Anda di halaman 1dari 75

Aliet Noorhayati Sutisno, M.

Phil

LOGIKA, CINTA &


PENDIDIKAN
DASAR
Logika, Cinta dan
Pendidikan
Dasar

Aliet Noorhayati Sutisno, M.Phil.

Penerbit: CV. Confident


Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar

Penulis
Aliet Noorhayati Sutisno, M.Phil.
Copyright © 2024 by CV. Confident

Editor
Prof. Drs. M. Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum., Ph.D of Art.

Diterbitkan oleh:

CV. Confident (Anggota IKAPI Jabar)


Jl. Karang Anyar No.17 Jamblang
Kab.Cirebon 45156

Tata letak: Reza Oktiana Akbar


Desain Cover: Tim CV. Confident

Terbit: Januari, 2024


ISBN: 978-623-6834-87-9

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Masyaallah.…tidaklah sesuatu itu


terjadi kecuali Allah SWT sudah
menghendaki. Segala ketetepan berasal
dari Dzat pemilik alam semesta yang
Maha perkasa lagi kuat, apakah itu
menyenangkan atau tidak, yang jelas
tetap menghampiri kita dan tetap harus
kita jalani. Sehingga baik buruk suatu
ketetapan hanya keterbatasan kapasitas
kita saja yang mengkategorikan itu
semua. Adapun kesejatian nilai tetap
menjadi wilayah kekuasaanNya, sekaligus
caraNya menjaga alam semesta tak
terkecuali fikiran kita untuk
senantiasa produktif dan memberi
manfaat meski hanya secuil kulit nan
tipis bagai selaput yang tiada arti
apapun.
Buku yang ada dihadapan pembaca
ini adalah wujud rasa syukur penulis
atas kemahabaikan Allah SWT yang
senantiasa menjamin akal penulis dalam
penjagaan terbaikNya. Tidaklah berharap
dari apa yang telah hadir dihadapan
pembaca ini kelak secuil manfaat
menjadi pemberat timbangan kebaikan
penulis saat sampailah dipembaringan
akhir. Yang melalui pemikiran penulis
ini, pembaca tersadarkan arti penting
logika dan cinta untuk menjalankan
mesin peradaban bagi negeri tercinta
Indonesia di laboratorium negeri
(Pendidikan Dasar, pen).
Tentunya tidak kuasa pula untuk
penulis pastikan nilai baik atau buruk

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | i


dari setiap yang kita lakukan. Bukankah
tidak sedikit kebaikan sesuatu justru
diterima buruk. Dan begitu sebaliknya
keburukan laku kita justru diterima
baik dan bermanfaat. Dengan begitu
hanya kuasaNya saja yang dapat membuat
sampai suatu kebaikan dari keburukan
karya ini atau keburukan dari kebaikan
karya ini kepada pembaca dimanapun
kalian berada.

Salam penulis untuk kebaikan yang


terburuk dan keburukan yang tebaik… :),

Aliet Noorhayati Sutisno, M.Phil

ii | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………… i

Daftar Isi ……………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………… 1

BAB II AWALI DENGAN CINTA …………………… 14

BAB III PENDIDIKAN DASAR, MANUSIA

DAN ILMU PENGETAHUAN ……………… 26

BAB IV TEKNOLOGI PENDIDIKAN DASAR… 47

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 56

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | iii


BAB I
PENDAHULUAN

Berbeda dengan buku saya


sebelumnya, mengawali kajian filsafat
pendidikan dengan mengurai pengertian
filsafat secara bahasa maupun istilah
terlebih dahulu. Kali ini saya akan
mengawali kajian filsafat pendidikan
dengan mengajak pembaca bermain logika.
Bersama-sama melihat raport pendidikan
hari ini melalui premis-premis minor
maupun mayor sebagai representasi out-
put pendidikan hari ini. Premis minor
dan mayor sebagai bahan untuk
mengkonklusi dan memberi sebuah
putusan. Dengan begitu langkah berfikir
shahih telah kita tempuh untuk
menghadirkan sebuah putusan terkait
kaidah berperilaku menjadi pendidik
dasar mendapatkan alasannya. (A.
Sutisno 2015) Semata-mata penulis
mengajak pembaca ‘meriayah’ pendidikan
dasar di satu dasawarsa terakhir ini.
Mengacu hal di atas pertama-tama
penulis akan sajikan data statistik
mengenai jumlah penduduk dan rerata
jumlah peserta pendidikan Sekolah Dasar
(SD) se-Kabupaten Cirebon, sebagai
premis minor dan premis mayor
menganalisis potensi peserta pendidikan
dasar pada suatu daerah. Penulis

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 1


peroleh data wilayah kabupaten Cirebon,
dari situs badan pusat statistik (BPS)
kabupaten Cirebon di tahun terakhir
2023. Di sana penulis dapatkan jumlah
penduduk Kabupaten Cirebon sebesar 2.
189. 785 jiwa, dan untuk jumlah peserta
didik SD sebesar 200.933 jiwa. Dari
angka tersebut dapat kita lihat bahwa
anak-anak dengan kelompok umur SD
merupakan 10% lebih dari jumlah
penduduk. Adapun menurut kelompok umur,
jumlah keseluruhan penduduk dengan umur
kisaran SD berada di angka 308.742
jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa 66%
dari kelompok umur anak SD dipastikan
menempuh pendidikan SD. Sekolah dasar
menjadi satuan pendidikan yang lebih
banyak diminati orang tua untuk anak-
anak mereka menempuh pendidikan dasar.
Berbeda dengan jenjang pendidikan
setelah SD, paling tidak ada saja
penurunan angka anak sekolah dasar
lanjut ke jenjang Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Kebanyakan dari alumni
SD lebih memilih tidak melanjutkan ke
jenjang SMP karena faktor ekonomi.
Selanjutnya analisis data di atas
dapat kita rerata bagi daerah-daerah
lain bahwa 10% dari jumlah penduduk
suatu daerah, dipastikan mengenyam
pendidikan sekolah dasar. Artinya bahwa
jumlah ini yang kemudian tumbuh di tiga

2 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


puluh tahun ke depan dengan warna
“pengulangan” di masa-masa operational
conkcret mereka. Kelak mereka tumbuh
besar menjadi sosok manusia-manusia
dewasa esok hari. Hal ini sebagaimana
Dzakiyah Darajat dalam grand teorinya
mengatakan bahwa penentuan perilaku
manusia di usia 30 tahun berasa di 12th
pertama usianya. (Mawangir 2015).
Dengan begitu pertanyaannya apakah
sumber daya manusia (SDM) ini cukup
hanya sebatas menambah jumlah peserta
didik untuk ruang kelas 3x6 cm semata?
Dengan kata lain mereka tumbuh hanya
sebagai beban pembangunan, atau kelak
10% ini yang kelak akan menyokong
pembangunan moral manusia daerah. Pada
punggung merekalah hakikatnya suatu
daerah berwajah baik ataukah buruk
kelak di 20th mendatang saat mereka di
usia 30th. Mereka merupakan cikal bakal
potensi yang harus kita kawal betul
tumbuh-kembang fikir dan jiwanya,
sebagai bentuk tanggungjawab bersama
dalam merealisasikan cita-cita
pembangunan daerah ke depan. Lebih jauh
jika pendidikan kita sepakati sebagai
dapur peradaban, maka yang 10% ini
tidak lain adalah bahan baku perubahan
itu sendiri.
Sebagaimana Bapak Anies Baswedan
berpandangan bahwa pendidikan merupakan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 3


instrumen rekayasa sosial. Bersamaan
dengan itu rasio satu desa satu lembaga
satuan pendidikan sekolah dasar. Maka
dari sana sebenarnya kita bisa
merencanakan arah pembangunan suatu
daerah. Melalui program satuan
pendidikan dasar, bahan pembangunan
daerah berupa SDM 10% yang terserap di
masing-masing desa ini dapat kita
rekayasa menjadi potensi daerah yang
luar biasa. Sehingga lebih jauh melalui
program satuan pendidikan dasar
seyogyanya kita bisa membenahi kualitas
hidup masyarakat secara sosio, budaya,
hukum bahkan hingga politik. Bagaimana
tidak, berlangsungnya proses pendidikan
dasar yang ditempuh anak-anak selama
kurang lebih setengah dasawarsa lebih
tidak berlangsung kegiatan kecuali
disanalah transformasi nilai-nilai
dipupuk secara terus-menerus. Proses
epistemology pendidikan berlangsung di
sana. (A. Sutisno 2016). Bagaimana
kemudian anak-anak sekolah dasar
tersebut menghabiskan waktu lima hingga
delapan jam setiap harinya di sekolah
tidak lain diberi keleluasaan waktu
untuk memandang, menyimak, mendengar,
mengikuti hingga terpapar apa-pun yang
dilakukan sang suru selama
berlangsungnya kebersamaan mereka di
lingkungan sekolah. Disanalah transaksi

4 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


ikutan terbaik atau terburuk, yang
dengan itu semua lahirlah
kecenderungan, kesukaan, hingga
motivasi baik/buruk peserta pendidikan
dasar. (Chatib 2016)
Dengan begitu hemat penulis menjadi
kebutuhan mendesak para guru untuk
kembali kepada etika/adab pendidik yang
diharapkan sesuai dengan cita-cita
pendidikan. Dengan begitu mempersiapkan
calon guru peserta pendidikan dasar
yang berorientasi pada hakikat makna
pendidikan menjadi alasan lahirnya buku
dihadapan pembaca ini. Mutu pendidik
menjadi langkah awal yang perlu kita
sepakati bersama untuk disiapkan ke
depan dalam rangka mengolah bahan
pembangunan yang nantinya akan menjadi
unsur utama kemajuan suatu daerah.
(Chatib 2016)
Arah pendidikan dengan demikian
menjadi jelas dan cukup pragmatis.
Sehingga harapannya pendidikan tidak
bertele-tela, tidak ngambang, tidak
juga menjadi “lahan basah” bagi
pemangku kepentingan di dalamnya. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan menjadi alat pendisain
generasi, dari mulai mendisain
kecenderungan, minat hingga
mengembangkan kemampuannya. Ujung
tombak baik atau buruk nya generasi

