Anda di halaman 1dari 24

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Pembelajaran pada ABK Arif Rahman Heriansyah, S.Pd.I, M.A

KARAKTERISTIK ABK TUNANETRA DAN TUNARUNGU SERTA


PENANGANANNYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Disusun oleh :

KELOMPOK 2

 Akbar Budi Rahmat NIM : 200101010207


 Lisnawati NIM : 200101010338
 Rakha Raden Irvankha NIM : 200101010744
Prodi : PAI-B
Konsentrasi : Akidah Akhlak

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

ِ ‫ب ِْس ِم ه‬
‫الَّل هالر ْ َْح ِن هالر ِح ْي‬
Alhamdulillahirrabil’alamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat
Allah swt., karena rahmat, taufiq, dan karuni-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Karakteristik ABK Tunanetra dan Tunarungu serta
Penanganannya dalam Dunia Pendidikan”. Kemudian, shalawat serta salam tidak
lupa juga selalu dihaturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai referensi, seperti buku maupun jurnal sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Selain itu, dalam membuat makalah ini, penulis juga
mendapatkan arahan dari dosen pengampu yaitu bapak Arif Rahman Heriansyah,
S.Pd.I,M.A. Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan pemahamann kepada pembaca mengenai ABK tunanerta dan
tunarungu, khususnya tentang definisi dan karakteristiknya serta bagaimana
penanganannya dalam dunia pendidikan.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa.
Oleh karena itu, penulis meminta maaf dan menerima segala saran serta kritik dari
pembaca agar kami kedepannya bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada pembaca.

Banjarmasin, 09 Oktober 2022,

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................1

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tunanetra................................................................................................. 3

B. Tunarungu................................................................................................8

C. Penanganan Tunanetra dalam Dunia Pendidikan..................................11

D. Penanganan Tunarungu dalam Dunia Pendidikan.................................16

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................20

B. Saran ......................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan sangatlah penting dalam mempengaruhi perkembangan manusia
untuk seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Selain itu, pendidikan memiliki
pengaruh yang dinamis dalam menyiapkan kehidupan manusia dimasa depan.
Pendidikan juga dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki secara
optimal, baik itu aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual, serta
perilaku. Menurut Driyarkara (1980), pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia atau pengangkatan manusia ke taraf insani dan di wujudkan dalam seluruh
proses atau upaya pendidikan.1 Berdasarkan pendapat tersebut anak yang memiliki
kebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, anak tunanetra dan tunarungu memiliki kebutuhan
pembelajaran dan penanganan yang berbeda dengan anak non-ABK. Selain itu,
ABK tunaterra dan tunarungu juga memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik-
karakteristik ini memiliki hubungan yang erat terkait ketunaan mereka dan menjadi
pertimbangan dalam menentukan pembelajarannya. Hal ini menjadi tangung jawab
tersendiri bagi perangkat sekolah, khususnya guru untuk memahami karakteristik
mereka dan memberikan penanganan pendidikan yang tepat. Oleh karena itu, pada
makalah ini, penulis akan memaparkan mengenai karakteristik ABK tunanerta dan
tunarungu beserta penanganannya dalam pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan karakteristik ABK tunanetra?
2. Apa definisi dan karakteristik ABK tunarungu?
3. Bagaimana penanganan ABK tunanetra dalam dunia pendidikan?

1
Iwan Kurniawan, “Implementasi Pendididkan bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Dasar Inklusi”,
dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol.04, No.01, 2015, h. 1044.

1
4. Bagaimana penanganan ABK tunarungu dalam dunia pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dan karakteristik ABK tunanetra.
2. Mengetahui definisi dan karakteristik ABK tunarungu.
3. Memahami penanganan ABK tunanetra dalam dunia pendidikan.
4. Memahami penanganan ABK tunarungu dalam dunia pendidikan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tunanetra
1. Definisi Tunanetra
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984/1985: 13) dalam
buku Petunjuk Penyelenggaraa SLB, menyebutkan bahwa anak tunanetra secara
umum diartikan adalah anak yang tidak dapat melihat (buta) atau anak yang tidak
cukup jelas penglihatannya, sehingga walaupun telah dibantu dengan kacamata
ia tidak dapat mengikuti pendidikan dengan menggunakan fasilitas yang umum
dipakai oleh orang awas. Definisi ini mengisyaratkan bahwasanya tunanetra
bukan semata-mata anak yang tidak mampu melihat (buta), tapi juga mereka
yang terbatas penglihatannya.2
Tunanetra terbagi menjadi dua yaitu tidak dapat melihat (buta) dan low
vision. Tunanetra yang tidak dapat melihat (buta), terbagi lagi menjadi dua; ada
yang buta total yakni mereka yang sama sekali tidak mampu melihat apapun,
baik itu persepsi cahaya, maupun membedakan siang dan malam. Sedangkan
yang bukan buta total, merupakan mereka yang mempunyai penglihatan kurang
dari 6/60 m. Mereka hanya mampu melihat gerakan tangan dalam jarak satu
meter, melihat persepsi cahaya dan mampu membedakan siang dan malam.
Adapun pembagian tunanetra yang kedua yaitu low vision. Istilah low vision
disematkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan pada ketajaman
penglihatan. Mereka biasanya mampu membaca, menulis dan mengamati
sesuatu dengan jarak yang sangat dekat, sering tersandung saat berjalan, sulit
melihat pada malam hari, bola mata bergerak tidak wajar dan sering
memicingkan mata di tempat yang terang.3

