Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Tak ada kata yang lebih patut dan layak untuk diucapkan selain
“Alhamdulillah”, segala Puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan kami
begitu banyak nikmat, kemudahan dan pertolongan dalam segenap upaya kami
untuk menuntut ilmu di jalanNya. Karena berkat rahmatNya akhirnya makalah
Dasar-dasar PENJASKES ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari pengawasan Dosen
Pwngampu yang bersangkutan, untuk itu kami sampaikan terimah kasih kepada :
Bapak M. Zaim Zen, M.Pd.

Makalah ini bersumber dari web yang ada relevansinya dengan judul makalah
ini. Kami menyadari dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan,
untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menyempurnakan makalah kami.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan acuan
atau referensi mahasiswa lainnya.

Jombang, 29 November 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................. ................ .................................. 1

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 3


1.2 Tujuan ........................................................................................................................... 3
1.3 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Movement Education .................................................................................................... 4

2.2 Fitness Education .......................................................................................................... 6

2.3 Academic Discipline ..................................................................................................... 7

2.4 Social Development Model ........................................................................................... 8

2.5 Sport Education Model ................................................................................................. 10

2.6 Adventure Education Approach .................................................................................... 12

2.7 Eklektik Education ........................................................................................................ 13

2.8 Developmental Education ............................................................................................. 14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 16

3.2 Saran .............................................................................................................................. 16

3.3 Daftar Pustaka ............................................................................................................... 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia. Pendidikan berlangsung


seumur hidup, sejak manusia terlahir ke dunia sudah mulai mendapatkan
pendidikan dari kedua orang tua, lingkungan sekitar, sampai manusia meninggal
dunia. Pendidikan dalam arti luas telah ada sejak manusia berada di muka bumi ini.
Perkembangan pendidikan manusia berbarengan dengan berkembangnya
peradaban manusia itu sendiri. Ini semua sejalan dengan berkembangnya kemajuan
manusia dalam ide-ide dan pemikiran mengenai pendidikan.

Implementasi program pendidikan jasmani terus berkembang sesuai dengan


pandangan para pelaksana terhadap tuntutan perkembangan masyarakat. Namun
demikian perkembangan tersebut masih tetap berada dalam lingkup dan konsep
dasarnya, yaitu “education through physical”.

Beberapa model implementasi program pendidikan jasmani yang sudah


banyak diterapkan di beberapa negara maju, terutama amerika serikat.

1.2 Tujuan

Bertujuan untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang implementasi


program pendidikan jasmani pada anak.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa saja Implementasi Program Pendidikan jasmani

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Movement Education

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :


Movement Education. Movement Education ini pada
dasarnya merupakan pendekatan yang lebih menekan pada penguasaan
keterampilan gerak. Tujuan dari pendekatan ini terutama adalah untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas gerak secara terampil, efisien, efektif
pada situasi yang terencana maupun yang tidak terencana; meningkatkan
pengetian, dan kesenangan terhadap gerak baik sebagai pelaku maupun
sebagai penonton; meningkatkan pengetahuan dan nmenerapkan
pengetahuan tentang gerak manusia.
Movement Education ini pada dasarnya merupakan salah satu model
implementasi program pendidikan jasmani yang lebih menekankan pada
pengeusaan gerak. Model ini berada di bawah payung filsafat gerak manusia
(human movement). beberapa tokoh model ini antara lain adalah laban, kate
barrett, bette logsdon, dan george graham.

Tujuan dari pendekatan ini terutama agar anak :

 Dapat bergerak secara trampil, dapat menunjukkan aneka ragam gerak


secara efisien dan efektif pada situasi yang terencana (close skill) maupun
yang tidak terencana (open skill)

 Lebih menyadari akan arti dan rasa dari gerak itu sendiri, serta
menyenanginya baik sebagai pelaku maupun sebagai penonton.

