Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ MEMAHAMI ANAK ABK DI SD ”

Dosen Pengampu :
Willy Lontoh, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 5

1. Risalah Atmanegara (5019163)


2. Yushi Harari (5019173)
3. Nurul Khairunnisa (5019186)
4. Sarmila Sahera (5019187)
5. Lena Okpiyanti (5019189)
6. Epi Yansah (5019190)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI (UNPARI)
LUBUKLINGGAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
mengenai “ Memahami Anak ABK Di SD ” dengan baik dan benar menurut
sumber yang ada. Makalah ini kami susun dengan maksimal dan dengan bantuan
pertolongan dari berbagai sumber sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa seutuhnya masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi penulisan, susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh
karena itu kami terbuka dan menerima segala masukan dan kritikan yang
membangun dari pembaca dengan senang hati kami terima agar kedepan nya lebih
baik lagi.

Akhir kata kami meminta semoga makalah ini menjadi pengetahuan dan
memberikan manfaat kepada pembaca atau memberi inspirasi yang baru bagi
pembacanya dan dapat menambah wawasan pengetahuan.

Lubuklinggau, 30 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
A. Prinsip-Prinsip Layanan Anak Berkebutuhan Khusus
B. Pendekatan Layanan Pendidikan
C. Layanan Pendidikan Anak Berkelainan Fisik Karakteristik
D. Model Layanan Pendidikan ABK, Bentuk-Bentuk Layanan
Pendidikan Inkluisif
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam
belajar, hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak
memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri
oleh yang bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat
sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak
luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with
special needs), memang tidak selalu mengalami problem dalam belajar.
Namun, ketika mereka diinteraksikan bersama-sama dengan anak-anak
sebaya lainnya dalam sistem pendidikan regular, ada hal-hal tertentu yang
harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah untuk
mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Pendidikan sangatlah penting, baik itu pendidikan bagi anak
normal maupun pendidikan bagi anak dengan berkebutuhan khusus.
Khususnya dalam pembahasan makalah ini kelompok akan membahas
materi mengenai Layana Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yaitu
Prinsip-prinsip layanan ABK, Pendekatan Layanan, dan Layanan
Pendidikan Anak Berkelainan Fisik. Oleh karena itu setiap orang wajib
mendapatkan layanan pendidikan tanpa terkecuali seperti yang telah diatur
dalam UUPasal 32 tentang pendidikan dan pelayanan khusus Ayat (1)
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karenakelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa disebut sebagai anak berkebutuhan
khusus (children with special needs), memang tidak selalu mengalami
problem dalam belajar. Namun, ketika mereka diinteraksikan bersama-
sama dengan anak-anak sebaya lainnya dalam sistem pendidikan regular,
ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru
dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with
special needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan
kebutuhan masing–masing. Dalam penyusunan program pembelajaran
untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data
pribadi setiap peserta didiknya. Data pribadi yakni berkaitan dengan
karateristik spesifik, kemampuan dan kelemahanya, kompetensi yang
dimiliki, dan tingkat perkembanganya. Karakteristik spesifik student with

