Anda di halaman 1dari 16

makalah KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH UMUM DALAM

PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

MAKALAH
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH UMUM DALAM
PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia yang
dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebhar, MA.

Disusun Oleh Kelompok : X

Udin Ardian 084 103 089


Mufidah Maulida 084 103 099
Ludviyana 084 103 072

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) Jember
Nov. 2013
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pembahasan kajian ini merupakan upaya untuk menjelaskan pada kebijakan pendidikan Islam
dalam UU Sisdiknas n(UU No. 4/1950 (12/1945), UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003), peraturan
Pemerintah, keputusan Menteri dan lain-lain yang menjabarkan lebih lanjut kebijakan pendidikan
tersebut. Meski pendidikan Islam tidak tercover secara eksplisit dalam seperangkat kebijakan
tersebut, namun secara implisit banyak istilah yang muncul. Oleh karena itu, analisis menjadi
penting, sebab dalam logika yudisial, sifat imperatif UU Sisdiknas akan relatif jika diterjemahkan
melalui ramjbu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi
pendidikan.
Perdebatan wacana pendidikan Islam dalam sejarah Sisdiknas, merupakan wacana aktual yang
takkan berakhir. Banyak argumen dikemukakan, salah satunya adalah karena pendidikan Islam
selalu bersentuhan dengan persoalan umat beragama dengan jumlah melebihi dua ratus juta.
Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para ahli yang sudah barang pasti bahwa warna-
warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai yang dianutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Kebijakan Pendidikan Islam

2. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 4 Tahun 1950

3. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 2 Tahun 1989

4. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 20 Tahun 2003


C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui arti kebijakan Itu sendiri

2. Mengetahui Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 4 Tahun 1950

3. Mengetahui Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 2 Tahun 1989

4. Mengetahui Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 20 Tahun 2003

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Kebijakan Pendidikan Islam


Kebijakan menurut “Syafaruddin mengartikan kebijakan publik sebagai hasil pengambilan
keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan
dengan hal-hal strategis untuk megarahkan pada manager dan personel dalam menentukan masa
depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.1[1] Sedangkan kebijakan dalam
perspektif kamus besar bahasa indonesia ialah rangkaian Konsep dan asas yang menjadi pedoman
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Pendidikan Islam adalah.”Istilah pendidikan Islam tidak lagi hanya berarti pengajaran agama
saja akan tetapi mencakup arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang di ajarkan dari
sudut pandang Islam.2[2]
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah pengambilan keputusan
rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam pendidikan Islam itu sendiri.
B. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 4 Tahun 1950
Perdebatan wacana pendidikan Islam di sekolah umum berawal ketika dikemukakan
pertanyaan apakah pendidikan agama (PA) itu diharuskan atau tidak ?. karena, dalam UU No.

1[1] http//www.imammahmudi.ca/138 kebijakan pendidikan Islam dari masa menuju keadilan.html

