Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khsusus

Dosen Pengampu

Disusun Oleh:
5A

Regita
Elvira Maulina 180611100011
Muyessaroh 1806111000

PROGRAM STUDI S 1 PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRONOJOYO MADURA
2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusi.....................................................
B. Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusi..........................
C. Prinsip Pendidikan Inklusi..........................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan inklusif menjadi alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
mengalami keterbatasan fisik namun masih dapat mengikuti materi yang diajarkandi sekolah-
sekolah umum. Banyak diantara mereka yang bersekolah di sekolah umum dapat mengikuti
pembelajaran dan bahkan mampu mengalahkan anak-anak yang tumbuh dengan fisik yang utuh
dari materi yang diujikan kepada mereka. Dengan bergabungnya mereka di sekolah reguler (non
SLB) memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat bersosialisasi dengan anak yang
tumbuh dengan normal untuk membantu perkembangan emosional anak tersebut agar tidak
menjadi anak yang minder, dan bahkan menganggap diri mereka sama dengan anak yang lain.
Hal inilah yang mendasari pendidikan inklusif diselenggarakan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi?

2. Bagaimana sejarah dan perkmbangan pendidikan inklusi?

3. Apa saja prinsip pendidikan inklusi?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan inklusi

2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan pendidikan inklusi

3. Untuk mengetahui prinsip pendidikan inklusi


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi secara khusus diartikan sebagai sebuah upaya penyelenggaraan
pendidikan yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus dan anak normal untuk
belajar. Secara konseptual pendidikan inklusif merupakan sistem layanan Pendidikan
Luar Biasa (PLB) yang mempersyaratkan agar semua dilayani di sekolah umum terdekat
bersama teman seusianya. Menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan / atau bakat istimewa, Pasal 1 bahwa : Pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya. Hallahan Et Al. (2009: 53) mengemukakan
pengertian pendidikan inklusi sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta
didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Menurut Staub dan
Peck dalam Tarmansyah (2007: 83), pendidikan inklusi adalah penempatan anak
berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas.
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan
strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua termasuk anak penyandang
cacat. pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan
yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan,
keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan,
upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap
masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013
tentang Sistem Pendidikan Nasional membuka jalan bagi anak-anak dengan kebutuhan
khusus untuk dapat mengenyam pendidikan dengan layak. Adanya pendidikan inklusi
artinya sekolah tersebut harus mampu mengakomodasi setiap anak tanpa kecuali, baik
secara fisik, intelektual, emosional, sosial, bahasa, budaya, etnis, minoritas dan berbagai
hal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan di antara anak kebutuhan khusus
dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuhan khusus dapat
memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Dalam pendidikan inklusi menempatan anak berkebutuhan khsusus tingkat
ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas biasa. Secara umum pendidikan inklusif
dapat dikelompokan sesuai dengan konsep pendidikan Nasional diantaranya:
1. Inklusif sebagai pendidikan yang memberikan kesempatan yang adil kepada
semua siswa untuk bisa mengakses pendidikan tanpa membedakan gender,
etnik, status sosial dan kebutuhan khusus (kemampuan) pada semua
level/jenjang pendidikan.
2. Dalam sekolah inklusif menerapkan model multi input artinya tidak mengenal
penolakan murid. Kondisi ini tentu berbeda dengan sistem seleksi siswa baru
dalam persekolahan yang saat ini masih cenderung menggunakan seleksi
peringkat nilai hasil kelulusan.
3. Program kurikulum dalam pendidikan inklusif berbasig kepada anak. Dalam
hal ini tentu disesuaikan dengan kebutuah anak berkebutuhan khusus.
Penyelenggraan pembelajaran dilaksanakan dalam kelas bersama-sama siswa
regular dan anak berkebutuhan khusus.
4. Sistem evaluasi bersifat “fair”/adil disesuaikan dengan kemampuan siswa.
Bagi siswa yang mampu mengikuti evaluasi regular dievalusai sesuai sistem
evaluasi reguler, dengan memodifikasi instrumen jika diperlukan.

Pendidikan inklusif tidak dapat bekerja sendiri, Dalam pendidikan seperti ini,
guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus
tersebut. Guru harus mampu menggunakan berbagai pendekatan pengajaran, bekerja
secara kolaboratif, dan menggunakan berbagai metode penilaian. Pendidikan inklusi
bertujuan untuk memungkinkan siswa meraih potensi mereka (Friend & William, 2015:
5). Terdapat guru pembimbing khusus (GPK) yang diharapkan berkompetensi untuk
mendampingi dan membimbing untuk dapat lebih baik. Selain guru dengan pendidikan
khusus, keberhasilan pendidikan bagi siswa dengan kebutuhan pendidikan khusus atau
special education needs (SEN) di sekolah inklusif membutuhkan keterlibatan para
profesional. Para profesional ini diharapkan dapat membantu dalam melakukan
identifikasi, memberikan rujukan, memberikan diagnosis dan layanan pendidikan yang
sesuai. Anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas
pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan
Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan inklusi meliputi tiga macam pelayanan yaitu:

1. Pengajaran yang dirancang secara khusus (SDI)


Pengajaran yang dirancang secara khusus dibuat untuk memenuhi
kebutuhan individual siswa penyandang disabilitas. SDI dipantau secara
cermat dan setiap kemajuan yang berkaitan dengan pengajaran harus
didokumentasikan (Friend & William, 2015: 5).
2. Layanan Terkait
Siswa penyandang disabilitas juga juga dapat memperoleh layanan terkait,
yaitu bantuan di luar pengajaran akademis yang memungkinkan siswa untuk
memperoleh manfaat dari pendidikan khusus seperti terapi bicara/bahasa dan
terapi okupasional.
3. Bantuan dan Jasa Pelengkap (SAS)
Bantuan dan jasa pelengkap atau supplementary aids and service (SAS)
merupakan suatu susunan luas atas berbagai bantuan yang memungkinkan
siswa penyandang disabilitas untuk dapat berpartisipasi dalam pendidikan
umum, kegiatan ekstrakulikuler, dan kegiatan sekolah lainnya agar mereka
dapat dididik bersama dengan teman sebaya yang bukan penyandang
disabilitas.
B. Sejarah dan perkembangan inklusi
1. Sejarah Pendidikan Inklusif di indonesia
Semenjak dikeluarkannya Undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954
pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kelainan fisik dan mental sudah
terjamin secara hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah bagi anak-
anak penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai macam sekolah luar
biasa. SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B bagi tuna rungu-wicara, SLB-C untuk
tuna grahita, SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk tuna laras, SLB-G untuk tuna
ganda. Jaminan pendidikan itu semakin menguat khususnya semenjak keluarnya
program pemerintah tahun 1984 tentang program wajib belajar enam tahun. Imbas
dari program tersebut menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar wajib
bersekolah dan menamatkan pendidikan minimal enam tahun. Berbagai program
pendukungpun disusun, mulai dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah kecil
hingga sekolah terbuka, perubahan juga disarankan oleh sekolah-sekolah luar
biasa yang ada, dengan daya tamping yang terbatas maka pemerintah melebur
SLB yang ada menjadi SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah
Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa).
Pada tanggal 3 Desember 1992 dicanangkan sebagai hari Disabilitas
Internasional oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa. Sehingga hampir di
seluruh dunia memperingatinya. Disabilitas sendiri merupakan kata serapan yang
berasal dari Bahasa Inggris Disability yang berarti Cacat. Osborne
mengungkapkan dalam Mudjito, dkk (2012), mengungkapkan kategori Disabilitas
menurut IDEA yang merupakan singkatan dari The Individual with Disabilities
Education Act dengan:
a. with mental Retardation, hearing impairments including deafness, speech
or language impairments, visual impairments including blindness,
ortopedic impairments, autism, traumatic brain injury, other health
impairments, or spescific learning disabilities.
b. who by reason ther of, need special attention and related service.

Menurut defenisi di atas terlihat bahwa, anak-anak penyandang disabilitas


dikategorikan menjadi dua bagian, yang pertama anak-anak yang mengalami
masalah segi fisik, psikologis, maupun ketidak-mampuan mengikuti pembelajaran
tertentu. Kelompok selanjutnya merupakan anak normal yang tumbuh seperti
anak-anak pada umumnya, namun mereka tidak mendapatkan kesempatan
sekolah dikarenakan kondisi tempat tinggalnya yang jauh dari sekolah, berasal
dari keluarga miskin, permasalahan rumah tangga dan lain sebagainya.

Keseriusan pemerintah mengenai hak-hak penyandang disabilitas dalam


bidang Pendidikan dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003. Yang di dalamnya termaktub hak-hak penyandang disabilitas, yakni dalam
Bab IV Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Selanjutnya melalui surat edaran (Kemendiknas, 2010: 6) Dirjen


Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003: ”setiap
kabupaten/ kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan
inklusif di sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA,
SMK”.

Di samping itu perhatian badan dunia terhadap penyandang Disabilitas


juga tidak hanya sebatas peringatan ceremonial semata, tepatnya 13 Desember
2006 dimana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi
Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Menindaklanjuti resolusi
tersebut Pemerintah Indonesia menandatanganiConvention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan
kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan
memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat
memenuhi kesejahteraan para penyandang disabiliitas.

Sebenarnya Pemerintah telah membentuk berbagai peraturan perundang-


undangan yang di dalamnya juga mengatur pelindungan terhadap penyandang
disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak


2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Di dalam berbagai undang-undang di atas banyak memberikan perlindungan


dan kepastian hukum bagi para penyandang disabilitas, namun baru pada
Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan memberikan solusi baru dalam dunia pendidikan. Dimana dalam
Permendikbud tersebut ditetapkan tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Lebih lanjut dikatakan dalam Permendikbud ini didefenisikan Pendidikan inklusif
adalah Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Lebih lanjut dalam diklasifikasikan peserta didik yang dikategorikan memiliki


kelainan dan menambahkan dengan anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa diantaranya: a) Tunanetra; b) Tunarungu; c) Tunawicara; d)
Tunagrahita; e) Tunadaksa; f) Tunalaras; g) Berkesulitan belajar; h) Lamban belajar;
i) Autis; j) Memiliki gangguan motorik; k) Menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l) Memiliki kelainan lainnya; dan m)
Tunaganda.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah biasa memberikan
dampak ecara tidak langsung kepada para penyandang disabilitas, dimana keberadaan
anak-anak normal yang berada dilingkungan belajar mereka dapat melupakan sejenak
kekurangan yang mereka alami. Begitupun sebaliknya, anak-anak normal yang
menjadi teman sekelas mereka menjadi lebih empati, suka menolong, berbagi dan
mendahulukan kepentingan teman mereka yang lebih membutuhkan bantuan daripada
ego mereka sendiri. Hal ini susah mereka dapatkan ketika mereka hanya bergaul
dengan sesama anak normal, terkadang tidak mau mengalah karena mereka sama-
sama merasa lebih satu dengan yang lain. Akan tetapi dengan bergaulnya mereka
dengan penyandang Disabilitas mereka melihat langsung teori-teori yang dipaparkan
oleh guru mereka tentang budi pekerti yang harus mereka miliki dalam kehidupan
sehari-hari.

Pendidikan Iklusif merupakan jalan bagi anak anak penyandang Disabilitas


dan penyandang ketunaan lainnya untuk dapat menunjukkan eksistensi mereka
dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Banyak kita temui anak-anak yang
memiliki bakat yang luar biasa dari segi seni, tari, musik, intelejensi, maupun
kecakapan Lifeskill lainnya. Hal ini bermula dari keinginan yang luar biasa yang
mereka miliki, dengan keinginan yang luar biasa tersebut sang anak akan
mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh untuk melahirkan sebuah karya yang
mereka yakini sendiri dan hasilnyapun akan menjadi luar biasa.

Selanjutnya Pemerintah Mengesahkan Konvensi yang telah ditanda tangani


tersebut dengan melahirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Adapun Pokok-Pokok Isi Konvensi
tersebut diantaranya yaitu:

a. Pembukaan
Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak yang
sama bagi penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan
efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan bahwa
diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap
martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang.
b. Tujuan

Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan


menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua
penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang
disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).

c. Kewajiban Negara Kewajiban


Negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari
setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan,
kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang
disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi
penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta
pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
d. Hak-hak Penyandang Disabilitas
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia,
bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta
memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental
dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk
didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial
dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
e. Implementasi dan Pengawasan Nasional
Negara Pihak harus menunjuk lembaga pemerintah yang
menangani masalah penyandang disabilitas yang bertanggungjawab terkait
pelaksaan Konvensi ini, dan membangun mechanisme koordinasi di
tingkat pemerintah untuk memfasilitasi tindakan tersebut.
f. Lapoan Negara Pihak da Peran Komite Pemantau KOnvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas

Negara wajib membuat laporan pelaksaan konvensi ini 2 tahun


setelah konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4
(empat) tahun atau kapan pun jika diminta Komite Pemantau Konvensi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas membahas laporan yang disampaikan oleh Negara Pihak dan
memberikan pertimbangan mengenai cara dan sarana meningkatkan
kapasitas nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini. Komite juga
melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Komite
Pemantau Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya.

2. Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) merilis data bahwa dari 514
kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum
memiliki SLB. Lebih lanjut disampaikan bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan
khusus di Indonesia, baru 18 persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan
inklusi. Sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB,
sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi
berjumlah sekitar 299 ribu (blog Kemdikbud, 2017).
Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan
berbagai upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di
berbagai daerah di Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam Penghargaan
bagi Provinsi dan Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri menjadi
penyelenggara Pendidikan Inklusif. Diantara Provinsi yang telah mendeklarasikan
diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif diantaranya; Pada tahun 2012
dimulai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan
oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI
Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsis Sulawesi Tenggara mendeklarasikan diri
dengan disusul oleh Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Bali dan Provinsi Lampung.
Kemudian pada tahun 2015 hanya Provinsi Sumatera Utara yang tercatat
mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara Timur dan Jawa
Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan Inklusif
(diolah dari berbagai sumber).
Kita bersyukur dengan provinsi-provinsi yang telah turut serta dalam
mensukseskan program nasional ini untuk memberikan akses bagi anak-anak
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan bergaul dengan
anak-anak normal lainnya. Tapi terkadang kita masih menyayangkan 21 Provinsi
yang “masih berfikir” untuk mendeklarasikan diri menjadi provinsi
penyelenggara pendidikan inklusif sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa
kebutuhan anak berkebutuhan khusus sudah sangat mendesak, dengan adanya
Legal Standing dari masing-masing daerah, maka sekolah-sekolah yang ada di
tingkat kabupaten/kota akan mendapatkan akses, fasilitas, dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan untuk mensukseskan Pendidikan Inklusif itu sendiri. Walaupun
seperti yang kita ketahui bahwa tidak 100% Provinsi-provinsi yang telah
mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif diamini
oleh daerah-daerah tingkat Kabupaten/Kota yang berada di bawah garis komando
mereka dengan berbagai alasan termasuk alasan klasik yaitu Hak Otonomi Daerah
maupun keterbatasan anggaran. Begitu pula berbagai macam kendala sekolah di
Kabupaten/kota lain yang berada dibawah provinsi-provinsi yang belum
mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif,
sedangkan mereka telah menyelenggarakan Pendidikan Inklusif secara mandiri.
C. Prinsip Pendidikan Iinklusi
Prinsip dasar pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan jaminan akses dan
peluang bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang
kehidupan mereka (Mohammad Takdir Ilahi, 2013:48). Menurut Usman Abu Bakar
(2012:138) ada dua prinsip pendidikan inklusif, yaitu:
1. Prinsip persamaan hak dalam pendidikan Pendidikan inklusif
mengakomodasi semua anak untuk mendapatkan pendidikan. Memperoleh
pendidikan yang bermutu, menghargai keragaman, dan mengakui perbedaan
individual.
2. Prinsip peningkatan kualitas sekolah Selalu berusaha untuk meningkatkan
mutu dan kualitas sekolah baik dalam penyediaan sarana dan prasarana,
kemampuan guru, serta merubah pandangan sekolah tentang kebutuhan anak,
melakukan kerjasama dengan institusi terkait sebagai rekan untuk
meningkatkan kualitas sekolah, dan mewujudkan sebuah sekolah yang ramah
terhadap anak sehingga anak merasa aman dan nyaman untuk belajar dan
berinteraksi dengan teman sebayanya (Usman Abu Bakar, 2012:138).

Sedangkan menurut Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf (2009:74-75)


menyatakan ada lima prinsip dasar dari pendidikan inklusif, yaitu:

1. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu Pendidikan inklusif merupakan


salah satu strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
karena lembaga pendidikan inklusif bisa menampung semua anak yang belum
terjangkau oleh layanan pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga
merupakan strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran inklusif
menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi yang bisa menyentuh pada
semua anak dan menghargai perbedaan.
2. Prinsip kebutuhan individual Setiap anak memiliki kemampuan dan
kebutuhan yang berbeda-beda, oleh karena itu pendidikan harus diusahakan
untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.
3. Prinsip kebermaknaan Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai
perbedaan.
4. Prinsip keberlanjutan Pendidikan inklusif diselenggarakan secara
berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
5. Prinsip keterlibatan Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan
seluruh komponen pendidikan terkait (Abdul Salim Choiri dan Munawir
Yusuf, 2009:74-75).

Prinsip pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada individu untuk


mengembangkan potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat. Prinsip layanan
dalam pendidikan insklusif diantaranya yaitu:

1. Sekolah dengan tetap berlabel anak berkebutuhan khusus, layanan diberikan


oleh guru kelas dan guru khusus.
2. Sekolah tanpa berlabel anak berkebutuhan khusus, layanan diberikan oleh
guru kelas/mapel dibekali kompetensi bidang ke-PLB-an dan bekerja secara
tim tetap.
3. Pembelajaran dikelas dilakukan secara individual, meskipun ada beberapa
anak mempunyai kebutuhan belajar yang sama.
4. Pembelajaran berbasis multimodalitas dengan kurikulum multilevel.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafiz. 2017. Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-
Salam. Vol. 1. No. 3.

Amka. 2019. Pendidikan Inklusif Bagi Siswa Bekebutuhan Khusus Di Kalimantan Selatan.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 4, No. 1.

Ishartiwi. 2010. Implementasi Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam
Sistem Persekolahan Nasional. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol. 6. No. 1.

Setianingsi, Eka Sari & Ikha Listyarini. 2019. Implementasi Pelaksanaa Pendidikan Inklusi di
SD BINA HARAPAN Semarang. Jurnal Taman Cendekia. Vol. 03. No. 01.

Anda mungkin juga menyukai