1
special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan
fungsional. Karaktristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan
sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan diri, konsep
diri, kemampuan berinteraksi sosial serta kreativitasnya.
Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap
siswa seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar
mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik
bersangkutan. Tujuannya agar saat memprogramkan pembelajaran sudah
dipikirkan mengenbai bentuk strategi pembelajaran yang dianggap cocok.
Asesmen di sini adalah proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan
kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan
perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif. Kegiatan ini
biasanya memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau
dibuat sendiri oleh guru kelas.
Pelayanan pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan
khusus yang di persiapkan oleh guru di sekolah, ditujukan agar peserta
didik mampu berinteraksi terhadap lingkungan sosial. Pembelajaran
tersebut disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta
didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi
ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi kompetensi fisik,
kompetensi afektif, kompetensi sehari- hari dan kompetensi akademik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pelayanan anak berkebutuhan khusus.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai keunikan
tersendiri yang ditunjukkan oleh jenis dan karakteristiknya yang berbeda
dengan anak-anak normal pada umumnya.dengan kondisi seperti itu
tentunya dalam memberikan layanan pendidikan anak berbeda dengan
anak-anak normal pada umumnya. Oleh sebab itu sebagai guru atau
pendidik perlu memiliki beberapa pengetahuan dan pemahaman mengenai
cara memberikan layanan yang sesuai agar anak-anak yang kurang
beruntung ini memperoleh pendidikan secara optimal.
Layanan pendidikan merupakan satu kajian penting untuk memenuhi
kebutuhan anak-anak mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka
akan dapat dilakukan secara optimal.
Dalam beberapa terminologi, Istilah layanan diartikan sebagai
(1) cara melayani;
(2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan
(uang);
(3) kemudahan yang dibe berkebutuhan khusus (ABK), yang memiliki
keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, dan membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya.Keadaan inilah yang
menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang
dibutuhkan.Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru
dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila
guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman rikan sehubungan
dengan jual beli jasa atau barang.

A. Prinsip-Prinsip Layanan Anak Berkebutuhan Khusus


Ada dua prinsip layanan bagi anak berkebutuhan khusus yang perlu
diperhatikan oleh para guru atau pendidik, yaitu prinsip umum dan khusus.
1. Prinsip umum :
Pemberian layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus
didasarkan pada pemberian kesempatan kepada seluruh anak yang
berkebutuhan khusus dari berbagai tingkatan, ragam, dan jenis kecacatan
yang ada. Sebelum memberikan layanan kepada anak berkebutuhan
khusus, guru atau pendidik harus dapat mengungkap atau memahami
terlebih dahulu kemampuan fisik dan psikologis dari masing-masing anak.
Hal ini sangat penting agar guru atau pendidik dalam memberikan layanan

3
sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki olehmasing-masing anak
berkebutuhan khusus.
Guru atau pendidik dalam memberikan layanan harus mengacu pada
program yang dinamis, yaitu disesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi pada perserta didik. Dengan demikian guru dituntut selalu mengkaji
teori-teori pendidikan yang berkembang setiap saat.
2. Prinsip Khuus
a. Prinsip totalitas Artinya adalah keseluruhan atau keututhan.Dalam
prinsip ini guru dalam mengajar suatu konsep harus secara
keseluruhan.Maksudnya adalah dalam mengenalkan konsep sedapat
mungkin melibatkan seluruh indera, sedangkan keutuhan dimaksudkan
bahwa konsep yang dikenalkan harus utuh, tidak sepotong
b. Prinsip keperagaan
Prinsip ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan konsep baru.Dalam
menggunakan prinsip ini sangat berkaitan erat dengan tipe-tipe belajar
anak agar dalam mengetrapkan prinsip keperagaan mengena.
c. Prinsip berkesinambungan
Prinsip ini sangat dibutuhkan untuk anak tunanetra dalam mempelajari
konsep. Oleh sebab itu guru dalam memberikan pelajaran untuk
berkesinambungan antarra matapelajaran yang satu dengan yang lain.
d. Prinsip aktivitas
Prinsip ini sangat penting artinya dalam belajar mengajar, yaitu anak
memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.Tugas
guru membantu anak dalam kegiatan belajar mengajar supaya aktif tidak
hanya menjadi pendengar saja.
e. Prinsip individual
Prinsip ini artinya adalah dalam proses pembelajaran dilaksanakan dengan
memperhatikan perbedaan individu anak, bakat dan kemampuan masing-
masing anak.

B. Pendekatan Layanan Pendidikan


Secara umum dikenal 2 pendekatan yang sering dilakukan dalam
memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus,
yaitu: pendekatan kelompok/klasikal dan pendekatan individual.
1. Pendekatan Kelompok adalah pendekatan yang dilakukan secara
kelompok. Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam hal waktu, tenaga,
dan biaya. Disamping kelebihan juga ada kelemahannya yaitu kurang
efektif dalam proses pembelajarannya.
2. Pendekatan individual yang dilakukan secara individu. Pendekatan
ini memiliki kelebihan dalam hal waktu, tenaga dan biaya.

