Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA.

Di Susun Oleh : Kelompok 5

1. FERI GUNAWAN. 202101030039


2. AFTOR MUZAQQI. 202101030019
3. RAISKA SALSABILA. 202101030046
4. SITI NUR KHOLISAH. 202101030047
5. ICA NURRAHMAH. 202101030034
6. NOVITA SARI SELVIA VIRA 202101030041

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

JURUSAN PENDIDIKAN DAN BAHASA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

APRIL 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta hidayahNya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “ kebijakan pendidikan islam di
madrasah ”. Tak lupa, Sholawat serta salam terlimpahkan kepada Rasulullah SAW yang
telah membawa kita dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah .

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Analisis Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah. Semoga Allah melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada kita semua. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof.
Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah Analisis Kebijakan
Pendidikan Islam yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk satu semester ke
depan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis
menerima kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun, agar dapat
memperbaiki makalah ini sehingga lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi informasi yang
berguna untuk pembaca, terutama bagi mahasiswa agar dapat memahami tentang kebijakan
pendidikan agama islam di sekolah.

Jember, 04 April 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL.................................................................................................1

KATA PENGANTAR..................................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................4
C. TUJUAN..................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. KEBIJAKAN PAI DISEKOLAH MASA ORDE LAMA.......................................5


B. KEBIJAKAN PAI DISEKOLAH MASA ORDE BARU........................................7
C. KEBIJAKAN PAI DISEKOLAH MASA REFORMASI.......................................10

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN...............................................................................................,........13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................,....14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdebatan wacana pendidikan Islam dalam sejarah Sisdiknas, merupakan
wacana aktual yang takkan berakhir. Banyak argumen dikemukakan, salah satunya
adalah, karena pendidikan Islam selalu bersentuhan dengan persoalan umat beragama
dengan jumlah melebihi dua ratus juta jiwa. Berbagai pemikiran telah dikembangkan
oleh para ahli, yang sudah barang pasti bahwa warna-warni pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang dilaluinya.
Kajian berikut akan fokus pada kebijakan pendidikan Islam yang tercover dalam
UU Sisdiknas (UU No. 4/1950 (12/1954), UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003),
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan lain-lain yang menjabarkan lebih lanjut
kebijakan tersebut. Meski pendidikan Islam tidak disebut secara eksplisit dalam
perangkat kebijakan tersebut, namun secara implisit banyak istilah yang muncul dan
dicakup dalam konsep pendidikan Islam. Karena itu, analisis terhadap perangkat
kebijakan tersebut menjadi penting, sebab dalam logika yudisial, sifat imperatif UU
Sisdiknas akan efektif jika diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk
hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, maka adapun rumusan masalah
yaitu :
1. Bagaimana kebijakan pendidikan agama islam disekolah pada masa orde lama?
2. Bagaimana kebijakan pendidikan agama islam disekolah pada masa orde baru?
3. Bagaimana kebijakan pendidikan agama Islam disekolah pada masa reformasi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah penulis rumuskan, maka adapun tujuan
dari penulisan makalah yaitu:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kebijakan pendidikan agama islam
disekolah pada masa orde lama

4
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kebijakan pendidikan agama islam
disekolah pada masa orde baru.
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kebijakan pendidikan agama islam
disekolah pada masa reformasi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Pada Masa Orde Lama


Untuk memahami kebijakan pemerintah orde lama tentang penyelenggaraan
pendidikan Islam harus didahului dengan memahami kebijakan-kebijakan umum dan
kebijakan khusus pendidikan nasional. Karena pendidikan Islam merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional orde lama.
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
Berikutnya pada tahun 1950 Pemerintah Orde Lama baru dapat
melaksanakan tugas yang dibebankan oleh UUD 1945 yaitu membentuk sistem
pendidikan nasional yang diatur dengan Undang-undang. Pada tahun 1950
terbentuklah Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Ada beberapa pasal dalam Undang-
undang ini yang memiliki semangat untuk dalam membentuk sistem pendidikan
Islam di Indonesia oleh Pemerintah Orde Lama, antara lain pada Pasal 20, ayat
1).Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid
menetapkan apakah anaknja akan mengikuti pelajaran tersebut. Dan ayat 2)
Tjara menyelenggarakan pengajaran agama disekolah-sekolah negeri diatur
dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. 1
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1954
Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tidak lama umurnya, karena pada
tahun 1954 undang-undang tersebut digodok lagi di DPR. Empat tahun
kemudian, setelah Indonesia kembali ke negara kesatuan, undang-undang

1 UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah

5
tersebut dimajukan kembali kepada DPR 2 . Pada 27 Januari 1954, undang-
undang tersebut diterima DPR untuk selanjutnya, pada 18 Maret tahun yang
sama (1954), dinyatakan berlaku dan dikenal sebagai Undang-Undang No. 12
tahun 1954.3 UU. No. 12 Tahun 1954 ini bukanlah merupakan undang-undang
baru tentang pendidikan di Indonesia, melainkan hanya menetapkan kembali
UU No. 4 Tahun 1950 dan diberlakukan kembali setelah bangsa Indonesia
berhasil menjadi negara kesatuan kembali. Substansi dasar-dasar pendidikan
dan pengajaran yang tercantum dalam UU. No. 4 Tahun 1950 tetap menjadi
acuan sistem pendidikan nasional ketika itu.
3. Tap MPRS No. 2 Tahun 1960
Tap MPRS ini merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemrintah Orde
Lama yang juga menjadi acuan dalam pelaksanaan pendidikan agama pada
masa itu. Yang berkaitan dengan pendidikan agama dalam Tap MPRS ini antara
lain pada pasal 2 Bidang Mental/Agama/Kerohanian/Penelitian : (1)
Melaksanakan Manifesto Politik di lapangan pembinaan
Mental/Agama/Kerohanian dan Kebudayaandengan menjamin syarat-syarat
spiritual dan materiil agar setiap warga negara dapat mengembangkan
kepribadiannya dan kebudayaan Nasional Indonesia serta menolak pengaruh-
pengaruh buruk kebudayaan asing. (2) Menetapkan Pancasila dan Manipol
sebagai mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi.
(3) Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah sekolah
mulai dari sekolah rakyat sampai dengan Universitas-universitas Negeri dengan
pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali
murid/murid dewasa menyatakan keberatannya. (4) Membina sebaik-baiknya
pembangunan rumahrumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. (5)
Menyelenggarakan kebijaksanaan dan sistim pendidikan nasional yang tertuju
kearah pembentukan tenaga-tenaga ahli dalam pembangunan sesuai dengan
syarat-syarat manusia Sosialis Indonesia, yang berwatak luhur. 4

2 Dr. Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan Antara Modernisasi dan
Identitas, hlm. 216
3 Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, DasarDasar Pendidikan dan Pengadjaran (Jakarta:

Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, 1954) dalam Dr. Arief Subhan, Lembaga Pendidikan
Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas, hlm. 216
4 TAP MPRS No. 2 Tahun 1960

6
Dalam TAP MPRS tersebut telah tercantum secara eksplisit urgensi
pendidikan agama bagi seluruh warga negara Indonesia dalam rangka
mewujudkan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana
terkmatub dalam Pancasila dan UUD 1945. Serta kemudian TAP MPRS ini
disempurnakan melalui TAP MPRS 1966 yang mewajibkan kepada seluruh
peserta didik dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi untuk mengikuti
pendidikan dan pengajaran agama, karena masa ini telah berganti ke
pemerintahan orde baru yang bermaksud membersihkan sisa-sisa pengaruh G-
30 SPKI.5

B. Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Pada Masa Orde Baru


1. SKB 3 Menteri 1975
Memperhatikan reaksi keras masyarakat muslim, membangkitkan
kesadaran pemerintahan Orde Baru untuk menepati pembinaan mutu
pendidikan madrasah secara kontinu. Oleh karena itu, bertalian dengan Keppres
No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974 pemerintah mengambil
kebijakan yang lebih operasional dalam hubungannya dengan madrasah. Pada
tanggal 24 Maret tahun 1975 dikeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga
Menteri No. 03 Tahun 1975 mengenai Peningkatan Mutu Pendidikan Pada
Madrasah. Dalam surat tersebut, masing-masing Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri
memikul tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan
madrasah.
SKB ini adalah bentuk jalan keluar yang secara khusus memberikan
penetapan eksistensi atau keberadaan madrasah, dan pada pandangan lain
memberikan pengakuan akan kontinuitas upaya yang menunjukkan pada model
sistem pendidikan nasional yang integratif. Pada SKB itu ditetapkan ada tiga
level madrasah ialah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang mana ijazahnya
diakui dan sederajat dengan level SD, SMP, dan SMA. Kemudian alumninya
bisa melanjutkan studi ke sekolah umum yang selevel lebih tinggi, dan
muridnya bisa berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

5 Ismail, “Politik Pendidikan Islam Orde Lama 1945-1965 (Study Kebijakan Pemerintah Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Islam”, hlm. 158

7
Ada dua arti dari SKB Tiga Menteri ini bagi masyarakat Islam yaitu
pertama, ada pergerakan sosial dan vertikal bagi para siswa yang mengenyam
pendidikan di madrasah yang semasa ini spesifik hanya pada lembaga
pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren. Kedua, mengekspos
kesempatan dari kemungkinan para santri untuk menyelami pekerjaan pada
kawasan yang modern. Kendatipun demikian, tidak berarti SKB Tiga Menteri
ini tidak memiliki problem. Dengan adanya SKB Tiga Menteri ini status dan
jenjang madrasah disamakan dengan sekolah umum. Unsur-unsur pada
kurikulum madrasah adalah 30% mata pelajaran agama dan 70% mata pelajaran
umum6. Akibat dari penyetaraan kurikulum ini adalah beban yang harus dipikul
oleh madrasah semakin bertambah. Di satu sisi madrasah mesti membenahi
mutu pendidikan umumnya harus setingkat dengan standar baku di sekolah. Di
sisi lain, madrasah harus menjaga mutu pendidikan agamanya supaya tetap baik
karena sebagai sekolah agama.
2. UU No. 2 Tahun 1989
Perdebatan tentang pendidikan Islam di sekolah dalam UU No. 2/1989
yang diundangkan 27 Maret 1989 berawal dari substansi tujuan pendidikan
nasional, yakni: “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Substansi istilah “manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur” sebagai indikator manusia Indonesia
seutuhnya menjadi penting. Yang setuju, karena (meminjam istilah
Mangunwijaya) penempatan itu akan berfungsi "leitmotif", yakni menjadi
kaidah penuntun, pengarah, dan cerminan bagi pengembangan indikator-
indikator lainnya, sehingga indikator lain tentang manusia Indonesia seutuhnya
akan terwarnai oleh indikator "beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur". Dengan demikian, dalam konteks PA

6Fajar Syarif, ‘The History and Development of Madrasa in Indonesia’, Tsaqofah Dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan
Dan Sejarah Islam, 5.1 (2020), 23

8
"keimanan dan ketakwaan" menjadi penting, bahkan menjadi basis
pengembangan indikator yang lain. Jika ini terjadi maka firman Allah "yarfa'il
lah al-ladzina âmanu minkum wal ladzina utul 'ilma darajat" akan menjadi
amat strategis. Sedang yang kontra menganggap warna islami sangat "kental"
sehingga wajah rumusan ini dinilai masih berwajah "Piagam Jakarta".
Sementara itu, pada bab IX tentang Kurikulum, Pasal 39 ayat (2) "isi kurikulum
setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) pendidikan
pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan". Selanjutnya,
dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2a tentang PA, dikemukakan bahwa "pendidikan
agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik
yang bersangkutan dengan memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama
lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional".
Sedangkan pendidikan keagamaan diatur sebagai bagian yang
dijelaskan pada Pasal 11, ayat (1) pendidikan keagamaan termasuk jenis
pendidikan jalur sekolah, sementara pada ayat (6) “pendidikan keagamaan
merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang
ajaran agama yang bersangkutan”. Penjelasan ayat ini dinyatakan bahwa
“pendidikan keagamaan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan”.
Selanjutnya, menurut Pasal 10 UU No. 2/1989 bahwa Pendidikan
Keagamaan selain dikenal sebagai kelembagaan pendidikan jalur sekolah,
sekaligus juga merupakan jenis, jalur, dan jenjang pendidikan luar sekolah.
Pendidikan luar sekolah merupakan jalur pendidikan yang diselenggarakan di
luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan
berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegiatan PAI dan PK yang
sudah ada seperti di pesantren, madrasah diniyah, dan suasana keagamaan
masih diberi legalitas dalam undang-undang untuk terus berkembang dan
memperoleh hak untuk dibina oleh pemerintah, karena merupakan bagian dari
sistem pendidikan nasional. Besarnya porsi yang dapat dimainkan oleh
lembaga-lembaga tersebut juga ditegaskan oleh UU No. 2/1989, PP, dan
kurikulum pendidikan, yaitu "membentuk manusia yang beriman dan bertakwa"
yang selanjutnya diharapkan dapat mewarnai dan menjadi acuan desain

9
rumusan tujuan-tujuan yang lain, yaitu tujuan institusional, tujuan kurikuler,
dan tujuan instruksional. Tidak seperti undang-undang sebelumnya (UU No.
4/1950) yang belum mengatur bagaimana konsep dan implementasi pendidikan
Islam, dalam UU No. 2/1989 telah diatur ketentuan pelaksanaan melalui
disahkannya sejumlah peraturan pemerintah (PP) seperti: PP 27/1990 tentang
Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP 29/90
tentang Pendidikan Menengah, PP 60/1999 (pengganti PP 30/1990) tentang
Pendidikan Tinggi, PP 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, PP 73/1991
tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan,
PP 39/1993 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional, dan
peraturan pemerintah lainnya.

C. Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Pada Masa Orde Reformasi


1. UUD 1945 (Amendemen IV, 10 Agustus 2002)
Pendidikan, sebagai fokus kajian yang selalu dinamis,
pengembangannya dapat diapresiasi dan diprediksi dari amendemen ke-4 UUD
1945, khususnya bab XIII Pasal 31 ayat (1-5) tentang “Pendidikan dan
Kebudayaan”, pada 10 Agustus 2002. Hasil amendemen tersebut penting
dipahami, karena pengembangan dan pemberdayaan pendidikan tidak bisa
terlepas acuannya dari hasil amendemen tersebut, sehingga implikasinya
terhadap pemberdayaan pendidikan di Indonesia sangat besar.
Sebelum diubah, bab ini berjudul Bab tentang “Pendidikan” terdiri dari
satu pasal, yaitu Pasal 31 dengan dua ayat. Setelah diubah menjadi Bab tentang
“Pendidikan dan Kebudayaan” yang terdiri atas satu pasal, yaitu Pasal 31
dengan lima ayat, yaitu ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Berikut
dikemukakan kelima ayat dimaksud :
“(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Perubahan ketentuan
Pasal 31 ayat (1) terletak pada penggantian kata tiap-tiap menjadi setiap dan
kata pengajaran menjadi kata pendidikan. Perubahan kata dari tiap-tiap menjadi
setiap merupakan penyesuaian terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
Sedangkan perubahan kata pengajaran menjadi pendidikan dimaksudkan untuk
memperluas hak warga negara karena pengertian pengajaran lebih sempit
dibandingkan dengan pengertian pendidikan.

10
“(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Pendidikan dasar menjadi wajib dan akan ada sanksi
bagi siapapun yang tidak melaksanakan kewajiban itu. Dengan demikian, setiap
warga negara mempunyai pendidikan minimum yang memungkinkannya untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa. Di pihak lain,
UUD mewajibkan pemerintah untuk membiayai pelaksanaan ketentuan ini.
“(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang”. Ketentuan ini mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa
Indonesia’ sebagai bangsa yang religius dengan memasukkan rumusan kata
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sementara tujuan
sistem pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa dalam praktik penyelenggaraan negara menunjukkan kurang
dipahaminya Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang pada hakikatnya mengandung
prinsip demokrasi pendidikan. Rumusan itu merupakan sikap bangsa dan negara
untuk memprioritaskan penyelenggaraan pendidikan sebagai upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Untuk
itu dirumuskan ketentuan dalam UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk
membiayai pendidikan dasar dan kewajiban warga negara mengikuti
pendidikan dasar tersebut serta negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari APBN dan APBD.
“(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Adanya rumusan itu
dimaksudkan sebagai dasar agar pemerintah berupaya memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjunjung tinggi nilai- nilai agama
dan memperkukuh persatuan bangsa.
Dua ayat dari lima ayat pada Pasal 31 hasil amendemen ke-4, khususnya
ayat tiga tersebut jelas memberi jaminan konstitusional. Ayat 3 (tiga)

11
mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang religius dengan memasukkan rumusan kata meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sementara tujuan sistem
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sedang ayat
5. (lima) dimaksudkan sebagai dasar agar pemerintah berupaya memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan memperkukuh persatuan bangsa. Konsep meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia yang termaktub pada ayat (3) dan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan bangsa sebagaimana
termaktub dalam ayat (5) adalah bagian dari jaminan konstitusional bagi
pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, karena jaminan konstitusi
tersebut akan memberi arahan terhadap penyusunan undang-undang, peraturan
pemerintah, dan aturan operasional lainnya, serta menjadi payung hukum bagi
kebijakan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tentang pendidikan Islam.
2. UU No. 20 Tahun 2003
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah disahkan DPR RI 11
Juni 2003 dan diundangkan 8 Juli 2003. Selain wacana pendidikan Islam yang
diperdebatkan dalam UU sebelumnya, dalam UU No. 20/2003 substansi
perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang mencerminkannya, yakni:
“substansi istilah iman, takwa, dan akhlak mulia dalam rumusan tujuan
pendidikan”, istilah “pendidikan agama”, “pendidikan keagamaan” secara
informal, formal maupun nonformal, “pengakuan kesetaraan pendidikan
diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal”, dan sebagainya.
Banyak hal yang dijadikan pertimbangan digagasnya UU No. 20/2003
tersebut, dua di antaranya adalah: Pertama, bahwa UUD 1945 hasil amendemen
keempat mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Kedua, bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional dan global, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Ada beberapa pasal dalam Undang-undang ini yang memiliki semangat untuk
dalam membentuk sistem pendidikan Islam di Indonesia oleh Pemerintah Orde
Lama, antara lain pada Pasal 20, ayat 1).Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan
pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti
pelajaran tersebut. Dan ayat 2) Tjara menyelenggarakan pengajaran agama
disekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri
Agama.
• .
• Dalam UU No. 20/2003 substansi perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang
mencerminkannya, yakni: “substansi istilah iman, takwa, dan akhlak mulia
dalam rumusan tujuan pendidikan”, istilah “pendidikan agama”, “pendidikan
keagamaan” secara informal, formal maupun nonformal, “pengakuan
kesetaraan pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal”, dan
sebagainya.

13
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah

Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, DasarDasar Pendidikan dan


Pengadjaran (Jakarta: Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, 1954)
dalam Dr. Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20:
Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas.

Soebahar Halim. 2013. Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Saampai UU
Sisdiknas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Fajar Syarif, ‘The History and Development of Madrasa in Indonesia’, Tsaqofah Dan Tarikh:
Jurnal Kebudayaan Dan Sejarah Islam, 5.1 (2020),

Ismail, “Politik Pendidikan Islam Orde Lama 1945-1965 (Study Kebijakan Pemerintah Dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Islam”.

TAP MPRS No. 2 Tahun 1960

14

Anda mungkin juga menyukai