Anda di halaman 1dari 11

TUGAS LK.

1 DARI LEMBAR SLIDE NARA SUMBER

NAMA : TAHER, S.Pd.I.,Gr.,M.Pd

ASAL SEKOLAH : SMPN 1 BIATAN

PERTANYAAN LK.1

Jelaskan konsep-konsep berikut dengan jelas dan singkat!

1. Pengertian Pendidikan Inklusif


a. Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel
dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
b. Pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara
penuh di kelas. Hal ini menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak-anak berkelainan, apapun jenis-kelainanya.Menurut Staub dan Peck
(Tarmansyah, 2007;83)
c. Pendidikan inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. (Permendiknas no. 70 th 2009, pasal 1)
d. Sapon-Shevin dalamO’Neil (1994: 23) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
e. Stainback (1980: 11) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif harus menyediakan program pendidikan yang
layak,menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar
anak-anak berhasil

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif!


a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
e. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945:
Pasal. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat
pendidikan’, dan
Pasal. 32 ayat 1 ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
f. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’.
g. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi
’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan
yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan
luar biasa.
h. Pendidikan inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. (Permendiknas no. 70 th
2009, pasal 1)

3. Prinip-prinsip Pembelajaran dalam Setting Pendidikan Inklusif


a. Motivasi
b. Latar atau Konteks
c. Hubungan sosial
d. Individualisasi

Penjelasan

A. Prinsip Pendidikan Inklusif dalam Pembelajaran


Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip
pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen  dasar yang memungkinkan pendidikan
inklusif dapat dilaksanakan.
1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru
terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak
hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran. Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan
cara penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati,
2005).
2. Interaksi promotif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara
siswa. Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong
dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif
hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan
saling memberikan urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi
promotif pada hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi
yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama
manusia tetapi juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif
hanya di mungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam suasana belajar kooperatif, siswa
cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada dalam
suasana belajar kompetitif (Mulyono, 1994). Dalam pendidikan inklusif, suasana
belajar kooperatif harus dominan sedangkan suasanabelajar kompetitif hanya
untuk bersenang-senang atau untuk selingan atau untuk materi belajar yang
membosankan. Hasil penelitian Johnson & Johnson (Wahyu Sri Ambarwati,
2005) menunjukkan bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan
perasaan rendah diri bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang. Lebih
lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya
lebih menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai dalam penyelenggaraan pembelajaran
kooperatif. Padahal, pembelajaran kompetitif dalam kelompok heterogen
dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang berkekurangan dan merasa
bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan rendah diri dan
perasaan bosan merupakan elemen yang merusak untuk membangun kehidupan
bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya
untuk kelompok yang homogen yang memungkinkan semua
anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama untuk menang dan
kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali lagi hasil penelitian Mulyono (1994)
menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai kemampuan
seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum, dan yang terbaik adalah
kompetisi  dengan diri sendiri.
3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam
bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian
tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan
bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama
mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai
pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang
adaftif atau program pembelajaran individual (individualized instructional
programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta
didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai
keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan
tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua,
guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar informasi
antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh keputusan
legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan
layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan profesional dalam hal ini
adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang studi, konselor, psikolog, dan atau
ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah mengembangkan model konsultasi
kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan rahabilitasi siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler. Berdasarkan model
yang mereka buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim
lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang
dipergunakan untuk menentukan masalah siswa, memilih dan merekomendasikan
tindakan, merencanakan danmengimplementasikan program pembelajaran, dan
melakukan evaluasi hasil intervensi serta melakukan perencanaan ulang
jika diperlukan.
6. Hidup dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu
kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang
silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang
kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa terjalin hubungan yang
saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya, harus
dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu
pula dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya
memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak
terprogram dan terukur sedangkan di sekolah pendidikan lebih banyak
dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut
dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya mempunyai
fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang erat
dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat
berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang
lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah
memiliki informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa.
Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan
penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.
8. Belajar dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan
kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen.
Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif
sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan belajar dan berpikir. Guru
hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai anak-anak
kesulitan belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka
umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control
diri, cenderung bergantung (dependent),dan kurang memiliki strategi
untuk belajar. Sehubungan dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar
semacam itu maka guru perlu memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan
atau motivasi dengan menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan
dengan manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku.
9. Belajar sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari
perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang
hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna
yang melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan
kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang hayat pada hakekatnya
adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan pada
pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta
didik dalam kehidupan masyarakat.

B.Prinsip-prinsip Pembelajaran di Sekolah Inklusi


1.      Tuna Laras
a.        Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa
memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannnya itu, ia
menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu
melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas
merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi
keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-
norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, segingga
dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang
lain.
b.      Prinsip Kebebasan yang Terarah
Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu menggunakan peluang
yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus
berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping
itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang
berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
c.       Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang
dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan
sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya
untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
d.      Prinsip Kekeluargaan dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hubungan orang tua retak
(broken home). Akibatnya emosinya tidak laras, jiwanya tidak tenang, rasa
kekeluargaannyatidak berkembang, merasa hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh
mereka bersifat perusak, benci kepada orang lain. Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami
jiwa anak, dimana letak ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya,
mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa
kekeluargaanya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang
edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
e.       Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari keluar rumah.
Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang dirasa dapat memebuat dirinya
merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat ia merasa menemukan tempat berlindung
menggantikan orang tuanya, ia merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya
kepada kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan
idolanya. Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan
posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan
berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia
kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa
senang bersekolah.
f.       Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang berhubungan
dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak,
akhirnya justru mereka benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya,
guru harus menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar
memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa
senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
g.      Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia mengalami
ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku menyimpang baik secara individual
maupun secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, guru harus
berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya
menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma
yang erlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji,
baik secara individual maupun secara kelompok.
h.      Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, sehingga ia hidup
lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya
sehari-hari. Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu
diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
i.        Prinsip Kasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik dari orang tua maupun dari
keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari kasih sayang dan menumpahkan
keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak menemukannya akan menjadi agresif, cenderung
hiperaktif, atau sebaliknya ia menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri. Oleh karena itu,
guru supaya mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan
jiwa anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena merasa ada
tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan menuruti nasehat guru
untuk rajin belajar.

2.      Tuna Rungu
Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi
anak tunarungu, anak tunarungu lebih mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat
mudah dipahami jika guru melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:
a.        Prinsip keterarahwajahan
Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga
wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun,
sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari
memberikan penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika
berbicara dengan tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang
disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
b.      Prinsip keterarahsuaraan
Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara
jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian
pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
c.       Prinsip Intersubyektifitas
Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus
dapat membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh
anak dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
d.      Prinsip kekonkritan
Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini
dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena
minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan
contoh-contoh nyata dan yang mudah dipahami.
e.       Prinsip Visualisasi
Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera
penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua
pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar
yang bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang
berguna untuk memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
f.       Prinsip Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak
tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau
mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang
diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara
pengalaman oleh anak sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan
guru.
g.      Prinsip pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak
tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan
hubungan-hubungan yang ada.
h.      Prinsip belajar sambil melakukan
Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak
tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan
oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih
bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.
3.      Tuna Daksa
Ada beberapa prinsip utam dalam memberikan pendidikan pada anak tuna daksa,
diantaranya sebagai berikut:
a.       Prinsip multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak tuna daksa sedapat mungkin memanfaatkan dan
mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tun daksa yang
mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensory, kelemahan pada indra lain
dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman
b.      Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah
kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya  dapat berbentuk klasikal
dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu
yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang
diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

4.      Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)


a.       Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah
rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang
menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-
kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah
sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih
sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela
berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik
dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan
guru.
b.      Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan
berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu,
siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam
kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga
(model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu rnengaitkan
relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke
lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila
tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.

c.       Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi


Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang
terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau
potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka
masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau
potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam
bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum
berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan
kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat
ditempuh.

5.      Anak Berbakat
a.       Prinsip Percepatan (AkseIeras) Be1ajar.
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi), kreatvitas, dan
tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu
karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas
kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah
dapat menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan lagi
oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu, mereka
memiliki waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang ini
dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-benda kecil kepada
teman dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, dalam proses belajar-mengajar
hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan memberi materi
penilaian tambahan (materi pelajaran berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua,
mungkin materi pelajaran selama satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1
tahun selesai dalam waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut
dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
b.      Prinsip Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program percepatan belajar Mereka
kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya) mendahului teman-temannya.
Mereka merasa lehih enjoy dan fun dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan
teman sekelasnya, namun diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir
tingkat tinggi (analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya
mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak
berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar mengajar dapat rnemanfaatkan
waktu luang anak berbakat dengan cara memberi program-program pengayaan kepada
mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir tingkat tinggi seperti di atas.
6.      Tunanetra
a.       Prinsip Kekonkritan.
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka untuk
mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba
dan dapat dimanipulasikan Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya
yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat
permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru
dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun
tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan
pembelajaran.
b.       Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang
masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam
sekejap mampu melihat huhungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak
tunanetra tidak mengerti hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan
mengajar anak untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan
huhungan-huhungan tersebut.
c.       Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil berkerja.
Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata
yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama
dalam rnenangkap informasi. Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup
hanya dengan melihat gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan
penjelajahan secara langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat
informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan
tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.

SUMBER PUSTAKA

1. http://rinitarosalinda.blogspot.com/2015/10/prinsip-prinsip-pembelajaran-inklusif.html .
Diakses tanggal 5 Oktober 2020 Pukul 20.30
2. https://asrulywulandari.wordpress.com/2013/06/05/model-dan-kurikulum-pendidikan-
inklusif/. Diakses 5 Oktober 2020 Pukul 21.00
3. file:///D:/1_DATA%20PRIBADI%20TAHER/2_TAHER%20DATA%20SMPN
%2022%20BERAU/4_WEBINAR%20COURSE_TAHER/DIKLAT%20WEBSITE
%20PEMBELAJARAN/Permendikbud_Tahun2009_Nomor070.pdf. Diaskes 5 Oktober 2020
Pukul 21.30

Anda mungkin juga menyukai