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 5


suatu daerah ada pada mutu pendidik
dasar suatu daerah itu sendiri. Kondisi
baik atau buruk generasi dengan kata
lain menjadi tameng pendidikan suatu
daerah. (Zuhri, Nazmudin, and Asmuni
2022) Beberapa fenomena hari ini
menunjukkan kondisi pendidikan tidak
mengindikasikan kemajuan mutu SDM, baik
dari aspek indeks prestasi manusia
(IPM) terlebih pada aspek moral.
(Hidayat, Ag, and Pd 2019). Sebagai
contoh: meningkatnya kenakalan peserta
didik atas ragam kasus perundungan di
lingkungan sekolah, kasus pembunuhan
remaja (pembunuhan, geng motor, tauran
atau sekedar generasi jalanan yang
menghabiskan lebih banyak waktu di
lampu merah tanpa tujuan yang jelas),
melajunya angka penyimpangan perilaku
sek baik sebagai korban maupun pelaku
(dimulai dari kelompok usia 8 sd 20
tahun), rendahnya nilai UMR sebagai
representasi mutu ketenagakerjaan suatu
daerah, dan terlepas dari faktor
ekonomi menurunnya minat lanjut belajar
sebagai indikasi rendahnya semangat
bersaing serta berkarya. Fenomena
mutakhir dimana pengetahuan terasa
meningkat namun sebatas unjuk
keserakahan manusia sebagai pemangku
ilmu, dengan pencipataan ragam penyakit

6 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


guna membatasi populasi manusia dunia.
(Baiquni 2009) (Supriyono 2019).
Kenyataan di atas tidak lain
menunjukkan keberadaan manusia pada
tingkat pendidikan justru tidak sejalan
dengan cita-cita pendidikan itu
sendiri. Kerusakan sosial, moral,
perilaku bahkan lingkungan. Dan masih
banyak lagi penurunan mutu SDM ditinjau
dari out put pendidikan. Kenyataan ini
merupakan fakta hari ini sekaligus
mempertegas peran pendidik sekarang ini
yang kian buram. Dengan begitu domain
tanggungjawab pendidik tidak bisa
dianggap sepele dalam mengolah
generasi. Akan ada resiko yang begitu
besar jika mutu pendidik dalam
peranannya dinomor-duakan. (Diana Devi
2021).
Kesempatan emas-pun di sini hanya
dimiliki oleh pendidik satuan
pendidikan dasar. Tidak dimiliki oleh
mereka yang menjadi pendidik pada
satuan pendidikan setelahnya. Meski
bukan berarti penulis mengabaikan
pengaruh pendidik di satuan pendidikan
SMP, SMA dan seterusnya. (Cindy Atikah
Dewi and Ilma Fitriana 2023)
Fokus pembahasan pada buku ini
adalah mereka yang menghuni ruang-ruang
belajar di sekolah dasar, dan
pengaruhnya yang cukup potensial dalam

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 7


merubah perilaku peserta didik, baik
karena faktor (pertama) masa lamanya
waktu yang dibutuhkan dalam menempuh
pendidikan SD maupun karena faktor
(kedua) fase peserta didik yang ada
pada fase kanak-kanan awal dan akhir.
Yakni fase efektif dalam merekam,
meniru dan mengikuti. (Estari 2021).
Sehingga tahap permulaan pengalaman
pendidikan formal ini sudah seharusnya
dimaksimalkan. Bersungguh-sungguh dalam
praktik-praktik pendidikan dasar yang
hendak digelar sebisa mungkin memberi
kesan yang tidak hanya menantang bagi
peserta didik namun menyenangkan serta
berorientasi pada pengembangan, tidak
hanya aspek kognisi anak melainkan juga
aspek afeksi/emosi dan spikomotor
peserta didik. Mengingat ketiga aspek
tersebut tumbuh dan berkembang dalam
ruang dan waktu yang secara bersamaan.
Sangat diharapkan ketiga aspek tersebut
mendapatkan porsi yang sama dalam
proses tumbuh dan kembang. (Calam et
al. 2022).
Pendidikan dalam hubungannya dengan
perkara teknik tidak bisa dilepaskan
dari langkah-langkah input-proses-
output. Tahapan aktual tersebut juga
sejalan dengan bangunan ilmu
pengetahuan (Filsafat ilmu, pen) yakni
ontology, epistemology dan axiology.

8 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


(A. N. Sutisno 2019). Selaku pelaku
pendidikan dasar seharusnya mengakar
betul wilayah ontology (objek kajian)
pendidikan. Yakni menyangkut aspek
orientasi awal perkara pendidikan
dasar, sebagai contoh: apa itu
pendidikan dasar di usia 7-13th?
Mengapa dibutuhkan pendidikan anak usia
dasar di kisaran usia 7-13th? Adakah
dampak negatif jika pendidikan anak
usia dasar ditinggalkan? Terlebih jika
pendidik sekolah dasar tidak
bersungguh-sungguh dalam mengemban
amanah?. Pertanyaan-pertanyaan mendasar
seperti tersebut di atas kelak membantu
pendidik dasar mengenali akar motivasi
dalam mengemban amanah pendidik dasar.
Segmen bagaimana pendidikan dasar
bermula serta teori-teori yang
membenarkan pendidikan dasar
diselenggarakan menjadi aspek
pentingnya. Hal ini kemudian ke depan
mampu mengawali pemahaman pendidik
sekolah dasar dasar akan pentingnya
mendidik peserta pendidikan dasar.
Serta bagaimana pengkajian akan ancaman
meninggalkan karena kurang bersungguh-
sungguh dalam mengemban amanah
pendidikan dasar jelas akan menambah
passion pendidik itu sendiri.
Langkah selanjutnya adalah pelaku
pendidikan dasar sebaiknya memahami

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 9


betul wilayah epistemology. Yakni rasio
yang membenarkan dibutuhkannya
pendidikan dasar pada usia kisaran 7-
13th. Yakni menyangkut sumber-sumber
pengetahuan, teori, rasio kelayakan
dari sebuah proses pendidikan dasar di
kisaran usia 7-13th. Sebagai contoh:
Bagaimana karakteristik peserta didik
pendidikan dasar di kisaran usia 7-
13th? Bagaimana cara meng-handle
peserta didik sekolah dasar di kisaran
usia 7-13th? sehingga dengan begitu
pendekatan seperti apa yang dibenarkan
dalam mengawal pembelajaran siswa di
kisaran usia 7-13th selama di
lingkungan sekolah? Sejauhmana pengaruh
pendekatan pembelajaran yang ideal bagi
anak di kisaran usia 7-13th jika
diberlakukan? serta bagaimana pula
dampaknya jika pendidik dengan
pendekatan yang tepat tidak diterapkan?
Teori Pendidikan dasar dengan
begitu melandasi betul aspek kelayakan
suatu bidang study profesi pendidikan
dasar. Segmen ini yang kemudian akan
membekali seorang pendidik pendidikan
dasar secara professional tidak bisa
tergantikan oleh sembarang pihak tanpa
melihat pengalaman historis dan empirik
pada riwayaat pendidikan guru sekolah
dasar. Simpulan ini tak ubahnya
kenyataan yang terjadi pada beberapa

10 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


profesi anggap saja kedokteran.
Disiplin ilmu kedokteran yang
berkembang hingga saat ini menjadi
salah satu disiplin ilmu yang tidak
mengabaikan aspek epistemology-nya.
Sebut saja beberapa matakuliah dengan
tema teori-teori dasar keterampilan
kedokteran mengacu kepada segmen
epistemology ilmu kedokteran, yakni;
teori bio medik, keterampilan klinis
satu hingga 8 taha, menjadi matakuliah
dasar teori kedokteran. Yang dengan
aspek epistemology tersebut menjadi
sebab sarjana kedokteran menganggap
penting langkah mendiagnosa pasien,
guna mengidentifikasi suatu penyakit
serta lebih jauh menentukan penanganan
yang tepat. (Made Wardhana 2016).
Langkah akhir dari tahapan bangunan
ilmu pengetahuan pendidikan dasar
adalah pelaku pendidik seyogyanya
menyadari betul aspek Axiology, yakni
terkait kegunaan, manfaat, nilai atau
value. Aspek nilai atau axiology di
sini maksudnya adalah mengkaji tujuan
mendasar dari diselenggarakannya
pendidikan dasar. Sebagai contoh:
kemana arah tujuan pendidikan dasar
kisaran usia 7-13th? Nilai guna apa
yang hendak dicapai dari
penyelenggaraan pendidikan dasar ini
bagi sosio dan budaya ke depan? Dampak

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 11


serta bahaya apa yang akan mengancam
jika manfaat nilai ini tidak dicapai?
Teori dari bangunan nilai suatu
disiplin ilmu murni menjadi
karakteristik suatu ilmu itu sendiri.
Artinya bahwa tidaklah suatu ilmu
tersebut benar terkecuali melalui
syaratnya yang tidak bebas nilai.
(Suriasumantri, J. S. (1995). Filsafat
ilmu: sebuah pengantar
populer. Indonesia: Pustaka Sinar
Harapan).
Tiga langkah/tahapan di atas
(ontology, epistemology, dan axiology)
merupakan uraian dari trilogi ilmu
pengetahuan Pendidikan dasar (bangunan
ilmu pengetahuan). Trilogi ilmu
pengetahuan atau lebih dikenal dengan
filsafat ilmu merupakan kajian bangunan
suatu ilmu. Hal ini mengingat bahwa
filsafat merupakan induk ilmu. Filsafat
ilmu tidak lain adalah tools yang
berperan dalam memastikan penerapan
suatu ilmu syarat nilai. Kajian
filsafat ilmu pada suatu disiplin
berorientasi pada aspek reliabilitas
dan vadilitas suatu ilmu dalam
kaitannya dengan memenuhi kebutuhan
mendasar manusia atas tantangannya di
kemudian hari.
(Suriasumantri, J. S. (1995). Filsafat

12 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


ilmu: sebuah pengantar populer.
Indonesia: Pustaka Sinar Harapan).
Kajian filsafat pada suatu ilmu
mendorong lahirnya ilmu tidak terlepas
dari akar permasalahannya. Ilmu yang
lahir tidak dari rahim filsafat tidak
jarang dalam pengimplementasiannya akan
mencabik-cabik nilai; tidak ramah
lingkungan atau bahkan tidak juga ramah
kepada manusia ditinjau dari perspektif
manapun. Hal ini dikarenakan ilmu
tersebut tercerabut dari peran
filsafatnya.(Kondratiev 2020). Oleh
sebab itu maksud dari penyusunan buku
dihadapan para pembaca ini salah
satunya adalah ikhtiar penulis dalam
revitalisasi pendekatan filsafat dalam
domain ilmu pengetahuan pendidikan
dasar. Dengan sasaran akhir mengajak
para calon pendidik peserta pendidikan
dasar membekali aspek maknawi.
Mengingat hal terpenting dari suatu
profesi tidak lain ada pada bangunan
pemaknaan suatu profesi tersebut. Tidak
saja kesiapan akal, melainkan juga
dibutuhkan kesiapan mental bagi
pendidik dasar semata-mata sejalan
dengan etika pendidik dasar, sekaligus
diyakini sebagai sababiyah tercapainya
tujuan bersama dari pendidikan dasar.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 13


