Anda di halaman 1dari 13

1

KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF

( Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan


Pendidikan Islam)

Dosen Pengampu : Yoga Anjas Saputra, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 10 :

Avi Amelia (2111010405)

Ochy Harsam Ashara Sarti (2111010112)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

T.A 2022 / 2023


ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberi kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul kebijakan pendidikan inklusif
disusun guna memenuhi tugas dari bapak Yoga Anjas Pratama, M.Pd pada mata
kuliah kebijakan pendidikan islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Yoga Anjas Pratama,
M.Pd pada mata kuliah kebijakan pendidikan islam. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kami bahas.
Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandar Lampung, 12 Mei 2023

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang dan Teori Kebijakan Pendidikan Inklusif .......................... 6


B. Formulasi Kebijakan Pendidikan Inklusif ................................................... 8
C. Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif ........................ 10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 12
B. Saran .......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan pondasi dasar sebuah bangsa. Bangsa yang maju


biasanya memiliki warga negara yang terdidik, begitu pula sebaliknya. Negara
yang terbelakang biasanya memiliki warga negaranya juga terbelakang dalam
hal pendidikan. Sebagaimana di katakana oleh Nelson Mandela “Education is
the most powerful weapon which you can use to change the world”.
Pendidikan merupakan senjata yang kuat yang bisa kamu gunakan untuk
mengubah dunia. Betapa besarnya pengaruh pendidikan dalam menentukan
kemajuan sebuah bangsa. Selain itu pendidikan juga di nilai mampu
mengangkat harkat dan martabat bangsa itu sendiri. Oleh karenanya,
mendapatkan pendidikan adalah hak setiap warga dan negara wajib
membiayainya.
Dunia pendidikan Indonesia mengalami banyak permasalahan, mulai dari
pemberantasan buta-huruf, angka putus sekolah, kenakalan remaja, hingga
peluang untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan,
terutama untuk para penyandang disabilitas.
Demi mensukseskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun dan mengembangkan kebijakan non diskriminatif dalam bidang
pendidikan serta pentingnya pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK), maka pendidikan inklusif menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi
kesenjangan tersebut. Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus
di didik bersama-sama dengan anak normal lainnya untuk memaksimalkan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap anak. Pendidikan inklusif harus mampu
menyesuaikan diri dan fleksibel terhadap kebutuhan peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK). Fleksibilitas tersebut terkait dengan kurikulum,
pendekatan pembelajaran, sistem evaluasi, serta mencerminkan pembelajaran
yang ramah.
5

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Latar Belakang dan Teori Kebijakan Pendidikan Inklusif?
2. Bagaimana Formulasi Kebijakan Pendidikan Inklusif?
3. Apa Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif?

C. Tujuan Makalah
1. Mampu Mengetahui Latar Belakang dan Teori Kebijakan Pendidikan
Inklusif.

2. Mampu Formulasi Kebijakan Pendidikan Inklusif.


3. Mampu Mengetahui Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Inklusif.
6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Kebijakan Pendidikan Inklusif

Kebijakan yang baik ialah kebijakan yang membantu individu dan


masyarakat dalam memecahkan setiap problema kebutuhan, keinginan dan
harapan masyarakat yang lebih besar dan menyeluruh. Oleh karena itu,
kebijakan pendidikan semestinya diupayakan dalam rangka proses-proses
penyesuaian diri setiap anggota masyarakat terhadap lingkungan sosial
masyarakat pada umumnya. Kebijakan pembangunan pendidikan harus
dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan
keilmuan dan kualitas hidupnya, materiil dan spritualnya, sehingga pada
akhirnya masyarakat dapat keluar dari semua problema
kehidupannya berupa kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.1
Hal ini sangat diperlukan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
(termasuk peserta didik berkebutuhan khusus) secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran. Sungguh sangat indah jika semua yang direncanakan dapat
terlaksana dengan sebaik-baiknya, namun dalam prosesnya sering terjadi
atau ditemui permasalahan. Penyebab permasalahan tersebut dapat dari
dalam diri anak (intrinsik) atau dari luar diri anak (ekstrinsik).2

1
M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan Objektif Pendidikan di
Indonesia, (Jakarta: Raja Wali, 2015), h. 275
2
Dedy Kustawan, Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, cet. 1, (Jakarta: PT. Luxima
Metro Media, 2013), h. 1-2
7

Dalam perkembangannya agar tercapai hasil optimal dalam bidang


pendidikan maka anak berkebutuhan khusus memerlukan pendidikan
khusus. Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 32 ayat (1)
Pendidikan khusus adalah “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Pendidikan khusus tersebut diselenggarakan secara inklusif pada
satuan pendidikan umum (TK, RA, SD, MI, SMP, MTs, SMA dan MA)
dan satuan pendidikan kejuruan (SMK dan MAK) serta melalui satuan
pendidikan khusus (TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB/SMKLB) secara
terpisah.
Satuan pendidikan yang dimaksud oleh peneliti adalah satuan
pendidikan umum yaitu TK dan RA. Proses menuju pendidikan inklusif
bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia hakekatnya sudah
berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil
diterimanya beberapa lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra di
Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari
pihak sekolah. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap
kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh
perhatian terhadap pentingnya pendidikan inklusi, dan untuk membantu
mengembangkan sekolahintegrasi. Keberhasilan proyek ini telah
menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor
002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
Sayangnya,ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi
pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang
SD.
Teori kebijakan pendidikan inklusif Menurut unesco (2005:15-16)
dalam guidelines for inclusion: ensuring access to education for all
menyatakan ada empat elemen penting dalam inklusi:
8

1. Inklusi adalah proses (inclusion is a process). Artinya, inklusi sebagai


proses yang berlangsung terus menerus untuk mencari dan
menemukan cara yang lebih baik dalam menanggapi keragaman. Ini
tentang belajar bagaimana caranya untuk hidup dengan perbedaan dan
belajar bagaimana belajar dari perbedaan. Proses belajar yang di
lakukan individu dengan berbagai karakteristik yang berbeda dengan
keberagaman karakteristik individual difasilitasi dan diarahkan untuk
mencapai tujuan pendidikan sesuai potensi yang dimiliki.

2. Inklusi berkaitan dengan identifikasi dan menghilangkan hambatan


(inclusion is concerned with the identifi cation and removal of
barriers). Karena itu, mengumpulkan dan mengevaluasi informasi dari
berbagai sumber untuk merencanakan perbaikan dalam kebijakan dan
praktik. Ini adalah tentang menggunakan berbagai macam bukti untuk
merangsang kreativitas dan pemecahan masalah. Inklusi sebagai
proses untuk melakukan asesmen, mengidentifikasi berbagai
kelebihan dan kelemahan individu agar layanan pendidikan yang
diberikan mampu mengatasi berbagai hambatan, kelemahan secara
tepat dan menyeluruh.

3. Inklusi adalah tentang kehadiran, partisipasi dan prestasi semua siswa.


(inclusion is about the presence, participation and achievement of all
students). Kehadiran berhubungan dengan tempat, waktu siswa dalam
mengikuti kegiatan belajar. Partisipasi sebagai bentuk keterlibatan
siswa sesuai kualitas, pengalaman siswa serta prestasi sebagai hasil
belajar selama mengikuti kegiatan belajar baik tes dan non tes. Inklusi
sebagai proses pengukuran yang menyeluruh sejak awal sampai
berakhirnya kegiatan pembelajaran.

4. Inklusi melibatkan penekanan khusus pada kelompok peserta didik


yang mungkin berada di risiko terpinggirkan, exclusion, kurang
berprestasi (inclusion involves a particular emphasis on those groups
of learners who may be at risk of marginalization, exclusion or
underachievement). Perhatian dan bertanggung jawab terhadap
9

kelompok yang memiliki tingkat beresiko tinggi perlu diberikan


perhatian secara berhati-hati untuk memastikan kehadiran, partisipasi
mereka dalam sistem pendidikan.

B. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif

Implementasi kebijakan pelaksanaan pendidikan inklusif di


Indonesia didasarkan pada undang-undang dasar tahun 1945 pasal 31 ayat 1
yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan wujud
kebudayaan pemerintah dalam meringankan beban biaya orang tua dan
menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun diamanahkan pada ayat 2 pasal
yang sama yaitu setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan baik fisik mental
maupun intelegensi diamanahkan pada undang-undang nomor 20 tahun
2003 pasal 5 ayat 2 bahwa warga negara yang mempunyai kelainan fisik
emosional mental intelektual dan sosial berhak mendapatkan pendidikan
khusus pasal 32 ayat 1 pada undang-undang yang sama dijelaskan bahwa
pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik
emosional mental sosial dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Sebagai wujud upaya pemerintah dalam memerangi diskriminasi
pendidikan di Indonesia pada tanggal 8 sampai dengan 14 Agustus 2004
dilaksanakan deklarasi Bandung dan menghasilkan butir-butir kebijakan
dalam implementasi pendidikan inklusif yang ditandatangani oleh Menteri
Pendidikan Nasional Bank Dunia IDP Norway dan eenet Asia. Kebijakan
tersebut menghimbau kepada pemerintah institusi pendidikan institusi
terkait dunia usaha dan industri dan masyarakat untuk dapat :
a. menjamin Setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya mendapat kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan
baik dalam bidang pendidikan kesehatan nasional kesejahteraan
10

keamanan maupun bidang lainnya sehingga menjadi generasi


penerus yang handal.

b. Menjamin Setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus


lainnya sebagai individu yang bermartabat untuk mendapatkan
perlakuan yang manusiawi pendidikan yang bermutu sesuai dengan
merugikan eksetensi kehidupannya baik secara fisik psikologis
ekonomis sosiologis hukum politik maupun kultural.

c. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan


inklusif yang ditunjang kerjasama yang Sinergi dan produktif di
antara para stakeholder terutama pemerintah institusi pendidikan
institusi terkait dunia usaha dan industri orang tua serta masyarakat.

d. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuh anak


berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sehingga
memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan
potensinya secara optimal.

e. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan


khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun
proaktif dengan siapapun kapanpun dan di lingkungan manapun
dengan meminimalkan hambatan.

f. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan


inklusif melalui media massa forum ilmiah Pendidikan dan
Pelatihan lainnya secara berkesinambungan.

g. Menyusun rencana aksi action plan dan pendanaan untuk


pemenuhan aksebilitas fisik dan non fisik layanan pendidikan yang
berkualitas kesehatan rekreasi dan kesejahteraan bagi semua anak.

C. Konsep Kebijakan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari suatu


sistem pendidikan. Pada sekolah inklusif semua anak diusahakan untuk
11

dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi atau


penyesuaian. Direktorat pembinaan SLB (2007) dalam Garnida (2015:48)
menjelaskan bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem
penyelenggaraan pendidikan untuk anak- anak yang memiliki
keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya tanpa menghiraukan
keterbatasan masing-masing.
Alfian (2013:70) menyimpulkan pendidikan inklusif sebagai
berikut:Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan
layanan PLB dengan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan
atau penempatan semua anak luar biasa di sekolah biasa. Dengan
pendidikan inklusif semua anak luar biasa dapat bersekolah di sekolah
terdekat dan sekolah yang menampung semua anak. Dalam konsep
pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif diartikan sebagai
penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan
reguler dalam satusistem pendidikan yang dipersatukan.
Pendidikan inklusif tidak melihat dari sudut ketidakmampuannya,
kecacatannya, serta tidak pula dari segi penyebab kecacatannya, tetapi
lebih pada kebutuhan –kebutuhan khusus mereka (Purwanta, 2002:3).
Kebutuhan mereka jelas berbeda dari satu dengan yang lain. Inti dari
pendidikan inklusif itu sendiri yaitu sistem pemberian layanan pendidikan
dalam keberagaman, serta menghargai perbedaan semua anak (Kustawan,
2012:7). Semua anak tanpa terkecuali ABK memperoleh pendidikan yang
bermutu serta mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan
inklusif merupakan pendidikan yang menjadikan keberagaman menjadi
satu kesatuan. Semua anak terlepas dari mampu atau tidaknya, status
sosial, ekonomi dan latar belakang yang berbeda menjadi satu dalam
ranah pendidikan dengan sekolah yang sama. Pendidikan inklusif melihat
suatu perbedaan adalah tantangan dan sangat menghargai keberagaman
tanpa melihatnya sebagai suatu masalah yang harus dihindari.
12

BA III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri


lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi,
penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat, di dalam uu dikti
dijelaskan otonomi perguruan tinggi terhadap bidang keilmuan yang
dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) uu dikti menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik,
dan otonomi keilmuan.
Perguruan tinggi seharusnya mampu memberikan kepastian pada
semua stakeholders-nya akan ketersediaan pendidikan yang berkualitas.
Dalam hal ini, stakeholder atau pemangku kepentingan sebuah
perguruan tinggi diawali dari pemerintah selaku pemberi wewenang,
mahasiswa, orangtua, atau wali mahasiswa, pihak yang berperan sebagai
mitra lembaga pendidikan tinggi, dan Dunia Usaha serta Dunia Industri
sebagai pihak pemakai/pengguna para tamatan serta masyarakat yang
memiliki kepentingan dan harapan terhadap perguruan tinggi

B. Saran
Perguruan tinggi dapat meningkatkan mutu berupa peningkatan
akreditasi perguruan tinggi, kualitas dosen, sarana dan prasarana
kampus, rasio mahasiswa dan kegiatan pendukung lainnya. Dengan
peningkatan mutu tersebut, maka output yang dihasilkan (lulusan
mahasiswa) akan lebih berkualitas. Dan bagi pemerintah diharapkan
adanya kerjasama dalam peningkatan mutu kualitas sumberdaya
manusia seperti berupa bantuan pembangunan perguruan tinggi,
memfasilitasi beasiswa, perizinan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Diyanto, Chafid. Putranti, Ika Riswanti. Yuwono, Teguh dan Yuniningsih, Tri.
"Kebijakan Otonomi Perguruan Tinggi Indonesia: Antara Privatisasi dan
Komersialisasi". Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Vol. 14 No. 1.
2021.
Hasbullah. Otonomi Pendidik. Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2007.

W, Galih. Pradana. Ma’ruf, M Farid. Desentralisasi Pendidika. Unesa University Press.

2019.

Al Kadri, Hanif. Akuntabilitas Kinerja Perguruan Tinggi. Depok: PT. Raja Grafindo
Persada.2021.

Arsyad, Junaidi. “Otonomi Pendidikan dan Pembiayaan Pendidikan”. Jurnal


Sabilarrasyad. Vol. 3. No. 2. 2021.

Anda mungkin juga menyukai