Anda di halaman 1dari 23

ISU-ISU DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

MAKALAH KELOMPOK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


mata kuliah Pendidikan Inklusi yang diampu oleh
Dr.Sunardi, M.Pd.

Oleh:

Chiara Fanni Luthfiyana 2200606


Dita Radika 2206333
Nurul Anaku 2209426
Shofia Sayyidah Mufidah 2205656

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena atas limpahan berkah dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Isu-Isu Dalam Pendidikan
Inklusif. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Inklusi dengan dosen pengampu Dr. Sunardi, M.Pd.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Pendidikan Inklusi
yang telah banyak membimbing kami dan terima kasih kepada teman-teman
kelompok sembilan karena sudah dapat bekerja sama dengan baik dalam
mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan
dari semua pihak sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik
dan saran yang dapat membangun, sehingga kami dapat lebih baik lagi dalam
penyusunan makalah berikutnya.

Bandung, 15 November 2023

Para Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Pemahaman dan Implementasi..................................................................3
2.2 Kebijakan Sekolah.....................................................................................4
2.3 Proses Pembelajaran..................................................................................6
2.4 Kondisi Guru.............................................................................................8
2.5 Support System..........................................................................................9
BAB III..................................................................................................................14
PENUTUP..............................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
3.2 Implementasi Guru Bimbingan dan Konseling.......................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah hak bagi setiap anak agar mendapatkan kehidupan dan
kesejahteraan di masa yang akan datang, setiap anak memiliki hak dan
kesempatan yang sama untuk menjalankan pendidikan tanpa ada batasan yang
membedakan antara fisik, mental, latar belakang, maupun status sosial ekonomi.
Karena setiap anak memiliki masa pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda
(Pristiwanti et al.,2022). Pendidikan Inklusif merupakan salah satu layanan
pendidikan untuk mewujudkan pendidikan dengan keberagaman serta tidak
adanya diskriminasi yang mana tidak hanya mengutamakan anak normal saja, dan
hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 serta diperkuat oleh peraturan pemerintah Nomor 70 tahun 2009 mengenai
Pendidikan khusus dan layanan khusus (Utami et al., 2021). Pelaksanaan
pendidikan inklusif tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik
berkebutuhan khusus tetapi juga, memberikan kontribusi positif terhadap
pengembangan karakter peserta didik reguler yang tidak memiliki kebutuhan
khusus, agar mereka dapat memperoleh pembelajaran dalam berempati,
bertoleransi, dan menghargai keberagaman yang ada di dunia (Murniarti &
Anastasia,2016).
Faktanya pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia masih belum
sepenuhnya sesuai dengan tujuan dan pedoman sekolah inklusi, termasuk dalam
aspek sarana dan prasarana, kualifikasi pengajar, kondisi siswa, serta dukungan
orang tua dan masyarakat (Jannah et al., 2021). Pendidikan inklusi di Indonesia
masih menghadapi tantangan yang signifikan, dengan berbagai kesiapan yang
kurang dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Kurangnya sekolah inklusi dan
jumlah guru pembimbing yang kurang memadai menjadi salah satu permasalahan
dalam terlaksananya pendidikan inklusif (Tyas et al.,2022). Keberhasilan suatu
konsep pendidikan sangat bergantung pada keseriusan dalam memberikan
kontribusi positif untuk meningkatkan pelayanan bagi anak-anak dengan
kebutuhan khusus. Isu- isu atau permasalahan yang terkait dengan pendidikan
inklusif merupakan hal yang sangat sensitif bagi anak-anak yang dianggap

1
memiliki perbedaan, karena masalah tersebut dapat memengaruhi kepercayaan
mereka ketika mengikuti pendidikan formal dan bergaul dengan anak-anak pada
umumnya (Illahi,2013). Berdasarkan penelitian Sunardi (2009) terhadap dua belas
sekolah inklusif di beberapa kabupaten di Jawa Barat, ditemukan bahwa ada lima
kelompok isi dan permasalahan dalam pendidikan inklusif yang perlu
diperhatikan, kelima kelompok tersebut mencakup pemahaman implementasi,
kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan sistem dukungan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman dan Implementasi