BAB II
AWALI DENGAN CINTA

Pepatah kuno mengatakan bahwa hidup


tanpa cinta, bagai taman tanpa bunga.
Atau ungkapan lain: bukan cinta, jika
tanpa perjuangan. Dan cinta tidak
datang dengan tiba-tiba, ia merupakan
buah proses pencarian. Begitu pula
nasib kebenaran. Tidak berbeda jauh
dengan cinta, kebenaran sedikitnya
memiliki perjalanan nasib yang sama
dengan eksistensi cinta.
Akar pembahasan pada bab ini
mengenai aspek benar salah serta baik
dan buruk perilaku manusia yang sejalan
dengan hajat mendasar manusia
seutuhnya. Maka sebelum lebih jauh,
baiknya kita sepakati bersama bahwa
suatu tindakan itu dikatakan benar
melainkan sesuatu itu mengandung
kebaikan. Kebaikan mengasosiasi pada
hal-hal positif demikianlah kebenaran
demikian pandangan sokrates terhadap
eksistensi nilai intrinsic pada suatu
ilmu. (Michael Zimmerman, J.; 2019).
Tak terkecuali cinta, cinta memiliki
makna kebaikan positif yang banyak.
Sebagaimana secara makna nya cinta
mengasosiasi pada kegiatan memberi,

14 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


memahami, mengutamakan, menerima dengan
maksud memberi, dan sebagainya.
(Hidayat, Ag, and Pd 2019). Kalaupun
dalam praktiknya sering kali ditemukan
penyimpangan hal itu tidak terlepas
dari penyalahgunaan.
Berkenaan dengan uraian di atas,
kebenaran ilmu pengetahuan hanya akan
tergali jika kita terus mencari dan
memaknai tanpa henti. Kebenaran dengan
kata lain kebaikan yang banyak yang
tidak terkandung kecuali dalam ilmu
pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan
memiliki karakteristik yang khas yakni
syarat nilai. Kebenaran ataupun cinta
merupakan sesuatu yang abstrak namun
semua manusia dipastikan tertuju
kepadanya, sebagaimana dapat kita
pastikan bersama bahwa tidak satupun
manusia kecuali menginginkan kehidupan
yang benah, penerimaan sosial yang
baik, prestasi yang beradab, materi
yang tidak kurang, dan bahkan lebih
jauh dari itu semua adalah budi
perkerti yang luhur dimana dengan itu
semua ia dapat memberikan yang terbaik
untuk semesta. Semua itu dipastikan
menjadi sumber ketentraman yang menjadi
kebutuhan zaman dimanapun dan sampai
kapanpun. Dengan begitu ilmu secara
mutlak bersentuhan langsung dengan
hajat hidup manusia, hal ini karena

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 15


ilmu berbanding lurus dengan keinginan
baik manusia dan semesta. Bukan ilmu
jika ia bertentangan dengan fitrah
manusia. Karena ilmu tidak bebas nilai,
melainkan syarat nilai. (Yasin 2008).
Pencarian makna kebenaran terhadap
hakikat sesungguhnya atas sesuatu
adalah kegiatan cinta pengetahuan.
Tidak kenal henti mencari. Tidak kenal
lelah mencoba. Tidak juga bosan dalam
upaya menghadirkannya. Hingga mampu
menaklukkan yang dicinta. Karena
pecinta berkomitmen mencari yang
dicinta. Kecintaan kepada ilmu melalui
usaha yang sungguh-sungguh dalam
mencari kebenaran/kebaikan, sehingga
melahirkan ‘itikad baik, bijak,
menerima kekurangan maupun hal buruk
dari yang dicinta. Konsep cinta di
sini, bisa juga kita terapkan dalam
kehidupan profesi pendidik. Mengingat
aktifitas pendidik syarat dengan
kegiatan cinta itu sendiri. Bayangkan
saja seorang pendidik menghampiri
peserta didiknya tidak lain hendak:
mengenalkan angka, menuntunnya dalam
baca dan tulis, membantunya mengenalkan
operasi hitung, dan lain-lain. Yang
mana manusia peroleh itu semua tidak
terkecuali bersama seorang pendidik.
Sehingga seorang pendidik sejatinya bak
penolong si-buta. (Buseri 2014).

16 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


Pengimplementasian suatu profesi
didasari cinta bukanlah hal mudah,
namun juga bukan tidak mungkin. Cinta
yang tulus menghendaki kebaikan yang
banyak pada yang dicintai. Sebaliknya
cinta karena materi hanya akan
melahirkan kepura-puraan. Cinta yang
melulu kepada unsur materi hanya akan
menghadirkan karakter pencundang.
Cintailah profesi kita dengan rasa
tanggungjawab, semata-mata karena Allah
SWT telah membuat kita sampai pada
profesi pendidik. Hal itu merupakan
nikmat yang tidak menghampiri semua
manusia. Cinta kepada Ide yang satu
yakni yang hakiki. Melaksanakan
kewajiban tidak akan berbuah
ketentraman jiwa, jika hanya karena
unsur keuntungan pribadi. Cintailah
profesi/pekerjaan dengan menghadirkan
sesuatu dzat metafisik (ide yang satu).
(Kartikowati and Zubaedi 2020).
Pendidikan demikian tidak lain
medan pertarungan cinta. Cinta seorang
pendidik dalam menuntun, mengarahkan
serta menunjukkan jalan yang lebih baik
kepada para peserta didiknya. Kelak
dengan memperjuangkan kasih sayangnya
kepada para peserta didiknya itu
membuahkan kehidupan yang lebih baik
bagi para peserta didiknya itu.
Bagaimana tidak, dalam pendidikan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 17


kegiatan upaya menumbuhkan, membentuk,
pendampingan, membimbing, mencontohkan
hingga mempengaruhi peserta didik
kepada nilai-nilai yang sejalan dengan
cita-cita bersama pendidikan bukanlah
perbuatan sia-sia, melainkan perbuatan
yang mengantarkan kepada banyak
kebaikan yang kelak mengikutinya. Aspek
cinta berperan paling awal sebagai
penopang kegiatan pendidikan; kasih dan
sayang, belas kasih, dan empati
dikarenakan lemahnya kondisi peserta
didik jika tidak segera kita antar
mereka kepada kondisi yang lebih baik,
lebih berpengetahuan. (Chatib 2016).
Sehingga dengan cinta akan
mengantarkan pendidik mampu bertahan
dalam lelah yang bertambah. Inilah
makna ungkapan kuno yang saya sampaikan
di atas. Bukan cinta, jika tanpa
pengorbanan. Pengorbanan di awal
sebagai penderitaan seolah sejumput
harapan yang akan mengantarkan kita
pada kecukupan di akhirnya.
Selanjutnya, pembahasan cinta di
sini juga berkenaan dengan aspek tidak
dibenarkannya seorang guru
menomorduakan peserta didik dari hajat
hidupnya. Rasionalisasi hal ini, kita
mengenal bahwa amanah/tanggungjawab
merupakan pilihan, bukan paksaan.
Dengan begitu tidak ada paksaan untuk

18 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


memasukinya, akan tetapi bagi yang
memilih maka memasuki wilayah
konsekuensi dari tanggungjawab. Masing-
masing amanah memiliki klien. Dimana
klien inilah pihak yang berhak atas
tanggungjawab si penerima amanah.
(Almeera 2019).
Bertindak diluar tanggungjawab
hakikatnya telah mengawali kegiatan
yang merugikan bagi bangsa dan negara
dimulai detik itu hingga 10, 20, 30
tahun kedepan atau bahkan seterusnya.
Sikap tidak bertanggungjawab dari
seorang guru dalam menjalankan Amanah
pendiidkan hakikatnya tidaklah ia
melakukan pendidikan kecuali dalam
kesempatan yang sama dia telah menggali
lubang kenestapaan bagi masyarakat
kedepan bahkan bagi generasi dirinya
sendiri selama-lamanya. Dengan begitu
maka penulis sepakat bahwa tidak jauh
berbeda peran guru dengan peran orang
tua, hingga mengapa ada ungkapan bahwa
“guru adalah orang tua di sekolah”.
Karena mengabaikan peran sama artinya
dengan tidak menjalankan peran.
Aspek cinta menjadi begitu krusial
dan prinsip bagi seorang pendidik.
Karena tanpa cinta dan kelurusan niat
menjadi seorang pendidik, maka akan
dengan mudah seorang pendidik melakukan
penyelewengan hak peserta didik. Dapat

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 19


kita lihat contoh sosok pendidik dengan
modal cinta dan pemaknaan yang
menadalam terhadap peran dan
tanggungjawabnya, sebagaimana dalam
film layar lebar dengan judul “Laskar
Pelangi” sang guru yang bernama
Muslimah yang akrab dipanggil bu Mus
tidak menjalankan pendidikannya kecuali
dengan cinta dan kesungguh-sungguhan.
Tanpa embel-embel materi yang
membuatnya bertahan menjalankan
tugasnya sebagai guru meski dalam
kondisi serba ketidakcukupan. Pemaknaan
yang benar akan arti tanggungjawab
mendidik generasi untuk masa depan
generasi yang lebih baik, bahkan lebih
baik lagi dari kehidupan dirinya saat
itu satu-satunya motivasi yang membuat
guru mampu bertahan dalam letih yang
bertambah. Film yang diambil dari kisah
nyata itu, menunjukkan bahwa bukan di
negeri dongeng dimana ada seorang guru
yang all out menjalankan tugasnya
sebagai seorang guru dengan memagang
perannya sebagai pendidik sekaligus
orang tua kedua setelah kedua ibu bapak
genetik anak-anak didiknya itu.
Sosok bu Mus ini dalam kisah nyata
tersebut lebih memilih hidup mengabdi
melalui lorong waktu pendidikan. Sebuah
pilihan hidup kemuliaan. Motivasi
terhadap kebenaran dan kebaikan begitu

