Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MODEL-MODEL KONSELING LINTAS BUDAYA

Mata Kuliah: Konseling Lintas Budaya

Disusun Oleh:
Siti Mahmudah (1986201006)

Dosen Pengampu:
Erma Pratiwi Nufi, M.Pd

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) MUHAMMADIYAH SAMPIT
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Model-Model Konseling Lintas Budaya” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
ibu Erma Pratiwi Nufi, M.Pd pada mata kuliah Konseling Lintas Budaya. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang model-model
konseling lintas budaya bagi para pembaca.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun serta mendukung dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sampit, November 2021

Siti Mahmudah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 2
A. Model-Model Konseling Lintas Budaya .................................... 2
B. Teknik Dalam Konseling Lintas Budaya ................................... 4
BAB III SIMPULAN ............................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia memiliki keragaman budaya yang dapat menumbuhkan
keharmonisan hidup. Akan tetapi, apabila muncul suatu masalah dapat
menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya.
Keragaman budaya ini merupakan realitas hidup yang tidak dapat dipungkiri
dan akan mempengaruhi perilaku serta seluruh aktivitas manusia, termasuk
aktivitas dalam kegiatan konseling. Oleh karena itu, sangat penting dalam
melakukan konseling mempertimbangkan budaya yang ada, baik itu budaya
dari konseli maupun dari budaya konselor.
Dalam kenyataannya, kesadaran akan budaya dalam praktik konseling
masih sangat kurang. Hal ini akan sangat membahayakan konseling apabila
tidak mempertimbangkan budaya konseli yang berbeda dan akan merugikan
konseli. Oleh sebab itu, dalam melakukan konseling lintas budaya terdapat
model dan teknik yang perlu digunakan oleh konselor. Model dalam konseling
lintas budaya bisa diartikan sebagai kerangka berpikir tentang apa itu layanan
konseling dan hal ini dapat dijadikan pedoman dalam praktik layanan
konseling lintas budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja model-model konseling lintas budaya?
2. Apa saja teknik yang terdapat dalam konseling lintas budaya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui model-model konseling lintas budaya.
2. Untuk mengetahui teknik yang terdapat dalam konseling lintas budaya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model-Model Konseling Lintas Budaya


Menurut Palmer dan Laungani [ CITATION Tri19 \l 1057 ], terdapat 3
model konseling lintas budaya, yaitu Culture Centered Model, Integrative
Model, dan Ethnomedical Model.
1. Model berpusat pada budaya (Culture Centered Model)
Model ini didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)
korespondensi budaya konselor dan konseli. Sering kali terjadi
ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok
konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak
mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya,
demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya
konselinya. Bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi
keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya,
fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya
yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam
konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar
budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi
diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan
keunikan cara pandang masing-masing.
2. Model integratif (Integrative Model)
Menurut Jones [ CITATION Tri19 \l 1057 ] dalam konseling model
integratif terdapat 4 kelas variabel yang menjadi panduan konseptual, yaitu:
a. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b. Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
d. Pengalaman dan anugerah individu dan keluarga (individual and family
experiences and endowments).

2
Menurut Jones pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan
pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci
keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-
pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembang, baik secara disadari ataupun tidak.
Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan
istilah colective uncosious (ketidaksadaran kolektif), yakni nilai-nilai
budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu, kekuatan
model konseling ini terletak pada kemampuan mengakses nilai-nilai budaya
tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
3. Model etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979)
yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini
merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma
memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural.
Model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya
dengan model dimensional sebagai kerangka pikirnya, antara lain:
a. Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apabila:
1) Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
2) Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
3) Melakukan pelanggaran hukum
4) Mengalami masalah interpersonal
b. Healing beliefs
1) Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
2) Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
3) Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
4) Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi
(share) tentang keyakinan yang sama
c. Kriteria sehat (wellbeing criteria)