Pemahaman orang tentang anak berkebutuhan khusus harus diluruskan


karena mereka tidak bisa dianggap sebagai anak yang selalu termarginalkan dari
lingkungan mereka tinggal. Pendidikan inklusif harus dipahami sebagai
pendekatan yang paling efektif untuk menopang layanan pendidikan mereka
ketika memasuki pendidikan formal. Bagaimanapun anak berkebutuhan khusus
juga manusia biasa yang layak mendapatkan pembinaan secara optimal terkait
dengan keterbatasan dan kekurangannya.
Dewasa ini, pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat
belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan,
melainkan masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke
sekolah reguler dalam rangka give education right dan kemudahan access
education, and againt discrimination. Pendidikan inklusif cenderung dipersepsi
sama dengan integrasi sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus
menyesuaikan dengan sistem sekolah. Persepsi rentang pendidikan inklusif harus
segera diubah karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kehadiran
konsep pendidikan ini.
Sementara dalam implementasinya, guru cenderung belum mampu bersikap
proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orangtua, dan
menjadikan anak cacat sebagai bahan olok- olokan. Apabila Anda berkesempatan
menjadi tenaga pengajar bagi anak berkebutuhan khusus maka Anda harus siap
lahir batin untuk memberikan pelayanan terbaik bagi aktivitas belajar mereka.
Jangan sampai ada persepsi negatif, apalagi sampai memberikan pelabelan cacat
karena secara tidak langsung Anda telah melanggar hak-hak hidup mereka sebagai
manusia yang membutuhkan pelayanan dan bantuan secara optimal.
Sebagai seorang guru, Anda perlu berkomitmen untuk memperjuangkan
masa depan mereka agar tidak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan ini.
Derita yang dialami mereka jangan sampai diperparah dengan mengabaikan
haknya yang belum dipenuhi karena mereka tidak menghendaki lahir dalam

3
keadaan cacat atau tidak normal. Bila Anda melakukannya dengan tulus, niscaya
hidup Anda akan diberkati Tuhan karena Anda telah menjalankan misi
kemanusiaan yang sangat mulia dan bisa mempermudah jalan hidup Anda untuk
lebih dekat dengan Tuhan.

2.2 Kebijakan Sekolah

Kebijakan pendidikan inklusi merupakan sistem penyelenggaraan


pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”, hal ini sesuai dengan
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi. Kebijakan
sekolah sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas menerima semua
jenis anak berkebutuhan khusus, sebagian sudah memiliki guru khusus anak
berkebutuhan mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing anak
berkebutuhan khusus dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk
mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun
cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional,
organisasi atau institusi terkait. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat yaitu
guru kelas tidak memiliki tanggung jawab pada kemajuan belajar anak
berkebutuhan khusus serta keharusan orang tua anak berkebutuhan khusus dalam
penyediaan guru khusus. (Tanjung,. dkk, 2022).
Rekomendasi Kebijakan menurut Tanjung,. dkk, (2022). Dari pemaparan
diatas bahwa pendidikan inklusi merupakan suatu konsep pendidikan yang
bermuatan pada nilai kesetaraan hakserta kemanusian dalam kerangkan
pendidikan untuk semua (education for all) dituangkan menjadi kebijakan melalui
beberapa peraturan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Model
alternatif yang diambil adalah model alternatif A dengan rekomendasi penjabaran
sebagai berikut:
a. Dinas pendidikan perlu melakukan koordinasi secara internal terutama
dalam bidang tenaga pendidik yang dapat memahami konsep dan
implementasi kebijakan inklusi pelatihan secara berkelanjutan.

4
b. Perlu waktu yang cukup lama untuk memberikan perubahan budaya dalam
memandang perbedaan bahwa memang akan mempunyai kendala yang
berat menyatukan dalam satu wadah antara anak berkebutuhan khusus
dengan yang lain. Pendekatan secara politik oleh elite kepada masyarakat
tentang pemahaman pendidikan inklusi memberikan pengaruh
signifikan.Sebaiknya dinas pendidikan memberikan penyuluhan secara
berkala secara terus menerus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Kebijakan pendidikan inklusif di Kota Padang merupakan kebijakan yang
bersifat top-down. Maksudnya kebijakan pendidikan inklusif yang idealnya
diusulkan oleh sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif, kenyataan
tidak terjadi di kota Padang. Penetapan Sekolah penyelenggara inklusif
dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Padang tanpa ada pertimbangan
kesiapan institusi. Pelaksanaan pendidikan inklusi di Kota Padang
memperlihatkan kekuasaan dan hegemoni yang kuat pemerintah kepada sekolah.
Pihak sekolah tidak dapat menolak karena penunjukkan dipandang sebagai
perintah atasan yang harus diikuti. Hal ini adalah masalah relasi kuasa antara
atasan dan bawahan. Sekolah hanya menunjukkan kepasrahan yang dilakukan
tanpa adanya koersi. Padahal yang menunjuk dengan yang ditunjuk sebenarnya
belum memahami sepenuhnya apa dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan
inklusi. Implementasi pendidikan inklusi di Kota Padang meskipun dengan
kesiapan yang minim, namun sekolah tetap menjalankan pendidikan inklusi.
Keadaaan ini merupakan respon yang dilakukan sekolah menjaga sistem tetap
terpelihara. Fenomena ini dapat dianalisa dengan pisau teori struktural fungsional.
(Fernandes, 2017).
Menurut Munajah,. dkk, (2021). Implementasi kebijakan sekolah inklusi di
sekolah dasar perlu ditinjau secara menyeluruh agar diketahui apakah pendidikan
inklusi yang telah diterapkan sudah berjalan dan sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan pendidikan inklusi
merupakan aktivitas dalam proses kebijakan publik yang menentukan apakah
kebijakan itu bersentuhan dengan kepentingan pengguna serta dapat diterima oleh
masyarakat. Dalam hal ini, dapat ditegaskan bahwa dalam tahapan perencanaan
dan formulasi kebijakan yang dirancang dengan sebaik-baiknya, tetapi jika pada