4
3. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak
berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan
dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada
anak berkebutuhan khusus.
4. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub
kompetensi yang belum di capai oleh anak. Pendekatan ini dapat melatih
dan mendorong anak untuk menutup kekurangan yang ada pada dirinya
dengan memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.Sedangkan
pendekatan ekseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan
khusus yang memiliki bakat untuk lebih khusus lagi menguasai
kompetensinya yang ditetapkan berdasarkan asesmen kemampuan
anak.Pendekatan akseleratif juga lebih bersifat individual.

C. Layanan Pendidikan Anak Berkelainan Fisik


Secara umum anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kelainan fisik membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan
strategi khusus, yang dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Anak Tuna Netra


Pengertian tuna netra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak
dapat melihat (KBBI, 1989: 971) Strategi khusus dan isi layanan
pendidikan bagi anak tuna netra menurut Hardman (dalam Suparno, 2008),
meliputi 3 hal, yaitu sebagai berikut.
a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan
dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan
serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan
pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan
membersihkan ruangan.
b. Tradisional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas,
keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya dan keterampilan berhitung.
c. Communication media, yaitu penguasaan braille dalam
komunikasi.

2. Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak Tunarungu adalah terletak
pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Adda beberapa cara
mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:

a. Metode Oral

5
Cara melatih anak tunarungu supaya dapat berkomunikasi secara lisan
(verbal) dengan normal.Dalam hal ini perlu partisipasi lingkungan anak
tunarungu untuk berbahasa secara verbal.
b. Membaca Ujaran
Kegiatan yang mencangkup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir
lawan bicaranya sewaktu dalam proses berbicara. Membaca ujaran
memiliki kelamah antara lain; tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat
pada bibir, ada persamaan antara berbagai bunyi bentuk bahasa, lawan
bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh dan pengcapan harus pelan
dan lugas.
c. Metode manual
Cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi dengan isyarat
atau ejaan jari. Bahasa isyarat ini mempunyai komponen yaitu:
- Bahasa ungkapan badaniyah, adalah bahasa yang dilakukan dengan
cara menggunakan keseluruhan ekspresi badan.
- Bahasa isyarat lokal, suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat
konvensional berfungsi sebagai pengganti kata.
- Bahasa isyarat formal, bahasa nasional dalam isyarat biasanya
menggunakan kosa kata isyarat dan dengan berstruktur bahasa yang sama
persis dengan bahasa lisan.
- Ejaan jari. Penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan
jari. Dalam penggunaan bahasa ejaan jari dapat dikelompokan menjadi
tiga, yaitu : ejaan jari dengan satu tangan, ejaan jari dengan dua tangan,
dan ejaan jari campuran.
- Komunikasi total
Cara berkomuniksasi dengan menggunakan salah satu modus atau semua
cara berkomuniksai digunakan (bahasa isyarat, ejaan jari, bicara, bacaan
ujaran, dan lain sebagainya). Hal ini digunakan untuk memperbaiki dalam
mengajarkan komunikasi tunarungu.

D. Model Layanan Pendidikan ABK, Bentuk-Bentuk, Layanan


Pendidikan Inklusif
1. Model layanan ABK
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari
segi jenis, sifat, kondisi maupun kebutuhannya, oleh karena itu, layanan
pendidikannnya tidak dapat dibuat tunggal/seragam melainkan
menyesuaiakan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan
kebutuhan anak. Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut,
dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orangtuanya untuk memilih
layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

6
Ada beberapa model layanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan
mulai dari yang model klasik sampai yang modern/terkini
2. Model Segregasi
Model segregasi merupakan model layanan pendidikan yang sudah
lama dikenal dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di
Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara
khusus dan terpisah dari kelompok anak normal maupun ABK lainnya.
Dalam praktiknya, masing-masing kelompok anak dengan jenis
kekhususan yang sama dididik pada lembaga pendidikan yang melayani
sesuai dengan kekhususanya tersebut. Sebagai contoh: SLB/A, lembaga
pendidikan untuk anak tuna netra; SLB/B, lembaga pendidikan untuk
Anak tunarungu; SLB/C, lembaga pendidikan untuk anak tuna grahita,
SLB/D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, dan SLB/E lembaga
pendidikan untuk anak tuna laras, sekolah autisme, sekolah anak ber IQ
sedang, sekolah anak berbakat, dan sebagainya.
Kelebihan dari model ini adalah
(1) anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa
minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat menyongsong
kehidupan di hari-hari mendatang,
(2) anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya yang sama-
sama mengalami/menyandang ketunaan,
(3) anak termotivasi dan bersaing secara sehat dengan sesama
temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah
bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang
percaya diri.
Kekurangan/Kelemahan adalah
(1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan mereka yang normal,
(2) anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak
yang cacat saja sehingga pada giliranya dapat menghambat perkembangan
sosialisasinya di masyarakat, dan
(3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di sekolah
yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkelainan.

3. Model Kelas Khusus


Sesuai dengan namanya, keberadaan kelas khusus tidak berdiri
sendiri seperti halnya sekolah khusus (SLB), melainkan berada di sekolah
umum/regular. Keberadaan kelas khusus tidak bersifat permanen,
melainkan didasarkan pada ada / tidaknya anak-anak yang memerlukan
pendidikan/pembelajaran khusus di sekolah tersebut. Pada kelas khusus

7
biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang
relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual
(individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki
kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu
anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/ drop out atau untuk menemukan
gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya
kelas khusus bersifat fleksibel, ada kelas khusus sepanjang hari, dan kelas
khusus untuk bidang studi tertentu.
Dalam kelas khusus sepanjang hari ABK dididik oleh guru
khusus di ruangan/kelas yang khusus pula.Pada jam-jam istirahat, anak-
anak ini dapat berinteraksi dengan mereka yang bukan ABK, sedangkan
pada jam-jam pelajaran mereka, hanya berinteraksi dengan sesama mereka
yang berkategori ABK. Kelas khusus ini hampir mirip dengan sekolah
segregasi, hanya lokasinya berada dalam satu naungan sekolah
induk/reguler. Untuk bidang studi tertentu ABK belajar bidang studi yang
tidak dapat mereka ikuti di kelas reguler. Adapun untuk bidang studi
tertentu, seperti olahraga, kerajinan tangan, musik, dan lain-lain dapat
dilakukan secara bersama-dengan anak-anak yang bukan ABK. Di kelas
khusus ini biasanya anak-anak mendapat mata pelajaran yang bersifat
akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung atau aspek-aspek lain
yang sesuai dengan kekhususannya. Kebaikan/ kelebihan model ini adalah
(1) anak lebih mendapatkan perlakuan dan pelayanan pendidikan
yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya karena anak
dikelompokkan relative homogen,
(2) potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena
pembelajarannya menggunakan pendekatan individual atau kelompok
kecil,
(3) secara sosial, anak dapat lebih mudah mengembangkan diri
karena berada dalam lingkungan yang normal.
Kekurangan/Kelemahannya adalah
(1) ABK kadang- masih mendapatkan stigma negative dari
sebagian temannya sehingga dapat mengganggu/ menghambat
perkembangan belajarnya,
(2) ABK dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk
bergaul dengan mereka yang bukan kategori ABK, dan
(3) sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya
dicap sebagai ABK apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama ABK
dalam kelas khusus

