Anda di halaman 1dari 21

PROSES PEMBELAJARAN PADA ABK DENGAN GANGGUAN

PENGLIHATAN (TUNANETRA)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pendidikan Inklusi

Dosen Pengampu Rusdial Marta,M.Pd

Oleh Kelompok 3 :

Aisyah 2086206008

Alta Feros 2086206001

Lusy Anggraini 2086206051

Nurpadila 2086206069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENIDIKANN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Dengan mengucapkan


syukur Alhamdulillah, makalah tentang “Proses Pembelajaran Pada Abk Dengan
Gangguan Penglihatan (Tunanetra)” dapat diselesaikan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Pendidikan Inklusi. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Rusdial Marta, M.Pd.
selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Inklusi. Tersusunnya makalah ini semoga
mendatangkan manfaat yang besar untuk kita semua dan dalam rangka menambah
wawasan pengetahuan kita tentang “Proses Pembelajaran Pada Abk Dengan
Gangguan Penglihatan (Tunanetra)”. Besar harapan agar makalah ini dapat
menjadi salah satu sumber belajar yang baik serta mendatangkan manfaat untuk
seluruh pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, masih banyak kekurangan dan kelemahannya
Oleh karena itu, adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan makalah ini sangat dinantikan. Semoga makalah ini dapat
mendatangkan manfaat bagi kemaslahatan umat manusia, dan menjadi amal saleh
bagi semua umat manusia.

Bangkinang, 10 Maret 2023

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3

A. Konsep Dasar ABK Dengan Gangguan Penglihatan .................... 3


1. Pengertian Menurut Para Ahli ............................................... 3
2. Identifikasi Anak Yang Mengelami Gangguan Penglihatan . 4
B. Faktor Penyebab ABK Dengan Gangguan Penglihatan ............... 4
1. Pre-Natal ................................................................................ 4
2. Post-Natal............................................................................... 5
C. Karakteristik ABK Dengan Gangguan Penglihatan ..................... 6
1. Karakteristik Kognitif ............................................................ 6
2. Karakteristik Akademik ......................................................... 7
3. Karakteristik Sosial Dan Emosional ...................................... 7
4. Karakteristik Perilaku ............................................................ 8
D. Pembelajaran Pada ABK Dengan Gangguan Penglihatan ............ 10
1. Upaya Guru Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar
Siswa Berkebutuhan Khusus (Tunanetra).............................. 10
2. Media Pembelajaran Bagi Tunanetra ..................................... 13
3. Mengenal Abjad Barille ......................................................... 14

BAB III PENUTUP .................................................................................... 16

A. Kesimpulan ..................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari


kelompok anak pada umumnya, oleh karena mereka memerlukan pelayanan yang
bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-
latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk
membantu mereka mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.

Dalam PP Nomor 72 Tahun 1991 Bab XII Pasal 28 Ayat I dinyatakan


bahwa : “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik
dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengatasi masalah yang disebabkan
oleh kelainan yang disandang, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa
depan “.

Dari uraian di atas, jelas bahwa guru di sekolah dasar khususnya, di samping
merupakan petugas inti pengelola peristiwa belajar mengajar dan pemelancar
belajar siswa, juga memegang peranan kunci dan menjadi suatu keharusan bagi
guru tersebut untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan layanan bimbingan
khususnya dalam proses pembelajarannya.

Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan guru


di sekolah dasar, tidak dipersiapkan untuk menjadi seorang konselor terlebih
konselor bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Dengan demikian, pengetahuan
guru tentang Bimbingan dan konseling relatif sedikit. Demikian pula program
yang khusus dirancang bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar belum
tersedia, sementara siswa yang dihadapi guru sangat memerlukan layanan
bimbingan secara khusus, sehingga setiap kebutuhan siswa dapat terpenuhi.
Istilah umum tuna netra atau gangguan penglihatan adalah kondisi di mana
anak tidak dapat melihat, baik sebagian maupun total. Menurut data dari Global
Data on Visual Impairment 2010 dan WHO 2012, Indonesia sendiri menempati
urutan ketiga dalam daftar negara dengan tingkat kebutaan tertinggi di dunia, atau
mencapai 1,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia
Tenggara. Di Indonesia, dari total 3,75 juta penyandang tunanetra, rata-rata dari
mereka hidup prasejahtera lantaran minimnya akses pendidikan. Parahnya, empat
puluh persen dari 3,75 juta penyandang tunanetra adalah anak usia sekolah
dan telah putus sekolah atau sama sekali tidak mengenyam pendidikan
lantaran keterbatasan akses. Sejauh ini anak dengan gangguan penglihatan yang
terdata di Sekolah Luar Biasa (SLB) di seluruh Indonesia mencapai 3.500 orang.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep dasar ABK dengan hambatan penglihatan?
2. Apa saja faktor ABK dengan hambatan penglihatan?
3. Bagaimana karakteristik ABK dengan hambatan penglihatan?
4. Bagaimana proses pembelajaran pada ABK dengan hambatan
penglihatan?