2
Lilis Widaningrum, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra (Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus dengan Hamabatan penglihatan dalam Perspektif Pendidikan & Layanan),
(Jakarta: PT Luxima Metro Media, 2013), h. 6.
3
Ibid, h. 17.

3
2. Karakteristik Tunanetra
Anak-anak tunanetra kehilangan masa-masa belajar dalam hidupnya jika
dibandingkan dengan anak-anak non-tunanetra. Anak tunanetra yang memiliki
keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan
lingkungannya, kesulitan dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta
mengalami kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari.4
Hal inilah yang dikhawatirkan akan memberikan dampak terhadap
perkembangan, belajar, ketrampilan sosial, dan perilakunya.5 Menurut Rahardja
(2007), karakteristik anak tunanetra meliputi berbagai aspek berikut.6
a. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan
belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak
kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan
mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area
berikut ini:
1) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika seorang anak
mengalami ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan
mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya
perabaan dan pendengaran. Akan tetapi, tentu saja indera-indera
tersebut tidak secara maksimal dapat cepat dan menyeluruh dalam
memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang
yang sebenarnya mudah diperoleh dengan indra penglihatan. Tidak
seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi benda dengan
perabaan merupakan proses dari bagian ke kesuluruhan dan orang
tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia
melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh
(misalnya bintang), terlalu besar (misalnya gunung), atau

4
Utomo & Nadya Muniroh, Pendidikan Anak dengan Hambatan Penglihatan, (Banjarbaru:
Prodi. PJ JPOK FKIP ULM Press, 2019), h. 16-17.
5
Iwan Kurniawan, “Implementasi Pendididkan bagi Siswa Tunanetra...”, h. 1050.
6
Utomo & Nadya Muniroh, Pendidikan Anak dengan Hambatan Penglihatan..., h. 18.

4
membahayakan (misalnya api) untuk diteliti dengan perabaan. Hal ini
tentu berpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak serta
kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
2) Kemampuan untuk berpindah tempat. Penglihatan memungkinkan kita
untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi
keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan untuk
bergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan
tersebut menghalangi mereka dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Kemampuan untuk bergerak pada
anak tunanetra memerlukan pembelajaran yang mengakomodasi indera
non visual dalam bergerak secara mandiri, sehingga mereka harus
belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan
dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
3) Interaksi dengan lingkungan. Jika anak non-tunanetra berada di suatu
tempat yang ramai, maka dapat dengan cepat mengenali keadaan
ruangan, melihat orang-orang disekitar dan juga bisa bergerak bebas di
lingkungan tersebut. Anak tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu,
bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran
tentang lingkungan masih tetap tidak utuh.
b. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap perkembangan kognitif,
tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademik,
khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anak
non-tunanetra membaca atau menulis, mereka tidak perlu memperhatikan
secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak
bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak
tunanetra biasanya menggunakan berbagai alternatif media atau alat untuk
membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Dengan
asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tunanetra dapat

5
mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti anak non-
tunanetra lainnya.7
c. Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi terhadap
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Misalnya cara menggerakan
tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, ataupun cara mengekspresi
wajah ketika melakukan komunikasi nonverbal. Hal ini tentu dipelajari
melalui pembiasaan dan saran dari orang lain yang berkompeten. Anak
tunanetra memiliki keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan
menirukan, sehingga anak tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam
melakukan perilaku sosial yang benar. Sebagai akibat dari ketunanetraannya
yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak tunanetra harus
mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang
pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah,
penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan
ekspresi wajah dengan benar, mengekspresikan perasaan, menyampaikan
pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi, serta mempergunakan
alat bantu yang tepat.
d. Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut
berpengaruh pada perilakunya, seperti:
1) Kecenderungan berperilaku pasif. Ketunanetraan itu sendiri tidak
menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak,
meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak
tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan kebutuhan
sehari-harinya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk
membantunya.

