Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum harus dijadikan dasar dan
pedoman untuk menentukan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Namun demikian, harus diakui bahwa dari dahulu sampai sekarang banyak pihak-pihak yang
mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik (political will) dan politik
hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tidak lagi
menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan kenyataan tersebut, diharapkan agar
kerangka pemikiran dalam makalah ini dapat dijadikan refleksi yang bertujuan untuk
mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik
hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Membahas mengenai politik hukum Indonesia tentu sangat erat kaitannya dengan
realita sosial dan tradisional yang terdapat di dalam negara Indonesia sebagai faktor internal
serta politik hukum internasional sebagai faktor eksternal. Perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak orde lama, orde baru sampai dengan orde
reformasi sekarang ini mengalami perubahan yang sangat besar terutama dalam rangka
mewujudkan tujuan gerakan reformasi di bidang hukum yang diimplementasikan melalui
beberapa kebijakan hukum diantaranya dengan melakukan perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945.
Meskipun terhadap UUD 1945 telah dilakukan amandemen beberapa kali, orientasi
pembangunan hukum harus tetap mencerminkan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan
demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan (crossroad) yang sangat
menentukan masa depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pengertian ini, apakah pemerintah dapat menjalankan peranan politik hukumnya
sebagai suatu political will untuk membangun hukum nasional yang berwawasan nusantara
dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk mempertahankan keutuhan
rakyat Indonesia. Oleh karena pada masa sekarang ini, faktanya masih terdapat produk
hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang bertolak belakang dengan cita-cita
bangsa tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat
inkonstitusional. Termasuk adanya pola-pola kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
peranan politik hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia
dan bertentangan dengan nilai-nilai hukum.

Rumusan Masalah
Bagaimana Tata hukum dan politik hukum di Indonesia?
PEMBAHASAN

Pengertian Tata Hukum

Tata hukum ialah semua peraturan-peraturan hukum yang diadakan/diatur oleh negara
atau bagiannya dan berlaku pada waktu itu seluruh masyarakat dalam negara itu. Jelasnya,
semua hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat
tertentu. Oleh karena itu ada sarjana yang mempersamakan tata hukum dengan Hukum
Positif atau Ius Constitutum.

Tata Hukum adalah susunan hukum yang berasal mula dari istilah rechts orde(bahasa
Belanda). Susunan hukum terdiri atas aturan-aturan hukum yang tertata sedemikian rupa
sehingga orang mudah menemukannya bila suatu ketika ia membutuhkan untuk
menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Tata Hukum yang berlaku
dalam masyarakat karena disahkan oleh pemerintah masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat
itu adalah masyarakat negara, yang mensahkan hukumnya adalah penguasa negara.

Tata Hukum Indonesia

Tata hukum suatu negara adalah tata hukum yang ditetapkan atau disahkan oleh negara
itu. Jadi tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah negara
Indonesia. Tata hukum Indonesia juga terdiri atas aturan-aturan hukum yang ditata atau
disusun sedemikian rupa, dan aturan-aturan diantara satu dan lainnya saling berhubungan dan
saling menentukan. Aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia berkembang secara
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Oleh
karenanya suatu aturan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan masyarakat perlu diganti
dengan yang baru. Perkembangan masyarakat tertentu diikuti oleh perkembangan aturan-
aturan yang mengatur pergaulan hidup sehingga tata hukum pun selelalu berubah, begitu pula
tata hukum Indonesia. Suatu tata hukum yang selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan
masyarakat di tempat mana tata hukum itu berlaku untuk memenuhi perasaan keadilan
berdasarkan kesadaran hukum masyarakat. Aturan-aturan yang ditata sedemikian rupa
menjadi ”tata hukum” tersebut antara satu dan lainnya saling berhubungan dan saling
menentukan.
Tujuan tata hukun ialah untuk mempertahankan, memelihara dan melaksanakan tata
tertib di kalangan anggota-anggota masyarakat dalam negara itu dengan peraturan-peraturan
yang diadakan oleh negara atau bagian-bagiannya.

Pandangan hukum dalam konteks Pancasila, ideologi dasar Indonesia, menyoroti


pengertian hukum yang melampaui aspek normatif semata. Dalam perspektif Pancasila,
hukum dipandang sebagai seperangkat prinsip dan norma yang menjadi pedoman dalam
interaksi manusia di masyarakat. Hukum dianggap sangat penting dalam menciptakan
kepastian dan keteraturan guna meningkatkan nasib dan kesatuan bangsa, serta berkontribusi
pada modernisasi hukum yang komprehensif. Peran hukum dipahami sebagai sarana untuk
memberikan perlindungan dan mengatur lembaga-lembaga guna mewujudkan implementasi
hukum.
Tujuan hukum dianggap sangat penting dan tak terpisahkan dari tujuan negara
sebagaimana diuraikan dalam konstitusi. Hukum dipandang sebagai perwujudan dasar negara
yang mencerminkan harapan filosofis para pendiri negara. Filosofi ini menggambarkan
Indonesia sebagai negara hukum di mana semua kekuatan di tanah Indonesia harus tunduk
pada hukum untuk menciptakan stabilitas politik yang berkelanjutan. Pentingnya kesetaraan
di depan hukum ditekankan, dengan menekankan bahwa instrumen hukum tidak boleh
menyebabkan disparitas atau diskriminasi berdasarkan status, agama, kekuasaan, keturunan,
atau status sosial.
Pentingnya filosofi hukum diakui sebagai peran kunci dalam pengembangan dan
modernisasi hukum. Ini melibatkan aspek-aspek seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi,
yang berkontribusi pada pemahaman sifat ilmu pengetahuan, pencarian kebenaran, dan nilai-
nilai normatif yang memandu perkembangan hukum.
Pancasila dianggap sebagai dasar dari filosofi hukum pada tingkat nasional dan harus
berorientasi serta berakar pada filosofi hukum Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila
memiliki sifat imperatif, berfungsi sebagai panduan dalam pembuatan dan pembinaan hukum
yang sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Pancasila juga dijelaskan sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara yang
berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, menjadi
ideologi yang memberikan cara pandang terhadap negara 1. Dalam rangkuman, filosofi hukum
di Indonesia, sebagaimana diuraikan dalam teks tersebut, memiliki akar yang dalam pada
Pancasila yang berfungsi sebagai ideologi penuntun bagi sistem hukum dan politik. Fokusnya
1
Andriawan, W. (2022). Judul Artikel. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, V(5), 1. DOI:
10.24090/VOLKSGEIST.V5I1.6361
adalah pada kesetaraan, supremasi hukum, dan peran filosofi hukum dalam membentuk
masyarakat yang adil dan stabil.
Suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya sendiri dan oleh sebab itu turut serta
sendiri dalam berlakunya tata hukum itu, artinya tunduk sendiri terhadap tata hukum itu.
Tiap-tiap tata hukum mempunyai struktur tertentu, yakni strukturnya sendiri. Masyakat yang
menerapkan dan menuruti tata hukum itu hidup, berkembang, bergerak, berubah.
Demikianpun tata hukumnya, sehingga strukturnya dapat berubah pula, oleh sebab itu
dikatakan, bahwa tata hukum mempunyai struktur terbuka. Tata hukum Indonesia ditetapkan
oleh masyarakatt hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu
adanya Tata Hukum Indonesia baru sejak lahirnya Negara Indonesia (17-08-1945). Pada saat
berdirinya Negara Indonesia dibentuklah tata hukumnya.

Pelaksanaan tata atau susunan itu berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia
terus berkembang. Oleh karena itu, tata hukum terdapat aturan hukum yang positif atau ius
constitutum, disamping aturan hukum sejenis yang pernah berlaku dan tetap dinamakan
sebagai hukum (recth). Dalam hukum positif di Indonesia, terdapat macam-macam tata
hukum di Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Hukum Tata Negara (HTN) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai


organisasi dalam mencapai tujuannya dalam kemasyarakatan

2. Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur


mengenai pengelolaan administrasi pemerintahan yang jika dalam arti luas bertujuan dalam
mengetahui cara tingkah laku negara dan alat-alat perlengkapan negara

3. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi setiap tingkah
laku manusia untuk memenuhi kepentingan (kebutuhan)nya atau mengatur kepentingan-
kepentingan seseorang.

4. Hukum Pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku
setiap manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum

5. Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur mengenai
cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum materal. Tata hukum
Acara atau hukum formal dibagi menjadi dua antara lain..
 Hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dalam cara
bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material
 Hukum acara perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai cara
bagaimana mempertahankan dan menjalankan mengenai peraturan hukum perdata
material.

Pengertian Politik Hukum


Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan
politiek. Istilah ini seyogyanya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang,
politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya
memiliki konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan dengan istilah lain
ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah Hukum Tata Negara. Untuk
kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van
het Staatrecht”.2
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi daripada hukum
yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.
Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan
hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).3
Pengertian politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu
pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.4
Adapun pendapat dari Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana), Pengertian politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan juga
diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pada bukunya yang lain "Hukum dan Hukum
Pidana" pengertian politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan
yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.5

2
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
19
3
Padmo Wahjono, "Indonesia Berdasarkan Atas Hukum", (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1986), hal. 160
4
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
29
Satjipto Rahardjo memberikan definisi Politik Hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.6

Pengertian Politik Hukum Nasional


Politik hukum nasional diartikan sebagai kebijakan dasar penyelanggara Negara
dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.
Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya politik hukum itu.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Negara
Republik Indonesia. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan politik hukum nasional
disini adalah kebijakan dasar penyelenggaraan Negara (Republik Indonesia) dalam bidang
hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan Negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari
pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu:
1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak
2. Penyelenggara Negara pembentuk kebijakan dasar tersebut
3. Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku
4. Proses pembentukan hukum
5. Tujuan politik hukum nasional.7

Tujuan Politik Hukum Nasional


Bila merujuk pada kalimat terkhir pengertian politik hukum nasional di atas, jelas
bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal
Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu:
1. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki
2. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang
lebih besar.8

5
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
27
6
Satjipto Rahardjo, "Ilmu Hukum", (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 191
7
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
58
8
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
59
Hubungan Hukum dan Politik
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita
berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat
oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan
hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut
pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik
maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik
tersebut.
Hubungan antara hukum dan politik memiliki dimensi yang kompleks, tergantung
pada perspektif yang diambil terhadap hukum dan politik itu sendiri. Pandangan non-
dogmatik mengenai hukum melihatnya bukan hanya sebagai peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan politik. Dalam pandangan ini, pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan
hukum dan kekuasaan politik masih relevan, karena hukum dipandang sebagai suatu entitas
yang memiliki eksistensi dan tujuan yang independen.
Di sisi lain, pandangan positif menyatakan bahwa hukum semata-mata merupakan
produk dari kekuasaan politik. Dalam konteks ini, identifikasi antara hukum dan politik
menjadi lebih tumpang tindih, sehingga pertanyaan tentang hubungan mereka tidak lagi
relevan karena dianggap sebagai satu kesatuan.
Prinsip-prinsip dasar hubungan antara hukum dan politik diatur dalam sistem
pemerintahan negara, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945. Prinsip negara
hukum (rechtstaat) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum, sementara pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental, sehingga
tak ada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut.
Menurut Moh. Mahfud MD, hukum dapat dianggap sebagai variabel yang tergantung
pada politik, sementara politik merupakan variabel yang mempengaruhi hukum. Dalam
konteks ini, hukum dipandang sebagai hasil atau respons dari kebijakan politik, dengan
politik sebagai variabel yang lebih dominan. Praktik pembuatan undang-undang di parlemen
menjadi contoh konkret, di mana hukum sebagai produk abstrak mencerminkan interaksi dan
persaingan kehendak politik yang beragam. Sidang parlemen bersama pemerintah merupakan
arena kontestasi di mana kepentingan dan aspirasi dari berbagai kekuatan politik berinteraksi
untuk mencapai keputusan politik yang kemudian menjadi undang-undang.
Hubungan antara hukum dan politik dapat dilihat sebagai saling mempengaruhi dan
bersifat dinamis. Meskipun hukum dapat dianggap sebagai hasil dari kebijakan politik, tetapi
sekaligus hukum juga menjadi instrumen untuk meregulasi dan membatasi kekuasaan politik,
menjaga hak-hak fundamental, dan menciptakan sistem yang adil dan berdasarkan hukum.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya
menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan
pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum
adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa
pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat
dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh),
sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan
hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum
itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian
sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen
bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya
merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat
terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.9
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik
menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu
dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya
terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan
politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum
dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan politik hukum juga
menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum
dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.
Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional
9
Moh. Mahfud MD, "Politik Hukum Indonesia", (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 10
Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk
mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, tidaklah
heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik. Hukum yang demikian ini akan lebih
mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog
untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Moh. Mahfud dalam disertasinya yang berjudul “Perkembangan Politik Studi tentang
Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” menunjukkan bahwa ada pengaruh
cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu,
kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU
No.12 Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan
peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai
yang urgen bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Hukum dan Kekuasaan


Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is
a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari
mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan
mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum.
Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak
lain dari produk politik atau kekuasaan.10

10
Achmad Ali, "Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis", (Jakarta: Gunung Agung, 2002),
hal. 56
Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan
forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil
sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh
penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk
mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini
merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-
aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.11
Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain
merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan
tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan untuk
anusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum itu sendiri
sebenarnya terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban
(duty) dan kedaulatan (sovereignty).
Pandangan realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai
perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi
oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam
kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem
kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politk yang
lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya peraturan hukum yang
tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak mampu menegakkan keadilan
dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang seharusnya menjadi tugas hukum
untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak produk hukum lebih banyak diwarnai
dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.
Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia,
bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam
pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan

11
Achmad Ali, "Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis", (Jakarta: Gunung Agung, 2002),
hal. 58
karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan
menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula dukungan
kekuasaan yang diperlukan.
Jika hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah
ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari
pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting
digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu
disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain yang harus
dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap
kepentingan masyarakat yang tinggi.
Dalam pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan
kekuasaan. Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping
sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah,
inteligensia dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh
arena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang
pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya
sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya
baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan
suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap
bentuk organisasi yang teratur.
Moh. Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri
kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya
selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan
khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual dan
kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada
kelompok yang ditundukkan, keempat kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang
memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai
elite penguasa dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan
mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi
perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan
melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang
konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif
(populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka
produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif/elitis). Perubahan konfigurasi politik
dari ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan
melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter akan
melahirkan produk hukum yang konservatif.
Dalam era reformasi saat ini, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai
banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam
mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi politik demokratis yang sedang
maraknya saat ini, agar tidak kebablasan maka perlu di ingat tentang tujuan politik nasional
Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut
kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan
tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.
PENUTUP

Kesimpulan
Politik dan Hukum merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-
masing melaksanakan fungsi-fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan
secara keseluruhan. Secara garis besar, hukum juga berfungsi melakukan social control,
dispute settlement and social engeneering atau inovation. Adapun Fungsi politik meliputi
pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making,
rule aplication, rule adjudication, interesttarticulation and aggregation) dan fungsi
kapabilitas (regulatif extractif, distributif and responsif).
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita
berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat
oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan
hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut
pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik
maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, "Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis", (Jakarta:
Gunung Agung, 2002)
Andriawan, W. (2022). Judul Artikel. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, V(5),
1. DOI: 10.24090/VOLKSGEIST.V5I1.6361
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2015)
Moh. Mahfud MD, "Politik Hukum Indonesia", (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
Padmo Wahjono, "Indonesia Berdasarkan Atas Hukum", (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1986)
Satjipto Rahardjo, "Ilmu Hukum", (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)

Anda mungkin juga menyukai