C. Tujuan penulisan

Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar, faktor, karakteristik,


dan proses pembelajaran pada ABK dengan hambatan penglihatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar ABK Dengan Hambatan Penglihatan


1. Pengertian Menurut Para Ahli

Nakata (2003)

Tunanetra adalah setiap kategori individu yang mempunyai kombinasi


ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200), sehingga dalam
realitas sosialnya sendiri mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan.

T. Sutjihati Somantri (2006)

Tunanetra adalah bagian daripada adanya penjelas setiap individu


yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak dapat berfungsi sebagai
saluran penerimaan serangkaian informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti
orang awas.

Ardhi (2013)

Tunanetra adalah bagian daripada adanya kategori apabila dalam


proses pembelajaran ia memerlukan atau membutuhkan alat alat maupun
metode khusus atau dengan teknik- teknik tertentu sehingga dapat belajar
tanpa penglihatan atau penglihatan terbatas.

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam


penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu:
buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman &
Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan
maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra
peraba dan indra pendengaran.

3
Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan
pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus
bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille,
gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang
bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu
tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai
Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari
bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana
menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari
alumunium).
2. Identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan.
a. Tidak mampu melihat,
b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering, mata
bergoyang terus.

B. Faktor Penyebab ABK Dengan Hambatan Penglihatan


1. Pre-natal

Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat


hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak
dalam kandungan, antara lain:

a. Keturunan

Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari


hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang
tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain
etinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan

4
keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur
atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di
malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan
sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.

b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan


Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan
dalam kandungan dapat disebabkan oleh:
1) Gangguan waktu ibu hamil.
2) Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel
darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena
rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada
mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada
janin yang sedang berkembang.
4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan
tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan
dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
5) Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan
pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2. Post-natal

Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat


terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:

a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan,


akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe,
sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya
setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya
penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan.

5
C. Karakteristik ABK Dengan Hambatan Penglihatan

1. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan
belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan dampak
kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun
identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga
area, antara lain:
Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Keterbatasan pengalaman
anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang
masih normal lainnya. Seorang anak tunanetra lebih mengandalkan indra
peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan
lingkungan luar, walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja
secara maksimal layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan
menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan
hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra
penglihatan.
Sehingga hal ini berpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak
yang membutuhkan strategi dan kemampuan anak dalam memahami
informasi tersebut.
Kemampuan untuk bergerak pada anak tunanetra memerlukan
pembelajaran yang mengakomodasi indera non visual dalam bergerak
secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan
dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan
orientasi dan mobilitas.
Interaksi dengan lingkungan Jika seorang yang normal berada pada
suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali keadaan
ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu.
Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang
lingkungan masih tidak utuh.

6
2. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan
kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan
akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai
contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan
menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau
kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada
gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan
membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan dengan
mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis,
sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

3. Karakteristik Sosial dan Emosional


Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya
dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan
meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena tunanetra
mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan
menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan
perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus
mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang
pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah,
penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan
ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara
dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat
pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang
tepat.

7
4. Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut
berpengaruh pada perilakunya sebagai berikut:
Rasa curiga terhadap orang lain tidak berfungsinya indera
penglihatan berpengaruh terhadap penerimaan informasi visual saat
berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetra tidak memahami
ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melalui suara saja.
Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan orang
lainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain.
Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung juga
dipengaruhi oleh keterbatasan yang ia peroleh melalui
auditori/pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agar saat
berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudah
tersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra
dengan lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa
setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara
berteman.
Verbalisme Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada
konsep abstrak mengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang
bersifat abstrak seperti fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat
bagian-bagian yang tidak dapat dibuat media konkret yang dapat
menjelaskan secara detail tentang konsep tersebut, sehingga hanya dapat
dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami keterbatasan
dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan memiliki
verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-
kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media
konkret yang dapat menyerupai.

