Anda di halaman 1dari 20

“Masalah Pendidikan Di Indonesia”

Ditulis oleh
Nama : M. Rifki Rahmatul Alfa
Kelas: XII IPS 3

SMA NEGERI 4 MANDAU


KAB. BENGKALIS
PROV. RIAU

TAHUN PELAJARAN
2022/2023

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Salah satu
faktor rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru
dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya
tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi
para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah
memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu.
Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak
untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa
diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum
yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya
didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan
masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang
kreatif. Penyebab lain rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.
Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu: Rendahnya sarana
fisik,, Rendahnya kualitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi
siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, Rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan, Mahalnya biaya pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
3. Apa sajakah permasalahan pendidikan di Indonesia?
4. Apa sajakah penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
5. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahanpermasalahan
pendidikan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan sistem pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini.
4. Mendeskripsikan penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
5. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahanpermasalahan
pendidikan di Indonesia.

BAB II
KAJIAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan
di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih
dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar
didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.1 Sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan,
proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak
dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam
Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-
anak yang kita didik, selaras dengan dunianya.
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat
pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir
hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan
lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak
berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat
karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan.
Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung
jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa
manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal
yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi.
Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk
“ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.Hasil
dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek
pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada
perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi
perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak
sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan
jasmani dan rohani juga. Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan
martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya
dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi
insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu
memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak
tercerabut dari akar tradisinya.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan di Indonesia
1. Pengertian sistem pendidikan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang berarti adalah
“cara atau strategi”. Dalam bahasa Inggris sistem berarti “system, jaringan, susunan,
cara”. Sistem juga diartikan sebagai “suatu strategi atau cara berpikir”. Sedangkan
kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal dari bahasa
yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya anak dan Agagos
yang artinya membimbing.
Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar para
pelajar di didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan
untuk dirinya dan masyarakat.
Jadi, bisa di simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu strategi atau
cara yang akan di pakai untuk melakukan proses belajar mengajar untuk mencapai
tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif mengembangkan potensi di
dalam dirinyayang sangat diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat.

2. Sistem pendidikan yang dianut Indonesia saat ini


Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional. Namun sistem
pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada
beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, di antaranya:

- Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai.


Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta
didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan, dsb. Nilai ini
disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga disampaikan di tingkat
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

- Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.


Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk dapat bersaing
dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif.

- Sistem pendidikan beragam.


Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, budaya, dll. Serta
pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan informal. -

- Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.


Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta didik tidak merasa
terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena waktunya terlalu
singkat atau sebaliknya.  Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan
zaman. Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum dengan
keadaan saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering mengalami
perubahan atau pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang Indonesia
menggunakan kurikulum 2013.

Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia ada yang namanya Pendidikan


karakter, yakni karakter merupakan kunci keberhasilan individu. Pendidikan karakter
ini sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi
dasar atau basic dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tak hanya
mengabaikan nilai-nilai sosial seperti kebersamaan, toleransi, gotong royong, saling
membantu, saling menghormati, saling membantu, saling menghormati, dan
sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tak hanya
mempunyai kemampuan kognitif saja namun juga mempunyai karakter yang mampu
mewujudkan kesuksesan.
Menurut penelitian di Harvard University AS, ternyata kesuksesan seseorang
semata-mata tidak ditentukan oleh kemampuan teknis (hard skill) pengetahuan dan
kognisinya saja, tapi lebih oleh kemampuan mengelola diri & orang lain. Penelitian
ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % hard skill dan
sisanya oleh soft skill 80 %. Kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan
pendidikan karater pada anak didik.

B. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia


Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari
tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini
ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa
Indonesia. Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti
melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi,
melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di
asramaasrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui
radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan
berintegrasi dalam rohani para siswa dan mahasiswa. Pengembangan pikiran
sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi
melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa dan atau
mahasiswa diasah melalui pemecahan soalsoal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

C. Permasalahan Pendidikan di Indonesia


Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”.
Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung
semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir.
Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut
melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, 10 membandingkan,
meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah
pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada
murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai
“pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai”. Dan “siap pakai” di sini berarti
menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan
bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan
nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau
komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu
menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas
tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan
antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika
Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi
dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box,
dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-
waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya
menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid.
Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-
apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah 11
wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang
dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya
(seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana
kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh
karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi
kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan.
Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai
sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga
pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar
akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat
relevan untuk direnungkan.
D. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai
tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan
pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya
adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa
yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu
apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai
hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia.
Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah
telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran
di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-
masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya
bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan
menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta
didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal
sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak
kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Indonesia.