7
Ardhi Wijaya, Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya, (Yogyakarta: Javalitera,
2012), h. 25.

6
2) Rasa curiga terhadap orang lain. Tidak berfungsinya indera penglihatan
berpengaruh terhadap penerimaan informasi visual saat berkomunikasi
dan berinteraksi. Seorang anak tunanetra tidak memahami ekspresi
wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melalui suara saja. Hal ini
mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan orang lainnya
secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan
hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak
tunanetra perlu dikenalkan dengan orang-orang di sekitar
lingkungannya terutama anggota keluarga, tetangga, masyarakat sekitar
rumah, sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
3) Perasaan mudah tersinggung. Hal ini juga dipengaruhi oleh
keterbatasan yang ia peroleh melalui penglihatan. Cara mengatasinya
yakni memperkenalkan anak tunanetra dengan lingkungan sekitar.
Tujuannya untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orang
memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman.
4) Perasaan rendah diri. Perasaan ini muncul akibat dari keterbatasan
penglihatan yang dimiliki sehingga muncul rasa segan untuk bergaul
dan berkompetisi dengan orang laib, terutama dengan anak non-
tunanetra. Perasaan tersebut akan sangat dirasakan apabila teman
sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
5) Perilaku stereotipik, merupakan kebiasaan melakukan gerakan-gerakan
khas yang sering tidak disadari. Misalnya gerakan mengayunkan badan
ke depan kebelakang silih berganti, menekan mata, menggerakkan kaki
saat duduk, menggeleng-gelengkan kepala, dan lain sebagainya.
Perilaku ini dilakukan oleh anak tunanetra sebagai pengganti apabila
dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan sensoris,
terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan, serta keterbatasan
sosial baginya. Sedangkan bagi anak non-tunanetra dapat dilakukan
melalui indra penglihatan dalam mencari informasi di lingkungan
sekitar. Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan menghilangkan
perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas

7
atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti
pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan
sebagainya.
6) Suka berfantasi. Anak non-tunanetra dapat melakukan kegiatan
memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai
atau saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tentu tidak dapat dilakukan
oleh anak tunanetra, sehingga mereka hanya dapat berfantasi saja.

B. Tunarungu
1. Definisi Tunarungu
Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami gangguan pada
pendengarannya baik itu sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan
fungsi pendengaran sehingga membawa dampak kompleks terhadap
kehidupannya.8 Tin Suharmini mengemukakan bahwa tunarungu dapat diartikan
sebagai keadaan dari individu yang mengalami kerusakan pada indera
pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang
suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
Secara umum, Brill, Macneil, dan Newman mengklasifikasi tunarungu
menjadi tiga bagian, yaitu hearing impairment atau kerusakan pendengaran yang
meliputi ketulian dan kesulitan mendengar, deaf person atau orang yang
kehilangan pendengaran sekitar 90 dB atau lebih sehingga menghalangi
keberhasilannya untuk memproses informasi bahasa melalui indra pendengaran
dengan atau tanpa alat bantu pendengaran, serta hard or hearing atau kesulitan
mendengar yang mempunyai sisa pendengaran yang cukup untuk dapat
memproses informasi bahasa melalui indra pendengaran dengan menggunakan
alat bantu pendengaran.9

8
Fifi Nofiaturrahmah, “Problematika Anak Tunarungu dan Cara Mengatasinya” dalam Jurnal
Quality, Vol.6, No.1, 2018, h. 3.
9
Sri Sulasti, “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Siswa Tunarungu” dalam Jurnal Kajian
Pendidikan Islam, Vol.8, No.1, 2016, h. 11.

8
2. Karakteristik Tunarungu
Tunarungu menunjuk pada kondisi ketidakfungsian indera pendengaran
atau telinga seseorang. Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki karakteristik
yang khas, berbeda dari anak non-tunarungu pada umumnya. Beberapa
karakteristik anak tunarungu diantaranya sebagai berikut.
a. Karakteristik Fisik
1) Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya
permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya
anak-anak tunarungu mengalami kekurangan keseimbangan dalam
aktivitas fisiknya.
2) Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak
pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang
baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya
dengan baik, khususnya dalam berbicara.
3) Cara melihatnya agak tajam. Penglihatan merupakan salah satu indra
yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu karena
sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh
karena itu, anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual
sehingga cara melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang
besar dan terlihat tajam.
b. Karekteristik Intelektual
1) Umumnya kemampuan intelektual anak tunarungu normal dan rata-
rata. Pada dasarnya mereka tidak mengalami permasalahan dalam segi
intelektual. Namun, akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan
berbahasa, perkembangan intelektualnya menjadi lamban.10
2) Prestasi anak tunarungu cenderung rendah karena anak tunarungu tidak
dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Mereka sering kali
kesulitan terkait aspek intelegensi yang bersumber pada verbal. Namun,