4. Model Guru Kunjung

8
Model guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani pendidikan
ABK yang ada atau bermukim di daerah terpencil, daerah perairan, daerah
kepulauan atau tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh layanan
pendidikan khusus yang telah ada, misalnya SLB, SDLB, kelas khusus,
dsb. Di tempat-tempat tersebut dibentuk sanggar/kelompok-kelompok
belajar tempat anak-anak memperoleh layanan pendidikan. Guru kunjung
secara periodik mengunjungi kelompok belajar yang menjadi binaannya.
Program pendidikannya meliputi pembelajaran dengan materi praktis dan
pragmatis, seperti keterampilan kehidupan sehari-hari, membaca, menulis,
dan berhitung sederhana. Kelompok belajar ini dapat dikatakan sebagai
kelas jauh yang menginduk kepada SLB,SDLB, SD terdekat. Guru
kunjung tersebut biasanya diambilkan dari guru khusus yang mengajar di
sekolah induknya atas penunjukan dari dinas pendidikan setempat.
Kebaikan / Kelebihan model ini adalah
(1) anak dapat lebih mendapat layanan pendidikan dengan tidak
perlu datang ke jauh karena sudah ada petugas/guru khusus yang
mendatanginya,
(2) anak-anak bisa saling berkomunikasi dengan sesama ABK dari
daerah/tempat yang lain yang saling berjauhan sehingga dapat memicu
semangat belajar,
(3) anak-anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan praktis
dan pragmatis yang mereka butuhkan sehari-hari.
Kelemahannya adalah
(1) layanan pendidikan dengan guru kunjung dalam banyak hal
masih sulit diterapkan karena memerlukan jaringan kerjasama berbagai
pihak,
(2) ABK di daerah terpencil, pedalaman, atau di tempat terasing
lain keberadaannya terpencar-pencar sehingga menyulitkan dalam
koordinasi dalam pelaksanaan pembelajaran,
(3) orangtua anak ABK di daerah terpencil umumnya masih
rendah kesadarannya untuk mengirimkan anaknya ke sanggar belajar, dan
(4) masalah transportasi adalah persoalan klasik yang menjadi
kendala orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke sanggar belajar.

5. Sekolah Terpadu
Sekolah terpadu pada hakikatnya merupakan sekolah normal biasa
yang telah ditetapkan untuk menerima ABK. Mereka belajar bersama-
sama dengan anak-anak normal, dengan diajar oleh guru umum sedangkan
materi-materi yang memiliki sifat kekhususan diberikan oleh guru

9
pendamping. Dalam pelaksanaannya pendidikan terpadu dapat
berlangsung secara
(1) terpadu penuh/sepanjang hari pelajaran dan
(2) secara terpadu sebagian/khsusus bidang studi tertentu.
Pada tipe sekolah terpadu penuh, ABK belajar bersama-sama
dengan mereka yang bukan ABK dengan mengikuti semua pelajaran tanpa
terkecuali. Meskipun demikian tipe sekolah ini tetap membutuhkan
kehadiran guru pendamping khusus di kelas/sekolah tersebut. Guru khusus
ini bisa menjadi mitra kerja bagi guru umum yang mengajar. Jika guru
umum menghadapi kesulitan berkaitan dengan ABK maka ia dapat
meminta bantuan pada guru khusus. Di sekolah terpadu sebagian ABK
mengikuti mata pelajaran bersama-sama, misalnya Matematika, IPA, IPS,
dan lain-lain. Sedangkan untuk mata pelajaran yang tidak bisa diikuti oleh
ABK, maka ABK dilayani tersendiri sesuai dengan karakteristik
kekhususannya, seperti kegiatan: olahraga, kerajinan tangan, latihan
orientasi dan mobilitas, dan lain-lain. Pendidikan/Sekolah Terpadu pada
awalnya hanya menerima murid ABK kategori tunanetra, namun untuk
sekarang dan yang akan datang pendidikan terpadu diharapkan bisa
menerima murid dari semua jenis ABK dengan sistem yang lebih baik
lagi.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah
(1) anak merasa dihargai harkat dan martabatnya sehinga mereka
bisa belajar bersama-sama dengan anak normal tanpa dibatasi oleh dinding
tembok pemisah yang tegas,
(2) dari perkembangan sosial, anak lebih mudah berinteraksi dan
berkomunikasi secara luas dengan mereka/anak-anak yang normal di
sekolah tersebut,
(3) secara psikologis, anak merasa percaya diri dan dapat
menimbulkan semangat/motivasi untuk bersaing secara sehat dengan
mereka yang berkategori normal.
Kekurangan / kelemahan, adalah
(1) anak kadang merasa rendah diri sehingga dapat meruntuhkan
semangat belajar,
(2) dalam kondisi tertentu, anak menjadi bahan olok-olokan
egative dari temannya yang normal sehingga kondisi kejiwaan ABK
menjadi tertekan, dan
(3) ketersediaan guru GPK (Guru Pendamping Khusus) bagi anak
ABK di sekolah tersebut tidak selalu ada.