8
Perasaan rendah diri Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra
berimplikasi pada konsep dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu
perasaan rendah diri untuk bergaul dan berkompetisi dengan orang lain.
Hal ini disebabkan bahwa penglihatan memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam memperoleh informasi. Perasaan rendah diri dalam bergaul
terutama dengan anak awas. Perasaan tersebutakan sangat dirasakan
apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
Adatan atau perilaku stereotip Adatan merupakan upaya rangsang
bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut
misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti,
menekan matanya, menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng-gelengkan
kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai
pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki
rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan,
serta keterbatasan sosial baginya, sedangkan bagi anak awas dapat
dilakukan melalui indra penglihatan dalam mencari informasi di
lingkungan sekitar. Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan
menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka
memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku
tertentu, misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku
yang positif dan sebagainya.
Suka berfantasi Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak
tunanetra yaitu suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak
awas dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan
mencari informasi saat santai atau saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut
tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak tunanetra hanya
dapat berfantasi saja.
Berpikir kritis Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak
tunanetra dalamberpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila
dibandingkan anak awasdalam mengatasi permasalahan memiliki banyak
informasi dari luar yang dapatmempengaruhi terutama melalui informasi

9
visual. Anak tunanetra akan memecahkan permasalahan secara fokus dan
kritis informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak,
sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap
rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus
menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu
berkembang secara optimal.

D. Pelajaran Pada ABK Dengan Hambatan Penglihatan


1. Upaya Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Berkebutuhan Khusus (Tunanetra)
a. Menggunakan Media Konkrit.
Siswa tunanetra tidak bisa mengandalkan indera pengelihatan
mereka untuk memahami suatu konsep maupun suatu objek
melainkan dengan mengandalkan indera pengecap, pendengaran,
terutama indera peraba mereka, oleh karenanya guru memberikan
pembelajaran dengan menggunakan objek konkrit agar siswa
tunanetra dapat memahami suatu konsep. Seperti belajar angka yang
dimana anak normal pada umumnya untuk dapat mengetahui konsep
angka dapat dengan melihatnya saja, namun untuk anak tunanetra
tentunya dengan mengandalkan indera perabanya untuk memahami
konsep angka dengan bantuan media seperti sempoa dan abacus,
selain itu juga siswa tunanetra menggunakan indera pendengaran
maupun pengecap mereka untuk memahami konsep lainnya. Dengan
menggunakan media konkrit ini dapat terlihat bahwa para siswa
tunanetra lebih antusias dalam belajar dan menghadirkan lingkungan
belajar yang kondusif.

10
b. Memberikan Pujian
Pemberian pujian terhadap setiap kerja para siswa sangat penting
guna menumbuhkan motivasi dan semangat belajar untuk para siswa
terutama bagi para siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk
siswa yang mengalami tunanetra. Menurut Muhammad Jameel
Zeeno menyatakan bahwa seorang guru yang sukses hendaknya
member pujian kepada siswa ketika melihat tanda yang baik pada
setiap perilaku siswanya. Hal yang sama juga berlaku pada saat guru
melihat kesungguhan siswanya, ketika terdapat siswa yang
memberikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan guru maka guru
harus memberikan pujian seperti “ jawaban yang kamu berikan baik
sekali”, “ inilah siswa saya yang terbaik”. Kalimat-kalimat lembut
seperti ini selalu memberi motivasi bagi siswa serta memperkuat
semangat dalam diri siswa. kalimat-kalimat pujian ini juga akan
meninggalkan pengaruh yang baik sekali dalam jiwanya, yang dapat
menyebabkan siswa menyukai guru dan sekolahnya. Otaknya pun
akan menjadi mudah menerima pelajaran. Dengan memberikan
pujian para siswa akan merasa apa yang mereka kerjakan ataupun
hasil kerja mereka dihargai sehingga motivasi belajar mereka akan
meningkat dengan baik.
Seperti pemaparan dari Syaiful Bahri Djamarah bahwa setiap
orang senang dihargai. Memberikan pujian berarti memberikan
penghargaan terhadap prestasi kerja siswa. Hal ini akan memberikan
semangat kepada siswa untuk lebih meningkatkan prestasinya. Pujian
yang diucapkan pada waktu yang tepat dapat dijadikan sebagai alat
motivasi yang tepat, siswa yang diberikan pujian akan lebih
bergairah dalaam belajar.23 Selain itu, Widya Caterine Perdani, dkk
juga memaparkan bahwa guru berhak memberikan pujian untuk
siswa yang dapat mencapai target yang ditentukan oleh guru atau
untuk siswa yang telah melaksanakan etika dengan baik.

