Anda di halaman 1dari 94

MANAJEMEN

SEKOLAH INKLUSIF
i

K A T A P E N GA N T A R

Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Tuhan


Yang Maha Esa atas segala hikmat, pengetahuan, dan
penyertaanNya yang dianugerahkan kepada kita umat manusia,
secara khusus bagi penulis sehingga dapay menyelesaikan buku
ini. Buku ini berjudul “Manajemen Sekolah Inklusif ”.
Berangkat dari pengertian Pendidikan sebagai salah satu
sarana yang membebaskan anak dari keterbelakangan,
kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan merupakan salah satu
wahana perluasan akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat
baik secara horisontal maupun secara vertikal. Selain itu
pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa.
Pemerintah melalui yuridis tercermin dalam pasal 31 ayat (1)
UUD 1945 “ Setiap warga negara berhak mandapatkan
pendidikan” dan Permendiknas nomor 70 Tahun 2009
“Pendidikan untuk semua” sebagai dasar terkait
penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan
khusus, serta penerimaan oleh sekolah umum dan penerimaan
oleh masyarakat yang membuat anak berkebutuhan khusus
memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan
pendidikan seperti anak normal yang lain dan mampu
mengembangkan potensi sesuai kebutuhannya.
ii

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin hari


semakin berkembang serta perubahan yang cukup signifikan
baik dari pemerintah, sekolah, siswa bukan berkebutuhan
khusus, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan
inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang mengatur
agar difabel (anak berkebutuhan khusus) dapat dilayani di
sekolah terdekat, di kelas regular bersama teman-teman
seusianya. Banyak sekolah yang sudah merintis pendidikan
inklusif baik yang ditunjuk oleh pemerintah maupun dengan
pengajuan sendiri yang didasarkan pada sekolah tersebut
terdapat anak (difabel) berkebutuhan khusus yang sudah
bersekolah disitu.
Dalam penyelenggarakan inklusif sekolah yang mengacu
pada standar sekolah umum yang dikeluarkan pemerintah
dimulai dari standar kelulusan, standar isi, standar proses,
standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana prasarana, standar pembiayaan, maupun standar
penilaian ditambah dengan pedoman-pedoman khusus
penyelenggarakan pendidikan inklusif.
Beberapa sekolah masih mempersepsikan pendidikan
inklusif sama dengan sistem integrasi, sehingga anak yang
menyesuaikan dengan sistem sekolah, anak berkebutuhan
khusus diperlakukan sama seperti peserta didik lainnya
disekolah tersebut, tanpa mendapat pelayanan yang khusus
sesuai kebutuhannya, sekolah belum menyediakan guru
iii

tenaga pendidik khusus, ada juga sekolah yang masih pilih–


pilih dalam menerima siswa berkebutuhan khusus. Pembinaan
terhadap tenaga pendidik dan kependidikan mengarah pada
pendidikan inklusif, guru belum menyusun program
pembelajaran individual berdasarkan identifikasi dan assesment,
belum ada sistem penilaian yang cocok untuk menilai kemajuan
hasil belajar siswa berkebutuhan khusus.
Manajemen merupakan usaha perencanaan, koordinasi,
serta pengaturan sumber daya yang ada demi mencapai tujuan
secara efektif dan efisien. Buku ini menjelaskan tentang
manajemen pendidikan bagi sekolah luar biasa (inklusif). Buku
ini membahas mulai dari ruag kajian manajemen pendidikan
inklusif sampai bagaimana tata kelola pendidikan inklusif itu
dapat berjalan dengan baik.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang membantu dalam penyusunan buku ini, dan
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan kedepan. Semoga buku ini bermanfaat.

Kupang, September 2020

Penulis
iv

DA F T A R I S I

KATA PENGANTAR ....................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................ iv

BAB I PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Definisi Pendidikan Inklusif ........................................... 2


B. Landasan Pendidikan Inklusif ........................................ 4
C. Tujuan dan Karakteristik Pendidikan Inklusif.............. 12
D. Siswa & Tenaga Pendidik Pada Pendidikan Inklusif .... 15
E. Model Pendidikan Inklusif .......................................... 18

BAB II ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

A. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus ........................... 21


B. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus ......................... 22

BAB III RUANG KAJIAN MANAJEMEN SEKOLAH INKLUSIF

A. Pengertian Dan Fungsi Pendidikan Inklusif ................. 26


B. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia......... 28
C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif .............................. 33
D. Isu dan Problematika Pendidikan Inklusif ................... 35

BAB IV PELAKSANAAN MANAJEMEN SEKOLAH INKLUSIF

A. Karakteristik Manajemen Pendidikan Inklusif............. 54


B. Pelaksanaan Manajemen Sekolah Inklusif .................. 56
v

C. Manajemen Pelayanan Khusus.................................... 66


D. Manajemen Mutu Terpadu ......................................... 69
E. Struktur Organisai Sekolah .......................................... 72
F. Pembagian Tugas Pimpinan Sekolah ........................... 74
G. Pembinaan Sekolah Inklusif ........................................ 83

DAFTAR PUSTAKA..........................................................86
PENDIDIKAN INKLUSIF

Bab ini membahas:


Definisi Pendidikan Inklusif
Landasan Pendidikan Inklusif
Tujuan dan Karakteristik Pendidikan Inklusif
Siswa dan Tenaga Pendidik Pada Pendidikan Inklusif
Model Pendidikan Inklusif
2

A. Definisi Pendidikan Inklusi


Inklusi merupakan sebuah kata yang berasal dari
terminologi Inggris “inclusion” yang berarti “termasuknya atau
pemasukan”. Sementara Olsen & Fuller menyatakan bahwa
inklusi merupakan sebuah terminologi yang secara umum
digunakan untuk mendidik siswa, baik yang memiliki maupun
tidak memiliki ketidakmampuan tertentu di dalam sebuah kelas
reguler. Dewasa ini, terminologi inklusi digunakan untuk
menggagas hak anak-anak yang memiliki ketidakmampuan
tertentu untuk dididik dalam sebuah lingkungan pendidikan
(sekolah) yang tidak terpisah dari anak-anak lain yang tidak
memiliki ketidakmampuan tertentu.
Sejalan dengan itu, ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI No. 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
disebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


3

Dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan


Inklusi Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak pendidikan anak,
pendidikan yang ada pada saat ini telah diarahkan untuk menuju
pendidikan inklusi sebagai wadah ideal yang diharapkan dapat
mengakomodasikan pendidikan bagi semua, terutama anak-
anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus untuk
memenuhi haknya dalam memperoleh pendidikan layaknya
seperti anak-anak lainnya.
Menurut pasal 130 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun
2010 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat
diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan
pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan,
dan/atau satuan pendidikan keagamaan.
Dalam pendidikan inklusi, layanan pendidikan disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan khusus anak secara individual
dalam konteks pembersamaan secara klasikal. Dalam pendidikan
ini tidak dilihat dari sudut ketidakmampuannya, kecacatannya,
dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya, tetapi lebih

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


4

kepada kebutuhan-kebutuhan khusus mereka yang jelas berbeda


antara satu dengan yang lain.
Selain itu, telah dikembangkan pula buku-buku pedoman
untuk sekolah inklusi, kepala sekolah, guru-guru, peserta didik
maupun orang tua peserta didik dan masyarakat. Buku-buku
tersebut meliputi pedoman alat identifikasi anak berkebutuhan
khusus, pengembangan kurikulum, pengadaan dan pembinaan
tenaga kependidikan, pengadaan dan pengelolaan sarana-
prasarana, kegiatan belajar mengajar, manajemen sekolah
dan pemberdayaan
masyarakat.
Dengan demikian, perlu diingat bahwa pendidikan atau
sekolah inklusi bukan sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki
kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan layanan
efektif bagi semua (education for all). Dengan kata lain,
pendidikan inklusi adalah pendidikan dimana semua anak dapat
memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir dan dipenuhi,
bukan hanya sekedar ditolerir.

B. Landasan Pendidikan Inklusi


Ada empat landasan yang harus dijadikan acuan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi. Keempat landasan tersebut
antara lain:

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


5

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar
sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih
mendasar lagi “Bhinneka Tunggal Ika”. Filsafat ini sebagai
wujud pengakuan keberagaman manusia, baik
keberagaman vertikal maupun horizontal, yang
mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan
bersama yang lebih baik.
Keberagaman vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial,
kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan
sebagainya. Sedangkan keberagaman horizontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya,
agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya. Berbagai keberagaman dengan kesamaan
misi yang diemban menjadi kewajiban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi yang dilandasi dengan saling
membutuhkan.
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali
potensi unggul yang tersembunyi dari dalam diri setiap
individu peserta didik untuk dikembangkan secara
optimal. Dengan demikian, pendidikan dapat diartikan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


6

sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua


potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik,
kognitif, afektif, dan intuitif secara optimal dan
terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu
bentuk keberagaman yang tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki
keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan
peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka
akan memungkinkan terjadinya saling belajar tentang
perilaku dan pengalaman.
2. Landasan Historis
Pada kenyataannya masa-masa awal bercerita bahwa
pada awalnya masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan
menganggap sebagai sampah dan menolak orang-orang
yang memiliki ketidakmampuan (disability) tertentu.26
Hal itu terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu
yang melahirkan anak cacat merupakan hukuman baginya
atas dosa-dosa nenek moyangnya, sehingga harus
dihindari. Selain itu, penolakan juga terjadi karena takut
tertular dan perjuangan untuk bertahan hidup. Anggota
kelompok yang terlalu lemah dan tidak mampu
memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup
kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