2[2] Samsul Nizar, sejarah pergolakan pemikiran pendidikan Islam (PT.Ciputat Press Group,2005),172
4/1950 Juncto UU No. 12/1945, rumusan mengenai pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
akhirnya tercantum dalam bab XII tentang “pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri”, pasal
20 ayat (1) dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut, dan (2) cara menyelanggarakan pengajaran
agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh menteri Pendidikan,
Pengajaran dan kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Gambaran perdebatan yang serius, dapat ditelaah, misalnya, penjelasan pasala 20 (UU No.
4/1950 atau UU No. 12/1945), banyak rumusan membingungkan, antara lain : (a) apakah suatu
jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah bergantung kepada umur dan kecerdasan murid-
muridnya, (b) murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran
agama (c) sifat pengajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang-undang
tentang jenis sekolahnya dan (d) pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.
Yang jelas, bahwa dalam UU tersebut pendidikan Islam (PAI) di sekolah swasta tidak diatur,
diserahkn sepenuhnyapemyelemggara lembaga. Bagi sekolah swasta yang dikelola organisasi
Islam, PAI cenderung diberikan, tetapi bagi yang dikelola non muslim besar kemungkinan PAI
ditiadakan. Karena itu, tamp[ak bila dalam UU tersebut posisi PA di sekolah sangat lemah, karena
selain tidak mempengaruhi kenaikan kelas juga masih diberinya kebebasan untuk ikut atau tidak
ikut PA.
Perdebatan yang relatif keras adalah ketika UU No. 4/1950 masih berupa rancnagan, antara
lain dari Aceh. Da;lam rapat BP KNIP (18 Oktober 1949), Zainal Abidin Achmad selaku anggota
telah menyampaikan “Nota Aceh”. Nota Aceh, berkenan dengan nota-nota yang pernah diajukan
sebelumnya anataara lain nota Menteri Agama dan nota Muhammad Syafi’i (Sumatera) tentang
PA yang tidak dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah ditentang oleh rakyat Aceh. Nota ditanda
tangani oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh sebagai pemimpin Rakyat Aceh ditujukan kepada
Ketua BP KNIP di Yogyagarka tanggal 16 Oktober 1949, antara lain menyatakan :
Pertama, pendidikan agama supaya dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan
(Verplichtleervak); Kedua, supaya sekolah-sekolah agama diakui pengajarannya sebagai
pengajaran sekolah-sekolah agama dihargai sebagai sekolah-sekolah pemerintah ketiga, supaya
sekolah-sekolah agama dihargai sebagai sekolah-sekolah pemerintah dan keempat, dalam
halpencampuran pemuda dan pemudi (co-education) hendaknya jangan samapai bertentangan
dengan perasaan agama dan kebiasaan setempat di sumetra.
Menurut Husaini (Republika, 4 Juni 20013) perdebatan tentang RUU Sisdiknas tidak syak lagi
merupkan bagian dari persoalan hubungan antar agama, khusunya Islam Kristen. Karena itu, untuk
memahaminya perlu meninjau perkembanagan sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia.
Menjelang kemerdakaan, umat Islam yang merasa memiliki andil besar dalam menantang
penjajahan, mengajukan usul agar negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan Islam. Namun,
usulan kandas, sehinnga tercapai kompromi dalam piagam Jakarta. Pada 11 juni 1945, menghadapi
gugatan Latuhary terhadap Piagam Jakarta adalah “satu kompromis untuk menyudahi kesulitan
anatara kita bersama”. Tanggal 18 Agustus 1945 tokoh-tokoh Islam menerima kompromi, untuk
meninggalkan kesepakatan yang oleh Soekarno dikatakan telah dicapai dengan “Berkeringat-
keringat”. Kasman Singodimejo menyebut kesepakatan itu sebagai Gentlemen’s Agreement
bangsa Indonesia.
Ketika itulah sejarah mencatat adanya ultimatum pihak Kristen, bahwa kaum kristen Indonesia
Timur menolak bergabung dengan Indonesia jika Piagam Jakarta tetap diberlakaukan. Padahal,
sampai dengan rapat terakhir BPUPKI, 16 Juli 1945, Soekarno masih menegaskan disepakatinya
klausul, Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Dan Pasal 28 tetap
berbunyi: Negara berdasar ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Terkhir ketua BPUPKI yang merupakan aktivis Gerakan Teosofi, yaitu Radjiman
Widiodiningrat, menyimpulkan: “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya dengan suara bulat
diterima Undang-undang Dasar ini”.
Mohammad Natsir, menyebut peristiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai “Peristiwa ultimatum
terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan”. Mengomentari ultimatum pihak
kristen pada tahun 1945 itu, Natsir menulis:
“Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan
satu peringatan, Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah, apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal
tahu apa konsewensinya, berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang
beragama Islam di Indonesia. tetapi pada hakikatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang
baru berumur 24 jam itu”.
Hari 17 Agustus lanjut Natsir adalah hari proklamsi, hari raya kita,. Hari raya 18 Agustus adlah
hari raya ultimatum dari umat kristen Indonesia bagian timur. Kedua-keduanya peristiwa adalah
peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang keda sekurang-kurangnya jagan
dilupakan. Menyambut hari proklamsi 17 agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18
agustus, kita beristigfar, insyaallah, umat Islam tidak akan lupa.
Menurut Natsir, kaum kristen sangat konsisten terhadap ultimatum 18 agustus 1945,
“sesungguhnya tujuh kata digudgurkan, tetapi mereka tidak puas begitu saja”, Kta Natsir. Di
bidang legislatif, kaum kristen berusaha keras menggalkan setiap usaha pengesahan UU yang
diinginkan kaum muslim untuk lebih mentaati ajaran-ajaran agama mereka. Tentu saja,
pperjuangan mereka dalam sejarah tampak dengan jelas.
Sebagai wacana aktual, perdebatan pendidikan Islam terus berlangsung. Implikasinya,
rumusan tujuan pendidikan dan pengajaran “membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”
sebagaimana termaktub dalam bab II pasal 3 UU No. 4/1950 (UU No. 12/1945) akhirnya berubah
beberapa kali.
Karena, dalam UUDS pasal 41 (3) dan konstitusi RIS pasal 39 (2), disebut “pelajaran agaa”,
UU No. 4/1950 (UU No. 12/1954) pasal 20 (1) juga menyebut “pelajaran agama”, sedang dalam
ayat (2) disebut “pengaran agama”. Selengkapnya, kedua ayat pada pasal 20 tersebut dapat
dikemukkan sebagai berikut: “(1). Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang
tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. (2). cara
menyelenggarkan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalamperaturan yang
ditetapkan oleh menteri Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, bersama-sama dengan menteri”.
Sementara itu, pada peraturan bersama menteri PP dan K dan menteri Agama No. 17678/Kab
dan K/1/9180 tanggal 16 juli 1951 untuk melaksanakan pasal 20b UU Npo. 4/1950 diatur tentang
raturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah, menyebut istilah “pendidikan agama”, sedangkan
penetapan bersama sebelumnya (2 Desember 1946)( menyebut “pengajaran agama”.
Selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pasal 1 : di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan
agama.
Pasal 2 : 1. Di Sekolah-sekolah rendah pendidikan agama di mulai pada kelas 4, banyaknya 2 jam
dalam satu minggu. 2. Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas
1 dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan
ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi
dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah di lain-lain lingkungan. P[asa;l 3. Di sekolah-
sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun
sekolah-sekolah kejujuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu. Pasal 4 : 1.
Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing. 2. Pendidikan agama baru
diberikan pada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang
menganut satu macam agama. 3. Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada
agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran
itu.
Selanjutnya, dalam PP No. 33 tahun 1949 dan PP No. 8 tahun 1950 menggunakan istilah
“pendidikan agama”. Instruksi bersama 16 juli 1951 sebagai kelanjutan dari peraturan bersama 16
juli 1951, menggunakan istilah “pengajaran agama dan pelajaran agama”. Untuk melaksanakan
peraturan bersama 16 juli 1951 (jo UUDS Pasal 43 dan UU No. 4/1950 pasal 20), Penetapan
menteri agama No. 21 tanggal 13 Oktober 1952,menetapkan rencana pokok “pengajaran agama”
yang terdiri dari keimanan (aqoid), akhlaq, ibadat dan Al-Qur’an.
Perubahan pertama tujuan pendidikan didasarkan pada penetapan presiden republik
