Anda di halaman 1dari 30

Ahmadiyah

Boleh dibilang ormas-ormas yang menyatakan dirinya bagian dari Islam yang nasibnya tidak
kunjung selesai dan selalu mengalami kontroversi adalah Ahmadiyah. Bahkan hingga saat ini nasib
Ahmadiyah bagaikan buah simalakama; dilematis.
Ahmadiyah menjadi organisasi yang paling kontroversial jika dibandingkan dengan organisasiorganisasi lainnya, khususnya di Indonesia. Di satu sisi, ajarannya sebagai bagian dari agama Islam
dilindungi oleh pemerintah dan dihormati oleh organisasi-organisasi agama lainnya, di pihak lain
ajarannya dilarang diajarkan dan berkembang di bumi pertiwi ini. Lalu sebenarnya bagaimanakah ajaran
Ahmadiyah itu? Sementara di kalangan Ahmadiyah sendiri terpecah menjadi dua kubu, yaitu Ahmadiyah
Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Untuk menjawab hal itu secara obyektif, maka perlu dilihat bagaimana
tentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dari sumber-sumber pengikut-pengikut Ahmadiyah sendiri. Kemudian
dari paparan-paparan tersebut dikritisi untuk menjernihkan perkaranya.
Ahmadiyyah (Urdu: Ahmadiyyah) atau sering pula disebut Ahmadiyah, adalah
jamaah muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil
yang bernama Qadian, Punjab, India. Ia mengaku sebagai Mujaddid, Al-Masih dan Al-Mahdi. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Qodian Internasional. Di Indonesia,
organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri
Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Pada tanggal 13 Februari 1835, di kota Amritsar, ada kuil emas kaum Sikh yang pada
pertengahan tahun 1984 menjadi pusat perhatian dunia. Di sanalah sosok bayi mungil Mirza Ghulam
Ahmad dilahirkan. Kebetulan, pada saat kelahirannya, Andrew Jackson sedang menjadi Presiden
Amerika Serikat. Joseph Smith dua tahun sebelum kelahirannya telah mendirikan gerejaLatter-Day
Saints. Lous Philipe saat itu merupakan pemerintahan monarki dari Prancis. Dua tahun setelah kelahiran
Ahmad, Victoria menjadi Ratu Inggris dalam usia 18 tahun. Dan Chopin sedang mencapai masa kejayaan
dalam karirnya.[1]
Mirza Ghulam Ahmad adalah putera Mirza Ghulam Murtadha. Leluhurnya telah bermigrasi di
tahun 1530 dari Samarkand ke India, sewaktu pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di distrik
Gurdaspur, Punjab, India. Di sini mereka mendirikan kota yang sekarang disebut Qadian, yang aslinya
bernama 'Islam Pur Qadi'. Nama ini diperpendek sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan akhirnya
menjadi Qadian. Keluarganya termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas.[2]Keluarga Mirza Ghulam
Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu Ghulam Ahmad dan keluarganya disebut
Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam Ahmad dikenal orang dengan nama Mirza Ghulam Ahmad.
[3] Mirza Gul Muhammad, nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang keturunan raja Mughol
yang memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Ia juga memiliki lahan yang sangat luas di daerah
Punjab.[4]
Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan pendidikan dasar di desanya sendiri, kemudian di kota Btala
kira-kira 10 mil dari Qadian. Mirza Ghulam Ahmad menempuh pendidikan kelas menengah didaerahnya
juga. Ia belajar gramatika bahasa Arab, ilmu mantiq, dan filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl Ilahi,
Maulavi Fazl Ahmad, dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran dari ayahnya yang
menjadi seorang dokter yang berpenglaman. Selama menempuh masa studinya, Mirza Ghulam Ahmad
adalah seorang murid yang rajin dan gemar membaca buku.[5]
Pada masa remaja, Mirza Ghulam Ahmad atas perintah ayahnya, telah disibukkan dengan
urusan tanah pertanian, suatu hal yang tidak disukainya. Untuk memenuhi kehendak ayahnya pula, Mirza
Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot, dan bertempat tinggal di sana dari tahun 1864
sampai 1868. Selama bertempat tinggal di Sialkot Mirza Ghulam Ahmad banyak terlibat dalam
perdebatan dengan para misionaris Kristen. Setelah itu Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan
pekerjaannya dan kembali ke Qadian serta mulai mengawasi lahan tanah pertanian miliknya. Di samping
pekerjaannya sehari-hari, pada periode ini ia mengisi waktunya untuk merenungkan Al-Qur'an serta
mempelajari tafsir dan hadits.[6]
Mirza Ghulam Ahmad menekankan peningkatan nilai-nilai akhlak dan keruhanian serta
mematuhinya secara ketat dalam segenap lingkup kehidupan. Hasilnya ialah beliau telah berhasil
mengukuhkan suatu komunitas beranggotakan banyak orang yang hidup berdasar petunjuk dan teladan
beliau, mengikuti ajaran Islam selaras dengan fitrah dan kemampuannya masing-masing. Pola dan tradisi
yang beliau terapkan telah menjadi jaringan alamiah dalam diri para anggota komunitas tersebut,
sehingga bisa dikatakan kalau jemaat yang beliau dirikan adalah salah satu oraganisasi yang
mencerminkan tujuan hakiki kehidupan manusia dan cara-cara pencapaiannya.
Tahun 1878 Mirza Ghulam Ahmad membuat tulisan-tulisan sanggahan cemerlang di surat kabarsurat kabar atas serangan-serangan pemikiran yang dilakukan oleh Swami Daynanda Sarasvat, anggota
kelompok hindu Bombay dengan nama Arya Samaj yang didirikan oleh Ram Mohan Roy di Calcutta pada
tahun 1828.[7]
Pada tahun 1880, Mirza Ghulam Ahmad menulis bukunya yagn pertama dengan judulBurahini
Ahmadiyah."[8] Buku ini menjelaskan dengan cemerlang berdasarkan argumen yang kuat terhadap
serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, Kristen, maupun kepercayan lain yang menyerang Islam.
Bai'at dalam Jemaat Ahmadiyah

Setelah pengaruhnya sudah sedemikian besar, kemudian pada tahun 1885 Mirza Ghulam Ahmad
memproklamirkan diri menjadi seorang Mujaddid (versi Lahore), Nabi (versi Qadian). Kemudian pada
tanggal 1 Desember 1888, mengaku telah menerima ilham Ilahi untuk mengambil bai'at dari orangorang. Kemudian, beliau mempersilahkan kepada siapa saja yang ingin atau berminat untuk berbai'at
kepada Mirza Ghulam Ahmad dalam perjuangan Islam. Pada tanggal 12 Januari 1889 mengumumkan 10
syarat untuk bai'at dan kemudian ada sejumlah orang yang berbai'at kepadanya.
Bai'at yang pertama kali diselenggarakan adalah di kota Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889 di
rumah seorang mukhlis bernama Mia Ahmad Jaan. Dan orang yang bai'at pertama kali adalah Hz. Maulvi
Nuruddin ra (yang nantinya menjadi Khalifah pertama Jemaat Ahmadiyah). Pada hari itu kurang lebih 40
orang telah bai'at

1.
2.
3.

4.
5.

6.
7.
8.
9.
10.

Sepuluh Syarat Bai'at


Adapun isi dari 10 bai'at Mirza Ghulam Ahmad itu adalah sebagai berikut:
Orang yang bai'at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam
kubur, senantiasa akan menjauhi syirik.
Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan
muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, huru-hara, pemberontakan; serta tidak akan
dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan sekuat tenaga akan senatiasa mengerjakan shalat tahajjud,
dan mengirimkan shalawat kepada Yang Mulia Rasulullah saw, dan memohon ampun dari kesalahan dan
memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri
dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
Tidak akan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum
Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan atau
dengan cara apapaun juga.
Akan tetap setia terhadap Allah Ta'ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka
atau suka, nikmat dan musibah; pandeknya, akan rela atas putusan Allah. Dan senatiasa akan bersedia
menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari
Allah Ta'ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar akan menjunjung
tinggi perintah al-Quran Suci atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman
baginya dalam setiap langkahnya.
Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut,
berbudi pekerti halus, dan sopan santun.
Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hartanya,
anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin
mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan ni'mat yang dianugerahkan Allah
Ta'ala kepadanya.
Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan al-Masih Mau'ud", semata-mata
karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal ma'ruf dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga
mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan
persahabatan, ataupun ikatan kerja.[9]
Dan selanjutnya, pada tahun 1891 baru Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai alMasih yang dijanjikan. Selain itu Mirza Ghulam Ahmad juga menyatakan bahwa dirinya adalah juga Imam
Mahdi al-Muntazhar yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan perjuangan Islam. [10]
Nama Ahmadiyah diklaim oleh pengikutnya sebagai indikasi kebangkitan kembali agama Islam,
Al-Qur'an dan satu dakwah yang terlahir berdasr bimbingan Ilahi kepada sang pendiri Jemaat
Ahmadiyah. Sebutan Ahamdi atau Ahmadiyah hanyalah sebagai pembeda bagi Muslim Ahmadi dari umat
Muslim lainnya yang masih saja sedang menunggu kedatangan Al-Masih dan Imam Mahdi yang
Dijanjikan. Muslim Ahmadi meyakini bahwa pendiri Jema'at mereka adalah Al-Masih yang Dijanjikan
tersebut.[11]
Sekarang ini, penganut dari hamper semua agama besar di dunia masih sedang menunggu
kedatangan "Al-Mahdi". Apakah pesan dan fungsi dari masing-masing pembaharu itu akan sama dan
identik? Ataukan masing-masing dari mereka membawa pesan sendiri-sendiri yang berbeda dan
bertentangan satu sama lainnya dengan pesan dari para guru akbar tersebut pada saat kedatangan yang
kedua kalinya itu? Jika pesan mereka adalah identik satu sama lain, maka akan diperlukan lebih dari satu
wujud guna menyampaikan pesan dan memberi teladan yang selaras dengan yang dimaksud. Kalau
sampai pesan-pesan itu saling bertentangan, maka kedatangan sekian banyak pembaharu, alih-alih
menciptkan kedamaian, pemenuhan ruhani dan kesatuan, malah hanya akan membuncahkan
permusuhan, perselisihan dan chaos.
Al-Qur'an seperti juga kitab-kitab suci agama lainnya mengandung nubuatan-nubuatan
akbar mengenai kemunculan seorang guru universal dan pembaharu di akhir zaman, yang akan
menghidupkan kembali dan memperbaharui keimanan kepada Tuhan serta membawa persatuan,
kedamaian dan kepuasan ruhani. Umat Muslim seperti juga umat Kristiani, sama sedang menunggu
kembalinya Al-Masih dan juga turunnya Imam Mahdi. Umat Buddha juga sedang mengharapkan
kedatangan kembali Buddha, sedangkan umat Hindu menunggu kembalinya Krishna. Semua nubuatan
itu terpenuhkan dalam kedatangan satu orang. Karena Tuhan itu Maha Esa, maka kebenaran tidak bisa

terbagi dan petunjuk bagi umat manusia serta penawar dari segala penyakit zaman, tentunya juga harus
berbentuk satu, komprehensif dan konsisten.
Mirza Ghulam Ahmad mulai mengakui menerima wahyu Ilahi sejak usia muda. Dakwahnya
menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud dilakukan di akhir tahun 1890 dan
dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad langsung mendapat tantangan luas.
Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Mahdi bagi umat
Muslim, sebagai Khrisna sebagai bagi umat Hindu, dan sebagainya. Jelasnya, Mirza Ghulam Ahmad
adalah Nabi yang Dijanjikan bagi masing-masing bangsa dan ditugaskan untuk menyatukan umat
manusia di bawah bendera satu agama. Muhammad saw, Nabi Suci umat Islam adalah seorang Nabi
yang membawa ajaran yang bersifat universal dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri
sebagai Al-Masih yang Dijanjikan, juga menyatakan dirinya tunduk danmenjadi refleksi dari Muhammad,
Sang Khatam al-Nabiyyin.
Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, beliau menjelaskan:
"Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara
hamba dan Khaliknya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepda Allah dan
dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai
fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah
dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian
yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi dan melalui kehidupanku sendiri,
manifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia, namun hanya bisa nyata melalui doa
dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang
telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kotoran pemikiran polytheistik."[12]
Menuyusul wafatnya pada thaun 1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti beliau
sebagai Khalifah. Sistem khilafah merupakah rahmat Ilahi yang turun setelah seorang Nabi dan
meneguhkan solidaritas, kohesi, dan persatuan di antara para mukminin. Sosok khalifah merupakan
pimpinan keruhanian dan adminstratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat
Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat tahun 2002 adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad (1928-2003) yang
berkedudukan di London dan terpilih sebagai Khalifah keempat pada tahun 1982. Pada tahun 2003
terpilih Khalifah V, yaitu Mirza Maroor Ahmad Atba.
Dengan bimbingan Khalifah, Jemaat ini selalu berusaha berada di barisan terdepan dalam
khidmat (pelayanan) dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sudah sekolah-sekolah, klinik dan rumah
sakit yang didirikan di berbagai negeri. Dalam rumah-rumah sakit tersebut, mereka yang papa dan miskin
dirawat secara gratis. Pada saat-saat bencana alam di seluruh dunia, Jemaat ini selalu membantu secara
sukarela untuk menolong mereka yang terkena, baik secara finansial atau pun fisikal, tanpa membedakan
agama, warna kulit, ataupun bangsa. Jemaat ini juga telah memiliki jaringan televisi global yang bernama
MTA International yang mengudara duapuluh empat jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan
ini diberikan tanpa memungut biaya.
Dunia ini yang telah demikian banyak menyaksikan tragedi seabad terakhir dan yang sekarang
juga masih belum lepas dari kungkungannya, sesungguhnya sedang berada di tepi jurang malapetaka
yang pasti tiba sebagai ganjaran dari keserakahan, sikap mementingkan diri sendiri, prasangka dan
terutama sekali karena ketiadaaan keadilan yang absolut dan hakiki. Hazrat Ghulam Ahmad telah
memberikan petunjuk bagi manusia akhri zaman ini tentang bagaimana berperilaku di tengah komuntas
dunia guna mencapai kedamaian dan keharmonisan. Ia berujar:
"Nasihatku kepda kalian adalah agar kalian ini menjadi teladan dalam semua kebaikan. Jangan sampai
kalian malas dalam melaksanakan kewajiban kalian kepada Tuhan dan jangan juga mengabaikan
kewajiban kalian kepada sesama manusia."[13]
Dari tempat terpencil di Qadian, sekarang Jemaat ini telah menyebar ke lebih dari 170 negara di
dunia dan populasinya sudah demikian banyak di mana sebanyak 80 juta manusia telah bai'at dalam
Jemaat pada tahun 2002.
Jemaat Islam Ahmadiyah meyakini dirinya sebagai perwujudan dari Islam hakiki. Fungsinya
adalah untuk mempersatukan menusia dengan sang Khalik dan menciptakan kedamaian, baik di tingkat
individual maupun kolektif.
Tujuan Pendirian
Menurut pendirinya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk
menghidupkan Islam dan menegakkan Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut
pendirinya tersebut adalah untuk pembaharuan terhadap moral umat Islam dan nilai-nilai spiritual.
Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para pengikut
Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima. Gerakan Ahmadiyah
mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki
kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih
dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan sebenar-benarnya percaya dan
bertindak berdasarkan ajaran Al-Quran, "Tidak ada paksaan dalam agama"[14] serta menolak kekerasan
dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun.
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan internasional yang telah tersebar
ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi
keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar
di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di
seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al-

Qur'an kedalam bahasa-bahasa besar di dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al-Qur'an
kedalam 100 bahasa di dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan alQur'an dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda, dan Jawa.

1.
2.
3.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Ahmadiyah Qadian dan Lahore


Setelah pendiri gerakan Ahmadiyah wafat pada tanggal 26 Mei 1908, gerakan ini dipimpin oleh
Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai Maulavi Hakim Nuddin. Setelah ia wafat pada tanggal 13 Maret
1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri
gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang krusial dan
mendasar. Sang putra Mirza Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan fatwa:
Mirza Ghulam Ahmad itu betul-betul Nabi.
Mirza Ghulam Ahmad ialah sosok Ahmad yang diramalkan dalam al-Qur'an surat al-Shaffat ayat 6.[15]
Semua orang Islam yang tidak berbai'at kepadanya, sekalipun tidak pernah mendengar nama Mirza
Ghulam Ahmad, hukumnya kafir dan keluar dari agama Islam.[16]
Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. Mereka yang
setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian India,
tetapi setelah Pakistan merdeka dari India, Ahmadiyah Qadiyan hijrah berpusat di Rabwah.
Perkembangannya sampai sekarang. Sang Khalifah berkedudukan di Inggris Raya dan Ahmadiyah
Qadiyan menyebut dirinya Jama'ah Ahmadiyah.[17]
Di Indonesia, Ahmadiyah Qadiyan ini dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia(berpusat
di Bogor, yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang Mujaddid (pembaharu) dan seorang Nabi.
Sedangkan mereka yang tak sepaham dengan pendapat putra Mirza Ghulam Ahmad bergabung
dalam satu wadah yang bernama Ahmadiyah Anjuman Isy'ari Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran
Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore. Maulana Muhammad Ali yang
menjabat sebagai sekretaris Mirza Ghulam Ahmad tidak menyetujui pendapat putra gurunya dan hijrah
ke Lahore. Khawaja Kamaluddin, Maulana Sadruddin dan anggota-anggota senior Ahmadiyah yang lain
membentuk Ahmadiyah tandingan tersebut dengan tujuan untuk mengembalikan Ahmadiyah
kepada akidah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang telah diamanahkan oleh sang pendiri.[18]
Sedangkan di Indonesia, Ahmadiyah Lahore ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi, melainkan hanya sekedar Mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dan Hadis, dan
percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan Ahlu as-Sunnah wa
al-Jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang terakhir.
Nabi Muhammad saw adalah khatam al nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi
lama maupun nabi baru.
Sesudah Nabi Muhammad saw, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat), satu kata saja kepada seseorang,
maka akan bertentangan dengan ayat: walkin raslillhi wa khtamun nabiyyn,[19] dan berarti
membuka pintu Khatam al-Nubuwwat.
Sesudah Nabi Muhammad saw, silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilahwahyu
walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, bahwa di dalam umat ini tetap akan datangauliya Allah,
para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadis, mujaddid akan tetap ada dan
kepercayaan Ahmadiyah Lahore bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai
mujaddid.
Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu
orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah syahadah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia
bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi
Muhammad saw.
Meskipun demikian, secara umum keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah Isa al-Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad saw.
Sejarah Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib, yakni suatu pesantren di Sumatera Barat, meninggalkan
negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abu Bakar Ayyub, (alm)Ahmad Nuruddin, dan
(alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir karena saat itu Kairo terkenal sebagai
Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi keIndia karena negara tersebut mulai
menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan
bertemu dengan Anjuman Isy'ari Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa
waktu di sana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian dan
setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat Khalifatul
Masih II ra, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk

belajar diMadrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran di
sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama
kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agarHadhrat Khalifatul
Masih II ra berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud, juru bicara para pelajar
Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II ra. Ia meyakinkan
bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke
Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT yang datang dari Qadian, India, dikirim sebagai
muballigh ke Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul
Masih II ra berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali
HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek
dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat
Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali
HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat,
hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua
pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih
kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan.
Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau
merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas
sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk
negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan
Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar
radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang
lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting, sehingga Soekarno,
Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau
untuk dedikasi beliau kepada negara. Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan
legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum
oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik,
meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujungujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban.
Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas
Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang Khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di
tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu
iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera.
Di awal era 70-an, melalui Rabithah Alam al-Islami semakin menjadi-jadi, para ulama Indonesia
mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al-Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non
muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya,
banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak
Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan
Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika
Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan
bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis
Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara
terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju
Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik
Indonesia,Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.[20]
Ahmadiyah Lahore
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,
[21] datang
ke
Yogyakarta. Minhadjurrahman
Djojosoegito,
seorang
sekretaris
di
organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13
Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah".
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran
paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad
adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua
pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
Dalam dakwahnya di Indonesia, banyak kaum cendekiawan muslim yang tertarik mengenai
faham-faham pemikiran Islam yang dijelaskan oleh Mirza Wali Ahmad Baigh. Bahkan HOS Tjokroaminoto
segera menerjemahkan buku karya Maulana Muhammad Ali yang berjudulDa'wah alAmal menjadi Pengajakan Bekerja. Melalui HOS Tjokroaminoto inilah pemikiran-pemikiran mengenai
keindahan Islam yang dipaparkan gerakan Ahmadiyah sedikit demi sedikit dikenal oleh masyarakat luas.
Hal ini dapat dimaklumi karena HOS Tjokroaminoto mempunyai banyak murid yang terpelajar dan di
antara muridnya adalah Soekarno yang juga mengagumi pemikiran-pemikiran Ahmadiyah.
[22] Sebagaimana halnya dengan putra pendiri organisasi Muhammadiyah, Jumhan Ahmad Dahlan telah
dikirim ke India untuk mempelajari secara langsung mengenai pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam
dari Ahmadiyah yang telah dikenal di Indonesia.

Dakwah gerakan Ahmadiyah ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap
pembentukan persepsi Islam secara modern dalam gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam
wacana Ahmadiyah bukan merupakan Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di
sini Islam dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok dengan masyarkat modern.
Di samping Ahmadiyah Lahore, sebenarnya Ahmadiyah Qadiyan pun ikut berkembang, tetapi
lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib,
Padang Panjang. Jika Ahmadiyah Lahore bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka
Qadiyan lebih banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat
oleh mubaligh-mubaligh muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga berbeda. Jika Ahmadiyah
Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional, maka Ahmadiyah Qadiyan lebih
mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka pembentukan masyarakat ethis (ethical community).
Selain itu, Ahmadiyah Qadiyan lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada
umumnya, walaupun bercorak teologi daripada fiqih.[23]
Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 300 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali. NTB, dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan,
Jawa Barat dan Lombok telah diserang massa (2002/2003 dan 2006) karena dianggap mengandung
ajaran sesat.
Status di Berbagai Negara
Pakistan
Di Pakistan, parlemen telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim. Pada
tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun
Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku sebagai agama
tersendiri di luar Islam.
Indonesia
Dalam satu rapat pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Bogor, September 2005,
memutuskan untuk menolak memberi label "sesat dan menyesatkan" untuk komunitas Ahmadiyah, dan
menyatkan NU akan mengakomodasi semua komunitas agama di Indonesia.[24]Kalangan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) mendukung fatwa NU tentang Ahmadiyah ini. LSM berdalih bahwa apa
yang diyakini kaum Ahmadiyah adalah suatu ekspresi dari kebebasan beragama yang dijamin oleh
Negara Keatuan Republik Indonesia.[25]
Di pihak lain, dalam Musyawarah Nasional ke-2 di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
menetapkan Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam dan merupakan aliran yang sesat dan
menyesatkan semenjak tahun 1980.[26] pada tahun 1984, terbit surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji, Depag RI yang berisikan penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan
menodai agama. Surat Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan
bahwa Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan Negara. Pada tahun 2001, Bupati Lombok
Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Setahun kemudian, Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan
seminar di Masjid Al-Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena
penodaan akidah. Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI yang antara lain
dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah
Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati
Kuningan, Jawa Barat, karena di Kuningan telah tumbuh subur komunitas Ahmadiyah di Manis Lor.
Kemudian, pada awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai kesesatan
Ahmadiyah. Ikut andil dalam menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah ini adalah majalah Sabili.[27]Kemudian,
pada tahun 2005, MUI mengeluarkan ketegasan fatwanya lagi tentang aliran Ahamadiyah yang di luar
Islam dan sebagai sekte yang sesat menyesatkan.
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri pada tahun 1978 telah mengeluarkan
Undang-undang melalui keputusan Menteri Agama mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara
lain menyatakan agar umat beragama menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat
beragama, supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira, saling
menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan interagama yang sama (antara
pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa pancasila.
Malaysia
Di Malaysia Ahmadiyah telah lama dilarang.
Brunei Darussalam
Sebagaimana di Malaysia, di Brunei Darussalam pun status terlarang ditetapkan untuk
Ahmadiyah.
Kontroversi Ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari
ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yaitu Isa Al-Masih dan
Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi

Muhammad saw sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu kedatangan Isa Al-Masih dan Imam
Mahdi.[28]
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah
menganggap bahwa Isa Al-Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah
dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa AlMasih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah
perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an saja.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan
tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia(Ahmadiyah
Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah menurut pengikutnya
Pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak
laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini
oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang
luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat
agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik,
serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik
kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas. Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima
wahyu Ilahi sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat
kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di
antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya
menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud (Al-Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan
dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya
seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw, langsung mendapat tentangan luas. Sebelum menyatakan
dirinya sebagai Masih Mau'ud, Allah Swt telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu
bahwa:
Aku
akan
membawa
pesanmu
sampai
ke
ujung-ujung
dunia.
Mirza Ghulam Ahmad
Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang
telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai
Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu,
dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah "Nabi Yang Dijanjikan" bagi masing-masing bangsa, dan
ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok
Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai Al-Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya
tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya
wujud Masih Mau'ud, ia menjelaskan:
Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di
antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah.
Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama,
sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang
telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan
keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku
sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata
melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang
suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik.
. Mirza Ghulam Ahmad
Menyusul wafatnya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908, para Muslim Ahmadi memilih
seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok Khalifah merupakan pimpinan keruhanian dan administratif
dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat ini
(2007) adalah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang berkedudukan di London, dan terpilih sebagai
Khalifah kelima. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara dan cermat mengamati budaya dan
masyarakat lainnya.
Dengan bimbingan seorang Khalifah, Jemaat Ahmadiyah berada di barisan terdepan dalam
khidmat dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan
di berbagai negeri, dimana mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Saat terjadi bencana
alam, Jemaat Ahmadiyah membantu secara sukarela secara finansial ataupun fisik tanpa membedakan
agama, warna kulit atau pun bangsa. Jemaat Ahmadiyah telah memiliki jaringan televisi global yang
bernama "MTA (Muslim Television Ahmadiyya) International", yang mengudara dua puluh empat jam
sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya. Jemaat Ahmadiyah
telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya diperkirakan sudah mencapai 80 juta
manusia yang telah berbai'at ke dalam Jemaat pada tahun 2001.
Media elektronik

Salah satu media elektronik milik Ahmadiyah yang terbesar adalah televisi. Mereka telah
membuat satu televisi yang mereka namai MTA, yaitu Moslem Television Ahmadiyya. Proyek ini dirintis
oleh Khalifah Ahmadiyah yang ke-empat, Mirza Tahir Ahmad
Ajaran Teologi Ahmadiyah
Ada beberapa teologi Ahmdiyah yang barangkali bagi orang-orang yang menganggap Ahmadiyah
itu merupakan aliran sesat oleh sebagian kalangan. Namun dalam pembahasan teologi kali ini yang
barangkali tidak sedikit yang pulan mengenalnya secara mendalam. Karena itu, dalam hal ini kita akan
mencoba kajian teologi Ahmadiyah agak sedikit mendalam.
Dan setelah memahami teologi yang satu ini setidaknya akan memberikan wawasan tersendiri
yang sangat terhormat bahwa dalam Ahmadiyah ada hal-hal yang barangkali orang belum
mendalaminya. Sehinga ia mendpatkan pencaerahan baru.
1. Asma Allah
Ism (nama) pada hakikatnya hanyalah milik Allah. Selain dari-Nya tidak suatu ism pun. Sebab,
tatkal suatu benda tercipta, maka timbullah namanya. Akan tetapi, setelah nama itu terbentuk, setiap
detik perbuhan yang terjadi pada dzatnya justru menafikan nama tersebut, kecuali nama-nama anugerah
yang berkaitan dengan Allah. Nama yang tidak membutuhkan perubahan itu merupakan nama yang
mengalir dan hidup.
Sebaliknya, nama yang dikenal selama ini etrdiri dari dua macam. Pertama, nama yang
kosongdan tidak mengandungmakna. Hal itu meruopakan nama yang jamid (statis), suatu nama yang
mati. Ia itdak berhak disebut nama sebab definisi kedua dari nama adalah sesuatu yang menidentifikasi
suatu benda. Jika di dalam nama itu tidak terdapat kemampuan untuk memberikan identifikasi, maka hal
itu bukanlah sebuah nama. Oleh karena itu, asma (namanama) dengan sendirinya akan kelaur dari daftar
defines tersebut. Nama sifat yang di dalamnya tidak ada kaitan dengan sifat-sifat Allah, secara konstan
tidak akan pas bagi makhluk. Contoh, jika seseorang karena kearifan dan kebijaksanaannya yagn tinggi,
dia disebut dan terkenal dengan hakim (orang yang bijak), maka tatkala dia mencapai usia tua-renta, dari
hari ke hari arif dan bijaksananya akan semakin berkurang dan berkurang. Jadi, nama tersebut tidak
memadai lagi untuk menandakan sifat-sifatnya itu.[29]
Asma Allah itu azali dan abadi, sedangkan seluruh perkara waktu adalah berkaitan dengan
makhluk-makhluk (wujud yang diciptakan). Zaman, pada zatnya atau waktu pada zatnya, tidaklah
memiliki makna. Ia merupakan sebuah sifat yang trkandung di dalam suatu penciptaan, berkaitan dengan
makhluk, yang mengndung makna berbeda dalam hubungannya dengan setiap makhluk. [30]
Allah telah mengajarkan nama-nama kepada Adam. Pengajaran itu menunjukkan berbagai
perkara.
Salah
satu
di antaranya
adalah Allah
Swt. Telah
mengajarkan
kalimat
melaluimusammiyat (ism/nama-nama). Dan yang dimaksud musammiyat adalah perkara-perkara dalam
kehidupan manusia yang pengungkapannnya dapat dilakukan melalui isyarat, tidak perduli apakah
itu fi'il (pekerjaan) atau pun nama-nama makhluk. Sedangkan perkara kedua adalah pengajran kepada
Adam melalui bahasa Arab yang telah diajarkan hakikat dan sifat potensi-potensi yang terpendam di
dalam setiap benda.[31]
Waktu tidak terdapat pada Allah karena di dalam Dzat-Nya tidak ada perubahan. Sesuatu yang di
dalam dzatnya terjadi perubahan, mutlak padanya terdapat unsure waktu. Sedangkan segenap makhluk
yang ada, kesemuanya itu tengah berjalan dalam suatu proses perubahan. Tdiak ada suatu benda pun
yang terlah diciptakan dan terlahir lalu dia tetap berada dalam kondisi diam (statis). Hanya ada dua
kemungkinan pada suatu benda, benda itu sedang mengalami perkembangan atau menjalani degradasi
(kemunduran). Benda itu berkembang kea rah kehidupan atau semakin condong kea rah kematian.
Dalam satu waktu yang sama Allah Swt. Berperan sebagai Wujud yang menghidupkan dan
sekaligus Wujud yang mematikan. Dan tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Tuhan itu dalam aktu
tertentu merupakan Wujud yang menghidupakan lalu pada waktu yang lain Dia merupakan Wujud yang
mematikan. Justru secara berpautan kedua sifat-Nya itu beraksi bersamaan. Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur'an, "Setiap waktu Dia berada dalam kesibukkan."[32]
Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi
reseki dan lain-lain. Sifat-sifat-Nya menampakkan berbagai manifestasi. Dan tidak hanya berhenti pada
suatu manifestasi saja. Sebab, jika Dia berhenti maka suatu Dzat Yang Mahakuasa wujud-Nya akan
punah.

"Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai
isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu. (yang memiliki sifat-sifat
yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka
sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha
Mengetahui. Sesungguhnya Telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka barangsiapa
melihat (kebenaran itu), Maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (Tidak melihat
kebenaran itu), Maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan Aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah
pemelihara(mu)."[33]

Bada'a adalah proses penciptaan awal yang sebelumnya tidak terwujud apa pun.
Sedangkan khalq adalah proses penciptaan di mana terjadi atau direkayasa perubahan-perubahan
menakjubkan dalam skala yang rinci sehingga mulai bermunculan bentuk-ebntuk baru. Contohnya,
bahan-bahan kimia. Dengan meramu bahkan kimia atau dengan merekayasanya; dengan berubah
formulanya, maka akan tercipta produk-produk baru. Dan ada satu cabang ilmu khusus yang berkaitan
dengan hal itu, yaitu syhthetic chemistry. Yakni menciptakan suatu produk baru yang belum ada seblunya
namun penciptaan itu bersal dari bahan-bahan kimia lainnya yang sudah ada. Bukan penciptaan dari
Sesutu yang belum pernah ada sama sekali. Untuk hal ini kata bada'atidaklah tepat, tetapi
kata khalq sangat tepat baginya.[34] Allah tidak berawal dan tidak memiliki akhir, di dalam Dzat-Nya
tidak ada perubahan dan terlepas dari waktu. Dan ketika Allah Swt. Mengadakan penciptaan, maka dari
sisi makhluk akan timbul ketentuan waktu, akan tetpai pada Dzat-Nya tidak terjadi perubahan.
2. Konsep Wahyu
Di kalangan aliran Ahmadiyah, panangn terhadap konsep wahyu tidak terjadi banyak perbdaan
antara Qadian dan Lahore. Masalh wahyu ini masih parales dengan konsep kenabian, Imam Mahdi, dan
Masih Mau'ud serta sosok controversial Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Menurut Ahmadiyah Qadian,
wahyu adalah lafadz Allah Swt. yang disampaikan kepada para penerimaannya dan bukan merupakan
inspirasi yang kemudian diucapkan dengan kalmat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan menurut
Ahmadiyah Lahore, dalam hal ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, bahw wahy didefiisikan
sebagai isyarat yan cepat. Wahyu itu sendiri merupakan sabda yang masuk ked lam kalbu para Nabi dan
orang-orang tulus ikhlas. Lebh lanjut dia mengatakan bahwa wahyu Allah Swt. tidak hanya diturunkan
kepada para Nabi saja, akan tetapi diberikan pada seluruh manusia bahwak kepada semua makhluk
ciptaan Allah Swt. seperti bainatang, tumbuhan, dan yang alinnnya, namun proses transmisi wahyu
tergantung ke dalam konteks di mana spesies penerima wahyu itu berada.lebih lanjut Maulana
Muhammad Ali mengungkapkan bahwa di dalm AlpQur'an disebutkan ada lima macam wahyu: pertama,
wahyu yang diturunkan kepada makhluk yang tidak bernyawa seperti bumi dan langit [35]. Kedua, wahyu
yang diturnkan kepada binatang. [36] Ketiga, wahyu yan diturunkan kepada malaikat.[37]Keempati,
wahyu yang diturunkan kepda manusia biasa.[38] Dan kelima, wahyu yang diturunkan kepada para Nabi
dan Rasul.[39] Bentuk dari kelima wahu itu bermacam-macam bergantung pada siapa yang meneirma
wayhu tersebut.
Aliran Ahmadiyah meyekini bahwa Ghulam Ahmadd (Al-Mahdi dan Masih Mau'd) menerima
wahyu dari Allah Swt., namun wahyu yan diterima dan disampaikan oleh Ghulam Ahmad berfungsi
sebagai interpretasi Al-Qur'an bukan teks yagn menyamai Al-Qur'an itu sediri. Ahmadiyah sendiri
meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan satusatunya kitab suci yang dapat memperbaiki dan
memperbaharui berbagai macam kerusakan yang ada, tetapi tidak dapat berjalan denagn mulus tanpa
ada tuntunan dari Allah Swt. dan tuntunan itu dating salah satunya melalui Ahmadiyah. Sebenarnya
Ghulam Ahmad sendiri mengakui bahw petunjuk yang diterimanya hanyalah ilham, tetapi oleh para
pengikutnya kemudian dinyatakan sebgai wahyu. Dalam kasus tersebut, Ghulam Ahmad sendir tidak
menyalahkan pengikutnya bahwakan memberikan pembenaran, sehingga di kalngan Ahmadiyah
akhirnya banyak menggunakan istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah, wahy tasyir', wahyu ghair
tasyri', wahyu walayah, wahyu matluw, wahyu ghair matlum, dan sebagainya.
Menurut Ahmadiyah, kalam Allah Swt. dating dalam beragam muatan dan varian pesan, di
antaranya masalah syariat dan hokum, tradisi dan wejangan, nasihat-nasihat serta kewajiban dan
acaman. Wahyu akan turun terus-menerus hingga hari kiamat tiba, sebab menurut pandangn Ahmadiyah
bahwa komnukasi Tuhan degnan manusia terjadi melalui wahyu. Merekan menyandarkan argumentasi
tersebut pada QS. Al-Syra [42]: 51. atas dasar tersebut, Ahmadiyah meyakini bahw proses tansmisi
wahyu dari Allah wt. terjadi melalui berbagai macam cara di antaranya, pertma, wahyu dating langsung
berupa kalam yang diilhamkan langsung ke dalam kalbu para Nabi dan orang-orang tulus. Hal ini
merupakan bentuk isyarat yang ceapt seperti yang diberikan kepada para pengikut Nabi Isa a.s. dan Ibu
Muas a.s. Kedua, di belakang tirai. Jenis wahyu trsebut ada tiga macam, yaitu mimpi yagn baik
(mubasyarah) berupa petunjuk Allah Swt. yang diterima seseroang dalam keadaan setengah tidur,
petunjuk Ilahi yang diterima seseorang dalm keadan sadar dan melihat dengan mata ruhani (kasyaf) and
petunjuk Ilahi yang dating kepada seseorang dalam keadaan sadar dan mendengar dengan telinga
rohani (ilham). Danketiga, wahyu turun melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang
diterima oleh para Nabi melalui malaikat Jibril.
Wahyu jenis pertama dan kedua merupakan tingkatan proses pewahyuan yang paling rendah
dan akn tetap terbuka selama-lamanya, dalam pengertian bahwa wahyu jenis tersbeut akan datng dan
diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu tersebtu akan diturunkan kepada orang-orang tulus yan diangkat
ke derajat kenabian, tetapi yang menjadi catatan adalah bahwa orang-orang tersebut mempunyai
kelebihan yang tidak dimiliki ornag pada umumnya. Kelebihan tersebut adalah "indra rohani." Indra ini
akan melihat, mendengar, dan meraskan sesuatu yang tidka akan didegnar, dilihat, dan dirasakn orang
lain kecuali ygn mengalaminya. Wahyu seperti ini disebutwahu ghair matluw ( wahyu yang tidak
dibacakan dan diucapkan) atau wahyu khafy (wahyu batin). Sementara wahyu jenis ketiga hanya
diberikan kepada para Nabi dan tertutup setelah berakhirnya masa kenabian Nabi Muhammad Saw.,
Karen beliau penutup para Nabi. Wahyu jenis ini disebutwahyu nubuwwah (wahyu kenabian atau wahyu
matluw (wahyu yang dibacakan dan diucapkan). Sementara itu, menurut Nazir Ahmad bahw wahyu
terputus sesudah Nabi Muhammad saw. adalahwahyu tasyri' bukan wahyu mutlak, yang dapat diterima
oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan kepada para Nabi.

Sementara Khalifah AHmadiyah, Bashiruddin Ahmad emngaktan bahw pewahyuan itu akan terus
terbuka meskipun tidak ada syari'at yang diturnkan, tetapi para Nabi yang diutus hnaya mengungkapkan
kekayaan yang terkandugn dalm Al-Qur'an yan masih tersebmbuni. Lebih lanjut Khalifah II mengatakan,
bukan hanya wahyu yang kami percaya akan terus terbuka selama-lamanya, melainkan wilayah kenabian
pun akan terus terbuka. Melihat argumentasi di atas tidak terjadi banyak perbedaan mengenai wahyu
antara Qadian dan Lahore, hanya saja alrian Qadian meyakini bahwa bukan hanya wahyu yang akan
tetap datang dan terbuka, tetapi kenabian pun akn terus berlangsung. Titik permasalahan yang
kontroversial dalm hal ini adalah bahw aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagi Al-Masih dan AlMahdi yang diangkat oleh Allah Swt. melalui ilham yang diterimanya, kemudian ia dianggap sebagai Nabi,
karena dianggap sebagai duplikat Nabi Isa a.s., sehingga mereka meyakini bahwa proses penerimaan
wahyu terjadi pda Ghulam Ahmad.
Secarasubstnsial tidak terdapat perbedaan di antara kedua aliran tersebut, hanya term-term
tertentu yang membedakan keduanya dalam masalah tersebut.
Sebagian pendapat yang selama ini banyak mengkritisi negative terhadap Ahmadiyah mengaktan
bahwa liaran Qadian meyakini wahyu yng ditunkan Allah Swt. kepada manusia berjumlah lima, yaitu:
Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur'an, dan Tadzkirah yang diturunkan kepada Ghulam Ahmad.
Namun demikin, sejak pembacaan dan pengkajian terhadap sumber-sumber primer yang ada,
keterangn tentang hal tersebut tidak ditemukan. Terkaitdegnan konsep wayu, yang membedakan antar
Ahmadiyah degnan umat Islam selama ini adalh terletak pada pendefinisian wahyu dan ilham. Amadiyah
meyakini bahwa wahyu dan ilham itu sama, sementr kelompok "mayoritas" membedakannya. Menurut
pemahaman yang berkembang pada mayoritas umat Islam saat ini adalah antar wahyu dan ilham itu
berbeda. Wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan Rasul, sementar ilham diturnkan kepada
manusia biasa dan derajat di antara keduanya asngat berbeda. Dalam hal ini memang terjadi perbedaan
mendasar pada wilayah epistemology antara Ahmadiyah dan umat Islam pada umumnya. [40]
3. Syariat Jihad
Kita semua mendengar dalam alam reformasi saat ini banyak teriakan Jihad! Jihad! dari
empat penjuru. Tetapi jihad macam apa sesungguhnya yang diajarkan Al-Quran Karim?
Jihad terhadap orang-orang kafir dengan Al-Quran merupakan jihad besar.[41] Di sini kita
dituntut untuk menampilkan akhlak mulia dengan contoh teladan dari Rasulullah Saw. Penyebaran Islam
dengan senjata atau paksaan tidak diperkenankan. Kebebasan beragama amat dijunjung tinggi dalam
Islam.[42] Jadi, setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak kebenaran berdasarkan
keterangan. Perintah berperang dengan senjata diizinkan jika mereka-mereka yang berdaulat, berkuasa
dan membawa nama agama datang untuk memerangi orang Islam serta memaksa orang dengan
kekerasan agar meninggalkan agama Islam. Dalam keadaan berperang pun telah diperintahkan agar
jangan melampaui batas.[43] Jika musuh berhenti memerangi dan menghendaki perdamaian, maka
peperangan harus dihentikan.[44] Allah memerintahkan berperang tidak untuk memusnahkan agama
lain, bahkan untuk melindungi berbagai agama. [45] Ayat ini menerangkan dengan kata-kata yang tegas,
bahwa perang agama dapat dibenarkan jika suatu bangsa atau negara atau pemerintahan melarang
orang mengatakanRabbunallah Tuhan kami hanyalah Allah,[46] memaksa orang-orang agar keluar
dari Islam, atau mencegah dengan kekerasan agar orang tidak menerima Islam, atau membunuhi orang
karena beragama Islam. Jadi, kepada bangsa/Negara yang seperti itu jihad dengan senjata dapat
dilakukan. Jika peperangan terjadi antarbangsa, antarsuku, atau antarkelompok, peperangan yang
demikian hanya peperangan biasa dengan dimensi politik, alasan keamanan, mempertahankan diri dan
sebagainya. Peperangan yang demikian bukanlah peperangan atas nama Tuhan (agama).
Singkat kata, Jemaat Ahmadiyah tidak mengingkari jihad, melainkan menentang salah pengertian
tentang jihad. Kesalahpahaman konsep jihad mengakibatkan Islam sangat menderita. Perang dan
pertikaian di dunia Islam sering terjadi. Sesungguhnya jihaad kabir (besar) hanya dapat dilakukan dengan
perantaraan Al-Quran, bukan dengan senjata atau kekerasan. Jihaddengan senjata hanya dapat
dilakukan jika syarat-syarat yang ditentukan oleh Al-Quran serta contoh-contoh dari Rasulullah Saw.
telah terpenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, maka jihaddengan menggunakan senjata tidak
diperlukan lagi.[47]
4. Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad Tentang Jihad
Selain itu, jihad erat hubungannya dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Pendiri
Jemaat Ahmadiyah mengemukakan bahwa pada suatu masa negeri Punjab di Hindustan, ketika di bawah
kekuasaan dan pemerintahan kaum Sikh, keadaan yang amat memilukan terjadi menimpa umat Islam.
Hz. Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
Kaum muslimin belum lagi lupa akan masa-masa kekuasaan Sikh, ketika mereka disiksa dalam
tungku api dan tidak hanya 74 materinya yang musnah, bahkan agamanya dalam keadaan amat
buruknya. Sulit bagi mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, sampai suatu ketika
seorang muslim dibunuh karena mengucapkan adzan. (Pengumuman, 10 Juli 1900)1[48]
Selanjutnya dalam literatur Sikh disebutkan:
Rupanya kaum Sikh ini terdorong oleh rasa benci terhadap kaum muslimin, wanita dan anakanak dibantai tanpa ampun, kampung halaman dimusnahkan, perempuan-perempuan dicabuli dan
beribu-ribu mesjid dihancurkan. (Encyclopaedia of Sikh Literature, hlm. 1127)[49]

Ketika kerajaan Inggris menguasai Hindustan dan mengambil alih kekuasaan Sikh, pada tanggal
1 November 1854 di Allahabad, pemerintahan Inggris atas nama Ratu Victoria memberi kebebasan bagi
setiap penduduk untuk meyakini dan menjalankan ibadahnya masing-masing dengan rasa aman dan
berdasarkan hukum berhak memperoleh perlindungan serta keamanan yang setara tanpa kecuali. Beliau
menjelaskan sebagai berikut:
Masalah kedua yang telah saya tegaskan adalah mengenai ajaran Jihad yang telah disalahpahamkan oleh sebagian orang Islam yang tidak tahu. Tuhan telah memberi tahu saya, bahwa
perbuatan-perbuatan yang dianggap jihad, sama sekali kontroversial dengan ajaran Al-Quran. Jelas, AlQuran mengizinkan kaum muslimin untuk berperang dengan cara-cara yang rasional daripada cara-cara
peperangan Musa dan lebih elok daripada cara-cara peperangan Yoshua, putra Nuh. Asal muasalnya
adalah dari kenyataan bahwa orang-orang yang telah mengangkat pedang kepada kaum muslimin tanpa
alasan benar, membunuh dan berbuat sangat aniaya, mereka patut dihukum dengan pedang. Tetapi
hukuman tidak sekeras apa yang dikenakan kepada musuh pada peperangan Musa. Seseorang yang
memeluk Islam atau setuju untuk membayar pajak kepala, ia dibebaskan dari hukuman, dan cara ini
adalah sesuai dengan hukum alam. Pendeknya, pada zaman Rasulullah Saw. dasar jihad Islam adalah
bahwa Tuhan telah murka kepada orang-orang zalim. Akan tetapi hidup di bawah kekuasaan suatu
pemerintahan yang baik seperti pemerintahan Ratu kita, kalau membuat rancana jahat terhadapnya, itu
namanya bukan jihad tetapi suatu gagasan biadab yang lahir dari kejahilan. Berbuat jahat terhadap suatu
pemerintah yang memberi kebebasan hidup dan keamanan penuh, dan kewajiban agama pun dapat
ditunaikan sepenuhnya, adalah suatu tindakan kriminal, bukan jihadWalhasil, Tuhan Maha Besar telah
menempatkan saya dalam ketentuan bahwa ketulusan, taat dan berterima kasih harus ditampakkan
kepada suatu pemerintah yang baik seperti umpamanya pemerintah Inggris. Saya dan jemaat terikat oleh
ketentuan ini. Saya telah menulis buku dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu tentang masalah ini, dan telah
membeberkannya dengan terperinci bagaimana kaum muslimin di India Inggris berkehidupan tentram
dalam pemerintahan Inggris, dan bagaimana mereka dapat menyebarkan agama dengan bebas dan
menunaikan kewajiban agama tanpa hambatan apa pun, betapa keliru dan jahat jadinya kalau
mempunyai gagasan jihad terhadap pemerintah yang beberkah dan cinta damai ini. (Tuhfah Qaisariyyah,
hlm. 9-10)[50]
Jadi, menurut Imam Mahdi/Masih Mauud a.s. dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasarnya
melakukan jihad dengan senjata kepada pihak yang berdaulat di anak benua India, [51]karena tidak
terdapatnya syarat-syarat untuk ber-jihad pada masa dan situasi ketika itu.
Kenyataan sejarah Islam juga membuktikan, bahwa Rasulullah Saw. pada tahun 628 M telah
mengirimkan utusan-utusan yang membawa surat seruan kepada raja-raja, kaisar-kaisar dan penguasapenguasa untuk mengikuti beliau Saw. dan menerima Islam, di antaranya Heraklius (Romawi), Negus
atau Najasyi (Abessinia),[52] Kisra (Persia), Muqauqis (Mesir), Raja Bahrain, Penguasa Oman dan
Yamama, Harith al-Ghassani (Syam) serta Harith al-Himyari (Yaman). Mengutip Haekal dalam
buku Sejarah Hidup Muhammad, terdapat suatu riwayat ketika perlawanan terhadap kaum muslimin di
Mekkah semakin menjadi-jadi, Rasulullah Saw. menyarankan agar mereka mengungsi dengan cara
berpencar. Mereka bertanya ke mana sebaiknya harus pergi, kemudian Nabi Muhammad Saw.
memerintahkan umat Islam agar pergi hijrah[53] ke Abessinia karena di sana diperintah oleh Negus,
seorang Raja Abessinia (Ethiopia) yang beragama Kristen, yang memiliki toleransi dan keadilan.
[54] Beliau Saw. bersabda:
Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur;
sampai nanti Allah menentukan jalan buat kita semua.[55]
Dari sejarah Islam dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, meskipun Abessinia adalah
negeri Kristen, sama seperti Inggris yang merupakan negeri Kristen, namun RasulullahSasw.
menyebutnya sebagai negeri yang jujur dan diperintah oleh seorang raja Kristen yang baik serta tidak
menganiaya penduduknya, dan dalam konteks seperti inilah kemudian Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s.
juga mengatakan hal yang sama kepada negeri Inggris yang saat itu diperintah oleh Ratu Victoria. Pendiri
Jemaat Ahmadiyah selanjutnya mengemukakan tentang jihaddengan senjata kepada pemerintah Inggris
sebagai berikut:
Tak diragukan bahwa alasan ber-jihad tidak ada di negeri ini pada waktu sekarang. Karena itu,
muslimin negeri ini dilarang atas nama agama memerangi dan membunuh mereka-mereka yang menolak
hukum Islam. Tuhan Maha Besar dengan jelas melarang jihad dengan pedang dalam suasana aman
tenteram. (Tuhfah Golarwiyah, asy-Syirkah al-Islamiyah, Rabwah, hlm. 82)[56]
Barangkali, itulah tanggapan pembelaan Ahmadiyah mengenai tuduhan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad itu adalah bonekanya Inggris yang dapat dikendalikan oleh Inggris. Dengan kata lain, tercetusnya
aliran Ahmadiyah yang digawangi oleh Mirza Ghulam Ahmad itu adalah atas suruhan Inggris.
Dari kronologis munculnya makna jihad yang dilatarbelakangi oleh sosio kultur-histori pendirian
Ahmadiyah oleh Mirza Ghulam Ahmad, akhirnya dalam perkembangan berikutnya Amadiyah mencoba
merumuskan makna jihad di atas yang tidak lepas dari pendapat pendirinya, Mirza Ghulam Amad.
Bagi Amadiyah, jihad didefinisikan sebai tindakan mencurahkan segala macam kesanggupan,
kemampuan, dan kekuatan yang dimiliki dalam menghadapi pertempuran, menyamapikan pesan
kebenaran, ataupun mengerhakan seluruh adya kemampuan dalam menghadapi suatu urusan atau
dengan kata lain jihad adalah tidak menahan apa pun, menerhkan segala daya dengan memaksakan diri

dalm mencapai suatu tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh Ahmadiyah, menyatakan bahwa
sekitar 40 ayat dalam Al-Qur'an yang terkait dengan masalh jihad dan semuanya emngnadung
pengertian berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras. Dalam pandangan jihad menurut Al-Qur'an
adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridhai Allah Swt.
Tindakan mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamkn jihad, dalam Al-Qur'an istilah yang tepat
sering disebut qital.
Ahmadiyan mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori, yaitu pertama, Jihad Shagiradalah
perjuangan membela agama, nusa, dan banga dengan memeprgunakan senjata terhadap musuh-musuh
yang menggunakan kekerasakan dan senjata dengantujuan memusnahkan agama, nusa, dan bangsa.
Ahmadiyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad dengna senjata untuk membela agama sudah tidka
diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada sorang atau pihak yang mempergunakan senjata untuk
membela dan mengembangkan agama. Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah
nilainya. Kedua, Jihad Kabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalils atau
keterangan, baik liasn maupun tulisan untuk menyebarluaskan ajaran Al-Qur'an kepada kaum kafir dan
musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan oleh Ahmadiyah saat ini. Ketiga, Jihad
Akbar adalah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu amarah sendiri, jihad yang
ketiga ini merupakan bentuk jihad paling berat, karena menghadapi setan dan hawa nafsu akan terus
dilakukan setiap saat. Jihad dalam bentuk ini dialukan setiap saat sama seperti ketika kita terus
melakukan aktivitas. Hanya usahaya dan doa sebagai jalan untuk memohon pertolongan Allah Swt.
secara terus menerus dan juga dengan menjalnkan shalat. Kategori jihad ini sangt tergantung pada faktro
darisifat manusia itu sendiri dalam menerjemahkan hawa nafsunya dalm akitivitas prksis sehai-hainya.
Khlifah II Ahmadiyah Bashirudin Mahmud Ahmad menyimpulkan baha banyak orang yang
mempunyai pemahaman keliru tentang AHmadiyah terkait dengan permasalahan jihad. Menurut
pandangannya dan kemudian menjadi paham Ahmadiyah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua
macam, yaitu, petama, perang jihad dan kdua, perang lumrah. Perang jihad adalah perang yagn terjadi
karean dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh yang dihadapi
adalh sekelompok orang atau pihak yagn mencoba membeinasakan dan melakukantidnakan kekeasaan
dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk melepaskan
kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yan menjadimainstream dalam peperangan tersebut adalah
perang agama atau perang suci (holy war). Khalifah II ini lebih lanjut menjelaskan, bahw jika seandainya
peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi seperti di atas, mak wajib bagi setiap kaum
muslimin untuk berjihad, tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi dalam perang jihad tersebut, di
antaranya adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan menginstruksikan kepada
umatnya bahw siapa asja yang berhak mengikuti perang jihad dan siapa yang harus menunggu
gilirannya, karena hal ini akan mempermudah koordinasidan konsolidasi di antara umat Islam. Khlifah II
mengatakan bahwa barng siapa yagn pada gilirannya harus turun ke medan jihad dan tidak
melaksanakannya, maka menjadi dosa baginya.
Ahmadiyah memandang bahwa saat ini banyak roang yang telah tergelincir pada "lubang hitam"
atau kesalahpahaman dalam memahami konsep jihad Ahmadiyah, dalm arti bahwa mereka menganggap
Ahmadiyah telah mengingkari jihad. Sebenarnaya, Ahmadiyah sendiri tidak mengingkari jihad, hanya saja
menentang kesalalahpahaman terhadap interpretasi makna jihad yng selalu diartkan dengan mengangkat
senjata, sehinga karena pemaaman yagn salah tersebut, umat Islam menderita dewasa ini.
Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, bahwa isu Ahmdiyah yang tidak mempunyai syariat
jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk berjihad ketika pemerintah Inggris melakukan penjajahan
serta berkuasa di India dan Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang,
bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiyah yang pada waktu itu tidak melakukan jihad
dengan senjata melawan Inggirs. Hal yang muncul ke permukaan adalah bahwa faktor politik mendorong
Ahmadiyah untuk bersikap seperti itu. Gerakan Ahmadiyah pada waktu itu telah melakukan kompromi
dan kesepakatan plitik dengan Inggris. Ahmadiyah telah melakukan perjanjian perdamaian dan
mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggirs di India dan Pakistan. Sebagai imbalannya, mereka
meminta dukungan dan perlindungan terhadap gerakan mereka serta para jemaatnya supaya tidak
mengalami intimidasi apa pun dari pemerintahan Inggris. Lebih jauh banyak di kalangan pemimpin
Ahmadiyah yang menjadi "antek" atau "demang" pemerintah Inggris untuk menjadi duta dan komunikator
dengan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Inggris harus membantu kelangsungan gerakan
Ahmadiyah dan perkembangannya ke berbagai Negara.
Memang tidak dapat diasngkal kedekatan keluarga Ghulam Ahmad dengan pemerintahan Inggris
sebagiamana dijelaskan dalm pembahasan terdahulu, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan
kedekatan Ghulam Ahmad dengan pemerintah Inggris sebagai berikut:
"Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Ingris bukan hanya hubungan antara muslim yang
hendak berterima kasih karena telah berbuat baik kepadanya, tetapi hubungan itu adalah lebih dekat
kepada hubungan antara seorang 'pelayan' kepada seorang 'majikan'. Denga mengutip perkataan
Ghulam Ahmad, 'Sungguh telah aku habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu pemerintah
Inggris.'"
Dalam keterangan yang lain, Ghulam Ahmad mengtakan bahwa hanya dengan bernaung di
bawah peperintahan Inggris, kehidupan masyarakat India akan berlangsung aman, sentosa,
danmerdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad sebagi imam dan sosok yang dihromati dengan doktrin yang
diasmpaikan kepad jemaatnya untuk tidak melakuakn perlawnan dan mengangkat senjata kepada
pemeritnahan Inggris merupkan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahwakan Ghulam Ahmad
menyarankan kepada jemaatnya untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan kepada pemeritnahan

Inggris dan supaya menjadi kkoloni India lebh lama lagi. Menyangkal sekaligus menjawab persepsi
negative tersebtu, para pndiri (founding faters) Ahmadiya, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam
kitabnya Tahfah Golarwiyah mengatakan bahwa, "Tidak sedikit pun keraguan bahwa syarat-syarat yang
diletakkan (dalam Al-Qur'an Suci) tidak didapat saat ini di negeri di mana penusli hidup, karena itu di sini
jihad dengan pedang tidak sah."
Dalam pandangan Ahmadiyah, penjajahan Inggris pada waktu itu tidak menuntut kepada
masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau memaksakan melepaskan kepercayaan dan
keyakinan agma masyarakat. Bahkan Ahmadiyah memandang akan mewajibkan anggotanya untuk
berjihad, jika seandainya Inggris menuntut melepas atau menukar agama, maka hukumnya wajib, tetapi
situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu.
Khlifah II menyangkal tuduhan dan isu yagn berkmbang tersebut, khalfah mengatakan, bahw
mnurut hemat kami pada waktu itu belum tiba saatnya melakukan jihad dengan senjata dan jika kami
berada dalam posisi dan sikap yang salah in sematamata hanya kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang
dikemukakan adalah bahwa Ahmadiyah lebih memilih mengaplikasikan bentukjihad kabir dan jihad
akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, dan bukan jihad shaghir. Menurut Ahmadiyah
bahwa pada abad XX, jihad dalam bentuk perang sudah tiadk sesuai lagi. Jiad dengan lisan atau pun
tulisan adalah jihad yang palng tepat. Dalm tulsannya Ghulam Ahmad mengatakn bahwa:
"Pa sat ini Islam menghadapi ancaman yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan tetapi
alat yang mereka gunakan berllainan sama sekali dengan apa yang mereka gunakan tiga belas abad
yang lampau (Perang Salib). Kini mereka menggunakan tulisan-tulisn untuk menyerang dan memfitnah,
baik dalam surat kabar, pentas-entas, maupun dalam buku-buku bacaan. Kita tidak boleh tinggal diam,
kita harus berjuang (berjihad) sekuat tenaga untuk membatalkan propaganda palsu lawn. Adapun alatnya
cukup dengan pena dan tinta saja, untuk menulis karangan yang bermutu dan sangat menguntungkan
Islam"
Dalam pandangan Ahmadiyah, ketika terjadi keterlibatn dengan pemerintah pada
pelaksanaan jihad kabir dan jihad akbar, maka Ahmadiyah harus taat dan setiap kepada pemerintah dan
Negara di mana mereka berada. Hal ini dibuktikan dengan gerakan Ahmadiyah yang dengan gencar
melakukan perlawanan terhadap agama Kristen, Hindu, Budha, dan Marxis dengan perlawnan
menggunakan dalil-dalail dan keterangan yang argumetnatif serta rasional menurut mereka. Bahkan
sampai sat ini Ahmadiyah masih trus melakuakn bebgai aplikasi jihad untuk kemajuan Islam tanpa harus
mengangkat senjata.
Secara garis besa, ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah II mengapa Ahmadiyah
tidak melakukan perlawanan kepada Inggris? Pertama, di bawah pemerintahan Inggris kebebasan
beragama menjadi terjamn, tidak ada pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah
politikus pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekadar pemimpin ruhani tidak ada factor politik apa
pun yang melatarbelakangi sikap Ahmadiyah dalam memandang jihad. Labih jauh Ahmadiyah
memandang bahw kemajuan Islam ditentukan oleh penghayatan dan pengkajian umat Islam untuk
menggali makna tersembunyi di balik Al-Qur'an. Apabila Al-Qur'an itu dipahami dengan sebaik-baiknya,
maka jihad seharusnya dilancarkan dengan perantaraan Al-Qur'an bukan dengan pedang.
Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang controversial antara Ahmadiyah
dengan "mayoritas umat Islam" tentang makna jihad. Hanya saja Ahmadiyah menganggap bahw di dalam
makna jihad terkandung makna qital, seperti dalam jihad shaghir, tetapi saat ini jihad shaghir dengan
makna qital dianggap sudah tidak ada, sebaliknya yan ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda
dengan "mayoritas umat Islam" bahwa jihad masih bias dipahami dalam bentuk jihad shaghir, jihad akbar,
dan jihad kabir. Maka dari itu, makna jihad menurut Ahmadiyah ketika dikatkan dengan pemerintahan,
mereka tidak memerhatikan siapa pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap baik, bagaimanapun
adanya penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk kedaulatan dan kemerdekaan negeri sendiri
meruapkan hal yang paling krusial dan harus dipertahankan dengan berbagai cara. [57]
5. Konsep Khilafath
Pemahaman Ahmadiyah tentang konsep khilafah baik aliran Qadian maupun aliran Qadian
maupun aliran Lahore sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada Al-Qur'an. Namun
demikian, di antara kedua aliran Ahmadiyah tersebut berbeda dalam memberikan penafsiran. Menurut
Ahmadiyah Qadian, dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II), bahwa perkatan khalifah
(pengganti) yang tedapat dlam Al-Qur'an dipahami dan dipergunakan dalam tiga pengertian, antara
lain, pertama, khalifah dipergunakan untuk Nabi-nabi yang disinyalir sebagai pengganti Allah Swt. di
dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai khalifah [58] dan sama juga sepeti Nabi Daud. [59] Kedua,
khalifah dipahami sebagi makna bagi umat atau kaum yang datng kemudian. [60] Khalifah dalam
pengertian ini adalah para pengganti Nabi yang dipilih oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar
yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti Nabi, karena mereka telah
mengikuti jejak para Nabi sebelumnya. Proses pergantian tersebut secara langsung diangkat oleh Allah
Swt. Khalifah dengan pangkat Nabi ini berkedudukan sebagai pengganti atau pendamping baig Nabi
yang ada sebelumnya atau pada masanya, seperti Nabi Harun yagn merupakan khalifah bagi Nabi Musa.

[61]
Kategori khalifah dalalm pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah para pemimpin ruhani.
Aliran Ahmadiyah Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua Nabi dan Rasul yagn disebutkan dalam AlQur'an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para Rasul dan Nabi yang

diutus Allah Swt. yang hanya menjabat seabgai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa,
Zakaria, dan Harun, sementara Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Nabi sekaligus pemegang tampuk
kepemimpinan pemerintahan. Para khalifah yang menggantikan beliau, seperti Abu Bakar, Umar ibn
Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga pemimpin pemerintahan, tetapi system khalifah ini
berakhir sejak masa Mu'awiyah berkuasa, karena penguasa yang dantang berikutnya hanya berdasarkan
keturunan atau pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khlifah sebagaimana yang tersebut
dalam Al-Qur'an.
Sementara AHmadiyah Lahore menyatakan bahw ada dua macam khalifah. Pertamai,khalifah
yang sesuai dengan makna khalifah dalam Al-Qur'an. [62] Dalam ayat tersebtu dijelaskan bahwa umat
Islam adalah umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan system
kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad Saw. adalah khalifah pertama
yang kemudian dilanjtukan oleh para sahabatnya khulaf' al-Rsyidn.Kedua, khalifah dimaknai sebagai
mujaddid dan para tokoh spiritual yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang
akan meneruskan syariat. Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para
mujaddid yang akan memperbaharui agamanya.
Di kalangan alrian AHmadiyah pun terjadi perbedaan penadpat mengenai posisi setelah Ghulam
Ahmad meninggal. Menuruit Ahmad Qadiyan setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah system
khilafah dalam Ahmadiyah yan dinela dengan khalifah Al-Masih. Doktrin khalifah Al-Masih ini didasarkan
dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang menggantikannya.
Hal ini juga didarkan pada hadits Nabi yan menggambarkan hakikat seorang khalifah dibandingkan
dengan pemimin Negara. Hadit tersebut adalah sebagai berikut:
"Akan ada kenabian pada kamu selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada, kemudian Allah Swt.
mengangkatnya. Kemudian aka nada khilafah dengan pola kenabian selam dikehendaki Allah Swt.
aupaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada kerajaan absolute dan itu ada
selam dikehendaki Allah Swt. supaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada
kerajaan absolute dan itu ada selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada. Kemudian Allah Swt.
mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah dengan pola kenabian. Kemudian dia berdiam diri."[63]
Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. telah
terbukti menjadi kenyataan. Sejarh Islam telah mencatat bagiman awal kekhalifhan dengan pola kenabian
dan dikenal dengan khilafah rasyidah, mulai dari Abu Bakar ra. dan berakhir dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Setelah itu baru munculah kekhalifahan dengan pola kerajaan yang berawal dari Mu'awiyah dan berakhir
dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola terseut terlewati dalam masa kesejarahan Islam,
merujuk pad hadits Rasul di atas, akan muncul kembali pola kekhalifahan dengan system kenabian
kedua pada masa Isa dan Mahdi. Atas dasar polarisasi system kekhalifahn tersebut, maka AHmadiyah
berdiri sebagai kelanjutan system kekhalifahan tersebut. Dalam Ahmadiyah dikenal dengan khilafah AlMasih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari pekerjaan Ghulam Ahmad, Al-Masih dan Imam Mahdi yang
berpangkat Nabi.
Sestem khilafah dengan pola kenabian yang ada pada masa Nabi MUhamam Saw. sebenarnya
berbda dengan yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah dengan pola kenabian pada masa Nabi
Muhammad Saw. mempunyai fungis ganda, yakini di samping sebagai Nabi yang mempunyai misi
menyebarkan dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalaknakan fungisi pemerintahan.
Sementra itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad hanya berfungsi
tunggal, semata-mata sebagai pemimpin ruhani yang menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam
arena kekuasaan dan tidak memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiyah Qadian, setelah
Ghulam Ahmad meninggal menjadi wajib hukumnya untuk dicarikan penggantinya sebagai khalifah bagi
Jemaat Ahmadiyah yang menjadi pemimpin trtinggi yang harus ditaati.
Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmadi, maka tampuk pimpinan dilanjutakan para khalifah
berikutnya. Berikut urutan pimpinan Ahmadiyah Qadiyan adalah sebagai berikut:
1. Hadhrat Hakim Maulana Nur-ud-Din, Khalifatul Masih I, 27 Mei 1908 - 13 Maret 1914
2. Hadhrat Alhaj Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad, Khalifatul Masih II, 14 Maret 1914- 7 November 1965
3. Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad, Khalifatul Masih III, 8 November 1965 - 9 Juni 1982
4. Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, 10 Juni 1982 - 19 April 2003
5. Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V, 22 April 2003 - sekarang[64]
Berbeda denan panagnan Amadiyah Qadian, Ahmadiyah Lahore dengan dasar QS. Al-Nr [24]:
55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai landasannya, bahwa setelah kekahlifahan Ghulam Ahmad,
maka berakhir sudah system khilafah dalam AHmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, tampuk
kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr Anjuman AHmadiyah. Sementara dengan
sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajiba
ditaati karena kahlifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja, sementara tanggung jawab
kepemimpinan tetap berada di tangan Pusat Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajiba diaati.
Menurut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa setelahkhalifah rasyidah dan termasuk seetalh Gulam Ahmad
tiadk ada lagi khalifah, yang ada hanyalahmujaddid yang muncul setiap satu abad sekali.
Pandangan Ahmadiyah Lahore tentang khalifah ini menjadi awal pemicu dari perpecahan di
kalangan Ahmadiyah. Ada beberapa factor yang menyebabkan perbedaan tersebut, di antaranya
adalah pertama, perbedaan penafsiran tentang suran dan wasiat Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan
penafsiran terhadap QS. Al-Nr [24]: 55, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalh sikap
kontroversial yang diambil oleh aliran Ahmadiyah Lahore seputar penolakan terhadap system khalifah

sebagaimana Ahmadiyah Qadian. Penolakan itu muncul justru setelah Khalifah I Maulana Hakim
Nuruddin meninggal 1914 M. Ahmadiyah Lahore mengingkari keabsahan khilafah setelah system
tersebut sudha berlangsung selama satu periode Khalifah I, padahal seharusnya justru penolakan dan
pengingkaran ini sudah disampaikan setelah Ghulam Ahmad meninggal. Hal tersebut di kalangan
Ahmadiyah dan beberapa pemerhati Ahmadiyah justru mengundang kontroversial, bahkan yang muncul
adalah isu negative bahwa pemahaman yang dianut Ahmadiyah Lahore didorong oleh kekalahan politik
pada masa pemilihak Khalifah II, sehingga memisahkan diri ke Lahore. Pada sisi ini perbedan antara
Ahmadiyah Qadian dan Lahore dengan kaum muslim secara umum tentang khilafah. Perbedaan tersebut
terletak pada beberapa hal, antara lain, menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang menggantikan
Rasulullah Saw. tidak berarti mengganti pangkat dan kedudukannya sebagai Nabi dan penerima wahyu,
melainkan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di samping itu, bahwa
makna khalifah setelah Rasulullah Saw. dalam pemimpin Negara dan agama yang kewenangannya telah
diberikan oleh yang berwenang. Sementara Ahmadiyah Qadian menganggap bahwa khalifah yang
menggantikan Nabi sekaligus berfungsi mengganti kedudukan Nabi dan menerima wahyu dari Allah Swt.,
sementara Ahmadiyah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut hanyalah sebagai mujaddid, tetapi
dipilih oleh Tuhan melalui wahyu.
Adapun urutan pimpinan Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah Movement) atau Ahmadiyah Lahore
yang tidak mengenal khalifah sebagai pemimpin, akan tetapi seorang Amir yang diangkat sebagai
pemimpin adalah sebagai berikut:
1. Hazrat Maulana Hakim Nurudin
2. Maulana Muhammad Ali MA. LLB.
3. Maulana Sadrudin
4. Dr. Saed Ahmad Khan
5. Prof. Dr. Asghar Hamid Ph.D
6. Prof. Dr.Abdul Karim Saeed[65]
Menurut sebagaian besar umat Islam, hal ini merupakan sesuatu yang paling prinsipin yang
membedakan antara mayoritas umat Islam dengan aliran Ahmadiyah. [66]
6. Iradah Allah
Iradah Allah tidak lahir akibat suatu energi/kekuatan, justru yang menimbulkan energi. Setiap
kekuatan timbul dari Iradah Alalh. Demikian Allah telah memberikan introduksi tentang Dzat-Nya:
"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia."[67]
Kun berupa iradah yang memutuskan untuk mewujudkan suatu keputusan. Keputusan-Nya itu
sudah ada, sebab Dia adalah 'Alimul Ghaib' (Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib). Dia yang mengambil
keputusan untuk mewujudkan/menerapkan suatu kepatusan tertentu. Dari aspek itulah terdapat istilah
waktu. Tetapi waktu tersebut tidak menuntut terjadinya perubahan pada Dzat-Nya. Dan tidak pula
sekadar mengadakan perubahan pada suatu zat tertentu sjaa, justru seluruh alam aya kadang-kadang
Dia rubah. Di bagian mana saja Dia menanamkan pengaruh/gerakan, di sanalah terjadi perubahan. Akan
tetapi sejauh yang berkaitan dengan energi/kekuatan, iradah Ilahi ini tidak memerlukan energi seperti
yang diperlukan oleh iradah makhluk.[68]
7. Nabi Isa dan Al-Masih
Menurut kaum Ahmadiyah, kepercayaan tentang masih hidupnya Nabi Isa di langit merupakan
salah satu bahaya besar bagi keimanan agama Islam dan kaum muslimin. Kaum muslimin yang percaya
bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dengan jasad kasarnya, secara tidak sadar telah mendukung dan
membantu kelangsungan hidup agama Kristen serta cenderung memuliakan Nabi Isa melebihi kemuliaan
nabi Besr Muhammad Saw. sendiri.[69]
Banyak orang salah dalam menafsirkan surat Al-Nisa [4]: 157-158. Menurut mereka, Nabi Isa
tidak disalib tetapi diangkat oleh Allah ke alngit. Orang yang disalib adalah orang lain. Allah telah
menggantikan Nabi Isa dengan orang lain yang diserupakan seperti dirinya. Bunyi ayat tersebut adalah:
"Dan Karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang
mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang
berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh
itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan
belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya),
Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Menurut kaum Ahmadiyah, perkataan wam shalbhu dalam ayt di atas bukan berarti bahw
orang Yahudi tidak menaruh Nabi isa di atas salib, tetapi yang sebenarnya, mereka tidak menyalibnya
smpai mati, di dalam kamus Munjid terbaca pengertian shalbhu adalah Ia menyalib tulangtulang, artinya mengeluarkan sum-sumnya.[70]
Sedangkan Nabi Isa tidak dipatahkan tulang-tulangnya dalam peristiwa penyaliban tersebut.
Adapaun maksud perkataan syubiha lahum (disamarkan atas mereka) bukan berarti itu diaganti dengan

orang lain, melainkan disamarkan seolah-olah telah mati di atas kayu salib. Tentang
perkatan rafa'a bukan berarti di angkat ke langit akan tetapi pengertian tersebut sesuai dengan hadits
Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, "Apabila seorang hamba merendahkan hatinya, Allah meninggikan
derajatnya sampai langit ke tujuh."[71]
Menurut pengertian kaum Ahmadiyah, Nabi Isa telah wafat sebagaimana wafatnya manusia lain
dan beliau dikuburkan di daerah Kashmir Punjab Hindustan.
Pada akhir zaman, Nabi Isa akan turun ke dunia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
hadits Rasulullah Saw.:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Tuhan yang diriku di tangan-Nya, akan
turun Isa ibnu Maryam kapdamu menjadi hakim yang adil, maka ia memecah salib, membunuh babi,
menghentikan peperangan, and melimpahkan harta yang banyak sehingga tak ada lagi yang
menerimanya.[72]
Menuru pemikiran kaum Ahmadiyah, Yesus Kristus telah wafat dan turnnya putra Ibnu maryam ke
dunia, bukan berarti datangnya kembali dalam bentuk pribadi yang sama, tetapi itu menunjukkan akan
datangnya seorang Al-Mau'ud (yang ditunggu) di antara kaum Muslim yang diberi tugas khusus untuk
membawa risalah Islam kepada dunia Kristen.[73]
Begitu pula untuk menjernihkan sanggahan bahwa Islam disebarluaskan atas ujung pedang,
maka sangat perlu menghapuskan doktrin palsu tentang datangnya seorang Mahdi yang akan
menyebarluaskan Islam dengan senjata. Islam tidak memerlukan kekerasan atau paksaan demi
kemenangan ruhaninya. Sebagaimana di zaman lampau, maka di waktu yang akan datang pun Islam
akan menawan hati manusia dengan keindhan yang murni dari ajarannya.
Sebaliknya, Al-Mahdi adalah nama lain bagi Al-Masih yang akan datang. Inilah arti penting
dakwah Mirza Ghulam Ahmad yagn menyatakan bahwa dia adalah Al-Masih dan Mahdi yang hanya
bertujuan untuk menghilangkan keduarintangan besar yang menghadang kemajuan Islam. [74]
8. Konsep Kenabian
Pada umumnya, umat Islam mendefiniskan Nabi dan Rasul adalah seorang laki-laki yang akil,
baligh, berbudi pekerti baik, dan kepadanya diturunkan wahyu syariat. Jika seorang laki-laki tersebut
diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat, maka ia disebut sebagai Rasul.
Sebaliknya, jika dia tidak diperintahkan menyampaikan apa yang diterimanya sebagai wahyu, maka ia
didefinisikan sebagai Nabi.
Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap Rasul secara otomats berpangkat
sbeagai Nabi, tetapi tidak setiap Nabi berarti Rasl. Jumlah Nabi sangat banyak sekali, bahkan tidak
semuanya tersebut dalam Al-Qur'an. Ada yang menyebutkan bahwa jumlah Nabi sebanyak 314 orang
yang dimulai dari Nabi Adam as. dan berakhir hingga Nabi Muhammad Saw.
Namun dalam perspektif Muhammadiyah jumlah dan definisi Nabi yang sudah diuraikan di atas
dianggap kurang tepat. Menurut Ahmadiyah, jumlah Nabi tersebut tidak benar, karena jumlah Nbi yang
membwa syariat itu sangat sedikit. Hanya Nabi Musa as. Yang membawa kitab Taurat dan Nabi
Muhammad Saw. yang membawa Al-Qur'an. Sementara bagi para Nabi yang lain, mereka hanya
melanjutkan syariat-syariat Nabi sebelumna. Adapun Zabur dan Injil bukanlah kitab sariat, karena semua
Nabi setelah Nabi Musa as. secara keseluruhan berhukum pad Taurat.
Adapaun pengertian Nabi itu sendiri menurut Ahmadiyah adalah seorang laki-laki yang baligh,
berakal, berbudi pekerti yang baik, dan diturunkan wahyu kepdanya. Jika wahyunya mengandung hukumhukum yang belum terdapat dalam syariat sebelumnya, maka dia dinamakan Nabi yang membawa
syariat baru. Sementara jika mereka idak membawa syariat baru, maka dia dinamakan Nabi pembantu.
Fungsi dari Nabi pembantu itu adalah menguatkan menjelaskan apa yang terdapat dalam syariat yang
dibawa oleh Nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiyah perbedaan antara Nabi dan Rasul hanya nisbati,
sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadiyah, baik Nabi maupun Rasul sama-sama harus
menyampikan wahyu yang diterimanya, Karen kalau tidak disampikan ia akan berdosa Karen telah
menyemunyikan pengetahuan yang telah diterimanya dari Alalh Swt. Sinkatnya, menurut Ahmadiyah
setiap Nabi adalah Rasul adalah niscaya sebaliknya, setiap Rasul adalah Nabi.
Bagi kalgnan Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore mempunyai kategorisasi yang berbeda
dengan umat Islam secara umum. Menurut Ahmadiyah Qadian, ada tiga kategorisasi kenabian,
yaitu: pertama, Nabi Shahib Al-Syari'ah dan Mustaqil. Nabi Shahib Al-Syari'ah adalah Nabi yang
membawa syariat dan hukum perundang-undangan Allh Swt., sementara Nabi Mustaqiladalah hamba
Allah yang diangkat sebagai Nabi yang tidak mengikuti Nabi sebelumnya, seperti kehadiran Nabi Musa
as. Yan kedatgangannya bukan Karena mengikuti ajaran sebelumnya, tetapi langsung menjadi Nabi yang
membawa syariat Taurat. Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw. yang dating membawa Al-Qur'an.
Kedua, Nabi Mustaqil Tashri', yaitu seorang hamba Allah Swt. yang berpangkat sebagai Nabi
yang kehadirannya tidak mengikuti Nabi sebelumnya, tetapi tiak membawa syariat baru. Banyak para
Nabi yang masuk dalam kategori ini, antara lain: Nabi Zakaria, Yahyah, Sulaiman, dan Daud, semuanya
ditugakan oleh Allah Swt. untuk meneruskan apa yang telah diajarkan oleh Musa as. yang terdapa dalam
Kitab Taurat, meskipun kehadiran mereka bukan atas dasar mengikuti Musa as. Dan ketiga, Nabi Zhili
Ghair Tasyri', yaitu hamba Allah Swt. yang berpangkat sebgai Nabi karena semata-mata mendapatkan
anugerah dari Allah Swt. Kepangkatannya didapatkan oleh karena kepatuhan kepada ajaran para Nabi
sebelumnya dan setia menjalankan syariatnya. Kategori Nabi seperti ini kedudukannya berada satu
tingkat di bawah kenabian dan idak membawa ajaran baru. Mereka yang masuk dalam kategori ini salah
satunya adalah Ghulam Ahmad.

Lain halnya dengan Ahmadiyah Lahore yang membagi klasifikasi kenabian menjadi dua kategori
yaitu, pertama, Nabi Haqiqi, aitu Nabi yang ditunjuk langsung oelh Allah Swt. dan membaw
sariat. Kedua, Nabi Lughawi, yaitu seroang manusia biasa, tetapi banyak persamaan yang cukup
signifikan dengan para Nabi yang lain, yakni dia menerima wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi
bukanlah wahyu yng dapt berfungsi sebgai syariat meskipun banyak mengandung banyak pengetahuan
dan berita ghaib. Nabi dengan kategori ini sering juga disebut dengan 'Nabi bukan haqiqi.'
Salah satu tokoh Ahmadiyah Qadian, R. Syafi'i R. Batuah, mengatkan bahwa aliran Qadian lebih
banyak menggunakan istilah Nabi Zhili atau Nabi buruzi yang mengnadung pengertian Nabi bayangan.
Maksud dari pemaknaan tersebut adalh bahwa Nab yang hadits akan menjadi bayangan Nabi
sebelumnya, karena ia mengikuti dan tunduk terhadap semua sifat yang dimiliki oleh Nabi
sebelumya. Nabi buruzi atau Nabi zhili ini diangkat oleh Allah Swt. Di kalangan Ahmadiyah Qadian juga
sering menyebut Nabi dalm kategroi ini sebagai Nabi ummati, majazi, atau nabi kiasan. Sementara tokoh
Ahmadiyah Lahore, Djojosugito, menganggap bahwa Nabi mustaqil memiliki wewenang untuk
menghapus atau menambah ajaran yan dibawa oleh Nabi sebelunya dengan petunjuk yang telah
diberikan kewenangan oleh Allah Swt., sehingga sedikit demi sedikit perubahan syariat kea rah yang
lebih sempurna akan terjadi secara kontinu selama proses kenabian mustaqil masih ada.
Terkait dengan Ghulam Ahmad, terjadi perbedaan mendasar antara aliran Qadian dan Lahore.
Alrian Qadian menganggap bahwa kenabian yag membawa syariat bau sudah berakhir, tetapi untuk
kenabian zhili ghairi tasyri'i masih akan terus terbuka. Namun kenabian ini akan berlangsung
kedatangannya dari umat Nabi Muhammad Saw. Pada ranah ini, aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam
Ahmad adalah Nabi. Sementara aliran Lahore meyakini bahwa Ghulam Ahmad hanyalah sebagai
mujaddid, meskipun secara implicit mereka menganggap sebagai Nabilughawi atau majazi.[75]
Pintu Kenabian Tetap Terbuka
Bagi kaum Ahmadiyah wahyu itu banyak macamnya, yaitu:
1. Wahyu dengan syari'at
2. Wahyu tanpa syari'at
Wahyu dengan syari'at tidak mungkin lagi turun sesudah Al-Qur'an karena syari'at Al-Qur'an telah
sempurna dan berlaku sampai hari kiamat. Sedangkan wahyu tanpa syari'at, mungkin saja turun
sewaktu-waktu.
Orang-orang yang percaya bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw. tidak ada Nabi lagi,
memaparkan dalail naqli ayat Al-Qur'an:
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu."[76]
Sedangkan bagi kaum Ahmadiyah, kalimat khataman nabiyin itu mengandung pengertian:
Pertama, jika perkataan khataman di-idhafatka-kan/dirangkaikan dengan kata benda jamak,
maka artinya adalah yang afdhal, paling sempurna, yang paling baik. Maka khataman nabiyyin artinya
adalah yang paling baik dari sekalian Nabi.
Kedua, arti khataman adalah cincin. Sebagaimana cincin itu dipakah untuk prhiasan, begitu pula
Nabi Muhammad Saw. merupakan perhiasan bagi sekalian Nabi.
Ketiga, arti khataman adalah stempel atau cap. Kalimat m yukhtamu bihi pada ayat di atas
adalah berarti yang distempel. Dalam konteks tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad adalah stempel
bagi sekalian Nabi. Dengan setempel pengesahan dari Nabi Muhammad umat Islam mengetahui
kebenaran semua Nabi.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka kaum Ahmadiyah berkeyakinan bahwa pintu wahyu dan
kenabian masih tetap terbuka. Tegasnya, Allah masih akan terus menurunkan wahyu-wahyu-Nya
senantiasa akan terus mengutus Nabi-nabinya walau tanpa membawa syari'at baru.
Ahmadiyah dan Khaataman-Nabiyyiin
Keberatan utama yang ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah ialah, bahwa Jemaat Ahmadiyah
dituduh
tidak
mengakui
serta
menolak
Nabi
Muhammad Musthafa s.a.w.
sebagaikhaatamannabiyyiin (33:41). Pengingkaran kepada khaataman-nabiyyiin yang merupakan salah
satu aqidah yang sangat penting dalam ajaran Islam, berarti keluar dari Islam. Karena alasan inilah
kemudian berbagai macam fitnah bermunculan dan ditimpakan kepada Jemaat Ahmadiyah.
Semua itu terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman terhadap ajaran Islam dalam
Ahmadiyah. Padahal Pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri dengan jelas mengakui Nabi Muhammad s.a.w.
sebagai khaataman-nabiyyiin, dan pengakuan itu juga dipegang teguh para penerus beliau dan seluruh
anggota Jemaat Ahmadiyah. Dalam suatu kesempatan, berkaitan dengan pemahamannya
mengenai khaatamannabiyyiin, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda:
Inti dan saripati agama kami tersimpul dalam kalimah: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur
Rasuulullah. Itikad yang kami anut di dunia dan dengan karunia serta taufik Allah, bersama kalimat itu
kami akan berlalu dari alam fana ini kelak ialah Sayyidina wa Maulana MuhammadMusthafa shallallaahu
alaihi wasallam adalah Khaataman-Nabiyyiin. Di tangan beliau agama telah menjadi genap dan nikmat

Allah telah mencapai derajat yang sempurna. Dengan perantaraan agama itu manusia berjalan di atas
jalan yang lurus dan dapat mencapai hadhirat Allah Ta'ala (Izalah Auham, hlm. 169-170)[77]
Inilah alasan terbesar para penentang Ahmadiyah yang telah bangkit membawa tekad untuk
menghancurkan dan mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita simak hakikat tuduhan ini
dengan hati yang jernih dan lapang disertai dengan pikiran yang tenang dan adil, sehingga dapat kita
simpulkan bahwa tuduhan mereka itu jauh dari nilai-nilai kebenaran.
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah mengimani seluruh makna ayat khaataman-nabiyyiinyang
bersesuaian dengan Al-Quran, Sunnah, Hadits, Ijma dari orang-orang shaleh terdahulu, dan juga
bersesuaian dengan ungkapan serta pemakaian bahasa Arab. Jemaat Ahmadiyah mengimani makna
harfiah (letterlijk) ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya yang memiliki pengertian
bahwa Hadhrat Rasulullah Saw. adalah yang paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan
merupakan cincin [perhiasan] para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada diri beliau. Kunci
setiap fadhilah (keunggulan) telah diserahkan ke tangan beliau.Syariat beliau - yakni AlQuran dan Sunnah - akan terus berlaku hingga Hari Akhir dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap
manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorang pun yang dapat me-mansukhkan syariat ini barang setitik pun juga.
Jadi, Nabi Muhammad Saw. adalah nabi/rasul pembawa syariat terakhir dan Imam terakhir yang
wajib ditaati. Beliau Saw. adalah penutup sekalian nabi. Tidak ada seorang nabi pun yang dapat terlepas
dari lingkup ke-khaatam-an beliau dari sisi mana pun juga. Tidak ada lagi nabi sebelum beliau yang
secara jasmani masih hidup di dalam era beliau. Tidak pula setelah beliau berlalu dari dunia ini, masih
ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup abadi secara jasmani.Naudzubillaah.
Dalam pengertian hakiki pun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia dari
nabi yang terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau. Sebab, beliau merupakan penutup bagi karuniakarunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia kenabian yang berasal dari ketaatan kepada Allah dan Nabi
Muhammad Saw. tetap akan berlangsung hingga Kiamat (4:70).
Ringkasnya, Jemaat Ahmadiyah mengakui Rasulullah Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna
harfiah ataupun makna hakiki, dan Jemaat Ahmadiyah secara terhormat berani memaparkan kenyataan yang pahit
ini, bahwa selain para pengingkar Hadits, para ulama dari segenap golongan penentang Ahmadiyah juga tidak
mengakui Rasulullah Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna-makna yang telah dijelaskan di atas.
Walaupun mereka mengatakan Rasulullah Saw. sebagai penutup sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang
berlawanan. Yakni, na'udzubillaah, Rasulullah Saw. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa ibn Maryam as.,
baik secara jasmani ataupun secara ruhani. Ketika beliau s.a.w. diutus, hanya ada satu nabi lain yang masih hidup
secara jasmani. Namun disayangkan ia masih hidup di masa kehidupan beliau s.a.w. dan ketika beliau s.a.w. telah
wafat, ia masih tetap hidup.Rasulullah Saw. telah wafat dan tinggal di alam barzakh 1400 tahun yang lalu, tetapi
Nabi Israili ini masih tetap hidup abadi sampai sekarang dengan jasad kasarnya entah di mana.
Jika dianggap benar bahwa Nabi Isa as. dari Nazareth masih hidup di langit entah di mana dengan usia
lebih dari 2000 tahun, lalu bagaimanakah beliau menjalankan kehidupan dan kewajibannya sebagaimana layaknya
manusia? Bagaimanakah beliau makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimanakah beliau shalat? Bagaimanakah beliau
mendirikan shalat dan melaksanakan kewajiban berzakat serta kepada siapakahzakatnya diberikan (19:32-33)?[78]
Jadi, cobalah bersikap adil sedikit. Bagaimanakah makna jasmani kata khaatam penutup) itu
menurut orang-orang yang percaya Nabi Isa Al-Masih as. dari Nazareth masih hidup? [79] Dan
benarkah Rasulullah Saw. telah menjadi penutup di antara keduanya?
Selanjutnya dengan mengikuti pandangan para ulama, kita semua mengetahui bahwa meskipun ada
kekuatan suci Rasulullah Saw. yang sangat agung, umat manusia zaman ini tetap saja terkena penyakit-penyakit
ruhani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit ruhani. Kekuatan suci Rasulullah Saw.
secara langsung tidak mampu menyelamatkan umat ini. Sebab, seorang Rasul Bani Israil, melalui semburan nafas
kemasihannya akan turun ke dunia ini untuk menyelamatkan umat dari cengkeraman maut serta menganugerahkan
suatu kehidupan ruhani baru.
Perhatikanlah! Dengan mengikuti pandangan para ulama, tidakkah Nabi Isa putera Maryam as. dari
Nazareth dapat juga dianggap sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna jasmani maupun ruhani?
Kepada Jemaat Ahmadiyah selanjutnya dikatakan: Kalian sepenuhnya tidak mengakuiRasulullah Saw.
sebagai nabi terakhir. Dan dengan cara penafsiran, kalian telah membuka jalan bagi kedatangan seorang
nabi ummati (pengikut) dan nabi zilli (bayangan), sehingga dengan itu kalian telah melanggar khaatamun
nubuwwat.
Jemaat Ahmadiyah mengakui bahwa munculnya nabi ummati seperti itu dapat terjadi dalam umat Islam dan
nabi itu merupakan hamba kamil (sempurna) dari Rasulullah Saw. serta sepenuhnya meraih karunia dari beliau Saw.,
sama sekali tidaklah menentang makna ayat khaataman-nabiyyiin. Sebab, seorang hamba yang fana dan kamil tidak
dapat dipisahkan dari majikannya. Jemaat Ahmadiyah bertanggungjawab untuk membuktikan pendiriannya ini
berdasarkan Al-Quran, sabdasabda mulia Nabi Muhammad Saw., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari
ungkapan-ungkapan serta pemakaian bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan hal itu, pada halaman selanjutnya akan dipaparkan lebih rinci. Namun
sebelumnya, akan dibahas bagaimana orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada Ahmadiyah sebagai
penghancur segel/meterai kenabian. Mereka menyatakan bahwa, secara mutlak, tanpa syarat, tanpa pengecualian,
dan dalam setiap makna harus mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir. Artinya, adanya kenabian jenis apa
pun juga setelah Nabi Muhammad Saw. tidak akan dibenarkan dan diakui, tetapi jika ditanyakan kepada mereka,
maka mereka terpaksa mengatakan: bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth suatu hari nanti pasti akan turun ke dunia
di tengah umat ini.

Apabila Anda mempersoalkannya kepada para ulama zaman ini, yakni, Kalian telah mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. secara mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi terakhir dalam makna bahwa sesudah beliau
Saw. tidak akan datang nabi jenis apa pun juga; lalu bagaimana pula kalian telah memperoleh hak untuk membuat
pengecualian itu dengan mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth akan dating kembali?
Kemudian sebagai jawabannya, mereka paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna, yaitu: Karena
Nabi Isa as. adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang kedua kali tidak akan memecahkan
segel/meterai Khaatamun Nubuwwat. Apabila ditanyakan kepada mereka apakah beliau akan datang
membawa Syariat Musa, maka mereka mengatakan: Tidak, melainkan beliau akan dating tanpa syariat.
Kemudian apabila ditanyakan, dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas, perintah dan larangan bagi beliau? Halhal apa yang akan beliau nasihatkan, dan hal-hal apa yang akan beliau larang? Maka mereka mengatakan:
Pertama-tama beliau akan menjadi anggota umat Islam, kemudian mengikuti Syariat Islam, lalu menjadi nabi.
Lebih lanjut mereka tidak mampu menjawab berbagai macam pertanyaan. Yakni, apakah para ulama akan
mengajarkan
Syariat Islam kepada Al-Masih? Atau, kepada beliau akan diberikan pengetahuan tentang AlQuran, Sunnah dan Hadits melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara langsung? Namun, dari emeriksaan ini terbukti
dengan telak bahwa mereka sendiri tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir secara penuh. Bahkan
mereka memberikan pengecualian bahwa sesudah Rasulullah s.a.w. dapat saja datang seorang Nabi lama dari Bani
Israil yang bukan pembawa syariat, ummati, mengikuti Syariat Islam kata demi kata, dan mengajarkannya, tanpa
memecahkan segel kenabian.
Jemaat Ahmadiyah berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi
penganut aqidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa
sesudah Rasulullah Saw. tidak akan dating lagi kenabian jenis apa pun?
Arti Khaataman-Nabiyyiin
Firman Allah Taala: Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan
tetapi ia adalah Rasulullah dan Khaataman Nabiyyiin [Meterai sekalian nabi]. (33:41)[80]
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat Muhammad bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu?[81] Perlu diperhatikan adanya kata laakin(melainkan) yang
disisipkan sebelum kata rasulullah dan khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk
menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca kalimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan
keraguan mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu? Firman Allah dalam Surah alKautsar ayat 4 menyatakan, Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa keturunan.[82]
Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz. Rasulullah Saw. (Qasim, Thayib, Thaher dan
Ibrahim[83]) semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. RasulullahSaw. sampai
dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya. [84] Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah Swt. dalam Surah
al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau Saw. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu,
Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Taala menghilangkan keraguan
dengan cara demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah Saw. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian
tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau
tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah
dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga. [85] Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wa
khaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai
keturunan beliau, bahkan beliau Saw. merupakan stempel para nabi. Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang
insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi beliau Saw. bukan saja bapak ruhani
bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi.
Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah
merendahkan martabat Hz. Rasulullah Saw., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau Saw., bahwa segala
sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan dating terkumpul dalam
diri Hz. Rasulullah Muhammad Saw. Hanya beliau Saw. seorang yang pantas menyandang
gelar khaatamulanbiya, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia
untuk selama-lamanya.
Kenabian Setelah Nabi Muhammad Saw.
Dikatakan pula oleh para ulama penentang Ahmadiyah bahwa pintu wahyu telah tertutup,
malaikat Jibril tidak mungkin datang lagi ke dunia menyampaikan wahyu sehingga adanya nabi setelah
Nabi Muhammad Saw. tidak dapat dibenarkan. Bagaimanakah kita sebagai manusia, yang juga ciptaanNya, mencoba menghalang-halangi sifat Mutakallim (Maha Berkatakata) Allah dan dengan bangga
mengatakan sampai dengan hari ini Allah tidak pernah sekali pun berkata-kata kepada makhluk-Nya?
Apa dasarnya kita dapat mengklaim bahwa malaikat Jibril tidak pernah turun lagi ke dunia untuk
menyampaikan wahyu? Bagaimana pula kita dapat mengklaim bahwa seorang nabi tidak mungkin datang
setelah Nabi Besar Muhammad Saw.? Apakah kita yang mengatur pekerjaan Allah? Naudzubillah min
dzalik.
Sekarang akan kita fokuskan pada persoalan: Apakah kenabian dapat datang setelah Nabi
Muhammad Saw.? Kembali kita dihadapkan kepada Al-Quran untuk menjawab semua pertanyaan di
atas. Sehari semalam orang Islam diwajibkan minimum shalat 5X = 17 rakaat = 17X membaca Surah alFatihah: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka

Apakah jalan yang lurus itu? Apakah nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka dan
apakah kita juga dapat meraih nikmat-nikmat tersebut seperti kaum-kaum yang terdahulu? Inilah
jawaban Al-Quran mengenai hal tersebut.
dan sekiranya mereka mengerjakan apa yang dinasihatkan kepada mereka, niscaya (hal itu)
akan lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan. Dan, jika demikian tentu akan Kami berikan kepada
mereka ganjaran besar dari sisi Kami; Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan
barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul [86] ini maka mereka ini termasuk[87] di antara orangorang yang kepada mereka Allah memberikan nikmat, yakni: nabi-nabi, shiddiqshiddiq, syahid-syahid dan
orang-orang shaleh. Dan mereka itulah sahabat yang sejati. Inilah karunia dari Allah, dan memadailah
Allah sebagai Zat Yang Maha Mengetahui. (4:67-71)[88]
Inilah kelebihan Hz. Rasulullah s.a.w. dibandingkan dengan nabi-nabi/rasul-rasul lainnya. Ayat ini
sangat terang benderang dan mudah dipahami. Sesungguhnya Allah Sendiri yang akan memasukkan kita
ke dalam golongan para nabi, shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Bagaimana mungkin pintu
kenabian sama sekali tertutup bagi umat Islam? Penolakan terhadap pintu kenabian, yaitu tidak akan ada
lagi nabi dalam bentuk apa pun juga dalam umat Muhammad, secara langsung juga berarti penolakan
terhadap
kemungkinan
umat
Islam
tidak
dapat
meraih
ketinggian
martabat
sebagai shiddiq, syahid dan shaleh. Dengan kata lain, tidak ada lagi parashiddiq, syahid dan orangorang shaleh dalam umat Islam.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. bersabda mengenai kecintaannya kepada junjungan beliau
yaitu Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. sebagai berikut:
Bagiku tidak mungkin meraih nikmat ini seandainya aku tidak mengikuti jalan yang ditempuh
majikanku, anutanku, kebanggaan para anbiya, insan yang terbaik, MuhammadMusthafa Saw. Apa pun
yang kuperoleh, telah diperoleh karena mentaatinya. Aku mengetahui dari pengalaman pribadi dan
berdasar ilmu yang sempurna bahwa siapa pun tidak dapat mencapai kedekatan kepada Tuhan tanpa
mentaati nabi ini dan mustahil pula meraih makrifat yang sempurna. Sekarang aku beritahukan pula
bahwa
sesudah
orang
mentaati Rasulullah Saw.,
dengan
sesungguh-sungguhnya
dan
sesempurnasempurnanya, ia dianugerahi hati yang cenderung kepada kebajikan, suatu hati yang sehat,
yakni tidak ada kecintaan kepada dunia dan mulai mendambakan kelezatan abadi dan lestari. Kemudian
sebagai gantinya, hatinya sekarang layak memperoleh kecintaan yang semurni-murninya dan sempurna
kecintaan Ilahi. Semua nikmat ini diperoleh sebagai warisan berkat ketaatan kepada Rasulullah Saw.
(Ruhani Khazain, jld. 22;Haqiqatul Wahyi, hlm. 24-25)[89]
Tetapi sayang sekali, disebabkan penolakan terhadap kenabian, kata maa (termasuk) dalam ayat tersebut
telah diterjemahkan menjadi beserta atau bersama-sama.[90] Ini berarti bahwa orang-orang Islam hanya akan
beserta atau bersama-sama para nabi dan bukan termasuk golongan para nabi. Akan tetapi pihakpihak yang
mengemukakan keberatan itu tidak menyadari bahwa dalam ayat itu tidak hanya disebutkan para nabi saja,
melainkan setelah itu disebutkan secara berturut-turut para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Jika
kata maa diartikan sebagai beserta atau bersama-sama, maka kita harus menerima kenyataan pahit bahwa di dalam
umat Islam tidak akan ada seorang pun yang dapat menjadi seorangshiddiq, syahid dan shaleh, namun yang ada
hanyalah beberapa gelintir orang yang beserta/bersama-sama para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Atau
dengan kata lain bahwa semua orang dalam umat ini akan dimiskinkan dari segala derajat kebajikan dan ketakwaan.
Dapatkah kita membayangkannya? Padahal umat Islam telah diberi predikat oleh Allah Taala: Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (3:110)[91]
Hal yang sebenarnya adalah, bahwa kata maa tidak hanya berarti kebersamaan dua buah benda
sehubungan dengan tempat dan waktu, melainkan kadangkala kata maa juga digunakan untuk menyatakan
kebersamaan sehubungan dengan derajat/martabat. Sebagai dalil penguat bahwa kata maa mempunyai
artitermasuk, Al-Quran mengemukakan sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang munafik berada dilapisan paling bawah dalam Api; dan engkau
tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki
diri dan berpegang teguh kepada Allah, serta mereka ikhlas dalam pengabdian mereka kepada Allah.
Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan, kelak Allah akan memberi ganjaran besar
kepada orang-orang mukmin. [92]
Dalam ayat tersebut, kalimat termasuk golongan orang-orang mukmin digunakan bagi orangorang yang bertaubat, memperbaiki diri, beramal shaleh, berpegang teguh pada Allah dan tulus ikhlas
dalam pengabdiannya kepada agama. Jika kita melakukan halhal tersebut maka kita termasuk golongan
orang-orang mukmin. Apabila kata maa diartikan sebagai beserta ataubersama-sama, maka
pengertiannya adalah bahwa sekalipun kita memiliki dan melakukan hal-hal mulia tersebut, kita tidak
akan menjadi orang mukmin, melainkan hanya ditempatkan beserta atau bersama-sama dengan orang
mukmin. Dapatkah kita terima pengertian ini? Jelasnya, katatermasuk mempunyai nilai dan bobot yang
lebih dari kata beserta atau bersama-sama yaitu penekanannya pada imbalan atau predikat yang akan
diterima jika kita memenuhi dan melaksanakan syarat yang telah ditentukan.
Dalam Surah Ali Imran ayat 194, juga dapat ditemukan pemakaian kata maa (termasuk) sebagai
berikut,
Dan wafatkanlah kami dalam golongan orang-orang baik.[93]
Setiap orang Islam pasti mengartikan ayat ini sebagai berikut:

Ya Allah, masukkanlah aku dalam golongan orang-orang yang baik (berbakti) dan wafatkanlah
aku. Tidak ada seorang pun yang kemudian mengartikan: Ya Allah, ketika orang-orang yang baik (berbakti) akan
wafat, maka wafatkanlah aku beserta atau bersama-sama mereka.
Setelah dikemukakan beberapa dalil penguat pemakaian kata maa, maka dapat disimpulkan arti
kata maa jika dihubungkan dengan 4:67-71 seperti yang telah dijelaskan di atas, secara keseluruhan
mengandung arti bahwa pintu kenabian tetap terbuka dan seorang nabi dapat diutus dalam umat
Muhammad sepanjang nabi itu patuh dan taat kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw.
Di samping kesaksian Al-Quran, terlihat juga dalam sabdasabda Rasulullah Saw. bahwa pintu
kenabian tidak mutlak tertutup. Ternyata beliau Saw. berkali-kali mengisyaratkan kedatangan
Isa ibn Maryam seperti yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits Shahih, bahkan beliau Saw.
menyebutnya dengan perkataan Nabi Allah sebanyak 4X seperti yang dimuat dalam Haditsdengan
redaksi panjang mengenai Dajjal dan Nabi Allah Isa yang diringkas sebagai berikut:

Dari Nawwas bin Saman ra. berkata: Pada suatu pagi Rasulullah menceritakan
tentang Dajjal,Nabi Allah Isa dan pengikut-pengikutnya terkepungNabi Allah Isa dan
sahabatnya berdoa kepada AllahNabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya datang di bumi itu
Nabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya berdoa kepada Allah (Shahih Muslim Syarah
Nawawi 18/63, Sunan
Abu
Dawud 4/117, Sunan
Tirmidzi 9/92, Sunan
Ibnu
Majah2/356, Musnad Ahmad 4/181, Mustadrak Hakim 4/492)[94]

Dalil-Dalil Al-Quran Mengenai Kenabian Setelah Nabi


Muhammad Saw.
Di bawah ini beberapa dalil Al-Quran mengenai adanya nabi/rasul setelah Nabi Muhammad
Saw. sebagai berikut:
44:6-7
Allah Ta'ala bersifat mursil (yang mengutus Rasul-rasul-Nya). Sifat Allah Ta'ala ini akan selalu
dan terus bekerja selama-lamanya. Sifat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Jadi, adanya
kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. adalah tidak mustahil dengan mempertimbangkan salah satu
sifat AllahTa'ala ini.
22:76
Allah senantiasa memilih Rasul-rasul-Nya dari antara malaikatmalaikat dan dari antara
manusia.[95] Perkataan yashthafii (memilih) dalam ayat ini, menurut peraturan bahasa Arab adalah fi'il
mudhari, yaitu menunjukkan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Jadi, Allah Swt. sedang atau
akan memilih rasul-rasul-Nya menurut keadaan zaman atau menurut keperluannya. Dengan kata lain
ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu.
3:180
Dalam ayat tersebut terdapat perkataan yadzara, yamiidza, yuthli'a, yajtabii. Bentuk perkataan
tersebut adalah fi'il mudhari yang dipakai untuk zaman kini dan zaman yang akan datang. Jadi maksud
ayat ini adalah Allah Swt. akan (terus) engirimkan utusan-utusan-Nya untuk memisahkan yang baik dari

yang buruk dan untuk memberitahukan tentang kabarkabar ghaib.

7:36
Dalam ayat ini: Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari
antaramu ...[96] Yang dimaksudkan anak cucu Adam adalah umat manusia. Baik umat manusia
terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. dan umat manusia setelah Nabi Muhammad Saw. tetap akan
didatangi oleh Rasul-Rasul Allah dari antara anak cucu Adam (umat manusia). Dengan kata lain ayat ini
tidak terikat dengan tempat dan waktu.

23:52
Kata ar-rusul, berlaku juga bagi masa yang akan dating Artinya, setelah Rasulullah Saw. akan datang rasulrasul lain yang memakan makanan yang baik dan mengerjakan amalamal shaleh.

37:72-73
Ayat ini menjelaskan apabila di dunia telah merajalela kesesatan dan kemungkaran, maka Allah
Swt. senantiasa mengirimkan utusan-utusan-Nya. Dan Allah tidak mendatangkan azab sebelum mengutus
seorang rasul (17:16).
6:125
Ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Ayat ini menjelaskan bahwa hanya
AllahTa'ala yang lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Hak prerogatif
AllahTaala ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Adanya pernyataan Allah Ta'ala ini adalah karena

manusia [suka] mengatakan: Kami sekali-kali tidak akan beriman sebelum kami diberi seperti apa yang
telah diberikan kepada rasul-rasul Allah.[97]
4:137
Ini adalah ayat Rukun Iman. Salah satunya adalah beriman kepada rasul-rasul-Nya. Perintah
beriman kepada rasul-rasul- Nya ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Perintah ini berlaku untuk
selama-lamanya bagi tiap umat manusia di setiap zaman. Seandainya ayatkhaatamannabiyyiin kemudian diartikan sebagai nabi penutup atau nabi terakhir yaitu tidak ada nabi apa pun juga
setelah Nabi Muhammad Saw., maka akan bertentangan dan bertabrakan dengan ayat-ayat tersebut di
atas yang menjelaskan dapat datangnya nabi/rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Padahal
Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa tidak ada pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya
(4:83). Asas ini (tidak ada pertentangan di antara ayatayat Al-Quran) adalah asas yang mutlak harus
terpenuhi ketika ingin menafsirkan Al-Quran.
Arti dan Ungkapan Kata Khaatam Menurut Bahasa Arab
Setelah dikemukakan dalil-dalil berdasarkan Al-Quran mengenai dapat datangnya nabi setelah Nabi
Muhammad Saw., alangkah baiknya kemudian memperhatikan arti dan ungkapan kata khaatammenurut kaidah
bahasa aslinya.
Kata khaatam menurut bahasa Arab adalah kata benda tunggal, yang secara harfiah menurut kamus berarti
cincin. Bentuk kata khaatam sebagai kata benda tunggal yang digandengkan dengan kata benda jamak
yaitu nabiyyiin di dalam Al-Qur'an hanya dapat ditemukan dalam Surah al-Ahzab : 41.
Bentuk tersebut memiliki arti derajat (rank) kemuliaan, keunggulan, keutamaan, kesempurnaan, atau
derajat lainnya, sehingga makna sejati khaataman-nabiyyiin (cincin para nabi) adalah bahwa beliau Saw. merupakan
nabi yang tersempurna atau terunggul atau termulia dari para nabi.
Contoh sederhana bentuk kata benda yang digandengkan dengan kata benda juga dapat ditemukan dalam
bahasa Indonesia, misalnya pada kata bintang lapangan atau bintang panggungmengandung arti martabat atau status
(rank) tertentu, yaitu orang yang memiliki pamor dan kualitas yang prima di lapangan atau di atas panggung.
Nabi Muhammad Saw. dalam Surah al-Ahzab: 41 diberikan status oleh Allah Ta'ala sebagaikhaatamannabiyyiin (cincin para nabi) yaitu sebagai perhiasan para nabi. Deretan para nabi yang diutus oleh Tuhan bagaikan
deretan jari-jari, di mana ada satu jari yang memakai cincin (bermahkota cincin), oleh sebab itu sejatinya Nabi
Muhammad s.a.w. adalah nabi yang termulia, terunggul, tersempurna, terindah dari para nabi.
Pada bagian selanjutnya akan dikemukakan keterangan dalam Hadits serta literatur-literatur terkenal dalam
dunia Islam yang telah mengungkapkan penggunaan kata khaatam dengan arti yang menunjukkan suatu
derajat (rank) kemuliaan, keunggulan, keutamaan, kesempurnaan, atau derajat lainnya, sebagai berikut:
(i) Hadhrat Ali r.a. adalah khaatam-ul-auliya (Tafsir Saafi, pada Surah al-Ahzab).[98]Apakah
setelah Hz. Ali r.a. wafat tidak ada auliya (wali) lagi? Tentu tidak. Banyak kemudian hadir waliwali Allah
yang termashur dalam dunia Islam.
(ii) Imam Syafii r.h. (767-820) juga disebut khaatam-ul-auliya (Al Tuhfatus-Sunniyya, hlm. 45)

[99]
(iii) Syekh Ibn-ul-Arabi r.h. (1164-1240) disebut sebagai khaatamul-auliya. (Futuhaat Makkiyyah,
pada halaman judul).[100]
Tiga orang auliya (wali) Allah ini masing-masing telah diberikan gelar khaatam-ulauliya.Bagaimanakah kata khaatam menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan
sebagaiterakhir/penutup saja, yaitu tidak boleh ada lagi auliya (wali) lain setelah Hz. Ali bin Abi Thalib
r.a.?
Kita lanjutkan pemakaian dan ungkapan kata khaatam menurut bahasa Arab.
(iv) Abu Tamaam (804-845), seorang penyair yang dijuluki sebagai khaatam-usysyuaraa(Dafiyaatul A'ayaan, vol. 1, hlm. 123, Kairo). [101] Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada
penyair lagi? Tentu tidak. Banyak kemudian hadir penyairpenyair terkenal dalam dunia Islam.
(v) Abu Al-Tayyib (915-965) juga disebut sebagai khaatam-usysyuaraa
(Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi, Mesir, hlm. 10).[102]
(vi) Abul al-'Alaa al-Ma'arri (973-1057) juga dinyatakan sebagai
khaatam-usy-syuaraa (Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi,
Mesir, Catatan kaki, hal 10).[103]
(vii) Syekh Ali Hazeen (1701-1767) juga dikenal sebagai khaatamusy-syuaraa di negeri
Hindustan (Hayati Sa'adi, hlm. 117).[104]
(viii) Habib Shirazi juga dihormati sebagai khaatam-usy-syuaraa di Iran (Hayati Sa'adi, hlm. 87).

[105]
Dari lima orang penyair di atas masing-masing telah diberikan gelar khaatam-usy-syuaraa.
Bagaimanakah kata khaatam menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan
sebagaiterakhir/penutup saja, yaitu tidak boleh ada lagi penyair lain setelah Abu Tamaam?
Kita lanjutkan pemakaian dan ungkapan kata khaatam menurut bahasa Arab.
(ix) Kamper (Camphor), obat anti ngengat dan jamur disebut khaatam-ul-kiraam atau obat yang
terunggul. (Sharh Deewan-al Mutanabbi, hlm. 304).[106] Apakah tidak ada obat lain yang digunakan
atau ditemukan setelah kamper, jika kata khaatam diartikan sebagaiterakhir/penutup?
(x) Imam Muhammad Abduh dari Mesir digelari khaatam-ulaimma (Tafsir Al-Fatihah, hlm. 148).
[107] Apakah tidak ada lagi pemimpin (Imam) agama setelah Muhammad Abduh?