20 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


kuat, sehingga waktu mampu mencetaknya
sebagai pendidik yang kredible dan
malahirkan peserta didik yang mampu
menaklukkan dunia yang menjungjung
tinggi nilai-nilai moral.
Demikianlah seharusnya sosok
pendidik dasar. Mengalah untuk
kemenangan hakiki. Mengorbankan waktu
dan usianya untuk pendidikan. Bahkan
secara sadar menomorduakan hajatnya
demi lahirnya generasi yang lebih kuat
lagi hebat dari dirinya. Bukan mereka
yang egois. Bukan mereka yang senang
mengambil jatah pertemuan peserta didik
demi keluarganya di sana, yang jelas-
jelas mereka telah mengambil peran guru
dengan sangat sadar, yang dengannya
mereka seharusnya berlapang dada
berbuat adil dan tidak mendzolimi pihak
manapun. Bukan mereka yang hanya
berkutat pada menghitung-hitung
kerugian dan menyambut keuntungan,
dimana sikap tersebut tidak
menyisasakan apapun kecuali kegetiran
yang tiada tersisa!
Selama persediaan pendidik dasar
dengan kualitas setenga-setengah maka
dapat saya pastikan tidak akan hadir
bahan bangunan dengan kualitas super.
Mengingat konsekuwensi logis dari peran
pendidik tidak dapat dinomorduakan.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 21


Selanjutnya berdasarkan pemaknaan-
nya sebagai upaya menumbuhkan maka
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama: pendidikan yang disadari,
yakni pendidikan yang direncanakan,
terencana dan terprogram, tertuju pada
penumbuhan nilai-nilai karakter yang
baik. Kedua: pendidikan yang tidak
disadari, tidak terprogram dan
cenderung masa bodoh dengan hasil akhir
nilai karakter yang akan melekat pada
diri anak, yang biasanya macam
pendidikan seperti ini yang berujung
pada tumbuhnya nilai-nilai karakter
yang merusak anak, sepertil: sikap
egois, masa bodoh/tidak peduli, malas,
dll.
Berdasarkan keterangan di atas,
sedikitnya menghendaki lahirnya
pemikiran pendidikan, teori serta
konsep pendidikan terencana, sebagai
format kurikulum yang terprogram dalam
arah dan kebijakan yang
menumbuhkembangkan SDM. Serta kerangka
akademik kependidikan lapangan dan
praktik yang dibutuhkan dalam
menumbuhkembangkan karakter-karakter
SDM yang cenderung membangun.
Berbicara proses pendidikan
manusia, murni tentang memprogram
manusia, fokus pada upaya merekaya
manusia. Maka ruang lingkupnya cukup

22 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


luas, mengacu kepada hampir semua
pengalaman dan pemikiran manusia dalam
kehidupannya. Dari mulai pengalaman
personal, hubungan intrapersonal, nilai
religiusitas, lingkungan, hingga
sosial. Kesemua lini tersebut ikut
memberi sumbangan dalam proses
membentuk karakternya. Dalam pada itu
ruang dan waktu secara masif membentuk
manusia. Cepat ataupun lambat. Disadari
ataupun tidak. Oleh karenanya tidak
berlebihan jika ada ungkapan bahwa
manusia tidak lain merupakan produk
dari ruang dan waktunya. Dengan begitu
saya menganggap penting ruang dan
waktu. Keduanya tidak memberi kecuali
paparan yang berkelindan dalam alam
bawah sadar manusia. Ruang dan waktu
begitu lekang dalam diri manusia.
Manusia boleh berlepas dari orang
tuanya, dari anaknya, atau dari
kekasihnya, namun sekali-kali ia tidak
pernah terlepas dari ruang dan waktu.
Artinya bahwa motivasi pendidikan dapat
kita maksimalkan dalam ruang dan waktu.
Menjadi apapun kita, hakikatnya
memiliki kewajiban untuk tidak
menampakkan apapun kecuali hal yang
baik-baik saja, semata-mata apa yang
nampak dari diri kita kelak itu yang
terpapar di lingkungan dan menjadi
konsumsi manusia lain dilingkungan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 23


dimana kita beredar. Hingga kita tidak
pernah tahu, nilai atau paparan yang
manakah yang kita hasilkan kemudian
melekat pada alam bawah sadar manusia
lain atas diri kita. Kelak itu yang
akan tumbuh dalam benak orang lain atas
kita. Sebagai konsekuensi logis dari
butiran-butiran perilaku kita yang
terserak menjadi paparan atas diri kita
diluar sana dalam hampir setiap ruang
dan waktu kita..
Maka demikian pula menempati posisi
sebagai guru atau pendidik. Seyogyanya
memaksimalkan ruang dan waktu.
Pendidikan tidak lagi harus berdiri
tegak di hadapan peserta didik dalam
ruang kelas yang terbatas oleh tembok
depan belakang dan samping kanan dan
kiri semata, namun selesai itu guru
dengan leluasa melakukan penyelewangan
lain.
Mulailah dengan lebih menampilkan
nilai-nilai yang baik-baik saja,
dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi
apapun. Terlebih nilai-nilai kebaikan
bukan sesuatu yang mahal yang berada
jauh dari hati kita. Nilai-nilai
kebaikan begitu dekat dan melekat
dihati kita, ia merupakan irisan dari
setiap kebutuhan yang menggantung
menjadi harapan hati dan rasa kita.
Kebaikan dengan begitu segala sesuatu

24 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


yang tidak bertentangan dengan hajat
hidup manusia. Kebaikan sudah
semestinya terwujud dalam bentuk
manifestasi karya-karya atas perilaku
saya, anda dan kita semua. Memulainya
tanpa harus menunggu dari siapa yang
layaknya terlebih duhulu mengawalinya..

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 25


BAB III
PENDIDIKAN DASAR, MANUSIA DAN ILMU
PENGETAHUAN

Ilmu pengetahuan yang berkembang


saat ini tidak lain merupakan formulasi
kemampuan sekaligus keterampilan
manusia. Ilmu pengetahuan tidak hadir
begitu saja, ia tidak lain merupakan
inisiaisi dari setiap yang mengelilingi
perjalanan hidup manusia. (Dewi 2021).
Melalui kemampuannya dalam
mengidentifikasi, mengamanati, hingga
mengkongklusi menghendaki lahirnya
pendefinisian dari segala yang muncul
dan menggejala pada diri dan
lingkungannya. Tidak terkecuali ilmu
pendidikan. Ilmu pendidikan hadir
sebagai permulaan daya kritis manusia
memaknai perjalanan hidup manusia yang
menunjukkan perubahan pola perilaku
yang signifikan. Dimana pola perilaku
manusia dari masa ke masa
mengartikulasi bentuk-bentuk
kemampauannya, dari mulai kemampuan
kultur, sosio, fisio, moral, hingga
kemampuannya dalam mengembangkan
interpersonal sampai personal. Hal ini
tentu menjadi daya tarik tersendiri
dalam menghendaki sebuah proses
pertumbuhan yang terencana dengan

26 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


harapan perubahan kemampuan manusia
terkelola secara maksimal dalam setiap
jengkal potensinya. (Ngafifi 2014).
Ada banyak jalan mengelola manusia
menuju perubahannya yang sigifikan.
Akan tetapi kesemua itu hakikatnya
terpusat pada tiga unsur terpenting
manusia, yakni akal, hati dan
fisik/jasad. Manusia tidak terbangun
kecuali dengan tiga unsur penting ini,
yaitu akal, hati dan jasad. Ketiga
unsur ini tidak lain adalah potensi
yang secara pasti mendorong manusia
kepada perubahan yang membangun atau
terpuruk. Ketiga unsur penting ini juga
sekaligus menjadi pembeda antara
manusia dan makhluk Allah SWT lainnya.
(Chatib 2016).
Perjalanan manusia dari zamana ke
zaman yang cukup kompleks melatih
keuletan manusia, kecakapan manusia,
keterampilan dalam menggali kreati-
fitasnya pada segmen usaha/perniagaan,
teknik, administrasi, pertanian,
peternaan, pemerintahan dan tak lain
pendidikan. Berbagai pola perjalanan
hidup manusia, keragamannya membawa
manusia lahir sebagai produk zaman.
Kesemua itu tidak lain karena ketiga
potensi tersebut sebagai pendukung

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 27


utama manusia dalam setiap jengkal
perubahannya. (Dwivedi et al. 2023).
Permulaan peradaban pada batas
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, kini
peradaban telah merambah pada aspek
investasi dan konglomerasi, yakni
memperkaya dan mengumpulkan aset
sebanyak-banyaknya. (Thompson 2005).
Menggali kekayaan bumi hingga sampai
pada batas menyimpan kelak untuk anak
dan cucunya. Meningkatnya ilmu
pengetahuan seolah berbanding lurus
dengan meningkatnya tuntutan gaya
kebutuhan. Padahal di awal peradaban-
nya, pemenuhan kebutuhan manusia hanya
pada sebatas makan dan minum saja.
Fenomena seperti inilah paling tidak
mengabarkan kita fakta perjalanan
manusia, pendidikan, dan ilmu
pengetahuan. Manusia dengan tiga
potensi utamanya akal, hati dan jasad
mampu mangantarnya pada taraf hidup
dari zaman ke zaman kian menunjukkan
inovasinya.
Potensi akal yang kemudian mengarah
pada kemampuan kognitif manusia,
seperti; kemampuan berfikir, memori-
zing, kemampuan logika, kemampuan
pemahaman, verbal non verbal,
kreatifitas dan sebagainya. (Laland and
Seed 2021). Potensi hati yang kemudian

28 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


mengarah pada kemampuan sikap, konsep
diri, kasih sayang (empati/simpati),
perkembangan nilai (etika/perilaku),
serta lebih jauh aspek responsibility
(tanggungjawab/respon). Serta potensi
jasad yang kemudian mengarah kepada
kemampuan fisik, kemampuan merespon/
reflek; keterampilan kerja, motorik
kasar sekaligus halus, ke-luwes-an
dalam bekerja, gerak ekspresi, dan
lain-lain.
Sehingga bagaimanapun ada hubungan
timbal balik yang menunjukkan konsis-
tensi antara manusia, pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Yakni berupa proses
dimana pendidikan menjadi kebutuhan tak
terelakkan bagi kesempurnaan hidup
manusia. Manusia merupakan makhluk
dengan potensi ilmu pengetahuan
menghendaki formulasi pendidikan yang
diharapkan mengantarkan manusia pada
nilai hidup yang lebih baik. Dengan
kata lain manusia selaku subjek
sekaligus objek zaman mendorong
hadirnya pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang sejalan dengan hajat
hidup manusia itu sendiri, tanpa harus
mengurangi value nya selaku pelaku
peradaban. (Dwivedi et al. 2023).
Berkaitan dengan ini maka penulis
menyertakan tiga tokoh filsuf Yunani

