Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah,
taufik, dan ilhamnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun
dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dari dosen kami Ibu Nurma Angkotasan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan
Syafrin Muhammad
Npm: 03082111005
Daftar Isi
Kata Pengantar.........................................................................................................................
Daftar Isi...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
Berkebutuhan Khusus.............................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran.......................................................................................................................
Daftar Pustaka..........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali,
termasuk mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan (difabel) seperti yang
tertuang pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 bahwa warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan
Inklusi adalah suatu sistem ideologi dimana secara bersama-sama tiap-tiap warga
sekolah, yaitu masyarakat, kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, petugas administrasi
sekolah, para siswa, dan orang tua menyadarai tanggung jawab bersama mendidik semua
siswa sedemikian sehingga mereka berkembang secara optimal sesuai potensi mereka.
Pendidikan inklusif menjadi alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
mengalami keterbatasan fisik namun masih dapat mengikuti materi yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum. Banyak diantara mereka yang bersekolah di sekolah umum dapat
mengikuti pembelajaran dan bahkan mampu mengalahkan anak-anak yang tumbuh dengan
fisik yang utuh dari materi yang diujikan kepada mereka. Dengan bergabungnya mereka di
sekolah reguler (non SLB) memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat bersosialisasi
dengan anak yang tumbuh dengan normal untuk membantu perkembangan emosional anak
tersebut agar tidak menjadi anak yang minder, dan bahkan menganggap diri mereka sama
dengan anak yang lain. Hal inilah yang mendasari pendidikan inklusif diselenggarakan.
(Hafiz, 2017)
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
khusus
Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak
membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa agar
dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada
tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk
didirikan di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat terbanyak di awal 1800-
an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang memimpin negara-negara
profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan dan menjadi kekuatan yang
tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar pakar Pendidikan Luar biasa
yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam
Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan
ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari
segregatif ke intergratif.
sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
'Education for All.' Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi
agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan
layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program
pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program
baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
Pasal 2
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf
a.
Pasal 3
1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
j. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya;
l. tunaganda.
Pasal 4
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta
Pasal 5
1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi
kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang
akan diterima.
3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, satuan pendidikan dapat menerima
Pasal 6
inklusif.
Pasal 7
satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai
Pasal 8
Pasal 9
1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada
4) Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian sesuai dengan standar
Pemerintah.
pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh
pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang
Pasal 10
pendidikan inklusif.
pembimbing khusus.
pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat
dilakukan melalui:
(P4TK);
b. Lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP):
Pasal 11
3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
swadaya masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri.
profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat. klinik terapi,
Pasal 12
Pasal 13
pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen
Pasal 14
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberi sanksi sesuai dengan ketentuan
Pasal 15
lainnya termasuk hak pendidikan. Kesetaraan hak mereka dengan warga negara lain
ditegaskan dalam Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "Tiap
tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengatur secara khusus perlindungan terhadap
anak berkebutuhan khusus. Pasal 8 ayat 1 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa "Warga
negara yang memiliki kelainan fisik atau mental berhak memperoleh pendidikan luar
biasa" Pasal 15 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa Jenis pendidikan bagi Anak
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
Penyandang Cacat menyatakan bahwa "Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Aspek
kehidupan dan penghidupan meliputi aspek pendidikan yang diperoleh penyandang cacat
melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan melalui
mempunyai hak: (1) memperoleh perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan,
dan kelainannya; (2) memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya; (3) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan
fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan kelainan yang disandang dan
persyaratan yang berlaku; (5) pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat
yang lebih tinggi sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan
siswa pada sekolah yang hendak dimasuki; (6) memperoleh penilaian hasil belajar; (7)
menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan (8)
Bentuk dari pendidikan bagi ABK adalah Pendidikan Inklusif. Menurut Pasal 1
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
dengan peserta didik pada umumnya. Menurut Pasal 2 Permendiknas No. 70 tahun 2009
pasal 2, tujuan dari pendidikan Inklusif adalah: (a) memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh
1. Tunanetra
Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan sebagai anak-anak yang
mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Beberapa ahli seperti Djaja Rahardja dan
Sujarwanto serta Gargiulo mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu buta
buta, buta fungsional dan low vision. Seseorang disebut mengalami kebutaan secara
legal jika kemampuan penglihatannya berkisar 20/200 atau dibawahnya, atau lantang
pandangannya tidak lebih dari 20 derajat. Pada pengertian ini, seorang anak di tes
dengan menggunakan snellen chart (kartu snellen) dimana anak harus dapat
mengindetifikasi huruf jarak pada jarak 20 kaki atau 6 meter. Dengan pengertian lain
anak-anak dikatakan buta secara legal jika mengalamai permasalahan pada sudut
pandang penglihatan, yairu kemampuan menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi
2. Tunarungu
dikatakan tunarungu jika mereka tidak mampu atau kurang mampu mendengar.
Menurutnya, tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli dan kurang
dengar. Tuli merupakan suatu kondisi dimana seseorang benar-benar tidak dapat
pendengarannya tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar meskipun dengan atau
3. Tunagrahita
namun dalam biang pendidikan mereka memiliki hambatan yang sama dikarenakan
intelegensi memiliki beberapa istilah penyebutan anatara t (IQ dibawah 35). Sedangkan
klasifikasi lain dapat didasarkan pada kemampuan yang dimiliki yaitu Ringan (mampu
4. Tunadaksa
gangguan motorik. Pada konteks lain dapat kita temui penggunaan istilah lain dalam
menyebut anak tunadaksa misalnya anak dengan hambatan gerak. Utamanya, anak
tunadaksa adalah anak yang mengalami gangguan fungsi gerak yang disebabkan oleh
merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu yang disebabkan karena bentuk
abnormal atau organ tulang, otot, dan sendi tidak dapat berfungsi dengan baik.
5. Tunalaras
tentang anak-anak yang mengalami masalah tingkah laku. Istilah tunalaras itu sendiri
belum dapat diterima secara umum karena batasan-batasan penyebutan anak tunalaras
yang kurang saklek. Pada intinya sebutan anak tunalaras merupakan gangguang perilaku
yang menunjukka suatu penentangan terhadap norma dan aturan social di masyarakat
pendidikan inklusif. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain
menjelaskan: Pasal 5 ayat (1): 'Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (2): 'Warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
(pasal 1).
Dengan berbagai regulasi yang ada, jumlah sekolah inklusif di Indonesia terus mengalami
perkembangan, sampai dengan tahun 2014 telah mencapai lebih dari 2100 sekolah inklusif
(Kemendikbud. 2013). Namun demikian kondisi ini belum dinilai maju dibanding dengan
perkembangan pendidikan inklusif di beberapa negara. Hasil penilaian UNESCO tahun 2009
menemukan bahwa pada awalnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. tahun 2007
Indonesia menduduki ranking 58 dari 130 negara. Tetapi karena berbagai faktor, terutama
ranking 63 pada tahun 2008 dan ranking 71 pada tahun 2009 (Kompas.com, 30 November
2009).
tahun terakhir melakukan gerakan masiv pembudayaan pendidikan inklusif melalui provinsi
dan kabupaten/kota, serta Perguruan Tinggi (PT). Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50
kab/kota dan 6 provinsi, serta 5 PTN yang mendeklarasikan sebagai Provinsi, Kab/Kota dan
PT yang peduli terhadap pendidikan Inklusif. Gerakan masif ini diharapkan dapat mendorong
lahirnya budaya pendidikan inklusif menuju masyarakat dan bangsa yang inklusif.
Implementasi pendidikan inklusif tidak boleh difahami hanya sekedar memberikan tempat
dan ruang bagi penyandang cacat di sekolah regular karena memenuhi tuntutan dunia.
Pendidikan inklusif seharusnya difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi
pada peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas. Ketika konsep pendidikan
inklusif difahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi pada mutu dan inovasi
pendidikan maka pendidkan inklusif menjadi tugas dan tanggung jawab serta kebutuhan
bersama. Kepala Sekolah, Guru, orangtua, dan masyarakat seharusnya terpanggil untuk
mendukung dan menyukseskan gerakan pendidikan inklusif. Kuncinya adalah kepala sekolah
dan guru. Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan pesimis terhadap
pendidikan inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif dapat berkembang dan berlangsung
dengan baik di sekolah tersebut. Untuk mengubah cara pandang kepala sekolah dan guru
Berikut ini mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut: (1) Meluruskan
persepsi tentang pendidikan inklusif. Prinsip utama dalam pendidikan inklusif adalah
pelayanan kepada semua anak sesuai dengan potensi, hambatan dan kebutuhannya. Dengan
prinsip ini maka semua anak dengan kondisi apapun akan dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sekolah. (2) Pelatihan
berkelanjutan. Kepala sekolah dan guru perlu diberikan pembekalan melalui pelatihan yang
berkelanjutan tentang bagaimana menyiapkan, merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan
mengembangkan pendidikan inklusif. Banyak hal teknis yang harus dimengerti dan
dilaksanakan kepala sekolah dan guru dalam implementasi pendidikan inklusif. Pelatihan
manajemen dan teknis layanan pendidikan di sekolah inklusif perlu diberikan kepada mereka
secara berkelanjutan. (3) Pengalaman 'best practices'. Kepala sekolah dan guru perlu melihat
secara langsung praktik terbaik dalam pendidikan inklusif di sekolah-sekolah yang telah
menerapkan pendidikan inklusif. Melalui observasi dan dialog dengan sekolah lain, akan
muncul keyakinan baru bahwa mengelola sekolah inklusif, bukan hal yang sulit, melainkan
sebuah tantangan menuju pendidikan yang lebih bermutu. (4) Pengembangan sekolah model.
Pemerintah perlu mengembangkan banyak sekolah inklusif model di setiap daerah. Melalui
sekolah model, dapat dijadikan percontohan bagi sekolah lain yang akan mengembangkan
dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada
umumnya. Keadaan inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat anak berkebutuhan
khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya
menemu kenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru
telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai hakikat anak berkebutuhan khusus,
berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang
digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah
digunakan secara luas di dunia internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah
digunakan diantaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan
anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu
perkembangan pengakuan terhadap hak azasi manusia termasuk anak-anak ini, maka
khusus membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan istilah anak luar biasa
yang pernah dipergunakan dan mungkin masih digunakan. Jika pada istilah luar biasa
lebih menitik beratkan pada kondisi (fisik, mental, emosi sosial) anak, maka pada
berkebutuhan khusus lebih pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan
potensinya.
Perbedaan untuk memahami anak berkebutuhan khusus dikenal ada 2 hal yaitu
a. Perbedaan interindividual
Berarti membandingkan keadaan individu dengan orang lain dalam berbagai hal
adanya perbedaan dalam pencapaian prestasi belajar siswa dalam berbagai mata
pelajaran.
b. Perbedaan intraindividual
Adalah suatu perbandingan antar potensi yang ada dalam diri individu itu sendiri,
perbedaan ini dapat muncul dari berbagai aspek meliputi intelektual, fisik.
Selain masalah perbedaan, ada beberapa terminologi yang dapat digunakan untuk
a. Impairmen
anatomis secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang
b. Disability
tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan merasakan
c. Handicaped
adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh, orang yang
tersebut sebagai dampak dari keadaan kebutuhan khusunya yang berakibat juga pada
kondisi sosial psikologis anak berkebutuhan khusus, dan secara rinci diuraikan sebagai
berikut:
a. Dampak fisiologis
pada berkebutuhan khusus taraf berat dan sangat berat baru mampu berjalan di usia
lima tahun atau ada yang tidak mampu berjalan sama sekali. Tanda keadaan fisik
lain: kurang mampu koordinasi sensori motor. melakukan gerak yang tepat dan
b. Dampak psikologis
keadaan mental yang labil akan menghambat proses kejiwaan dalam tanggapannya
esteem" dan dimungkinkan adanya kesalahan dalam pengarahan diri (self direction).
c. Dampak sosiologis
shock, marah, depresi, rasa bersalah dan bingung. Reaksi yang beraneka ini dapat
pengaruh yang cukup berarti dalam kehidupan mereka. Keterbatasan dan daya
Masalah yang mereka hadapi relatif berbeda-beda, walaupun ada kesamaan yang
dirasakan oleh mereka ini sebagai dampak keberkebutuhan kekhususan, dan yang
emosional sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang berbeda dengan anak normal
(McPherson, 1998). Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik Saat ini anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan
Sekitar 12.8% anak (9360 perkiran populasi) di Amerika Serikat merupakan anak
berkebutuhan khusus pada tahun 2001. Prevalensi tinggi pada anak laki-laki, usia sekolah,
dan berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi rendah (van Dyck, 2004).
Californiaberdasarkan usia
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin laki-
laki adalah sebesar 18,5% dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2
(CAHMI,2010)
Gambar 2. Persentase anak berkebutuhan khusus usia 0-17 tahun berdasarkan
jenis kelamin.
maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut
data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia
sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari
jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan
21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610
anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini
terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang
ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan
di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak (Direktorat bina kesehatan anak, 2010)
Ada berbagai faktor yang menyumbang terjadinya anak berkebutuhan khusus. Adapun
a. Heriditer
Ilustrasi
Sepasang suami istri yang cukup bahagia dengan menunggu kelahiran anak pertamanya,
kehamilan istrinya telah memasuki minggu ke 40. Setelah anaknya lahir betapa
dengan dokter ahli genetika maka diketahui bahwa pasangan suami istri tersebut
memiliki gen yang sama. Hal ini dimungkinkan masih adanya jalinan darah atau saudara
dari pasangan suami istri tersebut. Adanya kesamaan gen pada pasangan suami istri
memiliki resiko tinggi untuk melahirkan anak kelainan kromosome salah satunya adalah
Down's syndrome atau mongolism, bagi anak Down's syndrome sering kelainannya
keturunan atau sering dikenal dengan genetik, yaitu kelainan kromosome, pada
kelompok faktor penyebab heriditer masih ada kelainan bawaan non genetik. seperti
kelahiran pre-mature dan BBLR (berat bayi lahir rendah) yaitu berat bayi lahir kurang
dari 2.500 gram, merupakan resiko terjadinya anak berkebutuhan khusus. Demikian juga
usia ibu sewaktu hamil di atas 35 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi untuk
b. Infeksi
infeksi yang dapat menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung terjadinya
kelainan seperti infeksi TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes), polio,
meningitis, dsb.
c. Keracunan
Masih banyak jenis keracunan yang merupakan penyebab yang cukup banyak
ditemukan karena seperti pola hidup masyarakat, keracunan dapat secara langsung pada
anak, maupun melalui ibu hamil. Munculnya FAS (fetal alchohol syndrome) adalah
keracunan janin yang disebabkan ibu mengkonsumsi alkohol yang berlebihan, kebiasaan
kaum ibu mengkonsumsi obat bebas tanpa pengawasan dokter merupakan potensi
keracunan pada janin. Jenis makanan yang dikonsumsi bayi yang banyak mengandung
zat-zat berbahaya merupakan salah satu penyebab. Adanya polusi pada berbagai sarana
kehidupan terutama pencemaran udara dan air, seperti peristiwa Bhopal dan Chernobil
sebagai gambarannya.
d. Trauma
Kejadian yang tak terduga dan menimpa langsung pada anak, seperti proses
kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan yang mengandung resiko tinggi,
atau kejadian saat kelahiran saluran pernafasan anak tersumbat sehingga menimbulkan
kekurangan oksigen pada otak (asfeksia), terjadinya kecelakaan yang menimpa pada
e. Kekurangan gizi
terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi dapat terjadi karena adanya
kelainan metabolism maupun penyakit parasit pada anak seperti cacingan. Hal ini
mengingat Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak memunculkan atau tempat
tumbuh-kembangnya penyakit parasit dan juga karena kurangnya asupan makanan yang
sesuai dengan kebutuhan anak pada masa tumbuh kembang. Hal ini di dukung oleh
Jika dipandang dari sudut waktu terjadinya kelainan dapat di bagi menjadi:
a. Pre-natal
Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum proses kelahiran.
Misalnya seorang ibu yang tengah hamil muda > 3 bulan keracunan olkhohol.
b. Peri-natal
Sering juga disebut natal waktu terjadinya kelainan pada saat proses kelahiran dan
c. Pasca natal
20/2003 memberikan batasan bahwa "Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa".
Aspek kehidupan dan penghidupan meliputi aspek pendidikan yang diperoleh
penyandang cacat melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang
pendidikan melalui pendidikan khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa menyatakan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mempunyai hak: (1)
memperoleh perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan kelainannya; (2)
memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya; (3) mengikuti program
pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk
mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan
tertentu yang telah dibakukan; (4) memperoleh bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau
bantuan lain sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan yang berlaku; (5)
pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan
kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan siswa pada sekolah yang hendak
dimasuki; (6) memperoleh penilaian hasil belajar; (7) menyelesaikan program pendidikan
lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan (8) memperoleh pelayanan khusus sesuai dengan
jenis kelainan yang disandang.
70 tahun 2009, pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraaan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
70 tahun 2009 pasal 2, tujuan dari pendidikan Inklusif adalah: (a) memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif,
disebutkan bahwa, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
(pasal 1).
Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50 kab/kota dan 6 provinsi, serta 5 PTN yang
mendeklarasikan sebagai Provinsi, Kab/Kota dan PT yang peduli terhadap pendidikan
Inklusif.
Pendidikan inklusif seharusnya difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi
pada peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas.
Ketika konsep pendidikan inklusif difahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi
pada mutu dan inovasi pendidikan maka pendidkan inklusif menjadi tugas dan tanggung
jawab serta kebutuhan bersama.
Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan pesimis terhadap pendidikan
inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif dapat berkembang dan berlangsung dengan baik
di sekolah tersebut.
Kepala sekolah dan guru perlu melihat secara langsung praktik terbaik dalam pendidikan
inklusif di sekolah-sekolah yang telah menerapkan pendidikan inklusif.
D. Hakekat anak berkebutuhan khusus anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak
yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya.
Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan, dan merupakan
terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan secara luas di dunia
internasional, ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan diantaranya anak cacat, anak
tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang
berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan
dari diference ability.
Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik perbedaan interindividual maupun
intraindividual yang signifikan, dan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan
lingkungan sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan
pengajaran khusus.
E. Prevalensi anak berkebutuhan khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
memiliki risiko tinggi mengalami keterbatasan fisik bersifat kronis, gangguan perkembangan,
gangguan perilaku, atau emosional sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang berbeda
dengan anak normal (McPherson, 1998).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik Saat ini anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan hambatan tertentu
(Keputusan Kemenkes, 2010).
Persentase anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di Californiaberdasarkan usia
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin laki-laki
adalah sebesar 18,5% dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2 (CAHMI,2010)
Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi
85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144
anak (Direktorat bina kesehatan anak, 2010) F. Faktor penyebab kelainan Ada berbagai
faktor yang menyumbang terjadinya anak berkebutuhan khusus.
d. Trauma Kejadian yang tak terduga dan menimpa langsung pada anak, seperti proses
kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan yang mengandung resiko tinggi, atau
kejadian saat kelahiran saluran pernafasan anak tersumbat sehingga menimbulkan
kekurangan oksigen pada otak (asfeksia), terjadinya kecelakaan yang menimpa pada organ
tubuh anak terutama bagian kepala.
B. Saran
Pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan sejalan dengan perubahan era
peradaban. Kondisi yang di tawarkan era society 5.0 telah membawa dampak signifikan
terhadap pelaksanaan pendidikan. Pendidkan inklusi menjadi perhatian penting di era society
5.0 sebab memiliki potensi yang unik untuk dikembangkan. Pendidik dalam pendidikan
inklusi memiliki kecendrungan konstruktivis sosial lebih dominan daripada guru pendidikan
reguler (Sheehy et al., 2019). Hubungan kolaborasi pemerintah, sekolah, orang tua dan
masyrakat menjadi modal utama terbentuknya paradigma pendidikan inklusi yang
profesional, sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapar berpartisipasi dalam
mewujudkan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.
Daftar Pustaka
Damayanti, P. A. (2015). Sekolah Dasar Luar Biasa (Sdlb) Di Kota Semarang Dengan
Hafiz, A. (2017). Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-Salam,
1(3), 9-15.
Herawati, N. L., (2016). Pendidikan Inklusif. EduHumaniora Jurnal Pendidikan Dasar Kampus
Cibiru, vol.2,no.1.
Allan, J (2005). Actively Seeking Inclusion Pupil with Special Needs in Mainstreams Schools.
Falmer Press:London