(xi) Al-Sayyid Ahmad Al-Sanusi dinamakan khaatam-ulmujahidiin (Akhbaar Al-Jaami'atul


Islamiyyah,
Palestina,
27
Muharram
1352
H). [108] Apakah
Sayyid
Ahmad
Sanusi
merupakanmujahid terakhir/penutup di Palestina?
(xii) Ahmad bin Idris disebut khaatam-ul-muhaqqiqin (Al-Aqd-al-Nafees).[109] Apakah Ahmad
bin Idris orang yang terakhir mencari kebenaran (haq)?
(xiii) Abul Fazl Al-Alusi juga disebut khaatam-ul-muhaqqiqin (Pada halaman judul dari
Tafsir Ruhul Maaani).[110]
(xiv) Syekh Al-Azhar Saleem Al Bashree juga disebut khaatam-ulmuhaqqiqin (Al-Heraab, hlm.
372).[111]
(xv) Imam Abdurahman As-Suyuthi r.h. juga dicatat sebagai khaatam-ul-muhaqqiqin.(Pada
halaman judul Tafsir Itqaan).[112] Sampai di sini menjadi semakin jelas arti dan hakikat sesungguhnya
dari kata khaatam. Selanjutnya kita dapatkan lagi:
(xvi) Hadhrat Shah Waliyullah dari Delhi diakui sebagai khaatamul-muhaditsiin (Ajaala Naafi'a).
[113] Apakah tidak ada lagi ahli Hadits lain di dunia ini setelah Hz. Shah Waliyyullah?
(xvii) Syekh Syamsuddin disebut sebagai khaatama-tul-huffaaz (Al-Tajreed-us Sareeh,
Muqaddimah, hlm. 4).[114] Hafiz adalah orang yang hafal luar kepala seluruh isi Al-Quran. Apakah tidak
ada lagi hafiz di dunia ini setelah Syekh Syamsuddin?
(xviii) Syekh Rasyid Ridha mendapat gelar sebagai khaatam-ulmufassirin (Al-Jaami'atul
Islamiyyah, 9 Jumadi-us-Tsaani, 1354 H).[115] Apakah tidak ada lagi ahli tafsir di dunia ini setelah Syekh
Rasyid Ridha?
(xix) Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, halaman 271[116] terdapat istilah khaatam-ulwilayah yang digunakan untuk menunjukkan kesempurnaan wali. Apakah hanya ada satu wali saja di
dunia ini?
(xx) Imam Suyuthi mendapat gelar khaatam-ul-muhadditsin (Hadya Al-Shiah, hlm. 210).
[117] Apakah setelah beliau tidak ada lagi ahli Hadits di dunia ini?
(xxi) Dalam Bible bahasa Arab kita temukan kata khaatam-ulkamaal (gambar kesempurnaan).
Kita lihat dalam Yehezkiel 28:12 versi bahasa Indonesia sebagai berikut: Hai anak manusia, ucapkanlah
suatu ratapan mengenai raja Tirus dan katakanlah kepadanya: Demikianlah firman Tuhan Allah: Gambar
dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah.[118]
(xxii) Dalam Hadits kita temukan khaatam-ul-muhajiriin. Rasulullah Saw. bersabda: Tentramlah
wahai pamanku, sesungguhnya engkau adalah khaatam-ul-muhajiriin dalam hijrah, sebagaimana aku
adalah khaataman-nabiyyiin dalam kenabian. (H. R. Ibnu Asakir dan Asyaasyi, dalam Kanzul Ummal,
Alaudin Alhindi, Muassatur Risalah, Beirut, 1989, jld. XIII, hlm. 519, Haditsno. 37339).[119] Apakah
setelah Hz. Abbas r.a. tidak ada lagi orang yang berhijrah ke Medinah? Apakah Hz. Abbas r.a. adalah
orang yang terakhir berhijrah ke Medinah? Tentu tidak.
Dan masih banyak contoh lainnya mengenai pemakaian kata khaatam yang dapat ditemukan
dalam literatur-literatur dunia Islam yang mengungkapkan kata khaatam bukanlah mutlak
berarti terakhir/penutup saja dengan makna tidak boleh ada nabi dalam bentuk apa pun juga setelah Nabi
Muhammad Saw. seperti yang sering dikatakan oleh para ulama zaman sekarang untuk menolak
kenabian Hz. Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi/Masih Mauudas.
Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad Mengenai Khaataman-Nabiyyiin
Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan menarik tentang kekhaatam-an Nabi Muhammad Saw. Gambaran itu benar-benar sangat langka dan tiada duanya. Beliau
telah menguraikan tafsir ayat khaatamannabiyyiin dari berbagai aspek di dalam buku-buku beliau
berdasarkan Al-Quran Suci, dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia
ke arah iman dan irfan.
Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita
adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita Al-Quran Majid adalah suatu kitab yang hidup; dan rasul kita, Yang
Mulia Khaataman-Nabiyyiin Muhammad Musthafa Saw. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mencontohkan kecintaan
yang hakiki terhadap Nabi Muhammad Saw., dalam kaitannya dengan kekhaatam-an Nabi Muhammad
Saw.
Ketiga pokok masalah ini, yaitu keimanan terhadap Allah, keimanan terhadap kitab, dan
keimanan terhadap rasulsatu sama lain saling terkait dan saling berhubungan secara mendalam
sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainnya. Seandainya kita mengesampingkan
unsur-unsur lain, aqidah-aqidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah lainnya tentang
suatu perkara, maka tidaklah mungkin dapat disimak dan dikaji pemahaman beliau atas suatu perkara
tertentu.
Jadi,
mengenai Khaatamun
Nubuwwat,
mutlak
untuk
memperhatikan
keimanan, aqidahaqidah dan pandangan-pandangan beliau mengenai AllahTa'ala serta Al-Quran Karim.
Sebab, jika tidak demikian maka kajian kita atas pemahaman beliau tentang Khaatamun Nubuwwat tidak
dapat diketahui secara sempurna.
Dalam kesempatan ini disampaikan beberapa pernyataan dan sabda beliau berkenaan
dengan khaataman-nabiyyiin sebagai berikut:
Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap jemaat saya bahwa kami tidak
mempercayai Rasulullah Saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin merupakan kedustaan besar yang

dilontarkan pada kami. Kami meyakini Rasulullah Saw. sebagai Khaatamul Anbiyadengan begitu kuat,
yakin, penuh makrifat dan bashirat, yakni seratus ribu bagian dari yang itu pun tidak dilakukan oleh
orang-orang lain. Dan memang tidak demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan
rahasia yang terkandung di dalam khaatamun nubuwwat Sang Khaatamul Anbiya. Mereka hanya
mendengar sebuah kata dari para tetua mereka, tetapi tidak tahu menahu tentang hakikatnya. Dan
mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Khaatamun Nubuwwat. Apa makna mengimaninya?
Namun, kami dengan penuh bashirat (Allah Taala yang lebih tahu) meyakini Rasulullahs.a.w.
sebagai Khaatamul Anbiya. Dan Allah Taala telah membukakan hakikatKhaatamun Nubuwwat kepada
kami sedemikian rupa, yakni dari serbat irfan yang telah diminumkan kepada kami itu kami mendapatkan
suatu kelezatan khusus yang tidak dapat diukur oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang memang
telah kenyang minum dari mata-air ini juga. (Malfuzhaat, jld. I, hlm. 342).[120]
Tidak ada kitab kami selain Quran Syarif. Dan tidak ada rasul kami kecuali MuhammadMusthafa
shallallaahu alaihi wasallam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi
kita s.a.w. adalah Khaatamul Anbiya, dan Quran Syarif adalahKhaatamul Kutub. Jadi, janganlah
menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan hendaknya diingat, kami tidak mempunyai
pendakwaan lain kecuali sebagai khadimIslam. Dan siapa saja yang mempertautkan hal [yang
bertentangan dengan] itu pada kami, dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia berupa
berkat-berkat melalui Nabi Karim Saw. Dan kami memperoleh karunia berupa makrifatmakrifat melaluiQuran Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya
apa pun yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di
hadapan Allah Taala. Jika kami bukan khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak,
serta akan diperkarakan. (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)[121]
Aku menyaksikan suatu kehebatan dalam wajahmu yang bersinar-cemerlang. Yang melebihi semua sifat
manusia lain.
Pada wajahnya tampak Tuhan Muhaimin dan seluruh keadaannya bagaikan cermin.
Yang menampakkan keindahan sifat Ilahi dan kebesarannya
sungguh menyilaukan.
Ia mengungguli seluruh manusia dengan kemampuan,
kesempurnaan dan keelokannya.
Dan kehebatan serta dalam kesegaran jiwanya.
Sedikit pun tidak diragukan lagi bahwa Muhammad s.a.w. adalah terbaik di antara seluruh makhluk.
Paling mulia di antara yang mulia dan inti orang-orang yang terpilih.
Segala sifat baik yang terpuji, pada diri beliaulah puncaknya.
Dan anugerah/nikmat yang ada pada setiap zaman, telah berakhir dalam dirinya.
Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat qurub Ilahi sebelumnya.
Dan keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan karena zaman.
Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada nabi-Mu abadi selamanya.
Di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua.
(Aina Kamalati-Islam, hlm. 594-596)[122]
Cahaya agung yang dianugerahkan kepada manusia yang paripurna tidak terdapat pada wujud
malaikat, tidak pula pada bintang-kemintang, tidak pula pada sang rembulan, tidak pula pada sang surya.
Cahaya itu tidak terdapat pula di samudrasamudra dan sungai-sungai di dunia. Cahaya itu pula tidak
terdapat di dalam batu-batu mirah delima atau yaqut atau zamrud atau permata nilam atau mutiara.
Pendek kata, tidak terdapat disemua benda duniawi atau samawi. Hanyalah dalam diri sang manusia,
yakni, di dalam diri manusia paripurna yang perwujudannya yang penuh, sempurna, tinggi lagi luhur
adalah terdapat pada Majikan serta Junjungan kita, Penghulu segala nabi, Penghulu segala makhluk
hidup, Muhammad Musthafa shallallahu alaihi wasallam. Jadi, cahaya itu dilimpahkan kepada manusia
itu dan menurut urutan martabatnya, kepada seluruh pribadi yang sewarna dengannya, yakni, kepada
orangorang yang sampai pada kadar tertentu mengandung warna itu pulaKemegahan setinggitingginya, sesempurnasempurnanya, dan selengkap-lengkapnya ada pada Majikan kita, Junjungan kita,
pemandu jalan kita, Nabi Ummi, Shadiq, Mashduq [wujud yang kebenarannya diakui]
MuhammadMusthafa shallallahu alaihi wassallam. (Ruhani Khazain, jld. 5, Aina Kamalati Islam, hlm.
120-121)[123]
Yang memiliki kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama Musthafa.
Dia adalah nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran.
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi.
Imam yang memiliki rupa suci dan perilaku yang suci.
(Zia-ul-Haq, hlm. 4)[124]
Arti Hadits Laa Nabiyya Ba'diy dan Aakhirul Anbiya
Banyak orang mengatakan bahwa tertutup atau berakhirnya pintu kenabian setelah Nabi Muhammad Saw.
adalah berdasarkan keterangan dari sebuah Hadits yang mengatakan aakhirul-anbiya(nabi terakhir) dan beliau Saw.
bersabda laa nabiyya badiy (tidak ada nabi sesudah aku).

Jadi, menurut Hadits-Hadits itu sesudah beliau Saw. Tiada eorang nabi pun dapat datang. Akan
tetapi sungguh sayang, orang-orang itu hanya melihat kata-kata aakhirul-anbiya saja,namun di
dalam Hadits Shahih Muslim yang berkaitan dengankata itu ada lanjutan kata-kata yang
berbunyi mesjidku akhir segala mesjid.[125]
Apabila perkataan inniy aakhirul-anbiya berarti bahwa sesudah beliau Saw. tidak akan datang
lagi nabi apa pun juga, maka perkataan wa inna masjidiy aakhirul-masaajid pun juga akan berarti bahwa
sesudah mesjid beliau Saw. (Mesjid Nabawi) tidak akan dapat lagi didirikan suatu mesjid apa pun.
[126] Akan tetapi orang-orang itu, meskipun ada perkataan masjidiy aakhirul-masaajid, tetap pada
pendiriannya untuk menolak segala corak kenabian. Walaupun ada kata-katamasjidiy aakhirulmasaajid, mereka telah dan sedang mendirikan mesjidmesjid baru demikian banyaknya sehingga zaman
ini di beberapa kota, disebabkan oleh melimpahnya mesjid, banyak di antaranya yang menjadi sunyi.
Bahkan di beberapa tempat, sangat jarang kita dapati suatu tempat yang tidak terdapat mesjid dalam
jarak sejauh 20 km di antara satu mesjid dengan mesjid lainnya. Apabila disebabkan oleh
kedatangan aakhirulanbiya, yaitu tidak seorang manusia pun dapat menjadi nabi, maka setelahnya
mengapa mesjid-mesjid lainnya pun terusmenerus dibangun?
Jawaban yang mereka berikan atas pertanyaan itu ialah: mesjid-mesjid ini
kepunyaanRasulullah Saw. juga; sedangkan di dalam mesjid-mesjid itu dilakukan ibadah dengan
mengikuti cara yang telah diajarkan, yang untuk melaksanakan cara itu Rasulullah Saw. telah menyuruh
untukmendirikan mesjid. Jadi, adanya mesjid-mesjid baru ini merupakan bayangan mesjid itu (Mesjid
Nabawi), oleh karena itu mesjid-mesjid ini tidak terpisahkan darinya, itulah sebabnya kami tidak
menyangkal kehadiran mesjid baru itu. Jawaban ini tepat!
Dengan adanya jawaban tersebut maka Jemaat Ahmadiyah juga dapat berkata hal yang sama
seperti itu bahwa meskipun ada perkataan aakhirul-anbiya, itu juga berarti dapat datang nabi lagi setelah
Nabi Muhammad Saw. yang merupakan bayangan kenabian Rasulullah Saw. Dan, nabi-nabi itu tidak
membawa syariat baru, mereka hanya mengikuti syariat Rasulullah Saw. dan mereka diutus hanya
untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. saja, serta segala sesuatu yang mereka peroleh
adalah karena keberkatan dari beliau Saw. Dengan kedatangan nabi-nabi semacam itu sekali-kali tidak
mengurangi
atau
merendahkan
kedudukan
Nabi
Muhammad
Saw.
sebagai aakhirulanbiya, sebagaimana halnya dengan menyuruh mendirikan mesjid-mesjid baru haruslah sesuai dengan
model dan tata cara mesjid beliau Saw., sekali-kali tidaklah mengurangi atau merendahkan kedudukan
serta martabat mesjid beliau Saw. sebagaiaakhirul-masaajid.
Demikian pula kalimat aakhirul-anbiya pun tidak mengandung arti bahwa sesudah beliau Saw.
tiada seorang nabi pun dapat datang lagi. Yang sebenarnya adalah tidak dapat datang seorang nabi yang
me-mansukh-kan (membatalkan) syariat beliau Saw. Sebab, sesuatu dapat dikatakan barang terakhir
jika barang yang lama sudah mulai habis. Jadi, nabi yang datang untuk mengukuhkan
kenabian Rasulullah Saw., bukanlah seorang nabi yang berdiri sendiri, karena ia berada di dalam lingkup
kenabian Rasulullah Saw. Ia baru dapat disebut nabi yang berdiri sendiri apabila ia datang untuk
membatalkansalah satu hukum atau Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap masalah dengan sedalam-dalamnya
sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin karena kekhawatiran terhadap orang-orang yang dapat
menjadi mangsa kekeliruan semacam itu, maka Hz. Siti Aisyah ra. berkata:
Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamulanbiya, tetapi jangan sekali-kali
kamu mengatakan laa nabiyya badahu (tidak ada nabi sesudahnya). (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204;
Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 5).[127]
Apabila menurut pendapat Hz. Aisyah r.a. sesudah Rasulullah Saw. tidak dapat datang kenabian
jenis apa pun juga, maka mengapakah beliau r.a. melarang orang-orang mengatakan laa nabiyya
badahu (tidak ada nabi sesudahnya)? Dan apabila pendapat beliau itu salah, mengapa para Sahabat r.a.
tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah r.a. itu?
Kesimpulannya, karena Hz. Aisyah ra. telah mencegah mengucapkan perkataan laa nabiyya
badahu, hal itu menunjukkan bahwa menurut pendapat beliau, sesudah Rasulullah Saw. dapat datang
nabi; akan tetapi nabi yang membawa syariat atau yang berdiri sendiri atau yang setara martabat dan
kemuliaannya dengan Rasulullah s.a.w., serta yang tidak terikat denganRasulullah Saw. tidak dapat
datang lagi. Kenyataan bahwa para Sahabat ra. tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah ra. itu
menunjukkan bahwapara Sahabat r.a. semuanya juga sepakat dan berpendirian sama mengenai
masalah itu.
Untuk memperjelas keterangan Hz. Aisyah ra. dan sikap para Sahabat ra., lebih lanjut kita
dapatkan beberapa pendapat para ulama Salaf mengenai Hadits laa nabiyya badiy sebagai berikut:
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis:
Inilah arti dari sabda Rasulullah Saw. Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka
tidak ada rasul dan nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengansyariatku. Apabila ia datang,
ia akan ada di bawah syariatku. (Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra,
Mesir,
jld II, hlm. 3).[128]
Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata:
Dan sabda Nabi Saw.: tidak ada nabi dan rasul sesudah aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi
nabi sesudah aku yang membawa syariat. (Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).[129]
Imam Thahir Al Gujrati berkata:

Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan
ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan syariat beliau. (Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85).

[130]
Sayyid Waliyullah Muhaddits Ad-Dahlawi berkata:
Dan khaatam-lah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang
akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia. (Tafhimati Ilahiyyah, hlm. 53).[131]
Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan:
Jika Ibrahim[132] hidup dan menjadi nabi, demikian pula Umar menjadi nabi, maka mereka
merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Saw. Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyasalaihimus salaam.
Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman- Nabiyyiin. Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa
sekarang, sesudah Rasulullah Saw. tidak dapat lagi datang nabi lain yang membatalkan syariat beliau
Saw. dan bukan ummati beliau Saw. (Maudhuaat Kabiir, hlm. 69).[133]
Jadi, dari banyaknya keterangan dan dalil-dalil di atas berdasarkan Al-Quran, Sunnah,Hadits,
pemakaian dan ungkapan bahasa Arab serta pendapat para ulama Salaf, kita dapatkan bsahwa Nabi
Muhammad Saw. bukanlah nabi terakhir atau penutup dengan arti tidak boleh ada nabi lagi dalam bentuk
apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw.
Pengertian Nabi Muhammad Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin yang sebenarnya adalah berarti
meterai para nabi atau cincin (perhiasan) para nabi atau yang termulia dan tersempurna daripara nabi.
Pengertian inilah yang diterima dan diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah mengenaikhaatamannabiyyiin sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Quran Karim.

[1] Louis J. Hammann, Ahmadiyah Selayang Pandang, (terj.) M.A. Suryawan, 15 Mei 1985.
Diterbitkan oleh The Ahmadiyya Movement in Islamic Inc. 2141 Leroy Place, N. W. Washington DC 2008,
hal. 402
[2] Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam, (Jakarta: Fadlindo Media
Utama, 2005), hal. 8. Selanjutnya dibaca: Ali Nadwi.
[3] Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, (Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), hal. 1.
Selanjutnya dibaca: Muhammad Ali.
[4] Ali Nadwi, hal. 9
[5] Ali Nadwi, hal. 11
[6] Ali Nadwi, ha. 12
[7] Muhammad Ali, hal. 2
[8] Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana
Matahari Ramadhan 1894-1994, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994), hal. 9
[9] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Nasehat Mujaddid Abad 14 H., (Jakarta: Darul Kutubil
Islamiyah, 2005), hal. 1-3. Selanjutnya sibaca: Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
[10] Nanang Iskandar, Hasil Studi Banding Ahmadiyah, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2005),
hal. 9. Selanjutnya dibaca: Nanang Iskandar
[11] Mahmud Ahmad Cheema, Tiga Masalah Penting, (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
2001). Selanjutnya dibaca: Mahmud, hal. 1-2
[12] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah Islamiyah, (Qadian: Zia al-Islam Press, tt.), hal. 34.
[13] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 4
[14] QS. Al-Baqarah [2]:257
[15] "Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya Aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira
dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)."
Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:
"Ini adalah sihir yang nyata."
[16] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 70-72
[17] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 71
[18] Nanang Iskandar, hal. 12
[19] QS. Al-Ahzab [33]:40
[20] Diperoleh dari http://Id.Wikipedia.Org./Ahmadiyah
[21] Wali Ahmad Baigh adaalh Mubaligh AHmadiyah yang menguasai bahasa Inggris semenjak
tahun 1924 bertugas sebagai mubligh dan pernah bermukim di Yogyakarta, Wonosobo, Problinggo,
Purwakerto, dan Jakarta, pulang ke Pakistan tahun 1937; dan Maulana Ahmad menguasai bahasa Arab.
Mereka berdua telah memperkenalkan paham-paham pemikiran pembaharuan Islam di Indonesia. Kan
tetapi, oleh karena maulana Ahmad jatuh sakit, ia tidak dapat melanjutkan dakwahnya, dan kemudian
segera pulang ke India. Lihat Nanang Iskandar, hal. 15-16.
[22] Karena simpatinya yang terbuka kepada gerakan inilah maka Bung Karno pernah dituduh
sebagai telah masuk Ahmadiyah, bahkan menjadi agen penyiaran, sehingga ia terpaksa menulis sebuah
artikel yang berjudul, "Saya Tidak Percaya Ghulam Muhammad Sebagai Nabi." Lihat M.A.
Suryawan, Bukan Sekadar Hitam Putih; Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, (Jakarta: Azzahra
Publishing, 2005), hal x. Selanjutnya dibaca: Suryawan.
[23] Suryawan, hal. xi

[24] Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
Busakn Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 402
[25] Lihat Dawam Raharjo dalam pengantar buku Suryawan, h. xx
[26] Pelarangan trhadap ajaran Ahmadiyah elah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
semenjak tahun 1953. di antara Surat Keputusan RI tertangal 13 Maret 1953 No. JAS/23/13/1953; Kejari
Subang No. Kep. 01/1.2 JPKI. 312/PAKEM/3/1976; Kejaksaan Agung RI dengan SK No. B. 924/D.
1/101980 tertanggal 29 Mei 1983; Kejari Selong No. Kep. II/IPK.32.2III.3/11/1983; Kejari Sidengreng
Rampang No. Kep. 172/N. 3. 163/2/1986; Kejari Sungai PEnuh No. Kep. 01/J. 612/3/DKS.3/41989; Kejari
Tarakan No. Kep II/M. 4. 12. 3/DKS. 3/12/1989; Surat Edaran BIMAS ISLAM DAN URUSAN HAJI No.
D/B. A. 01/3099/1984 tertanggal 20 September 1984. lihat Hasil telaah Kasus Faham Ahmadiyah seri II;
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan LITBANG Depag RI 1986, hal. 42. lihat juga Sufyan Raji
Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-ciri AJarannya, (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006),
hal. 197.
[27] Dawam Raharjo dalam pengantar Suryawan, hal. xviii
[28] HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abul Karim Amrullah), Peladjaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1956), hal. 191
[29] Mirza Tahir Ahmad, Asma Ilahi, berbagai Aspek Makrifat dan Sifat-sifat Allah Ta'ala;
Kumpulan Khutbah-khutbah, jilid I, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995), hal. 14. Selanjutnya
dibaca: Mirza Tahir Ahmad.
[30] Mirza Tahir Ahmad, hal. 18
[31] Mirza Tahir Ahmad, hal. 19
[32] QS. Al-Rahman [55]: 29-30
[33] QS. Al-An'm [6]: 101-104
[34] Mirza Tahir Ahmad, hal. 43
[35] QS. Al-Nahl [16]: 68-69
[36] QS. Al-An'm [6]: 101-104
[37] QS. Al-Anfal [8]: 12
[38] QS. Al-Midah [5]: 11
[39] QS. Al-Anbiy' [21]: 74 & 164
[40] A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta: Rmbooks, 2006), hal. 60-66.
Selanjutnya dibaca: Kurniawan, Teologi KA
[41] QS. Al-Furqn [25]: 53
[42] QS. Al-Baqarah [2]: 257 dan QS. Yunus [10]: 100
[43] QS. Al-Furqn [2]: 191
[44] QS. Al-Anfl [8]: 62-63
[45] QS. Al-Hajj [22]: 40-41
[46] QS. Al-Hajj [22]: 41
[47] M. A Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, (Jakarta:
Azzahra Publishing, 2005, hal. 73. selanjutnya dibaca: Suryawan, Hitam Putih.
[48] Abu Fuad Almaawi, Jihad Versus Penumpahan Darah Atas Nama Agama, (Bogor: CV
Bintang Tsurayya, 1994), hlm. 27.
[49] Ibid. 75
[50] Ibid., hlm. 28-29
[51] Meskipun Inggris dan negeri-negeri Barat lainnya sering dsebut Bangsa Kafir.
[52] Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad menjelaskan: Ketika surat sampai kepada Raja Kristen
Negus, beliau memperlihatkan rasa hormat dan takzim kepadanya. Diangkatnya surat itu setinggi mata,
kemudian turunlah ia dari singgasananya dan meminta peti gading untuk menyimpan surat itu, seraya
berkata, Selama surat ini aman, kerajaanku akan aman pula. Apa yang dikatakannya ternyata benar.
1000 tahun lamanya Lasykar Muslim bergerak dalam operasi penaklukan-penaklukan. Mereka menuju ke
semua jurusan dan melewati perbatasan Abessinia, tetapi mereka tidak menyentuh kerajaan kecil Negus
itu; itu semua atas penghargaannya kepada dua tindakan bersejarah, ialah, perlindungannya terhadap
para pengungsi Islam di zaman permulaan dan penghormatan yang ia perlihatkan terhadap
surat Rasulullah Saw. Lihat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Rasulullah Saw, terj.
Sukri Barmawi, (Bogor: Yayasan Wisma Damai, 1992), hlm. 149.
[53] Peristiwa hijrah-nya kaum muslimin ke negeri Abessinia adalah peristiwa hijrah yang pertama
kalinya terjadi dalam sejarah Islam.
[54] Dalam beberapa Hadits Shahih ditemukan keterangan bahwa Rasulullah Saw. juga
melakukan shalat dan mendoakan Negus/Najasyi ketika mengetahui ia telah wafat.
[55] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta, Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa, 1990), hlm. 105.
[56] Abu Fuad Almaawi, op. cit., hlm. 36.
[57] Kurniawan, Teologi KA, hal. 66-74
[58] QS. Al-Baqarah [2]: 31-32
[59] QS. Shad [38]: 27
[60] QS. Al-A'raf [7]: 70 & 75
[61] QS. Al-A'raf [7]: 143
[62] QS. Al-Nr [24]: 55
[63] HR. Ahmad dan Baihaqi
[64] Nanang Iskandar, hal. 12

[65] Nanang Iskandar, hal. 12-13


[66] Kurniawan, Teologi KA, hal. 74-81
[67] QS. Yasin [36]: 82
[68] Mirza Tahir Ahmad, hal. 43
[69] Uraian lebih detail mengenai hal ini baca Mirza Ghulam Ahmad, Al-Masih di Hindustan
Terhindarnya Nabi Isa as. dari Kematian di Tiang Salib dan Perjalanannya ke Hindustan, (Parung:
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997). Abu al-Atta Jalandhri, Kematian di Atas Salib, (Parung: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1998), Mahmud, hal. 1.
[70] Luwice Ma'luf, Al-Munjid, (Beirut: Al-Mathba'ah al-Katulikiyah, 1925), hal. 258
[71] Alauddin al-Hindi, Kanzul Ummal, Jilid III, (Beirut: Muassasatur Risalah, 1989), hal. 110
[72] HR. Bukhari
[73] Muhammad Ali, hal. 15-16
[74] Muhammad Ali, hal. 16.
[75] Kurniawan, Teologi KA, hal. 81-86
[76] QS. Al-Ahzab [33]: 40
[77] Suryawan, Hitam Putih, hal 20
[78] Menurut keterangan Al-Qur'an, Nabi Isa as. (Yesus) dari Nazareth sudah
mati/meninggal/wafat (5:118, 3:56, 5:76, 3:145), dan orang yang telah mati tidak dapat datang lagi ke
dunia ini (23:101) dan hanya akan dibangkitkan di alam Akhirat. Jika Nabi Isa as. belum wafat dan masih
hidup dengan jasad kasarnya entah di mana seperti yang dipercayai oleh kebanyakan kaum Muslimin
(Orang Kristen juga percaya Yesus masih hidup dengan jasad kasarnya) sampai dengan hari ini dengan
umurnya lebih dari 2000 tahun, lalu bagaimana ia makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimana beliau
mendirikan shalat dan membayar zakat (19:32-33), dan zakatnya diberikan kepada siapa? AlQur'an telah menyangkal dengan tegas bahwa tidak ada seorang rasul pun (termasuk Nabi Isa a.s.) yang
memiliki kekekalan (21:8-9), sebab tiap-tiap makhluk yang berjiwa akan mati (21:35-36). Selain
keterangan Al-Quran, menurut Nabi Muhammad Saw, Nabi Isa as. telah wafat dalam usia sekitar 120
tahun. Diriwayatkan dari Siti Fatimah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam
hidup selama 120 tahun" (H. R. Thabrani, Kanzul Ummal, 1989, jld. XI, hal. 479). Demikian pula
dalam Hadits lainnya dapat ditemukan sabdaRasulullah Saw. mengenai telah meninggalnya Nabi Isa as.
sebagai berikut: "Jika Musa dan Isa hidup, mereka harus mengikuti aku" (Alyawaqit Waljawaahir, Abdul
Wahab Sya'rani, Al Haramain, Singapura, hal. 22, bab ke-32), dan bahkan keluarga (ahl-bayt) Nabi
Muhammad s.a.w. sendiri, yaitu Hz. Hassan r.a. (Cucunya Rasulullah Saw.) menuturkan mengenai telah
meninggalnya Nabi Isa a.s., pada peristiwa wafatnya Hz. Ali r.a. sebagai berikut:
Wahai sekalian manusia, malam ini telah wafat seorang yang sebagian amal perbuatannya tidak
pernah dicapai orang-orang sebelumnya dan tidak pula akan dicapai oleh orang-orang yang akan datang
kelak. Rasulullah s.a.w. mengutus beliau ke medan perang, maka Jibril menjaga di sebelah kanannya
dan Mikail di sebelah kirinyaBeliau wafat pada malam ketika Isa ibnu Maryam pada malam yang sama
ruhnya diangkat ke langit, yakni, pada malam tanggal dua puluh tujuh bulan Ramadhan ( Thabaqat Ibn
Saad, jilid III). Lihat Mahmud Ahmad Cheema,Tiga Masalah Penting, (Bogor: Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 2001), hlm. 9-10. Selanjutnya dibaca: Mahmud, Tiga. Mirza Bashiruddin Mahmud
Ahmad, Dawatul Amir, terj. Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani dan R. Ahmad Anwar, (Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1989), hlm. 25.
[79] Masalah kewafatan Nabi Isa a.s. (Yesus) dalam Kristologi Islam merupakan masalah yang
kompleks dan kontroversial. Beberapa golongan di dalam Islam bahkan tidak percaya kalau Nabi Isa a.s.
pernah disalib, dan sebagai gantinya yang disalib oleh kaum Yahudi adalah orang yang menyerupai dan
dianggap sebagai Nabi Isa a.s., sedangkan Nabi Isa a.s. sendiri diselamatkan dari sengsara dan
kematian, kemudian diangkat ke langit oleh Tuhan. Konsep ini dikenal dengan nama teori substitusi (teori
penggantian). Adanya teori subtitusi dan kenaikan Nabi Isa as. secara jasmani (dengan jasad kasarnya)
ke langit/sorga tidaklah bersumber dari Al-Qur'andan Hadits. Sebaliknya, Al-Qur'an dan Hadits dengan
jelas menerangkan bahwa Nabi Isa a.s. telah meninggal secara alamiah. Teori substitusi ini dibawa
kepada Islam melalui konversinya para ahlul kitab (People of the Book) menjadi Islam yang sebelumnya
menganut ajaran sekte Kristen Gnostik tertentu, dan belakangan dalam perkembangannya pengaruh
ajaran Gnostik mengenai substitusi perlahan diadopsi dalam tafsir dan literatur Islam. Kepercayaan
bahwa seseorang telah menggantikan Yesus di atas salib telah dikemukakan oleh banyak
penafsir Quran berabad-abad yang lalu. Ada beberapa versi mengenai teori substitusi yang muncul
dalam literatur Islam. Tabari dalam tafsirnya merujuk kepada Wahb (seorang Yahudi yang masuk Islam)
meriwayatkan ketika kaum Yahudi mencari Yesus untuk disalibkan, Tuhan kemudian merubah
penampilan 17 orang murid Yesus seperti diri Yesus. Kaum Yahudi mengancam untuk membunuh
mereka semua, namun hanya seorang yang dieksekusi mati di atas salib, karena yang seorang itu
dianggap sebagai Yesus. Tahap perkembangan selanjutnya dari teori substitusi menampilkan bahwa satu
dari murid-murid Yesus dengan sukarela menawarkan dirinya untuk mati di atas salib demi
menyelamatkan gurunya. Sangat dimungkinkan kisah seperti itu terbentuk untuk menghindari pertanyaan
besar yang muncul mengenai gagasan substitusi, yaitu: Mengapa Tuhan memaksa seseorang yang tak
berdosa untuk menderita dan mati demi menyelamatkan nyawa Nabi Isa a.s.? Juga Ibnu Ishaq senada
dalam tafsirnya mengambil riwayat yang bersumber dari seorang Kristen tanpa nama yang masuk Islam,
menyebutkan bahwa seseorang yang bernama Sergus telah menawarkan dirinya untuk menggantikan
Nabi Isa a.s. bukanlah salah seorang di antara murid-murid Nabi Isa a.s. Versi lainnya menyebutkan
bahwa terjadinya perubahan fisik seseorang yang menyerupai dan menggantikan Nabi Isa a.s. di atas
salib merupakan suatu bentuk hukuman Tuhan atas pengkianatan dan kejahatan yang dilakukan orang

itu kepada Nabi Isa as. Sebagai contoh diriwayatkan, bahwa para penentang Nabi Isa a.s. mengirim
seseorang bernama Tityanus untuk membunuh Nabi Isa as., namun Tuhan menggagalkan rencana itu
dengan mengangkat Nabi Isa a.s. kepada-Nya, dan sebagai hukumannya Tuhan hanya mengganti wajah
Tityanus dengan wajah Nabi Isa a.s. sehingga masyarakat menjadi penuh keraguan (bingung) atas
identitas orang yang mati terbunuh di atas salib. Lihat dalam foot notnya Kurniawan, Hitam Putih , hal. 24
[80] Malik Ghulam Farid, Al Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, (Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 1997). Selanjutnya disebut Malik Ghulam Farid.
[81] Jika dibaca ayat-ayat sebelumnya dalam Surah al-Ahzab ini, dapat diketahui bahwa
diberikannya gelar khaataman-nabiyyiin kepada Nabi Muhammad Saw. adalah dalam konteks pembelaan
Allah Taala terhadap Rasulullah Saw. berkaitan dengan pernikahan beliau dengan Siti Zainab ra.,
seorang bekas menantu dan janda dari Zaid ibn Harits ra. (Zaid adalah anak angkat Nabi Saw.). Pada
waktu itu orang-orang Arab mencerca habis-habisan karena beliau Saw. dianggap telah melanggar tradisi
dengan menikahi bekas menantunya sendiri, dan para kritikus serta ulama yang punya pikiran kotor
mengatakan bahwa Nabi Saw. telah memerintahkan menceraikan perkawinan Zaid dan Zainab karena
secara diam-diam Nabi Saw. memang telah jatuh cinta kepada menantunya. Dengan adanya ayat
tersebut, Allah Taala menegaskan bahwa Rasul Allah ini adalah khaataman-nabiyyiin, yang mempunyai
ahlak yang setinggi-tingginya di antara semua manusia dan para nabi, beliau adalah Nabi yang
paling afdhal, paling mulia, paling sempurna, nabi yang khaatam dalam segala kebaikan sebagai
manusia dan nabi Allah. Hz. Zaid ra. statusnya hanyalah sebagai anak angkat dan dipelihara oleh Nabi
Saw. Dahulu ia adalah seorang budak belian yang telah dibebaskan, tetapi tidak mau pulang kembali
kepada orang tuanya. Untuk meningkatkan derajat dari budak belian yang tadinya tidak merdeka, maka
Hz.Sayyidina Rasulullah s.a.w. meminta Hz. Siti Zainab ra. (anak dari bibi Rasulullah Saw. yang seorang
bangsawati Arab) agar mau menikah dengan Zaid. Pernikahan ini dimaksudkan untuk meniadakan
perbedaan dan pembagian kelas dalam masyarakat. Namun perkawinan dengan perbedaan bibit-bobotbebet, tidak adanya persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab
perasaan rendah diri yang diderita Zaid, dan mungkin juga cara hidup yang menyolok itu nampaknya atau
terbukti menimbulkan beberapa masalah, sehingga perkawinannya menjadi tidak harmonis.
Allah Taala dalam ayat 33:41 ini telah menerangkan dengan amat jelas bahwa: Muhammad bukanlah
bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu [artinya Nabi Muhammad Saw. bukanlah bapaknya
Zaid, dan Nabi Saw. tidak mempunyai anak laki-laki, karena semua anak laki-lakinya telah meninggal
pada masa kanak-kanak], akan tetapi beliau Saw. adalah Rasul Allah dan Khaataman-Nabiyyiin. Bagi Hz.
Siti Zainab ra. yang telah menjadi janda karena bercerai dari Hz. Zaid ra., maka Hz. Rasulullah Saw.
kembali ingin mengangkat derajat janda yang pernikahannya dahulu itu adalah atas dasar rekomendasi
beliau Saw., dengan menjadikannya sebagai isteri Nabi, ummul mukminin. Dengan demikian, hikmah
pernikahan Nabi Saw. dengan Hz. Zainab ra. - yang sebelumnya telah mendapat kecaman dan cacian
dari para penentangnya - memiliki makna: (i) Menggugurkan tradisi larangan menikahi janda (bekas istri)
anak angkat, dan (ii) mengangkat derajat janda bekas budak belian menjadi ummul mukminin (Ibu orangorang beriman). Jadi, selain ayat 33:41 di atas tentang Khaataman-Nabiyyiin, di dalam Kitab Suci AlQuran tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir dan
tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam. Lihat dalam catatan kaki
Suryawan, Hitam Putih, hal. 28-29
[82] Malik Ghulam Farid
[83] Peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
berkatalah ia: Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah Saw. wafat, Rasulullah Saw. menshalatinya dan bersabda,
Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi
yang benar. (H. R. Ibnu Majah). Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan
ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau Saw. mengucapkan kata-kata
tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaatamannabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka
seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena
akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat jelas bahwa Nabi Saw. yang menerima wahyu, dan paling
mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau Saw. tidak mengungkapkan
pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.
[84] Pada masa jahiliyah, anak laki-laki merupakan kebanggaan dan penerus silsilah para raja,
kepala suku atau kepala keluarga, sehingga anak perempuan tidak layak untuk dipelihara bahkan
dibunuh dengan cara-cara biadab.
[85] Menurut data statistik populasi umat beragama untuk tahun 2000, populasi manusia di bumi
adalah
19.6%
beragama
Islam.
(Sumber:
Number
of
adherents
of
world
religions,http://www.religioustolerance.org/worldrel.htm.
[86] Nabi Muhammad Saw.
[87]Maa terjemahan yang dipakai di sini adalah termasuk, rujukan kata ini dapat dilihat
dalam Surah an-Nisaa : 146-147 dan Surah Ali Imran : 194
[88] Malik Ghulam Farid
[89] Suryawan, Hitam Putih, hal. 33
[90] Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahnya, Pelita III/ Tahun IV/1982/1983, hlm. 130. Selanjutnya disebut Depag RI.
[91] Depag RI
[92] QS. Al-Nis' [4]: 146-147 dalam terjemahah Malik Ghulam Farid

[93] Malik Ghulam Farid


[94] Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuthi, Turunnya Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman, a.
b. A.K. Hamdi, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), hal. 64-65.
[95] Malik Ghulam Farid
[96] Malik Ghulam Farid
[97]Malik Ghulam Farid
[98] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[99] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[100] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[101] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[102] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[103] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[104] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[105] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[106] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[107] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[108] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[109] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[110] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[111] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[112] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[113] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[114] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[115] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[116] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[117] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[118] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1998).
[119] Mahmud, Tiga Masalah. Hal. 27
[120] Suryawan, Hitam Putih, hal. 47
[121] Suryawan, Hitam Putih, hal. 47
[122] Suryawan, Hitam Putih, hal. 48
[123] Suryawan, Hitam Putih, hal. 49
[124] Suryawan, Hitam Putih, hal. 49
[125] Rasulullah Saw. bersabda: Aku adalah nabi yang terakhir dan mesjidku adalah mesjid
yang terakhir. (H. R. Muslim).
[126] Hadits ini merupakan referensi satu-satunya untuk istilah aakhirul-anbiya (nabi terakhir),
dan Hadits ini tidak pernah ditampilkan oleh para penentang Ahmadiyah di dalam tulisan-tulisan mereka
untuk memperkuat konsep Muhammad Saw. sebagai nabi terakhir.
[127] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997),
hlm. 9. Selanjutnya dibaca: Ahmad.
[128] Mahumud, Tiga Masalah, hal. 28
[129] Ahmad, hal. 8
[130] Ahmad, hal. 7
[131] Ahmad, hal. 8
[132] Ibrahim adalah putra Nabi Muhammad Saw. dari ummul mukminin Hz. MariaQibtiyah r.a.
[133] Suryawan, Hitam Putih, hal. 54

Anda mungkin juga menyukai