2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia


Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan
proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang
baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita
kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil
yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan
banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di
Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia
Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika
kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu
tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan
sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal
lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai
ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika
sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya
itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang
bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada
peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya
adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain.
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00. Hal
tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang
mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut,
banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les
akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang
lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan
informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah
mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta 14
didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan
tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar
pendidikan di bidang bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang
sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat
kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak
dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga tidak mudah
dimengerti dan kurang membuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum
1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika
mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar
harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost/biaya pendidikan.
Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap
kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif. Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan
secara optimal dengan hanya masukan yang relatif tetap, atau jika masukan yang
sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri
terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan
dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang
sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan
atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan
bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan
pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia
pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai
dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang
sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang
mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan
sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami
hambatan.

3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia


Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Dunia pendidikan
terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menerus berubah
apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi.
Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di dalam
berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengungkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar
pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas
standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. 16 Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita
dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik


Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang
kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau
23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya.
Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru


Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20 th 2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia 17 bahkan
dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar
dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak
mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri)
dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk
SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Tingkat pendidikan guru merupakan salah satu indikator profesionalisme
tenaga pendidik. Data berasal dari kuesioner nasional tahun 2000 yang dilaksanakan
oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengab Departemen Pendidikan Nasional. Hasil analisis menunjukkan babwa
guru yang berpendidikan di bawab standar yang ditetapkan pemerintab cukup tinggi
yaitu 64,09% untuk SLTP, 61,5% untuk SMU dan 10,14% untuk SMK.
Berdasarkan pengamatan dan hasil survey pada tahun 2010 yang kami kutip
dari www.edukasi.kompasiana.com, kriteria kelayakan seorang guru di mata siswa
ternyata cukup sederhana.
Ada tiga jenis penilaian siswa yang merupakan indikator keberhasilan guru
dalam mengelola pembelajaran di kelas. Pertama, Guru mampu menguasai kelas.
Saat guru memasuki ruang kelas, guru harus bisa mengalihkan perhatian semua
siswa agar terfokus dengan kehadirannya. Ada sosok guru yang selalu ditunggu
kehadirannya, sebaliknya ada yang sejak awal kemunculan guru sudah membuat
tegang siswa dan adapula guru yang diacuhkan siswa meskipun sudah berada di
depan kelas. Selama proses pembelajaran , guru harus cerdik untuk menyiasati
berbagai ulah siswa yang kadang tidak terkontrol. Ibarat seorang pemusik, guru
harus menguasai ritme kelas, ada waktu dimana harus bersikap akrab dan
menyenangkan tapi ada saat guru mesti bersikap tegas untuk menjaga kewibawaan.
Bagi guru pemula atau mereka yang jam terbangnya masih rendah pasti akan
menemui banyak kesulitan dalam segi penguasaan kelas. Tapi jika para guru mau
bersabar, hal ini justru bermanfaat untuk memperbaiki pencitraan 18 dirinya di mata
siswa. Sekitar 28,57 % siswa menilai atau berpendapat bahwa kemampuan guru
dalam penguasaan kelas menentukan kriteria kelayakan seorang guru.
Kedua, Guru mampu menyampaikan materi pembelajaran. Guru harus
menguasai materi pembelajaran terlebih dahulu secara luas dan mendalam. Setelah
itu guru dituntut untuk dapat menyampaikan materi dengan cara yang bisa dipahami
oleh siswanya. Perlu diketahui bahwa tiap kelas memiliki karakter yang berbeda.
Kelas yang mayoritas berisi siswa aktif, daya tangkap kuat, dan bagus interaksi
sosialnya akan memudahkan guru membimbing siswa memperoleh kompetensi yang
ditetapkan. Sedangkan kelas yang kemampuan siswanya bervariasi atau kelas
dengan karakter siswa kurang aktif, tidak disiplin, dan prestasi rendah membutuhkan
kesabaran tinggi dan kerja keras dari gurunya. Siswa yang menilai kelayakan seorang
guru ditinjau dari kemampuan guru menyampaikan materi berjumlah 60 %.
Indikator ketiga yang menentukan kelayakan guru di mata siswa adalah guru
memiliki kualifikasi akademik yang memadai. Hanya 11,43 % siswa yang berpendapat
bahwa guru harus bergelar sarjana (S1) sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini
mungkin disebabkan mayoritas siswa tidak tahu atau tidak terlalu mempersoalkan
latar belakang pendidikan gurunya. Yang terpenting bagi siswa adalah seorang guru
diharapkan mampu mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dan membuat mereka menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar
pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Rendahnya Kesejahteraan
Guru Permasalahan kesejahteraan guru sebenarnya tidak perlu
dipertanyakan, karena pemerintah telah menaikkan dana alokasi umum untuk
pendidikan, yakni 20% dari APBN. Hal ini menyebabkan naiknya gaji guru PNS.
Kenaikan 19 tunjungan profesi guru tercatat mencapai besaran 56 persen, dari
sebelumnya Rp 6,1 triliun pada APBN-P 2010, naik menjadi Rp 17,1 triliun, dan terus
naik hingga saat ini anggaran tahun 2013 menjadi sekitar Rp 43 triliun.
Dengan data tersebut, sepertinya tidak perlu dipertanyakan lagi mengenai
kesejahteraan guru PNS, karena pemerintah telah menjaminnya dan semakin baik
setiap tahunnya. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah guru non-PNS atau guru
honorer yang belum mendapatkan balasan yang sesuai atas jasanya. Umumnya guru
honorer tiap bulannya hanya menerima gaji ala kadarnya yang jauh dari Upah
Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK) di daerah
ngajarnya masing-masing. Sehingga kesejahteraan mereka sangat kurang.

4. Rendahnya Prestasi Siswa


Dalam beberapa tahun terakhir memang prestasi siswa-siswi Indonesia di
kancah Internasional membaik. Bahkan, sering kali medali emas dari berbagai
olimpiade, seperti fisika, kimia, matematika, biologi, astronomi, dan komputer, selalu
digenggam wakil Indonesia atau bahkan menjadi juara umum kejuaraankejuaraan
internasional. Namun, apakah ini merupakan cerminan dari kemajuan mutu
pendidikan di Indonesia?
Kita tidak boleh hanya melihat prestasi dari segelintir siswa tersebut, tapi
haruslah melihat secara keseluruhan siswa-siswi di Indonesia. Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun mengakui bahwa siswa Indonesia yang unggul
di bidang sains selama ini hanya sekitar dua persen. Mereka inilah yang kerap
menjuarai olimpiade sains nasional dan internasional. Bagaimana dengan anak-anak
yang 98 persen lagi?

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan


Dalam hal pemerataan pendidikan, dapat diketahui melalui Angka Partisipasi
Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia
sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai
dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui
banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang
sesuai.Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai 20 perbandingan antara
jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan sebagainya)
dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam
persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak
yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu pada wilayah tertentu.
Partisipasi ditingkat SD (APM) sebesar 95,23%. Ditingkat SMP angka
partisipasi murni (APM) sebesar 74,52%. Ditingkat sekolah menengah (SM) angka
partisipasi murni (APM) sebesar 55,73% sedangkan angka parisipasi kasar (APK)
sekolah menengah (SM) sebesar 69,60% dan ditingkat perguruan tinggi angka
partisipasi kasar (APK) sebesar 18,33% (Badan Pusat Statistik Pendidikan). Padahal
untuk SD dan SMP pemerintah menargetkan 100%. Belum lagi ketimpangan antar
daerah yang terjadi di Indonesia. Daerah-daerah terbelakang dan belum
mendapatkan akses infrastruktur dasar masih tersebar diberbagai pelosok daerah.
Tentunya hal ini menyulitkan untuk mewujudkan tujuan pemerataan pendidikan
yang telah Indonesia sepakati.
Belum lagi untuk jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi. Ketimpangan
sangat terasa dilevel ini. Akses yang sangat sulit didapat masyarakat membuktikan
rendahnya APK pada level ini. Hal ini terbukti dari rendahnya APK untuk SM yakni
sebesar 69,60% dan PT 18,33%. Tidak dapat dipungkiri, biaya untuk mengakses
pendidikan di level ini masih sangat tinggi dan sulit untuk dijangkau oleh penduduk
miskin yang saat ini berjumlah 30,02 juta orang dengan pendapatan yang minim dan
hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia per Agustus 2013 mencapai 7,39 juta orang. Angka itu lebih tinggi dari
data Februari 2013 dengan angka pengangguran terbuka 7,17 juta orang.
Berdasarkan data BPS, 6 November 2013, tingkat partisipasi angkatan kerja 66,9
persen, sedangkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,25 persen.
Pengangguran terbuka terbanyak berasal dari lulusan sekolah menegah kejuruan,
sekitar 11,19 persen. Kemudian lulusan sekolah menengah atas sebanyak 9,74
persen dan lulusan sekolah menengah pertama 7,6 persen (www.tempo.co). 21
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan


Biaya pendidikan masih terbilang mahal, sehingga hanya masyarakat yang
memiliki uang yang cukup yang hanya bisa menikmati pendidikan. Sedangkan nasib
rakyat yang berekonomi rendah, patut dipertanyakan. Seharusnya biaya pendidikan
selama 9 tahun itu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, namun hal itu belum
terdapat disemua sekolah di Indonesia. Hanya di beberapa tempat tertentu saja,
namun itu juga masih belum dapat dikatakan baik, ada saja biaya tambahan ini dan
itu.
Masyarakat yang tergolong kurang mampu, jangankan untuk biaya
pendidikan, untuk makan sehari-hari saja sangat susah, mereka cenderung untuk
bekerja yang langsung menghasilkan uang. Uang itu digunakan untuk makan dan
juga pendidikan mereka kelak, namun entah sampai kapan. Kerjaan yang mereka
lakukan juga terbatas, pekerjaan yang tidak membutuhkan pendidikan secara
khusus, seperti mengamen, membersihkan kaca mobil, berjualan koran, ataupun
mengemis. Tetap saja uang itu masih belum cukup digunakan untuk biaya
pendidikan yang tergolong mahal itu. Seharusnya anak-anak kecil seperti itu jangan
dibiarkan untuk bekerja keras seperti itu, seharusnya mereka duduk dibangku
sekolah dan mengecam pendidikan. Dan hal ini semua dikarenakan oleh kurangnya
biaya untuk pendidikan.
Banyak juga rakyat miskin yang terpaksa harus putus sekolah dikarenakan
tidak sanggup lagi membayar uang sekolah. Padahal pendidikan merupakan hak
untuk setiap warga negara. Apabila ada seorang warga negara yang terpaksa harus
berhenti mengecam pendidikan karena kurangnya biaya, apa makna pendidikan
wajib 9 tahun itu masih berlaku? Bagaimana nasib masa depan bangsa apabila
banyak rakyatnya yang tidak bisa mengecam pendidikan karena kurangnya biaya?
Padahal, Indonesia memiliki banyak warga negara yang miskin, bahkan banyak 22
yang berada dibawah garis kemiskinan. Apabila mereka semua tidak bisa mengecam
pendidikan, bagaimana nasib bangsa ini?
Di Indonesia memang diwajibkan untuk wajib belajar selama 9 tahun, namun
9 tahun itu tidaklah cukup. Kita bisa ambil contoh, seorang lulusan SMA saja,
sekarang ini susah untuk mencari pekerjaan yang layak. Dan bahkan sampai jenjang
S-1 sekalipun masih banyak yang menjadi pengangguran, apalagi yang hanya sampai
pada tingkat SMP saja. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang
SMA membutuhkan biaya yang relatif tidak sedikit. Apalagi yang sampai pada tingkat
pendidikan di perguruan tinggi, membutuhkan biaya yang bisa dibilang mahal.
Namun apabila mendapatkan perguruan tinggi negeri, biasanya biayanya relatif lebih
murah daripada perguruan tinggi swasta, sedangkan untuk dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi negeri kita harus menjalani persaingan yang ketat dengan banyak
orang, dan kita membutuhkan pendidikan yang memadai. Begitu pula untuk
mendapatkan beasiswa, dibutuhkan prestasi yang baik.
Kita harus akui, bahwa terutama di Indonesia, mereka yang beruang akan
lebih mudah untuk mengecam pendidikan, karena biaya bukan masalah bagi
mereka, mereka bisa mengecam pendidikan dimana saja tanpa harus ada
batasanbatasan dari masalah biaya. Namun, bagi mereka yang berekonomi rendah,
katakanlah rakyat miskin, biaya akan menjadi penghalang utama bagi mereka untuk
dapat menikmati pendidikan. Namun, masih ada harapan bagi mereka yang
sungguh-sungguh ingin mengecam pendidikan, mereka harus belajar dengan giat
agar mereka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang
lebih tinggi. Namun, tidak banyak orang yang seperti ini. Kebanyakan dari mereka
akan lebih memilih untuk bekerja saja, padahal untuk menjadi orang yang sukses,
terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini dibutuhkan pendidikan yang baik. Dan
seharusnya, biaya bukanlah yang menjadi halangan seseorang untuk dapat
menikmati pendidikan yang sesungguhnya itu adalah hak mereka.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru
ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk “cuci tangan”.

E. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia


Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui
sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem
pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan
peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang
menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan
guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem
ekonomi yang ada.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upayaupaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem
pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru.Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan saranasarana pendidikan, dan sebagainya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem pendidikan di Indonesia sangat dinamis menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Saat ini Indonesia menggunakan kurikulum 2013 yang
menekankan pada pendidikan karakter. Ciri-ciri pendidikan di Indonesia yakni aspek
ketuhanan sudah dikembangkan dan Pengembangan pikiran sebagian besar
dilakukan di sekolahsekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-
bidang studi yang mereka pelajari. Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini,
diantaranya adalah: Pendidikan di Indonesia berat sebelah, sistem pendidikan yang
top-down, manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya

Penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia:


(1) . Rendahnya sarana fisik,
(2) . Rendahnya kualitas guru,
(3) . Rendahnya kesejahteraan guru,
(4) . Rendahnya prestasi siswa,
(5) . Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6) . Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7) . Mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing
secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa 26
Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu. Dengan meningkatnya
kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik
mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala
bidang di dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-
danefisiensianggaran.
http://www.detiknews.com.
http://www.sib-bangkok.org.
http://panduanguru.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/.
http://sistempendidikannegarakita.blogspot.com/ . .
http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-
diindonesia/.
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527565/Pengangguran-Naik-
Jadi739-Juta-Orang.
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/17/dilematika-biaya-pendidikan-
diindonesia-602443.html.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/02/menentukan-kelayakan-seorang-
guru344595.html.
http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=132:persent .
ase-guru-yang-memiliki-ijazah-minimal-s1-menurut .
tingkatpendidikan&catid=105:tabel&Itemid=119.
http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=50907.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/21944 .
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga
Saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Masalah
Pendidikan Di Indonesia.” Pada makalah ini Saya banyak
mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan
dari berbagai pihak. oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Saya
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada Guru
saya yaitu Juliana S.pd yang telah membimbing saya dalam
penyusunan makalah ini. Saya juga berterimakasih kepada
pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu
persatu yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah
ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat
jauh dari sempurna, untuk itu Saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata Saya mengucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membaca.

Duri, 14 Februari 2022

M.Rifki Rahmatul Alfa

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .……………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….. ii
BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………. 2
C. Tujuan penulisan ………………………………………………………………………………………. 2
BAB II
KAJIAN TEORI ……………………………………………………………………………………… 3
BAB III
PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………………. 4
A. Sistem Pendidikan Di Indonesia ………………………………………………………………. 5
B. Ciri-Ciri Pendidikan Diindonesia ………………………………………………………………. 6
C. Permasalahan Pendidikan Di Indonesia …………………………………………………… 6
D. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan Di Indonesia ………………………….. 7
E. Solusi Dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan Di Indonesia …………. 16
BAB IV
PENUTUP ………………………………………………………………………………………….. 17
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………. 17
B. Saran ……………………………………………………………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………….. 18

Anda mungkin juga menyukai