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 29


yang pengaruhnya cukup besar dalam ilmu
pendidikan dan ilmu pengetahuan yakni
Sokrates, Plato dan Aristoteles bagi
kerangka hakikat pendidikan dasar.
Sokrates dalam pemikirannya meman-
dang bahwa prinsip dasar pendidikan
menurutnya tidak bisa dilepaskan dari
ketiga unsur penting bagi manusia.
Baginya melalui ketiga unsur penting
tersebut yakni akal, hati dan jasad,
pendidikan tidak lain merupakan
aktifitas dialektis, dialog. (A. N.
Sutisno 2019). Maksud dari dialog di
sini adalah perpaduan antara kemampuan
kognisi, afeksi serta psikomotori.
Sokrates menyoroti ketiga unsur penting
manusia ke dalam prinsip pendidikan ada
pada hakikat dialog. Dialog dimana
kegiatan maknawi yang mengisyaratkan
adanya keterbukaan satu sama lain dari
ketiga unsur tersebut, serta kegiatan
dimana komunikasi yang tidak
mengindikasikan apapun kecuali posisi
aktif dan saling respon antar
ketiganya, akal, hati dan jasad.
Pendidikan baginya merupakan aktivitas
komunikasi, ngobrol, tukar informasi,
share pendapat, saling transfer ide,
ilmu. Dengan begitu konsep Pendidikan
dasar jika mengacu kepada prinsip
pendidikan Sokrates adalah dengan

30 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


memaknai kegiatan pendidikan seyogyanya
tidak dibenarkan jika harus menyimpang
dari prinsip dialog. Sebagai kegiatan
ngobrol pendidikan dasar mengisiasi
kegiatan pembelajran tidak terlalui
sacral, formal apalagi dengan aturan
ketat yang cukup menekan jauh dari
prinsip enjoyment dan menjenuhkan.
Kegiatan belajar yang jauh dari prinsip
ngobrol tentu rawan meninggalkan kesan
negative terhadap bersekolah.
Prinisp dialektis sebagaimana yang
ditawarkan Sokrates tentu mengarah
kepada dimensi pertemanan sepermainan
dengan tetap melibatkan unsur-unsur
pendukung missal alam semesta,
lingkungan setempat, media permainan,
dan lain-lain. Dengan begitu tidak
hanya terpaku pada kelas, guru bagi
murid, melainkan juga merambah kesegala
dimensi kehidupan manusia yang nyata:
dimana saja kepada siapa saja dan
bagaimana saja kondisinya selama
menjadi sebab peserta didik mengalami
perubahan cara pandang, menambah
wawasan, mengembangkan prinsip, hingga
keputusannya untuk bertingkahlaku maka
disanalah hakikat kegiatan belajar
mengajar menjadi dialami langsung bagi
peserta pendidikan dasar.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 31


Lain Sokrates, lain pula Plato.
Plato dalam pemikirannya lebih
menitikberatkan prinsip pendidikan pada
tangan kekuasaan. Hal inilah yang
kemudian menjadikan Plato kini lebih
dikenal sebagai peletak dasar ilmu
politik. Karena ia menyoroti segmen
kekuasaan sebagai cikal bakal baik
buruk, kesejahteraan atau sebaliknya
bagi seseorang sebagai bagian dari
suatu negara. Baginya pendidikan tidak
akan pernah bisa berhasil kecuali
dengan memaksimalkan pola kepemimpinan
yang demokrasi-terpimpin, yakni
kepemimpinan yang berfokus pada fungsi-
fungsi perannya dalam masyarakat. Yakni
konsep penguasa yang ideal dalam
merealisasikan sistem persemakmuran,
tentunya tidak terkecuali perihal

32 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


pendidikan di dalamnya. (A. N. Sutisno
2019).
Bagi Plato bagaimanapun pendidikan
salah satu atribut persemakmuran suatu
negara. Oleh karenanya prinsip
pendidikan bagi Plato sebisa mungkin
tidak terlepas dalam sistem kekuasaan.
Negara dianggap sebagai satu-satunya
penyelenggara kesejahteraan masyarakat
dalam suatu negara. Tidak terhenti pada
ide yang menitikberatkan domain
kekuasaan sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas penyelengaran
pendidikan. Plato juga merumuskan tiga
tahap arah pendidikan dalam suatu
negara; (tahap pertama) dari usia 0
(nol) tahun hingga 20 tahun ia
menitikberatkan pendidikan pada aspek
kepribadian; konsep diri dan
personaliti manusia. (tahap kedua) dari
usia 21 tahun hingga 30 tahun ia
menitikberatkan pendidikan pada aspek
ilmu kemasyarakatan (sosial); mengenali
gejala sosial, perilaku sosial,
identifikasi arah sosial. (tahap
ketiga) dari usia 31 tahun hingga 40
tahun ia metitkberatkan pendidikan pada
aspek leader, kepemimpinan. (Roochnik
2004).
Menurutnya peta jalan pendidikan
tak ubahnya arah persiapan sesuatu; dan
persiapan yang ia maksud adalah

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 33


kelayakan suatu bangsa. Diawali dengan
rekayasa di 20th pertama manusia
didisain pada personality-nya, aspek
konsep diri manusia. Hal ini meliputi
pendidikan dasar tentunya. Melalui
penanaman prinsip dasar seseorang
mengenai asal muasal dirinya, tujuan
keberadaan dirinya, dan posisi orang
lain atas dirinya. Output dari arah ini
mempersiapkan manusia mengenali diri
dan orang lain, memahami kebutuhannya
dan kebutuhan orang lain, memaksimalkan
ranah dirinya untuk orang lain. Pasca
keterbentukan konsep dasar manusia,
arah pendidikan bagi Plato
mempersiapkan 10 th berikutnya. Tepat di
usia ke-30 th pendidikan mengarah pada
konsep membentuk manusia pada ruang
sosialnya. Sehingga setelah
personality/konsep diri terbentuk,
system mendorong seseorang untuk
mengenal kebutuhan orang banyak, dengan
begitu pendidikan mendorong seseorang
dalam praktik mengambil ranah
tanggungjawabnya kepada lingkungan
terdekatnya. Dan di 10 th akhir dari
alur designing man versi Plato saat
seseorang menginjak usia 40th seseorang
dalam kesiapan unjuk gigi. Artinya
negara memberi ruang baginya untuk
bereksistensi di masyarakat. Usia 40-
60th merupakan puncak dari kematangan

34 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


emosional dan pengalaman pendidikan
seseorang. (Herwandha 2020). Disain
pendidikan pada konsep kepemimpinan di
usia 40th capaiannya kepada fase
pemaknaannya terhadap perjalanan
panjang fase kehidupan manusia.
Mengingat usia ini manusia berada pada
titik puncak kematangan secara
emosional, hal ini ditunjukkan pada
tingkat kepedulian kepada dirinya
maupun orang lain sebagai bentuk
merefleksikan dirinya untuk meraih
ketenangan dan ketentraman dengan mudah
merasa puas dan cukup. (Charles 2010).
Semata-mata meraih kebaikan untuk
keberadaan selanjutnya. Hal ini
ditunjukkan dengan keberpihakannya
terhadap orang dalam lingkupnya dengan
sikap yang tidak ambisius. Sikap akuisi
yang demikian mengabarkan mental age
yang bisa diandalkan untuk
terealisasinya kedamaian dan stabilitas
kehidupan manusia pada masyarakat yang
lebih luas. Masa kepemimpinan di usia
produktif-akhir ini jelas memberi
jaminan pengayoman baik skala
interpersonal maupun skala sosial yang
jauh lebih luas.
Mengacu kepada pemikiran Plato
prinsip pendidikan dasar sebagaiamana
keterangan di atas menempati posisi
utama sebagai masa awal pembentukan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 35


value seseorang. Bagaimana kemudian
seseorang dikategorikan mampu atau
mampu melangsungkan rencana pembangunan
suatu negeri, kunci perubahannya ada
pada pendidikan dasar. Di sanalah
laboratorium suatu negara atas
rancangan-rancangan pembangunan
berkelanjutannya manusia di suatu
negeri.

Tahapan pendidikan yang ia rumuskan


bagaimanapun menginisiasi fase
psikology pendidikan. Pendidikan
dibentuk dari fase yang lebih prinsip,

36 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


yakni konsep diri dan personality
seseorang sebagai fase pendidikan
dasar. Sebuah jangkauan persiapan jati
diri manusia yang mendalam dan
mengakar. Disusul kemudian fase sosial,
yakni fase setelah seseorang itu teguh
dalam konsep diri yang mengakar, lantas
seseorang diarahkan untuk mengenali
domain lingkungan sekitarnya. Kemudian
proses pendidikan berakhir pada tujuan
utama harapan negara kepada mereka
yakni eksistensi yang dilengkapi dengan
mutu tanggungjawabnya terhadap dirinya,
lingkungannya serta lebih jauh hajat
bersama. Pendidikan diusia 40th,
penguasa (dalam hal ini pemerintah,
pen) mengkoridori warganya pada
kemampuan leader. Kemampuan memimpin di
sini dipersiapkan negara bagi warganya
sebagai langkah regenerasi pastinya.
Arah Pendidikan-kepemimpinan juga
dipersiapkan kepada warga yang telah
terbentuk kepribadiannya serta wawasan
sosbudnya sekaligus, dengan begitu
tentu menjadi umpan balik dalam

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 37


melanjutkan arah perubahan mind-set
warga dalam project pembangunan negeri.
Yang perlu digarisbawahi dalam
pembahasan ini ada pada kerangka arah
pendidikan dasar. Pendidikan dasar
sebagai fase awal dimulai dan focus
pada pengkajian rekayasa mansuia pada
konsep dirinya. Plato memandang penting
pemahaman seseorang atas hakikat
dirinya (konsep diri. Red), asal usul
dirinya, tujuan kehidupan bagi diirnya
dan orang lain sekaligus, serta lingkup
diluar dirinya tidak lebih jauh yakni
pada memahami kebutuhan pihak lain
diluar dirinya dalam koridor:
memaksimalkan dirinya untuk orang lain.
Saya kira fase pendidikan yang
dirumuskan Plato masih relevan untuk
kita terapkan hari ini. Hal ini juga
sejalan dengan pemikiran sahabat
Rosulallah Saw, Umar bin Al-Khattab
dalam merumuskan pendidikan anak ke
dalam tiga tahapan besar, yakni: (1) 7
tahun pertama jadikan anak sebagai
raja. (2) 7 tahun kedua jadikan anak

