Disusun Oleh:
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Komparatif dengan membahas
tentang “Studi perbandingan pendidikan inklusi di Indonesia dan Australia”
dalam bentuk makalah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Aamiin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
C. Tujuan .......................................................................................................... 5
D. Manfaat ........................................................................................................ 5
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
pendidikan kita yang memag sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia itu
sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan Inklusi di Australia dan
Indonesia
2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia
3. Bagaimana perbandingan pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan
Indonesia
C. Tujuan
1. Mengetauhi sejarah perkembangan pendidikan inklusi di Australia dan
Indonesia
2. Mengetahui pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia
3. Mengetahui perbandingan pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia
dan Indonesia
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui perbandingan
pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia serta menjadi
referensi pembaca.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
(Loreman, Deppeler, & Harvey, 2005) . Pada awal 1970-an, Laporan
Karmel (Kannel, 1973), Sekolah di Australia, merekomendasikan
dukungan pemerintah untuk integrasi, menghasilkan pendanaan
persemakmuran yang diarahkan ke sekolah-sekolah pemerintah pada
tahun 1974 dan diperluas ke sektor swasta pada tahun 1975. Pada tahun
1970-an, sementara mengakui rekomendasi dari laporan Karmel dan
deklarasi intemasional yang diberlakukan pada hak-hak anak, diskusi
dimulai tentang meningkatkan penempatan kelas reguler untuk anak-
anak penyandang cacat. Baru pada tahun 1981 upaya utama pertama
untuk mempromosikan penerimaan dan integrasi penyandang cacat
yang lebih besar terjadi dalam skala besar di Australia (Tahun
Penyandang Disabilitas Internasional). Pada akhir tahun 1981 setiap
yurisdiksi di Australia memiliki kebijakan tentang siswa penyandang
cacat dan gagasan integrasi adalah perlahan-lahan, mulai menjadi
kenyataan di sekolah-sekolah (Carroll, Forlin, & Jobling, 2003). Sejak
saat itu telah terjadi momentum yang paralel dan semakin meningkat
untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam arus utama
semua aspek masyarakat. Integrasi anak-anak penyandang cacat
mengharuskan anak-anak didaftarkan di fasilitas atau kelas terpisah di
sekolah reguler, dan kemudian diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pengaturan utama. Beberapa negara seperti Australia Barat
(WA), misalnya, mendirikan fasilitas pendidikan khusus yang disebut
Pusat Dukungan Pendidikan (ESC) di situs sekolah reguler dalam upaya
untuk mendorong interaksi yang lebih erat di antara para siswa mereka.
ESC ini bersifat otonom dengan kepala sekolah dan staf pengajar yang
terpisah dan bergantung pada kedua staf yang bekerja sama untuk
membentuk program integrasi mereka sendiri. Integrasi siswa
penyandang cacat masih terjadi pada tahun 2006 di sebagian besar
negara bagian di Australia, dengan gelar dan hasil yang cukup
bervariasi karena terus bergantung pada pengaturan independen di
setiap situs sekolah.
7
Pergeseran ini diikuti oleh era pengarusutamaan. Di Australia, ini
berarti bahwa siswa penyandang cacat dan yang lain didefinisikan
sebagai memiliki kebutuhan pendidikan khusus semakin terdaftar di
sekolah reguler lokal mereka tetapi dapat ditarik untuk bagian dari hari
sekolah untuk menerima program intervensi intensif oleh seorang guru
dukungan spesialis. Opsi ini juga ditemukan di sekolah-sekolah pada
tahun 2006 dan biasanya ditentukan oleh sekolah mempertimbangkan
apakah sekolah tersebut mampu menyediakan untuk siswa sebelum
menawarkan mereka penempatan umum. Setelah dukungan untuk
Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1994), fokus untuk pendidikan telah
secara bertahap berubah ke arah gerakan inklusi yang mengakui bahwa
sekolah harus mendukung semua anak di distrik mereka terlepas dari
perbedaan mereka, sehingga mencerminkan keseimbangan normatif
budaya, ras, etnis dan tingkat kemampuan. Ini adalah pandangan yang
berlawanan dari pendekatan arus utama yang mempertimbangkan
apakah mereka dapat menawarkan akomodasi yang sesuai untuk siswa
daripada bagaimana mereka bisa. Sementara gerakannya jelas menuju
pendekatan yang lebih inklusif, berbagai opsi penyediaan layanan untuk
anak penyandang cacat dan kebutuhan lainnya masih ditawarkan.
Australia, seperti kebanyakan negara, memandang inklusi sebagai
masalah kecacatan, dengan hampir semua wilayah mempertahankan
suatu bentuk pendidikan khusus yang terpisah. Australia telah
bergabung dengan negara-negara lain dalam upaya global untuk
mempromosikan partisipasi yang setara dan aktif dari semua
penyandang disabilitas, dengan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-
hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2008.