3
1) Mampu menentukan sehat dan sakit
2) Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
3) Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
4) Menyadari dan memahami budayanya sendiri
d. Body function beliefs
1) Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna
2) Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-
hari
3) Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
e. Health practice efficacy beliefs
Merupakan implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan
atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.
B. Teknik Dalam Konseling Lintas Budaya
Terdapat beberapa teknik konseling yang dikemukakan Thompson
[ CITATION Tri19 \l 1057 ] dan sekiranya dapat digunakan oleh konselor agar
dapat tetap memiliki kesadaran budaya dan diaplikasikan dalam konseling,
antara lain:
1. Teknik listening with empathy and listening with awareness. Mendengarkan
dengan penuh empati dan penuh kesadaran bertujuan untuk memahami hal-
hal yang ada dibalik ungkapan atau ucapan dari konseli seperti nada suara,
penekanan, ekspresi wajah dan ketidaksesuaian antara ekspresi dan konten.
Terdapat empat langkah agar dapat mendengarkan penuh empati, yaitu:
a. Mendengarkan perasaan baik itu secara verbal maupun non verbal.
b. Mengakui perasaan dan mampu mengidentifikasi apa yang dilihat dan
didengar dari konseli.
c. Memperjelas apa yang dirasakan oleh konseli terhadap perbedaan yang
ada.
d. Mengecek kebenaran dari apa yang diungkap konseli.
2. Teknik the use of "1-Messages". Teknik ini bertujuan untuk memberikan
respon yang asertif untuk mengatasi konflik dalam diri konseli yang berbeda

4
budaya dengan konselor. Alberti dan Emmons mengidentifikasi tiga langkah
empati yang asertif, yaitu:
a. Membiarkan konseli tahu bahwa konselor memahaminya.
b. Membiarkan konseli tahu posisi konselor.
c. Memberitahu konseli tentang apa yang Anda inginkan dari proses
konseling ini.
Hal ini bertujuan agar terjadi komunikasi yang tepat dan sesuai dengan apa
yang konseli butuhkan.
3. Teknik companion. Teknik ini membantu konseli agar dapat merasakan
bahwa kehadiran konselor sebagal pendamping, yang peduli dan penuh
kasih agar konseli dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya. Kesadaran
konselor untuk meyakinkan dan mendengarkan konseli meskipun terdapat
perbedaan antara mereka dapat menjadi pendukung bagi konseli.
4. Teknik repeating the obvious. Teknik ini bertujuan untuk mengklarifikasi
pikiran dan perasaan konseli secara langsung terhadap permasalahan yang
dihadapinya. Schriner mengemukakan dua jenis pernyataan yang penting.
yaitu kalimat: "I understand" dan "I can". Kedua kalimat itu sangat
membantu konseli dalam menghadapi masalah atau perasaan tidak
bahagianya. Pengulangan terhadap kalimat tersebut oleh konseli dapat
mengatasi dan menjadi kekuatan baginya.
5. Teknik communicating to enhance relationship. Teknik ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keterampilan komunikasi yang dapat meningkatkan
hubungan antar pribadi secara aktif dan penuh perhatian. Menjaga hubungan
melalui berbagai perasaan dan bersama meraih apa yang diinginkan dalam
proses konseling yang dilakukan serta bagaimana aplikasinya di luar proses
konseling.
6. Teknik positive affirmations. Teknik ini merupakan teknik yang dapat
meningkatkan kesejahteraan pribadi dan harga diri konseli. Dalam proses
konseling, teknik ini digunakan oleh konselor untuk menyakinkan konseli
bahwa hal-hal yang positif dapat membuatnya merasa nyaman baik dengan
dirinya sendiri maupun lingkungannya.

5
7. Teknik turning You- Statement into 1-Statement. Teknik ini bertujuan untuk
mengungkapkan perasaan dan emosi yang tertekan dari konseli. Penekanan
dan penolakan terhadap apa yang dirasakan dapat berakibat meningkatnya
iritabilitas dan konflik dengan orang lain, kesulitan menyelesaikan masalah
interpersonal, persepsi yang terdistorsi. Penggunaan 1-Statement dapat
membantu konseli untuk tidak menghakimi dan menyalahkan orang lain
ataupun lingkungannya tentang apa yang dirasakannya.

6
BAB III
SIMPULAN

Dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan di atas bahwa perbedaan


budaya yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan bagi konselor agar dapat
memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang model serta teknik yang tepat
dalam melakukan konseling, sehingga apa yang menjadi tujuan dari pemberian
layanan konseling lintas budaya tersebut dapat tercapai dan mendapatkan hasil
yang maksimal serta memuaskan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. Magetan: CV. AE MEDIA


GRAFIKA.

Anda mungkin juga menyukai