11
Memberikan pujian memanglah sangat dibutuhkan oleh para
siswa tunanetra, dan ini menjadi salah satu hal terpenting dalam
kegiatan belajar mengajar agar lingkungan belajar menjadi kondusif.
Guru memberikan pujian kepada siswa ketika mereka berhasil dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan guru dengan bahasa verbal yang
dapat membangkitkan semangat serta motivasi belajar mereka
contohnya “pintar sekali, hebat” dan lain sebagainya. Kata-kata
sederhana seperti itu secara tidak langsung membangkitkan motivasi
belajar mereka, dan mereka senang akan belajar di dalam kelas,
terbukti ketika guru memberikan pujian maka mereka akan
tersenyum bahagia serta adanya penghargaan dalam belajar seperti
mendengarkan setiap instruksi atau perintah guru dan lain
sebagainya.

c. Menggunakan Metode Bernyanyi


Menjadi seorang guru yang menangani anak berkebutuhan
khusus terutama anak tunanetra membutuhkan kesabaran yang besar,
dikarenakan cara menangani ataupun mengajarkan anak tunanetra
berbeda dengan anak normal pada umumnya. Anak tunanetra
mengalami hambatan pada keberfungsian indera pengelihatannya
terutama untuk siswa tunanetra yang buta total yang sama sekali
tidak bisa menerima rangsangan cahaya dari luar, yang dimana
indera pengelihatan merupakan indera penting untuk memahami
konsep yang ada dalam lingkungan sekitar.

d. Penyediaan Media Belajar Khusus untuk Para Siswa Tunanetra.


Media belajar adalah salah satu hal terpenting dalam proses
kegiatan belajar mengajar, terutama untuk para siswa tunanetra yang
membutuhkan media belajar khusus untuk menunjang
keberlangsungan kegiatan belajar mereka. Dapat dikatakan media

12
belajar ini menentukan kesuksesan belajar bagi para siswa tunanetra.
Sejalan dengan itu, menurut Nizwardi Jalinus dan Ambiyar
mengatakan bahwa media belajar merupakan segala sesuatu yang
menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk
menyampaikan isi materi ajar dari sumber pembelajaran ke siswa
yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, minat, serta
motivasi untuk belajar para siswa dengan sedemikian rupa sehingga
proses pembelajaran menjadi lebih efektif.

2. Media Pembelajaran Bagi Tunanetra


Media yang di gunakan untuk pengajaran anak tunanetra ialah media
yang dapat dijangkau dengan pendengaran dan perabaannya. Adapun
media tersebut ialah Papan baca (Kenop), Reglette dan Stilus (pena) yaitu
alat tulis manual, Mesintik Braille (Perkins Braille), Kaset. Media
Pembelajaran yang diterapkan pada anak-anak tunanetra di beberapa
Sekolah Luar Biasa (SLB) meliputi: alat bantu menulis huruf Braille
(Reglette, Pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille
(Papan huruf dan Optacon); alat bantu berhitung (Cubaritma,
Abacus/Sempoa, Speech Calculator), serta alat bantu yang bersifat audio
seperti tape-recorder.
Khusus Alat bantu membaca huruf Braille adalah alat bantu
pembelajaran untuk mengenal huruf Braille alat ini biasa disebut pantule
singkatan dari Papan Tulis Braille. Alat ini terdiri dari paku-paku yang
dapat ditempel pada papan sehingga membentuk kombinasi huruf Braille,
seperti laci atau kotak peti, terbuat dari papan dengan lubang-lubang
tempat memasukkan pin-pin logam. Salah satu kelemahan papan tulis
Braillle ada pada pinnya yang terlepas dari papannya, sehingga kerap
hilang. Selain itu, ukurannya yang relatif besar dan terbuat dari papan
membuatnya berat untuk dibawa – bawa.