Komitmen Australia juga tercermin dalam Undang-undang
Diskriminasi Disabilitas 1992 dan dalam penetapan Standar Disabilitas
untuk Pendidikan 2005 (Standar) yang memperjelas dan menguraikan
kewajiban hukum yang terkait dengan pendidikan inklusif. Semua
penyedia pendidikan diwajibkan untuk menyadari dan menerapkan
8
Standar untuk memungkinkan siswa penyandang cacat menerima
pendidikan yang setara dengan siswa lain.
b. Indonesia
Republik Indonesia (RI), umumnya disebut Indonesia, adalah
negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di
antara benua Asia dan Australia serta samudera Pasifik dan Samudera
Hindia.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.504 pulau, nama alternatif yang biasa dipakai
adalah Nusantara. Dengan populasi Hampir 270.054.853 juta jiwa pada
tahun 2018, berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 230 juta
jiwa. Bentuk pemerintah Indonesia adalah republik dengan DPR,
DPRD dan Presiden dipilih langsung oleh rakyatnya,
Sebelum muncul sistem pendidikan inklusi, pada tahun 1944
pendidikan segregasi atau pendidikan khusus bagi abk dipandang
sebagai sistem pendidikan yang dapat memfasilitasi kelompok
minoritas. Pendidikan khusus yang awalnya dipandang sebagai sistem
pendidikan yang paling sesuai untuk anak berkebutuhan khusu. seiring
semakin berkembangnya kesadaran dan tingkat perkembangan zaman
tentang hak asasi manusia, masyarakat mulai berfikir tentang
pentingnya pendidikan yang tidak membatasi suatu golongan/kaum
minoritas khususnya anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi
menjadi sistem pendidikan yang sesuai bagi semua kalangan. Proses
menuju pendidikan inklusif di indonesia diawali pada awal tahun 1960
oleh beberapa orang siswa tunanetra di bandung dengan didukungan
organisasi para penyandang tunanetra. Pada masa itu slb khusus
penyandang tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga
tingkat SMP. Sesudah itu siswa tunanetra diberi latihan kejuruan dalam
bidang kerajinan tangan atau pijat. Namun beberapa siswa tunanetra
bersikukuh untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi
9
yaitu SMA reguler walaupun ada upaya penolakan dari pihak SMA
sendiri. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan sikap masyarakat
terhadap hambatan dan beberapa sekolah reguler bersedia menerima
siswa berkebutuhan khusus.
Pada akhir tahun 1970 pemerintah mulai memperhatikan tentang
pentingnya pendidikan secara integrasi dan menjalin kerjasama bersama
yayasan Helen Keller International, Inc. Untuk membantu
mengembangkan sitem sekolah integrasi. Dari kerjasama ini
memunculakan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nomor
002/U/1986 tentang pendidikan terpadu bagi anak cacat yang mengatur
bahwa penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi
kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebayanya yang
normal di sekolah reguler. Sayangnya ketika program pendidikan
integrasi berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang
dipraktekan, terutama di jenjang SD. Pengertian dari pendidikan
integrasi yaitu proses memasukkan anak berkebutuhan khusus ke dalam
sekolah reguler atau biasa disebut mainstreaming, istilah yang sering
dipakai di amerika.
Menjelang akhir tahun 1990 upaya baru dilakukan lagi untuk
mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerjasama antara
depdiknas dan pemerintah Norwegia dibawah menejemen Braillo
Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan yang
sama dimasa lalu dengan pendidikan integrasi yang hampir berhenti,
perhatian diberikan pada proses pelaksaan pendidikan inklusi. Seiring
dengan berkembangnya tuntutan kelompok berkebutuhan khusus dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong
terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights
of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada
Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap
negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan
inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya
10
adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh kelompok
berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam
prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan
persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan.
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya
sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan
dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat
mendukung terhadap anak berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar
dari interaksi antara teman-teman sebayanya yang berkebutuhan khusu
atauapun normal terutama dari aspek sosial dan emosional. Sedangkan
bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada
mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian.
11
diagnosis yang lebih baik, perubahan kriteria untuk label cacat dan
peningkatan jumlah anak-anak penyandang cacat. Sedangkan
peningkatan ini adalah penyebab untuk eoncem, hasil yang relevan
adalah bahwa persentase anak-anak penyandang cacat termasuk di
sekolah reguler sebagai proporsi dari semua yang diidentifikasi dengan
kecacatan meningkat dari 7,8% pada tahun 1988 menjadi 47% pada
tahun 2002. Demikian pula, di WA, dari 10.108 siswa pada Juli 2004
yang diidentifikasi dengan kecacatan intelektual hanya 4,7% yang
terdaftar di sekolah khusus dengan 36% berada di pengaturan utama (ini
juga termasuk mereka yang berada di kelas terpisah atau ESU). Sisanya
50,3% terdaftar di ESC di situs-situs sekolah reguler. Bersamaan
dengan pengurangan siswa yang menghadiri sekolah-sekolah khusus,
terjadi penurunan serupa pada jumlah sekolah khusus yang bertahan.
Banyak yang telah ditutup dengan sisa murid yang dipindahkan ke
fasilitas pendidikan khusus lainnya atau sekolah regular.
Keberhasilan pengembangan sekolah inklusi melibatkan :
memahami dan mengakui inklusi sebagai proses yang
berkelanjutan dan berkembang;
menciptakan lingkungan belajar yang merespon kebutuhan semua
peserta didik untuk mencapai dampak terbesar pada perkembangan
sosial, emosional, fisik dan kognitif mereka;
melakukan kurikulum yang luas, relevan, sesuai dan merangsang
yang dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan beragam
peserta didik;
memperkuat dan mempertahankan partisipasi murid, guru, orang
tua dan anggota masyarakat dalam pekerjaan sekolah;
memberikan pengaturan pendidikan yang berfokus pada
mengidentifikasi dan mengurangi hambatan untuk belajar dan
partisipasi;
merestrukturisasi budaya, kebijakan dan praktik di sekolah untuk
menanggapi keragaman murid di dalam wilayah;
12
mengidentifikasi dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk
guru, staf dan murid lain;
guru terlibat dalam pelatihan yang sesuai dan pengembangan
profesional untuk semua staf ; dan
memastikan ketersediaan informasi yang sepenuhnya transparan
dan dapat diakses tentang kebijakan dan praktik inklusif di sekolah
untuk murid, orang tua, staf pendukung, dan orang lain yang
terlibat dalam pendidikan siswa (Winter & O’Raw, 2010, hal. 24)
Kepemimpinan. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa
tanpa kepemimpinan yang efektif untuk pendidikan inklusif,
keberhasilan akan sulit dicapai. Pemimpin harus menjadi
pendukung inklusi yang memiliki pengetahuan yang memberikan
dukungan kepedulian untuk staf mereka (Hoppey & McLeskey,
2013; Jones, Forlin, & Gillies, 2013).
Guru. Guru harus menerima kepemilikan proses dan komitmen
untuk semua anak di kelas. Selain itu, guru harus menjadi praktisi
yang sangat terampil (Florian, 2012; Smith & Tyler, 2011).
Keyakinan dan sikap guru. Sikap positif harus jelas jika pendidikan
inklusif menjadi sukses, dan guru harus percaya bahwa semua
siswa. Mampu belajar dan berkontribusi terhadap komunitas kelas
dengan cara positif (Jordan, Glenn & McGhie-Richmond, 2010;
Sharma, 2012).
Pelatihan guru. Tingkat kemahiran guru yang tinggi untuk praktik
inklusif harus dalam bukti. Untuk mencapai hal ini, pendidikan
guru yang memadai harus disediakan, dan guru harus mengambil
kepemilikan atas pembelajaran mereka sendiri dan mencari peluang
untuk pertumbuhan profesional (Pijl, 2010; Smith & Tyler, 2011).
Sejumlah kerangka kerja telah diusulkan dan prosedur
diberlakukan untuk meningkatkan pendidikan guru dalam jabatan
untuk mendukung ruang kelas inklusif. Pemerintah Australia telah
mengalokasikan dana ekstensif untuk Program Kualitas Guru
(AGQTP). Di WA misalnya, di bawah AGQTP mereka telah
13
memprakarsai strategi Building Inclusive Schools yang telah
menghasilkan serangkaian lokakarya bagi para pemimpin dan guru
yang berfokus pada pengembangan praktik inklusif dalam kerangka
kerja yang bisa diterapkan.
Kebutuhan guru. Ini dapat termasuk perencanaan waktu, pelatihan,
sumber daya personil, sumber daya material, ukuran kelas, dan
pertimbangan tingkat keparahan kecacatan (Eisenman, Pleet,
Wandry, & McGinley, 2011).
Asisten pengajar. Asisten pengajar yang terlatih dan
berpengetahuan sangat membantu dalam memfasilitasi inklusi,
karena mereka bekerja di bawah arahan guru kelas (Symes &
Humphrey, 2011).
Keterlibatan keluarga. Keterlibatan keluarga merupakan elemen
penting dan penting dalam keberhasilan pendidikan inklusif.
Kolaborasi sekolah-rumah yang benar diperlukan untuk sukses
(Stivers, Francis-Cropper, & Straus, 2008).
Suara anak itu. Keterlibatan dan keterlibatan aktif anak adalah
bagian penting dari proses. Pendidikan bukan lagi sesuatu yang
dilakukan untuk anak-anak, tetapi sebuah proses yang anak-anak
miliki dan harus secara aktif berpartisipasi dalam (Messiou, 2012).
Kurikulum. Kurikulum yang fleksibel dan penggunaan instruksi
dan rencana individual merupakan elemen penting dari program
inklusi yang sukses (Osberg & Biesta)
Seperangkat pedoman telah dikembangkan oleh UNESCO
untuk membantu negara-negara dalam memperkuat inklusi dalam
strategi dan rencana mereka (UNESCO, 2009). Panduan ini
menyarankan serangkaian 51 tindakan kebijakan inklusif di 13
wilayah yang menjadi perhatian kebijakan (lihat Apendiks C
untuk daftar lengkap). Pada tahun 2010, UNESCO dan Badan Eropa
untuk Pembangunan dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus (EADSNE,
2010) berkolaborasi untuk menghasilkan proyek Inklusif Pendidikan
dalam Tindakan yang ditetapkan untuk mengidentifikasi bagaimana
14
berbagai daerah menangani panduan ini melalui praktik inklusif yang
baik (EADSNE, 2010). Hasilnya adalah situs web yang menyoroti
bagaimana sistem dan sekolah yang berbeda dapat menjembatani
kesenjangan antara kebijakan dengan praktik dengan mencontohkan
pilihan tindakan kebijakan yang disarankan (lihat Lampiran C untuk
tautan). Hal ini juga memberikan indikasi yang jelas tentang perbedaan
besar dalam cara di mana inklusi sedang didefinisikan dan
dipraktekkan secara global dan tantangan yang dihadapi kawasan
dalam mengidentifikasi dan mengukur 'praktik yang baik'.
15
Kebijakan inklusif dan layanan dukungan yang tersedia bagi
siswa penyandang cacat di negara bagian dan teritori Australia
Keterangan :
16
Inklusi penuh, menunjukkan penempatan penuh waktu dalam
pengaturan ruang kelas utama, dengan partisipasi penuh dalam
kurikulum dan kegiatan kelas itu (Underwood, 2012).
Partial Inklusi menunjukkan siswa memiliki opsi penempatan
di unit khusus atau kelas (atau dalam beberapa contoh sejumlah
kelas - yang dikenal sebagai pusat khusus) yang ada di dalam
dasar fisik sekolah umum. Para siswa dapat menghabiskan
sebagian dari hari sekolah di kelas utama, atau waktu istirahat
dengan siswa arus utama (Cummings, 2012).
Sekolah Khusus Terpisah menunjukkan bahwa siswa
ditempatkan di lingkungan yang terpisah, sering secara fisik
maupun pendidikan, sekolah umum lokal siswa. Sekolah
khusus umumnya melayani siswa yang memiliki cacat sedang
sampai berat dan memiliki kriteria masuk khusus.
17
diidentifikasi kemungkinan besar selalu berada di pengaturan utama
(Dempsey, 2011).
Penyediaan sekolah di NSW terdiri dari akses ke sekolah-sekolah
khusus, kelas-kelas dalam sekolah reguler dan pendanaan untuk
mendukung siswa di kelas reguler (NSW Government, 2012). Laporan
terbaru yang disusun oleh Dewan Legislatif NSW (2010) menjelaskan
dukungan untuk siswa penyandang cacat di sekolah umum yang terdiri
dari
“... tim dukungan pembelajaran sekolah, Program Bantuan
Pembelajaran, Program Dukungan Pendanaan Integrasi,
Koordinator Dukungan Pembelajaran Sekolah, dan
Program Dukungan Pembelajaran Sekolah yang diusulkan
”(hal. 17). Peran dari masing-masing dukungan ini adalah
untuk membantu guru kelas untuk beradaptasi dan
memodifikasi kurikulum dan lingkungan untuk memastikan
mereka dapat diakses dengan tepat oleh siswa penyandang
cacat.”
18
Perencanaan transisi untuk siswa penyandang cacat di NSW telah
menjadi fokus dari laporan terbaru Dewan Penasihat Dewan Legislatif
(2012) tentang dukungan transisi bagi siswa penyandang cacat. Komite
Tetap menemukan ada kebijakan terbatas khusus yang berkaitan
dengan transisi untuk siswa penyandang cacat, dan ini terutama pada
tahap awal atau tengah masa kanak-kanak. Departemen Pendidikan
dan Komunitas NSW (NSW DEC) mempekerjakan Dukungan Transisi
Guru untuk membantu siswa penyandang cacat dan keluarga mereka
untuk mengembangkan rencana transisi untuk opsi pasca sekolah dan
untuk menghubungkan mereka dengan layanan di luar sekolah,
meskipun beberapa pengajuan ke Legislatif Dewan mengindikasikan
layanan ini langka dan sulit diakses. Di dalam sekolah, siswa
penyandang cacat mungkin dapat mengakses program pelatihan VET
melalui kemitraan dengan lembaga TAFE lokal (NSW DEC, 2013).
Departemen Penuaan, Cacat, dan Perawatan Rumah NSW (2013)
mengoordinasikan sejumlah program pilihan pasca sekolah bagi
penyandang disabilitas muda, termasuk transisi ke program kerja dan
partisipasi masyarakat.
Victoria Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (DEECD, 2013a)
di Victoria menyatakan bahwa
“… berkomitmen untuk memberikan sistem pendidikan
inklusif yang memastikan semua siswa memiliki akses ke
pendidikan berkualitas yang memenuhi beragam kebutuhan
mereka” (hal. 4).
Siswa penyandang cacat dapat mengakses berbagai opsi
penempatan termasuk inklusi di kelas reguler, dan sekolah khusus.
Ada lebih dari 80 sekolah khusus di Victoria (Asosiasi Sekolah Dasar
Khusus, Victoria, 2009), melayani siswa dengan berbagai kecacatan,
termasuk tuli, autisme, cacat intelektual, dan kesulitan emosional dan
perilaku. Dukungan utama di Victoria diberikan melalui Program
untuk Siswa dengan Disabilitas (DEECD, 2013a), yang merupakan
program pendanaan tambahan untuk sekolah, menargetkan siswa
dengan cacat sedang sampai berat. Penilaian adalah komponen awal
19
dari program ini, dan disediakan melalui agen eksternal untuk
menentukan kelayakan untuk dukungan ekstra. Kuesioner
berdasarkan kebutuhan digunakan untuk menentukan tingkat dukungan
pendidikan yang diperlukan (DEECD, 2013b). Sebagai bagian dari
Program untuk Siswa dengan Disabilitas, sumber daya telah
dikembangkan untuk mendukung guru dalam mempersiapkan program
yang sesuai. Kemampuan Belajar Berbasis dan Dukungan Pendidikan
(ABLES) menyediakan guru
“… dengan akses ke alat penilaian, laporan individu, dan
bimbingan tentang strategi pengajaran dan sumber daya
yang akan memungkinkan mereka untuk merencanakan dan
mengajar secara efektif untuk kebutuhan individu siswa
penyandang cacat dan kebutuhan belajar tambahan
”(DEECD, 2011, hlm. 5).
Dukungan lain yang tersedia di sekolah termasuk psikolog, pekerja
sosial, pekerja muda, ahli patologi wicara, dan pengajar berkunjung.
Program identifikasi dan intervensi awal khusus disediakan untuk
memastikan siswa dapat mengakses dukungan sedini mungkin. Siswa
penyandang cacat di tingkat menengah atas dapat mengakses berbagai
program yang mempersiapkan mereka untuk pengalaman pasca
sekolah, termasuk: Victorian Certificate of Applied Learning,
Sertifikat Pendidikan Victoria (VCE), Program Sekolah Khusus,
Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Sekolah (VETiS), Program pra-
magang , sekolah berbasis magang, dan traineeships pembelajaran di
tempat kerja.
Queensland
Departemen Pendidikan dan Pelatihan Queensland (DET, 2012a)
menyediakan berbagai pilihan sekolah termasuk program
pengembangan anak usia dini, kelas reguler, program khusus, dan
sekolah khusus. Kebijakan inklusi dipromosikan oleh DET yang
menunjukkan bahwa semua guru memiliki tanggung jawab untuk
“… menanamkan prinsip bahwa pendidikan inklusif adalah
bagian dari semua praktik sekolah Pendidikan Queensland,
untuk semua siswa melalui sekolah mereka” (DET, 2012b).
20
Siswa penyandang cacat yang termasuk dalam sekolah reguler
dapat dibantu melalui layanan dukungan siswa yang dialokasikan ke
sekolah atau daerah (DET, 2013). Ini mungkin termasuk berbagai
dukungan seperti petugas pembimbing, guru spesialis, ahli patologi
wicara-bahasa, guru dukungan perilaku, asisten guru, teknologi bantu,
materi format alternatif dan ketentuan khusus untuk penilaian.
Program Penyesuaian Pendidikan (EAP) memberikan dukungan
pendanaan tambahan dalam kategori cacat gangguan spektrum
autisme, gangguan pendengaran, gangguan intelektual, gangguan fisik,
gangguan bahasa bicara dan gangguan penglihatan. Proses EAP
menggunakan profil kebutuhan siswa untuk menentukan tingkat
dukungan tambahan yang diperlukan untuk kurikulum, komunikasi,
partisipasi sosial dan kesejahteraan emosional, kesehatan dan
perawatan pribadi, dan keamanan dan lingkungan belajar / akses.
Di sekolah menengah, siswa penyandang cacat memiliki pilihan
untuk berpartisipasi dalam berbagai jalur:
“Sebagai bagian dari perencanaan untuk transisi ke opsi
pasca sekolah, siswa Queensland di Kelas 10 melengkapi
rencana Pendidikan dan Pelatihan Senior (SET). Pada
dasarnya, rencana SET mencakup apa tujuan siswa dan jalur
apa yang mereka ambil untuk mencapai tujuan tersebut
”(DET, 2012a, hlm. 36).
Persiapan dapat terdiri dari pilihan sekolah reguler dengan
dukungan, jalur VET, atau opsi pembelajaran individu.
Wilayah Ibu Kota Australia
Menurut Siswa yang Menyandang Disabilitas: Memenuhi
Kebijakan Kebutuhan Pendidikan mereka (Pendidikan & Pelatihan
ACT, 2008), sekolah-sekolah ACT adalah
“... diperlukan untuk membuat penyesuaian yang wajar bagi
siswa penyandang cacat pada saat pendaftaran dan selama
masa pendidikan mereka, memastikan mereka memiliki
dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil mengakses
dan berpartisipasi dalam kurikulum sekolah, program dan
kegiatan di perusahaan rekan sebaya mereka yang sama
”(hal. 1).
Siswa disediakan dalam berbagai pengaturan, termasuk ruang
kelas reguler, pusat intervensi awal, unit pendukung pembelajaran, dan
21
sekolah spesialis. Semua siswa berhak untuk mengakses sekolah lokal
mereka (Direktorat Pendidikan & Pelatihan ACT, 2013).
Untuk mengakses layanan di luar dukungan yang diterima di kelas
reguler, siswa penyandang cacat harus memenuhi kriteria tertentu,
yang meliputi penilaian kebutuhan di bidang akses (komunikasi,
mobilitas, kesehatan dan kesejahteraan, kondisi diet dan medis,
keselamatan) dan partisipasi (pengembangan sosial, partisipasi
kurikulum, komunikasi, perilaku, literasi dan berhitung) di dalam kelas
(Direktorat Pendidikan & Pelatihan ACT, 2010a). Proses penilaian
dilakukan dengan kepala sekolah, guru kelas, orang tua, dan moderator
departemen yang terlatih.
Meskipun sulit untuk mencari informasi spesifik tentang siswa
penyandang cacat di daerah menengah atas, informasi umum
menunjukkan ada kesempatan bagi siswa untuk mengakses berbagai
jalur termasuk peluang pendidikan lebih lanjut dan pelatihan
pendidikan kejuruan (ACT Education & Training Directorate, 2010b).
Australia Selatan
Departemen Pendidikan dan Pengembangan Anak Australia
Selatan (DECD, 2006) menyatakan bahwa Siswa dengan Kebijakan
Disabilitas
“… menyediakan kerangka kerja untuk penyampaian
praktik belajar mengajar, dan penyediaan layanan dan
dukungan, untuk memastikan bahwa semua siswa
penyandang cacat dapat menikmati manfaat pendidikan
dalam lingkungan yang mendukung yang menghargai
keragaman, inklusi, dan partisipasi ”(hal. 1).
22
Untuk memenuhi kriteria kelayakan untuk mengakses program khusus,
siswa harus memenuhi kriteria kecacatan di bidang gangguan spektrum
autistik, keterlambatan perkembangan global, cacat intelektual, cacat
fisik, cacat sensorik (pendengaran dan penglihatan), atau pidato dan /
atau cacat bahasa. Bukti harus diberikan sehubungan dengan
bagaimana kecacatan berdampak pada kemajuan dan partisipasi siswa
dalam kurikulum dan partisipasi mereka dalam komunitas sekolah
(DECD, 2007). Berbagai penilaian digunakan untuk menentukan
tingkat kebutuhan dan informasi siswa yang dikumpulkan dari
berbagai sumber, seperti dari psikolog.
DECD (2013b) memiliki proses yang terdefinisi dengan baik di
tempat bagi siswa sekolah menengah atas untuk mengakses program
dan layanan transisi. Program
"... fokus pada pelatihan ketenagakerjaan dan
pengembangan keterampilan sosial, kehidupan masyarakat,
kehidupan mandiri, dan keterampilan hidup pribadi" (Para.
2).
Program-programnya disampaikan melalui dua pusat transisi
khusus di seluruh negara bagian. Tautan juga disediakan untuk
informasi lebih lanjut tentang informasi rujukan untuk pusat transisi
dan opsi pasca sekolah bagi siswa penyandang cacat.
Australia Barat
Departemen Pendidikan (DoE) di Australia Barat (WA)
menyediakan berbagai opsi penempatan, berdasarkan kebutuhan dan
kelayakan pendidikan (DoE, 2013a). Ini termasuk pengaturan sekolah
reguler (dengan dukungan pengajar berkunjung, jika perlu), kelas
khusus, pusat khusus dan sekolah khusus. Untuk mengakses sekolah
dan pusat khusus, siswa harus memenuhi kriteria kelayakan yang
dijelaskan dalam Kerangka untuk Kriteria Kelayakan dan Proses
Pendaftaran di Sekolah dan Pusat Dukungan Pendidikan (DoE, 2008).
Schools Plus (DoE, 2013b) adalah kerangka kerja untuk menganalisis
kebutuhan siswa di bidang diferensiasi kurikulum, penilaian dan
pelaporan, perencanaan kolaboratif, komunikasi, kompetensi sosial,
perawatan kesehatan, mobilitas dan positioning, kebersihan toilet,
23
manajemen makan, pengaturan diri dan ketahanan , dan kesehatan
mental. Ada enam tingkat kebutuhan dalam masing-masing 11 dimensi
ini. Layanan Pelajar Manajer, dalam konsultasi dengan kepala sekolah
dan pihak terkait lainnya, memverifikasi kelayakan siswa untuk
mengakses sekolah atau pusat khusus (DoE, 2008). DoE in WA baru-
baru ini memperkenalkan Sekolah Kebutuhan Pendidikan Khusus:
Disabilitas (SSEND) yang
“… berkomitmen untuk membangun kapasitas guru dan staf
berbasis sekolah untuk memberikan program kelas yang
efektif yang menghargai keberagaman siswa dalam
lingkungan pembelajaran yang inklusif” ( DoE, 2013c, para.
1).
24
Filosofi ini diterjemahkan ke dalam pilihan bagi orang tua untuk
memilih pengaturan pendidikan yang mereka rasa akan paling
memenuhi kebutuhan anak mereka. Pengaturan yang tersedia termasuk
kelas reguler dengan dukungan (konsultan atau penarikan) dan fasilitas
pendidikan khusus. Saat ini ada empat sekolah khusus, 10 pusat khusus
dan enam unit khusus (termasuk dua untuk siswa yang berbakat) yang
disetujui oleh NT DET (2012a).
Untuk mendaftar di sekolah khusus atau pusat khusus, seorang
siswa harus memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata, defisit
dalam perilaku adaptif, dan memerlukan bantuan intensif untuk
mengakses kurikulum (DET, 2011). Bukti harus disediakan untuk
mendukung kelayakan siswa untuk pendaftaran. Ini mungkin terdiri
dari laporan dari psikolog atau tes diagnostik yang dilakukan oleh
sekolah. Manajer Kesehatan Mental dan Perlindungan Anak dan
kepala sekolah bekerja sama untuk menentukan apakah informasi yang
disajikan memungkinkan anak memenuhi kriteria untuk pendaftaran.
Pilihan yang komprehensif ada untuk siswa di NT dalam hal
transisi dari sekolah menengah ke sekolah menengah atas, dan sekolah
menengah ke tempat kerja atau masyarakat. Transisi dari program
sekolah
“… membantu transisi siswa dengan kecacatan dari
pengaturan pendidikan utama dan khusus ke pendidikan
lebih lanjut, pekerjaan dan kehidupan dewasa” (DET,
2012b, para. 1).
Bagan alur transisi menggambarkan proses yang terlibat dalam
mengakses dukungan dan informasi dan kelompok dukungan transisi
tersedia di seluruh wilayah.
Tasmania
Penyediaan untuk siswa penyandang cacat di Tasmania terdiri dari
mendaftarkan siswa penyandang cacat di sekolah setempat (lebih
disukai) atau sekolah khusus (Departemen Pendidikan [DoE], 2013):
“Pendaftaran di sekolah khusus akan dipertimbangkan ketika diminta
oleh orang tua dan ketika anak memiliki kecacatan yang signifikan dan
dapat diidentifikasi yang mencakup kecacatan intelektual sedang
25
sampai berat; dan ketika anak memenuhi syarat untuk ditempatkan
pada Daftar Siswa dengan Cacat Berat ”(DoE, 2012, hlm. 10).
Daftar untuk Siswa dengan Cacat Berat (DoE, 2013b) menjelaskan
secara mendalam kelayakan siswa, khususnya, siswa dengan diagnosis
gangguan spektrum autisme, cacat intelektual, cacat fisik atau
gangguan kesehatan, cacat ganda, cacat psikiatri, gangguan
penglihatan, atau tuna rungu atau tuna rungu. Penilaian berkumpul
untuk mendukung kelayakan siswa untuk pendanaan dan layanan
dengan mempertimbangkan fungsi siswa dalam berbagai lingkungan.
Komite penempatan membuat penentuan akhir pada penempatan
sekolah, termasuk pendaftaran di salah satu dari delapan sekolah
khusus.
Jalur untuk siswa penyandang cacat dalam pengaturan sekunder
mengikuti proses yang sama seperti itu untuk semua siswa. Pathway
Plan (DoE, 2013c) merinci rute yang akan diikuti siswa untuk
mencapai tujuan mereka. Beberapa dari jalur ini termasuk dukungan
transisi, magang berbasis sekolah, VET di sekolah, dan pusat pelatihan
perdagangan. Perencanaan individu memungkinkan untuk kebutuhan
individu siswa untuk diperhitungkan dan mendukung perkembangan
siswa dari pengaturan sekolah ke opsi posting sekolah (Disabilitas &
Layanan Komunitas, 2011).
Hasil pendidikan saat ini sedang dicapai oleh siswa penyandang
cacat di Australia.
Poin-poin penting:
Hasil pendidikan yang dicapai oleh siswa penyandang cacat di
Australia
Setiap negara bagian dan teritori memiliki pendekatan yang
berbeda untuk penilaian dan pelaporan untuk siswa
penyandang cacat. Kurangnya konsistensi berarti sulit untuk
menentukan apakah kemajuan yang tepat sedang dibuat oleh
26
siswa dengan berbagai tingkat kecacatan, apa hasil yang sedang
dicapai, dan tingkat di mana hasil dicapai.
Siswa penyandang disabilitas saat ini kurang terwakili dalam
pengujian dan pengukuran akuntabilitas nasional dan negara
bagian.
Di kebanyakan yurisdiksi, siswa dengan kecacatan yang
signifikan memiliki akses ke kurikulum alternatif atau yang
disesuaikan. Namun, pelaporan hasil dari kurikulum alternatif
semacam itu tidak konsisten dan tidak selalu mencerminkan
'nilai' yang mungkin diperoleh siswa dari sekolah mereka.
Penilaian siswa yang tidak konsisten dengan kecacatan berarti
hasil untuk siswa-siswa ini tidak diketahui dan tidak termasuk
dalam pengambilan keputusan mengenai pengujian nasional
dan negara bagian dan perencanaan selanjutnya yang terjadi di
sekitar pengujian ini. Menurut Mitchell (2010),
"Bagaimana mengukur kinerja pendidikan siswa dengan
kebutuhan pendidikan khusus dengan validitas dan reliabilitas
adalah salah satu tantangan kontemporer utama yang dihadapi
para pendidik di seluruh dunia" (hal. 71).
Dalam hal menilai hasil pada kemajuan siswa melalui
Kurikulum Australia, Australian Curriculum Assessment and
Reporting Authority (ACARA, 2013) menyarankan guru harus
menilai siswa terhadap standar pencapaian atau terhadap
sasaran individu. Juga dinyatakan bahwa setiap negara bagian
dan teritori mungkin memiliki pendekatan yang berbeda untuk
penilaian dan pelaporan. Kurangnya konsistensi di seluruh
negara bagian dan wilayah, bagaimanapun, dapat menyebabkan
kesulitan dalam menentukan apakah kemajuan yang tepat
sedang terjadi dibuat oleh siswa dengan berbagai tingkat
kecacatan (Cumming & Dickson, 2013). Alternatif bentuk
penilaian untuk siswa penyandang cacat termasuk penilaian
fungsional (Eagar, Green, Gordon, Owen, Masso & Williams,
27
2006), penilaian portofolio (Departemen Pendidikan WA,
2013), penilaian yang dimodifikasi (Davies, 2012), dan
pengujian akomodasi dan modifikasi (Davies & Elliott, 2012).
Dengan keragaman dalam mengukur hasil, sangat sulit untuk
memastikan dengan konsistensi apa pun hasil yang dicapai oleh
siswa penyandang cacat di Australia.
Standar pertanggungjawaban pendidikan bagi siswa
penyandang disabilitas tampak jauh lebih sedikit daripada
untuk siswa reguler, karena banyak siswa yang tampaknya
tidak berpartisipasi dalam ujian nasional. Saat ini juga tidak ada
persyaratan hukum bagi sekolah untuk menggunakan penilaian
alternatif seperti Rencana Pendidikan Individual (IEPs) untuk
siswa penyandang cacat (walaupun Tinjauan Standar
Disabilitas untuk Pendidikan 2005 [DEEWR, 2013a] baru-baru
ini menyarankan bahwa ini dapat menjadi fokus dalam masa
depan).
Siswa dengan kecacatan yang signifikan di sekolah menengah
mungkin, sama, tidak memenuhi syarat untuk sertifikat
sekunder yang diberikan sebagian besar yurisdiksi, karena
mereka sering tidak memenuhi kriteria yang disyaratkan
(misalnya, DECD, 2013b; DET QLD, 2012a; NT DET, 2012b
). Pada beberapa kesempatan, siswa dapat terus mengumpulkan
poin menuju sertifikat, atau mereka mungkin memenuhi syarat
untuk sertifikasi alternatif, terutama jika mereka berada pada
program individual.
b. Indonesia
Penyelenggaraan sekolah inklusi memang tidak sesederhana
menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan dilapangan menunjukan
kondisi anak berkebutuhan khusus yang diterima belum sesuai dengan
kebijakan, seperti dalam hal penerimaan jenis kekhususan, tingkat
kecerdasan yang masih dibawah rata, belum ada penentuan batas
jumlah siswa yang diterima, serta belum memiliki sarana prasaranan
28
khusus. Dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus, orangtua
siswa regular, maupun masyarakat baru berupa dukungan moral.
Padahal seharusnya dukungan yang dibutuhkan berupa dukungan
material maupun keterlibatan langsung dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah
belum merata di semua daerah dan masih sangat terbatas, baik dalam
bantuan teknis (keterlibatan dalam pelaksanaan : monitoring,
pembimbingan maupun evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusi)
maupun bantuan non-teknis (dana maupun peralatan). Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular
dalam kelompok khusus.
Namun dalam hal layanan pendidikan. Indonesia juga menerapkan
model-model pembelajaran inklusi. Model-model pembelajaran dalam
sekolah inklusi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan peserta didik,
baik yang normal maupun disable (ABK) yang dikutip dari (abd
Khaidir : 14-15):
1. Model kelas regular/inklusi penuh, yaitu ABK yang tidak
mengalami gangguan intelektual signifikan dapat mengikuti
pembelajaran di kelas biasa. Model pembelajaran ini dilaksanakan
dengan cara mengumpulkan atau mencampurkan peserta didik
ABK dengan peserta didik normal lainya.
2. Model Cluster, yaitu: ABK dikelompokkan tersendiri. Dalam
pembelajaran model ini semua peserta didik tanpa kecuali belajar
bersama-sama, walaupun bagi ABK perlu didampingi seorang
pendamping agar ABK dapat menerima pembelajaran
sebagaimana layaknya anak normal. Pendamping ini memberikan
layanan khusus ketika ABK mengalami kesulitan dan hambatan
dalam belajarnya.
3. Model Pull Out, yaitu: ABK dipindahkan ke ruang khusus untuk
mendapatkan pelajaran tertentu dan didampingi guru khusus.
Tidak selamanya peserta didik ABK dapat belajar bersama
sepanjang waktu dengan peserta didik yang normal. Pada bagian-
29
bagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khsusus
kepada peserta didik ABK disebabkan terjadinya kesenjangan
yang serius bilamana harus belajar secara bersamaan dengan
semua peserta didik. Pada waktuwaktu tertentu peserta didik
ABK ditarik dari kelas 30 egular untuk diberi layanan khusus
dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai
dengan kebutuhan mereka. Masing-masing peserta didik yang
memerlukan layanan khusus dibimbing oleh seorang pendamping
khusus pula sesuai dengan keperluannya.
4. Model Cluster and Pull Out, yaitu kombinasi antara model cluster
dan pull out. Model pembelajaran ini diimplementasikan dengan
cara bahwa pada waktu-waktu tertentu ABK dikelompokkan
tersendiri, tetapi masih dalam satu kelas 30 egular dengan
pendamping khusus. Pada waktuwaktu yang lain ABK
ditempatkan di kelas/ruang lain untuk diberi layanan khusus
dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai
dengan kebutuhan mereka.
5. Model Kelas khusus, yaitu: sekolah menyediakan kelas khusus
bagi ABK, namun untuk beberapa kegiatan pembelajaran tertentu
semua peserta didik digabung dengan kelas 30egular. Kelas ini
adalah kelas yang hanya menampung peserta didik ABK secara
penuh. Namun pada waktu-waktu tertentu ABK diperkenankan
bergabung dengan peserta didik normal. Keunikan kelas semacam
ini ialah kelas-kelas untuk ABK tidak jauh dari kelas-kelas
regular, bahkan masih berada dalam satu komplek atau satu
gedung yang sama dengan kelas normal. ABK bisa berinteraksi
dengan peserta didik normal secara tidak langsung di dalam kelas
dan berinteraksi secara langsung ketika berada di luar kelas.
6. Model Khusus Penuh, yaitu sekolah menyediakan kelas khusus
ABK. Pembelajaran bagi ABK pada kelas khusus penuh ini ialah
peserta didik ABK belajar bersama dengan pseserta didik bagian-
bagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khsusus
30
kepada peserta didik ABK disebabkan terjadinya kesenjangan
yang serius bilamana harus belajar secara bersamaan dengan
semua peserta didik. Pada waktuwaktu tertentu peserta didik
ABK ditarik dari kelas 31 egular untuk diberi layanan khusus
dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai
dengan kebutuhan mereka. Masing-masing peserta didik yang
memerlukan layanan khusus dibimbing oleh seorang pendamping
khusus pula sesuai dengan keperluannya.
31
C. Perbandingan Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Australia dan Indonesia
Aspek Pendidikan Inklusi
Pembanding Australia Indonesia
Kurikulum Kurikulum regular, Kurikulum regular dengan
kurikulum modifikiasi, modifikasi
kurikulum alternatif
Bentuk layanan Inklusi penuh dan Model kelas regular/inklusi
pendidikan Partial Inklusi penuh, Model Cluster,
Model Pull Out, Model
Cluster and Pull Out, Model
Kelas khusus
Pelaksana layanan Pemerintah, Negeri dan Swasta
pendidikan Independen atau swasta
Prevalensi peserta Lebih mudah Sulit mengidentifikasi
didik diidentifikasi
Pendanaan 100% pihak pemerintah 20 % dari APBN dan APBD
dan hibah swasta
Kompetensi S1 lulusan FKIP sudah S1 lulusan FKIP atau murni
Mengajar bisa mengajar sudah pada umumnya
S1 lulusan PLB pada menjadi guru kelas.
umumnya menjadi S1 lulusan PLB pada
konsultan dan/ guru umumnya menjadi GPK.
kujung hanya jika
diperlukan
Jenjang pendidikan Primary, Secondary, SD,SMP,SMA,SMK,Sarjana
Tetriary, TAFE atau
UNIVERSITIES
Kualifikasi 1-10 1-9
Nasional
Evaluasi NAPLAN, Jika tidak UNBK regular, UN yang
memnuhi standar dikembangkan sendiri oleh
NAPLAN maka ada sekolah
32
penilaian alternatif
33
BAB III
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
Australian Institute for Teaching & School Leadership (2013, May). Initial
teacher education: Data report. Melbourne: Education Services Australia.
Retrieved from: http://www.aitsl.edu.au/initial-teacher-education/initial-
teacher-education.html.
Forlin, C., Loreman, T., Sharma, U., & Earle, C. (2009). Demographic
differences in changing pre-service teachers’ attitudes, sentiments and
concerns about inclusive education. International Journal of Inclusive
Education, 13(2), 195-209.
35
Khaidir. Abd (2015). PENYELENGGARAAN SEKOLAH INKLUSI DI
INDONESIA Jurnal Pendidikan Agama Islam. Volume 03, Nomor 01,
Mei 2015 Hal 14-15
Loreman, T., Deppeler, J.M., & Harvey, D.H.P. (2010). Inclusive education:
Supporting diversity in the classroom (2nd ed.). Sydney: Allen & Unwin.
36