5
tahapan implementasinya tidak diperhatikan optimalisasi penerapannya, maka
tentu tidak jelas apa yang diharapkan dari sebuah produk kebijakan itu. Pada
akhirnya dapat dipastikan bahwa pada tahapan evaluasi kebijakan, akan
menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan implementasi kebijakan tidak
seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu tidak sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan itu sebagai batu sandungan bagi
pembuat kebijakan itu sendiri. (Nurwan, 2019).

2.3 Proses Pembelajaran

Masalah utama dalam proses pembelajaran pada pendidikan inklusif adalah


cara pengajaran yang masih belum menggunakan sistem pengajaran secara
berkelompok, sehingga anak-anak dengan kebutuhan khusus kesulitan memahami
pelajaran. Sistem pengajaran berkelompok ini sangat penting untuk mendukung
kerjasama antar antar-anak dan membuat mereka lebih terkoordinasi dalam
belajar. Selain itu, masalah lainnya adalah bahwa sistem pengajaran saat ini tidak
menjamin keberhasilan anak-anak dengan kebutuhan khusus dalam memahami
materi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas dan materi dalam
pembelajaran.
Pembelajaran sebenarnya adalah proses interaksi antara siswa dan
lingkungannya yang bertujuan untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik.
Dalam interaksi ini, banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari dalam diri siswa
maupun dari luar. Dalam konteks pembelajaran inklusif, guru memiliki peran
penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan perilaku
siswa, karena dalam pendidikan inklusif siswa memiliki keadaan dan kemampuan
yang beragam. Pengajaran dengan pendekatan individu dianggap sebagai metode
yang paling tepat. Pendekatan ini melibatkan tiga langkah utama, yaitu: penilaian
(assesment), intervensi (intervention), dan evaluasi (evaluation).
Brown (Sudrajad, 2019) menyatakan bahwa asesmen adalah penilaian yang
dilakukan oleh guru terhadap siswanya untuk membantu mereka dalam proses
pembelajarannya. Asesmen juga membantu guru untuk meningkatkan
pembelajaran melalui penilaian diagnostik, atau tes hasil belajar. Selanjutnya
intervensi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intervensi diartikan

6
sebagai campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan,
negara, dan sebagainya). Selain itu Jimerson, Burns & VanDerHeyden (2015)
menyatakan bahwa intervensi dalam konteks pendidikan inklusif, dapat merujuk
pada upaya yang dilakukan untuk membantu siswa dengan kebutuhan khusus agar
dapat mengikuti pembelajaran dengan lebih baik. Dan Rukajat (2018) menyatakan
bahwa kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation yang mengandung kata
dasar value “nilai”. Kata value atau nilai dalam istilah evaluasi berkaitan dengan
keyakinan bahwa sesuatu hal itu baik atau buruk, benar atau salah, kuat atau
lemah, cukup atau belum cukup, dan sebagainya. Evaluasi juga dapat diartikan
sebagai suatu proses mempertimbangkan suat hal atau gejala dengan
mempergunakan patokan-patokan tertentu yang bersifat kualitatif.
Sehingga dari pemaparan pengertian penilaian (assesment), intervensi
(intervention), dan evaluasi (evaluation), maka dapat disimpulkan bahwa seorang
pendidik perlu melakukan penilaian (assesment) guna menentukan kebutuhan
peserta didik, kemudian pendidik menerapkan pembelajaran yang telah
disesuaikan dengan penilaian yang telah dilakukan. Dan yang terakhir adalah
melakukan evaluasi, yaitu menilai dan memperbaiki hal-hal yang masih belum
baik dalam menjalankan pembelajaran yang efektif dalam pendidikan inklusif.
Tentunya ketiga hal ini sangat penting diterapkan untuk mencapai terwujudnya
pendidikan yang inklusif.
Budiyanto (Fitria, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima profil
pembelajaran di kelas inklusif, yaitu:
1. Pendidikan yang menjaga komunitas kelas yang hangat, dengan menerima
dan menghargai perbedaan.
2. Penerapan kurikulum yang multi level dan multi modalitas.
3. Menyiapkan dan mendorong pendidik untuk mengajar secara interaktif.
4. Mendorong pendidik didik untuk mengatasi hambatan yang berkaitan
dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
5. Melibatkan orang tua dalam proses perencanaan.
Dalam penelitiannya, Fitria (2012) mengungkapkan proses pembelajaran
dalam seting inklusi. Terdapat rancangan dan proses belajar mengajar. Dimana
pada rancangannya, setiap guru wajib membuat Rancangan Pelaksanaan

7
Pembelajaran (RPP) dan Program Pembelajaran Individual (PPI). RPP ini
berisikan tema, kelas/semester, alokasi waktu, standar kompetensi, kompetensi
dasar, tujuan pembelajaran, materi pokok, metode pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran (kegiatan awal, intidan kegiatan akhir), alat dan sumber, penilaian
dan kriteria penilaian. Sedangkan PPI rancangannya terdiri dari nama siswa, kelas,
tempat dan tanggal lahir, alamat, jenis masalah/kesulitan, masalah/kesulitan yang
terjadi, alternatif pemecahan, tujuan jangka panjang/pendek, rincian kegiatan dan
kriteria keberhasilan. Kemudian pada proses belajar mengajarnya, terdapat pula
beberapa indikator dalam prosesnya, yaitu (1) guru dalam mengajar, (2) media
belajar, (3) materi pelajaran, (4) bahasa dan evaluasi.

2.4 Kondisi Guru

Dalam pendidikan inklusif, diperlukan seorang pendidik yang profesional,


yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan sikap yang tepat terkait dengan materi
yang diajarkan, serta memiliki pemahaman mendalam terhadap para siswa.
Seorang guru diharapkan untuk memiliki beragam keterampilan terkait dengan
proses pembelajaran, termasuk penguasaan terhadap materi pelajaran, kemampuan
mengelola kelas, penerapan metode, media, dan sumber belajar yang beragam,
serta kemampuan untuk mengevaluasi baik proses maupun hasil pembelajaran
dengan baik (Temon Astawa, 2020). Penelitian yang dilakukan oleh Umami
(2016), terdapat permasalahan yang terjadi di SDN Piyaman III mengenai Tenaga
Kependidikan, yang belum memiliki guru pembimbing khusus untuk, sehingga
masih dilakukan oleh guru kelas biasa yang tidak memiliki kompetensi mengenai
ilmu pendidikan inklusif. Peraturan Pemerintah pasal 41 PP Nomor 19 Tahun
2005 tentang standar Nasional Pendidikan yang menjelaskan bahwa “setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Ketersediaan dan komitmen guru dalam
memahami dan merespons kebutuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus perlu
diperhatikan. komitmen guru terhadap pembinaan dan perhatian terhadap anak-
anak perlu dinilai, karena terkadang kurangnya semangat pada guru dalam
menangani anak-anak berkebutuhan khusus dapat menjadi hambatan dalam

8
menerapkan pendidikan inklusif di lembaga pendidikan yang seharusnya
menerapkan konsep inklusi, guru kelas biasanya dinilai kurang sensitif dan kurang
proaktif dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus (Illahi,2013). Mudjito
dkk., (2012) mengemukakan bahwa kompetensi guru inklusif meliputi kemahiran
dalam mendidik siswa yang memiliki kebutuhan khusus, namun pada
kenyataannya masih banyak sekolah inklusif yang guru nya belum memiliki
kualifikasi memadai dalam bidang pendidikan khusus. Pemahaman yang
mendalam mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus sangatlah penting bagi
guru-guru di lingkungan sekolah inklusi. Hal tersebut berkaitan dengan sikap
penerimaan yang ditunjukkan oleh guru terhadap anak-anak berkebutuhan khusus
di sekolah inklusi. sikap penerimaan yang positif dari guru dapat memberikan
dampak positif terhadap perkembangan siswa di kelas, meningkatkan pencapaian
akademik, serta mendorong terbentuknya hubungan sosial dan komunikasi yang
baik antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan rekan sekelas dan guru
(Udhiyanasari, 2019). Wardah (2019) mengungkapkan bahwa problematika guru
pada pendidikan inklusif di sekolah diantaranya yaitu, Kurangnya pelatihan
khusus dalam pendidikan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, kurangnya
pengetahuan atau pemahaman yang mendalam mengenai kebutuhan spesifik
setiap siswa, dan Kurangnya sumber daya dan dukungan untuk menerapkan
strategi inklusif di lingkungan sekolah. Menurut Laila (2018) mengungkapkan
bahwa problematika pada pendidikan inklusif dalam lingkup kondisi guru yaitu,
a. Pemahaman guru sekolah masih minim tentang pembelajaran berbasis
inklusi. Mereka belum didukung dengan kualitas guru yang memadai.
Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special
needs children.
b. Guru masih minim pengetahuan tentang penanganan terhadap anak yang
memiliki kebutuhan khusus.
c. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap
permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus. Bahkan, mereka
merasa direpotkan dengan adanya anak berkebutuhan khusus.

2.5 Support System

9
Pendidikan inklusif telah menjadi landasan untuk menciptakan lingkungan
masyarakat yang menghormati dan inklusif, termasuk mereka yang memiliki
kebutuhan khusus. Namun, keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya
bergantung pada semangat untuk menciptakan Pendidikan yang inklusif saja,
tetapi juga pada kesiapan dan kinerja sistem yang mendukungnya. Untuk
memastikan bahwa pendidikan inklusif benar-benar memberikan kesetaraan akses
dan pembelajaran bagi semua siswa, masalah seperti kurangnya dukungan sistem
harus dipertimbangkan secara menyeluruh. Wina (dalam Purwaningsih et al.,
2022) mengartikan dukungan sistem sendiri merupakan suatu konsep yang
mengacu pada berbagai jenis bantuan dan layanan yang diberikan kepada siswa,
guru, dan staf sekolah untuk membantu mereka mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditentukan. Dukungan sistem ini dapat berupa dukungan akademik,
dukungan sosial, dukungan administratif, dukungan emosional dan berbagai
dukungan lainnya. Lebih spesifik lagi, Sudjak (2018) mengungkapkan
bahwasannya problematika yang terjadi dalam lingkup support system adalah
sebagai berikut:
1. Para pemangku kebijakan belum memahami secara menyeluruh
pentingnya kesetaraan pendidikan untuk semua orang
Salah satu masalah utama dalam menerapkan pendidikan inklusif adalah
pemangku kebijakan tidak memahami pentingnya kesetaraan pendidikan untuk
semua. Sudah kewajiban bagi pemangku kebijakan sebagai penyelenggara negara
dalam kehidupan bangsa Indonesia untuk menerapkan Education for all ini sendiri
yang merupakan penjabaran dari apa yang ditetapkan pada UUD 1945 mengenai
pendidikan yang setara bagi rakyat Indonesia (Suyahman, 2015). Apabila
pemerintah saja tidak memahami sepenuhnya pentingnya kesetaraan ini, akan sulit
untuk membuat dan menerapkan kebijakan yang membantu semua siswa
mendapatkan akses yang sama ke pendidikan dan pembelajaran. Salah satu contoh
efek dari ketidaksepakatan ini adalah alokasi anggaran yang tidak memadai untuk
mendukung program pendidikan inklusif, yang menghambat kemajuan menuju
sistem pendidikan yang lebih inklusif.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu upaya besar untuk meningkatkan
pemahaman pemangku kebijakan melalui pendidikan dan advokasi. Sangat

10
penting untuk memberikan pemahaman mendalam tentang keuntungan jangka
panjang dari kesetaraan pendidikan, yang menunjukkan bahwa pendidikan
inklusif bukan hanya ide moral tetapi juga langkah yang direncanakan untuk
kemajuan masyarakat. Dengan meningkatnya kesadaran, diharapkan para
pemangku kebijakan dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk
memberikan dukungan finansial yang memadai, merancang kebijakan yang
inklusif, dan secara aktif berperan dalam memastikan setiap individu, tanpa
terkecuali, mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan.
2. Keterbatasan fasilitas dan sistem pendukung dari berbagai pihak.
Pendidikan inklusif menghadapi banyak tantangan, salah satunya adalah
kekurangan sarana pendidikan dan dukungan. Fasilitas terbatas dan support
system yang tidak media ini menyebabkan penerapan pendidikan inklusi di
Indonesia masih cukup rendah, menurut hasil survey mengenai sistem pendidikan
dunia pada tahun 2018 yang dikeluarkan oleh PISA (Programme For International
Student Assessment) dalam Kurniawati (2022) diungkapkan bahwa Indonesia
menempati posisi ke-74 dari 79 negara. Dengan begitu, jangankan pada siswa
dengan kebutuhan khusus pada siswa pada umumnya fasilitas yang diberikan pun
masih terbilang belum cukup untuk menunjang Pendidikan dengan baik. Sehingga
siswa dengan berkebutuhan khusus pun mengalami kesulitan berpartisipasi karena
kurangnya fasilitas fisik, seperti aksesibilitas bangunan, seperti toilet dan ruang
kelas yang ramah inklusi. Selain itu, Riyadi (2021) menambahkan alat bantu
pendengaran, perangkat teknologi, dan sumber daya lainnya juga masih terbatas.
Banyaknya kendala utama ini menyebabkan sulitnya menciptakan lingkungan
pembelajaran yang responsif terhadap keberagaman.
Permasalahan ini semakin kompleks karena banyak pihak, termasuk
pemerintah, perguruan tinggi, tenaga ahli, orang tua, dan sekolah khusus, tidak
memperhatikan dan menghargai sebuah keberagaman dari setiap peserta didik.
Khususnya pada stigma-stigma tentang keterbatasan peserta didik ABK di
masyarakat yang menjadi hambatan ABK untuk mengembangkan dirinya, Untuk
memastikan keberhasilan pendidikan inklusif, sangat penting untuk mendapatkan
dukungan yang menyeluruh dari semua pihak yang terlibat. Pemerintah harus
memberi prioritas anggaran untuk perbaikan fasilitas fisik dan pembentukan

