Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
Susilawati : 18843020
TAHUN 2020-2021
KATA PENGANTAR
Bismillahhirohmanirrohim.
Puji syukur ke hadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami
bisa mengerjakan makalah yang berjudul “Dokumen Dokumen Kebijaksanaan
Internasional Sebagai Landasan Pendidikan Inklusif”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusif.
Shalawat serta salam tidak lupa kita sampaikan untuk junjungan nabi kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita
semua.
Sekaligus kami menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya
untuk Bapak Moch. Restu Adiansyah, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Inklusif dan taklupa Rekan-rekan seangkatan yang telah memotivasi kami untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan tepat waktu.
Kami juga berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat dalam
meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait mata kuliah Pendidikan Inklusif.
Penulis menyadari bahwasanya makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena
masih banyak kekurangan, baik dalam sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam
penyempurnaaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita
semua. Aamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................1
1.2 MASALAH ATAU TOPIK BAHASAN.....................................................................2
1.3 TUJUAN PENULISAN..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 DOKUMEN DOKUMEN NASIONAL......................................................................3
2.2 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA.......................................................8
2.3 HAK DAN KEWAJIBAN...........................................................................................9
2.4 KESAMAAN DAN KESEMPATAN.......................................................................10
2.5 UPAYA PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT.......................................10
2.6 KETENTUAN PIDANA DA SANKSI ADMINISTRASI........................................15
2.7 SISTEM PENDIDKAN NASIONAL........................................................................17
2.8 PASAL-PASAL YANG MEMBAHAS TENTANG ABK........................................21
2.9 PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELEBIHAN (ABK) YANG DI MAKSUD
UNDANG-UNDANG...........................................................................................................23
BAB III PENUTUP................................................................................................................25
3.1 KESIMPUKAN.........................................................................................................25
3.2 SARAN.....................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iv
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
normal agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas
untuk masa depan hidupnya.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja isi dari Dokumen –
Dokumen kebijakan Nasional sebagai landasan Pendidikan Inklusif, sehingga dibuatlah
makalah ini untuk mengetahui hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
pembahasan makalah ini adalah:
1. Apa Isi Dokumen-Dokumen Nasional ?
2. Apa Saja Undang-Undang Republik Indonesia?
3. Apa Isi Hak dan Kewajiban ?
4. Apa Isi Kesamaan Kesempatan?
5. Apa Saja Upaya Pemerintah dan Peran Masyarakat?
6. Bagaimana Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi?
7. Bagaimana Sistem Pendidikan Nasional?
8. Apa Isi Pasal-Pasal Yang Membahas Tentang ABK ?
9. Siapa Saja Peserta Didik yang Memiliki Kelainan (ABK) yang Dimaksud Undang-
Undang?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulis untuk membuat makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Isi Dari Dokumen-Dokumen Nasional
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Undang-Undang Republik Indonesia
3. Untuk Mengetahui Isi Hak dan Kewajiban
4. Untuk Mengetahui Isi Kesamaan Kesemptan
5. Untuk Mengetahui Apa Saja Upaya Pemerintah dan Peran Masyarakat
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Sistem Pendidikan Nasional
8. Untuk Mengetahui Isi Pasal-Pasal yang Membahas Tentang ABK
9. Untuk Mengetahui Siapa Saja Peserta Didik yang Memiliki Kelainan (ABK) yang
Dimaksud Undang-Undang
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pasal 36 Ayat 3
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan
takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan
global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Pasal 45 Ayat 1
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan
prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik.
Permendiknas Nomor 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik
yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan : a. memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya; b. mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana
yang dimaksud pada huruf a.
Pasal 3
1. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.
2. Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e.
tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j.
4
memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat
terlarang, dan zat adiktif lainnya; l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda.
Pasal 4
1. Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan
1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
2. Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. 2) Satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan kursi peserta
didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima. 3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan pendidikan
dapat menerima peserta didik normal.
Pasal 6
1. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
2. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
3. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif.
Pasal 7 dan Pasal 8
Pasal 7 Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan
kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan minatnya.
Pasal 8 Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembelajaran yang disesuikan dengan karakteristik belajar peserta didik.
Pasal 9
Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada
jenis kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasaskan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar
nasional pendidikan wajib mengikuti ujian nasional.
5
Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan di bawah standar pendidikan mengikuti ujian
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh
Pemerintah.
Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan
berasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah
standar nasional pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang
blankonya dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan
pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Pasal 10
Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang
guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang
guru pembimbing khusus.
Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang
pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga
pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif
yang memerlukan sesuai dengan kewenangannya.
Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dapat dilakukan melalui: a. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (P4TK); b. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
(LPMP); c. Perguruan Tinggi (PT) d. Lembaga pendidikan dan pelatihan
lainnya di lingkungan pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional
dan/atau Departemen agama; e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG,
KKS), Kelompok Kerja f. Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan
sejenisnya.
Pasal 11
6
1. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah
bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.
2. Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan
bantuan profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif.
3. Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
melalui kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok kerja organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri.
4. Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. bantuan
profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi; b. bantuan
profesional dalam penerimaan, identifikasi dan asesmen, prevensi, intervensi,
kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik; c. bantuan profesional dalam
melakukan modifikasi kurikulum, program pendidikan individual,
pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta sarana dan prasarana
yang asesibel.
5. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan
membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi,
organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan
masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
dan masyarakat.
Pasal 12 & 13
Pasal 12 Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 13 Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah
yang secara nyata memiliki komitmen tinggi dan berprestasi dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pasal 14 & 15
Pasal 14 Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberikan
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
7
2.2 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Kebijakan pemerintah sebagai komitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia, dapat ditandai dengan lahirnya Undang-undang
sebagai berikut:
1. UU No. 4 tahun 1997 tentang pernyandang anak cacat. Dalam UU ini terdapat
beberapa poin penting yang ingin mempertegas dalam hal pendidikan inklusif
yaitu; 1) Landasan, asas, dan tujuan. Pasal 2, yang berbunyi Upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 3, Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat
kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasiandan keselarasan dalam
perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal
4, Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui
pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwjudnya kemandirian dan
kesejahteraan.
2. Hak dan kewajiban yaitu; pada Pasal 5, Setiap peyandang cacat mempunyai hak
dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan,
Pasal 6, Setiap penyandang cacat berhak memperoleh: (Pendidikan pada semua
satuan, jalur, jenis,dan jenjang pendidikan), (Pekerjaan dan penghidupan yang
layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan
kemampuannya), (Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan
dan menikmati hasil-hasilnya, Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya),
(Rehabilitas, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial), dan
(Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan,dan
kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat). Pasal 7 menyatakan yang berkenaan kewajiban yaitu,
Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pelaksanaannya disesuikan dengan jenis dan derajat
kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya, 3) Kesamaan kesempatan. Pada
pasal 9 yang berbunyi, Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, begitupun dalam
Pasal 10 sampai pasal 15. Mungkin tiga poin penting ini cukup memperjelas
kenapa pendidikan inklusif ini penting sekalipun masih ada beberapa poin yang
di jelaskan dalan UU No. 4 Tahun 1997 pasal 5 tentang pernyandang anak
cacat.
3. UU No. 23 tahun 2002 pasal 48 dan 49 tentang perlindungan anak. Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan)
tahun untuk semua anak. Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua
wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan. Dalam UU ini pun semakin memperjelas bagaimana
seorang anak mendapatkan hak yang sama baik dalam hak mendapatkan
8
pelayanan kesehatan, jaminan sosial, mendapatkan perlindungan seperti yang
dinyatakan dalam pasal 1 sampai 2 maupun mendapatkan pendidikan yang
sesuai minat dan bakanya seperti yang terdapat pada Pasal 9.
4. UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang system
pendidikan Nasional yaitu ; Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, 2) Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus, 3) Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus, 4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, 5) Setiap warga
negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
5. Surat Edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Kemendiknas No. 380/C.C6/MN/2003, tanggal 20 Januari 2003.
6. Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
7. PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai dengan 142, tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
9
2.4 KESAMAAN DAN KESEMPATAN
Pada Pasal 1 Ayat 2 berbunyi, "Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk
menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat".
10
Pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di
sembilan propinsi yang memiliki pusat sumber, dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa
berkelainan telah bersekolah di sekolah regular, dan pada tahun 2005 meningkat
menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar
di 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA
(Sunaryo. 2009:6).
Hal ini berarti pemerintah telah berupaya untuk mengimplementasikan
kebijakan yang telah dibuat. Dari data yang diperoleh, tampaknya implementasi yang
telah dilakukan menunjukan kuantitas yang progresif, namun pertanyaannya, apakah
benar implementasi tersebut telah berhasil? Seperti dikatakan Pressman dan Wildavsky
dalam Solichin Abdul Wahab (2014: 135), bahwa: …proses untuk melaksanakan
kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Oleh sebab itu, keliru jika kita
menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.
Sedangkan Hogwood & Gunn dalam dalam buku yang sama (2014: 128-129),
mengatakan bahwa kebijakan public itu sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Kegagalan dalam implementasi kebijakan bisa dilihat dari dua kategori bersar, yaitu
non-implemetation dan unsuccessfull implementation. Dalam kontek pendapat
Hogwood & Gunn, apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan
kebijakannya tidak termasuk dalam dua kategori ini, namun juga tidak serta merta
dianggap sebagai keberhasilan yang mutlak.
Untuk mengevaluasi apakah implementasi kebijakan tersebut sudah berhasil
atau belum, maka harus pula ditinjau dari sisi makna pendidikan inklusi dan konten
kebijakan yang meladasi implementasi kebijakannya. Misalnya dalam makna
pendidikan inklusi disebutkan dalam pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI
Nomor 70 tahun 2009 menyebutkan, bahwa pendidikan inklusi adalah system
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkung pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya; Kemudian dilanjutkan dalam pasal
2, bahwa Pendidikan inklusi bertujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental,dan sossial
atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh
pendidikan. b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang
dimaksud pada huruf a.
Berikut dari sisi konten kebijakan yang terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003
pasal 3, yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Melalui pendidikan peserta
didik berkelainan dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yakni individu yang mampu menghargai perbedaan, berpartisipasi
11
dalam masyarakat. Tentunya ini masih menjadi pekerjaan besar untuk
mengiplementasikan kebijakan tersebut.
Dari berbagai dilema yang terjadi pada pendidikan inklusi di Indonesia,
setidaknya harus segera diantisipasi dengan kebijakan-kebijakan khusus agar tidak
menghalangi pelaksanaan implementasi kebijakan tentang pendidikan inklusi. Menurut
Sunardi (2009) ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus,
yakni:
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya di tingkat pendidikan menengah dan
atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kreteria penerimaan. Siswa
hanya dapat diterima kalau hassil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal
yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu,
bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa
secara komperhensip sesuai dengan keragaman.
3. Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. no. 19 tahun 2005 tentang
standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 tentang keharusan untuk memiliki
tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusi sebagai alasan melakukan
penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan, yang
ditandai dengan munculnys gejala ‘esklusivisme baru’, yaitu menolak anak
berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau
sekolahnya bukan sekolah inklusi.
4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi
keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
5. Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-mata
memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya untuk
mengakomodasi kebutuhan khhususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak
tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak,
tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna inklusi adalah
ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang,
menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan
belajar dalam kebersamaan.
6. Munculnya lebel khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun
masyarakat yang cenderung membentuk sikap eklusivisme, seperti sekolah
unggulan, sekolah berstandar internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar
Internasional(RSBI), Sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi,
serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak
kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua (second class), karena
menerima ABK sama dengan special school (imam Subakhan. 2009)
7. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan
pendidikan inklusi secara matang dan komperhensif, baik dari aspek
12
sosialisasi, penyiapan sumberdaya, maupun uji coba metode pembelajaran,
sehingga hanya terkesan program eksperimental (Cak Fu. 2005).
b) Peran masyarakat
Di Indonesia pendidikan inklusif dipayungi oleh UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa setiap
warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Warga Negara yang dimaksud adalah mereka yang memiliki bakat dan
kecerdasan istimewa, mereka yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, intelektual
dan sosial. Mereka itu adalah anak berkebutuhan khusus (ABK), baik yang permanen
maupun temporer.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun
sistempembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Selain
itu pihaksekolah juga harus mampu menjalin kerjasama kemitraan kepada berbagai
fihak terkait yangberkompeten dan memiliki komitment yang tinggi terhadap
implementasi pendidikankebutuhan khusus maupun pendidikan inklusif. Pihak terkait
yang dimaksud adalah Dewan Sekolah, Komite Sekolah, Organisasi kemasyarakatan
(misalnya: Pertuni, PPCI, Gergatin, ITMI, HWPCI, dll.), dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) seperti: yayasan-yayasanpendidikan, LSM, dll.
Selain menjalin kerjasama kemitraan lintas departemen, sekolah juga harus
mampu menjalin kerjasama kemitraan dengan masyarakat, orang tua, para pengusaha,
tokoh masyarakat, dan serta stake holders serta berbagai pihak yang memiliki
kepentingan denganpendidikan. Kerjasama kemitraan dapat dilakukan secara individual
maupun orang-orangyang tergabung dalam wadah atau organisasi kemasyarakatan,
baik organisasikemasyarakatan yang dibentuk oleh pemerintah (GO) maupun
organisasi kemasyarakatannon pemerintah (NGO), seperti: dewan sekolah, komite
sekolah, yayasan-yayasanpendidikan, organisasi-organisasi penyandang cacat, Forum
orang tua, dll.
Masyarakat (orang tua, anggota keluarga yang lain, atau semua orang yang
tinggal dilingkungan sekolah) akan memberikan kontribusi penting terhadap
pembelajaran anak berkebutuhan khusus dalam satu lingkungan yang inklusif dan
ramah terhadap pembelajaran (LIRP)... keterlibatan keluarga, tokoh masyarakat dan
anggota masyarakatlainnya sangat penting dalam implementasi pendidikan kebutuhan
khusus. (Wasliman,2009: 138).
Selanjutnya, menurut Wasliman: “Peran Serta Masyarakat (PSM) sebaiknya
juga merupakan hubungan mitra sejajar antara sekolah dengan masyarakat.”(Wasliman,
2009:139). Peran serta masyarakat bisa melalui wadah GO atau pun NGO. Oleh karena
itu “peran serta orang tua, masyarakat, dan stakeholders dalam implementasi
pendidikan inklusif hendaknya terus ditumbuh kembangkan dengan baik”. (Wasliman,
2009: 23).
13
Dewan pendidikan dan komite sekolah merupakan salah satu wadah organisasi
masyarakat yang dibentuk oleh anggota masyarakat. Dasar pembentukan komite
sekolah adalah pasal 56 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi: “Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan”. Secara organisasi Komite Sekolah dibentuk di satuan pendidikan
atau satuan kelompok pendidikan, di mana strukturnya dapat berbeda antara satu
dengan yang lainnya, namun diharapkan ada acuan yang sama yaitu peran dan
fungsinya.
“Peran serta masyarakat sangat penting diwujudkan dalam implementasi
pendidikan kebutuhan khusus, karena masyarakat memiliki berbagai sumberdaya yang
dibutuhkan sekolah dan sekaligus masyarakat juga sebagai pemilik sekolah di samping
pemerintah.”(Wasliman, 2009: 135). Peran serta masyarakat yang berupa kerjasama
kemitraan antara sekolah dengan pemerintah, orang tua, dan kelompok-kelompok
masyarakat serta organisasi kemasyarakatan lainnya dilindungi oleh undang-undang
atau peraturan-peraturan pemerintah yang mendasari kerjasama kemitraan tersebut.
Adapun undang-undang atau peraturan yang mendasari antara lain adalah:
1) Undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai
berikut:
a. Pasal 4 berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, danberpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, sertamendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi;
b. Pasal 9 ayat 1 berbunyi: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan
kesehatan danjaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial”;
c. Pasal 12 ayat 1 berbunyi: “Setiap anak yang menyandang cacat berhak
memperolehrehabilitasi, bantuan sosial”;
d. Pasal 49 berbunyi: “Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
memberikankesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan”;
e. Pasal 51 berbunyi: “Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental
diberikankesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa danpendidikan luar biasa”;
f. Pasal 52 berbunyi: “Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan
danaksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”;
2) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebagai berikut:
14
a. Pasal 7 ayat 1: “Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan
pendidikandan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan
anaknya”;
b. Pasal 7 ayat 2: “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban
memberikanpendidikan dasar kepada anaknya”;
c. Pasal 8: “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan,pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”;
d. Pasal 9: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalampenyelenggaraan pendidikan”;
e. Pasal 10: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan,
membimbing,membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku”;
f. Pasal 11 ayat 1: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
layanan dankemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiapwarga negara tanpa diskriminasi”;
g. Pasal 11 ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
tersedianyadana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuhsampai dengan lima belas tahun”;
15
pemantauan dan evaluasi oleh kementerian sesuai dengan kewenangannya;hasil
pemantauan dan evaluasi oleh Komisi Nasional Disabilitas;hasil pemantauan dan
evaluasi oleh Pemerintah Daerah provinsi;hasil pemantauan dan evaluasi oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota; danpengaduan oleh masyarakat.Pengaduan oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disampaikan secara tertulis
kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dengan
melampirkan:identitas pihak pelapor;identitas pihak terlapor; danketerangan yang
memuat fakta, petunjuk terjadinya pelanggaran.
Pasal 40
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3)
dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali masing-
masing dengan jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari;dalam hal telah
dilakukan pemberian sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, Lembaga Penyelenggara Pendidikan masih melakukan
pelanggaran administratif, diberikan sanksi penghentian kegiatan pendidikan;dalam hal
telah dilakukan pemberian sanksi penghentian kegiatan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, Lembaga Penyelenggara Pendidikan masih melakukan
pelanggaran administratif, diberikan sanksi pembekuan izin Penyelenggaraan
Pendidikan; dandalam hal telah dilakukan pemberian sanksi pembekuan izin
Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Lembaga
Penyelenggara Pendidikan masih melakukan pelanggaran administratif, diberikan
sanksi pencabutan izin Penyelenggaraan Pendidikan.Teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi peringatan terhadap pelanggaran administratif
dan rekomendasi perbaikan.Dalam hal Lembaga Penyelenggara Pendidikan dikenai
sanksi penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan izin Penyelenggaraan Pendidikan,
atau pencabutan izin Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d, Lembaga Penyelenggara Pendidikan dilarang menerima
Peserta Didik baru dan wajib menuntaskan kegiatan pendidikan sampai seluruh Peserta
Didik lulus.Sanksi penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan izin Penyelenggaraan
Pendidikan, atau pencabutan izin Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d akan dicabut jika Lembaga Penyelenggara
Pendidikan telah memenuhi penyediaan Akomodasi yang Layak danf atau telah
membentuk Unit Layanan Disabilitas.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian sanksi administratif
pada Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang berada di bawah kewenangan
Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.Ketentuan
lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian sanksi administratif pada Lembaga
Penyelenggara Pendidikan tinggi dan Lembaga Penyelenggara Pendidikan madrasah
16
dan Pendidikan Keagamaan diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama sesuai dengan
kewenangannya.
17
b. Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan
1. Jalur Pendidikan
Dalam UU no. 20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur
pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal.Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.Pendidikan
Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.Pendidikan Informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan.
2. Jenjang Pendidikan
Menurut UU no. 20 tahun 2003 pasal 14, jenjang pendidikan formal
terdiri dari Pendidikan Dasar (SD dan SMP,MTS), Pendidikan menengah
(SMA,MA,SMK), dan Perguruan Tinggi (Akademi, Universitas, Politeknik,dll).
3. Jenis Pendidikan
Menurut UU no. 20 tahun 2003 pasal 15, jenis pendidikan mencakup:
a) Pendidikan Umum
Pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan
yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi.
b) Pendidikan Kejuruan
Pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk siap bekerja
di bidang tertentu.
c) Pendidikan Akademik
Pendidikan tinggi yang diarahkan untuk terutama penguasaan disiplin ilmu
pengetahuan tertentu.
d) Pendidikan Profesi
Pendidikan tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar
memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
e) Pendidikan Vokasi
Pendidikan tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar
memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan
program sarjana.
f) Pendidikan Keagamaan
Pendidikan dasar, menengah, tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menuntut pengasaan ilmu pengetahuan
tentang ajaran agama.
18
g) Pendidikan Khusus
Pendidikan yang diselenggarakan bagi peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan
secara inklusif.
4. Kurikulum
Ketentuan mengenai kurikulum diatur dalam UU no. 20 tahun 2003 pasal 36, 37
dan 38
Pasal 36
a. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan
peserta didik.
c. Kurikulum disusun dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI
dengan memperhatikan:
1. Peningkatan Iman dan Taqwa
2. Peningkatan Akhlak Mulia
3. Peningkatan Potensi, kecerdasan dan minat peserta didik
4. Keragaman potensi daerah dan nasional
5. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
6. Tuntutan dunia kerja
7. Perkembangan IPTEK
8. Agama
9. Dinamika perkembangan global
10. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal 37:
Kurikulum pendidikan dasar dan enengah wajib memuat Pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan atau kejuruan, muatan lokal.
Pasal 38:
a) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditetapkan oleh pemerintah
b) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Kantor
19
Departemen Agama, Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi
untuk pendidikan menengah
c) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk
setiap program studi
d) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan untuk setiap program studi.
c. Upaya pembangunan Pendidikan
1. Jenis Upaya Pembaruan Pendidikan
2. Pembaruan Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang mendasari semua kegiatan
pendidikan dan mengenai hal-hal yang penting seperti komponen struktur
pendidikan, kurikulum, pengelolaan, pengawasan dan ketenagaan.
3. Pembaruan Kurikulum
Pembaruan kurikulum dapat dilihat dari segi orientasinya, strategi, isi atau
program, dan metodenya. Seperti kurikulum 1975/1976, 1984, 1992, 1994,
1999, 2004 (KBK), dan yang terakhir adalah kurkulum 2006.
4. Pembaruan Pola Masa Studi
Termasuk pendidikan yang meliputi pembaruan jenjang dan jenis pendidikan
serta lama waktu belajar pada suatu satuan pendidikan.
5. Pembaruan Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikaan adalah tenaga yang bertugas menyelenggarakan kegiatan
mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelolah, dan memberikan
pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
6. Dasar dan Aspek Legal Pembangunan Pendidikan
Dasar dan aspek legal pembangunan pendidikan nasional berupa ketentuan-
ketentuan yuridis yang menjadi dasar, acuan, serta mengatur penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional, seperti pencasia, UUD 1945, GBHN, UU organik
pendidikan, perpu, dan lain-lain.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang No.20
Tahun 2003) pasal 32 disebutkan bahwa “Pendidikan khusus (pendidikan luar
biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Pemerintah telah menjamin pendidikan bagi ABK dalam undang-undang
tersebut agar mendapatkan pendidikan layaknya anak normal lain. Undang-undang
Ini merupakan landasan yuridis yang memberikan kesamaan hak dalam memperoleh
20
layanan pendidikan yang layak bagi semua ABK. Tidak akan ada lagi perbedaan
dalam hal pendidikan untuk anak luar biasa.
Seperti yang telah disebutkan dalam undang-undang bahwa anak berkebutuhan
khusus berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak dibeda-bedakan dengan
anak normal lainnya. Saat ini, masih terdapat diskriminasi dalam hal pendidikan,
padahal ABK pun dapat menjadi anak yang mandiri jika dididik sesuai dengan
kebutuhannya.
Paling sedikit ada tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan
khusus, yaitu:
a. Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki
kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga
memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
b. Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan
khusus
c. Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
21
Ayat (4) : Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus
Pasal 6
Pelaksanaan program kegiatan perlindungan khusus bagi Anak Penyandang
Disabilitas yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dilaksanakan secara
bersama-sama atau sendiri.
Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi:
“Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak
yang bersangkutan
Pasal 8
Pelaksanaan Perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas dalam bentuk
program kegiatan menjadi acuan bagi daerah dalam menyusun rencana aksi yang
disesuaikan dengan kondisi, situasi, kebutuhan, dan kemampu Pasal 9
Pelaksanaan Perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas dalam bentuk
program kegiatan di daerah dilakukan dengan melibatkan dinas instansi terkait dan
masyarakat di daerah yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing.
Pasal 23
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on
The Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) yang berbunyi:
“Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental atau cacat
fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaankeadaan yang
menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas
partisipasi aktif si anak dalam masyarakat.”yang berbunyi:
a) Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental atau
cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan-
keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan
fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat;
b) Negara-negara Pihak mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan
harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang
tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang
bertanggung jawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan
diajukan dan yang sesuai dengan keadaan anak dan keadaan- keadaan orang tua
atau orang-orang lain yang merawat anak itu;
c) Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka
bantuan yang diberikan harus diadakan dengan cuma-cuma, setiap waktu
dengan memperhatikan sumber- sumber keuangan orang tua atau orang lain
22
yang merawat anak dan harus dirancang untuk menjamin bahwa anak cacat
tersebut mempunyai akses yang efektif ke dan menerima pendidikan, pelatihan,
pelayanan perawatan kesehatan, pelayanan rehabilitasi, persiapan bekerja dan
kesempatan rekreasi dalam suatu cara yang menghasilkan pencapaian integrasi
sosial yang paling sepenuh mungkin, dan pengembangan perseorangan anak
termasuk pengembangan budaya dan jiwanya.
Pasal 32
Ayat (1) : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/ atau memiliki potensi dan bakat istimewa
23
kebutuhan pendidikan mereka. Pemerintah dalam hal ini harus dapat menyediakan
sekolah khusus, karena dalam konteks sekarang hanya anak normal yang dapat
mengenyam pendidikan dengan jaminan pemerintah. pemerintah Republik Indonesia
juga memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi anak berkebutuhan khusus,
termasuk dalam hal ini jaminan pendidikan. Anak berkebutuhan Khusus mendapat
perlakuan yang sama dengan anak normal lain saat ingin mendapatkan pendidikan
sekolah. Tidak boleh ada diskriminasi atau pengecualian terhadap mereka. Sekolah
dalam hal ini harus memberikan fasilitas khusus kepada mereka.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPUKAN
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan pengajaran, dan atau latihan. pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian
lebih. Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus (ABK) belajar bersama anak normal (non-ABK). negara
memberikan jaminan sepenuhnya pada anak berkebutuhan khusus untuk mempeloleh
layanan pendidikan yang bermutu. UU nomor 4 /1997 tentang Penyandang Cacat Pasal
5 Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.
Adapun dokumen-dokumen Nasional mengenai ABK, tercantum pada:
1. UU nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat, pasal 5
2. UU nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 dan pasal 5
ayat 1-4
3. Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, pasal
32, 36 ayat 3, dan 45 ayat 1
4. Permendiknas Nomor 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik
yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa, pasal 1 sampai dengan 15
Kebijakan pemerintah sebagai komitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia, dapat ditandai dengan lahirnya Undang-undang
sebagai berikut:
1. UU No. 4 tahun 1997 tentang pernyandang anak cacat.
2. Hak dan kewajiban yaitu; pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10
sampai pasal 15
3. UU No. 23 tahun 2002 pasal 48 dan 49 tentang perlindungan anak.
4. UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang system
pendidikan Nasional.
5. Surat Edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Kemendiknas No. 380/C.C6/MN/2003, tanggal 20 Januari 2003.
6. Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
7. PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai dengan 142, tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
25
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang No.20
Tahun 2003) pasal 32 disebutkan bahwa “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa)
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Pemerintah telah menjamin
pendidikan bagi ABK dalam undang-undang tersebut agar mendapatkan pendidikan
layaknya anak normal lain.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan undang-undang no 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan
jaminan sepenuhnya pada anak berkebutuhan khusus untuk mempeloleh layanan
pendidikan yang bermutu. Ini menunjukan bahwa anak berkebutuhan hkusus berhak
pula mempeloleh kesempatan yang sama dengan anak yang lainnya (regular) dalam
pendidikan. Layanan pendidikan khusus di Indonesia di sediakan melalui tiga macam
lembaga pendidikan yaitu, sekolah luar biasa (SLB), Sekolah dasar luar biasa (SDLB),
dan pendidikan terpadu.
3.2 SARAN
Dengan adanya makalah ini penulis berharap pembaca dapat memahami isi dari
dokumen-dokumen nasional yang terdapat dalam makalah ini dan tentu dapat
menambah wawasan pengetahuan seputar pendidikan inklusif. Adapun untuk
kekurangannya penulis harap pembaca bisa terus mencari referensi lain selain dari
makalah ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
Deni Murwiyanti, Fitriani, Nanik Handayani, Samsudin. (2013, Desember 19). Sistem
Pendidikan Nasional. Retrieved November 02, 2020, from wordpress.com:
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/12/19/sistem-pendidikan-nasional/
jogloabang. (2019, Juli 28). Permen PPA 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus
Bagi Anak Penyandang Disabilitas. Retrieved November 02, 2020, from
www.jogloabang.com: https://www.jogloabang.com/sosial/permenpppa-4-
2017-perlindungan-khusus-anak-penyandang-disabilitas
jogloabang. (2019, April 08). UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Retrieved November 02, 2020, from www.jogloabang.com:
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-8-2016-penyandang-disabilitas?amp
Nawawi, A. (2010). PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
IMPLEMENTASIPENDIDIKAN INKLUSIF. Retrieved November 02, 2020,
from file.upi.edu:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1954120719811
21-
AHMAD_NAWAWI/Peran_serta_Masyarakat_dlm_Implementasi_Pend_Inklu
sif.pdf
Pendidikan Untuk Semua. (n.d.). Alasan Pendidikan ABK. Retrieved November 02,
2020, from students.unnes.ac.id:
https://sites.google.com/a/students.unnes.ac.id/pus/page/alasan-pendidikan-abk
Puspito, P. (2015, Februari 21). KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA
. Retrieved November 02, 2020, from pepenk26.blogspot.com:
http://pepenk26.blogspot.com/2015/02/kebijakan-pendidikan-inklusi-di.html
Saputra, A. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif. Jurnal Ilmiah
Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Volume. 1 No. 3. September 2016. e-
ISSN:2502-3519, 06.
Suryaden. (2020, April 03). PP 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk
Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Retrieved November 02, 2020, from
www.jogloabang.com:
https://www.google.com/amp/s/www.jogloabang.com/pp-13-2020-akomodasi-
layak-peserta-didik-penyandang-disabilitas%3famp
Suzanti, L. (2014, November). Dokumen-Dokumen Kebijakan Nasional Sebagai
Landasan Pendidikan Inklusif. Retrieved November 01, 2020, from
fidiupiserang.blogspot.com:
http://fidiupiserang.blogspot.com/2014/11/dokumen-dokumen-kebijakan-
nasional.html
iv
TimEditor. (2018, Mei 04). Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Ruang Belajar.
Retrieved November 02, 2020, from era.id: https://era.id/afair/7595/anak-
berkebutuhan-khusus-butuh-ruang-belajar
Widya, M. (n.d.). Pendidikan Khusus. Retrieved November 02, 2020, from
file.upi.edu/:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1952082319780
31-MAMAD_WIDYA/PENDIDIKAN_KHUSUS.pdf