10
Haenudin, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu (Peserta Didik dengan
Hambatan Pendengaran, (Jakarta: PT Luxima Metro Media, 2013), h. 66.

9
aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan
berkembang dengan cepat.
c. Karakteristik Bahasa
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda
dengan anak non-tunarungu pada umumnya karena kemampuan tersebut
sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Anak tunarungu tidak
bisa mendengar bahasa sehingga mengalami hambatan dalam berkomunikasi.
Sebagian anak tunarungu ada yang memiliki kosa kata walaupun hanya
sedikit. Mereka juga sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan
atau idiomatik serta tata bahasanya kurang teratur.
d. Karakteristik Sosial dan Emosional
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan.
Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti:
1) Egosentrisme yang melebihi anak non-tunarungu. Sifat ini disebabkan
karena anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat dari interaksi
dengan lingkungan sekitar yang sempit.11 Anak tunarungu hanya
melihat dunia sekitar dengan penglihatan, seperti hanya melihat apa
yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar
sekeliling lingkungan. Hal ini akan menimbulkan sifat ingin tahu yang
besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan justu semakin
membesarkan egosentrismenya.
2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas. Perasaan
takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh
kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan
kemampuan berbahasanya yang rendah.
3) Memiliki sikap implusif. Anak tunarungu cenderung bertindak tidak
didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa

11
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara serta Strategi Pembelajarannya,
(Yogyakarta: Javalitera, 2012), h. 25.

10
mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan dari perbuatannya.
Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi.12
4) Ketergantungan terhadap orang lain. Sikap ketergantungan terhadap
orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik,
merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu
mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.
5) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan. Sempitnya kemampuan
berbahasa pada anak tunarungu menyebabkan sempitnya alam
fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal yang
konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak
tunarungu akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum
dimengerti atau belum dialaminya. Anak tunarungu kurang dalam
berfantasi.
6) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak
masalah.
7) Mudah marah dan cepat tersinggung. Anak tunarungu tidak bisa
mengekspresikan perasaannya dengan baik. Mereka akan jujur dan apa
adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Selain itu, mereka
biasanya cepat tersinggung karena banyak merasakan kekecewaan
akibat tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya
sehingga akan mengungkapkannya dengan kemarahan.

C. Penanganan Tunanetra dalam Dunia Pendidikan


Setiap anak istimewa dan memiliki potensi terpendam yang harus digali dan
dimaksikmalkan kemampuannya. Pendidikan memiliki peranan besar dalam
mewujudkan hal tersebut. Sistem pendidikan formal yang ditempuh anak tunanetra
yaitu pendidikan segregasi (SLB A) dan inklusi. Adapun penanganan yang perlu
dilakukan sebagai berikut.

12
Haenudin, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu..., h. 68.

11
1. Asesmen Tunanetra
Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan melibatkan
anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan anak. Hasil
keputusan asesmen dapat digunakan untuk menentukan layanan pendidikan
yang dibutuhkan anak dan sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan tanpa melakukan asesmen
sering menyebabkan masalah dalam proses belajar mengajar karena kurangnya
kesesuaian pembelajaran dengan kebutuhan siswa.13
2. Pengembangan Kurikulum Tunanetra
Para ahli mengemukakan bahwa tunanetra mempunyai dua perangkat
kebutuhan kurikulum, yaitu; pertama, kurikulum yang diperuntukan bagi siswa
pada umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS, kedua kurikulum
yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari
ketunanetraannya, seperti keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi
sosial, dan keterampilan pendidikan karir.
3. Pengembangan Konsep
Penglihatan merupakan suatu sistem persepsi penting dalam kesadaran
tentang benda-benda dan tubuh seseorang. Penglihatan juga sebagai sistem yang
efisien untuk mengembangkan tentang konsep bagaimana orang lain terlihat,
membentuk hubungan antara objek yang satu dengan yang lain. Anak tunanetra
yang mengalami hambatan penglihatan, harus mengembangkan konsep-konsep
tersebut melalui indera perabaan.14 Ada berbagai macam konsep penting yang
perlu dimiliki anak tunanetra dalam hubungannya dengan orientasi dan
mobilitas. Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasikan konsep ke dalam tiga
kelompok besar berikut ini.
a. Konsep tubuh, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseoramg tentang dirinya
yang diperoleh melalui proses belajar secara terus menerus. Informasi
yang diperoleh anak dalam pengembangan konsep tubuh meliputi