13
3. Mengenal Abjad Barille
Menganal abjad Barille dan meiliki kemampuan menbaca dan
menulis Braiile sangat penting bagi orang yang bekerja dengan tunanetra.
Hal ini karena Braiile merupakan media efektif untuk berkomunikasi
timbal balaik bagi tunanetra ( kemampuan bahasa reseptif dan ekpresif).
Berikut disajikan abjad Braille, untuk membantu bagi para pemula belajar
Braille.
a. Titik-titik Dasar Huruf Braille dan Urutan Nomor Titik
1004
2 0 0 5 = Posisi baca (positif)
3006

4001
5 0 0 2 = Posisi menulis dengan reglet (negatif)
6003
b. Abjad Braille
Abjad (Positif)
0. 0. 00 00 0. 00 00 0. .0 .0
.. 0. .. .0 .0 0. 00 00 0. 00
.. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

A b c D e F g h I J

0. 0. 00 00 0. 00 00 0. .0 .0

.. 0. .. .0 .0 0. 00 00 0. 00
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
K l m N o P q r S T

14
0. 0. .0 00 00 0.
.. 0. 00 .. .0 .0
00 00 .0 00 00 00
U v w X y Z

Contoh kata:
1. AKU = 0. 0. 0. 2. MALAM = 00 0. 0. 0. 00
.. .. .. .. .. 0. .. ..
.. 0. 0. 0. .. 0. .. 0.
a K u m a l a m

Catatan: pada tulisan Braille titik “0” yang muncul dengan


ukuran sangat kecil.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.


Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind)
dan low vision. Identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan, yaitu :
Tidak mampu melihat, tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
kerusakan nyata pada kedua bola mata, sering meraba-raba/tersandung waktu
berjalan, mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,dan bagian bola
mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering, mata bergoyang terus.

Faktor penyebab ABK dengan gangguan penglihatan ada dua, yaitu: pre-
natal dan post-natal. Karakteristik ABK dengan penglihatan meliputi: karakteristik
kognitif, karakteristik akademik, karakteristik sosial dan emosional, karakteristik
perilaku.

Siswa tunanetra tidak bisa mengandalkan indera pengelihatan mereka untuk


memahami suatu konsep maupun suatu objek melainkan dengan mengandalkan
indera pengecap, pendengaran, terutama indera peraba mereka, oleh karenanya
guru memberikan pembelajaran dengan menggunakan objek konkrit agar siswa
tunanetra dapat memahami suatu konsep.

B. Saran

Saran bagi orang tua dan guru agar memahami pentingnya untuk
pendeteksian dini akan gangguan penglihatan yang mungkin di alami anak, serta
menciptakan suasana supportif bagi tumbuh kembang anak penyandang gangguan
penglihatan. Sedangkan bagi masyarakat untuk tidak melabeli maupun menilai
tentang anak dengan gangguan penglihatan dengan stigma yang negatif.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ambiyar dan Nizwardi Jalinus, Media dan Sumber Pembelajaran, Jakarta:


Kencana, 2016.
Egendi Mohammad, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta : PT
Bumi Aksara, 2008. Faizah, dkk, Psikologi Pendidikan, Malang : UB Press,
2017.

Hallahan, DP., Kauffman, J.M. (1991). Exceptional Children: Introduction to


Special Education. Fifth Edition. New Prentice Hall International. Inc.

Hamzah B. Uno, Teori Motivasi dan Pengukurannya, Jakarta : PT Bumi Aksara,


2009. Hamalik Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : PT Bumi Aksara,
2014.

Irham Hosni. (1995). Buku Ajar Orientasi Mobilitas. Ditjen Dikti, Depdikbud.
Ishartiwi. (1991). Keefektifan Penggunaan Media Audio (Tolking Book)
dalam Kegiatan Belajar Tunanetra. Tesis. Fakultas PascaSarjana. IKIP
malang.

Mashoedah,”Media Pembelajaran Huruf Braille,” dariblog.uny.ac.id/mashoedah, 30


November 2008.

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak berkebutuhan Khusus, Cet


II,Jakarta: PT Rineka Cipta,2003
v

Anda mungkin juga menyukai