6. Pendidikan Inklusi (Inclusive Education)

10
Kata inklusi bermakna terbuka, lawan dari eksklusi yang bermakna
tertutup.Pendidikan Inklusi berarti pendidikan yang bersifat terbuka bagi
siapa saja yang mau masuk sekolah baik dari kalangan anak normal
maupun ABK. Demikian pula lingkungan pendidikan, termasuk ruangan
kelas, toilet, halaman bermain, laboratorium, dan lain-lain harus
dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak, termasuk anak-anak
berkebutuhan khusus. Pelaksanaan pendidikan inklusi dilatarbelakangi
oleh filsafat mainstreaming yang menyatakan bahwa dunia yang normal
harus berisi manusia normal dan yang tidak normal.Demikian pula
komunitas sekolah yang normal harus ada kebersamaan antara anak
normal dan anak yang tidak normal, baik pada saat menerima pelajaran
dalam kelas maupun pada saat bersosialisasi di luar kelas.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi tentu saja memerlukan perencanaan
yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan efek
yang kurang menguntungkan. Pendidikan inklusi lazimnya sudah
diterapkan di negara-negara maju, seperti Norwegia, Swedia, Denmark,
USA, dan sebagian Australia.Di Indonesia model pendidikan inklusi sudah
mulai banyak dirintis di beberapa sekolah tertentu, namun belum dapat
sepenuhnya dilaksanakan. Dalam kasus-kasus tertentu nama sekolah
inklusi telah menjadi trade mark , tetapi dalam prakteknya tidak lebih dari
sekedar sekolah terpadu biasa. Oleh karena itu di masa-masa yang akan
datang sekolah inklusi di Indonesia bukan hanya sekedar nama saja tetapi
diharapkan menjadi sebuah sekolah inklusi beneran seperti yang telah
diselenggarakan di beberapa negara maju di Eropa, Amerika dan Australia.
Ini tentu saja menjadi tugas dan komitmen bersama antara pemerintah,
sekolah dan masyarakat.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah
(1) anak akan memperoleh keadilan layanan pendidikan, tidak
dibedakan dari anak normal sehingga secara tidak langsung dapat
membangkitkan motivasi dan gairah belajar di sekolah,
(2) anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan di sekolah tanpa
memandang kekurangan yang disandang,
(3) anak merasakan perlakuan dan persamaan hak, harkat dan
martabat dalam memperoleh layanan pendidikan tanpa membedakan
antara yang cacat dan yang normal, dan
(4) anak dapat bergaul dan berinteraksi secara sehat dengan teman-
temannya yang normal, sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan
motivasi berprestasi dalam belajar.
Kekurangan dan kelemahannya adalah untuk dapat disebut sebagai
sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang dapat mengakses

11
kebutuhan individual anak yang tidak gampang dipenuhi oleh sekolah
yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi. Untuk dapat disebut
sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik
dan tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan
sebagainya) yang tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang
memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusi. Meskipun disebut sebagai
sekolah Inklusi yang secara teoritis bisa menerima semua anak tanpa
memandang normal atau tidak normal, namun dalam praktik di lapangan
sekolah inklusi biasanya hanya menerima anak cacat yang berkategori
ringan, bukan yang berkategori sedang atau berat.

a. Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang


berkaitandengan kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan
guru dalam bentuk : Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari
sisi fisik bangunan maupun dari sisi interaksi orang per-orang.
b. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan
senang dalam lingkungan barunya.
c. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi
sebagai bekal pemahaman kognitif, afektif dan psikomotornya.
d. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal
baru, terutama hal-hal yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
e. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam
berkomunikasi dan melakukan kontak.
f. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-
kontak sosial yang akan dilakukan dengan teman sebaya.
g. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan
dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan
etika yang berlaku di rumah dapat berbeda ketika anak tunanetra masuk
dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
h. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter
interaksi kelompok. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa tiap
kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok
anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa. Interaksi
sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak
diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses
belajar, bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang
positif dan negatif, secara langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi anak tunanetra dalam berinteraksi. Untuk menghindari
terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak tunanetra dalam bergaul
perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada diri anak

12
tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga
dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam
berinteraksi dengan lingkungannya melalui program pengembangan
interaksi sosial. Untuk memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra,
sekolah atau lembaga pendidikan bagi tunanetra menyiapkan program
pemenuhan kebutuhan tersebut dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan tunanetra biasanya
dapat digolongkan sebagai bidang studi dan sebagai keterampilan khusus.
Secara keseluruhan program atau kurikulum tersebut memiliki tujuan
(a) untuk meniadakan atau mengurangi hambatan belajar dan
perkembangan akibat ketunanetraan,
(b) memberikan berbagai keterampilan agar mereka mampu
berkompetisi dengan orang lain pada umumnya, dan
(c) membantu mereka untuk memahami atau menyadari akan
potensi dan kemampuannya. Menurut Bishop (1996) keterampilan yang
diperlukan atau yang perlu disediakan di lembaga pendidikan bagi
tunanetra meliputi; keterampilan sensoris (kesadaran, diskriminasi,
persepsi), perkembangan motorik, pengembangan konsep, keterampilan
komunikasi, keterampilan bahasa, Braille, keterampilan sosial,
kemampuan menolong diri sendiri (ADL),Orientasi dan Mobilitas.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Anak


berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai keunikan tersendiri
yang ditunjukkan oleh jenis dan karakteristiknya yang berbeda dengan
anak-anak normal pada umumnya.dengan kondisi seperti itu tentunya
dalam memberikan layanan pendidikan anak berbeda dengan anak-anak
normal pada umumnya. Oleh sebab itu sebagai guru atau pendidik perlu
memiliki beberapa pengetahuan dan pemahaman mengenai cara
memberikan layanan yang sesuai agar anak-anak yang kurang beruntung
ini memperoleh pendidikan secara optimal.

B. Saran
Dalam memberikan layanan pendidikan pada anak berkebutuhan
Khusus diperlukan berbagai layanan pendidikan dengan pendekatan
khusus dan strategi khusus yang harus guru atau pendidik atau calon guru
ketahui dan pahami dengan baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dra.Yuliane, M. Pd.2010. Bahan Ajar Pendidikan Anak Berkebutuhan


Khusus.Pontianak :2010

http://dedimahgunaguna.blogspot.com/2013/03/pendekatan-layanan-pendidikan-
anak.html

Hallahan, Daniel P. and Kauffman, James M. (1986).Exceptional Children: Intro-

duction to Special Education, Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall;

Mirza, Dewi. (2007). Pelayanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra.(Online).


Tersedia: http://digilib.sunan_ampel.ac.id/go.php?id=jiptain-gdl-s1-2007-de-
wimirza-922#publisher#publisher;

Abudin, PGSD. 2010. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Blogspot; 


[tersedia]http://abudinpgsd.wordpress.com/2011/02/19/pendidikan-anak-

Rahardja, Djadja. (2006). Pendidikan Luar Biasa Introduction to Special


Education.

15

Anda mungkin juga menyukai