13
Ardi Wijaya, Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi..., h. 52.
14
Ibid, h. 42

12
kemampuan mengidentifikasi bagian-bagian tubuh dan mengetahui lokasi
serta fungsinya.
b. Konsep ruang, yaitu pengetahuan tentang ruangan posisi beserta
hubungannya dan juga bentuk. Misalnya depan, belakang, bawah, atas,
dekat dan lainnya. Adapun contoh bentuk seperti lingkarang, segi tiga, segi
empat, kerucut dan sebagainya.
c. Konsep ukuran, meliputi ukuran jarak, jumlah, waktu, panjang dan lebar.
d. Konsep gerak, yaitu pengetahuan tentang berbagai macam peristilahan
yang berhubungan dengan gerak dan petunjuk arah. Misalnya, gerak ;
loncak, merangkak, lari, maju, mundur, arah; menghadap ke kanan,
berbelok 90 derajat, berputar 360 derajat dan lainnya.
e. Konsep lingkungan, yaitu pengetahuan tentang berbagai hal yang ada di
alam sekitar seperti benda-benda, topografi, tekstur dan temperatur.
Guru ketika mengajarkan konsep kepada anak tunanetra, harus disesuaikan
dengan tingkat usia perkembangannya. Ahli orientasi dan mobilitas secara
umum mengajarkan konsep dengan dua cara. Pertama, mengajarkan konsep
berbasis individu dalam konteks pelajaran orientasi dan mobilitas. Pelajaran ini
umumnya diberikan selama ½ -1 jam dalam 2-3 hari perminggunya.15 Kedua,
mengajarkan konsep melalui bidang studi umum. Ini merupakan langkah
integratif yang dipakai bagi anak tunanetra di sekolah inklusi.
4. Pembelajaran Keterampilan bagi Tunanetra
a. Komunikasi. Guru melatih keterampilan siswa dalam berkomunikasi
melalaui membaca huruf, angka dan kode braille, mengasah kemampuan
pendengaran, serta komunikasi non-verbal.
b. Orientasi dan mobilitas. Hal ini berkaitan dengan tubuh dan lingkungan.
Guru mengenalkan dan mengasah kemampuan anak tunanetra terhadap
kondisi dirinya serta lingkungan disekitarnya.
c. Keterampilan sosial. Guru mendidik perilaku siswa tunanetra agar dapat
diterima di lingkungan sosialnya dan cara berinteraksi dengan orang lain.

15
Ibid, h. 55.

13
d. Keterampilan motorik, baik motorik halus maupun kasar.
e. Penggunaan teknologi yang relevan dengan perkembangan zaman.
f. Keterampilan sehari-hari. Guru mengajarkan tentang cara merawat diri,
menjaga kesehatan, menghindari hal-hal yang merugikan, manajemen
waktu dan lainnya.
g. Keterampilan personal. Guru mengasah talenta yang dimiliki oleh anak
tunanetra. Hal ini penting untuk menentukan karier mereka di masa
depan.16
5. Metode Pembelajaran bagi Tunanetra
Pada dasarnya metode yang digunakan untuk anak tunanetra hampir sama
dengan anak non-abk, hanya saja yang membedakannya ialah adanya beberapa
modifikasi dalam pelaksanaannya.
a. Metode ceramah, yaitu penyampaian sebuah materi pelajaran melalui
penuturan lisan.
b. Metode tanya jawab, yaitu penyampaian materi dengan cara guru bertanya
sedangkan murid menjawab tentang materi yang telah ataupun ingin
diperolehnya.
c. Metode diskusi, yaitu pemecahan masalah melalui pendapat-pendapat
murid yang didasarkan pada hasil berpikir kritis.
d. Metode sorogan, yaitu murid secara individu mendatangi guru untuk
mengkaji suatu buku dan guru membimbingnya secara langsung.
e. Metode bandongan, yaitu semua murid menghadap guru dengan
membawa buku, kemudian guru membacakan, menterjemahkan maupun
menerangkan setiap kalimat.
f. Metode drill, yaitu penyampaian pelajaran dengan menggunakan latihan
terus menerus sampai tercapai tujuan yang diinginkan.17
6. Media Bantu bagi Tunanetra
a. Untuk tunanetra total (totally blind);

16
Lagita Manastas, Strategi Mengajar Siswa Tunanetra, (Yogyakarta: Penerbit KYTA, 2014),
h. 40-41.
17
Ardhi Wijaya, Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya..., h. 62-65.