 Meningkatkan pengetahuan dan menerapkan pengetahuan tentang gerak


manusia (human movement)

4
Aktivitas belajar yang tertuang dalam kurikulum pada model ini dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga katagori, yaitu : tari (dance), senam
(gymnastics), dan permainan (games). sebab model ini berada dibawah
payung Human Movement, maka aktivitas belajar dalam kurikulumnya
merupakan penjabaran dari konsep gerak (movement concepts), seperti:
kesadaran ruang (general dan self spance), kualitas usaha (waktu dan
kekuatan), dan hubungan (dengan orang dan benda)

Sementara itu aktivitas senam dan permainan dalam kurikulum model ini
tidak lagi menekankan pada aspek kompetisinya, akan tetapi lebih
menekankan pada perolehan kreativitas dan kesenangan estetisnya. Oleh
karena itu, model movement education cenderung lebih menghargai gerak
dari dimensi estetis dari pada dimensi kompetisi. Anak didik diajarkan
bagaimana menghargai gerak dari sisi estetis dan maknanya sebagaimana kita
menghargai kemenangan dari suatu pertandingan.

Sebagai konsekuensinya, pembelajaran dalam model ini lebih bersifat


inovatif. Direct teaching yang sangat jarang dilakukan. Teaching styles yang
sering digunakannya adalah: problem solving, guided discovery, dan
explorasi. Siswa dianggap sebagai pembuat keputusan pembelajaran.
Sementara itu, teaching styles ditujukan untuk menciptakan situasi yang
dapat menyebabkan anak didik lebih kreatif, inovatif, dan mandiri.

Apabila dilihat dari kenyataannya, model ini lebih cenderung diterapkan


pada kelas-kelas bawah, terutama dari mulai kelas 0 TK sampai kelas 3 SD.
Sering juga diterapkan pada kelas 4 - 6 SD. Namun sangat jarang sekali
diterapkan di SLTP. Gaya mengajar yang sering digunakannya misalnya
gaya ekslrorasi, yaitu anak disuruh bereksplorasi melakukan berbagai gerak
dasar.

5
2.2 Fitness Approach

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :


Fitness Approach ini pada dasarnya merupakn pendekatan yang lebih
menekakankan pada peningkatan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan
kualitas gerak jasmani anak didiknya.

Fitness Approach ini pada dasarnya merupakan salah satu model


implementasi program pendidikan jasmani yang lebih menekankan pada
peningkatan kualitas kesegaran jasmani anak didiknya. Model ini lebih
cenderung berorientasi pada aspek kesehatan (healthy fitnes). tokoh yang
mempelopori model ini bersama Lindsey (1983) pada SMU dengan
mempromosikan “Fitness for life”.

Tujuan dari model ini antara lain adalah agar anak didik :

 Menjadi lebih segar (fit)

 Mengetahui dasar-dasar fisiologis kesegaran jasmani

 Mengetahui dan memelihara gaya hidup sehat (healthy life style)

Dalam kurikulum model ini, unsur-unsur kesegaran jasmani seperti


kekuatan, daya tahan, fleksibilitas dan unsur-unsur kesegaran jasmani lainnya
merupakan isi dari kurikulum yang dikembangkannya. Selain dilakukan di
lapangan, pembelajarannya seringkali dilakukan di laboratorium fitness atau
fitness center oleh karena itu, dukungan infrastruktur berupa peralatan
kesegaran jasmani akan menunjang kualitas penerapan model ini.

Mengingat kesegaran jasmani merupakan salah satu tujuan dalam


pendidikan jasmani dari semua jenjang, maka model ini sering kali
diterapkan pada semua jenjang pendidikan, dari mulai SD sampai SMU.
Namun demikian, model ini lebih cenderung banyak digunakan di SLTP dan
SMU dari pada di SD.

6
Hal yang menarik dari program ini adalah, dibeberapa wilayah di
Australia dan Kanada, program ini dilaksanakan secara terpisah dari program
pendidikan jasmani serta mempunyai status yang khusus di SD. Program ini
dimaksudkan untuk memperkenalkan pentingnya melakukan latihan yang
teratur dengan intensitas yang memadai untuk meningkatkan dan memelihara
tingkat kebugaran jasmani anak didiknya.

2.3 Academic-Disciplene Approach

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :


Academic-Discipline Approach. Pendekatan ini pada dasarnya merupakan
pendekatan yang lebih menekankan pada penguasaan pendidikan jasmani
secara mendalam : bagaimana memelihara gaya hidup yang sehat, mengisi
waktu senggang, menjadi pelayan atau pengguna program firness dan
pendidikan jasmani di masyarakat.
Pendekatan ini pada dasarnya merupakan salah satu model implementasi
program pendidikan jasmani yang lebih menekankan pada penguasaan aspek
akademis secara mandalam bagi para siswa S1 pendidikan jasmani.
Kurikulum model ini dikembangkan oleh Lawson dan Placek (1960s) dengan
berlandaskan pada keilmuan “foundation of physical education”.

Walaupun tujuan utama dari model ini adalah penguasaan pengetahuan


dan pemahaman tentang dasar-dasar ilmu pendidikan jasmani secara
mendalam, namun penampilan olahraga dan aktivitas fisik lainnya tetap
diberikan. Siswa wajib membaca, melakukan eksperimen, mengumpulkan
jurnal, mendiskusikan masalah, dan wajib terlibat dalam berbagai aktivitas
untuk memperoleh dan menampilkan pengetahuan yang dimilikinya.

Tujuan akhir dari penguasaanaspek akademik secara mendalam pada


dasarnya agar lulusan mampu mengajar dan menjadi fasilitator olahraga
masyarakat secara memadai. Secara spesifik, beberapa kemampuan pada
bidang pembelajaran, antara lain adalah:

7
 Lulusan mampu menyusun aktivitas pembelajaran yang dapat mendorong
siswa memiliki keterampilan memecahkan masalah

 Lulusan secara bertahap memiliki rasa tanggung jawab terhadap hasil dam
kemajuan belajar siswa

 Lulusan mampu bertindak membimbing siswa ke arah dan dengan


cara-cara yang lebih akademis

Isi kurikulum pada dasarnya merupakan pengetahuan tentang macam-macam


sub disiplin pendidikan jasmani, yang meliputi :

 Penampilan skill dan pengalaman olahraga, exercises, dan kompetisi

 Pengetahuan tentang sport psikologi, sport sosiology, sport physiology


dan motor control serta disiplin lainnya yang berada di bawah payung
”foundation of physical education”.

2.4 Social-Development Model

Adang Suherman(1998:5),menyatakan: Social-Development Model.


Pendekatan ini pada dasarnya merupakan yang lebih menekankan pada
perkembangan individu dan sosial anak didik. Salah satu contoh model dari
pendidikan ini dikembangkan oleh Donald Hellison (1973,1978,1982)
dengan istilah “teaching responsibility through physical activity” dengan
menerapkan konsep “levels of affectivedevelopment”.

Pendekatan ini disebut juga pendekatan hurnanistik (hurnanistic


education). ciri utamanya adalah:

1. Memperlakukan anak sebagai makhluk individu

2. Lebih menekankan pada perkembangan individu dan perkembangan sosial


dari pada perolehan akademis (academic achievement). untuk selanjutnya
sering disebut model pengembangan sosial (social-development model)
karrena sering digunakan untuk keperluan pengembangan individu dan sosial

8
anak didik. Tokoh yang terkenal mengembangkan model ini adalah Donald
Hellison (1973, 1978, 1982).

Tujuan model ini adalah membantu siswa untuk :

 Mengatasi permasalahan kehidupan sosialnya dengan lebih baik

 Memperoleh kehidupan pribadinya dengan lebih baik

 Mampu memberi kontribusi terhadap kehidupan lingkungan sosial di


sekitarnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hellison menetapkan enam tingkatan


perkembangan sosial, dari mulai tingkatan perilaku sosial yang paling rendah
(level 0) sampai dengan tingkatan paling tinggi (level 5). istilah-istilah yang
digunakan pada masing-masing level adalah sebagai berikut:

 Level 0 : irresponsibillty (tidak bertanggung jawab)

 Level 1 : self control (mengendalikan diri)

 Level 2 : involvement (terlibat dalam kelompok)

 Level 3 : self-resonsibility (tanggung jawab untuk dirinya)

 Level 4 : caring (memperhatikan semua orang)

 Level 5 : leadership (dapat memimpin)

Medium yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah media


pendidikan jasmani juga, yang antara lain berupa: senam, permainan, dst.
Oleh karena itu aktivitas belajar pada model ini tidak berbeda dengan
aktivitas-aktivitas belajar pada model-model yang lainnya.

Hampir bisa dipastikan, tidak semua siswa masuk level 0. pada kasus
seperti ini, pembelajaran lebih bersifat umum. Siswa dari masing-masing
level diberi pengalaman belajar yang mengakibatkan siswa memahami dan
mendapatkan perkembangan individu dan sosial yang lebih baik pada

9
levelnya. Pada kesempatan lain, siswa diberi aktivitas belajar yang bersifat
individu yang bertujuan untuk mengembangkan tanggung jawab dan
pengendalian dirinya. Pada kesempatan yang lain juga, siswa diberi aktivitas
belajar yang bersifat kelompok dengan tujuan untuk memperoleh
pengalaman kerja kelompok, misalnya: melakukan opensif atau devensif
dalam permainan team.

Selama proses pembelajaran, guru bersifat alami dan perhatian terhadap


semua siswa, toleransi terhadap perbedaan individu, menjaga keselamatan,
tetapi cukup konsekuen dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan bersama.
Namun demikian, interaksi guru dengan siswa pada setiap kesempatan selalu
menunjukkan karakteristik humanistik.

2.5 Sport Education Model

Model pendidikan olahraga, sebelumnya disebut model bermain (play


education), memandang olahraga sebagai sesuatu yang bernilai secara
ointrinsik dan dapat dimasuki secara sukarela (Jewet and Bain, 1985). Daryl
Siedentop (Siedentop, Mand, and Taggart, 1986:185), perintis dan
pendukung dari model ini, menyatakan bahwa tujuan utama dari model
pendidikan olahraga adalah “membantu siswa menjadi pemain yang terampil
dan bersifat sportif.

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :

Sport Education Model. Pendekatan ini pada dasarnya merupakan


pendekatan yang lebih menekankan pada pemeliharaan dan peningkatan
nilai-nilai murni olahraga kompetitif seperti yang sering dilakukan diluar
lingkungan sekolah.

Sport education merupakan model kurikulum yang dapat dikembangkan


bukan hanya di sekolah tetapi lebih luas lagi di masyarakat. Di Australia dan
New Zealand, model ini dikembangkan sebagai model yang terkoordinir dari
mulai sekolah taman kanak-kanak, pada klub-klub olahraga, dan masyarakat

10
pada semua tingkat usia. Model ini menerapkan konsep: sport for all” dengan
terlebih dahulu memperkenalkan aktivitas permainan bagi anak-anak usia
tiga tahun dan dilanjutkan dengan macam-macam program pada berbagai
tingkatan usia, termasuk olahraga untuk orang dewasa.

Tujuan utama model ini adalah membantu semua siswa mengembangkan


keterampilan dan pemahaman yang berguna untuk dapat berpartisipasi dalam
olahraga serta membantu siswa untuk menjadi olahragawan yang baik
sepanjang hidupnya. Asumsi dasar model ini: “karena olahraga merupakan
bentuk lain dari bermain dan olahraga merupakan bagian integral dari budaya,
maka siswa harus mempelajari olahraga dengan cara-cara yang sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Tokoh yang populer mengembangkan
model ini adalah Siedentop, USA.

Model ini menggambarkan cara-cara mengajar olahraga kepada semua


siswa dalam konteks pendidikan jasmani. Pembelajaran penjas berisikan
tentang olahraga yang merentang dari olahraga sederhana, modifikasi,
olahraga resmi. Sehubungan dengan itu, pembelajaran olahraga dalam sport
education mempunyai ciri tertentu yaitu sebagai berikut:

 Setiap tahunnya kurikulum disusun dalam beberapa musim: dari mulai


musim persiapan sampai musim pertandingan (season). kurikulum
pendidikan jasmani reguler disusun berdasarkan unit pembelajaran

 Setiap siswa harus menjadi anggota team olahraga secara konsisten dari
mulai musim persiapan sampai musim pertandingan berakhir

 Musim pertandingan dijadwalkan dari sejak awal tahun ajaran dan


dilaksanakan pada saatnya secara resmi (formal competition).

 Pada setiap tahunnya, dilaksanakannya acara puncak, yaitu penentuan


juara setiap cabang yang dikompetisikan

 Dilakukan dokumentasi hasil-hasil pertandingan termasuk publikasi dan


tradisi-tradisi yang terjadi pada olahraga pada umumnya.

11
Dari setiap awal tahun ajaran, guru bertindak sebagai fasilitator, dari
mulai membuat team, berlatih secara individu maupun kelompok. Dan
bertanding. Selain dari itu, siswa dididik dan dilatih untuk berperan sebagai
pelatih, wasit dan pelaksana administrasi. Dalam model ini kemenangan
dalam bertanding bukan merupakan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah
siswa menjadi olahragawan yang baik, menjadi wasit yang baik, berperilaku
jujur, tidak kaget dengan kemenangan dan kesalahan, dan fair play dalam
pertandingan.

2.6 Adventure-Education Approach

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :

Adventure-Education Approach. Pendekatan ini pada dasarnya


merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas
petualangan yang penuh resiko dalam lingkungan yang lebih bersifat alami
(misal, maik gunung, cross country, camping).
Terdapat dua gagasan yang mendorong munculnya model ini. Pertama,
aktivitas petualangan (terutama aktivitas berbahaya di alam terbuka)
mempunyai potensi pendidikan dan potensi pengembangan karakter. Kedua :
minat masyarakat terhadap rekreasi outdoor nampak semakin meningkat.
Untuk itu, aktivitas petualangan sangat potensi diterapkan dalam konteks
pendidikan jasmani.

Model ini sering kali berisikan dua klasifikasi aktivitas. Pertama:


aktivitas-aktivitas pada lingkungan alami seperti: kamping, arung jeram,
cross country, naik gunung dan menyelam. Kedua: aktivitas-aktivitas buatan
seperti: panjat tali, panjat akar atau pohon dan panjat dinding dengan
berbagai rintangan dan tantangan, dst. Menginggat aktivitas-aktivitas dalam
adventure education penuh dengan resiko, maka faktor keselamatan
merupakan tantangan yang sangat besar dalam penyelenggaraan model ini.

12
Mekipun kurikulum model ini dapat diterapkan di lingkungan sekolah
(misalnya untuk panjat tali), namun akan lebih leluasa apabila juga
diterapkan di lingkungan luar sekolah. Beberapa tujuan dari model ini:

 Mempelajari keterampilan-keterampilan rekreasi outdoor dan


mendapatkan kepuasan dari kegiatan itu

 Belajar tinggal pada situasi dan kondisi yang serba terbatas

 Belajar menemukan kesenangan pada saat menerima tantangan dari


kegiatan fisik yang menegangkan dan beresiko

 Belajar hidup mandiri pada lingkungan alami

 Berbagai pengalaman dan belajar hidup bersama dengan kelompoknya

2.7 Eclectic Approach

Adang Suherman (1998 : 5) menyatakan :

Electic Approach. Pendekatan ini pada dasarnya merupakan pendekatan


yang merupakan perpaduan atau kombinasi dari semua pendekatan tersebut
di atas.
Meskipun beberapa sekolah dapat menerapkan model-model kurikulum
secara penuh, namun sekolah-sekolah lainnya bisa saja menerapkan
gabungan atau kombinasi dari model-model itu. Penerapan model kurikulum
seperti ini disebut sebagai pendekatan ekletik (ecletic approach).

Dua di antara beberapa kemungkinan penerapannya , pertama:


masing-masing model kurikulum dijadikan unit dari eseluruhan program
penjas dan bersifat wajib bagi seluruh siswa untuk mengikutinya. Kedua:
masing-masing model kurikulum diawarkan kepada siswa, dan siswa dapat
memilihnya.

13
2.8 Development Education

Model yang bersifat pengembangan ini belakangan merupakan model


kurikulum yang paling didukung, meskipun beberapa ahli menyatakan bahwa
pendidikan 22
pengembangan bersifat menyatu dengan model lainnya daripada bersifat
terpisah. Filsafat dari model ini lebih sering digambarkan dengan ekspresi
populer “pendidikan melalui jasmani”, dan programnya dicirikan oleh
kegiatan-kegiatan fisik yang digunakan untuk menyumbang pada
perkembangan total individu, baik secara fisikal, sosial, emosional, dan
intelektual (Siedentop, Mand, and Taggart, 1986).

Model development menempatkan anak sebagai pusat pertimbangan


pembuatan kurikulum. Pembuat kurikulum membuat program pembelajaran
sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik pada saat sekarang. Model
ini berusaha menciptakan kurikulum yang holistik dan seimbang antara
pengembangan aspek kogitif, afektif dan psikomotor. Siedentop (19990)
menyebut model ini sebagai “education through the physical” (pendidikan
melalui aktivitas fisik). alasannya karena aktivitas gerak hanya digunakan
sebagai alat untuk meraih tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan
perkembangan anak pada tingkatannya.

Model ini menganggap bahwa “setiap individu mempunyai irama dan


pola pertumbuhan dan perkembangan yang unik”. oleh karena itu, unit
pembelajaran disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan individu.
Para guru harus mampu mengembangkan tugas ajar dan teknik pembelajaran
agar sesuai dengan irama dan pola belajar masing-masing individu tersebut.

Tugas ajar yang diberikan meliputi pengembangan kesegaran jasmani,


skill, pengetahuan dan pengembangan sosial. Sehubungan dengan itu, model
ini harus dapat menyediakan multi aktivitas (multiactivity-program
approach). aktivitas belajar yang sangat beragam dari mulai aktivitas fitnes,
movement, sport termasuk peraturannya, maupun adventure. Semua aktivitas

14
tersebut pada asarnya disediakan untuk melayani berbagai kebutuhan dan
minat siswa pada tingkkatannya.

Sekarang ini di USA, multiactivity-program approach merupakan ciri


utama program pendidikan melalui aktivitas fisik (education through the
physical) dan masih tetap merupakan ciri domain pendidikan jasmani di USA.
Aktivitas itu sendiri (olahraga atau bukan) tidak lebih penting apabila
dibnadingkan dengan apa yang mereka gunakan (aktivitas fisik) untuk
mencapai tujuan pendidikan. Oleh sebab itulah mengapa penddikan jasmani
disebut sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia. Pendidikan berlangsung seumur
hidup, sejak manusia terlahir ke dunia sudah mulai mendapatkan pendidikan dari
kedua orang tua, lingkungan sekitar, sampai manusia meninggal dunia
Implementasi program pendidikan jasmani terus berkembang sesuai dengan
pandangan para pelaksana terhadap tuntutan perkembangan masyarakat.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,kedepanya penulis


akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tertuang dapat dipertanggung jawabkan.

16
Daftar Pustaka

SKRIPSI_EN. Nara Barruni Cahya,pdf

Bab_2_Penjas_Life_Skills_SMA.pdf

Pembelajaran_Pendidikan_Jasmani_di_Sekolah_Dasar.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai