Disusun Oleh :
BK Reguler C 2019
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mata kuliah pendidikan anak
berkebutuhan khusus
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca. Kami mengakui bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, karena
pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami berharap kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, hanya kepada Tuhan kami bersyukur atas selesainya
makalah ini, semoga Tuhan memberikan petunjuk kepada kita semuanya. Aamiin
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1. 1 Latar Belakang......................................................................................................................1
1. 3 Tujuan Penulisan..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................2
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12
3.2 Saran....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia tanpa terkecuali,
termasuk mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang
pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, yaitu
pendidikan luar biasa. (Damayanti, 2015)
Pendidikan luar biasa yang dimaksud adalah pendidikan yang khusus diselengarakan
bagi peserta didik yang memiliki kekurangan fisik (difabel) seperti tunanetra, tunarungu,
tunadaksa ataupun kekurangan mental (tunagrahita).
Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara
fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi. Pada titik ini tampak bahwa
konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak
membatasi akses peserta didik kependidikan hanya karena perbedaan kondisi awal dan latar
belakangnya. Inklusifpun bukan hanya bagi mereka yang berkelainan atau luar biasa melainkan
berlaku untuk semua anak. (Herawati, 2016)
1. 3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah pendidikan anak berkebutuhan khusus
2. Memahami pengertian sekolah luar biasa
3. Mengetahui jenis dan model layanan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
4. Mengetahui landasan yang mengatur pendidikan sekolah luar biasa
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Anak berkebutuhan Khusus
Sumber : Pramartha, Nyoman (2015). Sejarah dan sistem pendidikan sekolah luar biasa
bagian A Negeri Denpasar Bali, Jurnal Historia 3(2). 67-74 ( Di riview oleh: Sekar
Ayu Anjarani Sipayung)
Fitria Ida, dkk, (2021). Sejarah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Menuju
Inklusi. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial 3(3), 496-505
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pensa ( Di riview oleh: Sekar Ayu Anjarani
Sipayung)
Djadja Rahardja (2010). Jurnal Pendidikan Luar Basa dalam Perspektif Dewasa Ini 9(1).
76-88 (Di riview oleh: Sekar Ayu Anjarani Sipayung)
Anak berkebutuhan khusus adalah adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak mampuan
mental, emosi dan fisik. Yang termasuk anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra,
tunarungu, tunagrhita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus
adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan akat istimewa.
Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai
dengan kekhususannya masing-masing. (Damayanti, 2015).
Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada tahun 1700-an ketika para
pemimpim tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk pendidikan anak
berkebutuhan khusus. Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga
residensial yang didirikan di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat
terbanyak di awal 1800-an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang
memimpin negara-negara lain dalam pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia.
Pengenalan yang perlahan-lahan terhadap pendidikan khusus sebagai sebuah profesi
yang membutuhkan keahlian telah merangsang perkembangan bidang ini. Sehingga
organisasi-organisasi profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan dan
menjadi kekuatan yang dahsyat di belakang banyaknya perubahan yang mengakar dan
memberikan kekuatan munculnya layanan-layanan pendidikan khusus.
Di Indonesia pendidikan khusus di mulai ketika Belanda masuk ke Indonesia
2
(1596-1942), dengan memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi barat, untuk
pendidikan bagi anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga
pertama untuk anak tunanetra, tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarungu tahun 1930
yang ketiganya terletak di Kota Bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-
undangkan tentang pendidikan. Undang-undang tersebut menyebutkan pendidikan dan
pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal
6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan: semua
anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun
diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan ini dapat dinyatakan
berlakunya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak-
anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras yang disebut
dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Berdasarkan urutan berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori
kecacatan SLB dikelompokkan menjadi:
1) SLB A untuk anak tunanetra
2) SLB B untuk anak tunarungu
3) SLB C untuk anak tunagrahita
4) SLB D untuk anak tunadaksa
5) SLB E untuk anak tunalaras
6) SLB F untuk anak tunaganda
3
formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sebagai lembaga
pendidikan SLB dibentuk oleh banyak unsur yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pendidikan, yang proses intinya adalah pembelajaran bagi peserta didik. Jadi SLB
merupakan lembaga pendidikan khusus yang menyelenggarakan program pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.
Model Segragasi
4
H ADHD (Hiperaktif) Anak yang mempunyai hambatan emosi
I Gifted Anak yang cerdas istimewa
J Talented Anak yang berbakat istimewa
K Indigo Anak yang mempunyai kemampuan khusus
5
mengikuti ujian dan lulus akan mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).
e. Pada SMPLB dan SMALB secara umum program penilain yang
menggunakan program SKS sangat kecil kemungkinan nya dilakukan mengingat
prinsip belajar pendidikan khusus yang mengacu pada fleksibilitas materi, penilaian
dan waktu (Depdiknas, 2006). Implikasi pola pembelajar secara eksternal di SLB
dengan melihat respon dan perhatian pada SLB lebih familier dan di kenal
masyarakat, SLB yang ada sudah cukup mapan, sarana dan prasarana cukup memadai
gedung dan peralatan cukup refresentatif, secara institusional memiliki legalitas yang
kuat, dan tenaga cukup profesional sehingga SLB tetap eksis keberadaannya (Slamet
Raharjo & Joko Santoso, 2012: 84).
6
berkomunikassecara luas dengan anak-anak yang lain di sekolah. Secara psikologis
anak merasa percayadiri dan dapat menimbulkan semangat untuk bersaing secara sehat
dengan mereka yang berkategori normal.
Sedangkan kekurangannya adalah anak kadang merasa rendah diri sehingga dapat
meruntuhkan semangat belajar dan kondisi tertentu anak menjadi bahan olok-olokan
dari temannya sehingga kondisi kejiwaan anak berkebutuhan khusus menjadi tertekan.
Dan ketersediaan GPK bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut tidak selalu
ada (Dadang Garnida, 2015: 32).
7
sebesar-besarnya terhadap peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersamasama
di sekolah reguler dengan itu peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi
dengan baik dan lebih dapat diterima di lingkungan masyarakat.Terkait dengan hal
tersebut diharapkan upaya pemerintah dalam mewujudkan pelayanan pendidikan tanpa
membeda-bedakan fisik, kecerdasan, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya,
akan terrealisasi melalui penyelenggaraan pendidikan inklusif melalui sekolah inklusi
(Fitri Dewi Fuji Lestari, 2017: 3).
Tujuan pendidikan inklusi antara lain: memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada peserta didik yang memiliki kelainan fisik, sosial, emosional, mental,
kecerdasan dan bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminasi bagi semua peserta didik.(Smith,
J.D, 2006: 21).
Tujuan pendidikan inklusi menjelaskan bahwa pendidikan adalah untuk semua
tanpa terkecuali, semua anak bisa menikmati pendidikan yang sesuai dengan potensinya.
Rasa percaya bahwa inklusi yang lebih besar dapat menghasilkan pengajaran dan
pembelajaran yang meningkat bagi semua anak. Persahabatan antar anak tanpa hambatan
adalah sebuah norma. Sekolah memberikan sumberdaya lainnya untuk memberikan
layanan kepada anak berkebutuhan. Sekolah memberikan berbagai pelatihan pada guru
untuk menangani jumlah keberagaman anak yang lebih berbeda. Kepada sekolah dan staf
harus bekerjasama dalam memberikan dukungan terwujudnya tujuan pendidikan inklusi
(Nurul Kusuma Dewi, 2017: 15).
Pelaksanaan Layanan Pembelajaran di kelas inklusi
Pelaksanaan layanan pembelajaran di kelas inklusi bisa diterapkan melalui
beberapa model kelas yaitu: a. Kelas Reguler Model kelas reguler anak berkebutuhan
khusus belajar dengan anak lain sehari penuh di kelas reguler dengan menggunakan
kurikulum yang sama.
b. Kelas Reguler dengan Klaster Model kelas reguler dengan klaster adalah anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain di kelas reguler dengan kelompok
khusus.
c. Kelas Reguler dengan Pull Out Model kelas reguler dengan pull out adalah
anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain namun dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber belajar untuk belajar dengan guru pembimbing
8
khusus.
Model kelas ini menekan saling kerjasama, saling membantu, saling menghargai,
dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anggota dalam kelas untuk
mencapai kemampuan yang telah ditetapkan, maka akan ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus. Menurut Vaughn Bos dan
Schuman (Pedoman penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, dalam buku Muhammad
Takdir Ilahi) empat unsur yang harus di penuhi sehingga bisa dikatakan pembelajaran
model kelas reguler dengan pull out yaitu komunikasi kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan, komunikasi antar anggota, dan kesempatan
yang sama untuk berhasil (Muhammad Takdir Ilahi, 2013: 97).
d. Kelas Reguler dengan Klaster dan Pull Out Model kelas reguler dengan klaster
dan pull out adalah anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak lain di kelas reguler
dengan kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber belajar dengan guru pembimbing khusus.
e. Kelas Khusus dengan berbagai Pengintegrasian Model kelas khusus dengan
berbagai pengintegrasian adalah anak berkebutuhan khusus pada sekolah reguler, namun
dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler.
f. Kelas Khusus Penuh Model kelas khusus penuh adalah anak berkebutuhan
khusus belajar di dalam kelas pada sekolah reguler (Geniofom, 2010: 64).
Metode Pembelajaran Sesuai dengan Keterbatasan Kemampuan Anak
a. Habitulasi anak Tunarungu dengan mengembangkan strategi pola anak dalam
belajar, komunikasi, penyesuaian psikologis anak. Beberapa penelitian (Stevenson, 1967)
bahwa pemakaian kombinasi metode dapat meningkatkan pencapaian pendidikan umum.
Kemampuan membaca ujaran dan kemampuan bahasa tulis dan kematangan sosial.
Penguasaan kemampuan dalam berbicara dengan menggunakan metode kombinasi
isyarat dan oral.
b. Modifikasi Perilaku anak Tunagrahita dengan memberi terapi perilaku, terapis
harus memiliki sikap penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan
kesungguhan. Metode lain juga bisa digunakan dengan bermain, namun dalam bermain
anak tugangrahita bukan sekedar bermain. Terapi permainan yang diperuntukan anak
tunagrahita permainan hendaknya memiliki terapi yang berbeda, dan permainan tidak
sukar. Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi anak tunagrahita antara lain:
pengembangan fungsi fisik, pengembangan sensomotorik, pengembangan daya khayal,
9
pembinaan pribadi, pengembangan sosialisasi, dan pengembangan intelektual. Model
permainan antara lain latihan menuangkan air, bermain pasir, bermain tanah liat,
meronce manik-manik, latihan melipat, mengelem dan menempel, menggunting dan
memotong, latihan menyober.
c. Metode belajar anak tunanetra, pembelajaran anak tunanetra menggunakan
huruf braille yang terdiri dari titik-titik yang ditimbulkan dan dibaca dengan jari-jari.
Huruf braille tersebut tersusun dari enam buah titik, dua dalam posisi vertikal dan tiga
dalam posisi horizontal, semua titik yang ditimbulkan dapat ditutp dengan jari-jari.
Pelajaran pertama yang perlu diberikan dalam membaca braille yaitu menulis dan
membaca penuh selanjutnya menggunakan berbagai kata dan suku kata. Penggunaan jari-
jemari sebagai alat pembaca huruf braille yang dominan menggunakan jari telunjuk dan
jari tengah. Cara membacanya dengan gerakan naik turun dan horizontal boleh juga
dengan memutar.
d. Rehabilitasi untuk anak tunadaksa: yang dilakukan guru untuk anak tunadaksa
dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, baik bimbuingan personal maupun
vokasional. Mengusahakan pengobatan dan terapi semaksimal mungkin. Mencari alat
bantu atau prothese yang akan dapat membantu meringankan hambatan yang disebabkan
oleh ketunaannya seperti tangan dan kaki palsu dan sebagainya.
e. Metode belajar untuk anak tunalaras dengan pengembangan kreativitas anak,
lebih banyak aktivitas, konsisten guru, tidak terlalu kaku, disiplin sekolah yang baik,
metode yang mengembangkan keterampilan anak, serta hubungan sosial yang baik antara
guru dan anak (Muhammad Efendi, 2008: 150).
Sistem penilaian yang digunakan di sekolah inklusif menggunakan sistem
penilaian kelas. Penilaian kelas merupakan proses sistematis yang dilakukan untuk
mengumpulkan informasi, menganalisis dan menginterpretasikan informasi tersebut
untuk membuat keputusan-keputusan kependidikan yang terjadi didalam kelas. Informasi
yang dikumpulkan dapat dalam bentuk angka melalui tes dan atau deskripsi verbal.
Penilaian kelas adalah suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan
keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti
pembelajaran tertentu. Keputusan tersebut berhubungan dengan sudah atau belum
berhasilnya peserta didik dalam mencapai kompetensi tertentu (Dadang Garnida, 2015:
127).
10
2.4 Landasan Yang Mengatur Pendidikan Sekolah Luar Biasa
Sumber: Titik Handayani dan Angga Sisca Rahadian.PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF. Vol 39(1)_28-48
(Diriview oleh: Julianti Tarihoran)
Sekolah luar biasa (SLB)adalah istilah pendidikan inklusif masih sering
diasumsikan hanya berlaku bagi anak penyandang cacat. Pandangan tersebut masih
keliru, karena pendidikan inklusif ditujukan bukan hanya untuk penyandang cacat saja
melainkan untuk setiap anak yang memiliki kebutuhan berbeda dalam belajar. Jadi
dengan adanya pendidikan inklusif setiap anak dapat memperoleh pendidikan tanpa perlu
dibeda-bedakan. Melihat hal tersebut, yang perlu dicermati dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif adalah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan setiap anak.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pendidikan inklusif, dalam bagian ini akan
dijabarkan definisi dan penjelasan lainnya terkait dengan pendidikan inklusif. Menurut
Allen dan Cowdery (2000) pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolahsekolah terdekat, di kelas
biasa bersama teman-teman seusianya. Artinya, dalam model inklusi siswa dengan
kebutuhan khusus menghabiskan sebagian waktu mereka bersama dengan siswa biasa
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Hal ini dilandasi oleh suatu
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak tidak normal
(berkebutuhan khusus) dan sebagai suatu komunitas sosial tidak dapat dipisahkan. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menyertakan
semua anak. Mereka berada dalam suatu iklim kebersamaan dan memperoleh proses
pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik. Layanan pendidikan ini tidak membedakan anak yang berasal dari
latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, geografis
(keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan perbedaan kondisi fisik atau
mental. Unesco mengembangkan definisi pendidikan inklusif dalam Guidelines for
Inclusion: Ensuring Access to Education for All, bahwa: “Inklusi dipandang sebagai
suatu proses merespon keragaman kebutuhan semua peserta didik melalui peningkatan
partisipasi pembelajaran, budaya, dan masyarakat, serta mengurangi pengecualian dalam
dan dari pendidikan. Hal ini melibatkan perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan,
struktur, dan strategi, dengan visi bersama yang mencakup semua anak dari rentang usia
yang tepat dan pentingnya tanggung jawab dan pengaturan untuk mendidik semua anak”
(UNESCO 2005). Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan
11
sebagai: “sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus,
untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan
tempat tinggalnya”. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah
melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan,
maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik
(Direktorat PLB 2004). Di samping itu, dalam Pasal 1, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI – No. 70 Tahun 2009 tentang “Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa”, bahwa:
“yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya.
BAB III
12
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia pendidikan khusus di mulai ketika Belanda masuk ke Indonesia
(1596-1942), dengan memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi barat, untuk
pendidikan bagi anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga
pertama untuk anak tunanetra, tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarungu tahun 1930
yang ketiganya terletak di Kota Bandung.
Pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk
memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Pendidikan luar biasa merupakan salah
satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam
membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.
Tujuan pendidikan luar biasa yaitu membantu peserta didik yang menyandang
kelainan fisik & mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar.
3.2 Saran
Sebagai calon guru Bimbingan dan Konseling hendaknya perlu memahami dan
memerhatikan dengan cermat apa yang dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus agar
dapat memahami kemampuannya sehingga guru Bimbingan dan Konseling dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
13
Pramartha, Nyoman (2015). Sejarah dan sistem pendidikan sekolah luar biasa bagian A
Negeri Denpasar Bali, Jurnal Historia 3(2). 67-74
Fitria Ida, dkk, (2021). Sejarah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Menuju
Inklusi. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial 3(3), 496-505
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pensa
Djadja Rahardja (2010). Jurnal Pendidikan Luar Basa dalam Perspektif Dewasa Ini 9(1).
76-88
Nuraini. 2019. Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal
Edukatif. 5(2) 102-114. https://doi.org/10.37567/jie.v5i2.62
Eltalina Tarigan. 2019. EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN PADA ANAK
TUNAGRAHITA DI SLB SIBORONG-BORONG. Vol 5(3)_56-63
14