14
1) Komputer berbicara, yaitu komputer yang memudahkan penyandang
tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik.
Komputer ini memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS guna
menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan
suara.
2) Huruf braille, yaitu berupa huruf-huruf timbul yang sederhana dan
praktis serta merupakan metode membaca yang pakai diseluruh dunia.
Huruf braille yang ditulis menonjol atau timbul di atas kertas dan dibaca
dengan cara meraba secara lembut serta perlahan, tulisan terdiri atas 6
titik dan dijadikan 2 baris, masing-masing 3 titik dari atas ke bawah.
3) Digital Ascesible System (DAISY) Playe, yaitu alat yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah
menjadi bentuk suara.
4) Digital talking books, yaitu perangkat yang memungkinkan pengguna
tidak hanya bisa menikmati suara audio yang dibacakan dari buku,
namun juga memungkinkan pengguna untuk melewati beberapa teks
untuk mencari topik atau pencarian kata tertentu.18
b. Untuk low vision;
1) Telesensory, yaitu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas
agar terbaca oleh tunanetra low vision.
2) Kacamata resep, yaitu kacamata yang dibuat berdasarkan pemeriksaan
dari dokter secara tepat yang sesuai dengan kebutuhan anak.
3) Hand magnifier, yaitu alat bantu pembesaran. Ukurannya biasanya
kecil, sederhana dan praktis saat digenggam.
4) Teleskoptik, yaitu alat untuk meningkatkan ketepatan penglihatan jauh
pada anak-anak tunanetra dengan memperkecil jarak antara mata dan
obyek yang ingin dilihatnya.19

18
Utomo & Nadya Muniroh, Pendidikan Anak dengan Hambatan Penglihatan..., h. 73-79.
19
Ibid, h. 95.

15
D. Penanganan Tunarungu dalam Dunia Pendidikan
Sebagaimana anak lainnya, anak tunarungu juga mebutuhkan pendidikan
untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Oleh karenanya diperlukan
layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuannya.20
Berdasarkan sistem pendidikannya, layanan bagi anak tunarungu terbagi menjadi
pendidikan segregasi (SLB B) dan inklusi atau terpadu. Adapun penangananya
sebagai berikut.
1. Taman Latihan Observasi (TLO)
TLO merupakan istilah bagi program pendidikan usia dini bagi anak
tunarungu. TLO ini berfokus pada perkembangan keterampilan berbahasa dan
berkomunikasi pada anak tunarungu. Pada umumnya sekolah baru menerima
anak tunarungu setelah berusia 6 tahun. Hal ini sangat disayangkan karena
periode emas anak akan terlewatkan dengan sia-sia.
Berbeda dengan anak non-abk, anak tunarungu dalam proses pendidikan
diawali dengan proses penguasaan bahasa terlebih dahulu sebelum penyajian
materi. Umumnya anak tunarungu mengalami masalah dalam berkomunikasi
karena mereka tidak mendengar sehingga bahasanya tidak berkembang dengan
baik. Bagi anak tunarungu, bukan pelajaran bahasa yang diperlukan, tetapi lebih
pada cara-cara dalam berbahasa. Oleh karena itu, TLO penting sebagai
pendidikan awal bagi anak tunarungu.
2. Pengembangan Kurikulum Tunarungu
Pengembangan kurikulum bagi anak tunarungu tentunya disesuaikan
dengan kebutuhan pembelajaran dan indikator pencapaian pada tiap jenjang
pendidikan berikut.21
a. SD (tunarungu kelas rendah): menekankan pada pengembangan
kemampuan sensomotorik, berbahasa dan komunikasi.
b. SD (tunarungu kelas tinggi): menekankan keterampilan sensomotorik,
komunikasi, sosial dan keterampilan dasar di bidang akademik.

20
Ardhi Wijaya, Memahami Anak Tunarungu, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 21.
21
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., h. 23.

16
c. SMP: menekankan peningkatan kemampuan sensomotorik, komunikasi,
sosial, mengaplikasikan kemampuan dasar dibidang akademik dalam
pemecahan masalah kehidupan sehai-hari dan dasar-dasar keterampilan
vokasional.
d. SMA: menekankan pematangan keterampilan sensomotorik, komunikasi,
sosial, menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik dan
pengembangan keterampilan vokasional.
3. Pembelajaran Keterampilan Tunarungu
a. Keterampilan menyimak atau mendengarkan (listening skill), yakni
bertujuan untuk melatih kepekaan sisa pendengaran dan vibrasi anak
tunarungu agar memahami berbagai macam bunyi dalam lingkungannya,
terutama bunyi bahasa yang erat kaitannya dnegan komunikasi.
Keterampilan ini dilatih melalui tahapan deteksi bunyi, klasifikasi bunyi,
identifikasi bunyi dan komprehensi bunyi.
b. Keterampilan menulis, yakni kemampuan anak tunarungu dalam
mencurahkan isi pikiran, ide, dan perasaan dalam sebuah tulisan. Menulis
bagi anak tunarungu juga dapat menjadi sarana komunikasi. Oleh karena
itu, keterampilan menulis penting untuk diajarkan.
4. Metode Pembelajaran bagi Tunarungu
Metode pembelajaran anak tunarungu merupakan suatu cara yang
digunakan guru agar tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dapat tercapai.
Beberapa metode pembelajaran dasar yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran pada anak tunarungu adalah sebagai berikut.22
a. Metode oral, yaitu metode pembelajaran untuk melatih anak tunarungu
berkomunikasi secara lisan. Metode oral yaitu cara mengajarkan anak
tunarungu agar bisa berkomunikasi secara lisan (verbal) di dalam
lingkungan orang dengar. Tujuan utama metode ini adalah melatih anak
berbicara verbal agar bisa berkomunikasi dengan orang lain secara verbal.
Metode ini cocok untuk diterapkan pada anak tunarungu pada tingkat

22
Bonifasia Ayulianti Tat dkk, “Metode Pembelajaran dalam Mengembangkan Interaksi Sosial
Anak Tunarungu” dalam Jurnal Literasi Pendidikan Dasar, Vol.2, No.1, 2021, h. 23-31.

17
slight losses (20-30 dB), mild losses (30-40 dB) dan moderate losses (40-
60 dB).
b. Membaca ujaran, yaitu kegiatan mengamati dan memahami gerak bibir
lawan bicara pada saat berkomunikasi. Metode ini penting dalam
pengembangan bahasa karena bertujuan agar anak tunarungu dapat
menangkap arti apa yang dibicarakan orang lain secara lisan. Penggunaan
metode ujaran pada pembelajaran anak tunarungu sama seperti
penggunaan metode-metode lainnya, yang mana memiliki langkah atau
tahap-tahap tertentu, seperti latihan pendengaran, pengucapan, kinestetik,
serta percakapan atau pegucapan spontan.
c. Metode manual, yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau ejaan jari.
Metode ini cocok untuk anak tunarungu pada tingkat server losses ( 60-75
dB) dan profoundly losses (75 dB ke atas). Ada beberapa jenis bahasa
isyarat, meliputi;
1) Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), merupakan sistem bahasa jari
yang mengadaptasi American Sign Language (ASL). SIBI
menggunakan hanya membutuhkan satu tangan untuk bergerak. SIBI
jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena gerakannya
mengandung kosa kata baku serta rumit sehingga dianggap bahasa
formal.
2) Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), merupakan bahasa yang sering
digunakan sehari-hari. Praktik BISINDO menggunakan kedua tangan
sehingga gerakannya cenderung lebih mudah dipahami.
3) Isyarat yang menunjukkan bahasa tubuh atau body language. Bahasa
tubuh meliputi keseluruhan ekspresi tubuh, seperti sikap tubuh, ekspresi
muka dan gerak yang dilakukan oleh seseorang secara wajar dan alami.
d. Metode komunikasi total, yaitu metode pembelajaran yang mengajarkan
tentang cara berkomunikasi kepada anak tunarungu dengan menggunakan
berbagai bentuk komunikasi seperti oral, bahasa tubuh dan isyarat. Metode
ini cocok untuk diterapkan pada semua tingkat tunarungu.

18
5. Media Bantu bagi Tunarungu
a. Audiometer, merupakan alat elektronik untuk mengukur taraf sejauh mana
seseorang kehilangan pendengarannya. Alat ini sangat berguna untuk
membantu guru mengetahui kondisi anak tunarungu dan menyesuaikan
pembelajaran baginya.
b. Hearing Aids, merupakan alat bantu dengar yang mempunyai tiga fungsi
utama, yaitu microphone, amplifier dan receiver. Cara kerjanya yaitu suara
(energi akuistik) diterima microphone, kemudian diubah menjadi energi
listrik dan dikeraskan melalui amplifier, lalu diteruskan ke receiver
(telephone) yang mengubah kembali energi listrik menjadi suara seperti
alat pendengaran pada telepon dan diarahkan ke gendang telinga
(membrana tympani). Melalui alat ini anak tunarungu dapat berlatih
mendengar dan menangkap apa yang diucapkan.
c. Komputer, merupakan alat bantu khusus yang dapat memberikan
informasi secara visual. Ini sangat membantu, terutama bagi anak
tunarungu berat. Keefektifan komputer tergantung pada materi di
dalamnya dan kemampuan anak dalam menggunakan.
d. Audiovisual, merupakan alat bantu dapat berupa bentuk film, video, TV
dan lainnya yang dilengkapi bahasa isyarat.
e. Tape recorder, alat untuk merekam suara. Alat ini berguna untuk
mengenalkan berbagai suara pada anak dan mengontrol serta mengikuti
perkembangan hasil ucapan yang telah direkam sehingga guru dapat
membimbing dan memperbaiki kemampuan bicara anak.
f. Spatel, merupakan alat untuk memperbaiki posisi organ bicara, seperti
memperbaiki posisi lidah anak tunarungu sehingga mereka dapat berbicara
dengan benar.
g. Cermin, alat bantu yang digunakan anak tunarungu dalam belajar
mengucapkan sesuatu dengan artikulasi yang baik.23

23
Haenudin, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu..., h. 114-118.

19
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Anak tunanetra secara umum diartikan adalah anak yang memiliki
keterbatasan dalam penglihatan. Tunanetra terbagi menjadi dua yaitu tidak dapat
melihat (buta) dan low vision. Anak-anak tunanetra memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan anak-anak non-tunanetra, meliputi karakteristik kognitif,
akademik, sosial dan serta perilaku. Adapun tunarungu merupakan anak yang
mengalami gangguan pada pendengarannya baik itu sebagian atau seluruhnya.
Secara umum terbagi menjadi tiga, yaituhearing impairment deaf person dan hard
or hearing. Karakteristik yang membedakan tunarungu dengan anak lainnya
meliputi karakteristik fisik, intelektual, bahasa, sosial dan emosional, serta perilaku.
Setiap anak istimewa dan memiliki potensi terpendam yang harus digali dan
dimaksikmalkan kemampuannya termasuk ABK tunanetra dan tunarungu. Sistem
pendidikan formal yang ditempuh keduanya yaitu pendidikan segregasi (SLB A
bagi tunanetra, SLB B bagi tunarungu) dan inklusi. Adapun penanganan tunanetra
meliputi asesmen, pengembangan kurikulum, konsep pembelajaran keterampilan,
serta metode dan media bantu belajar. Sedangkan penanganan tunarungu meliputi
taman latihan observasi (TLO), pengembangan kurikulum, pembelajaran
keterampilan, metode dan media bantu belajar.

B. Saran
Penulis menyadari bahwasannya dalam penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, penulis
mengharapkan adanya kritik serta saran yang membangun terkait pembahasan di
atas guna kinerja yang lebih baik kedepannya. Kemudian, penulis berharap melalui
makalah ini, para calon guru dapat memahami ABK tunanetra dan tunarungu serta
mampu menyesuaikan pembelajaran bagi mereka.

20
DAFTAR PUSTAKA

Haenudin, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu (Peserta Didik


dengan Hambatan Pendengaran, Jakarta: PT Luxima Metro Media, 2013.

Kurniawan, Iwan, “Implementasi Pendididkan bagi Siswa Tunanetra di Sekolah


Dasar Inklusi”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol.04, No.01, 2015.

Lagita Manastas, Strategi Mengajar Siswa Tunanetra, Yogyakarta: Penerbit


KYTA, 2014.

Tat, Bonifasia Ayulianti dkk, “Metode Pembelajaran dalam Mengembangkan


Interaksi Sosial Anak Tunarung” dalam Jurnal Literasi Pendidikan Dasar,
Vol.2, No.1, 2021.

Utomo & Nadya Muniroh, Pendidikan Anak dengan Hambatan Penglihatan,


Banjarbaru: Prodi PJ JPOK FKIP ULM Press, 2019.

Wijaya, Ardhi, Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya, Yogyakarta:


Javalitera, 2012.

___________, Memahami Anak Tunarungu, Yogyakarta: Familia, 2015.

Wasita, Ahmad, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara serta Strategi


Pembelajarannya, Yogyakarta: Javalitera, 2012.

Widaningrum, Lilis, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra (Peserta


Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hamabatan penglihatan dalam
Perspektif Pendidikan & Layanan), Jakarta: PT Luxima Metro Media, 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai