Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Kebijakan Pendidikan Islam di Pesantren (Kebijakan Masa Reformasi)

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Analisis Kebijakan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu Bpk Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar,, M.A.

Disusun oleh Kelompok 3:

Andini Lutviatul Maghfirah (202101030093)

Havid Ahadika (202101030071)

Muhammad Rummai Effendi (202101030095)

Wardatus Sholehah (202101030061)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER

Maret, 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan,
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kebijakan
Pendidikan Islam di Pesantren (Kebijakan Masa Reformasi)’’dengan tepat
waktu.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar,, M.A. pada mata kuliah Analisis
Kebijakan Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Kebijakan Pendidikan Islam di Pesantren (Kebijakan
Masa Reformasi) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Abd. Halim
Soebahar,, M.A. selaku dosen pada mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan
Islam yang telah membimbing kami dan kepada orang tua yang telah mendo’akan,
juga kepada teman-teman.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 5 Maret 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2

1.3 Tujuan ................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kesepakatan Mendiknas Dan Menag Tahun 2000 Tentang PP Salafiyah Dan
Wajar Dikdas 9 Tahun .............................................................................................3

2.2 pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002, UU No. 20/2003, PP
19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan PMA
No. 13 Tahun 2014 ...................................................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang tertua
di Indonesia, keberadaannya telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran
Islam dimulai, dan hingga saat ini Pesantren telah banyak berperan dalam
mencerdaskan kehidupan bermasyarakat. Ini menunjukkan bahwa pondok
pesantren menunjukkan perkembangannya yaitu dengan tetap eksis dan konsisten
menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam. Pondok pesantren juga disebut sebagai sebuah institusi pendidikan
tradisional yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai tempat transmisi ilmu-
ilmu keislaman klasik, sebagai tempat preservasi nilai tradisional, dan sebagai
pusat bagi perkembangan para ulama.
Tak hanya itu saja, perkembangan pesantren semakin menunjukkan banyak
pencapaian yang signifikan. Ketika bersamaan dengan gelombang modernisasi,
lembaga Pesantren pun melakukan pembenahan pembenahan kelembagaan
metode pembelajaran dari berbagai segi yang menentukan eksistensinya vis-a-vis
lembaga pendidikan Islam lainnya. Pembaruan yang tidak menjerat identitasnya
sebagai lembaga pendidikan indigenous yang berurat akar dalam tradisi
masyarakat Indonesia, sehingga sampai saat ini perkembangan pesantren semakin
menunjukkan capaian-capaian yang signifikan, bersamaan dengan gelombang
modernisasi, pesantren-pesantren di Indonesia tetap survive hingga menjadi
kebanggaan tersendiri bagi umat islam.
Adapun aktivitas belajar di pesantren tidak hanya sekedar media (alat), tetapi
sekaligus dijadikan sebagai tujuan. Oleh karena itu proses belajar mengajar yang
dilakukan di sebuah Pesantren seringkali tidak mengalami dinamika dan tidak
mempertimbangkan waktu strategi dan metode yang lebih kontekstual dalam
perkembangan zaman. Dalam konteks kekinian Pesantren tentu harus semakin
menunjukkan perubahan-perubahan yang bersifat positif namun tak sedikit juga
yang menunjukkan perubahan yang bersifat negatif disebabkan derasnya arus
teknologi dan informasi pada masa kini. Tentunya Hal inilah yang menyebabkan

1
pendidikan di pondok pesantren mengalami perubahan dan pengembangan
khususnya bagi kurikulum serta metode pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesepakatan mendiknas dan menag tahun 2000 tentang pp
salafiyah dan wajar dikdas 9 tahun?
2. Bagaimana posisi pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002,
UU No. 20/2003, PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag
3/2012 & 9/2012, dan dan PMA No. 13 Tahun 2014?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kesepakatan mendiknas dan menag tahun 2000 tentang
PP salafiyah dan wajar dikdas 9 tahun
2. Untuk mengetahui posisi pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen
IV 2002, UU No. 20/2003, PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, &
Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan PMA No. 13 Tahun 2014

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesepakatan Mendiknas dan Menag tahun 2000 Tentang PP Salafiyah
dan Wajar Dikdas 9 Tahun

Kesepakatan antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama tentang


Pondok Pesantren Salafiah dan Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Selama 9 Tahun Dengan Pola Pondok Pesantren Salafiyah. Kebijakan yang dibuat
pada masa kepresidenan KH. Abdurrahman Wahid (alm) ini dituangkan ke dalam
keputusan bersama antara menteri pendidikan nasional dan menteri agama nomor:
1/U/KB/2000 dan nomor: MA/86/ 2000 tertanggal 30 Maret 2000. Tokoh yang
ikut serta dalam memutuskan kebijakan ini adalah Prof. Dr. Yahya A. Muhaimun,
M. A yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional RI, dan
Prof. Tolhah Hasan, M. A yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Agama
Republik Indonesia. Kebijakan ini pula dikuatkan dengan diketahui Menteri
Negara Koordinator Bagian Kesejahteraan dan Pengentasan Kemiskinan pada era
presiden Abdurrahman Wahid, yaitu Prof. Basri Hasanuddin, M. A.1

Keputusan tersebut juga dimuat dalam Keputusan Bersama Direktur Jenderal


Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia
dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional, Nomor: E/83/2000 dan Nornor: 166/C/KEP/DS-2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah Sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan
Dasar, tertanggal 6 Juli 2000. Setelah pencanangan kebijakan program wajib
belajar pendidikan dasar di pondok pesantren salafiyah pada tanggal 10 Juli 2001
bertempat di Bekasi, selanjutnya pada tanggal 6 September 2001 Direktur
Jenderal Kelembagaan Agama Islam mengeluarkan Keputusan Nomor:
E/239/2001 tentang Panduan Teknis Penyelenggaraan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar pada Pondok Pesantren Salafiyah.

1
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”
Forum Tarbiyah Vol. 10, No. 2 (Desember 2012): 159

3
Pada pasal 1 kesepakatan antara Menteri Pendidikan Nasional (Yahya A.
Muhaimin) dan Menteri Agama (M. Tolhah Hasan) tentang Pondok Pesantren
Salafiah tanggal 30 Maret 2000 diputuskan keputusan umum sebagai berikut2:

1. Pondok pesantren Salafiyah dalam Kesepakatan Bersama ini adalah salah


satu tipe pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan jalur pendidikan
sekolah (formal) namun kegiatan pendidikan dan pembelajaran
menggunakan kurikulum khusus pondok pesantren.
2. Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun
diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di sekolah dasar dan 3 (tiga) tahun
di sekolah lanjutan tingkat pertama atau satuan pendidikan yang setara.
3. Wajib Belajar Pendidikan Dasar adalah suatu gerakan nasional yang
diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga negara Indonesia yang
berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
4. Wajib Belajar Pendidikan Dasar dilaksanakan di satuan pendidikan dasar
atau satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan setara dengan
pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat.

Sedangkan dalam Pasal 1 Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan


Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI (H. Husni Rahim) dan
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional RI (H. Indra Djati Sidi) pada 6 Juni 2000 disepakati ketentuan umum
sebagai berikut3:

1. Pondok Pesantren Salafiyah adalah salah satu tipe pondok pesantren yang
menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an dan Kitab Kuning secara

2
Kesepakatan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama 30 Maret 2000 Tentang PP
Salafiyah dan Wajar Dikdas 9 Tahun, pasal 1
3
Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional RI 6 Juni 2000, pasal 1

4
berjenjang atau Madrasah Diniyah yang kegiatan pendidikan dan
pengajarannya menggunakan kurikulum khusus pondok pesantren.
2. Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun
diselenggarakan selama enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di
sekolah lanjutan tingkat pertama atau satuan pendidikan yang setara.
3. Wajib Belajar Pendidikan Dasar adalah gerakan nasional yang
diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga negara Indonesia yang
berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun untuk mengikuti
pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
4. Wajib Belajar Pendidikan Dasar dilaksanakan di satuan pendidikan dasar
atau satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan setara dengan
pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat.

Pada pasal 2 mempertegas tujuan kesepakatan dua menteri yang berlangsung


pada tanggal 30 Maret 2000 dalam mengoptimalkan pelaksanaan program
nasional wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada Pondok Pesantren
Salafiyah. Sedangkan pada pasal 2 keputusan bersama dua Direktur Jenderal pada
6 Juni 2000 adalah meningkatkan peran serta pondok pesantren Salafiyah dalam
ikut serta menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun bagi para peserta didik (santri) sehingga para santri dapat mempunyai
kemampuan atau kompetensi setara dan kesempatan yang setara untuk
melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.4

Selanjutnya pada pasal 3 ruang lingkup kesepakatan bersama dua menteri 30


Maret 2000, memuat tiga keputusan yaitu5:

1. Pondok Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional


dalam mensukseskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan

4
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 61
5
Kesepakatan Mendiknas dan Menag tahun 2000 Tentang PP Salafiyah dan Wajar Dikdas 9
Tahun, pasal 3

5
tahun perlu lebih dikembangkan dengan dukungan pemerintah dan
masyarakat.
2. Para siswa yang belajar di pesantren (santri) mempunyai kesempatan yang
sama untuk melanjutkan sekolah (belajar) ke jenjang yang lebih tinggi baik
kelembagaan pendidikan yang sejenis yang berciri khas agama (vertikal)
maupun kelembagaan pendidikan hukum umum (diagonal) dengan
memenuhi syarat tertentu yang diatur oleh Menteri terkait.
3. Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama serta instansi
terkait akan memberikan dukungan fasilitas terhadap pelaksanaan program
belajar mengajar di Pondok Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

Sedangkan pada Pasal 3 Keputusan Bersama dua Direktur Jenderal 6 Juni


2000 adalah berkaitan dengan sasaran dari kegiatan program wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun yaitu para santri di Pondok Pesantren Salafiyah
yang berusia 7 sampai 15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awwaliah
(tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama) yang tidak sedang
menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTS atau bukan pula tamatannya.6

Selanjutnya pasal 4 dari keputusan bersama 2 Direktur Jenderal 6 Juni 2000


adalah tentang kurikulum yang diterapkan di pesantren, antara lain7:

1. Pondok Pesantren Salafiyah yang menyelenggarakan program ini tetap


berhak menggunakan kurikulum Diniyah yang telah berjalan selama ini
ditambah dengan beberapa mata pelajaran umum yang menjadi satu
kesatuan kurikulum pendidikan Pondok Pesantren.
2. Mata pelajaran umum yang diwajibkan minimal 3 mata pelajaran yaitu
Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Sedangkan mata pelajaran umum
lainnya dapat disampaikan melalui penyediaan buku-buku perpustakaan.

6
Keputusan Bersama Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama dan Dirjen Dikdasmen
Departemen Pendidikan Nasional 3 Juni 200, pasal 3
7
Keputusan Bersama Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama dan Dirjen Dikdasmen
Departemen Pendidikan Nasional 3 Juni 200, pasal 4

6
3. Bahan pelajaran yang digunakan, di samping menggunakan bahan dari
buku-buku yang disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah, dapat
menggunakan buku-buku yang berlaku pada SD/MI/Paket A dan
SLTP/MTS/Paket B.

Penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) pada pondok


pesantren salafiyah mempunyai tujuan, yaitu8:

1. Mengoptimalkan pelayanan program Nasional wajib belajar pendidikan


dasar sembilan tahun melalui salah satu jalur artenatif, yaitu pondok
pesantren salafiyah
2. Meningkatkan peranan pondok pesantren salafiyah dalam
menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
untuk peserta didik (santri), sehingga mereka dapat mempunyai kompetensi
setara, kesempatan yang sama untuk meneruskan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi dan mempunyai kesempatan untuk berlomba dalam
berbagai segi kehidupan, perekonomian, politik dan lain-lain.

Dalam membiayai pengelolaan Pondok Pesantren Salafiyah dalam rangka


penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada dasarnya menjadi
tanggung jawab Pondok Pesantren dan masyarakat sebagaimana pendidikan
swasta lainnya. Pondok Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dalam
menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, tentunya berhak
mendapatkan bantuan dan pembinaan dari pemerintah.9

Pelaksanaan Wajar Dikdas dalam pesantren salafiyah dapat dikatakan


berbeda dengan pola yang umumnya dilakukan di sekolah formal SD/MI dan
SMP/MTs. Pelaksanaan di pesantren salafiyah sedikit fleksibel dengan tidak
mengganggu aktivitas yang telah umum dilakukan di pesantren. Pelaksanaan
pembelajaran Wajar Dikdas menyesuaikan waktu yang tersedia bisa pada pagi
hari, siang, ataupun malam hari.

8
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”: 162
9
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”: 164

7
Kurikulum wajib bagi Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) Wajar Dikdas
hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja seperti PPS Wajar Dikdas tingkat
Ula: Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PPKN. Sedangkan PPS Wajar
Dikdas tingkat Wustho: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, PPKN,
IPA, dan IPS. Para lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Wajar Dikdas
mendapatkan ijazah yang secara legal formal setara dengan lulusan SD/MI dan
SMP/MTs. Dengan demikian, para lulusan PPS Wajar Dikdas dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan formal. Hal ini
merupakan suatu keuntungan dan kemajuan bagi keberadaan pesantren salafiyah.
Secara pragmatis, para lulusan pesantren salafiyah dapat memperoleh hak yang
sama dengan para lulusan sekolah formal dan secara politik pendidikan, pesantren
salafiyah mengokohkan dirinya sebagai lembaga pendidikan khas yang
keberadaannya diakui oleh negara. Sebagai konsekuensi dari pengakuan negara,
maka pesantren salafiyah berhak mendapatkan bantuan operasional pendidikan
yang bersumber dari APBN.

Namun dalam penetapan kebijakan tentang penyelenggaraan program wajib


belajar pendidikan dasar sembilan tahun di pondok pesantren Salafiyah
menimbulkan kelompok pro dan kontra. Kelompok yang mendukung berpendapat
bahwa dengan penyelenggaraan program ini memunculkan kesempatan kelanjutan
studi dan karir lulusan pondok pesantren akan menyebar sehingga cakupan
dakwah islam akan semakin meluas. Sebaliknya yang menolak berpendapat,
bahwa dengan menyelenggarakan program ini maka fokus belajar santri akan
terpecah antara tafaqquh fiddin atau yang lain sehingga belajar santri menjadi
tidak fokus. Sedang pihak yang netral menempuh jalan tengah dengan cara
memadukan hal-hal positif dan menghilangkan efek negatifnya. Bagi mereka
fokus belajar santri harus tetap untuk tafaqquh fiddin tetapi santri juga perlu diberi
program pilihan sebagai bagian dari pengembangan karir yang sesuai dengan
perkembangan zaman mereka ke depannya.10

10
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas, 64

8
2.2 Pesantren dalam UUD 1945 Hasil Amandemen IV 2002, UU No. 20/2003,
PP 19/2005, PP 55/2007, PP 66/2010, & Permenag 3/2012 & 9/2012, dan dan
PMA No. 13 Tahun 2014.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 bahwa salah


satu tugas negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap
warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan peniidikan yang
sesuai dengan kemajuan zaman dan perembangan ilmu pengetahuan.11
Keberadaan pesantren yang merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan Islam
yang asli di Indonesia telah berkiprah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari pesantren banyak lahir tokoh-tokoh perjuangan (banyak yang menjadi
syuhada ‘pahlawan’) dan tokoh pembangunan bangsa.12

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional yang disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 oleh
Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri. Undang-undang tersebut
masuk lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 78. Menteri
pendidikan nasional waktu itu yaitu A. Malik Fadjar. UU tersebut memuat 22 bab,
77 pasal. Pada Bab III Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa: “pendidikan nasional
diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.13” Prinsip tersebut secara politik memberi
ruang gerak yang luas bagi lembaga pendidikan di Indonesia termasuk pesantren.
Substansi dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional yang
berkaitan dengan lembaga pendidikan pesantren antara lain: “Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.14 Dapat dikatakan pada pasal tersebut
pesantren diakomodir sebagai salah satu jenis pendidikan keagamaan di Indonesia
11
Ali Murtadho, “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren Salafiyah,”: 158
12
Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 15, No. 1 (2017): 239.
https://doi.org/10.31291/jlk.v15i1.522
13
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, BAB III Pasal 4 ayat (1)
14
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (4)

9
Dilihat dari pelaksanaannya, “pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.15

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi


anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.16 Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal (UU No 20 Tahun
2003, Bab VI, Pasal 30 ayat [3]). Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan
17
diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dapat dinyatakan bahwa dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pesantren termasuk
bagian sistem pendidikan nasional.

Pendidikan pesantren digolongkan ke dalam jenis pendidikan keagamaan.


Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang sedemikian rupa menyiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan perannya sebagai warga negara dengan
dasar pengetahuan khusus ajaran agama yang bersangkutan.18

Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007


tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa
“pendidikan keagamaan Islam dapat berbentuk pendidikan diniyah dan
pesantren”19. Pada pasal 14 ayat (3) peraturan pemerintah tersebut menyatakan
bahwa “pesantren dapat menyelenggarakan satu atau berbagai satuan dan/atau
program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.”20 Artinya,
pendidikan pesantren dapat mengintegrasikan program pada jalur formal,
nonformal, dan informal. Pasal 13 ayat (4) menjelaskan tentang syarat pendirian
satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yakni terdiri

15
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (1)
16
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (2)
17
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 30 ayat (3)
18
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, penjelasan pasal 15
19
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, pasal 14 ayat (1)
20
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 14
ayat (3)

10
atas: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan
pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan
sekurang-kurangnya untuk satu tahun pendidikan/akademik berikutnya, sistem
evaluasi dan manajemen dan proses pendidikan.21

Program pada jalur formal, pendidikan keagamaan mencakup pendidikan


diniyah dan pendidikan pesantren. Pasal 15 peraturan pemerintah di atas
menyatakan bahwa “pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan
ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.”22 Pada pasal 21 ditetapkan bahwa “pendidikan diniyah nonformal
diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majlis taklim, pendidikan al-
Quran, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.”23 Berarti pendidikan
pesantren dapat menyelenggarakan program-program pendidikan jalur formal,
wajib belajar 9 tahun, dan menengah seperti pada madrasah dan sekolah.
Pendidikan pesantren dapat pula menyelenggarakan program pendidikan
keagamaan dengan jenis pendidikan diniyah formal dan jenis pendidikan diniyah
nonformal.

Keuntungan pesantren hadir dalam sistem pendidikan nasional yaitu adanya


legalitas formal lembaga tersebut dalam payung hukum yang jelas, sehingga
memungkinkan pesantren mendapatkan pengaturan yang baik dalam aspek
keuangan, tenaga, sarana dan fasilitas pendidikan, serta aspek ketenagaan.

Terkait dengan pembiayaan pesantren, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur beberapa pasal yang
menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2, bahwa:
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna

21
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 13
ayat (4)
22
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 15
23
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 21
ayat (1)

11
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun”.24

Pemerintah memberikan perhatian penting untuk membiayai lembaga-


lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan pesantren memerlukan
pembiayaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Finance atau
pembiayaan merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan
pendidikan di setiap satuan pendidikan, termasuk pesantren. Pengelolaan
pembiayaan berkontribusi terhadap pengembangan mutu lembaga. Hal tersebut
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang direvisi dengan
Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang menjelaskan bahwa pembiayaan pendidikan merupakan salah satu standar
nasional pendidikan yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Standar
pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi
satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.

Dapat dinyatakan bahwa pesantren diakomodir dalam Pasal 30 UUSPN


Nomor 20 Tahun 2003 sehingga menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dampak yang terjadi di masyarakat lembaga pesantren semakin berkembang
dalam hal kuantitas, tetapi dengan kualitas rendah karena belum memperoleh
dukungan pemerintah melalui formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan
yang memberdayakan pesantren. Adanya PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan belum menjadikan pesantren sebagai lembaga
yang bermutu karena belum diikuti oleh komitmen dan political will yang baik
dari Pemerintah untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan
keagamaan yang unggul.25

Pendidikan di Indonesia diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat.


Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah disebut lembaga negeri
sedangkan yang diselenggarakan oleh masyarakat disebut lembaga swasta. Jumlah

24
Setneg RI, UU RI No. 20 Tahun 2003, pasal 11 ayat (2)
25
Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia”, 256

12
lembaga swasta lebih banyak dibandingkan lembaga negeri. Setelah reformasi
berlangsung perkembangan kelembagaan pesantren semakin pesat. Dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 1 ayat 38 dikemukakan bahwa Pendidikan
Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat26.

Di Indonesia pesantren,27 dari hari ke hari memiliki perkembangan yang


cukup pesat, apalagi didukung dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17
tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 1 ayat 38
dikemukakan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Tidak mengherankan, bila sistem pendidikan yang selama ini dilaksanakan di


pondok pesantren dipandang sebagai model pendidikan terbaik, dengan alasan:

a. Jumlah pondok pesantren tidak pernah berkurang dari tahun ke tahun


bahkan terus bertambah,
b. Belum ada pondok pesantren yang bubar karena ditinggalkan oleh santrinya,
c. Pesantren selalu dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,
d. Kharismatik pimpinannya yang relatif bertahan,
e. Pesantren merupakan benteng terakhir pertahanan moral bangsa.

26
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan
Pemerintahan nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pasal
1 ayat 38 hal 9.
27
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LPES, 2011), 41.

13
Namun pondok pesantren memiliki pekerjaan besar yang harus dilakukan adalah:

a. Membongkar Nalar Kritis Dengan Menciptakan Suasana Itu Dalam Dirinya.


Kritik Terhadap Diri Sendiri Dan Kritik Terhadap Nilai Luar Yang
Diadopsi.
b. Profesionalisasi Lembaga Yang Mengandung Arti Tidak Hanya Bergantung
Pada Trah Darah Sang Kiyai Tanpa Melihat Kemampuan Emosional-
Intelektualnya.
c. Filterisasi Terhadap Agenda Modernisasi Agar Dapat Memilah Dan
Memilih Mana Yang Baik Dan Mana Yang Buruk, Sebagaimana
Berfikirnya muslim progresif; engage with tradition, multiple critique, dan
terbuka terhadap sumber pengetahuan skunder. 28
d. Pesantren mengembangkan kematangan spiritual untuk melangkah di jalan
menuju Tuhan. Ini tidak berarti bahwa sikap transendetalis pada masyarakat
perantren dapat dianggap menghambat laju modernisasi pesantren dan
divonis tidak dapat menerima nalar ilmiah (sains). Karena seharusnya,
orang-orang pesantrenlah yang terlebih dahulu menerima kehadiran sains
sebagai wujud kebenaran paradigma positivisme. Karena al-Qur’an,
memang menantang umat manusia untuk mencari kebenaran (al-Haq) itu
melalui dua jalur yakni Bumi (alam) dan jiwa manusia (al-anfus).

Selanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia


Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dengan menimbang
bahwa dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan perlu ditetapkannya Peraturan
Menteri Agama Tentang Pendidikan Keagamaan Islam.

Namun dikarenakan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2012 tentang


Pendidikan Agama Islam telah menimbulkan perbedaan persepsi yang tidak

28
Omid Safi, Progressive Muslim On Justice, Gender, and Pluralism (England, One World
Publications, 2003) 55-15

14
sesuai dengan maksud dan tujuan peraturan dimaksud dan oleh karena itu harus
dicabut dan dinyatakan tidak di berlakukan lagi.29

Dirjen Pendidikan Islam Nur Syam menyatakan, Menteri Agama


Suryadharma Ali telah mencabut Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 3/2012.
Pasalnya, peraturan baru untuk memayungi pendidikan Islam di Indonesia itu
masih perlu penyempurnaan. PMA ini belum disosialisasikan, karena itu belum
berjalan, kata Dirjen kepada wartawan di Jakarta, Selasa (19/6) didampingi
Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar negeri Kementerian Agama Mubarok.

Menurut Dirjen, pada PMA tersebut peran pemerintah dalam pendanaan


pendidikan islam kurang nampak, padahal untuk memperkuat kewenangan
pemerintah dalam pendidikan Islam. Dikatakan, bahwa peraturan tersebut
dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 55/2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Bab I dalam peraturan ini
mengatur tentang ketentuan umum, berisi tentang definisi pendidikan keagamaan,
pendidikan diniyah, dan sejumlah hal yang berkaitan dengan pendidikan
keagamaan. Jumlah semuanya mencapai 45 pasal.

Karo Hukum dan KLN Mubarok mengatakan, untuk pencabutan PMA nomor
3 itu pihaknya telah menerbitkan PMA nomor 9/2012 tentang pencabutan PMA
nomor 3/2012. PMA nomor 3/2012 ditanda-tangani oleh Menteri Agama pada 21
Februari lalu, dan telah masuk sebagai berita negara pada Kementerian Hukum
dan HAM pada 23 Februari. Menurutnya, pencabutan PMA merupakan
kewenangan menteri, maka tidak perlu ada konsultasi dengan DPR.

Dalam mengimplementasikan UU Nomor 20 Tahun 2003 dan PP 55 Tahun


2007, Kementerian Agama menerbitkan PMA (Peraturan Menteri Agama) Nomor
13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Peraturan Menteri Agama
Nomor 13 tahun 2014 ditetapkan tepatnya pada tanggal 18 Juni 2014 oleh Menteri
Agama Republik Indonesia yaitu Lukman Hakim Saifuddin. Kemudian

29
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai Uu
Sisdiknas (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 197.

15
diundangkan pada tanggal 18 Juni 2014 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Amir Syamsuddin.

Dalam PMA tersebut dijelaskan dalam pasal 3 bahwa pendidikan keagamaaan


Islam terdiri atas30: a. Pesantren; b. Pendidikan diniyah. Pada pasal 2 dinyatakan
bahwa penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam bertujuan untuk31:

a. Menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan


kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala;
b. Mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta
didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau
menjadi muslim yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam
kehidupannya sehari-hari; dan
c. Mengembangkan pribadi akhlakul karimah bagi peserta didik yang
memiliki kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan sesama umat Islam
(ukhuwah islamiyah), rendah hati (tawadhu’), toleran (tasamuh),
keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), keteladanan (uswah), pola
hidup sehat, dan cinta tanah air.

Pesantren wajib memiliki unsur-unsur pesantren yang terdiri atas32:

a. Kyai atau sebutan lain yang sejenis;


b. Santri;
c. Pondok atau asrama pesantren;
d. Masjid atau musholla, dan
e. Pengajian dan kajian kitab kuning atau dengan pola pendidikan mu 'allimin.

Pesantren sebagai satuan pendidikan merupakan pesantren yang


menyelenggarakan kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan
muallimin. Penyelenggaraan pengajian kitab kuning diselenggarakan dalam

30
Menteri Agama Republik Indonesia. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2014, Pasal 3
31
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 2
32
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 2

16
bentuk pengajian kitab kuning pada umumnya dan/atau program takhasush pada
bidang ilmu keislaman tertentu sesuai dengan ciri khas dan keunggulan masing-
masing pesantren. Penyelenggaraan dirasah islamiyah dengan pola pendidikan
muallimin dilakukan secara integrative dengan memadukan ilmu agama Islam dan
ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memaddukan intra, ekstra, dan ko
kurikuler.33

Hasil pendidikan pesantren sebagai satuan pendidikan dapat dihargai


sederajat dengan pendidikan formal setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi dan ditunjuk oleh direktur jenderal.34

Disamping sebagai satuan, pesantren dapat menyelenggarakan satuan


dan/atau program pendidikan lainnya, meliputi35:

a. Pendidikan Diniyah Formal;


b. Pendidikan Diniyah Nonformal;
c. Pendidikan Umum;
d. Pendidikan umum berciri khas Islam;
e. Pendidikan Kejuruan;
f. Pendidikan Kesetaraan;
g. Pendidikan Mu’adalah
h. pendidikan tinggi dan/atau;
i. Program pendidikan lainnya

Mengenai pembiayaan dinyatakan bahwa pembiayaan pendidikan keagamaan


Islam (pesantren dan diniyah) bersumber dari36:

a. Penyelenggara;
b. Pemerintah;
c. Pemerintah Daerah;
d. Masyarakat; dan atau

33
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 12
34
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 18
35
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, Pasal 19
36
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, BAB IV Pasal 53 ayat (1)

17
e. Sumber lain yang sah.

Pembiayaan pendidikan keagamaan Islam dikelola secara efektif, efisien,


transfaran, dan akuntabel.37

Selama ini pemerintah memang belum terlalu mengapresiasi pendidikan


madrasah diniyah dan pondok pesantren terutama salafiyah di Indonesia karena
persoalan legalitas. Dalam hal ini pemerintah berupaya memperkuat legalitas
pendidikan Islam dan pesantren dengan mengeluarkan peraturan Menteri Agama
Nomor 13 Tahun 2014. Berdasarkan PMA Nomor 13 Tahun 2014 dapat
dinyatakan bahwa Pemerintah turut serta mengatur pesantren melalui kebijakan
pendidikan keagamaan Islam.38

Pemerintah meyakinkan dengan peraturan ini bahwa para santri yang telah
melaksanakan pendidikan non formal di pesantren dalam kurun waktu tertentu,
nantinya akan dihitung dan disetarakan, apakah dengan MI/SD, MTs/SMP, atau
MA/SMA. PMA tersebut dipersiapkan agar ada kepastian bahwa lamanya belajar
ini dapat dipertanggungjawabkan dari ijazah yang dihasilkan.

Lahirnya PMA ini mendapatkan sambutan hangat dari kalangan umat Islam.
Banyak yang memberikan komentar baik yang dilontarkan oleh sebagian besar
tokoh Islam. Misalnya KH Luqman Harits Dimyathi, Pengasuh pesantren Tremas
Pacitan yang juga Katib Syuriyah PBNU dan Sekretaris Forum Komunikasi
Pesantren Muadalah seIndonesia menjelaskan, perjuangan para pengasuh
pesantren untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini Kementerian
Agama hingga diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun
2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA Nomor 18 Tahun 2014
tentang satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren, dilakukan setelah
melewati proses panjang dan berliku.

37
Menag RI, PMA No. 13 Tahun 2014, BAB IV Pasal 53 ayat (2)
38
Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia”, 258

18
Lahirnya PMA No.13 Tahun 2014 ini lebih memberikan kejelasan
penerimaan dan pengakuan dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan
keagamaan Islam khususnya pesantren. Sejak pemerintahan Belanda, lembaga
pendidikan keagamaan Islam selalu didiskriminasikan. Di samping itu, lahirnya
PMA ini merupakan penghargaan dan penghormatan bagi umat Islam. Kita dapat
melakukan komparasi terhadap enam agama yang ada di Indonesia. Sampai saat
ini belum ada peraturan menteri agama republik Indonesia tentang pendidikan
keagamaan selain agama Islam.39

39
Arifin Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Sisdiknas (Poksi
VI FPG DPR RI, 2003, 35.

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebelum diundangkannya UU Pesantren, dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional lalu diikuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
PMA No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, PMA No. 18
Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah dan PMA No. 71 Tahun 2015
tentang Ma’had Aly, posisi pesantren adalah sebagai bagian dari Pendidikan
Keagamaan Islam.
Selanjutnya dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang lalu
diikuti dengan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan
Penyelenggaraan Pesantren, dan PMA No. 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan
Penyelenggaraan Pesantren, PMA No. 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan
Pesantren, dan PMA No. 32 tentang Ma’had Aly, posisi pesantren bukan lagi
sebagai bagian dari Pendidikan Keagamaan Islam. Pesantren diposisikan sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai kekhasan dan diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal, sehingga selain mempunyai lembaga
pendidikan formal khas pesantren, pesantren juga sebagai wadah penyelenggaraan
sejumlah satuan pendidikan lain yang beragam.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Arifin. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam


Sisdiknas. Poksi VI FPG DPR RI, 2003

Badrudin, Yedi Purwanto, dan Chairul N. Siregar, “Pesantren dalam Kebijakan


Pendidikan Indonesia”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 15, No. 1 (2017):
233-272. https://doi.org/10.31291/jlk.v15i1.522

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan


Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LPES, 2011

Halim Soebahar, Abd. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai
UU Sisdiknas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013

Halim Soebahar, Abd. Pesantren dan Negara, Perspektif Undang-Undang,


Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Agama, dan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur. Yogyakarta: Bildung, 2022

Kesepakatan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama 30 Maret 2000


Tentang PP Salafiyah dan Wajar Dikdas 9 Tahun

Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam


Departemen Agama RI dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI 6 Juni 2000

Murtadho, Ali. “Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun Pola Pondok Pesantren


Salafiyah,” Forum Tarbiyah Vol. 10, No. 2 (Desember 2012): 153-173

Safi, Omid. Progressive Muslim On Justice, Gender, and Pluralism. England,


One World Publications, 2003

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan


Pendidikan Keagamaan

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan


Pemerintahan nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan

21
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

22

Anda mungkin juga menyukai