7

Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada


masa ini, muncul seorang fisikawan Hippokrates (460-377
SM) yang mulai mendobrak paradigma lama dengan
menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional
lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan
supranatural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih
tegas lagi, Plato (427-347 SM), seorang filosof besar
Yunani yang merupakan murid Socrates, mengatakan
bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak
bertanggung jawab atas perilaku mereka. Gagasan kedua
tokoh besar ini membawa perubahan. Menurut Olsen dan
Fuller sebagaimana dikutip oleh Wiyono, hal ini terbukti
dalam abad pertengahan dimana mulai muncul
berbagai kelompok religius yang memberikan
pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan
oleh keluarganya.
Abad dua puluh (masa transisi). Pada abad ini,
masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang
mengalami ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak
dari keyakinan bahwa setiap orang dapat belajar jika
diberi stimulus secara tepat. Skjorten sebagaimana dikutip
oleh Wiyono menyatakan bahwa dalam abad
keduapuluhan muncul berbagai pernyataan dan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


8

kesepakatan internasional berkaitan dengan hak


manusia. Misalnya saja Deklarasi Hak Asasi Manusia
(1948), Konvensi PBB tentang Hak Anak (1989), Konferensi
Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien,
Thailand (1990), dan dicetuskannya Peraturan Standar
tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat
(1993) yang diumumkan PBB tahun 1994.
Karena situasi tersebut dan semakin munculnya
kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai
manusia maka disuarakan hak anak berkebutuhan khusus
untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama.
Pelayanan yang dimaksudkan ialah dimana semua
orang (anak-anak maupun dewasa) adalah anggota
kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi
satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar
dan berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain,
menerima kenyataan bahwa individu tertentu mempunyai
kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadang-
kadang akan melakukan hal yang berbeda.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarki mulai dari undang-
undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah,
kebijakan direktur jenderal, peraturan daerah, kebijakan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


9

direktur hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan


kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan
dengan pendidikan. Adapun landasan yuridis
penyelenggaraan pendidikan inklusi sebagaimana
tertuang dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1.1 Landasan Yuridis Pendidikan Inklusi
Instrumen Internasional Instrumen Nasional
1) Deklarasi Universal
1) UUD 1945 (amandemen)
Hak Asasi Manusia
pasal 31.
(1948).
2) UU No. 20 Tahun 2003
2) Konvensi PBB tentang
pasal 3, 32, 36 ayat (3), 45
Hak Anak (1989).
ayat (1), 51, 52 dan 53.
3) Deklarasi Dunia
3) UU No 4 tahun 1997
tentang Pendidikan
tentang
Untuk Semua (Jomtien)
Penyandang Cacat pasal 5.
(1990).
4) Peraturan Standar
4) Deklarasi Bandung
tentang Persamaan
(Nasional)
Kesempatan bagi Para
”Indonesia Menuju
Penyandang Cacat
Pendidikan
(1993).

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


10

Inklusif” 8-14 Agustus


2004.
5) Pernyataan Salamanca
dan Kerangka Aksi 5) Deklarasi Bukit Tinggi
tentang Pendidikan (Internasional) Tahun 2005.
Kebutuhan Khusus
(1994).
6) Surat Edaran Dirjen
Dikdasmen Nomor
6) Tinjauan 5 tahun
380/C.C6/MN/2003 tanggal
Salamanca (1999).
20 Januari 2003 tentang
pendidikan inklusif.
7) Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor
70 Tahun 2009 tentang
7) Kerangka Aksi Forum
pendidikan inklusif bagi
Pendidikan Dunia
peserta didik yang memiliki
(Dakar) (2000).
kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa.
8) Tujuan Pembangunan
Millenium yang berfokus

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


11

pada Penurunan Angka


Kemiskinan dan
Pembangunan (2000).
9) Flagship PUS tentang
Pendidikan
dan Kecacatan (2001).

4. Landasan Empiris
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, (1948), Declaration of
Human Rights,
b. Konvensi Hak Anak, (1989), Convention on the Rights of
the Child,
c. Konferensi Dunia (1990), tentang Pendidikan untuk
Semua, (World Conference on Education for All),
d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the
standard rules on the equalization of opportunities for
persons with disabilities)
e. Pernyataan Salamanca(1994), tentang Pendidikan Inklusif,
f. Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk
Semua,
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia
menuju pendidikan inklusif”

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


12

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), tentang meningkatkan


kualitas system pendidikan yang ramah bagi semua

C. Tujuan dan Karakteristik Pendidikan Inklusi


Menurut Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003,
Pasal 1 ayat 1, secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq
mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara. Sementara itu, permendiknas No 70 tahun
2009 pasal 2 menjelaskan bahwa tujuan dari pendidikan inklusif
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, adanya pendidikan
inklusi untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua
peserta didik.
Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan social atau berkebutuhan khusus berhak

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


13

mengikuti pendidikan secara inklusi pada satuan pendidikan


tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Sementara itu, UNESCO (1994) mengemukakan bahwa:
“ At the core of inclusive education is the human right to
education, pronounced in the Universal Declaration of Human
Rights in 1949. Equally important is the right of children not to be
discriminated against, stated in Article 2 of the Convention on the
Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this right is
that all children have the right to receive the kind of education that
does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion,
language, gender, capabilities, and so on.”
Pendidikan inklusif merupakan inti dari hak asasi manusia
untuk memperoleh pendidikan. Hal ini telah dinyatakan dalam
Deklarasi Universal tentang hak azazi manusia di tahun 1949.
Kesamaan kepentingan adalah hak anak untuk tidak
didiskriminasikan, dinyatakan dalam pasal 2 dari Konvensi
tentang hak anak. Konsekuensi logik dari hak ini adalah bahwa
semua anak mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan
yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari ketidakmampuan,
etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa
pendidikan inklusif adalah hak untuk memperoleh pendidikan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


14

yang layak tanpa memandang perbedaan kondisi fisik, ras, agama,


bahasa dan sebagainya dalam mengenyam pendidikan.
Tujuan utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak
yang berkebutuhan khusus (ABK) akibat kecacatannya di kelas
reguler bersama- sama dengan anak-anak lain yang non-cacat,
dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, di sekolah
yang ada di lingkungan rumahnya. Di dalam Deklarasi Salamanca
sebagaimana dalam kutipan Firdaus menyatakan bahwa kelas
khusus, sekolah khusus atau bentuk-bentuk lain pemisahan anak
penyandang cacat dari lingkungan regulernya hanya dilakukan
jika hakikat atau tingkat kecacatannya sedemikian rupa
sehingga pendidikan di kelas reguler dengan menggunakan alat-
alat bantu khusus atau layanan khusus tidak dapat dicapai secara
memuaskan.
Adapun beberapa karakteristik pendidikan inklusi yang
dapat dijadikan sebagai dasar layanan pendidikan bagi ABK,
antara lain:
a. Pendidikan inklusi berusaha menempatkan anak dalam
keterbatasan lingkungan seminimal mungkin, sehingga ia
mampu berinteraksi langsung dengan lingkungan
sebayanya atau bahkan masyarakat di sekitarnya.
b. Pendidikan inklusi memandang anak bukan karena
kecacatannya, tetapi menganggap mereka sebagai anak

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


15

yang memiliki kebutuhan khusus (children with special


needs) untuk memperoleh perlakuan yang optimal sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
c. Pendidikan inklusi lebih mementingkan pembauran
bersama-sama anak lain seusianya dalam sekolah reguler.
d. Pendidikan inklusi menuntut pembelajaran secara
individual, walaupun pembelajarannya dilaksanakan
secara klasikal. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan
daripada persaingan.

D. Siswa dan Tenaga Pendidik (Guru) pada Pendidikan


Inklusif
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas,
dapat dikatakan bahwa dalam sekolah inklusi ada dua kategori
siswa. Kedua kategori tersebut yaitu siswa yang tidak memiliki
ketidakmampuan (non-difabel) dan siswa yang memiliki
ketidakmampuan (difabel).
Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik
berkebutuhan khusus atau peserta didik berkelainan dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu
1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan
kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


16

2) peserta didik berkelainan yang memiliki kemampuan


intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang
pertama merupakan peserta didik yang dapat mengikuti
pendidikan inklusi.
Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22
Tahun 2006 yang berbunyi: “Peserta didik pendidikan inklusi
adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan
kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan
tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu,
tunadaksa ringan, dan tunalaras.”
Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sebagaimana
diuraikan di atas, di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi diperlukan kualifikasi guru sebagai berikut:
a. Guru Kelas (GK), yaitu pendidik atau pengajar pada suatu
kelas tertentu disekolah dasar yang sesuai dengan
kualifikasi yang disyaratkan, bertanggung jawab atas
pengelolaan pembelajaran dan administrasi kelasnya.
Kelas yang diembannya tidak menetap, dapat berubah-
ubah pada setiap tahun pelajaran sesuai dengan kondisi
sekolah.
b. Guru Mata Pelajaran (GMP), yaitu guru yang mengajar
mata pelajaran tertentu sesuai kualifikasi yang

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


17

disyaratkan. Di sekolah dasar biasanya untuk mata


pelajaran Pendidikan Agama serta mata pelajaran
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan diajarkan oleh guru
mata pelajaran, sedangkan mata pelajaran lain oleh guru
kelas.
c. Guru Pembimbing Khusus (GPK), yaitu guru yang
mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau
yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang
pendidikan luar biasa. Tugas guru pembimbing khusus
antara lain:
1) Menyusun instrumen assessment pendidikan
bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata
pelajaran.
2) Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak
sekolah dan orang tua siswa.
3) Memberikan bimbingan kepada anak berkelainan,
sehingga anak mampu mengatasi
hambatan/kesulitannya dalam belajar.
4) Memberikan bantuan kepada guru kelas dan guru
mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan
pendidikan khusus kepada anak luar biasa yang
membutuhkan.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


18

E. Model Pendidikan Inklusif


Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) sebagaimana
dikutip oleh Wrastari menjelaskan tentang penempatan anak
berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai
model sebagai berikut:
1. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
2. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler
dengan menggunakan kurikulum yang sama.
3. Kelas Reguler dengan Cluster
4. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok
khusus.
5. Kelas Reguler dengan Pull Out
6. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang
lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
7. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
8. Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak non
berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok
khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


19

reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru


pembimbing khusus.
9. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
10. Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang
tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan
khusus di kelas reguler.
11. Kelas Khusus Penuh
12. Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas
khusus pada sekolah reguler.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


20

BAB 2
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(ABK)

Bab ini membahas:


Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Kategori Anak Berkebutuhan Khusus

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


21

A. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Anak dengan kebutuhan khusus (special needs
children) dapat diartikan secara sederhana sebagai anak yang
lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang tidak
akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada
umumnya. Adapun menurut Heward, anak berkebutuhan khusus
(ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Bisa jadi, ABK justru
memiliki kemampuan melebihi siswa pada umumnya, misalnya
anak yang berbakat atau memiliki kemampuan dan kecerdasan
luar biasa. Anak dengan karakteristik semacam ini memerlukan
penanganan khusus dalam memenuhi kebutuhan belajarnya.
Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki keunikan
tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya. Keunikan tersebut
menjadikan mereka berbeda dari anak-anak normal pada
umumnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilkinya,
ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan anak
berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


22

khusus yang berbeda pada umumnya karena memiliki hambatan


belajar yang diakibatkan oleh adanya hambatan perkembangan
persepsi, hambatan perkembangan fisik, hambatan
perkembangan perilaku dan hambatan perkembangan
inteligensi/kecerdasan. Bahkan sebagian dari ABK ada pula
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak
untuk mencapai prestasi dan mengembangkan kemampuannya
secara optimal. Oleh karena itu, ABK memerlukan bentuk layanan
pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan potensi mereka.

B. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Kategori anak berkebutuhan khusus dibagi menjadi dua
bagian, yaitu berkebutuhan khusus temporer dan berkebutuhan
khusus permanen. Ketika berkebutuhan khusus temporer tidak
dapat ditangani dengan baik maka akan menjadi berkebutuhan
khusus permanen.
Berdasarkan kemampuan intelektualnya, ABK dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori. Kedua kategori tersebut
antara lain:
(1) anak berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan
intelektual di bawah rata-rata dan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


23

(2) anak berkelainan yang memiliki kemampuan


intelektual di bawah rata-rata.
Secara garis besar, yang tergolong anak berkebutuhan
khusus (ABK) berdasarkan jenis kebutuhannya sebagaimana
menurut gagasan Hallahan dan Kauffman, Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa dan Hadiyanto, yaitu:
a. Tunanetra (anak dengan gangguan penglihatan),
b. Tunarungu (anak dengan gangguan pendengaran),
c. Tunadaksa (anak dengan kelainan anggota
tubuh/gerakan),
d. Anak yang berbakat atau memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa,
e. Tunagrahita (anak dengan retardasi mental),
f. Anak lamban belajar (slow learner),
g. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
(Attention Deficit Disorder (ADD)/Gangguan
konsentrasi, Attention Deficit Hiperactivity
Disorder (ADHD)/Gangguan hiperaktif,
Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis,
Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara,
Dyspraxia/Motorik),
h. Tunalaras (anak dengan gangguan emosi dan
perilaku),

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


24

i. Tunawicara (anak dengan gangguan dalam


berbicara),
j. Autisme, dan
k. Anak korban narkoba serta HIV/AIDS.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


25

BAB 3
RUANG KAJIAN
MANAJEMEN SEKOLAH INKLUSIF

Bab ini membahas:


Pengertian Dan Fungsi Manajemen Pendidikan Inklusif
Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif
Isu dan Probematika Pendidikan Inkusif

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


26

A. Pengertian Dan Fungsi Manajemen Sekolah Inklusi


Manajemen sekolah inklusi yaitu proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam penyelenggaraan pembelajaran
pada sekolah inklusi. Manajemen Sekolah Inklusif juga merupakan
bagian integral dari penyelenggaran pendidikan inklusif, karena para
siswa sekolah inklusi terdiri atas anak-anak normal dan anak-anak
berkebutuhan khusus, sehingga agar anak-anak berkebutuhan khusus
tersebut tidak sampai terabaikan, dapat dilakukan manajemen layanan
khusus yang terdapat dalam salah satu komponen manajemen
pendidikan inklusif.
Dengan demikian dapat dikatakan, manajemen pendidikan
inklusif dalam pendidikan luar biasa merupakan suatu proses
keseluruhan kegiatan secara bersama dalam bidang pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, dan
pengawasan dengan mendayagunakan sumber-sumber yang ada, baik
sumber daya manusia maupun sumberdaya lainnya berupa material
demi tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Pada umumnya ada empat fungsi manajemen yang banyak di
kenal masyarakat yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi
pengorganisasian (organizing), fungsi pelaksanaan (actuating), dan
fungsi pengendalian (controlling). Untuk fungsi pengorganisasian
terdapat pula fungsi staffing (pembentukan staf). Para manajer dalam
lembaga diharapkan mampu mengusai semua fungsi manajemen yang

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


27

ada untuk mendapatkan hasil manajemen yang maksimal, sebagai


berikut:
a). Perencanaan
Perencanaan pendidikan inklusi merupakan kegiatan
menentukan tujuan serta merumuskan pendayagunaan manusia,
keuangan, metode, peralatan serta, seluruh sumber daya yang ada
untuk efektifitas pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien. Pembatasan yang terakhir merumuskan perencanaan
merupakan penetapan jawaban kepada enam pertanyaan berikut:
1) Apa tindakan yang harus dikerjakan?
2) Mengapa tindakan itu harus dikerjakan?
3) Dimana tindakan itu harus dikerjakan?
4) Siapa yang mengerjakan tindakan itu?
5) Bagaimana cara melaksanakan tindakan itu?
b). Pengorganisasian
Pengorganisasian pendidikan inklusi menyangkut pembagian
tugas untuk diselesaikan setiap anggota dalam upaya pencapaian
tujuan yang telah direncanakan. Dalam pengorganisasian dilakukan hal-
hal berikut:
1) Penerimaan fasilitas, perlengkapan dan staf yang
diperlukan untuk melaksanakan rencana.
2) Pemelihan, pelatihan, dan pemberian informasi kepada
staf.
c). Pelaksanaan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


28

Proses pelaksanaan program supaya dapat dijalankan kepada


setiap pihak yang berada dalam organisasi serta dapat termotivasi agar
semua pihak dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan sangat
penuh kesadaran dan produktivitas yang sangat tinggi. Pelaksanaan
Pendidikan inklusi meliputi kepemimpinan, pelaksanaan supervisi, serta
pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat sehingga tujuan
sekolah inklusi dapat tercapai.
d). Pengendalian
Fungsi pengendalian atau pengawasan pada hakikatnya
mengatur apakah kegiatan sesuai dengan persyaratan-persyaratan
yang ditentukan dalam rencana,sehingga pengawasan membawa pada
fungsi perencanaan. Makin jelas, lengkap serta terkoordinir rencana-
rencana makin lengkap pula pengawasan. Pengawasan dapat dilakukan
secara vertical dan horizontal, yaitu atasan dapat melakukan
pengontrolan kepada bawahannya, demikian pula bawahan dapat
melakukan upaya kritik kepada atasannya agar penyelenggarakan
pendidikan inklusi dapat sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

B. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia


Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di
Indonesia hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak
tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya
beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah
umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


29

Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap


kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima
siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an
pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya
pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller
International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah
integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor
002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir,
implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan,
terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru
dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui
proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di
bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat .
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam
mengimpllementasikan pendidikan inklusif bagi penyandang
cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai
melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki
pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan
telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005
meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah
anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


30

meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar pada


796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan
56 SLTA.
Selanjutnya untuk mendorong implementasi pendidikan
inklusi secara lebih luas, pada tahun 2004 di Bandung diadakan
lokakarya nasional yang menghasilkan Deklarasi Bandung, yang
diantara isinya menghimbau kepada pemerintah, institusi
pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta
masyarakat untuk dapat menjamin setiap anak berkelainan dan
anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan
akses dalam segala aspek kehidupan, serta mendapatkan
perlakuan yang manusiawi.
Guna terus mengembangkan pendidikan inklusi
pemerintah juga telah mengambil berbagai strategi, baik
melalui diseminasi ideologi pendidikan inklusif, mengubah
peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber,
penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru- guru
sekolah reguler, reorientasi pendidikan guru LPTK, desentralisasi
dalam implementasi pendidikan inklusif, pembentukan
kelompok kerja pendidikan inklusi, samapai pada pembukaan
program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan
kebutuhan khusus. Hasilnya pada kisaran tahun 2004-2007
muncul apresiasi dan antusiasme kuat di kalangan masyarakat

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


31

untuk mengimplementasikannya. Misal, pada tahun 2005 cukup


banyak sekolah regular yang mengajukan untuk menjadi sekolah
inklusi, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui oleh pemerintah
untuk dilaksanakan baru 504 sekolah, karena konsekuensinya
pemerintah harus memberikan subsidi dan fasilitas lain
penunjang proses pembelajaran (Sukadari, 2006). Meningkatnya
implementasi pendidikan inklusi waktu itu, menjadikan
Indonesia (menurut UNESCO) berada pada ranking ranking ke
58 dari 130 negara dalam implementasi pendidikan inklusi.
Sayang ranking tersebut kemudian terus merosot dalam tahun-
tahun berikutnya.
Selanjutnya, Sunardi (2009) menjelaskan bahwa trend
perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia sejak tahun 2004
dapat ditabelkan sebagai berikut:
Table 1.1 Trend Pendidikan Inklusif Di Indonesia Berdasar Jumlah
Sekolah dan Siswa Tahun 2004-2007
Tahun Jumlah Sekolah Jumlah Siswa
2004 467 2.573
2005 504 6.000
2006 600 9.492
2007 796 15.181

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


32

Tabel 1.2: Jumlah Siswa Berkelainan yang Bersekolah di Sekolah


Inklusif (Data berdasarkan Jenis Kelainan Tahun 2007)
Jenis Kelamin Jumlah Siswa
Tunanetra 345
Tunarungu 291
Tunagrahita 2277
Tunadaksa 266
Tunalaras 291
Autisme 230
Cacat ganda 45
Berkesulitan belajar 11428
Lainnya 32
Total 15.181

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah


inklusif di Indonesia (81,40%) adalah pada SD. Namun, bila
dibandingkan dengan jumlah seluruh SD yang ada di Indonesia
yaitu 144.567, maka jumlah seluruh SD inklusi di Indonesia
sebenarnya baru mencapai 0,44%. Selanjutnya, dengan
mengambil angka kasar jumlah penyandang cacat usia sekolah di
Indonesia adalah 1,5 juta, maka jumlah anak berkelainan yang
terlayani pendidikannya melalui sekolah inklusi sebenarnya baru
mencapai 1 % dari seluruh populalsi yang ada. Namun dengan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


33

adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70


Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa, yang didalamnya menegaskan bahwa setiap
Pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk paling sedikit 1
(satu) SD dan 1 (satu) SMP pada setiap kecamatan dan 1 (satu)
satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif, maka diyakini jumlah anak berkelainan dan
jumlah sekolah penyelenggara inklusif di Indonesia akan semakin
meningkat.

C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif


Inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi
peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang
berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya
menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak
berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya,
semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota
masyarakat.
‘Inklusi’ berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab
untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan
layanan pendidikan pada semua anak yang ada di masyarakat,

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


34

keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin


masyarakat, dan lain-lain.
Selama ini, istilah ‘inklusi’ diartikan dengan
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus di kelas umum
dengan anak-anak lainnya. Dalam panduan ini, ‘inklusi’
mempunyai arti yang lebih luas. ‘Inklusi’ berarti mengikutsertakan
anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat,
mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar. Secara
luas ‘inklusi’ juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa
terkecuali, seperti:
1. Anak yang menggunakan bahasa ibu, dan bahasa
minoritas yang berbeda dengan bahasa pengantar yang
digunakan di dalam kelas;
2. Anak yang berisiko putus sekolah karena korban bencana,
konflik, bermasalah dalam sosial ekonomi, daerah
terpencil, atau tidak berprestasi dengan baik;
3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang
berbeda;
4. Anak yang sedang hamil;
5. Anak yang berisiko putus sekolah karena kesehatan tubuh
yang rentan/penyakit kronis seperti asma, kelainan
jantung bawaan, alergi, terinfeksi HIV dan AIDS;
6. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


35

Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah,


tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari
keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas, misalnya:
1. Anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan
buku-buku pelajaran dan bacaan yang digunakan;
2. Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk aktif
dalam kelas;
3. Anak yang memiliki masalah gangguan penglihatan dan
atau pendengaran; atau;
4. Anak yang tidak pernah mendapatkan bantuan ketika
mengalami hambatan belajar.
Untuk semua kondisi di atas, maka guru diharapkan
bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif agar seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran.

C. Isu dan Probematika Pendidikan Inkusif


Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional di
Indonesia, sampai saat ini implementasi pendidikan inklusi masih
dihadapkan kepada berbagai dilema yang apabila tidak
diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan khusus memungkinkan
dapat menghalangi perlakuan adil dan akses anak berkelainan
untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler terdekat

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


36

sehingga menghambat keberhasilan pelaksanaan pendidikan


inklusi. Menurut Sunardi (2009), dilema tersebut meliputi:
a. Sistem Penerimaan Siswa Baru, khususnya di tingkat
pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai
ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya
dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi
standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-
masing sekolah.
b. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai
kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari
kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan
siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.
c. Penggunaan label sekolah inklusi dan adanya PP. No.19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal
41(1) tentang keharusan untuk memiliki tenaga
kependidikan khusus bagi sekolah inklusi sebagai alasan
melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke
sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan
munculnya gejala “eklusivisme baru”, yaitu menolak anak
berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki
tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


37

d. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum


mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel).
e. Masih dipahaminya pendidikan inklusi secara dangkal,
yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke
sekolah regular, tanpa upaya untuk mengakomodasi
kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak
tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa
tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah,
dan sebagainya. Pada hal makna inklusi adalah ketika
lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa
senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai,
menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
f. Munculnya label-label khusus yang sengaja diciptakan
oleh pemerintah maupun masyasrakat yang cenderung
membentuk sikap eklusifisme, seperti Sekolah Unggulan,
Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Sekolah Rintisan
Berstandar Internasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah
percontohan, kelas akselerasi, serta sekolah-sekolah
yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat
berdampak kepada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas
dua (second class), karena menerima ABK sama dengan
special school (Imam Subkhan, 2009)

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


38

g. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan


pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusi
secara matang dan komprehensif, baik dari aspek
sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba
metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program
eksperimental (Cak Fu, 2005).

Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara


kita cukup menggembirakan dan mendapat apresiasi dan
antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi
pendidikan, namun sejauh ini dalam tataran implementasinya
di lapangan masih dihadapkan kepada berbagai isu dan
permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (2009)
terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota
Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan
permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu
dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat,
implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan
pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu : pemahaman dan
implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran,
kondisi guru, dan support system. Salah satu bagian penting dari
suppor system adalah tentang penyiapan anak. Selanjutnya,

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


39

berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah


sebagai berikut:
a. Pemahaman inklusi dan implikasinya
1) Pendidikan inklusif bagi anak
berkelainan/penyandang cacat belum dipahami
sebagai upaya peningkatan kualitas layanan
pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya
memasukkan disabled children ke sekolah regular
dalam rangka give education right and kemudahan
access education, and againt discrimination.
2) Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama
dengan integrasi, sehingga masih ditemukan
pendapat bahwa anak harus menyesuiakan
dengan sistem sekolah.
3) Dalam implementasinya guru cenderung belum
mampu bersikap proactive dan ramah terhadap
semua anak, menimbulkan komplain orang tua,
dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-
olokan.
b. Kebijakan sekolah
1) Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup
jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian
sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


40

hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan


kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk
mengimplementasikan pembelajaran yang lebih
kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga
profesional, organisasi atau institusi terkait.
2) Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat,
yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab
pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang
tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
c. Proses pembelajaran
1) Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk
team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
2) Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam
merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan
dalam menentukan tujuan, materi, dan metode
pembelajaran.
3) Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum
ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa
siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
menguasai materi belajar.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


41

4) Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan


pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan
lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.
5) Belum adanya panduan yang jelas tentang system
penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan
pendekatan yang fleksibel dan beragam.
6) Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil
belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga
berkembang anggapan bahwa mereka tidak
menunjukkan kemajuna belajar yang berarti.
c. Kondisi guru
1) Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai.
Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive
yet to the special needs children.
2) Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif
dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
3) Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran,
tugas dan tanggung jawab masing-masing guru.
4) Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi
rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan,
serta dukungan anggaran yang memadai.
d. Sistem dukungan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


42

1) Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai.


Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan
tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal.
Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
2) Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci
keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina
dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap
kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.
3) Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai
resource centre bagi sekolah- sekolah inklusi di
lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal,
baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama
maupun alasan geografik.
4) Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai
media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM
sekolah masih sangat minimal.
5) LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian
kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-
hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik.
6) Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung
tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara
baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


43

teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang


proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.
7) Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-
guru dalam pelatihan atau memberikan bantuan yang
sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih
sangat terbatas dan belum merata.
8) Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang
diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan
keberhasilan pembelajaran secara memadai.
Hasil-hasil penelitian tentang isu dan permasalahan
pendidikan inklusi di atas, sejalan dengan hasil penelitian Juang
Sunanto (2009) terhadap dua Sekolah Dasar inklusi di kota
Bandung. Pertama, sekolah yang secara alami mengembangkan
pendidikan inklusif, tanpa predikat inklusif, misinya kemanusiaan,
dan kini memiliki 10 siswa with disabilities. Kedua, sekolah
percontohan inklusif, ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh
pemerintah, dan kini memiliki 32 siswa with disabilities. Hasilnya,
dapat diringkas sebagai dibawah ini.
Pada sekolah yang secara alami mengembangkan
pendidikan inklusif, beberapa kecenderungan yang terjadi di
lapangan, diantaranya:
a. Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah
inklusif, bahkan sampai sekarang belum tersentuh

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


44

proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang


pendidikan inklusi
b. Para guru awalnya sempat khawatir akan
menurunkan citra sekolah.
c. Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara
ada anak normal yang tidak naik kelas.
d. Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru
tantangan untuk menemukan metode baru
(kreatif) melalui kebersamaan, saling diskusi,
saling berbagai.
e. Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran
dilakukan terus menerus melalui kerja sama, saling
memotivasi, saling membantu, saling mendukung,
komunikasi, dan belajar dari pengalaman.
f. Mengembangkan kerjasama antar guru dan
meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang
tua.
g. Sekalipun diakui menambah beban tambahan,
namun diterima sebagai tantangan.
h. Pembelajaran children with disabilities dilakukan
secara tersendiri, dengan menciptakan suasana
yang memungkinkan semuanya dapat belajar,

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


45

serta penerapan pendekatan perhatian dan kasih


sayang.
Sedangkan pada sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah
percontohan inklusi, hal-hal menarik yang terjadi di sekolah ini,
diantaranya :
1. Awalnya berjalan alami, kemudian ditunjuk resmi
sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah. Awalnya
mendapat bantuan 1 orang guru pendamping atau guru
khusus, tapi kemudian keluar. Akhirnya muncul inisiatif
dari orang tua untuk membawa sendiri guru pendamping
untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang
sampai sekarang dan bahkan menjadi persyaratan yang
harus dipenuhi orang tua.
2. Pembelajaran pada ABK yang awalnya diterima sebagai
tantangan oleh guru kelas, kini bergeser kepada
ketergantungan pada guru khusus atau guru pendamping.
Kondisi ini menjadikan kreativitas guru tidak berkembang.
3. Kebijakan menjadikan sebagai sekolah berpredikat inklusi
dan banyaknya pelatihan yang diterima justru menjadikan
semakin tidak jelas, bahkan bias. Penataran /pelatihan
yang diterima belum banyak berdampak di kelas dan
belum memberi solusi terhadap permasalahan
pendidikan yang dihadapi.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


46

4. Motivasi, kerja sama dalam mengatasi masalah tidak


tampak, sebab seluruh aktivitas belajar disabled children
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping.
5. Inklusi dimaknai sekedar memasukkan ABK ke kelas
regular, belajar dengan materi, guru, dan cara masing-
masing. ABK belum ditempatkan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari komunitas dan aktivitas di dalam
kelas. Masih sebagai “tamu”, diterima secara pasif.
6. Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusan children
with disabilities adalah urusan guru pendamping,
sepenuhnya menjadi wewenang guru pendamping.
Pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan melalui
kolaborasi dan kerja sama.
7. Rencana pembelajaran untuk disabled children dibuat
oleh guru khusus berdasar hasil asesmen dan dituangkan
dalam format Program pengajaran individual, kemudian
disatukan dengan rencana pembelajaran guru kelas.
8. Guru pendamping yang notabene memiliki latar belakang
pendidikan PLB belum memiliki keberanian untuk
meluruskan sesuai konsepnya.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


47

9. Sekalipun sekolah melayani keberagaman siswa,


termasuk ABK, namun sebenarnya sekolah tersebut telah
tumbuh menjadi sekolah eklusif, karena memiliki syarat
khusus, sehingga hakekatnya telah bias dan tumbuh
menjadi sekolah inklusif yang keluar dari prinsip-prinsip
inklusif.
Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas
bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia, khususnya di
Bandung masih dihadapkan kepada berbagai isu dan
permasalahan yang cukup kompleks dan sifatnya masih
mendasar, terutama terkait dengan pemahaman inklusi itu
sendiri dan implementasinya di lapangan, kebijakan pemerintah
dan kepala sekolah, pembinaan professional guru, proses
pembelajaran, system dukungan, maupun penyiapan siswa. Fakta
di lapangan juga menunjukkan bahwa sekolah yang secara resmi
telah berpredikat sebagai sekolah inklusi, bahkan sekolah
percontohan sekalipun, belum menjamin bahwa sekolah tersedut
telah melaksanakan pendidikan inklusi secara benar dan baik
sesuai dengan konsep-konsep pendidikan inklusi yang
mendasarinya.
Dengan mempertimbangkan masih banyaknya isu dan
permasalahan dalam pendidikan inklusi di Indonesia saat ini,
maka penting bagi pemerintah untuk segera menindaklajutinya,

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


48

diantaranya melalui kegiatan pengkajian (monitoring dan


evaluasi) secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pendidikan
inklusi di Indonesia dan hasilnya dijadikan rujukan untuk
membuat langkah-langkah strategis menuju pendidikan inklusi,
peninjauan kembali kebijakan di tingkat sekolah, perumusan
model-model inklusi, penggiatan program pendampingan,
pemberdayaan LPTK PLB sebagai pusat sumber dan dalam
pendampingan, mengganti pola penataran – pelatihan guru dari
model ceramah kepada model lesson study atau minimal
memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari
penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-buku pedoman,
serta menggalakkan program sosialisasi dan desiminasi.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


49

BAB 4
PELAKSANAAN MANAJEMEN
SEKOLAH INKLUSIF

Bab ini membahas:


Karakteristik Manajemen Sekolah Inklusif
Pelaksanaan Manajemen Sekolah Inklusif
Manajemen Pelayanan Khusus
Manajemen Mutu Terpadu
Struktur Organisai Sekolah
Pembagian Tugas Pimpinan Sekolah
Pembinaan Sekolah Inklusif

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


50

Karakteristik yang terpenting dari sekolah


penyelenggara pendidikan inklusif adalah suatu komunitas yang
kohesif dimana sekolah harus menerima dan responsive
terhadap kebutuhan individual setiap peserta didik. Shapon-
Shevin (Budiyanto, 2005: 157) mengemukakan lima profil
pembelajaran di sekolah inklusif, meliputi;
a. Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang hangat, menerima
keberagaman, dan menghargai perbedaan. Guru
mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan
suasana kelas yang menampung semua anak secara
penuh dengan menekan suasana dan perilaku sosial
yang menghargai perbedaan yang menyangkut
kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku,
agama, dsb.
b. Penerapan kurikulum yang multilevel dan
multimodalitas dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Mengajar dalam kelas yang heterogen
memerlukan perubahan kurikulum yang mendasar
dan guru di kelas sekolah inklusif secara terus menerus
akan bergeser dari pembelajaran yang kaku,
berdasarkan buku teks atau materi pembelajaran
yang banyak melibatkan pembelajaran yang

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


51

kooperatif, tematik, berpikir kritis, pemecahan


masalah, dan assesmen secara autentik.
c. Pendidikan inklusif berarti mempersiapkan dan
mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
Perubahan kurikulum berkaitan erat dengan
perubahan secara metode pembelajaran. Peserta
didik bekerjasama, saling mengajar, dan secara aktif
berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri serta
teman-temannya. Terlihat jelas kaitan antara
pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif bahwa
semua anak berada dalam satu kelas bukan untuk
berkompetisi melainkan untuk belajar dari yang lain.
d. Pendidikan inklusif berarti menyediakan dorongan
bagi guru dan kelasnya secara terus menerus serta
penghapusan hambatan yang berkaitan dengan
isolasi profesi. Aspek yang paling penting dari
pendidikan inklusif meliputi pengajaran dengan tim,
kolaborasi, dan konsultasi serta berbagai cara
mengukur ketrampilan, pengetahuan, dan bantuan
individu yang bertugas mendidik sekelompok anak.
Kerjasama tim sangat diperlukan antara guru dengan
para profesional, ahli bina bahasa dan wicara,
petugas bimbingan, dsb. Selain itu, guru juga

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


52

memerlukan pelatihan dan dorongan sehingga


kerjasama yang diinginkan dapat terwujud.
e. Pendidikan inklusif berarti melibatkan orang tua
dalam proses perencanaan dan pendidikan inklusif
sangat tergantung kepada masukan orang tua pada
pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan orang tua
dalam penyusunan program pembelajaran individu.
Sementara itu, karakteristik dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif terdiri dari beberapa hal seperti hubungan,
kemampuan, pengaturan tempat duduk, materi belajar, sumber
dan evaluasi yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Hubungan
Ramah dan hangat, contoh untuk anak tuna
rungu: guru selalu berada di dekatnya dengan
wajah terarah pada anak dan tersenyum.
Pendamping kelas( orang tua ) memuji anak tuna
rungu dan membantu lainnya.
b. Kemampuan
Guru, peserta didik dengan latar belakang dan
kemampuan yang berbeda serta orang tua
sebagai pendamping.
c. Pengaturan tempat duduk

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


53

Pengaturan tempat duduk yang bervariasi


seperti, duduk berkelompok di lantai
membentuk lingkaran atau duduk di bangku
bersama-sama sehingga mereka dapat melihat
satu sama lain.
d. Materi belajar
Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua
mata pelajaran, contoh pembelajarn
matematika disampaikan melalui kegiatan yang
lebih menarik, menantang dan menyenangkan
melalui bermain peran menggunakan poster dan
wayang untuk pelajaran bahasa.
e. Sumber
Guru menyusun rencana harian dengan
melibatkan anak, contoh meminta anak
membawa media belajar yang murah dan
mudah didapat ke dalam kelas untuk
dimanfaatkan dalam pelajaran tertentu.
f. Evaluasi
Penilaian, observasi, portofolio yakni karya anak
dalam kurun waktu tertentu dikumpulkan dan
dinilai (Lay Kekeh Marthan, 2007: 151).

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


54

Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa dalam


menyelenggarakan pendidikan inklusif harus memperhatikan
komponen-komponen yang ada di atas agar sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan
apa yang diinginkan. Selain itu, sekolah juga harus mampu
menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah.

A. Karakteristik Manajemen Pendidikan Inklusif


Manajemen pendididkan inklusif dilaksanakan dengan
melibatkan beberapa unsur meliputi anak, guru, orang tua dan
masyarakat. Proses pembelajaran dalam setting sekolah inklusif
melibatkan semua anak tanpa memandang perbedaan.
Pendidik di sekolah inklusif diberikan kesempatan untuk belajar
lebih banyak metode dan materi pembelajaran yang bervariasi
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Selain itu, dalam proses
pembelajaran peserta didik di sekolah melibatkan peran orang
tua dan masyarakat (Lay Kekeh Marthan, 2007: 152).
Sementara itu, Shapon-Shevin (Lay Kekeh Marthan,
2007: 152) mengemukakan bahwa karakteristik manajemen
pendidikan inklusif sebagai berikut: “Inclusion without resources,
without support, without teacher preparation time, without
commitment, without a vision statement, without restructuring,
without staff development, won’t work”. Berdasarkan pendapat

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


55

tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik manajemen


pendidikan inklusif dengan melibatkan berbagai sumber dan
dukungan dari berbagai pihak, meliputi guru, sekolah,
masyarakat dan pemerintah.
Dalam manajemen pendidikan inklusif, guru
membutuhkan waktu dalam mempersiapkan materi
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap peserta
didik. Pelaksanaan manajemen pendidikan inklusif
membutuhkan komitmen, visi yang jelas, dan pengembangan
staf sehingga dalam penyelenggaraannya dapat berjalan dengan
baik.
Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa
manajemen pendidikan inklusif dapat dilaksanakan dengan baik
jika melibatkan berbagai unsur dan dukungan dari berbagai pihak
seperti guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Selain itu,
dalam pelaksanaan manajemen pendidikan inklusif seyogyanya
membutuhkan komitmen, tujuan yang jelas, dan
pengembangan staf yang ada pada sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif, sehingga penyelenggaraanya dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sekolah tersebut.
Suasana kelas inklusif sangat membutuhkan interaksi
dan kerjasama yang baik antara guru dan peserta didik.
Sedangkan guru mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


56

suasana kelas yang tidak saling membeda-bedakan baik


menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku,
agama, dan sebagainya.

B. Pelaksanaan Manajemen Sekolah Inklusif


1. Manajemen Kesiswaaan
Manajemen kepesertadidikan bertujuan untuk mengatur
berbagai kegiatan peserta didik agar kegiatan pembelajaran di
sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai
tujuan yang diinginkan.
Manajemen kesiswaan meliputi:
a. Penerimaan peserta didik baru, meliputi aspek
identifikasi, assesmen dan penempatan peserta
didik,
b. Program bimbingan dan konseling,
c. Pengelompokan belajar peserta didik,
d. Kehadiran peserta didik,
e. Mutasi peserta didik,
f. Papan statistik peserta didik yang
menggambarkan secara holistik tentang basis
data kepeserta didikan,
g. Buku induk peserta didik.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


57

Penerimaan peserta didik baru pada sekolah


penyelenggara pendidikan inklusif hendaknya memberi
kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus
untuk dapat diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah
terdekat. Untuk tahap awal, agar memudahkan pengelolaan
kelas, seyogyanya setiap kelas inklusif dibatasi tidak lebih dari 2
(dua) jenis kekhususan, dan jumlah keduanya tidak lebih dari 5
(lima) peserta didik.
2. Manajemen Kurikulum
Kurikulum yang digunakan di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif adalah kurikulum reguler yang dimodifikasi
sesuai dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik.
Modifikasi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi alokasi
waktu atau isi/materi.Manajemen kurikulum diantaranya dapat
dilakukan melalui:
a. Menetapkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar,
b. Menyusun silabus,
c. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam
pelajaran.
Bagi sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, maka penyusunan silabus yang diantaranya
memuat langkah-langkah pembelajaran dan indikator

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


58

pencapaian harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik


sehingga setiap peserta didik bisa tersentuh oleh layanan
pendidikan yang bermutu. Selain itu guru harus senantiasa
melakukan evaluasi kurikulum yang sedang berjalan agar materi
yang dikembangkan dan ditetapkan selalu sesuai dengan
perkembangan.
Kurikulum mencakup kurikulum nasional dan kurikulum
muatan local. Kurikulum nasional merupakan standar nasional
yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sedangkan kurikulum muatan local merupakan kurikulum yang
disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, yang
disusun oleh Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau
Kabupaten/Kota.
Kurikulum yang digunakan di kelas inklusi adalah
kurikulum anak normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi
sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa.
Modifikasi dapat dilakukan dengan cara:
1) Modifikasi alokasi waktu,
2) Modifikasi isi/materi,
3) Modifikasi proses belajar-mengajar,
4) Modifikasi sarana-prasarana,
5) Modifikasi lingkungan belajar, dan
6) Modifikasi pengelolaan kelas.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


59

Manajemen Kurikulum (program pengajaran) Sekolah


Inklusi antara lain meliputi:
(1) Modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa (anak
luar biasa);
(2) Menjabarkan kalender pendidikan;
(3) Menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas
mengajar;
(4) Mengatur pelaksanaan penyusunan program
pengajaran persemester dan persiapan
pelajaran;
(5) Mengatur pelaksanaan penyusunan program
kurikuler dan ekstrakurikuler;
(6) Mengatur pelaksanaan penilaian;
(7) Mengatur pelaksanaan kenaikan kelas;
(8) Membuat laporan kemajuan belajar siswa;
(9) Mengatur usaha perbaikan dan pengayaan
pengajaran.
Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari :
a. Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang
mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus
untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-
kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


60

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu


kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi
pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program
tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada
kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di
dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan
khusus yang memiliki PPI.
c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual
(PPI), yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program
PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang
melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala
sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait
3. Manajemen Proses Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pengelolaan
sekolah, oleh sebab itu semua kegiatan pendukung lainnya harus
diarahkan pada terciptanya suasana pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Dengan cara
menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang berorientasi
pada keaktifan siswa. Kepala sekolah harus mengatur agar
pelaksanaan pembelajaran terselenggara secara inovatif dan
kreatif. Mengelola hingga terselenggara proses pembelajaran
yang berorientasi pada pembelajaran aktif.
Manajemen pembelajaran dapat dilakukan melalui:

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


61

(a) Menjabarkan kalender pendidikan,


(b) Menyusun jaduwal pelajaran dan pembagian
tugas mengajar,
(c) Mengatur pelaksanaan penyusunan program
pengajaran
persemester dan persiapan pelajaran,
(d) Mengatur pelaksanaan penyusunan program
kurikuler dan
ekstrakurikuler,
(e) Mengatur pelaksanaan penilaian,
(f) Mengatur pelaksanaan kenaikan kelas,
(g) Membuat laporan kemajuan belajar peserta didik,
(h) Mengatur usaha perbaikan dan pengayaan
pengajaran.
4. Manajemen Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan bertugas menyelenggarakan
kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan,
mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam
bidang pendidikan. Tenaga kependidikan di sekolah meliputi
Tenaga Pendidik (Guru), Pengelola Satuan Pendidikan,
Pustakawan, Laboran, dan Teknisi sumber belajar. Guru yang
terlibat di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yaitu Guru
Kelas, Guru Mata Pelajaran dan Guru Pendidikan Khusus.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


62

Manajemen tenaga kependidikan meliputi: (a)


Inventarisasi pegawai, (b) Pengusulan formasi pegawai, (c)
Pengusulan pengangkatan pagawai, (c) kenaikan pangkat, (d)
kenaikan gaji berkala, (e) mutasi, (f) Mengatur pembagian tugas.
Kekhasan manajemen tenaga pendidik pada sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif adalah dalam pengaturan
pembagian tugas dan pola kerja antara guru perndidikan khusus
dengan guru reguler.
Guru umum bertanggung jawab dalam pembelajaran bagi
semua peserta didik di kelasnya. Sedangkan guru pendidikan
khusus bertanggung jawab memberikan layanan pembelajaran
bagi anak berkebutuhan khusus, baik yang berada pada kelas
umum maupun pada kelas khusus. Dalam keadaan tertentu guru
pendidikan khusus dapat mendampingi peserta didik pada saat
peserta didik mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh
guru reguler.
Selain melaksanakan manajemen tenaga kependidikan
sebagaimana dijelaskan di atas, juga kepala sekolah harus pula
selalu mengembangkan tenaga pendidik sesuai dengan bidang
keahlian yang dibutuhkan.
5. Manajemen Sarana- prasarana

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


63

Anak berkebutuhan khusus memerlukan sarana


prasarana dalam proses pembelajaran di sekolah meliputi
peserta didik:
(3) Tunanetra/low vision; kaca mata, teleskop, reglet,
mesin ketik Braille;
(4) Tunarungu seperti; alat bantu dengar, alat
pengukur tingkat pendengaran, kamus sistem
isyarat bahasa Indonesia;
(5) Tunagrahita dan berkesulitan belajar; alat bantu
belajar mengajar;
(6) Tunadaksa, seperti: ramp (lantai landai sebagai
pengganti tangga), kursi roda;
(7) Berbakat (gifted and talented)
Berbagai sarana lainnya seperti: buku-buku referensi,
alat praktek, laboratorium, alat kesenian dan olah raga yang
memadai untuk memenuhi rasa ingin tahu dan minat anak
berbakat.
Manajemen sarana-prasarana sekolah berfungsi:
merencanakan mengorganisasikan, mengawasi, dan
mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana
agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada
kegiatan pembelajaran.
6. Manajemen Pembiayaan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


64

Komponen biaya merupakan komponen produksi yang


menentukan terlaksananya kegiatan pembelajaran bersama
komponen-komponen lain. Oleh karena itu, setiap kegiatan yang
dilakukan sekolah memerlukan biaya. Dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dialokasikan dana
khusus, yang antara lain untuk keperluan : (a) Kegiatan
identifikasi dan assesmen peserta didik berkebutuhan khusus, (b)
Modifikasi kurikulum, (c) Insentif bagi tenaga kependidikan yang
terlibat, (d) Pengadaan sarana-prasarana, (e) Pelaksanaan
kegiatan.
Pada tahap perintisan sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi, diperlukan dana bantuan sebagai stimulasi, baik dari
pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Namun
untuk penyelenggaraan program selanjutnya diusahakan agar
sekolah bersama-sama orang tua peserta didik dan masyarakat
(Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah), serta pemerintah
daerah dapat menanggulanginya.
Dalam pelaksanaannya, manajemen pembiayaan
mencakup pula manajemen keuangan yang menganut asas
pemisahan tugas dan fungsi sebagai: (a) Otorisator, (b)
Ordonator, dan (c) Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat
yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang
mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


65

Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian


dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang
dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan.
Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan
penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang serta
diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.
Kepala Sekolah, sebagai manajer, berfungsi sebagai
Otorisator dan dilimpahi fungsi Ordonator untuk memerintahkan
pembayaran. Namun tidak dibenarkan melaksanakan fungsi
bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan ke
dalam. Sedangkan Bendaharawan, di samping mempunyai
fungsi-fungsi Bendaharawan, juga dilimpahi fungsi Ordonator
untuk menguji hak atas pembayaran.
7. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan
Masyarakat)
Masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam
pengembangan pendidikan agar tumbuhkan ”rasa ikut memiliki”
atas keberadaan lembaga pendidikan disekitarnya. Maju
mundurnya sekolah di lingkungannya juga merupakan tanggung
jawab bersama masyarakat setempat sehingga bukan hanya
Kepala Sekolah dan dewan guru yang memikirkan maju
mundurnya sekolah tetapi masyarakat setempat terlibat pula
memikirkannya.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


66

Untuk menarik simpati masyarakat agar bersedia


berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal,
antara lain dengan cara pemberitahuan mengenai program-
program sekolah baik program yang telah dilaksanakan, sedang
dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga
masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang
bersangkutan. Berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan
inklusif, maka keterlibatan masyarakat sangat diperlukan
terutama dalam rangka melakukan sosialisasi sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif. Pemahaman dan kepedulian
masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus akan sangat
besar pengaruhnya terhadap upaya pemenuhan hak untuk
mendapatkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pemahaman dan kepedulian masyarakat seperti ini akan
berimbas secara positif terhadap sikap peserta didik lainnya yang
belajar bersama-sama dengan anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian akan tercipta iklim belajar yang kondusif bagi
anak berkebutuhan khusus dan peserta didik-peserta didik
lainnya di sekolah.

C. Manajemen Pelayanan Khusus


Oleh karena peserta didik sekolah inklusif terdiri atas
peserta didik umum dan peserta didik berkebutuhan khusus

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


67

maka bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan


menajemen pelayanan khusus. Dengan demikian keperluan-
keperluan peserta didik berkebutuhan khusus tidak terabaikan
dalam proses pembelajaran. Manajemen pelayanan khusus ini
mencakup manajemen kepeserta didikan, kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan, dan lingkungan.
Kepala Sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang
memahami tentang Pendidikan Khusus, untuk melaksanakan
manajemen layanan khusus ini. Dalam pelaksanaan manajemen
pelayanan khusus ini tenaga kependidikan khusus bertanggung
jawab dalam hal:
1. Manajemen Kesiswaan
Manajemen kesiswaan ini meliputi perencanaan dan
pelaksanaan asesmen baik asesmen psikologis, akademis dan
fisik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka membuat profile siswa.
Profile ini sangat berguna dalam memahami kebutuhan khusus
peserta didik serta dalam rangka penyusunan kebutuhan layanan
pembelajaran individual.
Selanjutnya manajemen pembelajaran, yang berkenaan
dengan sistem dan strategi belajar, meliputi metode dan teknis
pembelajaran, pengelolaan kelas, dan sistem evaluasinya, tetap
disesuaikan dengan prinsip-prinsip layanan pembelajaran
individual.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


68

2. Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan
khusus peserta didik, data tentang kebutuhan khusus siswa dapat
diperoleh dari profile tiap-tiap peserta didik yang membutuhkan
pendidikan khusus. Secara diagramatis manajemen kurikulum
pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1: Sistem Manajemen Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusif

3. Sarana Prasarana

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


69

Siswa berkebutuhan khusus memerlukan sarana


prasarana khusus dalam proses pembelajaran di sekolah inklusif.
Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya sarana-prasarana tersebut
memerlukan manajemen tersendiri. Sarana prasarana ini
meliputi, gedung dan atau bangunan, media pembelajaran dan
lingkungan belajar di sekolah yang mudah di akses (memenuhi
prinsip aksesibilitas) peserta didik yang membutuhkan
pendidikan khusus. Pengadaan sarana dan prasarana ini
tentunya disesuaikan dengan tiap-tiap jenis kelainan anak
berkebutuhan khusus.
Manajemen sarana prasarana kegiatan utamanya adalah
mengatur agar daya dukung dari sarana prasarana berfungsi
secara optimal, bekerja secara terpadu dan sesuai dengan
kebutuhan. Ketersediaan sarana prasarana yang beragam tidak
bisa difungsikan secara acak, didalamnya membutuhkan
manajemen agar saling komplementer.

D. Manajemen Mutu Terpadu


Dalam pelaksanaan sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif, pengelolaannya dilandasi oleh pola manajemen mutu
terpadu, meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Mengutamaan Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


70

Pelanggan utama dalam sekolah inklusif ini antara lain


adalah seluruh peserta didik, orang tua peserta didik, dan
masyarakat. Sekolah harus dapat memberikan jaminan
kepuasan, terutama kepuasan menikmati proses pembelajaran
di sekolah.
2. Perbaikan Terus Menerus (Continous Improvement)
Seluruh pengelola dan penyelenggara sekolah inklusif
harus senantiasa melakukan evaluasi program sebagai bahan
pelaksanaan perbaikan terus menerus dilakukan. Setiap tahap
dan proses selalu dievaluasi keterlaksanaannya, sehingga
kendala-kendala yang mungkin timbul segera dapat dikenali dan
diberikan solusinya. Sikap untuk mau melakukan perbaikan terus
menerus harus terwujud dalam perilaku setiap personil yang
terlibat dalam penyelenggaraan sekolah inklusif.

3. Kebiasaan Berbicara dengan Fakta (Speeking With Fact)


Manajemen yang bermutu selalu ditandai dengan
kebiasaan para stake holder yang selalu berbicara dan
komunikasi dengan fakta. Untuk dapat membangun kebiasaan ini
maka sekolah harus mampu melakukan pengoleksian data
(Colecting data), pengolahan data dan penyajian data, yang
diantaranya, meliputi data-data tentang kepeserta didikan,

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


71

sarana dan prasarana, ketenagaan, keuangan, kurikulum dan


sistem evaluasi.
4. Sikap Menghargai Orang Lain (Respect for People)
Budaya untuk senantiasa menghargai orang lain, dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi akan berpengaruh terhadap
mutu layanan dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam sebuah
sistem tidak ada orang yang paling penting, dan yang paling tidak
penting, karena semua unsur menjadi penting. Oleh karena itu
budaya saling menghargai ini harus ditumbuhkan agar setiap
orang dapat memaksimalkan kekaryaannya. Khusus bagi murid,
berkenaan dengan sikap menghargai orang lain ini diwujudkan
dalam suasana sekolah yang akrab dan ramah terhadap peserta
didik berkebutuhan khusus.
Mekanisme peningkatan mutu terpadu pada pengelolaan
sekolah inklusif dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
PDCA yaitu melalui pentahapan perencanaan atas aspek yang
akan ditingkatkan mutu layanannya (Plan), selanjutnya di
tindaklanjuti dalam tindakan langsung (Do) setelah semuanya
berjalan dilakukan cek bagaimana pelaksanaannya(Check),
apakah sesuai dengan perencanaan. Langkah akhir dari kegiatan
peningkatan mutu adalah melakukan tindakan lanjut (Action).
Empat tahapan peningkatan mutu terpadu ini dilakukan secara
terus menerus dan semakin meningkat sehingga berdasarkan

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


72

hasil implementasi di sekolah direncanakan pencapaian standard


baru yang lebih tinggi.
Mekanisme peningkatan mutu layanan pendidikan pada
inklusi yang menggunakan PDCA diawali dengan mengadakan
analisis kesenjangan antara yang saat ini terjadi dengan
hal/gambaran yang diidialkan. Berdasarkan hasil kesenjangan
tersebut ditindaklanjuti dengan menggunakan pendekatan
PDCA.

E. Struktur Organisasi Sekolah


Agar semua komponen di atas dapat dilaksanakan sebaik
mungkin, struktur organisasi sekolah inklusif dapat dibuat seperti
alternatif di bawah ini.
Alternatif 1: Terutama untuk sekolah besar yang memiliki lebih
dari 12 rombongan belajar.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


73

Gambar 4.2 : Struktur Organisasi Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusif Model 1

Alternatif 2 : Terutama untuk sekolah cukup besar, yang memiliki


lebih dari 6 rombongan belajar.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


74

Gambar 4.3: Struktur Organisasi Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusif Model 2
Alternatif 3: Terutama untuk sekolah kecil, yang memiliki tidak
lebih 6 rombongan belajar.

Gambar 4.4: Struktur Organisasi Sekolah Penyelenggara Pendidikan


Inklusif Model 3

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


75

F. Pembagian Tugas Pimpinan Sekolah


Pimpinan sekolah terdiri dari, kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, dan tata usaha sekolah.
1. Kepala Sekolah
Kepala Sekolah berfungsi dan bertugas sebagai manajer,
administrator, edukator, dan supervisor.
a. Kepala Sekolah adalah penanggung jawab pelaksana
pendidikan di sekolah termasuk di dalamnya adalah
penanggung jawab pelaksanaan administrasi sekolah.
b. Kepala Sekolah mempunyai tugas merencanakan,
mengorganisasikan, mengawasi, dan mengevaluasi
seluruh proses pendidikan di sekolah meliputi aspek
edukatif dan administratif, yaitu pengaturan :
1) administrasi kepeserta didikan
2) administrasi kurikulum
3) administrasi ketenagaan
4) administrasi sarana-prasarana
5) administrasi keuangan
6) administrasi hubungan dengan
masyarakat
7) administrasi kegiatan pembelajaran

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


76

c. Agar tugas dan fungsi Kepala Sekolah berjalan baik


dan dapat mencapai sasaran perlu adanya jaduwal
kerja Kepala Sekolah yang mencakup :
1) kegiatan harian
2) kegiatan mingguan
3) kegitan bulanan
4) kegiatan semesteran
5) kegiatan akhir tahun pelajaran, dan
6) kegiatan awal tahun pelajaran

2. Wakil Kepala Sekolah


Tugas Wakil Kepala Sekolah adalah membantu tugas
kepala sekolah, dan dalam hal tertentu mewakili Kepala Sekolah
baik di dalam maupun ke luar, bila Kepala Sekolah berhalangan.
Sesuai dengan banyaknya cakupan tugas, tugas wakil kepala
sekolah meliputi:
a. Urusan Kepeserta didikan
Ruang lingkupnya mencakup:
1) Pengarahan dan pengendalian peserta didik dalam rangka
menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah termasuk
menciptakan suasana belajar dan bermain antar peserta didik
yang kooperatif.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


77

2) Pembinaan dan pelaksanaan koordinasi keamanan,


kebersihan, ketertiban, keindahan, kekeluargaan, dan
kerindangan (6K)
3) Pengabdian masyarakat.
b. Urusan Kurikulum
Ruang lingkupnya meliputi pengurusan kegiatan
pembelajaran, baik kurikuler, ekstra kurikuler, maupun kegiatan
pengembangan kemampuan guru melalui kelompok Kerja Guru
(KKG) atau pendidikan dan pelatihan (diklat), serta pelaksanaan
penilaian kegiatan sekolah. Dalam pelaksanaannya Wakil Kepala
Sekolah berkoordinasi dan atau memberikan tugas dan atau
kewenangan khusus kepada guru pembimbing khusus untuk
mengembangkan kurikulum bagi peserta didik yang
membutuhkan pendidiakn khusus, terutama dalam
pengembangan Individual Educational Program (IEP) atau
program pendidikan yang diindividualkan (PPI) sebagai ciri khas
pelayanan pendidikan pada sekolah inklusif. Di samping itu guru
pembimbing khusus juga diberikan wewenang untuk
memberikan bimbingan kepada guru lainnya, dalam rangka
memahami peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus
yang meliputi aspek pengertian, jenis, klasifikasi dan karakteristik
tiap-tiap anak yang membutuhkan pendidikan khusus, dengan
maksud untuk memberi kemudahan para guru saat bersama guru

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


78

pembimbing khusus mengembangkan kurikulum khususnya


program pendidiakn yang diindividualkan bagi tiap-tiap anak
yang membutuhkan pendidikan khusus.
c. Urusan Ketenagaan
Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing),
mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan
ketenagaan. Implementasi dari manajemen ketenagaan ini
adalah bagaimana membangun sinergia antara guru-guru reguler
dengan guru pendidikan khusus, sehingga terjadi sebuah
kolaborasi yang kooperatif dalam rangka memberikan layanan
pembelajaran optimal kepada seluruh peserta didik.
d. Urusan Sarana-prasarana
Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing),
mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan sarana-
prasarana sekolah. Di samping sarana dan prasarana pada
umumnya, yang harus diperhatikan adalah pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana khusus
(aksesibilitas) peserta didik yang membutuhkan pendidikan
khusus.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


79

e. Urusan Keuangan
Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing),
mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan
keuangan.pendanaan sekolah.
f. Urusan Hubungan dengan Masyarakat (Humas)
Ruang lingkupnya mencakup:
a. Memberikan penjelasan tentang kebijaksanaan
sekolah, situasi, dan perkembangan sekolah
sesuai dengan pendelegasian Kepala Sekolah.
b. Menampung saran-saran dan pendapat
masyarakat untuk memajukan sekolah
c. Membantu mewujudkan kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan
usaha dan kegiatan pengabdian masyarakat.
d. Melakukan koordinasi dan menjalin kerjasama
dengan sekolah mitra atau pusat-pusat sumber
(sekolah khusus terdekat yang dirujuk).
g. Urusan Kegiatan Pembelajaran
Ruang lingkupnya mencakup mengorganisasikan
(organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan
(coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


80

(evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan guru. Kegiatan


pembelajaran dalam kelas-kelas inklusif harus tercipta suasana
belajar yang kooperatif antara peserta didik-peserta didik biasa
dengan peserta didik dengan kebutuhan khusus. Anak-anak biasa
harus dikondisikan untuk memiliki sikap empati terhadap anak
yang membutuhkan pendidikan khusus, dengan demikian anak
yang membutuhkan pendidikan khusus akan merasa nyaman
belajar bersama-sama dengan anak-anak sebaya lainnya, yang
akhirnya tidak merasa inferior (rendah diri).
3. Tata Usaha
Ruang lingkup tugas Tata Usaha adalah membantu Kepala
Sekolah dalam menangani pengaturan:
a. administrasi kepesertadidikan
b. administrasi kurikulum
c. administrasi ketenagaan
d. administrasi sarana-prasarana
e. administrasi keuangan
f. administrasi hubungan dengan masyarakat
g. administrasi kegiatan pembelajaran
4. Guru Pendidikan Khusus (GPK)
Guru Pendidikan Khusus adalah guru yang berkualifikasi sarjana
(S1) pendidikan luar biasa (ortopedagog) yang memiliki tugas dan
fungsi sebagai pendamping, dan bekerja sama dengan guru kelas

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


81

atau guru bidang studi dalam memberikan assesmen, menyusu


program pengajaran individuan. Disamping itu GPK bertugas
memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
pada sekolah inklusif. Materi yang menjadi tanggung jawab GPK
meliputi layanan pembelajaran pra-akademik, layanan
kekhususan dan layanan pendidikan bagi anak berk4ebutuhan
khusus yang mengalami hambatan dalam pembelajaran
akademik. Sesuai dengan tugas dan kewenangannya, maka GPK
haruslah berlatar belakang pendidikan khusus atau guru reguler
yang telah mendapatkan pelatihan yang memadai tentang
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
5. Guru Kelas
Guru kelas adalah guru yang mengikuti kelas pada satuan
pendidikan sekolah dasar atau yang sederajat, yang bertugas
melaksanakan pembelajaran seluruh mata pelajaran pada satuan
pendidikan tersebut, kecuali pendidikan agama dan olahraga.
6. Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru yang bertanggung jawab
melaksanakan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu pada
satuan pendidikan Sekolah Dasar dan yang sederajad, Sekolah
Menengah Pertama dan yang sederajat, Sekolah Menengah Atas
dan yang sederajat, serta Sekolah Menengah Kejuruan atau
Madrasah Aliyah Kejuruan..

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


82

7. Tenaga Ahli
Tenaga ahli pada sekolah inklusif adalah tenaga profesional pada
disiplin ilmu tertentu yang relevan dengan kebutuhan
pembelajaran pada sekolah inklusif. Tenaga ahli tersebut antara
lain pedagog, psikolog, psikiater, dokter spesial, serta rohaniwan.
8. Peserta Didik
Peserta didik adalah seseorang yang sedang mengikuti
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan tertentu
sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan.
9. Komite Sekolah
Komite sekolah adalah suatu lembaga mandiri non-profit dan
non-politis yang mewadai peran serta masyarakat sebagai mitra
sekolah, yang dibentuk berdasarkan musyawarah oleh para
stake-holder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan
tertentu yang merepresentasikan dari berbagai unsur
masyarakat. Peran utama komite sekolah adalah untuk
meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi dalam
pengelolaan pendidikan, baik pada satuan pendidikan pra-
sekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar
sekolah.
10. Guru Bimbingan Penyuluhan
Guru bimbingan dan konseling adalah guru yang bertanggung
jawab untuk mencarikan solusi bagi semua peserta didik pada

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


83

sekolah inklusif. yang mengalami kesulitan dalam belajar,


sosialisasi, perilaku sosial, emosi, etika sosial sesuai dengan irama
perkembangan anak.

G. Pembinaan Sekolah Inklusif


1. Alternatif 1
Sekolah reguler yang menyatakan sebagai sekolah
inklusif bila belum memiliki guru pendidikan khusus (Guru Tetap),
bisa meminta guru pembimbing khusus dari Sekolah Luar Biasa
yang berlokasi tidak lebih dari 5 km dari Sekolah Dasar yang
bersangkutan. Dengan demikian Guru Sekolah Luar Biasa yang
diberi tugas sebagai Guru Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusif
(mungkin beberapa sekolah) merasa tidak terlalu jauh, sehingga
dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif. Secara organisator,
pola pembinaan sekolah inklusif ini sama dengan sekolah reguler
, yang secara diagramatis seperti dibawah ini.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


84

Gambar 4.5: Pola pembinaan sekolah inklusif alternatif 1

2. Alternatif 2
Sekolah reguler yang ditunjuk sebagai sekolah inklusif memiliki
Guru Pembimbing Khusus (Guru Tetap) yang berlatar belakang
pendidikan luar biasa atau berlatar belakang pendidikan umum
tetapi sudah mendapatkan pelatihan yang memadai tentang ke
PLB-an, sehingga faktor jarak dan lokasi Sekolah Khusus tidak
menjadi pertimbangan, karena sekolah ini sudah dapat mandiri.
Sekolah ini disebut Sekolah Inklusif Basis (memiliki guru
pendidikan khusus tetap).

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


85

Secara organisatoris, pola pembinaan sekolah inklusif ini sama


dengan sekolah reguler yang secara diagramatis seperti di bawah
ini.

Gambar 4.6: Pola pembinaan sekolah inklusif alternatif 2

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


86

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. (2005). Memahami Pendidikan Inklusif dan Anak


Berkebutuhan Khusus. Makalah tidak diterbitkan. Bandung:
Jurusan PLB FIP UPI.
Garnida, D. 2015. Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: Refika
Aditama.
Ilahi, Muhammad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif (Konsep dan
Aplikasi). Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Banduose
Media.
Mulyasa, E. 2014. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Suhardan, Dadang. 2010. Manajemen Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Sukadari. 2006. Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan.
Jakarta: Madina.
Sunarto, Juang. 2009. Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah
Dasar. Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan –
Sekolah Pasca Sarjana UPI.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


87

Sunardi (2009). Issues and Problems on Implementation of


Inclusive Education for Disable Children In Indonesia.
Tsukuba: CRICED – University of Tsukuba.
Sunaryo.2011. Manajemen Pendidikan Inklusif. Bandung: Jurusan
PLB FIP UPI.
Tatang M. Amirin, dkk. (2010). Manajemen Pendidikan. UNY
Press.
Tim. 2011. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
(Sesuai Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009). Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Manajemen Sekolah Luar Biasa II Nama Penulis


MANAJEMEN
SEKOLAH INKLUSIF

Pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan suatu


bangsa. Pemerintah melalui yuridis tercermin
dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “ Setiap
warga negara berhak mandapatkan
pendidikan” dan Permendiknas nomor 70
Tahun 2009 “Pendidikan untuk semua” sebagai
dasar terkait penyelenggaraan pendidikan
inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, serta
penerimaan oleh sekolah umum dan
penerimaan oleh masyarakat yang membuat
anak berkebutuhan khusus memiliki
kesempatan yang lebih luas untuk
mendapatkan pendidikan. Manajemen
pendidikan inklusif dalam pendidikan luar
biasa merupakan suatu proses keseluruhan
kegiatan secara bersama dalam bidang
pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengelolaan, dan
pengawasan dengan mendayagunakan
sumber-sumber yang ada, baik sumber daya
manusia maupun sumberdaya lainnya berupa
material demi tercapainya tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai