Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“Cloning Dilihat Dari Hukum Kesehatan”

Dosen Pembimbing :

Ambia Nurdin,SKM,s.pd,M.pd, M.kes

Di Susun Oleh :

Rismaliza (22181103)
Riska mahyuni (22181094)
M.aqil rizkullah (22181106)
Meli Sahara (22181113)
Ulfa verdina (22181116)
Sri Rahma Yeni (22181108)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Cloning Dilihat Dari
Hukum Kesehatan”. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan
untuk menyelesaikan tugas mata hukum perundangan kesehatan.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan,


baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini membantu teman-teman mengetahui


secara garis besar tentang sandi pramuka. Terima kasih kami ucapkan atas waktunya untuk
membaca makalah kami.

Banda Aceh, 20 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2

1.3 Tujuan..........................................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

2.1 Pengertian Kloning......................................................................................................3

2.2 Teknik Kloning............................................................................................................4

2.3 Jenis-jenis Kloning......................................................................................................5

2.4 Macam-macam kloning...............................................................................................7

2.5 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Hukum........................................................9

2.6 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Etika dan Moral........................................12

2.7 Aspek Legal Kloning Menurut Etika Profesi Kedokteran Obstetri dan Ginekologi
Indonesia....................................................................................................................15

BAB III....................................................................................................................................19

PENUTUP...............................................................................................................................19

3.1 Kesimpulan................................................................................................................19

3.2 Saran..........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ilmu pengetahuan, etika dan hukum merupakan beberapa norma yang mengatur
peradaban manusia. Seringkali ketiganya harus berhadapan dengan ilmu pengetahuan pada
posisi berseberangan, padahal ada banyak hal di dunia ini yang membutuhkan ketiganya agar
ilmu pengetahuan memiliki batasan atau pengendalian; tujuannya adalah memberikan rambu-
rambu kepada manusia supaya ilmu pengetahuan digunakan hanya untuk kebaikan dan hal-
hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum, tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar
kemanusiaan serta harkat dan martabat manusia itu sendiri (Sugiarto, 2011). Bereproduksi
merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling awal. Sejak zaman pembentukan
manusia, manusia sudah melakukan kegiatan reproduksi. Bahkan dalam beberapa kitab suci,
Tuhan memerintahkan manusia untuk bereproduksi demi kebaikan umat manusia. Pernyataan
tersebut menyiratkan bahwa memiliki keturunan dalam hal ini melalui kegiatan bereproduksi
merupakan hak setiap umat manusia di bumi (Niemitz, 2004).
Ilmu pengetahuan modern terus berkembang. Talcott Parson menambahkan dalam
teorinya “The Sick Person” mengenai hak untuk tidak memperoleh keturunan, hak untuk
tidak hamil, serta hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan. Konsep ini kelak
mendasari beberapa norma program keluarga berencana. Kombinasi ilmu pengetahuan lama
dan modern akhirnya menetapkan bahwa bereproduksi dan semua aspeknya merupakan hak
sepenuhnya individu bersangkutan (Moeloek, 2002; Wihel, 2005).
Namun, ilmu pengetahuan dan terutama teknologi yang terus berkembang
menyebabkan hal-hal yang dulu jelas dan mudah diselesaikan menjadi sulit dan berada pada
daerah abu-abu (grey area) atau kontroversial. Salah satu yang paling kontroversial adalah
teknik reproduksi buatan kloning. Meskipun pelaksanaannya sudah berjalan sekitar 2-3
dekade ini, namun kontroversi di dalamnya masih terjadi sampai hari ini. Beberapa nilai yang
masih perlu mendapat kajian khusus adalah aspek etika, moral, dan hukum. (Moeloek, 2002;
Wihel, 2005).
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui aspek legal kloning manusia dari segi
etika, moral, dan hukum dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat terhadap teknik
reproduksi kloning manusia.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kloning?
2. Bagaimana teknik kloning dilakukan?
3. Apa saja jenis-jenis kloning?
4. Apa saja macam-macam kloning?
5. Bagaimana tinjauan aspek legal kloning menurut hukum?
6. Bagaimana tinjauan aspek legal kloning menurut etika dan moral?
7. Bagaimana aspek legal kloning menurut etika profesi kedokteran obstetri dan ginekologi
indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian kloning
2. Mendeskripsikan teknik kloning
3. Mendeskripsikan jenis-jenis kloning
4. Mendeskripsikan macam-macam kloning
5. Mengetahui tinjauan aspek legal kloning menurut hukum
6. Mengetahui tinjauan aspek legal kloning menurut etika dan moral
7. Mengetahui aspek legal kloning menurut etika profesi kedokteran obstetri dan ginekologi
indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kloning
Kloning berasal dari kata dasar Klon yang berasal dari bahasa Yunani klόόn yang
artinya tunas. Kloning adalah tindakan menggandakan atau mendapatkan keturunan jasad
hidup tanpa fertilisasi, yaitu dengan cara mengambil sel gamet dari induk sehingga didapat
keturunan yang mempunyai susunan (jumlah dan gen) yang sama dan kemungkinan besar
mempunyai fenotipe yang sama.
Kata klon memiliki dua pengertian:
1. Klon sel adalah sekelompok sel yang identik sifat-sifat genetiknya, semua berasal dari
satu sel.
2. Klon gen atau molekuler, yaitu sekelompok salinan gen yang bersifat identik yang
direplikasi dari satu gen yang dimasukkan dalam sel inang Sehingga bisa kita
simpulkan bahwa kloning adalah proses reproduksi aseksual.
Kloning bisa dilakukan pada berbagai jenis makhluk hidup seperti bakteri, serangga,
dan tumbuhan, termasuk manusia. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan
dengan cara menggunakan sel tubuh sehingga hasil keturunanya mempunyai kode genetik
yang sama dengan induknya yang berupa manusia.
Kloning pada tanaman dalam arti melalui kultur sel mula-mula dilakukan pada
tanaman wortel. Dalam hal ini sel akar wortel dikultur, dan tiap selnya dapat tumbuh menjadi
tanaman lengkap. Teknik ini digunakan untuk membuat klon tanaman dalam perkebunan.
Dari sebuah sel yang mempunyai sifat unggul, kemudian dipacu untuk membelah dalam
kultur, sampai ribuan atau bahkan sampai jutaan sel. Tiap sel mempunyai susunan gen yang
sama, sehingga tiap sel merupakan klon dari tanaman tersebut.
Kloning pada hewan dilakukan mula-mula pada hewan amfibi (kodok), dengan
mengadakan transplantasi nukleus ke dalam telur kodok yang dienukleasi atau dihilangkan
inti selnya. Sebagai donor, digunakan nukleus sel somatik dari berbagai stadium
perkembangan. Ternyata donor nukleus dari sel somatik yang diambil dari sel epitel usus
kecebong pun masih dapat membentuk embrio normal.

3
2.2 Teknik Kloning
Sebelum masuk ke tehnik dalam proses kloning, lebih dahulu akan saya paparkan
mengenai proses kloning secara garis besar, proses kloning dapat dijelaskan melalui beberapa
tahapan sebagai berikut:
1. Mempersiapkan sel stem, yaitu sel awal yang diambil dari sel tubuh seorang manusia
yang hendak dikloning

2. Sel stem diambil inti sel yang mengandung informasi genetik kemudian dipisahkan dari
sel.
3. Mempersiapkan sel telur, yaitu suatu sel yang diambil dari sukarelawan perempuan
kemudian intinya dipisahkan.
4. Inti sel dari sel stem diimplantasikan ke sel telur. Sel telur dipicu dengan kejutan listrik
supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan. Setelah membelah (hari kedua) menjadi
sel embrio.
5. Sel embrio yang terus membelah (blastosis) mulai memisahkan diri (hari ke lima) dan
siap diimplantasikan ke dalam rahim.
6. Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel
stem donor.
Dari penjabaran diatas, ada 2 macam tehnik telah dilakukan oleh para ilmuwan
sebagai pembanding keberhasilan, mulai dari merubah inti sel yang didonorkan, hewan yang
dikloning, dan juga persentase keberhasilan. Kedua tehnik itu dikenal dengan nama tehnik
kloning Roslin dan tehnik kloning Honolulu.
1. Teknik Roslin
Teknik ini diperkenalkan oleh Ian Wilmut dan Keith Campbell. Keduanya
memperkenalkan suatu metodeyang mampu melakukan singkronisasi siklus sel dari
kedua sel, yakni sel donor dan sel telur. Tanpa singkronosasi siklus sel, maka inti tidak
akan berada pada suatu keadaan yang optimum untuk dapat diterima oleh embrio.
Mereka berdua melakukan percobaan ini pada seekor domba. Sel donor diambil dari
seekor domba berwarna putih (Finn dorset). Sel ini diambil dari kelenjar mammae
domba tersebut. Sedang sel penerima diambil dari sel telur yang sudah dihilangkan
intinya dari domba yang berwajah hitam (Scottish blackface). Setelah itu, diberi kejutan
listrik pada kedua sel yang telah digabungkan tadi dan ditanam di uterus domba pemilik
sel telur. Ketika domba hasil kloning ini lahir, domba ini memiliki ciri-ciri fisik yang
sama dengan domba Finn dorset sebagai pendonor. Domba inilah yang kita kenal

4
dengan nama Domba Dolly. Hanya saja, Domba Dolly mengidap penyakit kanker paru-
paru dan arthritis, sehingga dia dibunuh dengan suntikan mematikan pada 14 Februari
2003. Umur Domba Dolly juga tidak sepanjang umur domba Finn dorset yang
mencapai sebelas hingga dua belas tahun

2. Teknik Honolulu
Teknik ini diperkenalkan oleh Teruhiko Wakayama dan Ryuzo Yanagimachi,
dua orang dari kelompok ilmuwan di Universitas Hawai. Jika tehnik dorset
menggunakan media domba, maka tehnik Honolulu ini menggunakan media tikus
sebagai bahan percobaan. Wakayama dan Yanagimachi menggunakan pendekatan
singkronisasi sel yang berbeda dengan seperti yang dilakukan Ian Wilmut. Wilmut
menggunakan sel mammae sebagai sel pendonor, sedangkan Yanagimachi dan
Wakayama menggunakan sel otak dan sel kumulus sebagai pendonor.Wakayama juga
tidak menambahkan kejutan listrik untuk menggabungkan sel pendonor dan sel
penerima. Setelah terbukti bahwa tehniknya dapat menghasilkan kloning yang hidup,
Wakayama juga membuat kloning dari kloning, dan membiarkan makhluk klon yang
asli untuk melahirkan secara alamiah untuk membuktikan bahwa mereka memiliki
kemampuan reproduksi secara sempurna. Pada saat dia mengumumkan
keberhasilannya, Wakayama telah menciptakan lima puluh kloning. Persentase
keberhasilan tehnik Wakayama juga jauh lebih besar dari tehnik roslin, yaitu berhasil
menghasilkan 3 klon dari seratus percobaan, bandingkan dengan tehnik roslin yang
menghasilkan 1 klon dari 277 percobaan.
2.3 Jenis-jenis Kloning
1. Kloning DNA
Rekombinan Kloning ini merupakan pemindahan sebagian rantai DNA yang
diinginkan dari suatu organisme pada satu element replikasi genetik, contohnya
penyisipan DNA dalam plasmid bakteri untuk mengklon satu gen. Kloning ini meliputi
serangkaian proses isolasi fragmen DNA spesifik dari genom suatu organisme, dimulai
dari penentuan sekuen DNA serta pembentukan molekul DNA rekombinan, dan
ekspresi gen target dalam sel inang. Penentuan sekuen DNA yang melalui sekuensing
memiliki tujuan untuk memastikan fragmen DNA yang kita isolasi adalah gen target
sesuai dengan kehendak kita. Gen target yang kita peroleh selanjutnya kita klon dalam
sebuah vektor (plasmid, phage atau cosmid) melalui teknologi DNA rekombinan yang

5
selanjutnya akan membentuk molekul DNA rekombinan. DNA rekombinan yang
dihasilkan kemudian ditransformasi ke dalam sel inang (biasanya sel bakteri, misalnya
strain E. coli) untuk diproduksi lebih banyak. Gen-Gen target yang ada di dalam sel
inang jika diekspresikan akan mengahasilkan produk gen yang kita inginkan. Aplikasi
kloning DNA rekombinan yang sudah pernah ada yaitu produksi insulin dengan
pendekatan kloning gen. Dimulai dari fragmen DNA spesifik penyandi insulin
diisolasikan dan diklon dalam suatu vektor hingga membentuk DNA rekombinan, yang
selanjutnya produksi insulin dilakukan di dalam sel inang bakteri E. coli.
2. Kloning Reproduktif
Kloning ini merupakan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan hewan
yang sama, contohnya Dolly dengan suatu proses yang disebut SCNT (Somatic Cell
Nuclear Transfer). Pada tipe reproduktif, DNA yang berasal dari sel telur manusia atau
hewan dihilangkan dan diganti dengan DNA yang berasal dari sel somatik (kulit,
rambut, dan lain-lain) hewan atau menusia dewasa yang lain. Dengan suatu loncatan
listrik, inti sel hewan atau manusia yang telah diinjeksikan pada sel somatik tersebut
selanjutnya akan berkembang dan membelah. Selanjutnya, embrio hasil teknik ini
dimasukkan (diimplantasikan) dalam rahim hewan atau manusia yang memungkinkan
embrio berkembang menjadi hewan ataupun menjadi manusia baru. Meskipun teknik
kloning ini berpotesi menghasilkan individu hewan atau manusia yang identik dengan
hewan atau manusia pendonor DNA, teknik kloning ini juga berpotensi besar dalam
menghasilkan kelainan genetik yang berat pada individu hasil kloning.
3. Kloning Terapeutik
Kloning ini merupakan suatu kloning untuk memproduksi embrio manusia
sebagai bahan penelitian. Tujuan utama dari proses ini bukan untuk menciptakan
manusia baru, tetapi untuk mendapatkan sel batang yang dapat digunakan untuk
mempelajari perkembangan manusia dan penyembuhan penyakit. Tujuan lain dari
kloning ini ialah menghasilkan suatu stem cell (sel yang belum terdiferensiasi) yang
memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi organ-organ tubuh atau jaringan
untuk kepentingan penggantian organ atau jaringan yang rusak pada manusia akibat
suatu penyakit tertentu (penyakit degeneratif) tanpa adanya penolakan respon
kekebalan tubuh penerima. Secara umum prosedur yang dilakukan pada teknologi
transfer inti sel somatik (kloning terapeutik) terbagi atas tiga bagian, yaitu: dimulai dari
pembentukan embronik stem cells, pengkulturan sel tipe spesifik yang murni, dan uji
fisiolagis (uji efikasi dan uji keamanan).
6
a. Pembentukan Sel Stem Embrionik
Pada pembentukkan sel stem embrionik, langkah pertama yang dilakukan
ialah pengambilan inti sel dari sel telur. Hal yang sama juga dilakukan pada sel
somatik. DNA yang berasal dari sel somatik selanjutnya ditransfer ke dalam sel
telur yang sudah tidak memiliki inti sel. Melalui kejutan arus listrik, sel ini
dirangsang untuk membentuk pra-embrio. Dalam suatu persentase yang kecil,
pra-embrio ini akan terbentuk. Selanjutnya, zona pelusida (lapisan tebal yang
mengelilingi blastosit) di hilangkan dengan menambahkan suatu zat kimia
tertentu. Massa sel bagian dalam dari blastosit selanjutnya di letakkan pada
medium khusus yang selanjutnya akan berkembang dan menghasilkan banyak sel
stem.
b. Pengkulturan Sel Tipe Spesifik
Setelah diperoleh sel stem embrionik, setiap stem sel yang tumbuh dalam
cawan petri yang mengandung medium tertentu diambil dan di letakkan pada
cawan petri yang baru yang mengandung medium spesifik. Medium spesifik ini
mengandung suatu zat tertentu yang dapat merangsang sel stem tumbuh menjadi
jaringan atau organ tertentu. Teknologi transfer inti sel somatis (kloning
terapeutik), sangat erat kaitannya dengan permasalahan stem cell. Karena pada
hakikatnya tujuan dari teknologi transfer inti sel ini atau yang dikenal sebagai
therapeutic cloning ialah mendapatkan sekumpulan sel yang dapat berkembang
selanjutnya menjadi jaringan atau organ yang diinginkan (stem cell).

2.4 Macam-macam kloning


1. Kloning pada tumbuhan
Kloning pada tumbuhan yaitu mencangkok atau menstek tanaman untuk
mendapatkan tanaman yang memiliki sifat persis sama dengan induknya.
2. Kloning pada hewan
Kloning pada hewan pertama kali dicoba pada tahun 1950-an pada hewan katak,
tikus, kera dan bison juga pada domba, dan dalam kelanjutannya proses yang berhasil
hanyalah percobaan Kloning pada domba. Awal mula proses pengkloningan domba
adalah dengan mengambil inti sel dari tubuh domba, yaitu dari payudara atau ambingnya
lalu sifat khusus yang berhubungan dengan fungsi ambing ini dihilangkan, kemudian inti

7
sel tersebut dimasukkan kedalam lapisan sel telur domba, setelah inti selnya dibuang
kemudian ditanamkan kedalan rahim domba agar memperbanyak diri, berkembang
berubah menjadi janin dan akhirnya di hasilkan bayi domba. Pada akhirnya domba ini
mempunyai kode genetic yang sama dengan domba pertama yang menjadi sumber
pengambilan sel ambing.
3. Kloning pada embrio
Kloning embrio tejadi pada sel embrio yang berasal dari rahim istri yang
terbentuk dari pertemuan antara sel sperma suaminya dengan sel telurnya lalu sel embrio
itu dibagi dengan satu teknik perbanyakan menjadi beberapa sel embrio yang berpotensi
untuk membelah dan berkembang. Kemud¬ian sel-sel embrio itu dipisahkan agar
masing-masing menjadi embrio tersendiri yang persis sama dengan sel embrio pertama
yang menjadi sumber pengambilan sel. Selanjutnya sel-sel embrio itu dapat ditanamkan
dalam rahim perempuan asing (bukan isteri), atau dalam rahim isteri kedua dari suami
bagi isteri pertama pemilik sel telur yang telah dibuahi tadi. Yang selanjutnya akan
menghasilkan lebih dari satu sel embrio yang sama dengan embrio yang sudah ada. Lalu
akan terlahir anak kembar yang terjadi melalui proses Kloning embrio ini dengan kode
genetik yang sama dengan embrio pertama yang menjadi sumber Kloning.
4. Kloning pada manusia
Kloning pada manusia terdapat dua cara. Petama, Kloning manusia dapat
berlangsung dengan adanya laki-laki dan perempuan dalam prosesnya. Proses ini
dilaksanakan dengan mengambil sel dari tubuh laki-laki, lalu inti selnya diambil dan
kemudian digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Sel
telur ini setelah bergabung dengan inti sel tubuh laki-laki lalu ditransfer ke dalam rahim
seorang perempuan agar dapat memeperbanyak diri, berkembang, berubah menjadi janin,
dan akhirnya dila¬hirkan sebagai bayi. Bayi ini merupakan keturunan dengan kode
genetik yang sama dengan laki-laki yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh.
Kedua, Kloning manusia dapat pula berlangsung di antara perem-puan saja
tanpa memerlukan kehadiran laki-laki. Proses ini dilaksanakan dengan mengambil sel
dari tubuh seorang perem¬puan, kemudian inti selnya diambil dan digabungkan dengan
sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Sel telur ini –setelah bergabung
dengan inti sel tubuh perem-puan– lalu ditransfer ke dalam rahim perempuan agar
memper¬banyak diri, berkembang, berubah menjadi janin, dan akhirnya dilahirkan
sebagai bayi. Bayi yang dilahirkan merupakan keturunan dengan kode genetik yang sama

8
dengan perempuan yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh. Hal tersebut mirip
dengan apa yang telah berhasil dilakukan pada hewan domba.
Adapun pewarisan sifat yang terjadi dalam proses Kloning, sifat-sifat yang
diturunkan hanya berasal dari orang yang menjadi sumber pengambilan sel tubuh, baik
laki-laki maupun perempuan. Dan anak yang dihasilkan akan memiliki ciri yang sama
dengan induknya dalam hal penampilan fisiknya seperti tinggi dan lebar badan serta
warna kulit dan juga dalam hal potensi-potensi akal dan kejiwaan yang bersifat asli.
Dengan kata lain, anak tersebut akan mewarisi seluruh ciri-ciri yang bersifat asli dari
induknya. Sedangkan ciri-ciri yang diperoleh melalui hasil usaha, tidaklah dapat
diwariskan. Jika misalnya sel diambil dari seorang ulama yang faqih, atau mujtahid
besar, atau dokter yang ahli, maka tidak berarti si anak akan mewarisi ciri-ciri tersebut,
sebab ciri-ciri ini merupakan hasil usaha, bukan sifat asli.

2.5 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Hukum


Pembahasan dari aspek hukum sangat terkait dengan masalah etik dan peraturan
masing-masing negara penyelenggara. Melalui keputusan etik dan moral yang kuat, maka
dibuatlah peraturan hukum tertulis yang mengikat setiap peneliti maupun penyelenggara
teknik reproduksi buatan. Pada dasarnya, peraturan hukum dibuat sebagai imbas dari aturan
etika yang ada. Begitu pula halnya di Indonesia. Indonesia sudah memiliki beberapa aturan
hukum (tertulis) mengenai teknik reproduksi buatan sejak tahun 1992. Berikut beberapa
peraturan hukum tentang teknik reproduksi buatan di Indonesia menurut Moeloek, 2002:
1. Undang-undang Kesehatan nomor 16 tahun 1992, berisi :
a. Kehamilan di luar cara alami hanya menjadi jalan terakhir mendapat keturunan
pada pasangan suami-istri yang sah
b. Upaya kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dilakukan oleh suami-istri sah
dengan ketentuan:
 Hasil pembuahan sperma dan ovum suami istri bersangkutan, hasilnya
ditanam pada rahim istri pemilik ovum tersebut
 Dilakukan tenaga kesehatan yang ahli di bidangnya
 Pada sarana kesehatan tertentu
c. Ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah
2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999 tentang penyelenggaraan teknologi
reproduksi buatan berisi ketentuan umum, perizinan, pembinaan, pengawasan,
peralihan, penutup:

9
a. Pelayanan teknologi buatan hanya dari suami istri bersangkutan
b. Pelayanan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas
c. Embrio yang dipindah ke rahim istri maksimal tiga, boleh empat bila:
 Rumah sakit memiliki perawatan intensif bayi baru lahir
 Pasangan suami-istri sudah gagal menjalani teknik reproduksi minimal dua
kali
 Istri berusia lebih dari 35 tahun
d. Dilarang melakukan surogasi
e. Dilarang memperjual belikan ovum, sperma, embrio
f. Dilarang menghasilkan embrio semata-mata untuk kepentingan penelitian
g. Dilarang melakukan penelitian pada embrio berusia lebih dari 14 hari pasca
fertilisasi
h. Sel telur yang sudah dibuahi sperma tidak boleh dibiakkan lebih dari 14 hari
i. Dilarang melakukan penelitian dari ovum, sperma, dan embrio tanpa izin
pemiliknya
j. Dilarang melakukan fertilisasi trans spesies kecuali dengan tujuan mendiagnosis
masalah infertilitas. Setiap hybrid trans-spesies yang terbentuk harus diakhiri
pada tingkat dua sel.
Menurut poin f, g, h diatas, secara tidak langsung kloning pada manusia di Indonesia
tidak diperbolehkan karena kloning pada manusia saat ini masih dalam tahap penelitian yang
memerlukan waktu lebih dari 14 hari.
Meski sampai saat ini belum ada manusia yang lahir hidup dan sehat dari teknologi
kloning, namun yang menjadi perdebatan adalah bagaimana kedudukan manusia hasil
kloning tersebut di mata hukum. Di Indonesia, ada beberapa peraturan yang tegas mengatur
hak dan kewajiban warga Negara, namun peraturan tersebut belum mengkhusus pada
manusia hasil kloning. Meskipun begitu, jika kloning suatu saat nanti dilegalkan maka
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat melindungi hak dan kewajiban
manusia hasil kloning adalah sebagai berikut:
1. Aspek Hukum Perdata
Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata yang dapat melindungi
hak-hak dan kepentingan manusia hasil kloning adalah sebagai berikut:

10
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 3 ayat
(2) menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan
yang sama di depan hukum” dan ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi”. Bahkan Pasal 5 ayat (3) menyebut,”…berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.12
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 4 menyebutkan
“Tiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan
yang optimal”. 16
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok
Kesejahteraan Sosial pasal 1 menyebutkan “Setiap Warganegara berhak atas
taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak
mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”.15
d. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5
(1) menyebutkan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu” dan pasal 5 (2) menyebutkan “Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.17
2. Aspek Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Tidak ada peraturan
yang spesifik mengatur perbuatan apa yang dilarang dan termasuk tindak pidana dari
manusia hasil kloning, namun jika manusia hasil cloning dianggap sebagai warga
negara Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh peraturan dalam Kitab Undang
– Undang Hukum Pidana akan berlaku padanya.
3. Aspek Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara adalah hukum yang selalu berkaitan dengan
aktivitas prilaku administrasi negara dan kebutuhan masyarakat serta interaksi diantara
keduanya. Manusia hasil kloning dilihat dari aspek hukum administrasi negara yaitu:
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 menyebutkan “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” sedangkan ayat
11
2 menyebutkan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”.14

12
4. Aspek Hukum Tata Usaha Negara
Tidak ada peraturan yang spesifik mengatur manusia hasil kloning pada
hukum tata usaha negara namun jika manusia hasil cloning dianggap sebagai warga
negara Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh peraturan dalam hukum tata
usaha negara akan berlaku padanya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan belum ada undang-undang khusus yang
mengatur manusia hasil kloning di Indonesia namun jika manusia hasil kloning dianggap
manusia seutuhnya maka peraturan perundang-undangan yang mengatur warga Negara
Indonesia juga berlaku pada manusia hasil kloning

2.6 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Etika dan Moral


Teknik reproduksi buatan mendapat kritik yang menarik dari segi etika dan moral.
Setidaknya, ada empat kesepakatan internasional penting mengenai masalah etika dan moral
teknik reproduksi buatan. Inggris merupakan Negara yang pertama kali membuat kebijakan
etika dan moral berkaitan dengan kontroversi reproduksi buatan.
Committee of Enquiry into Human Fertilisation and Embriology yang dibentuk pada
tahun 1982 menghasilkan beberapa keputusan yang dapat dijadikan referensi pelaksanaan
teknik reproduksi buatan di negara-negara lain. Pada tahun 1984, Warnock menyampaikan
hasil investigasi, telaah, dan kajiannya terhadap reproduksi buatan. Secara umum, Warnock
Report berisi perlu adanya pengaturan yang jelas segi pelaksanaan teknik reproduksi buatan
agar semuanya tidak bertentangan dengan masalah etika, moral, sosial, dan hukum di negara
masing-masing (Moeloek, 2002).
Selanjutnya, pada tahun 1990 dibentuk Human Fertilisation and Embriology
Authority (HFEA) yang memiliki wewenang menjadi penasihat dan pengatur pelaksanaan
reproduksi buatan di berbagai negara. HFEA juga membuat petunjuk pelaksanaan dan
memberikan rekomendasi kepada pemerintah negara pelaksana atas berbagai masalah yang
timbul akibat pelaksanaan teknik reproduksi buatan.
Semuanya bertujuan meminimalisasi dampak etika dan moral yang dapat
ditimbulkan teknik reproduksi buatan (Moeloek, 2002).
Beberapa kebijakan penting yang dikeluarkan HFEA adalah melarang:
1. Penelitian dan penyimpanan embrio manusia berusia lebih dari 14 hari
2. Menempatkan gamet atau embrio manusia di binatang dan sebaliknya

13
3. Menyimpan dan menggunakan embrio untuk kepentingan lain selain memperoleh
keturunan bagi pasangan sah yang telah diatur oleh peraturan lain
4. Melakukan kloning untuk tujuan reproduksi manusia.
Poin nomor 4 pada peraturan yang dibuat oleh HFEA menegaskan bahwa kloning
untuk tujuan reproduksi manusia dilarang. Peraturan HFEA sangat jelas dan eksplisit.
Berbagai aturan tersebut disosialisasikan keseluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Rekomendasi HFEA ini sebagian digunakan oleh Panitia Adhoc Khusus yang dibuat
Departemen Kesehatan RI untuk mengatur syarat- syarat pelaksanaan reproduksi buatan di
praktik klinik.
Selain telaah terhadap Warnock Report dan HFEA, ada dua lagi aturan penting
berkaitan dengan aspek etika dan moral dari teknik reproduksi buatan :
1. The International Islamic Center for Population Studies and Research
Lokakarya ini diselenggarakan pada bulan November 2000 dihadiri oleh
negara-negara Islam di dunia. Kesepakatan negara-negara Islam tidak jauh berbeda dari
Warnock Report dan HFEA :
a. IVF diperbolehkan kecuali mengambil ovum, sperma, atau embrio dari donor
b. Pre-implantation genetic diagnosis diperbolehkan dengan tujuan mendiagnosis
penyakit keturunan dan anomali genetik, kecuali melihat jenis kelamin
c. Penelitian untuk melihat pematangan folikel, pematangan oosit in vitro, dan
pertumbuhan oosit in vitro diperbolehkan
d. Implantasi embrio dari suami yang sudah meninggal belum memiliki keputusan
tetap
e. IVF pada ibu pasca-menopause dilarang karena berisiko terhadap kesehatan ibu
dan anak transplantasi uterus masih kontroversial, penelitian pada binatang
diperbolehkan
f. Penggunaan sel punca untuk pengobatan diperdebatkan, diusulkan untuk
diperbolehkan
g. Kloning untuk tujuan reproduksi dan duplikasi manusia dilarang. Keputusan dari
The International Islamic Center for Population Studies and Research poin 7 juga
menunjukkan sikap negara – negara islam di dunia juga melarang dilakukannya
kloning manusia. Keputusan ini juga menjadi landasan Negara Indonesia sebagai
negara Islam untuk melarang dilakukannya kloning manusia.
2. Figo

14
Ketentuan ini diatur pada bulan Agustus 2000. Beberapa keputusan etik tentang
teknik reproduksi buatan adalah :
1) Preconceptional sex selection untuk tujuan diskriminasi sex tidak dibenarkan.
Penelitian boleh dilanjutkan untuk mengetahui adanya sex-linked genetic disorders.
2) Reproductive cloning atau duplikasi manusia tidak dibenarkan
3) Therapeutic cloning dapat disetujui
4) Penelitian pada embrio manusia sampai dengan 14 hari pasca-fertilisasi (pre-
embrio), tidak termasuk periode simpan beku :
a) Dapat diterima bila untuk tujuan kesehatan manusia
b) Hasil mendapat izin khusus dari pemilik pre-embrio tersebut
c) Harus disahkan oleh komite tertentu
d) Tidak boleh ditransfer ke uterus kecuali dalam rangka memperoleh hasil
e) kehamilan yang baik
f) Tidak untuk tujuan komersial
5) Tidak etis melakukan:
a) Melakukan penelitian seperti cloning setelah 14 hari pasca-fertilisasi
b) Mendapat hybrid dengan fertilisasi interspesies
c) Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain
d) Manipulasi genom pre-embrio kecuali untuk tujuan pengobatan.
Pada ketentuan FIGO, kloning untuk terapi masih diperbolehkan. Teknik terapi
cloning saat ini masih dikembangkan terutama pada transplantasi organ. Namun
implementasinya di Indonesia sampai saat ini masih belum dilakukan karena peraturan
yang mengatur kloning untuk terapi di Indonesia sampai saat ini belum ada. Keempat
kesepakatan itu semuanya merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi setiap pelaksana
dan penyelenggara teknik reproduksi buatan. Indonesia sendiri sudah menggunakan
peraturan-peraturan di atas untuk tujuan penelitian maupun praktik klinik.
Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan
kesehatan maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada peningkatan
kualitas hidup masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang semata. Kaidah
dasar moral berupa non-maleficence, beneficence, justice, dan autonomy haruslah
dihormati sejak disumpah menjadi dokter.

15
2.7 Aspek Legal Kloning Menurut Etika Profesi Kedokteran Obstetri dan
Ginekologi Indonesia
Ketentuan etik teknik reproduksi buatan belum dicantumkan secara eksplisit dalam
Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Namun, berdasarkan Mukernas Etik Kedokteran
Indonesia tahun 2002, sudah ditetapkan bahwa Negara kita juga melarang teknik klonasi
(kloning) pada manusia. Selain itu, Mukernas juga menghimbau peneliti dan klinisi untuk
tidak mempromosikan klonasi dalam kaitannya dengan reproduksi manusia. Teknik klonasi
hanya diperbolehkan secara bioteknologi untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan yang
tidak bertentangan dengan masalah etik dan hukum, juga untuk kepentingan penelitian
klonasi organ yang tujuannya untuk kesehatan manusia di masa akan datang (Moeloek,
2002).
Menurut Affandi 2011 dalam buku panduan etika dan profesi obstetri dan ginekologi
di Indonesia, ada beberapa pasal etika profesi obstetri dan ginekologi di Indonesia yang
berhubungan dengan legalitas kloning. Pasal etika dan profesi obstetri dan ginekologi di
Indonesia tersebut diuraikan di bawah ini :
 Pasal 14
Kloning untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang.
Penjelasan
Kloning pada domba yang dilaporkan pada tahun 1997 adalah bahwa reproduksi
mamalia aseksual dimungkinkan dengan potensi juga pada manusia. Kloning pada
manusia dengan membelah mudigah juga dimungkinkan. Dipermasalahkan 3 hal dalam
kloning yang menyangkut etik dan dampak sosialnya, yaitu:
a. Transfer sel kloning atau mudigah pada manusia;
b. Transfer sel kloning untuk menghasilkan jaringan/biakan sel manusia;
c. Transfer sel kloning atau membelah mudigah untuk menghasilkan manusia
kloning.
Sifat-sifat manusia amat ditentukan oleh DNA, misalnya golongan darah, HLA,
dan Haplotype. Tidaklah demikian dalam hal interaksi genetik dengan lingkungan atau
sosial. Ini berarti manusia klon akan identik dengan asalnya dalam beberapa aspek. Pada
kloning manusia dilakukan transfer sel yang mengandung unsur gen yang sama dari
seseorang. Ini berarti tidak menghargai individu atau identitas orang tersebut. Selain
mengandung risiko fisik yang belum diketahui secara psikologik, juga bias berdampak
buruk pada manusia yang diproduksi dengan teknologi seperti ini (Affandi 2011).

16
Ciri-ciri awal yang dapat ditentukan sebelumnya (pre-determined),
memungkinkan teknologi kloning dipakai untuk maksud tertentu, misalnya donor organ
yang cocok. Mengatasi infertilitas dapat dilakukan dengan cara lain misalnya inseminasi,
FIV (Fertilisasi in Vitro), atau adopsi. Mengatasi infertilitas dengan teknik kloning
berarti mengabaikan aturan alam, yang dampaknya sulit dikendalikan di kemudian hari
(Affandi 2011).
 Pasal 15
Mengobati seorang perempuan yang mempunyai defek mitokhondria dengan
jalan memasukkan sitoplasma berisi mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur
perempuan tersebut, diperbolehkan.
Penjelasan
Perempuan dengan defek mitokhondria mempunyai risiko untuk menurunkan
kelainan ini kepada keturunannya. Pemberian suplemen sitoplasma yang mengandung
mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur perempuan tersebut tidak termasuk kloning.
Akan tetapi, pemasukan inti salah satu sel somatik ke dalam sel telur perempuan lain
dianggap kloning. Oleh karena itu tindakan itu dilarang (Affandi 2011).
 Pasal 16
a. Riset pada praembrio seringkali diperlukan sehingga secara etis dibenarkan,
sepanjang:
b. Bertujuan untuk kepentingan kesehatan manusia, seperti yang tertulis dalam definisi
sehat menurut WHO;
c. Tidak membiarkan embrio berkembang melebihi 14 hari sejak terjadinya
pembuahan (tidak termasuk lamanya embrio dibekukan);
d. Informasi tidak bisa diperoleh dari model binatang;
e. Informed consent yang memadai dari kedua donor gamet
f. Projek riset praembrio diijinkan oleh badan etik yang kompeten;
g. Sebaiknya dilakukan pada praembrio yang berlebih (Surplus Praembrio) pada FIV;
h. Praembrio bekas dipakai untuk riset tidak diimplantasikan ke dalam uterus, kecuali
ada argumentasi yang memadai bahwa kehamilan akan mencapai kehamilan normal
dan sukses.
 Pasal 17
Riset pada praembrio menjadi tidak etis, bila:
a. Kloning dengan tujuan menumbuhkan, melewati stadium praembrio;
b. Memproduksi hibrid dengan fertilisasi interspesies
17
c. Melakukan implantasi praembrio manusia ke dalam uterus spesies lain;
d. Manipulasi genom, kecuali untuk tujuan pengobatan;
e. Membuat bank gamet dan embrio untuk tujuan mencari untung
Penjelasan pasal 16 dan 17
Stadium praembrio didefinisasikan mulai dari saat pembuahan sampai
terbentuknya Primitive Streak, lamanya 14 hari. Riset pada praembrio diperlukan untuk :
a. Memperluas pengetahuan tentang proses perkembangan pada stadium itu;
b. Memperbaiki penanganan infertilitas dan mengendalikan reproduksi;
c. Memungkinkan skrining genetik untuk pencegahan dan pengobatan cacat bawaan.
Dalam melakukan riset praembrio harus diperhatikan nilai-nilai etik, agama, dan
social (Affandi 2011).
 Pasal 18
Donor "Gen" untuk kepentingan terapi genetik adalah etis sepanjang
berdasarkan altruistik dan bebas dari tujuan komersial.
Penjelasan
Terapi genetik yaitu usaha mengubah DNA manusia yang bertujuan untuk
meringankan penderitaan/penyakit seseorang yang dapat diidentifikasi. Perubahan DNA
manusia untuk tujuan lain tidak termasuk dalam terapi genetik. Pada tahun 1993 telah
ditetapkan bahwa donor materi genetik harus dilakukan berdasar altruistik dan tanpa
eksploitasi komersial. Walaupun demikian, kompensasi untuk penggantian biaya yang
wajar masih bisa dibenarkan. Termasuk dalam kategori "pembayaran" yaitu beberapa
tindak medik seperti FIV dan sterilisasi dengan mempersyaratkan donasi oosit. Oleh
karena itu, tindakan demikian tidak etis (Affandi 2011).
 Pasal 19
Riset yang mempelajari perubahan DNA suatu sel somatik hanya dibenarkan
bila ditujukan untuk perbaikan pada kelainan yang berat atau kematian dini
 Pasal 20
Riset perubahan DNA pada sperma, oosit, atau zigot yang kemudian
diimplantasikan pada uterus, saat ini dianggap tidak etis.
Penjelasan
a. Pada sel somatik perubahan genetik yang terjadi tidak diteruskan pada
keturunannya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari sudut ini tidak ada masalah etis.
Akan tetapi, seperti halnya dengan riset-riset yang berkaitan dengan manusia, masih
banyak yang harus dipertanyaakan baik hasilnya maupun dampaknya. Oleh karena
18
itu, riset tentang perubahan DNA pada sel somatik manusia harus mendapatkan
persetujuan lebih dahulu dari badan tertentu. Bila riset ini berhasil, dapat dibuat
proposal untuk perubahan genetik sel somatic intrauterine (Affandi 2011).
b. Berkenaan dengan perubahan DNA pada sperma, oosit, dan zigot, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
1) Perubahan genetik akan di teruskan pada keturunan
2) Pada saat ini belum ditemukan teknik untuk mengubah gen spesifik secara tepat,
aman, dan dapat dipertanggungjawabkan
3) Teknik memilih zigot yang bebas dari gen pembawa penyakit lebih sederhana
daripada memilih zigot yang mengandung pembawa penyakit, mengubahnya,
dan mentransfernya ke dalam rahim
Dari ketiga pertimbangan tersebut, maka riset yang menyangkut perubahan
DNA pada sperma, oosit, dan zigot manusia secara etis tidak diterima (Affandi 2011).

 Pasal 21
Perubahan gen pada individu yang sudah sehat, hanya untuk mendapatkan
peningkatan kualitas, seperti tinggi badan, intelegensi, dan warna mata, saat ini dianggap
tidak etis.
Penjelasan
Perubahan genetik pada individu yang telah sehat (bebas dari gen pembawa
penyakit) bisa ditujukan untuk peningkatan kualitas yang dikehendaki misalnya tinggi
badan, intelegensi, dan warna mata, dengan cara menyisipkan (insert) gen pembawa sifat
tersebut. Ada beberapa hal yang harus dipermasalahkan pada teknologi ini :
a. Masih belum jelas kriteria untuk mengakses teknologi ini;
b. Teknologi ini sangat potensial untuk dikomersialkan.
Pada kenyataannya sampai sekarang belum terdapat cukup bukti (evidence)
tingkat keamanan serta risikonya. Oleh karena itu, teknologi ini secara etis belum
diterima (Affandi 2011).

19
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang atau tidak
legal di Indonesia sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kesehatan nomor 16 tahun 1992,
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999 tentang penyelenggaraan teknologi
reproduksi buatan, Keputusan Mukernas Etik Kedokteran Indonesia tahun 2002, dan panduan
etika profesi obstetri dan ginekologi di Indonesia. Meskipun kloning dilarang di Indonesia
namun belum ada peraturan perundang – undangan yang khusus mengatur kloning pada
manusia di Indonesia. Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi juga
dilarang atau tidak legal di dunia sesuai dengan Warnock Report, kebijakan HFEA,
kesepakatan The International Islamic Center for Population Studies and Research
Nopember 2000, dan deklarasi FIGO Agustus 2000.
Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan kesehatan
maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada peningkatan kualitas hidup
masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang semata. Kaidah dasar moral berupa
non-maleficence, beneficence, justice, dan autonomy haruslah dihormati untuk kepentingan
masyarakat.

3.2 Saran
1. Masalah kloning pada manusia ini masih relatif baru dan akan terus berkembang, maka
sebaiknya perlu diikuti perkembangan kajian ilmiah yang melibatkan berbagai disiplin
ilmu. Dengan demikian akan bisa diharapkan akan menghasilkan kebijaksanaan baru
yang lebih tepat,terutama untuk mempersiapkan peraturan khusus mengenai masalah
ini.
2. Diperlukan perundang-undangan yang khusus di Indonesia untuk mengatur masalah
kloning ini agar peneliti dapat mengetahui batasan hukum yang jelas dalam meneliti
teknologi kloning ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Shannon TA. An Introduction to Bioethics (Pengantar Bioetika), diterjemahkan oleh Bertens


K. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1-6, 131-43.

Dixon, Patrick. Available from: http://www.human cloning latest news. htm.2003.

History of Cloning oleh Wildan Yatim (1997)

Ethika Kedokteran & Hukum Kesehatan oleh Edisi Hardiman dan F. Budi (2002)

KLONING PADA MANUSIA oleh Ahmad Dakhoir (2011)

Cloning-A Webliography [homepage on the Internet]

21

Anda mungkin juga menyukai