Anda di halaman 1dari 38

Memahami Karakteristik Peserta Didik

Anak Berkebutuhan Khusus


(ABK)

Disusun Oleh Kelompok 6:


 Syafrin Muhammad (03082111005)
 Syarif Hidayatullah La Ada (03082111039)

Program Studi Pendidikan Matematika


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Khairun Ternate
2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah,

taufik, dan ilhamnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun

dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dari dosen kami Ibu Nurma Angkotasan

S.Pd.,M.Pd. selaku pengampu materi pendidikan inklusif.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi

makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami

miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan

masukan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Ternate, 21 September 2022

Syafrin Muhammad

Npm: 03082111005
Daftar Isi

Kata Pengantar.........................................................................................................................

Daftar Isi...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................................

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Memahami Sejarah, Landasan Hukum, Pendidikan Khusus, Serta Hak-Hak Anak

Berkebutuhan Khusus.............................................................................................

B. Memahami Istilah Dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus......................

C. Paradigma Baru Pendidikan Berkebutuhan Khusus...............................................

D. Hakekat Anak Berkebutuhan Khusus.....................................................................

E. Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus.................................................................

F. Faktor Penyebab Kelainan......................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................................

B. Saran.......................................................................................................................

Daftar Pustaka..........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali,

termasuk mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan (difabel) seperti yang

tertuang pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 bahwa warga negara yang memiliki

kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan

khusus, yaitu pendidikan luar biasa. (Damayanti, 2015)

Inklusi adalah suatu sistem ideologi dimana secara bersama-sama tiap-tiap warga

sekolah, yaitu masyarakat, kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, petugas administrasi

sekolah, para siswa, dan orang tua menyadarai tanggung jawab bersama mendidik semua

siswa sedemikian sehingga mereka berkembang secara optimal sesuai potensi mereka.

(Direktorat PKIK, 2014)

Pendidikan inklusif menjadi alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang

mengalami keterbatasan fisik namun masih dapat mengikuti materi yang diajarkan di

sekolah-sekolah umum. Banyak diantara mereka yang bersekolah di sekolah umum dapat

mengikuti pembelajaran dan bahkan mampu mengalahkan anak-anak yang tumbuh dengan

fisik yang utuh dari materi yang diujikan kepada mereka. Dengan bergabungnya mereka di

sekolah reguler (non SLB) memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat bersosialisasi

dengan anak yang tumbuh dengan normal untuk membantu perkembangan emosional anak

tersebut agar tidak menjadi anak yang minder, dan bahkan menganggap diri mereka sama

dengan anak yang lain. Hal inilah yang mendasari pendidikan inklusif diselenggarakan.

(Hafiz, 2017)
B. Rumusan Masalah

1) Sejarah ABK itu apa sih…?

2) Hukum apa yang melandasi ABK…?

3) Hak-hak apa bagi anak ABK…?

4) Istilah apa dalam ABK…?

5) Apakah ada paradigma baru pada pendidikan ABK…?

6) Apa saja hakekat ABK…?

7) Apa prevelensi ABK…?

8) Faktor apa saja yang menyebabkan kelainan…?

C. Tujuan Penulisan

1) Dapat mengetahui sejarah ABK

2) Memahami landasan hukum ABK

3) Tau istilah dalam ABK

4) Mengetehui paradigma baru

5) Paham hakekat dan prevelensi, serta faktor pada ABK


BAB II
PEMBAHASAN
A. Memahami sejarah. Landasan hukum, pendidikan khusus, serta hak-hak anak berkebutuhan

khusus

1. Memahami sejarah anak berkebutuhan khusus

Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak

membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa agar

dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada

tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk

pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga residensial yang

didirikan di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat terbanyak di awal 1800-

an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang memimpin negara-negara

lain dalam pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia. Pengenalan yang

perlahan-lahan terhadap pendidikan khusus sebagai sebuah profesi yang membutuhkan

keahlian telah merangsang perkembangan bidang ini. Sehingga organisasi-organisasi

profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan dan menjadi kekuatan yang

dahsyat di belakang banyaknya perubahan yang mengakar dan memberikan kekuatan

munculnya layanan-layanan pendidikan khusus. (Delphie, 2006)

Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali

dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada

tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar pakar Pendidikan Luar biasa

ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment,

yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam
Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan

ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari

segregatif ke intergratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama

sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi

dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi

'Education for All.' Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi

agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan

layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada

tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang

mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan "the

Salamanca statement on inclusive education." Sejalan dengan kecenderungan tuntutan

perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004

menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan

komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. (Herawati, 2016)

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005

diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi

Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program

pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar

memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Berdasarkan

perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik

Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program

ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah


diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan

baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,

menggunakan konsep pendidikan inklusif. (Herawati, 2016)

2. Landasan hukum pendidkan khusus

Peraturan menteri pendidikan nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009

tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakan istimewa, MEMUTUSKAN

Pasal 1

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik

yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk

mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-

sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pasal 2

Pendidikan inklusif bertujuan:

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan

tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf

a.
Pasal 3

1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau

memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan

secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuannya.

2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri

atas:

a. tunanetra;

b. tunarungu;

c. tunawicara;

d. tunagrahita;

e. tunadaksa;

f. tunalaras;

g. berkesulitan belajar;

h. lamban belajar, autis;

i. memiliki gangguan motorik;

j. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya;

k. memiliki kelainan lainnya;

l. tunaganda.

Pasal 4

1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1

(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib

menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta

didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Pasal 5

1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan

sumber daya yang dimiliki sekolah.

2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan

kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

ayat (1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang

akan diterima.

3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, satuan pendidikan dapat menerima

peserta didik normal.

Pasal 6

1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai

dengan kebutuhan peserta didik.

2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif

pada satuan pendidikan yang ditunjuk.

3) pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan

inklusif.
Pasal 7

satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat

satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai

dengan bakat, minat, dan potensinya.

Pasal 8

Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip

pembelajaranyang disesuaikan dengan karakteristik belajar peserta didik.

Pasal 9

1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada

kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.

2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang

dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar

nasional pendidikan wajib mengikuti ujian nasional.

3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan

kurikulum yang dikembangkan di bawah standar nasional pendidikan mengikuti ujian

yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

4) Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian sesuai dengan standar

nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh

Pemerintah.

5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berdasarkan

kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional

pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh

satuan pendidikan yang bersangkutan.


6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan

pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.

Pasal 10

1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru

pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusif.

2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh

pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru

pembimbing khusus.

3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan

khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif.

4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu penyediaan tenaga pembimbing

khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan

sesuai dengan kewenangannya.

5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di bidang

pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif.

6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat

dilakukan melalui:

a. Pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan

(P4TK);
b. Lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP):

c. Perguruan tinggi (PT);

d. Lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah,

Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen Agama.

e. Kelompok kerja guru/kepala sekolah (KKG/KKKS), kelompok kerja pengawas

sekolah (KKPS), musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), musyawarah kepala

sekolah (MKS), musyawarah pengawas sekolah (MPS), dan sejenisnya.

Pasal 11

1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan

profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.

2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan

profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.

3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui

kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok kerja organisasi profesi, lembaga

swadaya masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri maupun luar

negeri.

4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi;

b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi, asesmen, prevensi,

intervensi, kompensatoris, dan layanan advokasi peserta didik;

c. bantuan profesional dalam melakukan pengembangan kurikulum, program

pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta

sarana dan prasarana yang aksesibel;


5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerja sama dan

membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi

profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat. klinik terapi,

dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.

Pasal 12

Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan

dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 13

Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada

satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan pendidikan penyelenggara

pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen

tinggi dan berprestasi dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Pasal 14

Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar ketentuan

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberi sanksi sesuai dengan ketentuan

dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

3. Hak-hak anak berkebutuhan khusus

Anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai kesetaraan dengan warga negara

lainnya termasuk hak pendidikan. Kesetaraan hak mereka dengan warga negara lain

ditegaskan dalam Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "Tiap

tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengatur secara khusus perlindungan terhadap

anak berkebutuhan khusus. Pasal 8 ayat 1 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa "Warga

negara yang memiliki kelainan fisik atau mental berhak memperoleh pendidikan luar

biasa" Pasal 15 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa Jenis pendidikan bagi Anak

berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 ayat 1 UU No. 20/2003

memberikan batasan bahwa "Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta

didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa". Menurut Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa "Anak yang memiliki keunggulan

diberikan kesempatan dan aksesbilitas untuk memperoleh Pendidikan Khusus."

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat menyatakan bahwa "Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan

kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Aspek

kehidupan dan penghidupan meliputi aspek pendidikan yang diperoleh penyandang cacat

melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan melalui

pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1991 tentang

Pendidikan Luar Biasa menyatakan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus

mempunyai hak: (1) memperoleh perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan,

dan kelainannya; (2) memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang

dianutnya; (3) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan

berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh


pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; (4) memperoleh bantuan

fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan kelainan yang disandang dan

persyaratan yang berlaku; (5) pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat

yang lebih tinggi sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan

siswa pada sekolah yang hendak dimasuki; (6) memperoleh penilaian hasil belajar; (7)

menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan (8)

memperoleh pelayanan khusus sesuai dengan jenis kelainan yang disandang.

Bentuk dari pendidikan bagi ABK adalah Pendidikan Inklusif. Menurut Pasal 1

Permendiknas No. 70 tahun 2009, pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraaan

pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki

kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama

dengan peserta didik pada umumnya. Menurut Pasal 2 Permendiknas No. 70 tahun 2009

pasal 2, tujuan dari pendidikan Inklusif adalah: (a) memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan

sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (b)

mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak

diskriminatif bagi semua peserta didik.

B. Memahami istilah dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus

1. Tunanetra

Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan sebagai anak-anak yang

mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Beberapa ahli seperti Djaja Rahardja dan
Sujarwanto serta Gargiulo mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu buta

buta, buta fungsional dan low vision. Seseorang disebut mengalami kebutaan secara

legal jika kemampuan penglihatannya berkisar 20/200 atau dibawahnya, atau lantang

pandangannya tidak lebih dari 20 derajat. Pada pengertian ini, seorang anak di tes

dengan menggunakan snellen chart (kartu snellen) dimana anak harus dapat

mengindetifikasi huruf jarak pada jarak 20 kaki atau 6 meter. Dengan pengertian lain

anak-anak dikatakan buta secara legal jika mengalamai permasalahan pada sudut

pandang penglihatan, yairu kemampuan menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi

samping kiri dan kanan.

2. Tunarungu

Tunarungu dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran, dimana anak yang

mengalami ketunarungguan adalah mengalami permasalahan pada hilangnya atau

berkurangnya kemampuan pendengaran. Soematri menyatakan bahwa anak yang dapat

dikatakan tunarungu jika mereka tidak mampu atau kurang mampu mendengar.

Menurutnya, tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli dan kurang

dengar. Tuli merupakan suatu kondisi dimana seseorang benar-benar tidak dapat

mendengar dikarekan hilangnya fungsi dengan pada telinganya. Sedangkan kurang

dengar merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kerusakan pada organ

pendengarannya tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar meskipun dengan atau

tanpa bantu dengar.

3. Tunagrahita

Tunagrahita merupakan istilah yang disematkan bagi anak-anak berkebutuhan

khusus yang mengalami permasalahan seputar intelegensi. Di Indonesia istilah


tunagrahita merupakan pengelompokkan dari beberapa anak berkebutuhan khusus,

namun dalam biang pendidikan mereka memiliki hambatan yang sama dikarenakan

permasalahan intelegensi. Dalam bahasa asing, anak yang mengalami permasalahan

intelegensi memiliki beberapa istilah penyebutan anatara t (IQ dibawah 35). Sedangkan

klasifikasi lain dapat didasarkan pada kemampuan yang dimiliki yaitu Ringan (mampu

dididik), sedangkan (mampu latih), Berat (mampu rawat).

4. Tunadaksa

Dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia, tunadaksa dapat diartikan sebagai

gangguan motorik. Pada konteks lain dapat kita temui penggunaan istilah lain dalam

menyebut anak tunadaksa misalnya anak dengan hambatan gerak. Utamanya, anak

tunadaksa adalah anak yang mengalami gangguan fungsi gerak yang disebabkan oleh

permasalahan pada organ gerak tubuh. Somantrii menjelaskan bahwa tunadaksa

merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu yang disebabkan karena bentuk

abnormal atau organ tulang, otot, dan sendi tidak dapat berfungsi dengan baik.

5. Tunalaras

Anak tunalaras merupakan konteks dengan batasan-batasan yang sangat rumit

tentang anak-anak yang mengalami masalah tingkah laku. Istilah tunalaras itu sendiri

belum dapat diterima secara umum karena batasan-batasan penyebutan anak tunalaras

yang kurang saklek. Pada intinya sebutan anak tunalaras merupakan gangguang perilaku

yang menunjukka suatu penentangan terhadap norma dan aturan social di masyarakat

seperti mencuri, menggangu ketertiban, melukai orang lain, dll.

C. Paradigma baru pendidikan berkebutuhan khusus


Di Indonesia ada beberapa regulasi yang dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan

pendidikan inklusif. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain

menjelaskan: Pasal 5 ayat (1): 'Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (2): 'Warga negara yang memiliki kelainan

fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,

disebutkan bahwa, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran

dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya

(pasal 1).

Dengan berbagai regulasi yang ada, jumlah sekolah inklusif di Indonesia terus mengalami

perkembangan, sampai dengan tahun 2014 telah mencapai lebih dari 2100 sekolah inklusif

(Kemendikbud. 2013). Namun demikian kondisi ini belum dinilai maju dibanding dengan

perkembangan pendidikan inklusif di beberapa negara. Hasil penilaian UNESCO tahun 2009

menemukan bahwa pada awalnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. tahun 2007

Indonesia menduduki ranking 58 dari 130 negara. Tetapi karena berbagai faktor, terutama

kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga implementasinya belum

menasional dan menyeluruh. Ranking tersebut terus mengalami kemerosotan menjadi

ranking 63 pada tahun 2008 dan ranking 71 pada tahun 2009 (Kompas.com, 30 November

2009).

Menyadari keterbelakangan Indonesia dalam pendidikan inklusif, Pemerintah dalam tiga

tahun terakhir melakukan gerakan masiv pembudayaan pendidikan inklusif melalui provinsi
dan kabupaten/kota, serta Perguruan Tinggi (PT). Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50

kab/kota dan 6 provinsi, serta 5 PTN yang mendeklarasikan sebagai Provinsi, Kab/Kota dan

PT yang peduli terhadap pendidikan Inklusif. Gerakan masif ini diharapkan dapat mendorong

lahirnya budaya pendidikan inklusif menuju masyarakat dan bangsa yang inklusif.

Pemahaman terhadap pendidikan inklusif di kalangan warga sekolah harus diluruskan.

Implementasi pendidikan inklusif tidak boleh difahami hanya sekedar memberikan tempat

dan ruang bagi penyandang cacat di sekolah regular karena memenuhi tuntutan dunia.

Pendidikan inklusif seharusnya difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi

pada peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas. Ketika konsep pendidikan

inklusif difahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi pada mutu dan inovasi

pendidikan maka pendidkan inklusif menjadi tugas dan tanggung jawab serta kebutuhan

bersama. Kepala Sekolah, Guru, orangtua, dan masyarakat seharusnya terpanggil untuk

mendukung dan menyukseskan gerakan pendidikan inklusif. Kuncinya adalah kepala sekolah

dan guru. Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan pesimis terhadap

pendidikan inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif dapat berkembang dan berlangsung

dengan baik di sekolah tersebut. Untuk mengubah cara pandang kepala sekolah dan guru

dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Berikut ini mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut: (1) Meluruskan

persepsi tentang pendidikan inklusif. Prinsip utama dalam pendidikan inklusif adalah

pelayanan kepada semua anak sesuai dengan potensi, hambatan dan kebutuhannya. Dengan

prinsip ini maka semua anak dengan kondisi apapun akan dapat tumbuh dan berkembang

secara optimal, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sekolah. (2) Pelatihan

berkelanjutan. Kepala sekolah dan guru perlu diberikan pembekalan melalui pelatihan yang
berkelanjutan tentang bagaimana menyiapkan, merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan

mengembangkan pendidikan inklusif. Banyak hal teknis yang harus dimengerti dan

dilaksanakan kepala sekolah dan guru dalam implementasi pendidikan inklusif. Pelatihan

manajemen dan teknis layanan pendidikan di sekolah inklusif perlu diberikan kepada mereka

secara berkelanjutan. (3) Pengalaman 'best practices'. Kepala sekolah dan guru perlu melihat

secara langsung praktik terbaik dalam pendidikan inklusif di sekolah-sekolah yang telah

menerapkan pendidikan inklusif. Melalui observasi dan dialog dengan sekolah lain, akan

muncul keyakinan baru bahwa mengelola sekolah inklusif, bukan hal yang sulit, melainkan

sebuah tantangan menuju pendidikan yang lebih bermutu. (4) Pengembangan sekolah model.

Pemerintah perlu mengembangkan banyak sekolah inklusif model di setiap daerah. Melalui

sekolah model, dapat dijadikan percontohan bagi sekolah lain yang akan mengembangkan

pendidikan inklusif. Semoga bermanfaat.

D. Hakekat anak berkebutuhan khusus

anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri

dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada

umumnya. Keadaan inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat anak berkebutuhan

khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya

menemu kenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru

telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus,

maka mereka akan dapat memenuhi kebutuhan anak yang sesuai.

1. Pengertian anak berkebutuhan khusus

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak

berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang
digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah

digunakan secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah

digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan

anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu

difabel, sebenarnya merupakan kependekan dari diference ability. Sejalan dengan

perkembangan pengakuan terhadap hak azasi manusia termasuk anak-anak ini, maka

digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus. Penggunaan istilah anak berkebutuhan

khusus membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan istilah anak luar biasa

yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada istilah luar biasa

lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental, emosi sosial) anak, maka pada

berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan

potensinya.

2. Konsep dasar anak berkebutuhan khusus

Perbedaan untuk memahami anak berkebutuhan khusus dikenal ada 2 hal yaitu

perbedaan interindividual dan intraindividual.

a. Perbedaan interindividual

Berarti membandingkan keadaan individu dengan orang lain dalam berbagai hal

diantaranya perbedaan keadaan mental (kapasitas kemampuan intelektual).

kemampuan panca indera (sensory), kemampuan gerak motorik, kemampuan

komunikasi, perilaku sosial, dan keadaan fisik. Perkembangan akhir-akhir ini

adanya perbedaan dalam pencapaian prestasi belajar siswa dalam berbagai mata

pelajaran.

b. Perbedaan intraindividual
Adalah suatu perbandingan antar potensi yang ada dalam diri individu itu sendiri,

perbedaan ini dapat muncul dari berbagai aspek meliputi intelektual, fisik.

psikologis, dan sosial.

Selain masalah perbedaan, ada beberapa terminologi yang dapat digunakan untuk

memahami anak berkebutuhan khusus. Istilah tersebut yaitu:

a. Impairmen

Merupakan suatu keadaan atau kondisi dimana individu mengalami

kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsi struktur

anatomis secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang

mengalami amputasi satu kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.

b. Disability

Suatu keadaan dimana individu mengalami kekurang mampuan yang

dimungkinkan karena adanya keadaan impairment seperti kecacatan pada organ

tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan merasakan

berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.

c. Handicaped

Keadaan dimana individu mengalami ketidakmampuan dalam

bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena

adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh, orang yang

mengalami amputasi kaki sehingga untuk aktivitas mobilitas atau berinteraksi

dengan lingkungannya dia memerlukan kursi roda.

Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak

berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik perbedaan


interindividual maupun intraindividual yang signifikan, dan mengalami kesulitan

dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga untuk mengembangkan potensinya

dibutuhkan pendidikan dan pengajaran khusus.

3. Dampak terjadinya kelainan

Berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan lingkungan

tersebut sebagai dampak dari keadaan kebutuhan khusunya yang berakibat juga pada

kondisi sosial psikologis anak berkebutuhan khusus, dan secara rinci diuraikan sebagai

berikut:

a. Dampak fisiologis

Dampak fisiologis, terutama pada anak-anak yang mengalami kelainan yang

berkaitan dengan fisik termasuk sensori-motor terlihat pada keadaan fisik

penyandang berkebutuhan khusus kurang mampu mengkoordinasi geraknya. bahkan

pada berkebutuhan khusus taraf berat dan sangat berat baru mampu berjalan di usia

lima tahun atau ada yang tidak mampu berjalan sama sekali. Tanda keadaan fisik

penyandang berkebutuhan khusus yang kurang mampu mengkoordinasi gerak antara

lain: kurang mampu koordinasi sensori motor. melakukan gerak yang tepat dan

terarah, serta menjaga kesehatan.

b. Dampak psikologis

Dampak psikologis timbul berkaitan dengan kemampuan jiwa lainnya, karena

keadaan mental yang labil akan menghambat proses kejiwaan dalam tanggapannya

terhadap tuntutan lingkungan. Kekurangan mampuan dalam penyesuaian diri yang

diakibatkan adanya ketidak sempurnaan individu, akibat dari rendahnya "self

esteem" dan dimungkinkan adanya kesalahan dalam pengarahan diri (self direction).
c. Dampak sosiologis

Dampak sosiologis timbul karena hubungannya dengan kelompok atau individu di

sekitarnya, terutama keluarga dan saudara-saudaranya. Kehadiran anak

berkebutuhan khusus di keluarga menyebabkan berbagai perubahan dalam keluarga.

Keluarga sebagai suatu unit sosial di masyarakat dengan kehadiran anak

berkebutuhan khusus merupakan musibah, kesedihan, dan beban yang berat.

Kondisi itu termanifestasi dengan reaksi yang bermacam-macam, seperti : kecewa,

shock, marah, depresi, rasa bersalah dan bingung. Reaksi yang beraneka ini dapat

mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga yang selamanya tidak akan

kembali seperti semula.

Dampak keberkebutuhan khusus dari tiga dimensi tersebut menyebabkan

pengaruh yang cukup berarti dalam kehidupan mereka. Keterbatasan dan daya

kemampuan yang mereka miliki menimbulkan munculnya berbagai masalah.

Masalah yang mereka hadapi relatif berbeda-beda, walaupun ada kesamaan yang

dirasakan oleh mereka ini sebagai dampak keberkebutuhan kekhususan, dan yang

ada kesamaan dirasakan mereka (Amin 1995:41-51) meliputi:

a. Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Masalah penyesuaian diri.

c. Masalah penyaluran ke tempat kerja.

d. Masalah kesulitan belajar.

e. Masalah gangguan kepribadian dan emosi.

f. Masalah pemanfaatan waktu luang.

E. Prevalensi anak berkebutuhan khusus


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki risiko tinggi mengalami

keterbatasan fisik bersifat kronis, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, atau

emosional sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang berbeda dengan anak normal

(McPherson, 1998). Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus

yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan

mental, emosi atau fisik Saat ini anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan

hambatan tertentu (Keputusan Kemenkes, 2010).

Sekitar 12.8% anak (9360 perkiran populasi) di Amerika Serikat merupakan anak

berkebutuhan khusus pada tahun 2001. Prevalensi tinggi pada anak laki-laki, usia sekolah,

dan berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi rendah (van Dyck, 2004).

Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia.

Gambar 1. Persentase anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di

Californiaberdasarkan usia

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin laki-

laki adalah sebesar 18,5% dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2

(CAHMI,2010)
Gambar 2. Persentase anak berkebutuhan khusus usia 0-17 tahun berdasarkan

jenis kelamin.

Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara nasional

maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut

data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia

sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari

jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan

21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610

anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini

terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang

ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan

di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak (Direktorat bina kesehatan anak, 2010)

F. Faktor penyebab kelainan

Ada berbagai faktor yang menyumbang terjadinya anak berkebutuhan khusus. Adapun

faktor-faktor tersebut meliputi:

a. Heriditer

Ilustrasi
Sepasang suami istri yang cukup bahagia dengan menunggu kelahiran anak pertamanya,

kehamilan istrinya telah memasuki minggu ke 40. Setelah anaknya lahir betapa

terkejutnya pasangan tersebut mendapatkan anak yang mengalami kelainan, dokter

menyebutnya dengan Down's syndrome atau mongolism. Setelah mereka berkonsultasi

dengan dokter ahli genetika maka diketahui bahwa pasangan suami istri tersebut

memiliki gen yang sama. Hal ini dimungkinkan masih adanya jalinan darah atau saudara

dari pasangan suami istri tersebut. Adanya kesamaan gen pada pasangan suami istri

memiliki resiko tinggi untuk melahirkan anak kelainan kromosome salah satunya adalah

Down's syndrome atau mongolism, bagi anak Down's syndrome sering kelainannya

adalah kelebihan kromosome pada pasangan kromosome ke 21 yang dikenal dengan

trisomi 21. dimana pada manusia terdapat 23 pasang kromosome.

Ilustrasi tersebut memaparkan bahwa faktor penyebab yang berdasarkan

keturunan atau sering dikenal dengan genetik, yaitu kelainan kromosome, pada

kelompok faktor penyebab heriditer masih ada kelainan bawaan non genetik. seperti

kelahiran pre-mature dan BBLR (berat bayi lahir rendah) yaitu berat bayi lahir kurang

dari 2.500 gram, merupakan resiko terjadinya anak berkebutuhan khusus. Demikian juga

usia ibu sewaktu hamil di atas 35 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi untuk

melahirkan anak berkebutuhan khusus.

b. Infeksi

Merupakan suatu penyebab dikarenakan adanya berbagai serangan penyakit

infeksi yang dapat menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung terjadinya

kelainan seperti infeksi TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes), polio,

meningitis, dsb.
c. Keracunan

Masih banyak jenis keracunan yang merupakan penyebab yang cukup banyak

ditemukan karena seperti pola hidup masyarakat, keracunan dapat secara langsung pada

anak, maupun melalui ibu hamil. Munculnya FAS (fetal alchohol syndrome) adalah

keracunan janin yang disebabkan ibu mengkonsumsi alkohol yang berlebihan, kebiasaan

kaum ibu mengkonsumsi obat bebas tanpa pengawasan dokter merupakan potensi

keracunan pada janin. Jenis makanan yang dikonsumsi bayi yang banyak mengandung

zat-zat berbahaya merupakan salah satu penyebab. Adanya polusi pada berbagai sarana

kehidupan terutama pencemaran udara dan air, seperti peristiwa Bhopal dan Chernobil

sebagai gambarannya.

d. Trauma

Kejadian yang tak terduga dan menimpa langsung pada anak, seperti proses

kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan yang mengandung resiko tinggi,

atau kejadian saat kelahiran saluran pernafasan anak tersumbat sehingga menimbulkan

kekurangan oksigen pada otak (asfeksia), terjadinya kecelakaan yang menimpa pada

organ tubuh anak terutama bagian kepala.

e. Kekurangan gizi

Masa tumbuh kembang sangat berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak

terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi dapat terjadi karena adanya

kelainan metabolism maupun penyakit parasit pada anak seperti cacingan. Hal ini

mengingat Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak memunculkan atau tempat

tumbuh-kembangnya penyakit parasit dan juga karena kurangnya asupan makanan yang
sesuai dengan kebutuhan anak pada masa tumbuh kembang. Hal ini di dukung oleh

kondisi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Jika dipandang dari sudut waktu terjadinya kelainan dapat di bagi menjadi:

a. Pre-natal

Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum proses kelahiran.

Misalnya seorang ibu yang tengah hamil muda > 3 bulan keracunan olkhohol.

b. Peri-natal

Sering juga disebut natal waktu terjadinya kelainan pada saat proses kelahiran dan

menjelang serta sesaat setelah proses kelahiran.

c. Pasca natal

Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai dengan sebelum usia

perkembangan selesai (kurang lebih usia 18 tahun)


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memahami sejarah anak berkebutuhan khusus Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran
awal bahwa beberapa anak membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan
tipikal atau biasa agar dapat mencapai potensi mereka.
Sehingga organisasi-organisasi profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan
dan menjadi kekuatan yang dahsyat di belakang banyaknya perubahan yang mengakar dan
memberikan kekuatan munculnya layanan-layanan pendidikan khusus.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi 'Education for All.'
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi
pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan "the Salamanca statement on inclusive education."
(Herawati, 2016) Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun
2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program
pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru
mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Landasan hukum pendidkan khusus Peraturan menteri pendidikan nasional Republik
Indonesia Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakan istimewa,
MEMUTUSKAN Pasal 1 Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 2 Pendidikan inklusif bertujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; b.Mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Pasal 3 1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara
inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Pasal 4 1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan
menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan kursi
peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling
sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan diterima.
Pasal 7 satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik
sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya.
2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan
sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar nasional pendidikan wajib
mengikuti ujian nasional.
3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan di bawah standar nasional pendidikan mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
4) Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh Pemerintah.
5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional pendidikan
mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh satuan pendidikan
yang bersangkutan.
6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan pendidikan
pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus
bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif.
4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu penyediaan tenaga pembimbing khusus
bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai dengan
kewenangannya.
5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di bidang
pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif.
6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat
dilakukan melalui: a. Pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga
kependidikan (P4TK); b. Lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP): c. Perguruan
tinggi (PT); d. Lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah
daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen Agama.
4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa : a. bantuan
profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi; b. bantuan profesional
dalam penerimaan, identifikasi, asesmen, prevensi, intervensi, kompensatoris, dan layanan
advokasi peserta didik; c. bantuan profesional dalam melakukan pengembangan kurikulum,
program pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta
sarana dan prasarana yang aksesibel; 5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif dapat bekerja sama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus,
perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat.
Pasal 13 Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen tinggi
dan berprestasi dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Pasal 14 Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberi sanksi sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.

20/2003 memberikan batasan bahwa "Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa".
Aspek kehidupan dan penghidupan meliputi aspek pendidikan yang diperoleh
penyandang cacat melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang
pendidikan melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa menyatakan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mempunyai hak: (1)
memperoleh perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan kelainannya; (2)
memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya; (3) mengikuti program
pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk
mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan
tertentu yang telah dibakukan; (4) memperoleh bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau
bantuan lain sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan yang berlaku; (5)
pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan
kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan siswa pada sekolah yang hendak
dimasuki; (6) memperoleh penilaian hasil belajar; (7) menyelesaikan program pendidikan
lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan (8) memperoleh pelayanan khusus sesuai dengan
jenis kelainan yang disandang.
70 tahun 2009, pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraaan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
70 tahun 2009 pasal 2, tujuan dari pendidikan Inklusif adalah: (a) memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,
disebutkan bahwa, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
(pasal 1).

Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50 kab/kota dan 6 provinsi, serta 5 PTN yang
mendeklarasikan sebagai Provinsi, Kab/Kota dan PT yang peduli terhadap pendidikan
Inklusif.

Pendidikan inklusif seharusnya difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi
pada peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas.

Ketika konsep pendidikan inklusif difahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi
pada mutu dan inovasi pendidikan maka pendidkan inklusif menjadi tugas dan tanggung
jawab serta kebutuhan bersama.

Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan pesimis terhadap pendidikan
inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif dapat berkembang dan berlangsung dengan baik
di sekolah tersebut.

Kepala sekolah dan guru perlu melihat secara langsung praktik terbaik dalam pendidikan
inklusif di sekolah-sekolah yang telah menerapkan pendidikan inklusif.
D. Hakekat anak berkebutuhan khusus anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak
yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya.

Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan, dan merupakan
terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan secara luas di dunia
internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan diantaranya anak cacat, anak
tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang
berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan
dari diference ability.

Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik perbedaan interindividual maupun
intraindividual yang signifikan, dan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan
lingkungan sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan
pengajaran khusus.

Dampak terjadinya kelainan Berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam memenuhi


tuntutan lingkungan tersebut sebagai dampak dari keadaan kebutuhan khusunya yang
berakibat juga pada kondisi sosial psikologis anak berkebutuhan khusus, dan secara rinci
diuraikan sebagai berikut: a. Dampak fisiologis Dampak fisiologis, terutama pada anak-
anak yang mengalami kelainan yang berkaitan dengan fisik termasuk sensori-motor terlihat
pada keadaan fisik penyandang berkebutuhan khusus kurang mampu mengkoordinasi
geraknya.

E. Prevalensi anak berkebutuhan khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
memiliki risiko tinggi mengalami keterbatasan fisik bersifat kronis, gangguan perkembangan,
gangguan perilaku, atau emosional sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang berbeda
dengan anak normal (McPherson, 1998).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik Saat ini anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan hambatan tertentu
(Keputusan Kemenkes, 2010).

Persentase anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di Californiaberdasarkan usia
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin laki-laki
adalah sebesar 18,5% dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2 (CAHMI,2010)

Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi
85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144
anak (Direktorat bina kesehatan anak, 2010) F. Faktor penyebab kelainan Ada berbagai
faktor yang menyumbang terjadinya anak berkebutuhan khusus.

d. Trauma Kejadian yang tak terduga dan menimpa langsung pada anak, seperti proses
kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan yang mengandung resiko tinggi, atau
kejadian saat kelahiran saluran pernafasan anak tersumbat sehingga menimbulkan
kekurangan oksigen pada otak (asfeksia), terjadinya kecelakaan yang menimpa pada organ
tubuh anak terutama bagian kepala.

B. Saran
Pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan sejalan dengan perubahan era
peradaban. Kondisi yang di tawarkan era society 5.0 telah membawa dampak signifikan
terhadap pelaksanaan pendidikan. Pendidkan inklusi menjadi perhatian penting di era society
5.0 sebab memiliki potensi yang unik untuk dikembangkan. Pendidik dalam pendidikan
inklusi memiliki kecendrungan konstruktivis sosial lebih dominan daripada guru pendidikan
reguler (Sheehy et al., 2019). Hubungan kolaborasi pemerintah, sekolah, orang tua dan
masyrakat menjadi modal utama terbentuknya paradigma pendidikan inklusi yang
profesional, sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapar berpartisipasi dalam
mewujudkan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.
Daftar Pustaka

Damayanti, P. A. (2015). Sekolah Dasar Luar Biasa (Sdlb) Di Kota Semarang Dengan

Penekanan Desain Universal. Canopy: Journal of Architecture, 4(2).

Hafiz, A. (2017). Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-Salam,

1(3), 9-15.

Herawati, N. L., (2016). Pendidikan Inklusif. EduHumaniora Jurnal Pendidikan Dasar Kampus

Cibiru, vol.2,no.1.

Abdul Haris. (2003). "Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Siswa Berkebutuhan Khusus

Melalui Aplikasi Pembelajaran Berbasis Inklusif di Sekolah Reguler". Jurnal Rehabilitasi

Remidiasi, 13, 102-10

Kementrian Kesehatan RI (2010). Pedoman Umum Perlindungan Kesehatan Anak Berkebutuhan

Khusus (http://www.gizikia.depkes.go.id) diunduh pada 4 April 2012

Allan, J (2005). Actively Seeking Inclusion Pupil with Special Needs in Mainstreams Schools.

Falmer Press:London

Anda mungkin juga menyukai