Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan Inklusif adalah suatu filosofi pendidikan dan sosial.

Staub dan Peck (1995)


mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan,
sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler
merupakan tempat belajar yang sesuai bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya Sementara itu, Sapon-Shevin (dalam 0'Neil, 1995) menyatakan bahwa
pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak
berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman
seusianya Artinya, dalam pendidikan inklusif tersedia sumber belajar yang kaya dan mendapat
dukungan dari semua pihak, yaitu: peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Guru menjadi faktor penting dalam optimalisasi pendidikan inklusi di sekolah. Selain guru kelas juga
dibutuhkan guru khusus yang memiliki keluasan wawasan dan keterampilan dalam penerapan
pembelajaran inklusi di kelas. Selain itu, Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak adalah
faktor pendorong dan penentu dalam pengembangan pendidikan inklusif di seluruh dunia. Mulai
dari pengambilan keputusan mengenai penempatan sekolah, hingga kolaborasi antara pihak
sekolah dan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Melalui pendidikan inklusif,
peserta didik berkebutuhan khusus dididik bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi
oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang
tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif
bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik berkebutuhan
khusus dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Sekolah inklusif menurut Stainback
dan Stainback (1990) adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah
ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap
peserta didik berterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru
dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi.
Selain itu karakteristik pendidikan inklusi terdapat dalam beberapa hal seperti Penyediaan
Informasi, Fitur Fisik, Kebijakan Sekolah Inklusi, Program Pembelajaran Individual (PPI),
Interaksi Siswa, Kepegawaian Atau Personalia, Hubungan Eksternal, Penilaian Prestasi,
Kurikulum, Strategi Pengajaran (Winter & O‟Raw, 2010).

1) Penyediaan Informasi

Komunikasi yang terbuka dan teratur sangat penting untuk kolaborasi yang efektif antara
sekolah, orang tua, dan masyarakat dapat membantu menumbuhkan tujuan rasa kebersamaan di
antara semua yang terlibat (Russell, 2005). Memberi tahu orang tua dan pemangku kepentingan
lainnya juga dapat membantu menghindari kesalahpahaman, terutama ketika ada ketidaksesuaian
antara nilai dan tujuan keluarga dan sekolah (Norris dan Closs, 2003). Metode penyebaran
informasi kepada orang tua dan orang lain dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk
materi cetak, iklan di surat kabar dan televisi, tatap muka, dan internet. Pada bagian ini kita
melihat penyediaan informasi kepada orang tua, pemangku kepentingan, dan masyarakat luas
mengenai layanan, sumber daya, dan praktik yang mendukung inklusi di lingkungan seluruh
sekolah. Pemberian informasi disampaikan dengan syarat agar orang tua dan orang lain dapat
memahami. Sama seperti sekolah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar anak yang
beragam, demikian pula sekolah perlu mempertimbangkan orang tua dan latar belakang serta
budaya yang berbeda agar peka terhadap kemungkinan hambatan komunikasi dan memastikan
partisipasi penuh oleh orang tua (Nasen, 2000). Oleh karena itu penting bahwa semua informasi
yang diberikan ditulis dalam bahasa yang bermakna dan informatif (Bahasa yang mudah
dipahami oleh orang tua).

khusus yang dapat mereka mintai bantuan, dukungan, dan informasi. Tujuan dari layanan ini
adalah untuk memastikan bahwa orang tua dari anak-anak yang memiliki kebutuhan tambahan
memiliki akses ke informasi, nasihat dan bimbingan sehubungan dengan kebutuhan pendidikan
khusus anak-anak mereka sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat dan
terinformasi (DfES, 2001).

2) Fitur Fisik

Menyediakan sekolah yang benar-benar inklusif, lingkungan fisik perlu aman dan dapat diakses
oleh semua siswa, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Sekolah juga perlu terstruktur
sedemikian rupa untuk meminimalkan efek perbedaan belajar individu pada prestasi. Banyak
masalah yang berkaitan dengan desain dan tata letak lingkungan fisik hanya dapat ditangani pada
tahap perencanaan untuk bangunan sekolah dan lebih menjadi perhatian otoritas pendidikan,
pembangun dan perancang. Menyediakan akses fisik yang aman ke gedung sekolah, ruang kelas
dan fasilitas lainnya sangat penting untuk memastikan semua siswa dapat secara fisik
mendapatkan akses ke lingkungan pendidikan dan disertakan dalam semua kegiatan yang sesuai
bersama rekan-rekan mereka. Hal ini sangat relevan bagi siswa penyandang disabilitas, akses
yang memadai harus disediakan sesuai kebutuhan, termasuk penyediaan jalan landai dan lift, dan
toilet yang disesuaikan. Perhatian juga harus diberikan untuk memastikan bahwa semua pintu
cukup lebar untuk menampung kursi roda dan ada ruang yang cukup untuk kursi roda untuk
bermanuver di dalam kelas. Ukuran kelas dan kepadatan siswa juga dapat menimbulkan
hambatan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif yang mendukung
pembelajaran. Studi telah menunjukkan bahwa siswa di sekolah yang penuh sesak mendapat skor
yang jauh lebih rendah dalam matematika dan pemahaman membaca daripada siswa serupa
dalam kondisi yang kurang ramai (Rivera-Batiz and Marti, 1995).

3) Kebijakan Sekolah Inklusi

Kebijakan yang dikembangkan di dalam sekolah inklusi, melibatkan seluruh komunitas sekolah,
dan dirancang dengan berkonsultasi dengan semua pemangku kepentingan utama, termasuk
orang tua. Kebijakan yang dibuat di sekolah inklusi mencerminkan seperangkat keyakinan dan
hak yang akan mendukung dan memandu praktik sekolah inklusif untuk kebutuhan pendidikan
khusus. Jika sekolah ingin benar-benar inklusif maka sangat penting bahwa mereka
merencanakan untuk memenuhi kebutuhan semua siswa melalui identifikasi awal yang efektif,
penilaian, dan perencanaan pendidikan individu (Westwood, 2007). Penilaian menginformasikan
pengajaran dan pembelajaran dan memungkinkan sekolah untuk memodifikasi dan mengadaptasi
instruksi untuk mengembangkan kurikulum inklusif.

4) Program Pembelajaran Individual (PPI)

Program Pembelajaran Individual (PPI) adalah rencana tertulis yang menggambarkan program
dan layanan pendidikan khusus yang dibutuhkan oleh siswa tertentu dan didasarkan pada
penilaian menyeluruh terhadap kekuatan dan kebutuhan siswa (Ontario Ministry of Education,
2004). Idealnya, Program Pembelajaran Individual (PPI) siswa paling baik dibuat melalui
kolaborasi, dan harus melibatkan upaya gabungan dari siswa, orang tua, sekolah, dan profesional
lainnya. Oleh karena itu, memaksimalkan kesempatan untuk keterlibatan orang tua dalam
penyusunan PPI harus menjadi tujuan utama, dan penting untuk membuat pengalaman tersebut
mendukung dan sepositif mungkin (NCSE, 2006).

5) Interaksi Siswa

Manfaat utama dari memasukkan semua siswa ke dalam sistem pendidikan yang sama adalah
cara meningkatkan dan memperluas pengalaman pendidikan bagi semua siswa. Manfaat dari
keterlibatan dan hubungan siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus mengajarkan
mereka tentang, memahami dan menjadi lebih menerima keragaman (Staub dan Peck, 1995).
Bagi mereka yang berkebutuhan khusus, kompetensi sosial dan keterampilan komunikasi dapat
meningkat (Guralnick et al., 1995).

6) Kepegawaian atau Personalia

Guru kelas, Guru Pendamping Khusus (GPK), dan staf pendukung merupakan pusat
keberhasilan inklusi. Oleh karena itu, penting bahwa semua staf dan personil yang bekerja di
lingkungan inklusif memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menghadapi tantangan
inklusi. Sama pentingnya bahwa staf bekerja sama secara efektif sebagai tim yang koheren,
untuk memastikan semua siswa secara efektif dilibatkan dalam lingkungan pendidikan.

Salah satu faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan inklusi adalah budaya inklusi di
seluruh lingkungan sekolah. Dukungan kepala sekolah sangat penting untuk mewujudkan hal ini,
karena mereka menempati peran kepemimpinan kritis di sekolah. Keyakinan dan sikap guru juga
penting untuk keberhasilan inklusi (Fischer, Roach dan Frey, 2002), karena mereka menghadapi
tantangan inklusi di kelas setiap hari. Oleh karena itu, penting untuk secara aktif
mempromosikan dan mengembangkan etos positif di antara guru dan anggota staf lainnya, dan
mendorong komitmen bersama terhadap nilai-nilai inklusi (Kugelmass, 2001). Keyakinan dan
harapan guru dapat memiliki pengaruh yang kuat pada pembelajaran murid. Studi oleh Ellins dan
Porter (2005) dan Wilkins dan Nietfield (2004) telah menunjukkan bahwa sikap guru dapat
mempengaruhi hasil belajar untuk siswa individu dengan kebutuhan pendidikan khusus. Tapi
bukan hanya sikap individu yang berkontribusi dalam membentuk budaya sekolah; karakteristik
sekolah itu sendiri sebagai sebuah organisasi juga relevan (Lindsay dan Muijis, 2006). Farrell
(2000) menyatakan bahwa pelatihan dan keahlian guru pendamping khusus (GPK) menentukan
kemampuan mereka untuk menerapkan metode yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan
untuk bekerja sebagai bagian dari tim. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan program
terstruktur untuk pengembangan profesional berkelanjutan bagi staf pendukung yang bekerja di
sekolah.

7) Hubungan Eksternal

Penyediaan dana, sumber daya, dan layanan dukungan yang memadai merupakan hal mendasar
bagi keberhasilan pelaksanaan inklusi dan akan membutuhkan pembentukan hubungan dengan
lembaga, layanan kesehatan, dan dukungan di luar sekolah. Elemen penting dalam keberhasilan
setiap program inklusi adalah penyediaan dukungan dan layanan yang memadai untuk
memastikan bahwa semua siswa dapat berpartisipasi secara setara dalam kegiatan sekolah dan
staf didukung dalam pekerjaan mereka. Mungkin ada saat-saat di mana sekolah tidak memiliki
keahlian atau sumber daya yang diperlukan untuk memfasilitasi inklusi penuh, atau di mana
ketentuan sekolah yang ada dapat mengambil manfaat dari masukan tambahan. Oleh karena itu,
penting bagi sekolah untuk memupuk dan memelihara hubungan dengan lembaga eksternal. Hal
ini akan memungkinkannya untuk menawarkan jangkauan layanan yang lebih luas dan akan
meningkatkan kemampuan mereka untuk mendukung inklusi.

8) Penilaian Prestasi

Anak dengan kebutuhan pendidikan khusus mungkin memiliki masalah seputar motivasi dan
harga diri, dan pengakuan formal atas pencapaian dan kemajuan mereka dapat membantu
meningkatkan kepercayaan diri dan citra diri mereka, mendorong mereka untuk terlibat dalam
kegiatan kelas. Namun, apa yang merupakan kemajuan akan bervariasi tergantung pada anak.
Untuk siswa dengan kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang signifikan, penting untuk
menyadari bahwa kemajuan dapat dicapai dengan berbagai cara selain dari peningkatan
pengetahuan atau keterampilan akademik (Westwood, 2007).

Penilaian informal memberikan kesempatan untuk pengakuan prestasi siswa. Keduanya berguna
dan praktis karena biasanya melibatkan kegiatan biasa dan bahan yang digunakan sehari-hari di
kelas (Westwood, 2007). Berhasil menyelesaikan tugas kelas dan pekerjaan rumah, partisipasi
siswa dalam kegiatan kelas dan kehadiran semua membawa potensi untuk memperkuat perilaku
positif dan untuk mendorong partisipasi.

9) Kurikulum

Pada pendidikan inklusi kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
siswa. Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (regular)
yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa.

10) Strategi Pengajaran

Pendidikan inklusif menantang para pendidik untuk mengembangkan daftar strategi pengajaran
yang luas. Di dalam kelas, strategi pengajaran tertentu telah diidentifikasi sebagai membantu
untuk inklusi siswa dengan kebutuhan pendidikan khusus. Contohnya termasuk pengajaran
kooperatif, pembelajaran kooperatif, perencanaan individual, pemecahan masalah kolaboratif,
pengelompokan heterogen dan diferensiasi. Agar metode pengajaran ini berhasil, mereka perlu
ditanamkan dalam konteks keseluruhan pengajaran yang efektif berdasarkan penilaian dan
evaluasi, instruksi langsung dan umpan balik (EADSNE, 2003).

Siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang kompleks, maka mereka dapat mengambil
manfaat dari pendekatan tertentu untuk mengajar dan belajar, seperti Braille atau bahasa isyarat
dalam kasus anak-anak dengan gangguan penglihatan atau pendengaran

Disabilitas

Teori moral “Moral Theory of Disability”

E.B. Taylor (1871) menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan dan dikatakan manusia pada
masa dan tempat yang berbeda di seluruh dunia dapat dikatakan mirip satu dengan yang lainnya,
hal tersebut merupakan keseragaman fundemental pemikiran manusia. Teori E.B. Taylor (1871)
tentang kemiripin satu budaya dengan budaya lainya, manusia dimana pun dan kapan pun pada
dasarnya adalah sama (Pals, 2006) Dalam sejumlah peradaban dunia bentuk marginalisasi dan
diskriminasi, dapat dilihat dari seluruh tahapan peradaban dari zaman Yunani kuno hingga
zaman pencerahan zaman Renaisanse. Masyarkat Yunani kuno sangat medambakan manusia
yang sempurna secara fisik batang tubuhnya. Ketika seseorang melahirkan anak dalam keadaan
disabilitas maka bayi tersebut harus dimusnahkan/ dibunuh. Pada zaman tersebut masyarakat
Yunani sangat terobsesi untuk menjadi Pasukan Sparta yang kuat (Garland, 1995: 4). Masyarakat
Romawi juga berpandangan demikian bayi yang terlahir dalam keadaan disabilitas harus dibuang
dan dihayutkan di sungai Tiber (Barnes, 1997b: 3-25). teori ini mengemukakan bahwa disabilitas
merupakan bentuk kutukan atau hukuman Tuhan untuk dosa tertentu yang dilakukan penyandang
disabilitas. terlihat bahwa disabilitas sering kali dianggap sebagai bentuk hukuman dari Tuhan
atas dosa dari orang tua, bisa Bapak ataupun Ibunda/Istri yang sedang mengandung, sehingga
menyebabkan sang anak lahir dalam kondisi “cacat.” Sebaliknya, terdapat pula ajaran
keagamaan atau budaya yang memandang bahwa penyandang disabilitas merupakan orang yang
memiliki kemampuan supranatural. Disabilitas (disability) atau cacat adalah mereka yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik, dalam jangka waktu lama di mana
ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan
efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Lampiran UU RI
Nomor 19 Tahun 2011, Pasal 1).Menurut International Labour Organization (2014), penyandang
disabilitas adalah seseorang yang mengalami kelainan fisik, indera, intelektual, maupun
psikososial yang dapat memengaruhi kemampuan orang tersebut dalam menjalani kegiatan
sehari-harinya. Menurut The United States Department of Justice (2016), disabilitas adalah
kecacatan substansial baik dalam bentuk fisik maupun mental yang membatasi aktivitas hidup
suatu individu, memiliki riwayat kecacatan, atau dianggap memiliki kecacatan.

Penyebutan pada penyandang disabilitas sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe dan
jenis disabilitas dengan mengacu pada kondisi yang dialami oleh penyandang disabilitas itu
sendiri (Republik Indonesia, 1997; Handayani, 2017; Khairunisa Rani, Rafikayati and Jauhari,
2018; Purnamasari, P,.& Soendari, 2018; Puspitawati and Darmadha, 2019). Klasifikasi tipe dan
jenis penyandang disabilitas yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1) Disabilitas fisik

Disabilitas fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh baik itu
secara gerak tubuh, penglihatan, pendengaran maupun kemampuan bicara. Tipe disabilitas yang
termasuk disabilitas fisik adalah sebagai berikut.

a) Tipe A (tunanetra)
Tunanetra merupakan gangguan pada organ penglihatan sehingga mengakibatkan
ketidakmampuan melihat pada penyandangnya.

b) Tipe B (tunarungu)

Tunarungu merupakan gangguan pada organ pendengaran sehingga mengakibatkan


ketidakmampuan mendengar pada penyandangnya.

c) Tipe C (tunawicara)

Tunawicara merupakan gangguan yang mengakibatkan ketidakmampuan berbicara pada


penyandangnya.

d) Tipe D (tunadaksa)

Tunadaksa merupakan gangguan pada anggota tubuh sehingga mengakibatkan menurunnya


kemampuan gerak pada penyandangnya.

e) Tipe E1 (tunalaras)

Tunalaras merupakan gangguan yang mengakibatkan menurunnya kemampuan bersosialisasi


atau berinteraksi sosial pada penyandangnya. Tunalaras pada tipe E1 biasanya mengalami cacat
pada suara dan nada berbicara

2) Disabilitas mental

Disabilitas mental adalah kelainan yang mempengaruhi kondisi mental atau tingkah laku
penyandangnya. Disabilitas mental mencakup kelainan bawaan lahir maupun akibat dari
penyakit. Tipe disabilitas yang termasuk disabilitas mental adalah sebagai berikut.

a) Tipe E2 (tunalaras)

Tunalaras merupakan gangguan yang mengakibatkan menurunnya kemampuan bersosialisasi


atau berinteraksi sosial pada penyandangnya. Penyandang tunalaras tipe E2 mengalami
gangguan emosional dan penyimpangan tingkah laku.

b) Tipe F (tunagrahita)

Tunagrahita merupakan gangguan yang mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan terutama


pada bidang akademik pada penyandangnya.
3) Disabilitas ganda atau disabilitas fisik dan mental

Disabilitas ganda adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.
Tipe disabilitas yang termasuk disabilitas ganda adalah sebagai berikut.

a) Tipe G (tunaganda)

Tunaganda adalah keadaan dimana penyandangnya mengalami dua jenis gangguan sekaligus.

Anda mungkin juga menyukai