11
sistem pendukung inklusif. Sumber daya dan perguruan tinggi harus aktif terlibat
dalam memberikan pelatihan untuk menerapkan pendidikan inklusif, Juntak et al.,
(2023) mengungkapkan bahwa guru perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang kebutuhan khusus serta penggunaan strategi dan pengelolaan kelas yang
inklusif. Selain itu, orang tua perlu diberdayakan dengan pemahaman mendalam
mengenai kebutuhan anak-anak mereka, dan sekolah khusus harus bertransformasi
menjadi mitra yang mendukung, bukan sebagai entitas terpisah. Kesadaran dan
penghargaan terhadap perbedaan harus ditanamkan sebagai nilai sentral,
menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembelajaran bagi
semua siswa.
3. Keterlibatan orangtua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
Pendidikan inklusi belum tercapai dengan baik
Ketidakpahaman yang cukup mendasar mengenai peran orang tua dalam
konteks pendidikan inklusi menjadi kendala signifikan dalam mencapai
keberhasilan sistem ini. Minimnya pemahaman ini menciptakan dampak negatif,
di mana orang tua cenderung bersikap kurang peduli dan tidak realistik terhadap
perkembangan pendidikan anak-anak mereka. Nurfadhillah et al., (2022)
mengungkapkan bahwa peran orang tua dalam mendukung pendidikan inklusif
sangat krusial, karena mereka bukan hanya menjadi mitra dalam proses
pembelajaran anak, tetapi juga agen yang memfasilitasi lingkungan yang inklusif
di rumah. Dampak dari minimnya pemahaman ini dapat menghambat partisipasi
aktif orang tua dalam mendukung kebutuhan pendidikan anak-anak dengan
kebutuhan khusus. Kecenderungan untuk bersikap kurang peduli dan tidak
realistik terhadap anak dapat menciptakan kesenjangan dalam dukungan dan
motivasi, menghambat potensi anak untuk berkembang secara optimal. Untuk
mengatasi tantangan ini, perlu dilakukan upaya intensif dalam meningkatkan
pemahaman orang tua tentang peran mereka dalam mendukung pendidikan
inklusif.
4. Sekolah secara resmi belum diakui sebagai inklusif
Ketidakakuan sekolah secara resmi sebagai lembaga inklusif menciptakan
kendala mendasar dalam upaya mewujudkan pendidikan inklusif yang
berkeadilan. Sudjak (2018) mengungkapkan bahwa secara formal sekolah di

12
Indonesia masih belum dapat mendapat predikat sebagai sekolah inklusif, bahkan
sampai saat ini belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang
pendidikan inklusi itu sendiri. Tanpa pengakuan formal, langkah-langkah dan
kebijakan yang mendukung inklusivitas cenderung kurang terimplementasi secara
efektif. Selain itu, belum dimulainya proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang
pendidikan menjadikan tantangan tambahan dalam menciptakan pemahaman yang
menyeluruh tentang konsep inklusif di antara para tenaga pendidik, pemerintah
sekolah, dan seluruh komunitas pendidikan. Dengan adanya pengakuan ini,
diharapkan sekolah dapat lebih proaktif dalam menerapkan praktik inklusif,
menciptakan kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan beragam siswa, dan
memastikan bahwa semua fasilitas dan layanan pendukung tersedia untuk
mendukung keberhasilan setiap siswa.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Permasalahan dalam penerapan pendidikan inklusif menunjukkan bahwa


banyak permasalahan yang harus diatasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang
inklusif dan berkeadilan. Hambatan utama meliputi kurangnya koordinasi internal
dalam bidang pendidik, kurangnya pemahaman dan pelatihan guru tentang
pendidikan inklusif, dan kurangnya dukungan sistem. Kompleksitas masalah yang
dihadapi digambarkan oleh kurangnya fasilitas dan dukungan sistem fisik,
kurangnya partisipasi orang tua, dan ketidakakuan resmi sekolah sebagai lembaga
inklusif. Diperlukan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah,
tenaga pendidik, orang tua, dan masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman
siswa, menyediakan pelatihan, dan meningkatkan dukungan keuangan dan
infrastruktur untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang inklusif.

3.2 Implementasi Guru Bimbingan dan Konseling

Pendidikan inklusif mengartikan bahwa semua siswa, termasuk mereka


yang memiliki kebutuhan khusus, memiliki akses dan pengalaman belajar yang
sama. Namun, sejumlah masalah sering menghalangi jalan menuju inklusi. Dalam
situasi seperti ini, peran Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi sangat penting
untuk mengurangi hambatan dan memastikan bahwa semua siswa mendapatkan
bantuan yang tepat. Strategi BK yang terarah dapat membantu mencapai
pendidikan inklusif dengan lebih baik. Wagino et al., (2023) mengungkapkan
implementasi yang dapat diberikan oleh guru bimbingan dan konseling dalam
menghadapi permasalahan dalam menerapkan pendidikan inklusif adalah sebagai
berikut:
1. Membantu siswa ABK mengembangkan kemapuan bersosialisasinya dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya (Witono, 2020). Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan dorongan serta motivasi agar mereka
percaya diri dan tidak ragu untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya,
selain itu, guru bk juga perlu mendukung siswa ABK mengikuti kegiatan

14
kelompok serta pengembangan diri, serta memberikan layanan bimbingan
yang tentunya disesuaikan dengan karakteristik serta ketunaan masing-
masing siswa ABK.
2. Mencari informasi dan memahami kesulitan-kesulitan apa saja yang
dihadapi oleh siswa ABK dalam proses pengembangan diri serta
pembelajaran dengan cara observasi, interview, dan dokumentasi seperti
arsip dan dokumen mengenai siswa.
3. Memberikan bimbingan karir kepada siswa ABK, bimbingan karir
diberikan untuk mengupayakan pendidikan melalui pendekatan pribadi
untuk membantu mencapai kompetensi karir dalam diri individu.
bimbingan karir dapat membantu siswa ABK dalam menumbuhkan dan
menerima gambaran mengenai dirinya dan pekerjaan yang sesuai
dengannya (Trisabayan, 2022).
4. Memberi layanan informasi mengenai peran gender disesuaikan dengan
kebutuhan siswa ABK (Lattu, 2018). Dapat dilakukan dengan mengajak
ABK untuk mempelajari serta mengamati peran sosial masing-masing
gender yaitu pria dan wanita yang terdapat dalam masyarakat, dengan cara
layanan bimbingan kelompok maupun pemberian literatur yang
bermanfaat mengenai peran gender pria dan wanita.
5. Memberikan layanan kepada siswa ABK untuk membantu mereka
menangani masalah dan kesulitan yang mereka hadapi dari segi emosional,
sosial, dan akademik.
6. Melakukan evaluasi dan rekomendasi tentang kemampuan dan kebutuhan
siswa untuk membantu dalam pembuatan program, kurikulum, dan
dukungan yang sesuai.
7. Mengembangkan program inklusi pada sekolah dengan membantu dalam
desain program inklusif, mendukung integrasi siswa ABK ke dalam kelas
reguler, dan memberikan dukungan untuk program inklusif.
8. Menjamin bahwa hak-hak siswa ABK dihargai, dipenuhi, dan didukung
oleh lingkungan sekolah yang mendukung keberagaman.
9. Memberikan dukungan dan pendidikan kepada orang tua siswa untuk
memberi tahu orang tua tentang kebutuhan anak mereka, memberi tahu

15
mereka tentang tempat dan sumber daya pendidikan yang membantu
perkembangan anak mereka, dan memberi tahu mereka cara mengatasi
anak dengan kebutuhan khusus.

16
DAFTAR PUSTAKA
Fernandes, R. (2017). Adaptasi Sekolah Terhadap Kebijakan Pendidikan Inklusif.
Jurnal Socius: Journal of Sociology Research and Education, 4(2), 119-125.
Fitria, R. (2012). Proses Pembelajaran Dalam Setting Inklusi Di Sekolah Dasar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1(1), 90-101.
Ilahi, M. T. (2013). Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi (1st ed.). Ar-Ruzz
Media
Jannah, A. M., Setiyowati, A., Lathif, K. H., Devi, N. D., & Akhmad, F. (2021).
Model Layanan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Anwarul, 1(1), 121-136.
Jimerson, S., R., Burns, M., K. & VanDerHeyden, A., M. (2015). Handbook of
Response to Intervention: The Science and Practice of Multi-Tiered Systems
of Support. Springer New York.
Juntak, J. N. S., Rynaldi, A., Sukmawati, E., Arafah, M., & Sukomardojo, T.
(2023). Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua: Studi Implementasi
Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal Birokrasi & Pemerintahan Daerah,
5(2), 205–214.
Kurniawati, F. N. A. (2022). Meninjau Permasalahan Rendahnya Kualitas
Pendidikan Di Indonesia Dan Solusi. Academy of Education Journal, 13(1),
1–13. https://doi.org/10.47200/aoej.v13i1.765
Laila, Q. (2018, March 6). Problematika Pendidikan Inklusi di Sekolah.
PROCEEDING: The Annual International Conference on Islamic Education,
3(1), 344-360
Lattu, D. (2018). Peran Guru Bimbingan dan Konseling pada Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi. Jurnal Bimbingan Dan Konseling
Terapan, 2(1), 61–67. https://doi.org/10.30598/jbkt.v2i1.236
Mudjito, Harizal, & Elfindri. (2013). Pendidikan Inklusif. Baduose Media.
Munajah, R., Marini, A., & Sumantri, M. S. (2021). Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 5(3), 1183-1190.
Murniarti, E., & Anastasia, N. Z. (2016). Pendidikan Inklusif di Tingkat Sekolah
Dasar: Konsep Implementasi, dan Strategi. Jurnal Dinamika Pendidikan,
9(1), 9-18. https://doi.org/10.51212/jdp.v9i1.134
Nurfadhillah, S., Cahyati, S. Y., Farawansya, S. A., & Salsabila, A. (2022). Peran

17
Tenaga Pendidik dan Orang Tua serta Masyarakat dalam Pendidikan Inklusi
(Bimbingan dalam Pendidikan Inklusi). Tsaqofah, 2(6), 653–651.
https://doi.org/10.58578/tsaqofah.v2i6.639
Nurwan, T. W. (2019). Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah
Dasar. JESS (Journal of Education on Social Science), 3(2), 201.
https://doi.org/10.24036/jess/vol3-iss2/176
Pristiwanti, D., Badariah, B. ., Hidayat, . S. ., & Dewi, R. S. . (2022). Pengertian
Pendidikan. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(6), 7911–7915.
Purwaningsih, I., Oktariani, Hernawati, L., Wardarita, R., & Utami, P. (2022).
Pendidikan Sebagai Suatu Sistem. Jurnal Visionary: Penelitian Dan
Pengembangan Dibidang Administrasi Pendidikan, 10(1), 59–70.
https://doi.org/10.53544/sapa.v4i1.69
Riyadi, E. (2021). Pelaksanaan Pemenuhan Hak Atas Aksesibilitas Pendidikan
Tinggi Bagi Penyandang Disabilitas Di Yogyakarta. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 28(1), 71–93. https://doi.org/10.20885/iustum.vol28.iss1.art4
Rukajat, A. (2018). Teknik Evaluasi Pembelajaran. Deepublish.
Sudjak. (2018). Problematika Pendidikan Inklusi Di Sekolah. MODELING:
Jurnal Program Studi PGMI, 5(2), 185–188.
Sudrajat, D. (2019). Asesmen pembelajaran bahasa inggris: Model dan
pengukurannnya. Intelegensia: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 4(1), 1-
20.
Sunardi (2009). Issues and Problems on Implementation of Inclusive Education
for Disable Children In Indonesia. Tsukuba: CRICED - University of
Tsukuba
Suyahman. (2015). Pendidikan untuk Semua antara harapan dan kenyataan (studi
kasus permasalahan pendidikan di Indonesia). Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan, 1(2), 274–280.
https://media.neliti.com/media/publications/171168-ID-pendidikan-untuk-
semua-antara-harapan-da.pdf
Tanjung, R., Supriani, Y., Arifudin, O., & Ulfah, U. (2022). Manajemen
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi pada Lembaga Pendidikan Islam. JIIP-
Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(1), 339-348.

18
Temon Astawa, I. N. (2020). Pendidikan Inklusi Dalam Memajukan Pendidikan
Nasional. Guna Widya : Jurnal Pendidikan Hindu, 8(1), 65–76.
Tyas Pratiwi, L., Nur Maghfiroh, M., Septa Andika, D., Nur Marcela, I., & Faza
Afifah, A. (2022). Permasalahan yang dihadapi dalam Pelaksanaan Sekolah
Inklusi di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dasar Flobamorata , 3(2), 314-318.
Udhiyanasari, K. Y. (2019). Sikap Guru Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di
Sekolah Inklusi. JOEAI (Jurnal Pendidikan dan Instruksi), 2(1), 15–24.
Umami, F. N. (2016). Permasalahan Dalam Pengelolaan Pendidikan Inklusif di
Sekolah Dasar Negeri Piyaman III Kecamatan Wonosari Kabupaten
GunungKidul. Jurnal Hanat Widya, 5(4), 1–14.
Utami, I., JF, N., Siregar, T., & Wati, R. (2021). Pendidikan Dasar Inklusif ( Teori
dan Implementasi). Bintang Pusaka Madani.
Wagino, Anggraeny, D., & Ariani, A. (2023). IMPLEMENTASI PERAN BK
DALAM MENGATASI PROBLEMATIKA DI SEKOLAH INKLUSI.
Repository Universitas Negeri Surabaya, 1–6.
Wardah, E. Y. (2019). Peranan Guru pembimbing Khusus Lulusan Non-
Pendidikan Luar Biasa (PLB) Terhadap Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus di Sekolah Inklusi Kabupaten Lumajang. Jurnal Pendidikan Inklusi,
2(2), 93–108.
Witono, A. (2020). PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF. Progres Pendidikan,
1(23), 72–79.
Yunita, E. I., Suneki, S., & Wakhyudin, H. (2019). Manajemen Pendidikan Inklusi
Dalam Proses Pembelajaran dan Penanganan Guru Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. International Journal of Elementary Education, 3(3),
267-274.

19
20

Anda mungkin juga menyukai