indonesia No. 19 tahun 1965 tentang pokok-pokok sitem pendidikan nasional pancasila yang
ditetapkan dan diundangkan di jakarta, 25 Agustus 1965. Pasal 2 tentang tujuan pendidikan
nasional dinyatakan sebagai berikut :
“tujuan pendidikan nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun
oleh pihak swasta, dari pendidikan pra-sekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan
warga negara-warga negara sosialis indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis indonesia, adil dan makmur baik spritual maupun material
dan berjiwa pancasila, yaitu: (10 ketuhanan yang maha esa (2) perikemanusiaan yang adil dan
beradab, (30 kebangsaan (4) kerakyatan (5) keadilan sosial, seperti dijelskan dalam manipol-
usdek.
Pasal 3 memuat tentang isi Moral Pendidikan Nasional” “isi moral pendidikan nasional yang
diselenggarkan oleh pemerintah maupun swasta adalah pancasila-manipol/Usdek”. Manifesto
politik (manipol) adalah keseluruhan isi pidato presiden Soekarno, 17 agustus 1959, sebagai
penjelasan dan pertanggung jawaban resmi mengapa Dektrit Presiden 5 juli 1959 dikeluarkan,
membubarkan konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Dalam manipol tersebut
dikemukakan mengenai persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia, program umum, dan
usaha-usaha pokok revolusi tersebut. Namun kemudian dijadikan doktrin oleh negara dan setiap
warga negara wajib mengetahui. Sedangkan Usdek adalah kependekan dari Undang-undang Dasar
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan kepribadian
Indonesia. istilah Usdk berasal dari ketua DPRD Jawa tengah Kosasih, yang menganjurkan
menghafalkan lima unsur Manipol dalam rangkaian kata Usdek.
Manipol Usdek tersebut secara sistematis diindoktrinasi pda seluruh lapisan rakyat indonesia
dan di semua jenis dan jenjang pendidikan, sehingga seperti dikemukakan sebelumnya, pada era
ini pendidikan, khusunya pendidikan Islam benar-benar telah menjadi instrumen bagi kepentingan
politik penguasa. Bahkan Tilaar “implikasinya terhadap pendidikan nasional akan kita lihat
bagaimanana penyususpan ide-ide asing manipol usdek ini dalam mengubah pendidikan nasional
sebagai alat dari idiologi komunis”.
Perubahan kedua, didasarkan pada ketetapan MPRRS-RI No. XXVII/MPRS/1966 tanggal 5
juli 1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan yang dipandang sebagai unsur-unsur mutlak
dalam rangka nation and chrakter building. Pada bab II pasal 3 tentang Tujuan Pendidikan
dinyatakan: “membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi UUD 1945:, pasal 4 tentang isi
Pendidikan dfinyatakan: (10 mempertinggi mental-modal-budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama, (2) mempertinggi kecerdasan dan keterampilan dan (3) mebina/memperkembangkan
phisik yang kuat dan sehat. Selain itu, pada bab I tentang Agama, dinyatakan: “merubah diktum
ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang garis-garis poila pembangunan Nasional Semeste
berencana tahap pertama 1961-1969 bab II pasal 2 ayat (3) dengan menghapuskan kata “.....
dengan pengertian bahwa murid-murid dewasa menyatakan keberatnnya...”, sehingga kalimatnya
berbunyi sebagai berikut: “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-
sekolah mulai dari sekolah dasar samapai dengan universitas-universitas negeri”.
Dari diskripsi tersebut jelas bahwa istilah pendidikan agama baru dikemukakan dalam
peraturan bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama No. 17678/kab dan k/1/9180 tanggal 16
juli 1951 sebagai tindak lanjut untuk melaksanakan pasal 20 UU No. 4/1950 dan dalam ketetapan
MPRS No. XXVII/MPRS/1966 pasal 1, sedang pengertian dan bagaimana cara melaksnakan
belum tertuang dalamperaturan. Dengan demikian maka hingga awal 1970-an, belum ada undang-
undang yang menjelaskan maksud “pendidikan agama” atau pengajaran agama demikian pula
kedudukan dan isi pendidikan, pelajaran dan pengajaran agama” tersebut meskipun MPRS telah
mengaharuskan pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai
dengan universitas negeri.
C. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 2 Tahun 1989
Perdebatan tentang pendidikan Islam di sekolah umum dalam UU No. 2/1989 yang di
undangkan 27 maret 1989 berawal dari substansi tujuan pendidikan nasional, yakni: “Pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang maha esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
keperibadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan”.
Substansi istilah “manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang maha esa dan
berbudi pekerti luhur” sebagai indikator manusia Indonesia seutuhnya menjadi penting. Yang
setuju, karena (meminjam istilah Mangunwijaya) penempatan itu akan berfungsi “leitmotif”, yakni
menjadi kaidah penuntun, pengarah dan cerminan bagi pengembangan indikator-indikator lainnya,
sehingga indikator lain tentang manusia Indonesia seutuhnya akan terwanai oleh indikator
“beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur”. Dengan
demikian, dalam konteks PA menjadi basis pengembangan indikator yang lain. Jika ini terjadi
akan menjadi amat strategis, sedang yang kontra menganggap warna Islami sangat “kental”
sehingga wajah rumusan ini dinilai masih berwajah “Piagam Jakarta”.
Sementara itu, pada bab IX tentang kurikulum,pasal 39 ayat (2) “isi kurikulum setiap jenis,
jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) pendidikan pancasila, pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan”. Selanjutnya, dalm penjelasan pasal 39 ayat 2a tentang PA,
dikemukakan bahwa “pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan
ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha esa sesuai dngan agama yang dianut oleh peserta didik yang
bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional”
Sedangkan pendidikan keagamaan diatur sebagai bagian yang dijelaskan pada pasal 11, ayat
(1) pendidikan keagamaan termasuk jenis pendidikan jalur sekolah, sementara pada ayat (6)
“pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut pengusaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan”. Penjelasan ayat ini dinyatakan bahwa “pendidikan keagamaan diselenggarakan
pada semua jenjang pendidikan”.
Selanjutnya menurut pasal 10 UU No. 2/1989 bahwa Pendidikan Keagamaan selain dikenal
sebagai kelembagan pendidikan jalur sekolah merupakan jalur pendidikan yang diselenggarakan
di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan
berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegaiatn PAI dan PK yang sudah ada seperti di
pesantren, madrasah diniyah dan suasana keagamaan masih diberi legalitas dalam undang-undang
untuk terus berjuang dan memperoleh hak untuk dibina oleh pemerintah, karena merupakan bagian
dari sistem pendidikan nasional. Besarnya porsi yang dapat dimainkan oleh lembaga-lemabaga
tersebut juga ditegaskan oleh UU No. 2/1989, PP dan kurikulum pendidikan, yaitu “membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa” yang selanjutnya diharapkan dpat mewarnai dan menjadi
acuan desain rumusan tujuan-tujuan yang lain, yaitu tujuan institusional, tujuan kurikuler dan
tujuan instruksional.
Menurut Umar (dalam Husaini, 20030, perdebatan tentang UU No. 2/1989 berkenan dengan
penjelasan pasal 28 ayat (20:”tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan
agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Penjelasan ini dengan gigih
ditolak oleh kalangan Kristen. Dan mereka meminta kepada menteri Pendidikan dan kebudayaan
agar lebih dirinci lagi dalam peraturan pelaksanaan. Pada tahun 1990, peraturan pelaksanaan UU
Sisdiknas dikeluarkan pemerintah dan sejauh itu tak satupun dari PP UU Sisdiknas itu yang
bertentangan dengan materi undang-undanya. Namun mereka berhasil mempengaruhi pejabat-
pejabat tertentu yang berwenang, sehingga terjadi berbagai penyimpangan penafsiran (Umar dalm
Husaini, 2003). Oktober 1990, IX DPR mengadakan rapat kerja dengan Mendikbud Fuad Hasan.
Dalam rapat tersebut terjadi selisih pendapat tentang kewajiban sekolah dan hak siswa menerima
pelajaran agama, berkenan dengan pasal 16 PP 28/1990 dari UU No. 2/1989 tentang sisdiknas.
Dalam pasal-pasal itu disebutkan bahwa: “siswa berhak memperoleh pendidikan agama seuai
dengan agama yang dianutnya”. Artinya, seseorang siswa penganut agama lain di lingkungan
sekolah yang beciri khas keagamaan tertentu akan memperoleh pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianut siswa tersebut.
Menurut Umar (dalam Husaini, 2003) hal ini merupakan penafsiran yang keliru, bertentangan
dengan materi undang-undangnya khususnya pasal-pasal 28 ayat 2 yang penjelasanya berbunyi:
“Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang dijarkan dan
