Maret, 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan,
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kebijakan
Pendidikan Islam di Pesantren (Kebijakan Masa Reformasi)’’dengan tepat
waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar,, M.A. pada mata kuliah Analisis
Kebijakan Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Kebijakan Pendidikan Islam di Pesantren (Kebijakan
Masa Reformasi) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim
Soebahar,, M.A. selaku dosen pada mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan
Islam yang telah membimbing kami dan kepada orang tua yang telah mendo’akan,
juga kepada teman-teman.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kesepakatan Mendiknas Dan Menag Tahun 2000 Tentang PP Salafiyah Dan
Wajar Dikdas 9 Tahun .............................................................................................3
2.2 pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002, UU No. 20/2003, PP
19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan PMA
No. 13 Tahun 2014 ...................................................................................................9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang tertua
di Indonesia, keberadaannya telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran
Islam dimulai, dan hingga saat ini Pesantren telah banyak berperan dalam
mencerdaskan kehidupan bermasyarakat. Ini menunjukkan bahwa pondok
pesantren menunjukkan perkembangannya yaitu dengan tetap eksis dan konsisten
menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam. Pondok pesantren juga disebut sebagai sebuah institusi pendidikan
tradisional yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai tempat transmisi ilmu-
ilmu keislaman klasik, sebagai tempat preservasi nilai tradisional, dan sebagai
pusat bagi perkembangan para ulama.
Tak hanya itu saja, perkembangan pesantren semakin menunjukkan banyak
pencapaian yang signifikan. Ketika bersamaan dengan gelombang modernisasi,
lembaga Pesantren pun melakukan pembenahan pembenahan kelembagaan
metode pembelajaran dari berbagai segi yang menentukan eksistensinya vis-a-vis
lembaga pendidikan Islam lainnya. Pembaruan yang tidak menjerat identitasnya
sebagai lembaga pendidikan indigenous yang berurat akar dalam tradisi
masyarakat Indonesia, sehingga sampai saat ini perkembangan pesantren semakin
menunjukkan capaian-capaian yang signifikan, bersamaan dengan gelombang
modernisasi, pesantren-pesantren di Indonesia tetap survive hingga menjadi
kebanggaan tersendiri bagi umat islam.
Adapun aktivitas belajar di pesantren tidak hanya sekedar media (alat), tetapi
sekaligus dijadikan sebagai tujuan. Oleh karena itu proses belajar mengajar yang
dilakukan di sebuah Pesantren seringkali tidak mengalami dinamika dan tidak
mempertimbangkan waktu strategi dan metode yang lebih kontekstual dalam
perkembangan zaman. Dalam konteks kekinian Pesantren tentu harus semakin
menunjukkan perubahan-perubahan yang bersifat positif namun tak sedikit juga
yang menunjukkan perubahan yang bersifat negatif disebabkan derasnya arus
teknologi dan informasi pada masa kini. Tentunya Hal inilah yang menyebabkan
1
pendidikan di pondok pesantren mengalami perubahan dan pengembangan
khususnya bagi kurikulum serta metode pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesepakatan mendiknas dan menag tahun 2000 tentang pp
salafiyah dan wajar dikdas 9 tahun?
2. Bagaimana posisi pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002,
UU No. 20/2003, PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag
3/2012 & 9/2012, dan dan PMA No. 13 Tahun 2014?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kesepakatan mendiknas dan menag tahun 2000 tentang
PP salafiyah dan wajar dikdas 9 tahun
2. Untuk mengetahui posisi pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen
IV 2002, UU No. 20/2003, PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, &
Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan PMA No. 13 Tahun 2014
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesepakatan Mendiknas dan Menag tahun 2000 Tentang PP Salafiyah
dan Wajar Dikdas 9 Tahun
1
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”
Forum Tarbiyah Vol. 10, No. 2 (Desember 2012): 159
3
Pada pasal 1 kesepakatan antara Menteri Pendidikan Nasional (Yahya A.
Muhaimin) dan Menteri Agama (M. Tolhah Hasan) tentang Pondok Pesantren
Salafiah tanggal 30 Maret 2000 diputuskan keputusan umum sebagai berikut2:
1. Pondok Pesantren Salafiyah adalah salah satu tipe pondok pesantren yang
menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an dan Kitab Kuning secara
2
Kesepakatan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama 30 Maret 2000 Tentang PP
Salafiyah dan Wajar Dikdas 9 Tahun, pasal 1
3
Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional RI 6 Juni 2000, pasal 1
4
berjenjang atau Madrasah Diniyah yang kegiatan pendidikan dan
pengajarannya menggunakan kurikulum khusus pondok pesantren.
2. Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun
diselenggarakan selama enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di
sekolah lanjutan tingkat pertama atau satuan pendidikan yang setara.
3. Wajib Belajar Pendidikan Dasar adalah gerakan nasional yang
diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga negara Indonesia yang
berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun untuk mengikuti
pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
4. Wajib Belajar Pendidikan Dasar dilaksanakan di satuan pendidikan dasar
atau satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan setara dengan
pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat.
4
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 61
5
Kesepakatan Mendiknas dan Menag tahun 2000 Tentang PP Salafiyah dan Wajar Dikdas 9
Tahun, pasal 3
5
tahun perlu lebih dikembangkan dengan dukungan pemerintah dan
masyarakat.
2. Para siswa yang belajar di pesantren (santri) mempunyai kesempatan yang
sama untuk melanjutkan sekolah (belajar) ke jenjang yang lebih tinggi baik
kelembagaan pendidikan yang sejenis yang berciri khas agama (vertikal)
maupun kelembagaan pendidikan hukum umum (diagonal) dengan
memenuhi syarat tertentu yang diatur oleh Menteri terkait.
3. Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama serta instansi
terkait akan memberikan dukungan fasilitas terhadap pelaksanaan program
belajar mengajar di Pondok Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
6
Keputusan Bersama Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama dan Dirjen Dikdasmen
Departemen Pendidikan Nasional 3 Juni 200, pasal 3
7
Keputusan Bersama Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama dan Dirjen Dikdasmen
Departemen Pendidikan Nasional 3 Juni 200, pasal 4
6
3. Bahan pelajaran yang digunakan, di samping menggunakan bahan dari
buku-buku yang disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah, dapat
menggunakan buku-buku yang berlaku pada SD/MI/Paket A dan
SLTP/MTS/Paket B.
8
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”: 162
9
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”: 164
7
Kurikulum wajib bagi Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) Wajar Dikdas
hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja seperti PPS Wajar Dikdas tingkat
Ula: Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PPKN. Sedangkan PPS Wajar
Dikdas tingkat Wustho: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, PPKN,
IPA, dan IPS. Para lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Wajar Dikdas
mendapatkan ijazah yang secara legal formal setara dengan lulusan SD/MI dan
SMP/MTs. Dengan demikian, para lulusan PPS Wajar Dikdas dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan formal. Hal ini
merupakan suatu keuntungan dan kemajuan bagi keberadaan pesantren salafiyah.
Secara pragmatis, para lulusan pesantren salafiyah dapat memperoleh hak yang
sama dengan para lulusan sekolah formal dan secara politik pendidikan, pesantren
salafiyah mengokohkan dirinya sebagai lembaga pendidikan khas yang
keberadaannya diakui oleh negara. Sebagai konsekuensi dari pengakuan negara,
maka pesantren salafiyah berhak mendapatkan bantuan operasional pendidikan
yang bersumber dari APBN.
10
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas, 64
8
2.2 Pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002, UU No. 20/2003,
PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan
PMA No. 13 Tahun 2014.
9
Dilihat dari pelaksanaannya, “pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.15
15
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (1)
16
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (2)
17
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (3)
18
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, penjelasan pasal 15
19
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, pasal 14 ayat (1)
20
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 14
ayat (3)
10
atas: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan
pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan
sekurang-kurangnya untuk satu tahun pendidikan/akademik berikutnya, sistem
evaluasi dan manajemen dan proses pendidikan.21
21
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 13
ayat (4)
22
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 15
23
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 21
ayat (1)
11
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun”.24
24
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 11 ayat (2)
25
Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia”, 256
12
lembaga swasta lebih banyak dibandingkan lembaga negeri. Setelah reformasi
berlangsung perkembangan kelembagaan pesantren semakin pesat. Dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 1 ayat 38 dikemukakan bahwa Pendidikan
Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat26.
26
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan
Pemerintahan nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pasal
1 ayat 38 hal 9.
27
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LPES, 2011), 41.
13
Namun pondok pesantren memiliki pekerjaan besar yang harus dilakukan adalah:
28
Omid Safi, Progressive Muslim On Justice, Gender, and Pluralism (England, One World
Publications, 2003) 55-15
14
sesuai dengan maksud dan tujuan peraturan dimaksud dan oleh karena itu harus
dicabut dan dinyatakan tidak di berlakukan lagi.29
Karo Hukum dan KLN Mubarok mengatakan, untuk pencabutan PMA nomor
3 itu pihaknya telah menerbitkan PMA nomor 9/2012 tentang pencabutan PMA
nomor 3/2012. PMA nomor 3/2012 ditanda-tangani oleh Menteri Agama pada 21
Februari lalu, dan telah masuk sebagai berita negara pada Kementerian Hukum
dan HAM pada 23 Februari. Menurutnya, pencabutan PMA merupakan
kewenangan menteri, maka tidak perlu ada konsultasi dengan DPR.
29
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai Uu
Sisdiknas (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 197.
15
diundangkan pada tanggal 18 Juni 2014 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Amir Syamsuddin.
30
Menteri Agama Republik Indonesia. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2014, Pasal 3
31
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 2
32
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 2
16
bentuk pengajian kitab kuning pada umumnya dan/atau program takhasush pada
bidang ilmu keislaman tertentu sesuai dengan ciri khas dan keunggulan masing-
masing pesantren. Penyelenggaraan dirasah islamiyah dengan pola pendidikan
muallimin dilakukan secara integrative dengan memadukan ilmu agama Islam dan
ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memaddukan intra, ekstra, dan ko
kurikuler.33
a. Penyelenggara;
b. Pemerintah;
c. Pemerintah Daerah;
d. Masyarakat; dan atau
33
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 12
34
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 18
35
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 19
36
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, BAB IV Pasal 53 ayat (1)
17
e. Sumber lain yang sah.
Pemerintah meyakinkan dengan peraturan ini bahwa para santri yang telah
melaksanakan pendidikan non formal di pesantren dalam kurun waktu tertentu,
nantinya akan dihitung dan disetarakan, apakah dengan MI/SD, MTs/SMP, atau
MA/SMA. PMA tersebut dipersiapkan agar ada kepastian bahwa lamanya belajar
ini dapat dipertanggungjawabkan dari ijazah yang dihasilkan.
Lahirnya PMA ini mendapatkan sambutan hangat dari kalangan umat Islam.
Banyak yang memberikan komentar baik yang dilontarkan oleh sebagian besar
tokoh Islam. Misalnya KH Luqman Harits Dimyathi, Pengasuh pesantren Tremas
Pacitan yang juga Katib Syuriyah PBNU dan Sekretaris Forum Komunikasi
Pesantren Muadalah seIndonesia menjelaskan, perjuangan para pengasuh
pesantren untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini Kementerian
Agama hingga diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun
2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA Nomor 18 Tahun 2014
tentang satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren, dilakukan setelah
melewati proses panjang dan berliku.
37
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, BAB IV Pasal 53 ayat (2)
38
Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia”, 258
18
Lahirnya PMA No.13 Tahun 2014 ini lebih memberikan kejelasan
penerimaan dan pengakuan dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan
keagamaan Islam khususnya pesantren. Sejak pemerintahan Belanda, lembaga
pendidikan keagamaan Islam selalu didiskriminasikan. Di samping itu, lahirnya
PMA ini merupakan penghargaan dan penghormatan bagi umat Islam. Kita dapat
melakukan komparasi terhadap enam agama yang ada di Indonesia. Sampai saat
ini belum ada peraturan menteri agama republik Indonesia tentang pendidikan
keagamaan selain agama Islam.39
39
Arifin Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Sisdiknas (Poksi
VI FPG DPR RI, 2003, 35.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebelum diundangkannya UU Pesantren, dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional lalu diikuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, PMA No. 18
Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah dan PMA No. 71 Tahun 2015
tentang Ma’had Aly, posisi pesantren adalah sebagai bagian dari Pendidikan
Keagamaan Islam.
Selanjutnya dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang lalu
diikuti dengan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan
Penyelenggaraan Pesantren, dan PMA No. 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan
Penyelenggaraan Pesantren, PMA No. 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan
Pesantren, dan PMA No. 32 tentang Ma’had Aly, posisi pesantren bukan lagi
sebagai bagian dari Pendidikan Keagamaan Islam. Pesantren diposisikan sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai kekhasan dan diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal, sehingga selain mempunyai lembaga
pendidikan formal khas pesantren, pesantren juga sebagai wadah penyelenggaraan
sejumlah satuan pendidikan lain yang beragam.
20
DAFTAR PUSTAKA
Halim Soebahar, Abd. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai
UU Sisdiknas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013
21
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014
22