. Wiliem Stern dalam bukunya: Al gemeine Psicologie, ahli
ilmu jiwa ini memberikan definisi mengenai perhatian yang intinya dapat
dirumuskan sebagai berikut: Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis
atau aktivitas jiwa yang tertuju kepada suatu obyek dan mengesampingkan
obyek yang lain.
Oleh karena itu guru harus tanggap terhadap tingkah laku anak,
maka yang perlu diperhatikan guru adalah pengajaran itu harus menarik
perhatian anak. Perhatian terhadap pembelajaran IPS akan timbul pada
siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan
pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk
belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan

113
membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya. Untuk
itu, harus diusahakan agar pembelajaran itu:
a) Didasarkan pada hal-hal yang sudah dikenal anak dan berisi sesuatu
yang baru baginya.
b) Bervariasi dalam menyampaikan (penjelasan) materi pelajaran,
misalnya:
 Dengan variasi suara
Suara bisa dikeraskan, dilemahkan bahkan dapat diam sebentar
(kesenyapan) guna menarik perhatian.
 Dengan variasi tulisan
Hal-hal yang penting dapat ditulis yang lebih mencolok, lain
daripada yang lain.
 Dengan menggunakan gambar (peta)
Gambar (peta) diperlukan untuk menunjukkan letak atau tempat
suatu daerah.
 Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyampaikan bahan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Dengan adanya berbagai macam media
pembelajaran yang kesemuanya dapat dipakai dalam proses
pembelajaran maka saat guru akan menggunakannya harus
memilih media mana yang paling tepat digunakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Beberapa kriteria yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih media, antara
lain :
 Tiap jenis media tentu mempunyai karakteristik.
 Pemilihan media harus dilakukan secara obyektif.
 Pemilihan media hendaknya mempertimbangkan juga:
a) Kesesuaian tujuan pembelajaran,
b) Kesesuaian materi,
c) Kesesuaian kemampuan anak,
d) Kesesuaian kemampuan guru (untuk menggunakan),

114
e) Ketersediaan bahan, dana,
f) Mutu media.
Dengan memperhatikan kriteria pemilihan media tersebut maka
guru akan terhindar dari kecerobohan dalam pemilihan media.
Pemilihan media yang cermat dan tepat akan menunjang
keefektifan proses pembelajaran. Dari uraian tentang kriteria dan
penggunaan media tersebut yang perlu kita perhatikan bahwa
penggunaan media tidak akan menggantikan guru. Peran guru
dalam proses pembelajaran tetap me- megang peran yang penting,
yaitu mengelola kegiatan pembelajaran.

2. Pemberian Motivasi
Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai daya penggerak
yang telah menjadi aktif. Pendapat lain juga mengatakan bahwa motivasi
adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan. Sartain mengatakan bahwa
motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu
organisme yang meng- arahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal)
atau perangsang (incentive). Tujuan adalah yang membatasi/ menentukan
tingkah laku organisme itu.
Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu kondisi atau status
internal yang mengarahkan perilaku seseorang untuk aktif bertindak dalam
rangka mencapai suatu tujuan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong
usaha dan pencapaian prestasi. Jelaslah bahwa fungsi motivasi itu
memberikan suatu nilai atau itensitas tersendiri dari seorang siswa dalam
meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajarnya. Munculnya
motivasi dalam diri siswa (internal) dalam belajar, karena siswa ingin
menguasai kemampuan yang terkandung di dalam tujuan pembelajaran
yang bermanfaat untuk dirinya. Dengan menginformasikan garis besar
materi, akan memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang akan
dipelajari dalam suatu pembelajaran. Jadi kegiatan memotivasi (teknik
memotivasi) dapat berupa:
a) Menginformasikan tujuan pembelajaran;

115
b) Menginformasikan manfaat pembelajaran;
c) Menginformasikan garis besar materi pembelajaran;
d) Menyimpulkan materi pelajaran.
Menyimpulkan materi pelajaran merupakan salah satu kegiatan guru
diakhir pembelajaran. Langkah ini dalam prosesnya sebagai teknik
untuk penguatan terhadap hasil belajar secara menyeluruh.
Menyimpulkan materi pelajaran dapat dirumuskan oleh siswa dibawah
bimbingan guru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyimpulkan
materi pelajaran di antaranya adalah: Berorientasi pada indikator
pembelajaran, Singkat, jelas serta dengan bahasa (tulis/lisan) yang
mudah dipahami siswa., Kesimpulan materi tidak keluar dari topik
yang telah dibahas, Dapat menggunakan waktu sesingkat mungkin.
Motivasi diperlukan dalam menentukan intensitas usaha belajar bagi para
siswa. Menurut Djamarah ada tiga fungsi motivasi, yaitu:
1) Motivasi sebagai pendorong perbuatan.
Motivasi berfungsi sebagai pendorong untuk mempengaruhi sikap apa
yang seharusnya anak didik ambil dalam rangka belajar.
2) Motivasi sebagai penggerak perbuatan.
Dorongan psikologis melahirkan sikap terhadap anak didik itu
merupakan suatu kekuatan yang tak terbendung, yang kemudian
terjelma dalam bentuk gerakan psikofisik.
3) Motivasi sebagai pengarah perbuatan.
Anak didik yangmempunyai motivasi dapat menyeleksi mana
perbuatan yang harus dilakukan dan perbuatan yang perlu diabaikan.
Menurut Sardiman siswa yang memiliki motivasi tinggi memiliki beberapa
ciri-ciri, antara lain sebagai berikut:
a) Tekun menghadapi tugas
b) Ulet menghadapi kesulitan /tidak cepat putus asa.
c) Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik
mungkin.
d) Lebih senang kerja mandiri.
e) Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin.

116
f) Dapat memperthanankan pendapatnya.
g) Tidak mudah melepaskan hal yang sudah diyakininya.
Untuk itu, siswa yang secara terus-menerus mendapatkan motivasi akan
semakin tinggi pula minat dan prestasinya.

3. Strategi Pembelajaran Critical Incident


Uraian mengenai memberikan perhatian dan motivasi diatas, penulis
menyimpulkan bahwa dalam memberikan perhatian dan memotivasi siswa
dalam pembelajaran bisa didapatkan di dalam menerapkan strategi
pembelajaran. Dikarenakan dalam menerapakan suatu strategi
pembalajaran maka kegiatan memberikan perhatian dan motivasi sudah
tercakup di dalamnya maka oleh karena itu guru haruslah tepat dalam
memilih suatu strategi pembelajaran.
Dalam tulisan ini penulis memaparkan satu strategi yang dapat
digunakan dalam pembelajaran yang mana di dalamnya dapat mencakup
pemberian perhatian dan motivasi; yaitu dengan strategi Critical Incident.
Strategi Critical Incident yaitu suatu strategi yang digunakan oleh guru
dengan maksud mengajak siswa untuk mengingat pengalaman yang
pernah dijumpai atau dialmi sendiri kemudian dikaitkan dengan materi
bahasan. Strategi Critical Incident didapat dari masalah-masalah yang
dijumpai dalam proses pembelajaran, kemudian para praktisi pendidikan
mulai menggagas guna mengatasi masalah yang ada, maka di rumuskanlah
strategi pembelajaran aktif, pembelajaran aktif itu sendiri berasal dari kata
active dan learning yang artinya pembelajaran. Belajar aktif sangat
diperlukan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Ketika peserta didik pasif, ada kecenderungan untuk cepat melupakan apa
yang telah diberikan.
Belajar aktif adalah salah satu cara untuk mengikat informasi yang
baru kemudian menyimpannya dalam otak, agar otak dapat memproses
informasi yang baik, maka akan membantu kalau terjadi proses refleksi
secara internal. Hal ini ditegaskan kembali jika peserta didik diajak untuk
berdiskusi, menjawab pertanyaan, atau membuat pertanyaan, maka otak

117
mereka akan bekerja lebih baik sehingga proses belajar mengajar dapat
terjadi dengan lebih baik pula. Belajar aktif tidak dapat terjadi tanpa
adanya partisipasi siswa, terdapat berbagai cara untuk membuat proses
pembelajaran yang mengakibatkan keaktifan siswa dan mengasah ranah
kognitif, afektif dan psikomotor.
Proses pembelajaran dalam memperoleh informasi, keterampilan
dan sikap akan terjadi melalui proses pencarian dari diri siswa, dengan
cara bermain dan belajar kelompok. Para siswa sebaiknya dikondisikan
berada dalam suatu bentuk pencarian dari pada suatu bentuk reaktif, yakni
mereka mencari jawaban terhadap pertanyaan baik yang dibuat oleh guru
maupun yang ditentukan oleh siswa sendiri, semua ini dapat terjadi ketika
siswa diatur sedemikian rupa sehingga berbagai tugas dan kegiatan yang
dilaksanakan sangat mendorong mereka untuk berfikir, bekerja, dan
merasa. Strategi Critical Incident diharapkan mampu menjadikan proses
belajar lebih bermakna dengan usaha mengkonstruksi kembali
pengalaman-pengalaman yang ada pada benak siswa dikaitkan dengan
kontek materi yang diterima pada saat proses pembelajaran, dengan ini
memori ingatan siswa dituntut aktif mendeskripsikan sejumlah
pengalaman-pengalaman penting guna memecahkan masalah yang
dihadap Adapun langkah-langkah pembelajarannya, antara lain:
1) Guru menyampaikan topik apa yang akan dipelajari saat ini.
2) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat-ingat kembali
pengalaman mereka yang tidak terlupakan berkaitan dengan materi
yang sedang dipelajari.
3) Siswa diminta untuk menceritakan pengamalan yang tidak dapat
terlupakan/paling berkesan yang pernah dialaminya. Sedangkan siswa
yang lain dengan seksama mendengarkan.
4) Selesai siswa menceritakan pengalamannya, guru memberikan
apresisasi terhadap siswa tersebut. Selanjutnya meminta kepada siswa
yang lain untuk memberikan kesimpulan nilai positif apa yang
terkandung pada cerita temannya.

118
5) Sesudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menceritakan
pengalamannya masing-masing, maka guru harus dapat menyimpulkan
nilai- nilai positif yang terkandung di dalam pengamalan siswa.
6) Selanjutnya guru menghubungkan pengalaman mereka tersebut
terhadap materi yang sedang dipelajari. Dengan meminta siswa untuk
menceritakan pengalaman yang sangat berkesan bagi mereka
merupakan suatu penghargaan ataupun perhatian kepada siswa
dikarenakan diberikan kesempatan menceritakan hal yang terjadi pada
diri mereka. Dan siswa pun juga termotivasi untuk belajar dikarenakan
mereka diikutsertakan dalam pembelajaran.
Kelebihan strategi Critical Incident (Pengalaman Penting) sesuai apa yang
diungkapkan oleh Suwardi, bahwa untuk mengaktifkan siswa sejak
dimulainya pembelajaran. Selain itu, strategi ini baik digunakan untuk
tujuan Pembelajaran yang mengajarkan peserta didik untuk lebih
berempati, strategi ini juga lebih baik digunakan untuk kelas dengan
jumlah sedikit dan tidak terlalu banyak agar siswa tidak malu untuk
mengungkapkan pengalamannya. Dengan adaya strategi ini, siswa akan
merasa lebih diperhatikan dan meningkat motivasi belajarnya sehingga
pada akhirnya akan menyelesaikan permasahalan yang ada dalam
pembelajaran IPS yang selama ini menjadi momok bagi guru dan siswa.

119
BAB 14

INDIKATOR PENILAIAN KETERAMPILAN SOSIAL

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA


DINI

INDIKATOR PENILAIAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA


KETERAMPILAN SOSIAL REMAJA

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA


DEWASA

120
Pokok Bahasan :

1. Bab ini berisi penjelasan mengenai indikator penilaian keterampilan sosial


2. Bab ini berisi penjelasan mengenai contoh indikator penilaian sikap sosial
3. Bab ini berisi penjelasan mengenai keterampilan sosial pada usia dini
4. Bab ini berisi penjelasan mengenai keterampilan sosial pada usia remaja
5. Bab ini berisi penjelasan mengenai keterampilan sosial pada usia dewasa

Tujuan :

1. Agar pembaca memahami tentang indikator penilaian keterampilan sosial


2. Agar pembaca memahami tentang contoh indikator penilaian sikap sosial
3. Agar pembaca memahami tentang keterampilan sosial pada usia dini
4. Agar pembaca memahami tentang keterampilan sosial pada usia remaja
5. Agar pembaca memahami tentang keterampilan sosial pada usia dewasa

Keterampilan sosial merupakan istilah bagi kemampuan untuk berhubungan


dengan lingkungan sosial secara sesuai. Samanci (2010:150) menyebutkan
keterampilan sosial sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalin interaksi
sosial dan untuk mampu beradaptasi terhadap harapan lingkungan. Keterampilan
sosial tampak pada sikap dan perilaku keseharian, seperti kemampuan
berkomunikasi, menyesuaikan diri, keterlibatan dalam kelompok, mengatasi

121
masalah, dan mengembangkan potensi diri dalam konteks lingkungan. Oleh
karena itu, Shepherd (2010:43) menyebut keterampilan sosial sebagai kemampuan
atau modal penting bagi anak untuk mencapai kesiapan emosi dan perilaku di
sekolah. Untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial yang diterapkan,
diperlukan pencapaian pada indikator penilaian. Indikator ialah penanda yang
dapat digunakan untuk memberikan suatu penilaian. Indikator dapat berupa ciri-
ciri atau ringkasan. Indikator inilah yang akan digunakan sebagai persentase
tingkat perubahan dan pengembangan pada keterampilan sosial peserta didik.
Menurut Goleman (1999) untuk dapat meraih puncak prestasi,
keterampilan sosial atau social skills memiliki makna inti. Makna intinya adalah
adanya kemampuan atau kepintaran individu berupa seni untuk menangani emosi
orang lain dan menggugah respon orang lain, sehingaga terjadi hubungan sosial
yang lancar. Hubungan sosial yang lancer terjadi dapat ditinjau dari dimensi-
dimensi dari keterampilan sosial yang menjadi indikatornya yaitu :

1. Dimensi Pengaruh, yaitu suatu dimensi yang menggambarkan suatu


kemampuan individu untuk mempengaruhi atau menerapkan taktik persuasi
secara efektif sehingga orang lain terpengaruh olehnya. Ciri-ciri orang yang
dapat mempengaruhi orang lain dintaranya adalah
a) terampil dalam persuasi
b) menyesuaikan presentasi untuk menarik hati pendengar
c) menggunakan strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak
langsung untuk membangun konsesus dan dukungan
d) memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar
menghasilkan sesuatu secara efektif.
2. Dimensi Komunikasi, yaitu suatu dimensi untuk mengukur kemampuan
individu untuk berkomunikasi dengan cara mendengarkan secara terbuka dan
mengirimkan pesan yang dapat meyakinkan kepada orang lain. Menurut
Daniel Goleman (1999) juga ciri-ciri orang yang mempunyai keterampilan
dalam berkomunikasi antara lain yaitu:
a) efektif dalam memberi dan menerima, menyertakan isyarat emosi
dalam pesanpesan mereka
b) menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda

122
c) mendengarkan dengan baik, berusaha saling memahami, dan bersedia
berbagi informasi secara utuh
d) menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima kabar
buruk sebagai mana kabar baik
3. Dimensi Manajemen Konflik, yaitu dimensi yang menggambarkan suatu
kemampuan individu dalam mengelola konflik dengan cara merundingkan dan
mengidentifikasi potensi konflik untuk diselesaikan secara terbuka dengan
prinsip solusi ‘win-win’. Pertikaian yang berakibat adanya konflik sangat
menyusahkan jika tidak segera ditangani. Seseorang yang bisa menyelesaikan
masalah dengan baik tanpa banyak yang dirugikan maka orang tersebut berarti
mempunyaimaejemena konflik yan bagus. Dalam hal ini Goleman (1999: 289)
menuturkan bahwa orang yang bisa memanajemen konflik mempunyai
kecakapan-kecakapan diantaranya yaitu:
a) menangani orang-orang sulit dan situasi tegang dengan diplomasi dan
taktik,
b) mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik,
menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka dan membantu
mendinginkan situasi,
c) menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka,
d) mengantar ke solusi menang-menang
4. Dimensi Kepemimpinan, yaitu suatu dimensi yang menunjukkan kemampuan
individu dalam memimpin dengan cara mengilhami, memotivasi dan
membimbing individu ke arah tujuan yang benar. Satu cara yang ditempuh
oleh pemimpin adalah untuk membangun kredibilitas adalah dengan
menangkap perasaan-perasaan secara kolektif yang tidak diucapkan itu lalu
mengungkapkannya kepada mereka, atau bertindak sedemikian yang tanpa
kata-kata pun menunjukan bahwa mereka dimengerti. Jika pemimpinya dapat
mengarahkan kebaikan dan kesuksesan maka orang-orang yang dibawahnya
juga ikut terkenal sukses. Sebaliknya jika pemimpinnya membuat kegaduahan,
berbuat yang tidak baik, dan arahannya tidak bisa menguntungkan maka
orang-orang yang dibawahnya juga juga terkenal jelek bahkan. Ciri-ciri orang
yang mempunyai kecakapan dalam seni memimpin diantaranya yaitu:

123
a) mengartikulasikan dan mengembangkan semangat untuk meraih visi
serta misi Bersama
b) melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan tidak peduli
sedang dimana
c) memandu kinerja orang lain namun tetap memberikan tanggungjawab
kepada mereka
d) memimpin lewat teladan.
5. Dimensi Katalisator Perubahan, yaitu suatu dimensi yang menggambarkan
kemampuan individu berperan sebagai katalisator perubahan dengan cara
menginisiasi dan mengelola perubahan untuk menyadarkan orang lain akan
perlunya perubahan dan dihilangkannya hambatan. Mengawali suatu
perubahan tidaklah mudah untuk bisa bergerak dan sukses dalam mencapai
tujuan. Perubahan diperlukan ide yang cemerlang, keuletan, dan bekerja cepat.
Dengan tiga faktor tersebut organisasi atau perusahaan bisa dengan mudah
mengelola suatu perubahan. adapun orang-orang yang mempunyai kecakapan
dalam katalisator perubahan yaitu mempunyai ciri-ciri diantaranya:
a) menyadari perubahan dan dihilangkannya hambatan
b) menantang status quo untuk menyatakan perlunya perubahan
c) menjadi pelopor perubahan dan mengajak orang lain ke dalam
perjuangan itu
d) membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang lain.
Kelima dimensi yang menjadi indikator keterampilan sosial tersebut di atas saling
terkait dan merupakan satu kesatuan yang dapat memberikan gambaran
kemampuan individu dalam mengekspresikan perasaannya baik verbal maupun
non verbal sehingga mampu ditanggapi olehorang lain ketika interaksi sosial
terjadi. Berikut adalah contoh indicator skala keterampilan social :

124
Tabel Indicator Skala Keterampilan Social

No Aspek Indikator
1 Kemampuan Empati a) Menghargai perbedaan fisik antar teman,
b) Menghargai perbedaan non fisik antar teman,
c) Menghargai kekurangan teman,
d) Menghargai kelebihan teman,
e) Menerima perbedaan teman yang tidak
berkebutuhan khusus,
f) Menerima perbedaan teman berkebutuhan
khusus,
g) Bersikap toleran,
h) Melindungi teman berkebutuhan khusus,
i) Menyesal apabila berbuat salah,
j) Memperhatikan teman,
k) Memberi dukungan pada teman berkebutuhan
khusus,
l) Memberi kesempatan pada teman
berkebutuhan khusus,
m) Memberi tanggapan yang baik,
n) Tidak mengganggu teman.

2 Komunikasi dan a) Bekerjasama dengan semua teman


interaksi sosial b) Berkerjasama dengan teman ABK
c) Bekerjasama untuk hal yang positif
d) Berinteraksi dengan teman
e) Tidak menghindari guru atau orang dewasa
lain
f) Terlibat dalam kegiatan berkelompok
g) Mau berkomunikasi timbal balik secara verbal
dan atau non verbal
h) Mau memulai komunikasi dengan teman

125
i) Sopan dalam berbicara dan atau berperilaku
j) Tidak memilih-milih teman
k) Memulai menyapa
l) Mudah akrab dan memperhatikan guru dan
teman
m) Diterima oleh lingkungan (teman, sekolah)

3 Mengendalikan agresi a) Tidak mengintimidasi teman


b) Tidak membullyi teman berkebutuhan khusus
c) Tidak membullyi teman pada umumnya
d) Menahan untuk tidak berkata kasar atau jorok
e) Mengendalikan diri dari perilaku kasar atau
tidak baik
4 Sikap terbuka a) Berperilaku jujur atau tidak berbohong
b) Percaya diri
c) Memiliki kemampuan untuk jadi pemimpin
d) Bersikap terbuka dan mudah menyesuaikan
diri
5 Perilaku membantu a) Berinisiatif menawarkan bantuan
b) Mau membantu teman berkebutuhan khusus
c) Mau membantu teman lainnya
d) Mau berbagi
6 Memahami diri a) Menyadari kekurangan dan kelebihan dirinya
b) Mau mengekspresikan kemampuannya
c) Mau menyesuaikan diri dengan
lingkungannya
7 Perilaku mau belajar a) Bersemangat dan terlihat senang belajar dan
sekolah
b) Mau terlibat dalam kegiatan sekolah

126
Sedangkan Menurut John Jarolimek peserta didik harus memiliki keterampilan
social yang mendasar seperti:

Tabel indicator keterampilan social menurut John Jarolimek

No Aspek Keterampilan Sosial Indicator Keterampilan


1 Living and working together,  Bekerjasama dengan baik
taking turna, repecting the rights  Mampu melibatkan diri dalam
of other, being sosialsensitive kelompok
(bekerjasama, toleransi,  Menggunakan kontak mata ketika
menghormati hak-hak orang lain, berbicara dengan orang lain
memiliki kepekaan social)  Menawarkan bantuan kepada
orang lain
 Menghargai pendapat teman
2 Learning self control and self  Mematuhi peraturan yang dibuat
direction (kemampuan mengontrol oleh pihak sekolah
diri)  Tepat waktu
 Tanggung jawab dalam
mengerjakan tugas
3 Sharing ideas an experience with  Mampu menyampaikan pendapat
other (berbagi pendapat dan juga  Berani untuk mengajukan
pengalaman dengan orang lain) pertanyaan dan tanggapan
 Mampu untuk menjelaskan atau
mengklarifikasi sebuah
permasalahan

A. Keterampilan Sosial Anak Usia Dini


1. Pengertian Keterampilan Sosial Anak Usia Dini

Keterampilan berasal dari kata skill yang artinya suatu kemampuan


bertingkat tinggi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan motor yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan
(Chaplin,1981). Cronbach (dalam Hurlock, 1978: 154)

127
mendefinisikan ”keterampilan” dapat diuraikan dengan kata seperti
otomatik, cepat, dan akurat. Setiap pelakasanaan sesuatu yang terlatih,
dan merupakan suatu rangkaian koordinasi yang melibatkan perbedaan
isyarat dan koreksi kesalahan yang berkesinambungan.
Keterampilan yang dipelajari dengan baik akan berkembang
menjadi kebiasaan. Kata sosial berasal dari bahasa Latin societas yang
artinya masyarakat. Kata societas berasal dari socius, yang artinya
teman dan hubungan antar manusia dengan yang lainnya dalam bentuk
yang berlaianan seperti keluarga, sekolah, dan organisasi (Ahmadi, 2009:
233).
Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa keterampilan sosial
merupakan suatu kemampuan yang membutuhkan pengetahuan dan
latihan untuk dapat melakukan kegiatan bermasyarakat dengan baik.
Peningkatan perilaku social yang pesat terjadi ketika anak berada pada
masa kanak-kanak awal atau pra sekolah yang dikarenakan
bertambahnya pengalaman sosial anak. Oleh karenanya, sedini mungkin
anak harus dilatih dan diberi pembiasaan dan stimulasi yang tepat dan
sesuai dengan segala aspek perkembangannya sehingga ia tumbuh
menjadi individu yang memiliki kematangan dalam berfikir dan bertindak.
Peningkatan perilaku sosial anak bergantung pada tiga hal.
Pertama, seberapa kuat keinginan anak untuk di terima secara sosial;
kedua pengetahuan mereka tentang cara memperbaiki perilaku; dan ketiga,
kemampuan intelektual yang semakin berkembang yang memungkinkan
pemahaman hubungan antara perilaku mereka dengan penerimaan sosial.
Chaplin (dalam Siska, 2011: 32) mengutarakan pendapatnya terhadap
keterampilan sosial, yang merupakan suatu bentuk perilaku, perbuatan
maupu sikap yang ditunjukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan
orang lain yang disertai dengan ketepatan dan kecepatan yang
menimbulkan rasa nyaman bagi orang disekitarnya.
Kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial harus dimiliki oleh
anak yang di dalamnya meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan
sikap sosial. Sikap social meliputi kemampuan anak untuk dapat

128
merasakan apa yang dirasakan orang lain mengenai perasaa gembira,
sedih, disukai, dibenci, marah dan cara penggunaannya merupakan bagian
dari sikap sosial. Demikian pula sikap suka menolong, memperhatikan
orang lain saat berbicara, memberi komentar yang baik dan
menyenangkan, memperhatikan nasihat orang tua merupakan bagian
dari sikap sosial.
Beaty (dalam Siska, 2011: 33) menambahkan bahwa keterampilan
sosial sebagai prosocial behavior meliputi perilaku yang berupa: (a)
empati yang didalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan
memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena
suatu masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang
mengalami konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan yang
dialami orang lain; (b) kemurahan hati atau kedermawanan di dalamnya
anak-anak berbagi dan memberikan suatu barang miliknya pada seseorang;
(c) kerjasama yang didalamnya anak-anak mengambil giliran atau
bergantian dan menuruti perintah secara sukarela tanpa menimbulkan
pertengkaran; dan (d) memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak
membantu seseorang untuk melengkapi suatu tugas dan membantu
seseorang yang membutuhkan.
Khusus pada keterampilan sosial di sekolah, Walker dan
Mc.Connell (Merrell, 2001:14) menyebutkan tiga kategori perilaku yang
menjadi indikator keterampilan sosial yang mendukung kegiatan
pembelajaran pada anak usia sekolah dini. Pertama yaitu: Teacher-
Preferred Social Behavior meliputi perilaku sosial dasar pendukung
interaksi sosial, meliputi perilaku kontak dan komunikasi, simpati dan
empati, kompromi dan kerjasama; serta perilaku mengatasi masalah,
berupa merespon gangguan dan masalah, dan mengatasi dorongan perilaku
agresi. Kedua adalah Peer-Preferred Social Behavior, yakni interaksi
berteman di luar pembelajaran meliputi penerimaan teman, perilaku
interaksi berteman, adaptasi, perilaku membantu, inisiatif, dan bakat
positif yang ditunjukkan. Ketiga adalah School Adjustment Behavior atau
perilaku yang menunjukkan penyesuaian diri terhadap aktivitas

129
pembelajaran, meliputi kemampuan manajemen waktu, mengikuti arahan
pembelajaran, kemampuan berkarya, dan respon terhadap pembelajaran.

2. Pedoman Penilaian Keterampilan Sosial Anak Usia Dini


a) Penilaian Anak Usia Dini
Dalam Purwanto (2010: 3) Mehrens & Lehman mengartikan
evaluasi sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh, dan
menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat
alternative-alternatif keputusan. Kegiatan evaluasi merupakan
proses yang direncanakan untuk memperoleh informasi atau
data, berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu
keputusan.
Menurut Ralph Tyler (dalam Yus, 2011: 39) penilaian
merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan
sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan
sudah tercapai. Howard Garner (dalam Yus, 2011: 39-40)
menegaskan bahwa penilaian merupakan upaya memperoleh
informasi mengenai keterampilan dan potensi diri individu dengan
dua sasaran. Pertama, memberikan umpan balik yang bermanfaat
kepada individu yang bersangkutan. Kedua, sebagai data yang
berguna bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Penilaian pada
pendidikan anak TK lebih banyak untuk mendeskripsi
ketercapaian perkembangan anank. Dengan penilaian dapat
diketahui dan ditetapkan aspek-aspek perkembangan yang telah
dicapai dan yang belum dicapai.
Yus (2011: 47) mengemukakan bahwa penilaian digunakan
sebagai patokan untuk pengambilan keputusan. Keputusan
tersebut berkaitan dengan individu atau anak, program atau
kurikulum dan sekolah secara keseluruhan. Dengan penelitian
dapat diperkirakan seorang siswa mengalami kesulitan belajar
atau tidak. Dengan penilaian dapat diputuskan apakah program
sesuai atau tidak untuk anak tersebut.

130
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara
pencatatan penilaian menggunakan simbol bintang yang
mengacu pada peraturan pemerintah/kemendiknas yang
diterbitkan tahun 2010. Cara pencatatan berdasarkan Pedoman
Penilaian TK (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010) adalah
sebagai berikut:
1) Anak yang belum berkembang (BB) sesuai indikator maka
pada kolom penilaian anak ditulis nama anak dan diberi tanda
satu bintang.
2) Anak yang mulai berkembang (MB) sesuai dengan indikaor
yang di harapkan dalam RKH mendapat tanda dua bintang.
3) Anak yang sudah berkembang sesuai harapan (BSH) pada
indicator dalam RKH mendapat tanda tiga bintang.
4) Anak yang sudah berkembang sangant baik (BSB) melebihi
indikator seperti yang diharapkan dalam RKH mendapatkan
tanda empat bintang.

b) Indikator Hasil Belajar


Perkembangan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan
yang tidak kalah penting dari aspek-aspek perkembangan anak
seperti kognitif, bahasa, fisik motorik, morak keagamaan, dan
emosi. Aspek perkembangan anak saling mempengaruhi dan
harus diberikan stimulus yang tepat untuk dapat berkembang
secara optimal. Perkembangan sosial dan kepribadian dimulai
pada usia prasekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan
sosialnya.
Anak mulai bergaul dengan teman-teman di sekolahnya.
Pada masa ini teman sebaya memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan sosialnya. Pengalaman-pengalaman bermakna
anak diperoleh dari interaksinya dengan teman sebaya dan
lingkungannya. Hartup (dalam Monk, 2006: 183) mengemukakan
pada usia pra sekolah anak memiliki kontak yang intensif dengan

131
teman-teman sebayanya dimana anak-anak akan saling
mempengaruhi satu sama lain. Interaksi teman sebaya merupakan
awal muka hubungan persahabatan dan hubungan dengan peer.
Persahabatan umumnya terjadi atas dasar interest dan aktivitas
bersama.
Hubungan persahabatan dan peer bersifat timbal balik dan
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1) Saling pengertian;
2) Saling membantu;
3) Saling percaya;
4) Saling menghargai dan menerima.
Lebih lanjut La Gaipa (dalam Monk, 2006: 187) menyebutkan sifat
inti dari persahabatan yang muncul pada masa kanak-kanak,
yakni:
1) loyalitas (jujur dan setia);
2) rasa simpati (tidak ada rasa distansi);
3) tulus (tidak ada rasa segan, malu ataupun kompetensi)
Peningkatan keterampilan sosial anak juga terlihat dari bagaimana
anak melakukan interaksi dengan teman sebaya dan
lingkunganya. Interaksi sosial berkaitan dengna bagaimana anak
melakukan komunikasi baik secara verbal dan nonverbal. Foster
dan Ritchey (Kelly, 1982: 218) menunjukkan beberapa peneliti
telah mendefinisikan kompetensi sosial dalam sistem sosial
mengukur popularitas, sementara yang lain telah menggunakan
kriteria seperti tingkat atau kualitas keseluruhan interaksi sosial
yang diamati dengan teman sebaya. Kelly (1982: 138) mencatat
komponen keterampilan berbicara meliputi: eye contact (kontak
mata), affect (mempengaruhi), speech duration (seberapa lama
pembicaan), conversational questions (pertanyaan dalam
percakapan); self-disclosing statement (mengungkapkan
pernyataan); and reinforcing (penguatan) or
complimentary coment (komentar berisikan pijuan). Interaksi

132
sosial yang dilakukan oleh anak juga mampu
meningkatkan keterampilan soisalnya. Interaksi aktif anak terlihat
ketika ia bermain dengan temannya ataupun ketika mereka
mengerjakan tugas bersama, terutama permainan yang
membutuhkan kerjasama di dalamnya. Kelly (1982: 219-220)
mengemukakan:

“In cooperative play, two or more children are engage in


mutual task that involves the reciprocation of motor
behavior or talk and, consequently, interaction with one
other. Cooperation or sharing behavior can occur in the
context of task-play or conversation among children.
This component refer specifically to a child taking turn,
offering assistance, sharing a play-object with another
child, following game rule, and similar act”

Dalam bermain kooperatif (kerjasama), dua atau lebih anak-anak


terlibat dalam tugas yang melibatkan perilaku motorik atau
bicara dan, akibat yang ditimbulkan serta interaksi dengan orang
lain. Kerjasama atau perilaku berbagi muncul dalam konteks tugas
dalam suatu permainan atau percakapan anatar anak. komponen
ini merujuk secara khusus untuk anak mengambil gilirannya,
menawarkan bantuan, berbagi bermain-objek dengan anak lain,
mengikuti aturan permainan, dan tindakan serupa.
Dalam permainan yang dilakukan anak selalu ada
peraturan di dalamnya, peraturan permainan memungkinkan
anak mengembangkan kedisiplinan pada anak. disiplin dianggap
sebagai cara untuk mengajarkan perilaku yang baik pada anak dan
mendorong anak untuk dapat berperilaku sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Hurlock (1980: 123-124) menyebutkan tiga unsur
penting dalam disiplin, yakni: peraturan yang berfungsi sebagai
pedoman bagi penilaian yang baik, hukuman bagi pelanggaran
peraturan dan hukum dan hadiah untuk perilaku yang baik

133
atau usaha untuk berperilaku sosial yang baik. Selama awal
masa kanak-kanak harus ditekankan aspek pendidikan dari
disiplin dan hukuman hanya diberikan jika anak-anak mengerti
apa yang diharapkan dan sengaja melanggar harapan-harapan
tersebut. Untuk mengomptimalkan perkembanganya,
pembelajaran yang dilakukan di sekolah berpedoman pada
kurikulum.
Kurikulum di kembangkan berdasarkan tahapan
perkembangan anak pada usianya. Dalam kurikulum TK
(Kemendiknas, 2010: 46-47), tingkat pencapaian perkembangan
dan indikator perkembangan sosial, emosional, dan kemandirian
anak usia 5-6 tahun adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1. Indikator pencapaian perkembangan sosial emosional


menurut Kemendiknas

No. Capaian Perkembangan Indikator


1. Bersikap kooperatif - Dapat melaksanakan tugas
dengan kelompok
teman - Dapat bekerjasama dengan
teman
2. Menunjukkan sikap toleran - Mau meminjamkan miliknya
- Mau bermain dengan teman
- Mau berbagi dengan teman
3. Mengekspresikan emosi - Saling membantugiliran
Sabar menunggu sesame
yang - Mengendalikan emosi
4. sesuai dengan kondisi
Mengenalkan yang
tata karma -dengan
Memberi dan membalas salam
ada
dan cara yangdnegan
- Berbicara wajar tidak
5. (senang,
sopan
Mamahami sedih,
santun antusias,
sesuai
peraturan dsb)
dengan Senang keketika
-berteriak
Datang sekolahmendapatkan
tepat waktu
nilai sesuatu tata tertib sekolah
- Menaati
sosial budaya setempat Antusias aturan/
- Menaati ketika tata
melakukan
tertib
kegiatan yang diinginkan
dikelas
- Menaati peraturan permainan
134
6. Menujukkan rasa empati - Menghibur teman yang sedih
- Mendoakan teman yang sakit
7. Memiliki sikap gigih - Suka menolong
Melaksanakan tugas
(ti - Mau memberi dan
sendiri
8. dak
Bangga terhadap hasil -menerima
sampai selesaikebanggaan
Menunjukkan
mudah menyerah)
karya -maaf
Dapat menerima
terhadap kritik
hasil karyanya
sendiri Berani bertanya
- Memelihara hasildan
karya sendiri
9. Menghargai keunggulan -menjawab
Dapat memuji teman/ orang
orang lain
pertanyaan.
lain -- Menghargai
Bertanggunghasil karya
jawab
teman/orang lain akan
- Menghargai
tugasnya keunggulan
teman/orang lain
B. Keterampilan Sosial Anak Usia Remaja

Kelly (dalam Ramdhani: 2001) menyatakan bahwa keterampilan sosial


adalah keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar yang
digunakan dalam berhubungan dengan lingkungannya secara baik dan tepat
sehingga dapat berinteraksi secara positif dengan orang lain. Aspek keterampilan
sosial yang dapat ditanamkan antara lain: bertanya, menyumbangkan ide atau
pendapat, menjadi pendengar yang baik, komunikatif, dan menghargai pendapat
siswa lain serta memiliki rasa empati, tenggang rasa, kepedulian dengan sesama,
kerjasama, penyelesaian konflik, kemandirian, dan tanggung jawab sosial.
Pada saat anak memasuki usia remaja yang umumnya terjadi pada anak
sekolah dasar dan sekolah menengah (SD dan SMP). Dimana pada usia tersebut
keterampilan sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus
dikuasai remaja. Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas
perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan
masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social
skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan-
keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin
hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain,

135
mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima,
memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.
Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut
maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini
berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek
psikososial dengan maksimal. Remaja dengan keterampilan sosialnya akan
mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain. Keterampilan-keterampilan sosial
tersebut dapat dikembangkan melalui penerapan pendidikan keterampilan sosial di
sekolah.
Pengembangan keterampilan sosial siswa sangat tergantung pada seorang
guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena keterampilan sosial siswa
tidak hanya dikembangkan melalui materi yang berhubungan current issue dan
problem solving saja. Akan tetapi dapat dikembangkan melalui kurikulum,
metode dan strategi pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar dan
evaluasi. Pembelajaran yang diterapkan untuk mengembangkan keterampilan
sosial siswa diharapkan dapat memberikan kesan yang menyenangkan dan mudah
dipahami siswa. Salah satu cara untuk memberi kesan yang menyenangkan
kepada siswa yaitu melalui pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung
pada objek yang dipelajari. Siswa diusahakan agar terlibat langsung secara nyata
yang bersifat aktif dan sosial melalui metode pembelajaran yang menyenangkan
(Sugihartono, dkk, 2007: 109). Pembelajaran yang menyenangkan dapat
memotivasi siswa untuk terus belajar. Pembelajaran di sekolah diupayakan
melibatkan siswa secara aktif berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan agar
mempermudah menyampaikan materi pelajaran. Hal ini penting dilakukan agar
siswa lebih mudah membangun pengetahuan belajarnya ketika siswa terlibat
langsung.
Keterampilan sosial (social skill) ini dapat diasah melalui model
pembelajaran yang menuntut kerjasama, latihan bekerja dalam team, komunikasi
antar pribadi dan komunikasi dalam kelompok baik secara tertulis maupun tidak
tertulis. Upaya mengembangkan keterampilan sosial ini tentu tidak mudah.
Menentukan materi pelajaran dan meramu Rencana Program Pengajaran yang

136
dapat mengembangkan keterampilan sosial dan mengimplementasikannya
menuntut sistem evaluasi yang komprehensif, dan ditunjang dengan guru yang
benar-benar terlibat total.

1. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja

Tugas perkembangan merupakan petunjuk-petunjuk yang


memungkinkan seseorang mengetahui hal-hal apa yang harus dipelajari
dan dikuasai dalam suatu masa kehidupan (Mappiare, 1982). Tugas
perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap
dan pola perilaku. Menurut Havighurst (Mappiare, 1982) terdapat
beberapa tugas perkembangan remaja, yaitu :
a) Menerima keadaan fisiknya dan menerima peranannya sebagai pria
atau wanita.
b) Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya
baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.
c) Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tuanya dan
orang dewasa lainnya.
d) Memperoleh kepastian dalam hal kebebasan pengaturan ekonomis.
e) Memilih dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan atau
jabatan.
f) Mengembangkan keterampilan-keterampilan dan konsep
intelektual yang diperlukan dalam hidup.
g) Menginginkan dan dapat berperilaku yang diperbolehkan oleh
masyarakat.
h) Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga.
i) Menyusun nilai-nilai kata hati yang sesuai dengan gambaran
dunia, yang diperoleh dari ilmu pengetahuan yang memadai.

2. Hubungan Antara Keterampilan Sosial Dengan Penerimaan Teman


Sebaya

Masa remaja adalah suatu periode perkembangan yang ditandai


oleh berbagai macam perubahan, salah satunya perubahan dalam

137
perkembangan psikososial mereka. Perkembangan kehidupan social
remaja juga ditandai dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya.
Menurut Santrock (2007) hubungan dengan teman sebaya memiliki
pengaruh dan proporsi yang besar dalam kehidupan remaja, waktu yang
digunakan untuk berinteraksi dengan teman sebaya pun cenderung
meningkat. Lingkungan teman sebaya menjadi lingkungan pertama
bagi remaja untuk belajar hidup bersama orang lain yang bukan
anggota keluarganya karena teman sebaya memiliki ciri, norma,
kebiasaan yang jauh berbeda dengan apa yang ada dalam lingkungan
keluarga.
Bagi remaja, hubungan dengan teman sebaya selain menjadi sarana
untuk belajar, hubungan dengan teman sebaya juga berfungsi sebagai
sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Semakin kuat dan
besarnya pengaruh yang diberikan oleh teman sebaya menegaskan bahwa
hubungan teman sebaya berperan penting dalam kehidupan sosial remaja.
Pada perkembangan lebih lanjut, hubungan teman sebaya dicirikan
dengan adanya penerimaan sosial dari anggota kelompok yang dapat
dilihat dalam hal bagaimana teman sebaya terhubung dengan anak anak
lain dalam kelompok, popularitasnya, reputasinya dalam kelompok dan
bagaimana mereka dipandang oleh teman-teman sebayanya (Brownell &
Gifford-Smith, 2003).
Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima
teman sebaya atau kelompok. Hal tersebut didukung oleh pendapat
Sullivan (dalam Santrock, 2007) yang menyatakan bahwa semua orang
memiliki kebutuhan sosial yang bersifat mendasar termasuk kebutuhan
untuk memperoleh penerimaan sosial. Akibat langsung dari penerimaan
teman sebaya, remaja akan merasa senang apabila diterima dan akan
merasa sangat tertekan apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-
teman sebayanya.
Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tersebut akan
mempengaruhi kesejahteraan emosional remaja. Penerimaan teman sebaya
memiliki arti penting bagi remaja karena hal tersebut berpengaruh

138
terhadap pikiran, sikap, perasaan perbuatan dan penyesuaian diri
remaja. Selain itu penerimaan teman sebaya juga berpengaruh
terhadap perkembangan sosiopsikologis bagi remaja.Oleh karena itu,
keterampilan sosial merupakan aspek penting yang diperlukan
untuk mencapai keberhasilan dalam menjalin hubungan dengan teman
sebaya.
Keterampilan sosial juga diperlukan remaja agar mendapatkan
penerimaan teman sebaya. Keterampilan sosial tersebut meliputi
kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain,
menghargai diri sendiri, memberi atau menerima, dan sebagainya.
Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan
menyebabkan remaja sulit menyesuaikan diri dan dapat dikucilkan dari
pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (antisosial) atau
bahkan lebih ekstrim (Fatimah, 2006). Pendapat tersebut sejalan dengan
John Coie (dalam Santrock, 2007) yang menemukan bahwa salah
satu alasan anak ditolak oleh teman sebayanya karena kurangnya
keterampilan sosial yang diperlukan untuk berteman dan
mempertahankan relasi yang positif dengan mereka. Sebaliknya,
anak-anak yang populer memiliki sejumlah keterampilan sosial yang
membuat mereka di sukai teman-temannya. Remaja yang memiliki
keterampilan sosial lebih mampu mengungkapkan perasaan baik itu
positif ataupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa perlu
melukai orang lain atau kehilangan pengakuan sosial sehingga terjalin
hubungan yang positif dengan teman sebaya dan remaja dapat dengan
mudah diterima oleh kelompok.

C. Keterampilan Sosial Anak Usia Dewasa

Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap


yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai
dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang
yang berada disekitarnya (Chaplin dalam Suhartini, 2004:18).

139
Keterampilan sosial yang di terapkan di jenjang pendidikan SMA
didapatkan dari pembelajaran IPS. Pembelajaran IPS berperan sebagai wahana
pengembangan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pemahamannya
terhadap fenomena kehidupan sehari-hari. Sebagai wahana pengembangan
kemampuan siswa, materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan,
metode, dan teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena dan
permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata hidup bermasyarakat. Materi
tersebut sekaligus menjadi pengantar bagi siswa-siswa yang berminat mendalami
IPS lebih lanjut. Malik Fajar (1988 : 67) menyebutkan, bahwa kegiatan
pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Betapa pun baiknya konstruksi filsafat
pendidikan, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan pembelajaran yang
baik, pendidikan dapat dikatakan telah mengalami kegagalan semenjak proses
yang paling awal.
Sehingga kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran, termasuk IPS,
sangat penting peranannya. Aspek-aspek pembelajaran IPS mencakup aspek-
aspek kognisi, afeksi, dan keterampilan. Menurut Bloom (dalam Mulyono, 1985 :
15), aspek keterampilan yang harus diajarkan melalui pembelajaran IPS adalah
"keterampilan berfikir, keterampilan akademis, keterampilan sosial, dan
keterampilan meneliti". Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka tujuan
pengembangan keterampilan sosial dalam mata pelajaran IPS adalah agar siswa
mampu berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mampu menyelesaikan
tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan dirasakan kebaikannya oleh semua
anggota masing-masing. Hal ini selaras dengan fitrah manusia sebagai makhluk
sosial yang sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya, baik kepribadian
individualnya, termasuk daya rasionalnya, reaksi emosionalnya, (Sumaatmadja,
1986 : 29). Dengan demikian, pengembangan nilai-nilai dan keterampilan social
harus menjadi salah satu tujuan pendidikan di tingkat dasar maupun menengah
umum, khususnya, SMP, SMK dan SMA (Sekolah Menengah Atas) maupun di
tingkat Perguruan Tinggi.
Pembelajaran IPS berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berpikir,
berperilaku, dan berinteraksi dalam keragaman realitas sosial dan budaya
berdasarkan etika. Berbagai ahli seperti Raven (1977 : 156), Bell (1966 : 112),

140
McConnell (1952 :4), dan Conant (1950 : 74) telah menyebutkan, bahwa salah
satu tujuan pendidikan dasar dan menengah umum adalah untuk mengembangkan
nilai-nilai dan keterampilan sosial.
Nilai-nilai sosial sangat penting bagi peserta didik, karena berfungsi
sebagai acuan bertingkah laku terhadap sesamanya, sehingga dapat diterima di
masyarakat. Nilai-nilai itu antara lain, seperti kasih sayang, tanggung jawab, dan
keserasian hidup. Adapun keterampilan sosial mempunyai fungsi sebagai sarana
untuk memperoleh hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain,
contoh: melakukan penyelamatan lingkungan, membantu orang lain, kerja sama,
mengambil keputusan, berkomunikasi, wirausaha, dan partisipasi.
Pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial tersebut merupakan hal
yang harus dicapai oleh pendidikan menengah umum. Hal itu karena anak didik
merupakan makhluk sosial yang akan hidup di masyarakat. Jadi, pengembangan
nilai-nilai dan keterampilan sosial amat penting dalam pendidikan dasar,
menengah dan perguruan tinggi. Namun, secara praksis, hal tersebut cenderung
diabaikan, sebagaimana beberapa penelitian membuktikannya, bahwa :
1. Terdapat kecenderungan mengabaikan pembinaan nilai-nilai sosial dalam
pendidikan, sehingga mengakibatkan eraosi nilai-nilai dan keterampilan
sosial;
2. Mata pelajaran IPS berkontribusi terhadap tanggung jawab sosial siswa
(rasa memiliki, disiplin, tolong menolong, dan toleransi);
3. Model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepribadian social anak didik. Kepribadian sosial tidak cukup hanya
diberikan dengan metode ceramah dan diskusi di kelas, melainkan dengan
terjun langsung di masyarakat mengklarifikasi serta menghadapi kenyataan
sosial, dapat membentuk kepribadian yang matang;
4. Model pembelajaran IPS kurang berorientasi kepada pengembangan nilai-
nilai dan keterampilan sosial.

141
BAB XV

DAMPAK PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL BAGI


PESERTA DIDIK

Pelaksanaan belajar mengajar merupakan suatu proses interaksi antara


guru dan siswa atau pembelajar beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Pembelajaran merupakan bagian dari pendidikan, yang di dalamnya ditunjang
oleh berbagai unsur-unsur pembelajaran antara lain tujuan, materi pelajaran,
sarana prasarana, situasi atau kondisi belajar, media pembelajaran, lingkungan
belajar, metode pembelajaran, serta evaluasi. Kesemua unsur-unsur pembelajaran
tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar untuk
membantu dalam mengembangkan potensi pada diri siswa.

Pelaksanaan pendidikan kepada siswa adalah salah satu cara dalam rangka
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan dasar bagi
pembentukan kepribadian yang utuh. Oleh karena itu dalam pemberian
pendidikan ini terdapat aspek-aspek yang harus dikembangkan dan ditanamkan
dalam diri siswa, diantaranya aspek kognitif, bahasa, nilai agama, moral dan
sosial. Pendidikan yang diberikan harus menyentuh pada aspek sosial mencakup
tenggang rasa, kepedulian, saling menghargai, saling menghormati, mampu
bekerjasama, empati dan sebagainya.

Siswa sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya mengalami


pertumbuhan dan perkembangan yang biasanya ditandai dengan perubahan fisik
motorik, kognitif, sosial dan emosional. Agar perkembangan ini dapat dicapai
dengan baik, maka siswa perlu mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan
yang benar-benar menyentuh pada aspek diri anak yang sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan tersebut.

Yusuf (2006:65) menegaskan bahwa: “periode yang beragam dalam


perkembangan individu menuntut untuk menuntaskan tugas-tugas perkembangan.
Tugas-tugas perkembangan ini sangat berkaitan dengan perubahan kematangan,
persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama, dan hal lainnya sebagai prasyarat

i
untuk pemenuhan selanjutnya. Tugas perkembangan tersebut berkaitan dengan
sikap, perilaku, atau keterampilan yang senantiasa dimiliki oleh individu.

Salah satu tugas perkembangan sosial anak yaitu memiliki keterampilan


dalam sosialnya. Ratna (2011:14) menyatakan bahwa: “keterampilan sosial adalah
istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk mengacu pada tindakan
moral yang diekspresikan secara kultural seperti berbagi, membantu seseorang
yang membutuhkan, bekerjasama dengan orang lain, dan mengungkapkan
simpati”. Penguasaan keterampilan sosial pada diri siswa adalah sangat penting
karena akan membantu anak agar diterima dan mampu berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya.

Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang


ditampilkan oleh siswa ketika berinteraksi dengan orang lain didukung pula oleh
ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang lain yang
berada di sekitarnya. Kurniati (2010:35) mengemukakan bahwa: “keterampilan
sosial adalah kebutuhan primer yang perlu dimiliki oleh anak-anak bagi
kemandirian pada jenjang kehidupan selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya”.

Keterampilan sosial merupakan faktor penting bagi siswa untuk memulai


kehidupan sosialnya. Bagi siswa yang tidak memiliki keterampilan sosial, maka
akan mengalami kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif
dengan lingkungannya, bahkan boleh jadi siswa akan ditolak atau diabaikan oleh
lingkungannya. Dampak yang muncul dari akibat penolakan ini adalah siswa akan
sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baik di lingkungan rumah maupun
lingkungan sekolahnya. Hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap
keberhasilan belajar siswa karena siswa kurang mampu dalam menempatkan diri
dalam kehidupan sosial terutama dalam belajarnya.

Dampak lain dari rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa
adalah siswa mengalami berbagai kesulitan perilaku. Siswa di sekolah mengalami
kurangnya perhatian, penolakan teman sebaya, kesulitan dalam mengontrol emosi,

ii
kesulitan dalam berteman, sulit berkonsentrasi yang berakibat terganggu aktivitas
belajar siswa, sehingga menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa.

Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menciptakan hubungan


social yang serasi dan memuaskan berbagai pihak, dalam bentuk penyesuaian
terhadap lingkungan sosial dan keterampilan memecahkan masalah sosial.
Dalam keterampilan sosial tercakup kemampuan mengendalikan diri, adaptasi,
toleransi, berkomunikasi, berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Cartledge
dan Milburn menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan perilaku yang
perlu dipelajari, karena memungkinkan individu dapat berinteraksi, memperoleh
respon positif atau negatif, karena itu keterampilan sosial merupakan kompetensi
yang sangat penting untuk dimiliki setiap orang termasuk di dalamnya peserta
didik, agar dapat memelihara 3 hubungan sosial secara positif dengan keluarga,
teman sebaya, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas.

Keterampilan sosial merupakan hal yang sangat penting dalam


pembelajaran. Karena, keterampilan sosial adalah salah satu modal peserta didik
untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Jika seseorang tidak memiliki
keterampilan social maka dia tidak akan bisa membawa diri dalam lingkungannya.
Sebaliknya, jika seseorang memiliki keterampilan sosial yang tinggi dia akan
mampu bekerja sama dengan orang lain. Selain itu seseorang yang memiliki
keterampilan sosial yang tinggi juga akan memiliki rasa empati terhadap sesama
dan bisa menemukan jalan keluar (solusi) atas permasalahan yang dihadapi.

Fenomena yang ada selama ini keterampilan sosial yang dimiliki oleh
masyarakat pada umumnya masih rendah. Hal ini diperkuat dari data yang
diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam jangka waktu
tahun 2011 sampai 2017 KPAI telah menerima 26 ribu kasus anak yang
berhadapan dengan hukum. Salah satu contohnya adalah kasus bullying yang
terjadi di Thamrin City seperti yang dilansir oleh detiknews 4 Oktober 2017.
Selain hal itu masih banyak deretan masalah social yang terjadi, seperti
perkelahian pelajar, narkoba dan minuman keras, kecurangan dalam ujian, korupsi,
pornografi, dan berbagai tindakan tidak baik lainnya. Berbagai permasalahan

iii
sosial tersebut terjadi sebagai bentuk lemahnya keterampilan social dalam lingkup
individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Madrasah, bahwa MI


Muhammadiyah Selo Kulon Progo adalah salah satu madrasah yang telah
menerapkan pembelajaran tematik dengan mengacu pada Kurikulum 2013 sejak
tahun pelajaran 2016/2017. Pembelajaran tematik dilaksanakan secara bertahap
setiap tahun pelajaran. Pada tahun pelajaran 2016/2017 kurikulum 2013
diterapkan di kelas I dan IV, kemudian tahun pelajaran 2017/2018 untuk kelas I,
II, IV, dan V. Dan pada tahun pelajaran 2018/2019 pembelajaran tematik dengan
mengacu pada Kurikulum 2013 sudah diterapkan pada semua kelas yaitu dari
kelas satu sampai dengan kelas enam.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di kelas V MI


Muhammadiyah Selo Kulon Progo, pembelajaran tematik terpadu yang
dilaksanakan sudah mengarah pada tuntasnya kegiatan pembelajaran tematik dan
mengarahkanpada pengembangan keterampilan sosial peserta didik. Dalam proses
pembelajaran tematik di kelas terlihat kerjasama yang baik diantara peserta didik.
Selain itu juga tampak peserta didik mampu menyampaikan pendapatnya, mampu
melibatkan diridalam kelompok kerjanya serta berani mengajukan pertanyaan
ketika ada hal yang kurang dipahami oleh peserta didik.

1. Implementasi Pembelajaran Tematik


Proses implementasikan pembelajaran tematik tersebut meliputi 3 tahapan,
yaitu:

Pertama, tahap perencanaan pembelajaran tematik. Tahap perencanaan


dalam mengimplemetasikan pembelajaran tematik yang telah
dilaksananakan oleh guru kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo
adalah mengambil tema dari Kemendikbud RI, mengecek/ melihat Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD),
melakukan Pemetaan KI,KD, membuat jaringan tema, menyusun silabus,
dan merancang RPP. Meskipun demikian ada dua bagian yang masih perlu
disempurnakan diantaranya pada proses menetapkan tema guru masih

iv
mengambil/ meniru tema yang telah ditetapkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI tanpa ada upaya dari guru untuk
mengkreasikan. Dalam proses ini guru perlu mengkreasikan tema supaya
bisa disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Hal lain
yang masih perlu disempurnakan juga adalah proses mengecek SKL,KI, dan
KD. Sementara dalam proses ini guru harus menganalisis SKL,KI, dan KD,
tidak hanya sekedar mengecek apa yang sudah ada, sehingga guru bisa
sepenuhnya mengetahui apa saja yang harus dilakukan dalam pembelajaran
supaya bisa memenuhi standar kompetensi kelulusan secara maksimal.

Kedua, tahap pelaksanaan pembelajaran tematik. Dalam tahap pelaksanaan


ini meliputi tiga kegiatan, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan yang dilaksanakan oleh guru kelas
V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo yaitu, mengucapkan salam,
mengajak peserta didik untuk berdoa bersama-sama, dan menanyakan kabar
peserta didik pada hari itu sebagai upaya untuk menyiapkan fisik dan psikis
peserta didik. Selain itu guru juga melakukan apersepsi dengan mengaitkan
materi hari itu dengan pengalaman peserta didik, dan selalu menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa guru memiliki kemampuan untuk membuka pelajaran dalam
pelaksanaan pembelajaran tematik.

Sementara itu untuk kegiatan inti dalam pembelajaran tematik di kelas V MI


Muhammadiyah Selo Kulon Progo. Dalam kegiatan pembelajaran tematik di
kelas guru menggunakan pendekatan saintifik yaitu, mengamati, menanya,
mencoba/ mengasosiasi, menalar, dan mengkomunikasikan. Sementara itu
dalam kegiatan pembelajaran tematik tersebut guru memanfaatkan
lingkungan sekitar madrasah sebagai sarana pembelajaran. Strategi yang
digunakan oleh guru adalah cooperative learning sebagai upaya guru untuk
mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. Dan dalam pelaksanaan
kegiatan penutup guru membuat rangkuman dengan melibatkan peserta
didik dengan bertanya kepada peserta didik apa saja yang telah dipelajari

v
hari itu, dan menyimpulkannya. Akan tetapi guru tidak memberikan tindak
lanjut kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.

Ketiga, tahap evaluasi pembelajaran tematik. Tahap evaluasi dilaksanakan


dengan menilai tiga aspek yaitu aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek
keterampilan. Penilain aspek sikap dilaksanakan guru dengan teknik
observasi. Sedangkan untuk aspek pengetahuan dilakukan dengan tes
tertulis, lisan maupun penugasan. Dan untuk aspek keterampilan dilakukan
dengan praktik, portofolio, dan produk.

Adapun dari implementasi pembelajaran tematik di atas dapat dinyatakan


bahwa kelebihan yang dimiliki oleh guru kelas V MI Muhammadiyah Selo
Kulon Progo adalah guru memiliki keterampilan dalam membuka dan
menutup pelajaran, keterampilan mengadakan variasi dengan menggunakan
metode dan media pembelajaran keterampilan memanfaatkan lingkungan
sebagai sumber belajar, dan keterampilan untuk membimbing diskusi
kelompok. Sedangkan kelemahan guru yaitu rencana pelaksanaan
pembelajaran tidak semuanya dibuatoleh guru itu sendiri sehingga dalam
pelaksanaan pembelajaran terkadang guru tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan, guru tidak selalu mendokumentasikan hasil penilaiannya
terhadap peserta didik terutama penilaian pada aspek sikap.
1. Keterampilan Sosial Peserta Didik
2. Keterampilan Bekerja Sama

Keterampilan bekerja sama sangat dibutuhkan dalam kehidupan


bermasyarakat baik saat ini maupun masa depan. Hal ini karena
keterampilan bekerja sama sangat menentukan bagi keberhasilan hubungan
sosial seseorang termasuk peserta didik dalam proses pembelajaran.
Kerjasama dalam belajar merupakan salah satu hal yang sangat penting
dalam suatu proses pembelajaran. Apalagi dalam proses pembelajaran
tematik yang mengacu pada kurikulum 2013, kemampuan bekerja sama dari
peserta didik sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kompetensi
sikapnya.

vi
Menurut hasil observasi yang dilakukan peneliti dalam pembelajaran
tematik yang dilaksanakan di kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo
menunjukkan bahwa dalam setiap proses pembelajaran tematik guru selalu
membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok. Selain itu juga
menunjukkan bahwa keterampilan bekerja sama diantara peserta didik
sangat baik. Hal ini terlihat ketika proses pembelajaran tematik berlangsung
dan guru meminta peserta didik untuk melaksanakan diskusi kelompok
semua peserta didik langsung berkumpul menurut kelompoknya masing-
masing. Dalam setiap kelompok tersebut terlihat setiap peserta didik
mempunyai peran masingmasing dalam kelompoknya.

a. Keterampilan Mengontrol Diri

Berbagai permasalahan yang sering muncul dalam kehidupan ini


banyak diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam
mengontrol diri. Kemampuan untuk mengontrol diri merupakan salah
satu bentuk kecerdasanmoral. Kontrol diri merupakan kemampuan
seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri agar tidak merugikan
orang lain. Dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas kontrol diri
atau pengendalian diri sangat diperlukan baik oleh guru maupun
peserta didik. Karena dengan pengendalian diri yang baik akan
menciptakan suasana kondusif dalam suatu proses pembelajaran.

Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap keterampilan


social peserta didik dalam pembelajaran tematik di kelas V MI
Muhammadiyah Selo Kulon Progo menunjukkan peserta didik
bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
guru. Hal ini terlihat saat observasi pada tanggal 15 Agustus 2018,
ketika guru meminta salah satu peserta didik untuk memimpin
musyawarah di kelas sebagai salah satu tugas yang diberikan guru.
Saat itu guru meminta salah satu peserta didik untuk memimpin
jalannyamusyawarah tentang cara menjaga kebersihan lingkungan
kelas tanpa menunjuk salah satu nama peserta didik.

vii
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengontrol diri peserta didik
dalam pembelajaran tematik di kelas V MI Muhammadiyah Selo
Kulon Progo meliputi mematuhi peraturan yang dibuat guru, tanggung
jawab, dan tepat waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam aspek
kepatuhan terhadap aturan dan kedisiplinan waktu dalam
menyelesaikan tugas, masih ada beberapa peserta didik yang perlu
bimbingan, karena ada empat dari delapanpeserta didik sering
kehabisan waktu dalam menyelesaikan tugas. Oleh karena itu guru
perlu lebih memaksimalkan usahanya untuk melatih kedisplinan dan
kepatuhan peserta didik dalam proses pembelajaran.

b. Keterampilan Berbagi Pikiran dan Pengalaman dengan Orang Lain

Kunci utama dalam sebuah interaksi adalah adanya komunikasi.


Banyak hal yang terjadi dalam interaksi tersebut. Dalam sebuah
pembelajaran misalnya mereka saling berbagi cerita, saling bertukar
pikiran, pengalaman, saling mengekspresikan dan juga saling bertukar
pendapat. Setiap orang pasti punya pengalaman hidup yang berharga.
Baik itu pengalaman yang menyenangkan ataupun pengalaman yang
menyedihkan. Dengan berbagi pengalaman kepada orang lain pikiran
kita akan menjadi terbuka.

Dari hasil observasi yang dilaksanakan oleh peneliti pada tanggal 6


Agustus 2018 menunjukkan bahwa keterampilan berbagi pikiran dan
pengalaman peserta didik dalam pembelajaran tematik di kelas V MI
Muhammadiyah Selo cukup baik. Hal ini terbukti ketika proses
pembelajaran tematik di kelas guru meminta beberapa peserta didik
untuk menceritakan apa yang mereka amati didepan kelas. Dengan
antusias peserta didik maju di depan kelas dan menceritakan hasil
pengamatannya.

viii
Dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan antara keterampilan
sosial peserta didik dengan keterampilan guru dalam mengajar. Ketika
perencanakan pembelajaran belum sepenuhnya dirancang sendiri oleh
guru, tujuan yang dirumuskan dalam pemilihan model pembelajaran
yang ditentukan belum semuanya mengarah pada pengembangan
keterampilan sosial peserta didik. Ketika pelaksanaan pembelajaran
yang dilakukan guru mengarah pada student center hal itu dapat
mengembangkan keterampilan social peserta didik dengan
menggunakan strategi pembelajaran cooperatif learning. Penilaian
hasil pembelajaran peserta didik yang belum didokumentasikan secara
keseluruhan mengakibatkan guru tidak bisa mengetahui perkembangan
keterampilan sosial peserta didik secara terperinci dan jelas.

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Keterampilan Sosial


Peserta Didik

a. Faktor Pendukung
Keberhasilan suatu proses pembelajaran ditentukan oleh beberapa
faktor. Faktor yang menjadi penentu keberhasilan suatu proses
pembelajaran diantaranya adalah guru, peserta didik, dan lingkungan.
Dari faktorfaktor tersebut sangat mempengaruhi hasil yang dicapai dari
sebuah proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Dari hasil wawancara dengan guru kelas V MI Muhammadiyah Selo


Kulon Progo diketahui bahwa guru tersebut mulai mengajar sejak
tahun 1999.35 Itu berarti guru kelas V di MI Muhammadiyah Selo
Kulon Progo telah berpengalaman dalam mengajar. Sembilan belas
tahun adalah waktu yang cukup lama untuk bisa mengetahui dan
memahami karakteristik peserta didik. Sehingga bisa dipastikan
dengan bekal pengalaman yang cukup lama tersebut guru mempunyai
kemampuan yang cukup dalam mengembangkan keterampilan sosial
peserta didik. Selain itu dari hasil wawancara juga diketahui bahwa

ix
guru kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo merupakan
lulusan S-1 PGMI di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ijazah yang dimiliki oleh guru kelas V sudah
linier dengan tugasnya sebagai guru kelas, sehingga mampu
menjalankan tugasnya dengan maksimal. Sebagian besar guru-guru di
MI berijazah PAI sementara mereka harus melaksanakan tugas sebagai
guru kelas. Hal itu menyebabkan mereka kurang menguasai dengan
apa yang mereka ajarkan.

Dapat disimpulkan bahwa dalam mengembangkan keterampilan sosial


peserta didik dalam pembelajaran tematik di kelas V MI
Muhammadiyah Selo Kulon Progo yang menjadi faktor pendukung
diantaranya adalah guru, peserta didik, dan lingkungan. Dari faktor
guru yaitu kualifikasi sudah terpenuhi dan revelan dengan tugas,
berpengalaman dalam mengajar, dan professional. Sementara dari
faktor peserta didik dan lingkungan adalah adanya motivasi belajar
yang tinggi, dan lingkungan yang kondusif.

b. Faktor Penghambat
Selain faktor-faktor pendukung yang telah diuraikan di atas, tentunya
ada juga faktor-faktor yang menghambat atau menghalangi
pengembangan keterampilan peserta didik dalam pembelajaran
tematik. Adapun yang menjadi faktor penghambat dalam
pengembangan keterampilan peserta didik dalam pembelajaran tematik
di kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo akan diuraikan
dibawah ini.

Dari hasil wawancara dengan guru kelas V MI Muhammadiyah Selo


Kulon Progo menunjukkan hambatan atau kendala yang dihadapi
dalam mengembangkan keterampilan sosial peserta didik dalam
pembelajaran tematik. adalah kurangnya sarana prasarana atau media
pembelajaran yang mendukung, salah satu contohnya ketika saya

x
membutuhkan proyektor untuk memutarkan video pembelajaran bagi
anak-anak harus bergantian dengan guru yang lain karena madrasah
hanya memiliki satu LCD. Selain itu juga distribusi sumber belajar
yang agak lamban, dan adanya revisi Buku Guru dan Buku Siswa
setiap tahun”.

Dapat disimpulkan bahwa yang menjadi factor penghambat dalam


mengembangkan keterampilan peserta didik dalam pembelajaran
tematik di kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon Progo adalah
kurangnya sarana prasana yang mendukung bagi terlaksananya
pengembangan keterampilan sosial peserta didik. Salah satu contohnya
adalah kurangnya media pembelajaran proyektor yang dapat
menunjang proses pembelajaran. Faktor penghambat yang lain adalah
distribusi sumber belajar yang agak lambat, dan adanya revisi Buku
Guru dan Buku Siswa setiap tahun.

xi
DAFTAR PUSTAKA

Azzet, Muhaimin Akhmad. Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi


Anak.Yogyakarta: Katahati, 2014.

Maryani, Enok. Pengembangan Program Pembelajaran IPS Untuk Meningkatkan


Keterampilan Sosial Siswa. Jurnal Penelitian 9, no. 1 (April 2019).

Nur, M, dan Rini. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.


Peraturan Menetri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
Pada Kurikulum 2013 Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016.

Futri, D. 2018. Analisis Dimensi Keterampilan Sosial Korban Bullying Di SMP


Negeri 9 Palembang. Universitas Sriwijaya.

Khuirunnisa, T,R, dkk. Keterampilan Sosial Anak Usia Dini Dengan Orang Tua
Yang Otoriter. Universitas Pendidikan Indonesia.

Nur, A. 2018. Peningkatan Keterampilan Sosial Siswa Pada Mata Pelajaran IPS
Dengan Menggunakan Metode Tipe Make A Match Pada Siswa Kelas 4
MI Ma’Arif 1 Punggur Lampung Tengah Tahun 2017/2018. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Metro.

Eri, Eddy, Pujiati. 2015. Pengembangan Instrumen Keterampilan Sosial Bebasis


Observasi Sosiometri Dalam Pembelajaran IPS. Universitas Lampung.

Miftahul, J. 2017. Efektifitas Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Diskusi


Unutuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Peserta Didik Kelas 12 SMA
Negeri 1 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2016/2017. Institut Agama Islam
Negeri raden Intan Lampung

Arsyad, A. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: Grafindo Persada.

Djamarah, S. B. dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:


Rineka Cipta.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

xii
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.

Maryani dan Syamsudin. (2009). Pengembangan Program Pembelajaran IPS


Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial. Jurnal Penelitian.
Vol 1. No (1). 11-12.

Pidarta, M. (2007). Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

A.M. Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja


Grafindo.

D. Sudjana, Metoda dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung: Falah.

Production, 2005. Djamarah, Syaiful Bahridan Aswan Zain, Strategi Belajar


Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2013.

Djamarah, Syaiful, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2002.

Halimah, Siti. Strategi Pembelajaran: Pola dan Strategi dalam Pengembangan


KTSP, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2008.

Purwandari, Pujaningsih, & Mahabbati, A. (2014). Program Positive Behavior


Support untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa SD. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Tidak
diterbitkan.

Ginanjar, Asep. 2016. Penguatan Peran IPS dalam Meningkatkan Keterampilan


Sosial Peserta Didik. Harmony. Vol. 1, No. 1.

Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2008.

Dereli, E. (2009). Examining the Permanence of the Effect of a Social Skills


Training Program for the Acquisition of Social Problem-solving Skills.
Social Behavior and Personality , 37 (10), p.1419-1428.

xiii
Suharmini, Tin, dkk. Pengembangan Pengukuran Keterampilan Sosial Siswa
Sekolah Dasar Inklusif Berbasis Diversity Awareness. Universitas Negeri
Yogyakarta.

Ulum, Chafidatul. (2018). Keterampilam Sosial Peserta Didik Dalam


Pembelajaran Tematik Di Kelas V MI Muhammadiyah Selo Kulon
Progo.Tesis. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan. Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah.Yogyakarta.

Mushfi, Muhammad El Iq Bali. (2017). Model Interaksi Sosial Dalam


Mengelaborasi Keterampilan Sosial. Probolinggo: Universitas Nurul
Jadid, Paiton. Jurnal Pedagogik, Vol. 04 No. 01.

Widarto, Pardjono dan Widodo, N. (2012). Pengembangan Model Pembelajaran


Soft Skills dan Hard Skills Untuk Siswa SMK. Cakrawala Pendidikan,
31(3), hlm. 409-423

Degeng, I Nyoman Sundana. 2013. Ilmu Pembelajaran Klasifikasi Variabel Untuk


Pengembangan Teori dan Penelitian. Bandung : Aras Media

Johnson, Roger T. dan David W. 2006. What Ia Cooperative Learning.


Minneapolis, Minneasota. University Of Minneasota

Arends, Richard I. 1997. Cooperative Learning Classroom Instructions and


Management. New York : MC Graw Hill Companies.

Admi Perdani, Putri. (2013). Peningkatan Keterampilan Sosial Melalui Metode


Bermain Permainan Tradisional Pada Anak TK B. Jurnal Pendidikan
Anak Usia Dini, Vol.7, No.2, (3)

Istianti, Tuti. (2015). Pengembangan Keterampilan Sosial untuk Membentuk


Perilaku Sosial Anak Usia Dini. Cakrawala Dini, Vol.5, No.1, (32-38)
Izzati, Nurma. (2014). Pengaruh Keterampilan Sosial Terhadap Kemampuan
Komunikasi Matematis Mahasiswa. Jurnal Edueksos, Vol.3, No.1, (4)

xiv
Machmud, Hadi. 2018 Jurnal Al-Ta’dib. Pengaruh Pola Asuh Terhadap
Keterampilan Sosial Anak (Penelitian Expost Facto Pada Paud Rintisan
Di Kendari), Vol. 11 No.2, Juli-Desember. repository.untag-sby.ac.
Nurmalitasari, Femmi. (2015). Perkemabangan Sosial Emosi pada Anak Usia
Prasekolah. Buletin Psikologi, Vol.4, No.2, (103-111)
Padmonodewo, Soemiarti. (2000). Pendidikan Anak Prasekolah. PT Rineka Cipta,
(31-32)
Rohayati, Titing. (2013). Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini.
Cakrawala Dini, Vol.4, No.2, (131-137)
Sjamsuddin dan Maryani. (2008). Pengembangan Program Pembelajaran IPS
Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial. Jurnal Penelitian,
Vol.9, No.1, (6).
Susanto, Ahmad. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini. Kencana Prenadamedia
Group, (134).
Tuti Istianti. 2015. Pengembangan Keterampilan Sosial, Cakrawala Dini. Vol. 5
No.1, Mei 2015.
Bali, M. M. E. I. (2017). Model interaksi sosial dalam mengelaborasi
keterampilan sosial. Pedagogik: Jurnal Pendidikan, 4(2).

Etistika Yuni Wijaya; Dwi Agus Sudjimat; Amat Nyoto (2016) Transformasi
Pendidikan Abad 21 Sebagai Tuntutan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Di Era Global; Volume 1 – ISSN 2528-259X

Amin, S. Pd. Peranan Pembelajaran Ips Dalam Menumbuhkan Social Skill Di


Kalangan Para Siswa.
Ginanjar, A. (2016). Penguatan peran ips dalam meningkatkan keterampilan
sosial peserta didik. Harmony: Jurnal Pembelajaran IPS dan PKN, 1(1),
118-126.
Jurnal Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran Ips
Di Sekolah, Universitas Negeri Medan. Hlm.32-33 Kuntari, Septi.
Relevansi Pendidikan IPS dalam arus Globalisasi. Hermeneutika: Jurnal
Hermeneutika 5.1 (2019): 25-34.

xv
Maryani, Enok, and Helius Syamsudin. Pengembangan Program Pembelajaran
IPS untuk meningkatkan kompetensi Keterampilan sosial. Jurnal
Penelitian 9.1 (2009).
Muslim, M. (2020). Peran Pendidikan IPS Dalam Pembentukan Perilaku Sosial
Dan Tanggung Jawab Sosial Era Abad 21. SOCIAL PEDAGOGY: Journal
of Social Science Education, 1(2), 83-90.
Putri Adinda Kusuma, (2019), Pengembangan keterampilan sosial dalam
pembelajaran IPS,
https://id.scribd.com/document/330719883/Pengembangan-Keterampilan-
Sosial-Dalam-Pembelajaran-IPS

Siti Zubaidah (2017) KETERAMPILAN ABAD KE-21: KETERAMPILAN


YANG DIAJARKAN MELALUI PEMBELAJARAN
(https://www.researchgate.net/publication/318013627_KETERAMPILAN
_ABAD_KE-
21_KETERAMPILAN_YANG_DIAJARKAN_MELALUI_PEMBELAJ
ARAN)

UIN Suska Riau, (2015), Dampak kecanduan media sosial dengan keterampilan
sosial pada remaja (Makalah), http://repository.uin-
suska.ac.id/13720/7/7.%20BAB%20II_2018111PSI.pdf

Agustina Melly, (2016), Keterampilan sosial,


https://staf.ulm.ac.id/mellyagustina/2016/09/07/keterampilan-sosial/

Junudussalam Ahda, (2017), Macam keterampilan sosial,


https://id.scribd.com/document/508818937/macam-keterampilan-sosial

https://dosenpsikologi.com/ciri-ciri-keterampilan-sosial

https://oktaseiji.wordpress.com/2011/04/24/dimensi-dan-struktur-pendidikan-ips/

https://www.klinikpela9.com/keterampilan-sosial-social-skill/ dibuka pada


tanggal 03 Desember 2021 pukul 08.14 – selesai

xvi
xvii

Anda mungkin juga menyukai