agama peserta didik yang bersangkutan”, dan pasal 39 UU No. 2/1989, apsal 16 PP 28/1990, serta
pasal 39 17 PP 29/1990 yang dengan tegas menyebutkan “hak siswa untuk memperoleh pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya”. Dan bunyi pasal 7 UU No. 2/2989 sama sekali tidak
mengandung pertentangan dengan penjelasan yang dijadikan sumber pandangan oleh Mendikbud.
Lebih-lebih jika dihubungkan dengan pasal 39 UU No. 2/1989 tersebut.
Sikap kalangan Kristen lebih mencerminkan sikap menghindar dari kewajiban mematuhi
UU No. 2/1989 dengan cara menyalah tafsirkan pengertian yang sesungguhnya sudah sangat jelas.
Hal ini menimbulkan konsekuensi yakni anak didik yang bergama Islam yang berada di sekolah-
sekolah Kristen tidak saja tidak memperoleh hak-haknya mendapatkan pendidikan agama yang
sesuai dengan agama yang dianutnya (sesuai dengan tuntutan undang-undang), bahakan
berpeluang dimurtadkan melalui proses pendidikan yang dilaluinya karena keharusan mengikuti
pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya sebagai anak didik (Umar
dalam Adian Husaini, 2003).
D. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 20 tahun 2003
UU No. 20 tahun tentang Sisdiknas, telah disahkan DPR RI 11 Juni dan di undangkan 8 juli
2003. Selain wacana pendidikan Islam yang diperdebatkan dalam UU Sebelumnya, dalam UU No.
20/2003 substansi perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang mencerminkanya, yakni:
“substansi istilah iman, takwa dan akhlaq mulia dalam rumusan tujuan pendidikan”, istilah
“pendidikan agama”, “pendidikan keagamaan” secara informal, formal maupun nonformal,
“pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan peasanteren dengan pendidikan formal”, dan
sebagainya.
Banyak hal yang dijadikan pertimbngan digagasnya UU No. 20/2003 tersebut, dua dintaranya
adalah : pertama, bahwa UUD 1945 hasil amandemen keempat mengamanatkan Pemerintah
mengusahakan dan menyelanggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Kedua, bahwa sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai denga tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah dan berkesinambungan.
Sementara itu, tentang pendidikan keagamaan, pada pasal 30 UU No. 20/2003 dinyatakan
sebagai berikut :
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjdi ahli ilmu agama
3. Pendidikan keagamaan dapat didselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non formal dan
informal
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samanera
dan bentuk lain sejenis.
Pro-kontra tidak bisa dihindari ketika RUU Sisdiknas disosialisasikan, sehingga RUU yang
semula akan disahkan sebagai kado Hardiknas (2mei 2003) tertunda. Penundaan semula 20 mei
2003 tertunda lagi, direncanakan 10 juni 2003 tanpa kehadiran FPDIP, selanjutnya diundangkan 8
Juli 2003, khususnya menyangkut pasal 12 yang dinilai sebagai poin yang paling tersorot tajam
dari berbagai kalangan karena menyangkut keyakinan seseorang. Inti pasal yang dipermasalhkan
adalah “etiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. Mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnyadan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Dalam
penjelasan pasal 12 butir a dinyatakan : “pendidik dan atau guru agama yang seagama dengan
peserta didik difasilitasi dan atu disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
kebutuhan satuan pendidikan”.
Selanjutnbya pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa dan
untuk pendidikan dasar dan menengah masih diwajibkan materi lainnya. Yang dimaksud
pendidikan agama, dikemukakan pada penjelasan pasal 37 ayat (1): pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang maha esa serta berakhlak mulia”.
Mereka yang kontra menilai pasal tersebut tidak memperhatikan pluaralitas atau keberagaman.
Menurut Prof. Dr. Purohito, M.Ed (jawa pos, 2 Mei 2003), perdebatan pasal 12 ayat 1 huruf a.
Tentang hak anak didik dalam pendidikan agama, sebenarnya tidak semata-mata pro dan kontra
isi pasal itu sehingga muncul reaksi penolakan. Analisis saya, penyususnan pasal itu mengabaikan
aturan-aturan tentang agama yang sudah berlaku sebelumnya, lanjutnya bahkan ada satu hal yang
membuat masyarakat bingung, yakni pengakuan terhadap pendidikan luar sekolah yang dianggap
setara dengan pendidikan formal. Saya kira, ini baru terjadi di Indonesia.