38 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


sebagai menteri. (3) 7 tahun ketiga
jadikan ia partner dalam bekerja.
(Bunyamin 1967). Masa produktif dapat
dikatakan merupakan masa matang dari
aspek fisik, dengan begitu fase di 7th
ketiga pendidikan mengantarkan ia
menuju sosok yang matang juga dalam
mental dan psikologynya. Sehingga ia
hadir menjadi pelindung, pengayom
bahkan pemimpin suatu bangsa.
Pandang sahabat dalam pemetaan
potensi peserta pendidikan dasar lagi-
lagi menempati ruang utama dan khusus.
Hal ini menjadi peneguh kita bersama
bahwa pendidikan dasar mendapat
perhatian lebih bagi para pendahulu
peletak dasar pembangunan manusia di
zaman-zaman awal sebelum kita ada.
Kemudian menjadi sangat tidak relevan
tentunya jika kita tidak
mengambilnyanya sebagai konsep
pendidikan bagi kita untuk pembangunan
manusia hari ini. Bagaimana
perkembangan orang sebelum kita pesat
memukau. Pendidikan dasar dengan begitu

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 39


rumus awal yang tidak bisa kita anggap
sepele. Fase awal hidup manusia menjadi
penentu bagi semua aspek, baik aspek
manusia itu sendiri, dan lebih jauh
aspek eksternal yakni dari aspek
wilayah regional atau bahkan aspek
eksistensi suatu negara.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles
lebih dikenal dengan bapak ilmu
pengetahuan. Pemikirannya menjadi
peletak dasar penelitian ilmiah,
laboratorium keilmuan. Melalui
pemikirannya ilmu pengetahuan
mendapatkan tempat dalam berbagai
potensi metamorfosis. Meski berguru
kepada Plato, Aristoteles memiliki
corak prinsip pendidikan lebih ke arah
keberlansungannya originally-
consistancy ilmu pengetahuan itu
sendiri. Pendidikan yang menurutnya
merupakan source of sains memandang
penting kegiatan originally-consistancy
semata-mata upaya stabilisasi
reliability. Baginya yang dapat
menjamin pendidikan itu berlangsung

40 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


adalah prosesnya. (Syahputra 2022).
Dari buah pemikirannya ini maka
Aristoteles telah mengehndaki suatu
proses belajar mengajar yang syarat
eksplorasi, pengamatan, pencarian,
penemuan, penyimpulan, diskusi hingga
pengujian hasil. Sebuah metode
pendekatan pembelajaran yang berbasis
manajeman pendidikan. Karena
bagaimanapun pendidikan merupakan
kegiatan yang berdimensi pertumbuhan
SDM, dengan begitu tidak arif jika
tidak bijaksana dalam proses yang
ditempuh melulu didominasi oleh
pendidik (techear-aktif). Pemikiran
Aristoteles dengan kata lain
menghendaki seorang pendidik yang
bersedia menjadi fasilitator, bukan
seorang aktor maupun pemain utama.
Memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada peserta didik untuk melakukan,
mencoba, mencari, menganalisis,
menguji, menyimpulkan hingga
mempresentasikan hasil dari proses
penemuannya. Dengan begitu maka tidak

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 41


bisa kita pungkiri lagi bahwa hakikat
pendidikan adalah proses penemuan.
Bagaimanapun pendidikan tidak patut
menghendaki proses yang hanya
membuntut, mengekor terlebih hanya
terpaku pada buku dan tulisan semata,
tanpa kesempatan yang luas bagi peserta
didik untuk mengalami langsung.

Ilmu merupakan hasil dari sebuah


proses dimana diawali dari paparan
disekitar kita, kemudian lanjut pada
mengalami tahap internalisasi nilai-
nilai, hingga kepada proses accepted
oleh indera kita, lantas direspon oleh

42 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


akal, hati dan (bisa jadi) jasad kita
dengan suatu sensasi serta berakhir
pada rasa tahu/common sense kita atas
sesuatu. (Emre Yildiz et al. 2022).
Proses internalisasi ilmu pengetahuan
ini terjadi pada fikiran kita dalam
waktu yang relatif sangat singkat dan
diluar kesadaran manusia. Oleh
karenanya berlaku cermatlah atas segala
yang hendak kita lakukan, karena
kesemuanya bermula dari yang terpapar
dilingkungan dan berakhir menjadi rasa
pada dalam diri kita. Bukankah dari
lingkungan yang terserak. Terlepas
apakah sesuatu itu bersifat fisik,
maupun non fisik seperti: fakta sains,
sosial, kultur masyarakat, nilai-nilai
karakter dan lain-lain kesemua yang
menjadi bagian dari pengalaman akan
menjadi bangunan pengetahuan manusia.
Pemikiran Aristotees disepakati
sebagai peletak dasar perkembangan ilmu
pengetahuan masih begitu fenomenal
hingga saat ini. Bagaimana tidak
baginya ujung tombak dari pendidikan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 43


terletak pada prosesnya. Hal ini
mengabarkan kita akan pentingnya
transaksional nilai. Bukan hasil yang
dianggap utama bagi pemikir-pemikir
kelas dunia tersebut. Sebuah ide yang
secara utuh mengajari kita tahapan
usaha. Tanpa mengabaikan langkah awal,
proses menuntun kita untuk melangkah
tahap-tahap penting dimana permulaan
bangunan suatu informasi tidak begitu
saja sekoyong-koyong hadir dengan
sendirinya. Harus melalui tahap-demi
tahapan sofly, karena dengan begitu
perlahan butiran-butiran berharga
berhasil diraup dan diakomodir untuk
kemudian menjadi kumpulan entity yang
membawa seseorang pada entitas
pemahaman terhadap sesuatu. Prinsip
Pendidikan dasar dengan begitu sejalan
jika kita mengacu kembali kepada
prinsip dialektis pendidikan dasar
versi Sokrates. Pendidikan dasar
diharapkan berpedoman pada tahap-tahap
yang softly dan tidak tergesa-gesa
dalam mengenalkan peserta pendidikan

44 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


dasar kepada bangunan artefak.
Mengkondisikan peserta pendidikan dasar
pada aktifitas keseharian dan terlibat
langsung dalam pengamatan, pengumpulan,
pengklasifikasian, penemuan, penyim-
pulan, hingga memastikan kesimpulan/
mengambil sebuah keputusan. Tahapan-
tahapan tersebut tentu terasa lambat
dan sangat menyita waktu. Namun proses
yang demikianlah yang Aristoteles
tawarkan untuk sebuah tulang punggung
hadirnya value of human being.
Ilmu pengetahuan lahir bukan dari
proses singkat dan kilat. Prinsip
Aristoteles memantapkan kita pada
kaidah keilmuan yang panjang dan syarat
proses. Dengan begitu bukan ilmu jika
relative mengabaikan tahapan usaha yang
panjang dan bertele. Diyakini proses
panjang dan tidak tegesa membawa
seseorang menaklukkan medan tersulit
sekalipun. Dan sebaliknya tidaklah
hasil yang mendalam yang akan diperoleh
dari langkah kecil dan mengabaikan
proses yang tartil.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 45


46 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar
BAB IV
TEKNOLOGY PENDIDIKAN DASAR

Berdasarkan penjelasan sebelumnya


bahwa manusia dikaruniai tiga unsur
penting oleh Allah SWT, yakni akal,
hati dan jasad. Maka pembahasan pada
bab ini masih berkaitan dengan
bagaimana menjalankan peran pendidik
atas peserta didik, tanpa mengabaikan
ketiga potensi yang manusia miliki.
Memaksimalkan peran pendidik dalam
mengawal tumbuh kembang potensi manusia
merupakan tujuan dari pembahasan kali
ini.
Mengelola manusia berbeda dengan
mengelola pembukuan, mengelola pen-
jualan produk, dan lainnya. Karena
mengelola manusia adalah mengelola
setiap nilai-nilai yang telah terproses
dalam diri akal dan hati manusia
tersebut. Sebagaimana penjelasan di
awal penulis menyampaikan bahwa secara
teknik pendidikan tidak terlepas dari
input-proses-output. Artinya mengelola
akal dan hati manusia terkait erat
dengan segala yang telah masuk dan
terproses dalam akal dan hati manusia
itu di setiap jengkal ruang dan
waktunya. Mengawal masuknya nilai-nilai

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 47


yang ter-proses dan akhirnya berkembang
dalam akal dan hati manusia jelas bukan
perkara mudah. Sedikitnya membutuhkan
kurun waktu sepuluh tahun dimana nilai-
nilai itu bersarang dalam alam bawah
sadarnya. Sepuluh tahun niscaya bukan
waktu yang singkat. Sepuluh tahun juga
paling tidak menjadi isyarat yang harus
dipegang para pendidik untuk bertahan
dalam lelah yang terus bertambah.
Bahkan untuk sebuah lembaga pendidikan
mereka tidak bisa berhenti pada tahun
kesepuluh untuk mengharap sebuah hasil
dari pendidikan yang terus menerus
masih harus mereka tempuh tanpa henti.
Kegiatan pedidikan secara utuh
merupakan kegiatan pendampingan potensi
manusia menuju tumbuhnya nilai-nilai
membangun pada diri manusia. Terinstal
nilai-nilai pada diri manusia dengan
kata lain adalah memprogram manusia.
Pendidikan dengan begitu sama
artinya dengan merekayasa, men-disain,
mempola akal dan hati untuk kemudian
lahir respon fisik jasad manusia
sebagai reflek yang sejalan dengan arah
pembangunan yang positif. Respon fisik
yang membangun dan manusiawi memiliki
nilai karakter sejalan dengan kebutuhan
zaman. Nilai-nilai yang meng-komunitas
dalam suatu masyarakat, kelak lahir