Sementara yang pro mempertanyakan, apa yang slah dalam pasal itu ? sebenarnaya, merupakan
suatu yang wajar jika peserta didik mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya.
Sekali lagi, apa yang salah ? tuntutan seperti itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Apalagi ketika
mereka yang kontra tersebut menggunakan dalih bahwa pasal itu tidak menghargai pluarilisme,
bahkan bertentangan dengan HAM dan UUD 1945.
Dari deskripsi dan konseptualisasi tersebut ada empat benang merah yang perlu dilemukakan.
Pertama, substansi pendidiklan Islam yang tercermin pada substansi istilah pendidikan agama,
dalam bentuk kurikulum PAI yang diberikan pada setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan baik
disekolah umum, sekolah berciri khas Islam maupun di lembaga pendidikan keagamaan karena
sesuai dengan penegasan UU No. 2 Tahun 1989 atau UU No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan
agama adalah isi kurikulum yang wajib diajarkan di setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan.
Kedua, substansi pendidikan Islam yang tercermin dalam istilah pendidikan berciri khas
Agama Islam. Sebagaiman ditegaskan pada pasal 4 ayat (3) PP Np. 28/1990 tentang penidikan
dasar, bahwa sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang beciri khas agama Islam
yang diselenggarakan oleh departemen Agama Islam yang diselenggarkan Departemen Agama
masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan madrasah Tsanawiyah. Sementara itu Madrasah
Aliyah juga diakui eksitensinya dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 2/1989 dan PP No. 29/1990
tentang pendidikan menegah, yang penaannya diserahkan/ditetapkan oleh Menteri Agama.
Ketiga, substansi pendidikan Islam yang tercermin dalam istilah pendidikan keagamaan (PK)
menunjukan perkembanagn lebih signifikan. Dalam UU No, 2 tahun 1989 sudah ada ketentuan
menyangkut pendidikan keagamaan, tetapi tidak ada PP yang mengatur ketentuan lebih lanjut.
Sedang dalam UU No. 20 tahun 2003 sudah ada ketentuan lebih lanjut setelah diunadngkannya PP
No. 55 tahun 2007 tenntang pendidikan Keagamaan dalam rangka mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yyang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama Islam
bisa berbentuk formal, Pesntren dan sebainya. Kenyataan ini sekaligus menunjukan, bahwa
pengakuan pemerintah terhadap Pendidikan Keagamaan dalam UU No. 20 tahun 003 1989 tidak
jelas, sedang dalam UU No. 20 tahun 2003 menjadi lebih jelas.
Keempat, substansi pendidikan Islam yang tercermin pada substansi rumusan tujuan
pendidikan nasional, yaitu “manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yanag maha esa
dan berbudi pekerti luhur” (UU No. 2 Tahun 1989) atau “manusia yang beriman dan bertakwa
Kepada Tuhan Yng Maha Esa dan beakhlak mulia” (UU No,. 20 tahun 2003), Dalam perspektif
agama-agama bahwa manusia beriman, bertakwa dan berbudi pekerti luhur atau berakhlak mulia
adalah kebyataan yang sejak awal menjadi proyeksi disajikannya pa, karena secara iktiar dapat
dicapai dengan pa, khusunya pai. secara normatif, karena itu adalah kewajiban umat Islam untuk
melakukan regnerasi kadr-kader Islam yang faham terhadap ajaran Islam. secara yuridis, karena
uud 1945 memandang itu bagian dari hak negara. esecara psikologis kebutuhan beragama
(berpendidikan agama) merupakan salah satu dari nbanyak kebutuhan dasar mansia dan secara
sistemaik bertakwa terhadap tuhan ynag maha esa dan berbudi pekeri merupakan tujuan utama
pendidikan Islam dan pendidikan nasional.
BAB III
Penutup

Kesimpulan
Dari kesimpulan antara Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 4 Tahun 1950,
Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan Kebijakan Pendidikan Islam dalam
UU No. 20 Tahun 2003 mengalami perubahan, banyak masalah yang timbul, baik beda pendapat
sampai Idiologi dipertaruhkan, tapi untungnya dari tahun ke tahun atau dari UU ke UU yang lebih
baru dapat membawa kita ke jala yang lebih baik, khususnya Pendidikan Islam itu sendiri.

CATATAN
DAFTAR PUSTAKA
http//www.imammahmudi.ca/138 kebijakan pendidikan Islam dari masa menuju keadilan.html

Samsul Nizar, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (PT.Ciputat Press


Group,2005),172
Soebhar, Abd. Halim, 2012, Kebijakan Pendidikan Islam, Jember: Pena Salsabila.

Anda mungkin juga menyukai