48 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


masyarakat yang benah. Yakni masyarakat
yang becus. Dan inilah haikat makna
pendidikan yang dicita-citakan pejuang
tanah air kita dahulu. Sebut saja Ki
Hajar Dewantara. Bahwa pendidikan
merupakan instrumen masyarakat dalam
mempersiapkan persediaan segala keper-
luan hidup manusia dalam arti yang
seluas-luasnya. Ki HAJar Dewantara juga
mengasosiasiakan kegiatan pendiidkan
tak ubahnya laboratorium social dalam
rekayasa manusia Indonesia bernilai
kemanusian yang dapat diteruskan dan
diwariskan. (Yuherman 2022).
Secara etimologi pendidikan sendiri
asal kata dari didik yang kemudian
beroleh imbuhan pen-an memiliki makna
proses atau mengandung cara. (Syahrul
2019). Selama kebersamaan dengan
seorang pendidik di lingkungan sekolah
berarti peserta didik Tengah menjalani
proses. Proses di sini bisa jadi
mengandung makna proses pewarnaan,
proses transaksional nilai yakni
aktifitas saling memberi pengaruh
mempengaruhi, hingga peserta didik ter-
pengaruh-i/terdidik. Sejalan dengan hal
ini secara kenyataannya output dari
kata didik tidak berbeda dengan kata
bidik. Kata didik maupun bidik memiliki
makna usaha pengkondisian. Bidik

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 49


sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) menguraikan makna
bidik lebih kepada usaha mengarahkan.
Hanya saja dalam penggunaannya kata
bidik kerap digunakan dalam praktik
menembak-kan pistol kepada sasaran.
Hanya saja secara output dalam
pandangan penulis baik kata bidik
maupun didik memiliki kesamaan maksud.
Artinya baik didik maupun bidik sama-
sama menjadi pilihan dalam mengusahakan
sesuatu melesat sesuai capaian.
Bersamaan dengan itu pendidikan
hakikatnya tak ubahnya kegiatan
menyasar. Layaknya seorang penembak
jitu menghendaki target senapan dengan
usaha mengidentifikasi, memastikan dan
terakhir mengkondisikan. Langkah-
langkah pembidikan ini pada kenyataan-
nya menjadi bagian yang juga tak
terlupakan bagi seorang pendidik kepada
peserta didiknya sebagai teknik
mendidik.
Untuk hasil yang diharapkan,
pendidikan menghendaki sebuah pende-
katan. (Munna and Kalam 2021).
Pendekatan menjadi bagian dari
kebutuhan manusia itu sendiri, yakni
pendekatan kasih sayang, pendekatan
sainstifik, pendekatan relijius,
pendekatan sosio, pendekatan kultur,

50 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


dll. Pendekatan dalam pendidikan tidak
lain adalah upaya memastikan teknis
pewarnaan dan teknis mempengaruhi
peserta didik menjadi efektif dan
efisien. Menjalani proses belajar
mengajar dengan perasaan enjoy,
menyenangkan, tidak terbebani dan pasti
menyenangkan menjadi capaian atas
penerapan pendekatan pendidikan. Hal
ini diupayakan agar proses pendidikan
tidak menjadi sebab respon negatif
siswa lahir sebagai output kesan
negative-nya bersekolah. Kesan negative
bersekolah peserta pendidikan dasar
dibangun atas faktor eksternal,
beberapa diantaranya: aturan ketat
namun kondisi mental peserta belum
begitu siap, pengalaman kontraproduktif
atas kegiatan belajar mengajar dengan
sang guru, hukuman dari guru maupun
lembaga, pengalaman keluarga yang
kurang informatif atas manfaat
bersekolah. Berbagai pengalaman
kontraproduktive sebagai kesan negative
bersekolah atas kegiatan pendidikan,
salah satunya ditunjukkan dengan aksi
mogok sekolah, malas belajar, motivasi
belajar rendah, peserta didik yang
pasive dalam kegiatan belajar mengajar,
dan lain-lain.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 51


Pada kesempatan yang berbeda
pendidikan adalah sebuah pendekatan,
namun dalam pembahasan kali ini penulis
mengemukakan aspek dimana pendidikan
sendiri pada hakikatnya adalah proses
yang menghendaki adanya langkah
pendekatan. Dan sebuah pendekatan dalam
pendidikan merupakan bagian dari
teknology pendidikan. (Agustian and
Salsabila 2021). Langkah pendekatan
dimaksud upaya teknis membantu untuk
terpeliharanya proses pendidikan dengan
harapan kesan menyenangkan bagi para
peserta didiknya menyatu dalam proses
Pendidikan itu sendiri.
Mengingat pendidikan adalah suatu
disiplin ilmu yang tidak bebas nilai.
(Spuck, Hubert, and Lufler 1975).
Artinya bahwa pendidikan itu syarat
nilai, pendidikan mendorong nilai-nilai
kemanusiaan muncul, pendidikan menye-
babkan nilai-nilai kebaikan mengemuka,
dan nilai-nilai ke-adab-an hadir
mensejahterakan manusia. Maka respon
peserta didik dianggap sebagai produk
pengajaran. Respon yang tertuang dalam
suatu kesan negative tentu merepre-
sentasikan usaha pendekatan yang telah
ditempuh guru. Respon peserta didik
dengan begitu menjadi salah satu
pengukur atau indikator atas sejauh

52 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


mana usaha pemastian ditempuh maksimal
atau tidak oleh seorang pendidik.
Proses ini semua diharapakan tidak
bertolak belakang dengan capaian
Pendidikan yang diharapkan bersama.
Perubahan dalam diri peserta didik
adalah sebuah keniscayaan, maka
mengoperasionalkan ini semua membutuh-
kan kecermatan, kesungguh-sungguhan
dimana cara dan teknik sebagai
pendekatannya diupayakan harus seefek-
tif mungkin mampu mengantarkan peserta
pendidikan dasar pada proses yang tidak
tergesa-gesa dan meninggalkan kesan
trauma, dengan begitu hasil yang
optimal mungkin akan didapat sejalan
dengan cita-cita pembangunan.
Mengacu kepada peran akal, hati dan
jasad pada manusia, bahwa akal sebagai
stimulan, hati sebagai filter dan jasad
sebagai mediator. (Schunk 2012). Maka
pendidikan harus menghendaki hadirnya
pendekatan yang mendorong proses
ditempuhnya langkah-langkah ilmiah
secara konsisten dengan tetap berbasis
ketiga potensi yang ada pada manusia.
Misal: pendidikan melalui pendekatan
sains mengoptimalkan semesta alam
sebagai instrumen pembelajaran. Melalui
proses saintifik, peserta pendidikan
dasar dikondisikan pada pencarian,

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 53


pengamatan, pengujian, penyimpulan
hingga proses akhir membahasakan temuan
kepada orang lain. Pendidikan melalui
pendekatan spiritual/filsafat. Pende-
katan ini menghendaki pemaknaan,
penjiwaan dan aspek rasa (afeksi)
menjadi capaian yang secara konsisten
harus ditempuh. Misal: bagaimana fakta
sain setelah penjelasan rasionalitas
ditempuh kemudian peserta pendidikan
dasar kita hadapkan dengan kuasa suatu
Dzat dibalik kekuatan manusia.
Pendidikan melalui pendekatan keteram-
pilan tidak lain merupakan output
bentuk outo (reflek) atas proses
sebelumnya. Keterampilan kerja sese-
orang bisa dikatakan hasil dari
bangunan pengetahuannya. Mengingat
perilaku adalah produk akal. Perilaku
dengan begitu bentuk lain dari
representasi atas temuan dan
perolehannya dari proses Panjang pendi-
dikannya. Sehingga terkadang kelembutan
hati peserta pendidikan dasar harus
melalui proses fisik yang keras dan
melelahkan, untuk lahirnya reflek yang
berkualitas dan nyata sebagai suatu
output dari proses pembelajaran.
Sebagai contoh dengan melibatkan atau
menghadapkan mereka pada permasalahan
nyata yang menuntut fisik mereka

54 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


terlibat langsung. Sehingga disana
peserta pendidikan dasar boleh jadi
merasa di titik terendah sekalipun.
Kondisi saat seseorang berada di titik
terendah ini yang kemudian menurut
versi Aristoteles menjadi sebab
pendidikan ditempuh dalam proses yang
panjang dan tidak tergesa-gesa.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 55


DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Niar, and Unik Hanifah


Salsabila. 2021. ‘Peran Teknologi
Pendidikan Dalam Pembelajaran’.
Islamika 3(1): 123–33.
Almeera, Febrianti. 2019. Saatnya IBU
Menjadi IBU. Cetakan ke. Bandung:
Strong From Home Publishing.
https://www.bukalapak.com/p/hobi-
koleksi/buku/parenting/1h8wzxl-
jual-buku-saatnya-ibu-menjadi-ibu.
Baiquni, M. 2009. ‘Revolusi Industri,
Ledakan Penduduk Dan Masalah
Lingkungan’. Jurnal Sains
&Teknologi Lingkungan 1(1): 38–59.
Bunyamin. 1967. Angewandte Chemie
International Edition, 6(11), 951–
952. Implementasi Strategi
Pembelajaran Nabi Muhammad Saw.
Buseri, Kamrani. 2014. Dasar, Asas
Pendidikan Islam.
Calam, Ahmad et al. 2022. ‘Learning
Character of Early Childhood
Students in Elementary Schools

56 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


Through Utilization of Facilities
and Infrastructure’. Jurnal Obsesi :
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
6(4): 3326–38.
Charles, Susan. 2010. ‘Social and
Emotional Aging’. NLM provides
access to scientific literature.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ar
ticles/PMC3950961/.
Chatib, Munif (pengarang ; Irawati
Subrata (penyunting). 2016. Gurunya
Manusia : Menjadikan Semua Anak
Istimewa Dan Semua Anak Juara. I.
Bandung: Mizan Media Utama.
https://opac.perpusnas.go.id/Detail
Opac.aspx?id=1097578#.
Cindy Atikah Dewi, and Ilma Fitriana.
2023. ‘Implementation of Human
Rights Education To Improve
Character Education in Elementary
School’. International Journal of
Students Education: 1–3.
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/in
dex.php/jupiis/article/view/5167.
Dewi, R. S. 2021. ‘Ilmu Dalam Tinjauan
Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 57
Filsafat ’: CENDEKIA : Jurnal Studi
Keislaman 7(2): 177–83.
Diana Devi, Aulia. 2021. ‘Analisis Mutu
Dan Kualitas Input-Proses-Output
Pendidikan Di MAN 1 Tulang Bawang
Barat’. AL-FAHIM: Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam 3(1): 1–13.
Dwivedi, Yogesh K. et al. 2023. ‘“So
What If ChatGPT Wrote It?”
Multidisciplinary Perspectives on
Opportunities, Challenges and
Implications of Generative
Conversational AI for Research,
Practice and Policy’. International
Journal of Information Management
71(March).
Emre Yildiz, H., Sergey Morgulis-
Yakushev, Ulf Holm, and Mikael
Eriksson. 2022. ‘How Do the Source
and Context of Experiential
Knowledge Affect Firms’ Degree of
Internationalization?’ Journal of
Business Research 153(March 2021):
378–91.
https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2

58 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


022.08.044.
Estari, Aan Whiti. 2021. ‘Pentingnya
Memahami Karakteristik Peserta
Didik Dalam Proses Pembelajaran’.
3(3): 1439–44.
https://jurnal.uns.ac.id/SHES/artic
le/view/56953/33595.
Herwandha, Karenina Graseilia. 2020.
‘Attachment and Age As Predictors
of the Emotional Maturity of
University Students’. KNE
Publishing.
https://knepublishing.com/index.php
/KnE-
Social/article/view/8185/14026.
Hidayat, Rahmat, S Ag, and M Pd. 2019.
Buku Ilmu Pendidikan Teori, Konsep
Dan Aplikasinya.
Kartikowati, Endang, and Zubaedi. 2020.
53 Journal of Chemical Information
and Modeling Pola Pembelajaran 9
Pilar Karakter Pada Anak Usia Dini
Dan Dimensi-Dimensinya.
Kondratiev, KONSTANTIN VLADIMIROVICH.
2020. ‘P h i l o s o p h y a n d i

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 59


t s R e l a t i o n s t o S c i e n
c e a n d H u m a n i t i e s F i l
o s o f í a y s u s r e l a c i o n
e s c o n l a s c i e n c i a s y l
a s h u m a n i d a d e S’. 25(12):
1–9.
https://www.redalyc.org/journal/279
/27965040006/html/.
Laland, Kevin, and Amanda Seed. 2021.
‘Understanding Human Cognitive
Uniqueness’. Annual Review of
Psychology 72: 689–716.
Made Wardhana. 2016. XII Berkala Ilmu
Kedokteran Filsafat Kedokteran.
Vaikuntha International
Publication.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/f
ile_penelitian_1_dir/59e0f0937be2d5
d719389e0d9f9002a7.pdf.
Mawangir, Muh. 2015. ‘Zakiah Daradjat
Dan Pemikirannya Tentang Peran
Pendidikan Islam Dalam KESEHATAN
MENTAL Oleh: Muh. Mawangir 1’.
Jurnal Ilmu Agama Vol. 16 No: 1–15.
Michael Zimmerman, J.;, BenBradley.

60 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


2019. ‘Stanford Encyclopedia of
Philosophy Intrinsic vs . Extrinsic
Value’. : 1–31.
https://plato.stanford.edu/entries/
value-intrinsic-
extrinsic/#pagetopright.
Munna, Afzal Sayed, and Md Abul Kalam.
2021. ‘Teaching and Learning
Process to Enhance Teaching
Effectiveness: Literature Review’.
International Journal of Humanities
and Innovation (IJHI) 4(1): 1–4.
Ngafifi, Muhamad. 2014. ‘Kemajuan
Teknologi Dan Pola Hidup Manusia
Dalam Perspektif Sosial Budaya’.
Jurnal Pembangunan Pendidikan:
Fondasi dan Aplikasi 2(1): 33–47.
Roochnik, David. 2004. ‘The Republic’.
The Classical Review 54(2): 314–15.
Schunk, Dale H. 2012. 71 Space Science
Reviews Learning Theories An
Educational Perspective Sixth
Edition. Six Editio. ed. Paul
Smith. Boston: Library of Congress
Cataloguing in Publication Data.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 61


https://spada.uns.ac.id/pluginfile.
php/84683/mod_resource/content/1/Da
le H. Schunk - Learning Theories_
An Educational Perspective%2C 6th
Edition-Addison Wesley
%282011%29.pdf.
Spuck, Dennis W., Lawrence J. Hubert,
and Henry S. Lufler. 1975. 7
Education and Urban Society An
Introduction to Educational Policy
Research.
Supriyono, M Pd. 2019. ‘Menggagas
Interkoneksi Antar Jalur
Pendidikan: Sinergi Pendidikan
Sekolah Dan Pendidikan Luar Sekolah
Dalam Pembangunan Pendidikan
Nasional’. Researchgate.Net: 45–72.
https://www.researchgate.net/profil
e/Yusuf-
Hanafi/publication/361254321_Wawasa
n_Pendidikan_Indonesia_Perspektif_I
ndonesia_Menggagas_Pendidikan_Masa_
Depan/links/62a6d8a6c660ab61f877f5c
7/Wawasan-Pendidikan-Indonesia-
Perspektif-Indonesia-Menggagas-

62 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


Pendidikan.
Sutisno, Aliet Noorhayati. 2019. Telaah
Filsafat Pendidikan. revisi.
Yogyakarta: K-Media.
https://books.googleusercontent.com
/books/content?req=AKW5Qae1of3v7qzx
w8th4dxdse_ksGqrvP_MoDOhjr2Qo9vb7ca
sejeveqat9zoIHCSCdweDzjSkIOxF5PRNTa
-
0Hmog4QFBEsamIYYjtnwpyCPMMdEcMMFbub
GgiCFqDQjF0Pa4ZnbxGyuHRYQtTRsdYO8CO
dEIz_uLRTsaohk_srq7XgyYRWNLjW5IQjgW
99jRTvUKK.
Sutisno, AN. 2015. Pengantar Logika.
Cirebon: CV Confident.
———. 2016. journal Philosophy of
Education PROCEEDING OF THE
INTERNATIONAL SEMINAR ON PHILOSOPHY
OF Primary Foundation in
Strengthening Pedagogy.
http://jurnal.unma.ac.id/index.php/
RBJ/article/download/782/738.
Syahputra, Akhmad Agung. 2022.
‘Analisis Filsafat: Retorika
Aristoteles Dalam Meningkatkan

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 63


Kemapuan Public Speaking Dan
Relevansinya Pembelajaran’. JIM:
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan
Sejarah 7(1): 15–25.
Syahrul, Munir. 2019. ‘Pendidikan
Pelestarian Lingkungan Dalam
Prespektif Al- Qur’an’. : 1.
Thompson, Ian H. 2005. ‘The Ethics of
Sustainability’. Landscape and
Sustainability: 12–32.
Yasin. 2008. ‘TEORI KEBENARAN DALAM
(HUKUM) ISLAM Studi Kritis
Filsafat, Agama Dan Ilmu
Pengetahuan’. AL-Syir’ah.
https://www.neliti.com/id/publicati
ons/240304/teori-kebenaran-dalam-
hukum-islam-studi-kritis-filsafat-
agama-dan-ilmu-pengetahu.
Yuherman. 2022. ‘KONSEP PENDIDIKAN KI
HAJAR DEWANTARA SEBAGAI RUH SISTEM
PENDIDIKAN INDONESIA DALAM
PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI
BANGSA’. Jurnal Kajian Agama Hukum
dan Pendidikan Islam 3(Sendiksa 3):
9–22.

64 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


http://openjournal.unpam.ac.id/inde
x.php/kahpi/article/view/23305.
Zuhri, Saefudin, Diding Nazmudin, and
Ahmad Asmuni. 2022. ‘Konsepsi
Pendidikan Karakter Menurut Al-
Zarnuji Dan Thomas Lickona’. Al-
Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal
Pendidikan Islam 7(2): 56.

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 65


PROFIL PENULIS

Nama: Aliet Noorhayati


Sutisno, pasca study S2
Ilmu Filsafat mengampu
mata kuliah Filsafat
Pendidikan dan Pendidikan
Lingkungan Hidup Di
Universitas Muhammadiyah Cirebon.
Beberapa karyanya yang sudah dapat
dinikmati masyarakat: Telaah Filsafat
Pendidikan 2016 penerbit K-Media
Yogyakarta, Pengantar Didaktika 2018
penerbit K-Media Yogyakarta, Pendidikan
Karakter Berbasis Lingkungan, Konsep
dan Penerapan Para Edu-Ekowisata 2019
penerbit CV. Confident, Zero Waste
Technology: Pengolahan Sampah Domestik
Melalui Tong Sampah Tanam 2022 penerbit
K-Media Yogyakarta.

66 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


INDEKS

A Aristoteles, 40-46

C Cinta, 14-26

K Ki Hajar Dewantara, 49

L Logika, 1-2

p Pendidikan dasar, 1-8, 21-23, 27-39,

47-55

Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar | 67


GLOSARIUM

Pendidikan dasar : pendidikan pada


tingkat sekolah
dasar bagi anak-
anak usia 7-13
tahun.
Cinta : perasaan kasih
sayang dan kepe-
dulian yang men-
dasari pendidikan.
Logika : cara berpikir yang
benar untuk menarik
kesimpulan tentang
pendidikan.
Aristoteles : filsuf Yunani yang
memandang pendidi-
kan sebagai proses
penemuan yang
panjang.
Ki Hajar Dewantara: pejuang pendidikan
Indonesia yang
memandang pendidi-
dikan sebagai la-
boratorium sosial.

68 | Logika, Cinta dan Pendidikan Dasar


Buku ini mengajak pembaca dalam perjalanan filsafat yang
menyelidiki hubungan yang mendalam antara logika, cinta
dan pendidikan dasar. Dalam era dimana pengetahuan
semakin kompleks dan teknologi terus berkembang, penulis
merangkai konsep-konsep filsafat untuk menggali makna
kehidupan dan pentingnya aspek-aspek kunci dalam
pembentukan manusia.Pertama-tama, penulis membahas
logika sebagai landasan berpikir rasional dan kritis. Bagaimana
logika memandu pemikiran manusia dalam menghadapi
tantangan kompleks di dunia modern, dan bagaimana
penerapan logika ikut terlibat dalam proses menyediakan
maknawi manusia esok hari. Bagaimana logika
bertanggung jawab dalam hal ini memastikan proses
menyiapkan suatu negeri. Ikut membentuk pola pikir yang
lebih bisa dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, buku ini
menjelajahi dimensi cinta sebagai kekuatan pendorong
utama dibalik tindakan mendidik. Penulis merinci peran
cinta dalam pendidikan dasar. Bagaimana kemudian cinta
turut andil dalam hadirnya manusia yang benah lagi becus.
Pendidikan dasar menjadi fokus selanjutnya, dimana penulis
membahas bagaimana logika dan cinta dapat diintegrasikan
dalam terbangunnya sistem pendidikan untuk menciptakan
lingkungan masa depan yang ramah zaman. Buku ini
menyajikan pandangan filosofis terhadap pendidikan dasar,
menyoroti pentingnya mengajarkan keterampilan berpikir
kritis dan nilai-nilai moral dalam balutan cinta bukan tanpa
logika.

ISBN 978-623-6834-87-9

9 786236 834879

Anda mungkin juga menyukai