Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KELOMPOK

Faktor dan Hubungan Timbal Balik Pendidikan serta Konsep Pendidikan


Seumur Hidup
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu : Evinna Cinda Hendriana, S.Pd., M.Pd

Kelompok 4

1. Lidwinarti Indah Sari (11308505210061)


2. Ola Polina (11308505210090)
3. Tiara stevanie (11308505210137)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SINGKAWANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Adapun
judul dari makalah ini ialah “Faktor dan Hubungan Timbal Balik Pendidikan Serta
Konsep Pendidikan Seumur Hidup”.
Pada Kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen mata kuliah strategi pembelajaran, Ibu Evina Cinda
Hendriana, S.Pd., M.Pd yang telah memberikan tugas kepada penulis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik
dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan
kemampuan penulis, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis
harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Singkawang, 17 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab II : Pembahasan
A. Faktor Pendidikan dan Hubungan Timbal Balik Pendidikan
B. Konsep Pendidikan Seumur Hidup
C. Historis Pendidikan di Indonesia dan Sinopsis Aliran Pendidikan
Bab III : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya dalam memahami arti dari Pendidikan ialah perlu
diketahui terlebih dahulu dua istilah dalam duniak Pendidikan yakni pedagogi
yang berarti “Pendidikan” dan pedagogia yang artinya “ilmu pendidikan”. Istilah
ini berasal dari Bahasa Yunani pedagigia (paedos dan agoge) yang berarti “saya
membimbing, memimpin anak”. Berdasarkan asal kata tersebut, maka pendidkan
memiliki pengertian sebagai seseorang yang tugasnya membimbing anak didalam
pertumbuhannya kepada arah berdiri sendiri serta bertanggung jawab.
Pendidikan adalah aktivitas atau usaha manusia untuk menumbuh
kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun Rohani untuk
memperoleh hasil dan prestasi. Dengan kata lain bahwa Pendidikan dapat
diartikan sebagai suatu hasil peradapan bangsa yang dikembangkan atas dasar
pandangan hidup bangs aitu sendiri (nilai dan norma Masyarakat) yang berfungsi
sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan
pendidikannya karenanya bagaimanapun peradaban suatu Masyarakat,
didalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses Pendidikan sebagai usaha
manusia untuk melestarikan hidupnya.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang ha
rus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu
kelompok manusia dapat hidup berkembang seJalan dengan inspirasinya untuk
maju Sejahtera dan Bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Adapun
beberapa pengertian Pendidikan dikemukakan oleh paea ahli, antara lain :
1. Menurut Redja Mudyahardjo secara luas Pendidikan adalah hidup. Pendidikan
adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan
dan sepanjang hidup. Secara sempit Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan
adalah pengakaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai Lembaga
Pendidikan formal.
2. Menurut Umar Tirtarahardja dan Lasula Pendidikan seperti sasarannya yaitu
manusia, mengandung banyak aspek yang sangat kompleks. Oleh karena itu
beliau mengemukakan beberapa Batasan Pendidikan yang berbeda
berdasarkan fungsi, yaitu:
a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya.
b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi.
c. Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga warga negara.
d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Pendidikan dan Hubungan Timbal Balik Pendidikan
1. Faktor Pendidikan
Dalam aktivitas Pendidikan ada tujuan faktor Pendidikan yang dapat
membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi dalam Pendidikan, antara
lain :
a. Faktor Tujuan
Setiap aktivitas tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Begitu pula
dengan Pendidikan, ia pun mempunyai tujuan. Pendidikan sebagai suatu
bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan
sebagai sesuatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat
abstrak sampai pada rumusanrumusan yang dibentuk secara khusus untuk
memudahkan pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Dikatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Berbudi pekerti luhur
3) Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
4) Sehat jasmani dan rohani.
5) Berkepribadian yang mantap dan mandiri.
6) Bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
Tujuan itu dibuat berjenjang seperti anak tangga. Untuk mencapai anak
tangga paling atas, harus melalui anak tanggaanak tangga di bawahnya.
Sebelum melaksanakan sebuah aktivitas, termasuk pendidikan, yang pertama-
tama harus ditetapkan adalah tujuan. Tujuan berfungsi untuk:
1) Mengakhiri usaha
2) Mengarahkan usaha
3) Merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain
4) Memberi nilai pada usaha (berhasil atau gagal).
Jika fungsi tujuan di atas dibawah ke dalam aktivitas pendidikan, maka
fungsi tujuan pendidikan adalah sebagai batas atau ukuran apakah tujuan itu
sudah tercapai atau belum. Tujuan pendidikan juga mengarahkan aktivitas
pendidikan, sehingga tidak salah arah. Tujuan pendidikan harus ditetapkan
secara berjenjang, sehingga mudah diukur, dalam aktivitas pendidikan
ditetapkan tujuan-tujuan antara yang diarahkan untuk mencapai tujuan akhir
dari Pendidikan.
b. Faktor pendidik
Dalam hal ini kita dapat membedakan pendidik itu menjadi 2 kategori,
yaitu:
1. Pendidik menurut kodrati, yaitu orang tua
2. Pendidik menurut jabatan, yaitu guru.
Pendidik yang bersifat kodrati dan sebagai orang tua wajib pertama sekali
memberikan didikan kepada anaknya, selain asuhan, kasih sayang, perhatian
dan sebagainya. Sedangkan pendidik menurut jabatan, yaitu guru. Guru adalah
sebagai pendidik yang menerima tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang
tua, masyarakat dan Negara. Tanggung jawab dari orang tua di terima guru atas
kepercayaan yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran dan
diharapkan pula dari pribadi guru dapat memancarkan sikapsikap yang
normatif baik, sebagai kelanjutan dari sikap dan sifat orang tua pada umumnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Bab XI pasal 39 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan
dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di
perguruan tinggi. Dengan demikian, pendidik adalah orang yang diberi amanah
untuk tidak saja membuat perencanaan, melaksanakan pembelajaran, menilai,
membimbing, tetapi juga melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Hal ini berarti bahwa seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk
mentranfer ilmu, melainkan harus selalu mengadakan penelitian dalam rangka
menyesuaikan pengetahuannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat cepat.
c. Faktor Peserta Didik
Faktor keberhasilan pendidikan yang keempat adalah Peserta Didik atau
anak didik . Konsep pendidikan sehebat apa pun tidak akan berhasil jika tidak
didukung oleh peserta didik. Lantas apa itu peserta didik atau anak didik itu?
Anak didik adalah orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjalankan pendidikan. Peserta didik sebagai
manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidiknya, peserta
didik merasa bahwa ia memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, ia menyadari
bahwa kemampuan masih sangat terbatas dibandingkan dengan kemampuan
pendidiknya. Karena itulah anak didik memiliki beberapa karakteristik,
diantaranya :
1) Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tangung
jawab pendidik.
2) Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga
masih menjadi tanggung jawab pendidik.
3) Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan
secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial,
intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, perbedaan individual dan
sebagainya.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta
menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta
didik. Lingkungan dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan nonsosial.
Lingkungan sosial berupa lingkungan yang terdiri atas manusia yang ada di
sekitar anak yang dapat memberi pengaruh terhadap anak, baik sikap, perasaan,
atau bahkan keyakinan agamanya, misalnya lingkungan pergaulan. Lingkungan
nonsosial adalah lingkungan alam sekitar berupa benda atau situasi, misalnya
keadaan ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan sebagainya, yang dapat
memberikan pengaruh pada peserta didik.
Lingkungan pendidikan umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa
individu yang terikat keturunan. Peran keluarga tentunya sangat
berpengaruh dalam dunia pendidikan. Keluarga merupakan madrasah
pertama seorang anak sebelum mereka terjun ke dunia pendidikan
selanjutnya, yaitu sekolah. Disini bentuk keluarga akan mempengaruhi
perilaku anak. Apabila di dalam sebuah keluarga selalu menerapkan tata
krama, maka anaknya akan menjadi seseorang yang mengenal tata krama
baik dimanapun dia berada. Begitu juga sebaliknya apabila keluarga
tersebut tidak memerhatikan anaknya. Maka, anaknya bisa menjadi
seseorang yang individualis sebagaimana dia diperlakukan saat kecil. Maka,
keluarga berperan besar bagi pendidikan anak kedepannya.
2) Lingkungan sekolah
Selain keluarga, lingkungan sekolah juga berperan besar dalam dunia
pendidikan. Fokus utama pendidikan adalah sebuah sekolah. Seorang anak
yang tidak pernah sekolah pemikirannya akan jauh berbeda dengan anak
yang pernah sekolah. Karena di dalam sekolah, seorang anak akan
mendapatkan banyak ilmu pengetahuan. Tidak hanya pengetahuan saja,
mereka pun akan dididik moralnya. Sehingga sudah jelas bahwa lingkungan
sekolah akan memberikan dampak/pengaruh yang besar bagi
keberlangsungan dunia pendidikan.
3) Lingkungan masyarakat
Lingkungan yang terakhir adalah lingkungan masyarakat. Lingkungan
masyarakat ini termasuk teman-teman rumah mereka maupun kondisi
lingkungan sekitar rumah mereka, yaitu tetangga. Lingkungan masyarakat
sangat berpengaruh terhadap sikap atau moral anak. Lingkungan masyarakat
yang baik tentunya akan membawa anak menjadi pribadi yang baik. Begitu
pula sebaliknya apabila seorang anak lahir di lingkungan yang tidak baik.
Maka, ia akan menjadi pribadi yang tidak baik pula. Selain itu, anak yang
tinggal di kota pemikirannya akan berbeda dengan anak yang tinggal di
desa. Anak yang tinggal di kota berfikirnya akan lebih dinamis dan cepat.
Sedangkan anak yang tinggal di desa berfikirnya akan lebih statis dan
lamban. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan masyarakat juga berperan
dalam psikis dan sikap seorang anak kedepannya.
2. Hubungan Timbal Balik Pendidikan
Pendidikan membutuhkan masyarakat, begitu pula sebaliknya; tanpa ketiga
komponen tersebut, pendidikan tidak akan berjalan dengan baik karena di dalam
pendidikan terdapat unsur sekolah, keluarga, masyarakat, dan elemen seperti guru,
siswa, dan lainnya.
1) Pengaruh Keluarga Terhadap Sekolah dan Masyarakat Keluarga
bertanggung jawab untuk mengajarkan anak-anak mereka akhlak dan
pandangan hidup keagamaan.
Anak memperoleh sifat dan perilaku dari kedua orang tuanya, serta
dari anggota keluarga lainnya. Gagasan untuk terus menanamkan moralitas
dan kepribadian yang baik hingga diakui oleh semua bagian masyarakat
tumbuh dari bagian terkecil dari masyarakat. Sekolah adalah salah satu
institusi yang memberikan karakter dan kepribadian kepada masyarakat.
Karena masyarakat mendukung sekolah, kedua sistem ini saling
mendukung.
2) Pengaruh Sekolah Terhadap Keluarga dan Masyarakat
a. Mencerdaskan kehidupan masyarakat
b. Membawa pengaruh pembeharuan bagi perkembangan masyarakat
c. Mencetak warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan
kerja di lingkungan masyarakat
d. Melahirkan sikap-sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat,
sehingga tercipta integrasi sosial yang harmonis ditengah- tengah
masyarakat.
3) Pengaruh Masyarakat Terhadap Keluarga dan Sekolah Masyarakat dapat
diartikan sekumpulan manusia yang saling berhubungan satu sama lain.
Mereka memiliki kesamaan budaya, wilayah, dan identitas kemudian
berinteraksi sesama berdasarkan kemaslahatan. masyarakat merupakan
tempat anak hidup dan belajar kemudian menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam keluarga maupun disekolah. Penjelasan pengaruh
masyarakat terhadap proses pendidikan:
a. Pendidikan sebagai persiapan untuk hidup bermasyarakat.
b. Pendidikan membina agen pembangunan masyarakat.
c. Pendidikan dan kesadaran kebangsaan Indonesia.
d. Pendidikan dan pelestarian Pancasila.
e. Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
B. Konsep Pendidikan Seumur Hidup
Pendidikan seumur hidup adalah sebuah konsep Pendidikan yang
menerangkan tentang keseluruhan peristiwa kegiatan belajar mengajar dalam
proses pembinaan kepribadian yang berlangsung secara kontinyu dalam
keseluruhan hidup manusia. Proses pembinaan kepribadian memerlukan rentang
waktu yang relative Panjang, bahkan berlangsung seumur hidup. Pendidikan
seumur hidup, yang disebut dengan Life Long Education adalah Pendidikan yang
menekankan bahwa proses Pendidikan berlangsung terus menerus sejak seseorang
dilahirkan hingga meninggal dunia, baik dilaksanakan di jalur Pendidikan
formal,non formal maupun informal (Mudyahardjo, 2003).
Pendapat ini menunjukan, pendidikan bukan hanya didapat dari bangku
sekolah atau pendidikan formal, namun juga dapat diperoleh dari pendidikan
informal dan non formal. Pendidikan berlangsung seumur hidup melalui
pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupan manusia. Pendidikan
seumur hidup adalah sebuah sistem konsep pendidikan yang menerangkan
keseluruhan peristiwa kegiatan belajar mengajar dalam keseleuruhan kehidupan
manusia. Proses pendidikan seumur hidup berlangsung secara kontinyu dan tidak
terbatas oleh waktu, dan tempat sepanjang perjalanan hidup manusia sejak lahir
hingga meninggal dunia baik secara formal maupun non formal. Proses
pendidikan seumur hidup tidak hanya dilakukan leh seseorang yang sedang
belajar pada pendidikan formal, manun bagi semua lapisan masyarakat.
Bangsa Indonesia telah merumuskan konsep pendidikan seumur hidup baru
mulai dimasyarakat melalui kebijakan Negara dalam Tap MPR No.IV/MPR/ 1970
jo. Tap No. IV/ MPR / 1978 Tentang GBHN)14 yang menetapkan prinsip-prinsip
pembangunan nasional, antara lain :
1. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah
pembangunan jangka panjang )
2. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam keluarga
(rumah tangga ), sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. (BAB
IV GBHN bagian pendidikan ).
Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003, penegasan tentang pendidikan seumur
hidup, dikemukakan dalam pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: "Jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya". Jadi dapat pula dikatakan bahwa pendidikan dapat
diperoleh dengan 2 jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan di
luar sekolah15 . Ketetapan di atas menunjukkan, bahwa setiap warga Negara
berkesempatan seluas-luasnya untuk menjadi peserta didik melalui pendidikan
sekolah ataupun luar sekolah. Setiap warga negara diharapkan dapat belajar pada
tahap-tahap mana saja dari kehidupanya dalam mengembangkan dirinya sebagai
manusia Indonesia Masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat bekerja sama
dalam menciptakan situasi yang dapat memotivasi anak untuk terus belajar.
Sekolah formal bukan satu-satunya tempat dan waktu utnyuk belajar. Dasar
pendidikan seumur hidup adalah adanya keyakinan, bahwa proses pendidikan
berlangsung selama manusia hidup, baik dalam maupun diluar sekolah.
Pendidikan sekolah meliputi pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan ini mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah meliputi pendidikan nonformal dan
informal. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembalikan potensi peserta
didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta mengembangkan sikap kepribadian hidup. Pendidikan nonformal
meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan peserta didik.

C. Historis Pendidikan di Indonesia dan Sinopsis Aliran Pendidikan


1. Historis Pendidikan di Indonesia
Landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan
pandangan ke masa lalu. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang
proses perjalanan Pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode
tertentu di masa yang lampau. Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan
segala macam kejadian, peristiwa atau kegiatan yang dapat didasari oleh
konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alami ini,
termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budi daya manusia. Sejarah penuh
dengan informasi-informasi yang mengandung konsep, teori, praktek, moral,
cita-cita, bentuk, dan sebagainya.
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17
Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan
kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek Pendidikan masa lampau yang
tersurat atau tersirat masih mejadi dasar penyelanggaraan Pendidikan ini.
Berikut beberapa sejarah Pendidikan pada setiap zaman, sebagai berikut :
1) Pendidikan pada zaman masuknya Portugis dan Spanyol
Bangsa Portugis dan Spanyol datang ke Indonesia untuk berdagang, tetapi
selain itu mereka pun (para misionaris) bertujuan menyebarkan agama
Katholik. Implikasinya, Pendidikan zaman ini utamanya dimaksudkan demi
penyebaran agama Katholik. Tahun 1536 didirikan sekolah (Seminarie) di
Ternate, selain itu didirikan pula di Solor. Kurikulum pendidikannya berisi
pendidikan agama Katolik, ditambah pelajaran membaca, menulis dan
berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka.24
Penyebaran agama Katolik di Kepulauan Maluku, demikian pula
penyelenggara pendidikan, tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti.
Hal tersebut terjadi karena selain hubungan dengan orang-orang Portugis
dengan Sultan Ternate kurang baik, mereka harus bersaing dan berperang
melawan orang-orang Spanyol dan kemudian orang-orang Inggris. Akhirnya
kedatangan Belanda dengan agama Kristen yang dibawanya dapat menghalau
Portugis sampai ke Timor-Timur, kemudian mengambil alih segala harta
benda, termasuk gereja Katolik beserta harta, benda, termasuk gereja Katolik
beserta lembaga pendidikannya walaupun sebagian penduduk masih juga ada
yang setia kepada agama Katolik.
2) Pendidikan pada Zaman Kerajaan Islam
Lembaga perguruan atau pesantren yang sudah ada sejak zaman
HinduBudha dilanjutkan oleh para wali, ustadz, dan atau ulama Islam.
Kurikulum pendidikannya tidak tertulis (tidak ada kurikulum formal).
Pendidikan berisi tentang tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah
S.W.T.), AlQur’an, hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis
huruf Arab.26 Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis.
Pada zaman ini pendidikan dikelola oleh para ulama, ustadz atau guru. Raja
tidak ikut campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikan
bersifat otonom). Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi,
tergantung dengan sifat materi pendidikan, tujuan, dan peserta didiknya.
Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah atau tabligh (wetonan)
untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama)
biasanya dilakukan di mesjid; mengaji AlQur’an dan sorogan (cara-cara
belajar individual).
Dalam metode sorogan walaupun para santri bersama-sama dalam satu
ruangan, tetapi mereka belajar dan diajar oleh ustadz secara individual. Cara-
cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu
dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para
pandita HinduBudha, hanya saja isi ajarannya diganti dengan ajaran yang
Islami. Demikian pula dalam sistem pesantren atau pondok asrama. Di langgar
atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji
Al-Qur’an dan materi pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi
pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di pesantren.
3) Pendidikan pada Zaman Kolonial Belanda
Pendidikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali dengan
pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC. VOC menyelenggarakan
sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi
intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai
administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya
didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah
disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon
pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16
sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah. Dalam periode
pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan bagi
kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk bangsa
Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%.28.
Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi
pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya
diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan
priyayi; kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah
atau pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan
zaman colonial Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu
pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk
kalangan Bumi Putera; 2) Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah
jajahan diarahkan dan dipolakan menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi
Putera hal ini di satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab
penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek
merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera yang asing dengan
budaya dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh
pemerintahan colonial Belanda; 4) Menghambat gerakan nasional; dan 5)
Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional
(kemerdekaan).
4) Pendidikan pada Masa Pergerakan Nasional dan Pada Masa
Kependudukan Jepang
a. Pendidikan pada masa pergerakan Nasional
I Djumhur dan H. Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah
tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung
dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan, kaum
pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program perjuanganya.
Dewasa ini lahirlah sekolahsekolah partikelir (perguruan nasional) yang
diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolahsekolah itu mula-mula
bercorak dua:31 1. Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti
yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr.
Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Moch. Sjafei (INS
Kayutanam) dsb. 2.
Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang
diselenggarakan oleh: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatera
Tawalib di Padangpanjang, dll Selain itu, sebelumnya telah
diselenggarakan pula pendidikan oleh tokohtokoh Wanita seperti R.A.
Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus
(di Sumatera).Kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan
rakyat dan kaum pergerakan antara lain sebagaimana seperti Budi Utomo,
Muhammadiyah, perkumpulan Putri Mardika, Trikoro Dharmo, Perguruan
Taman Siswa, dan sebagainya.
b. Pendidikan pada Masa Pendudukan Jepang
Sistem Pendidikan Belanda yang selama ini berkembang di Indonesia,
semuanya diganti oleh bangsa Jepang sesuai dengan sistem pendidikan
yang berorientasi kepada perang pasifik. Tidak mengherankan bahwa
segala komponen sistem pendidikannya ditujukan untuk kepentingan
perang. Pada masa Belanda terdapat dua jenis pengajaran, yaitu pengajaran
kolonial dan pengajaran Bumi Putra, oleh Jepang sistem seperti itu
dihilangkan. Hanya satu jenis sekolah rendah saja yang diadakan bagi
semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 Tahun atau “Kokumin
Gakko”. Sekolah-sekolah desa masih tetap ada dan Namanya diganti
menjadi Sekolah Pertama.
Pendidikan pada masa Jepang sangat memperihatinkan. Kondisi
pendidikan bahkan lebih buruk dari pendidikan pada masa jajahan
Belanda. Sebagai gambarannya dapat dilihat dari segi kuantitatif misalnya
jumlah Sekolah Dasar dari 21.500 menurun menjadi 13.500 buah, Sekolah
Lanjutan dari 850 buah menjadi 20 buah, Perguruan tinggi terdiri dari 4
buah, sama sekali tidak dapat melakukan kegiatannya. Pemakaian bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun bahasa pengantar pada tiap-
tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah sekolah itu
dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan budaya jepang
kepada rakyat Indonesia.
c. Pendidikan Pasca Kemerdekaan
Pada zaman kemerdekaan kondisi sosial politik sangatlah tidak stabil.
Maka dari itu hal tersebut sangat mempengaruhi pola dan dinamika
pendidikan nasional saat itu, dan telah terjadi beberapa kali perubahan arah
dan orientasi pendidikan nasional. Pada Tanggal 1 maret 1946, tujuan
pendidikan berorientasi untuk usaha dalam menanamkan jiwa patriotism
dan lebih jauh yang dimaksudkan untuk menghasilkan patriot-patriot
bangsa yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya. 139 Undang-
undang No. 4 tahun 1950 pasal 3, tujuan pendidikan nasional berubah
yaitu dengan adanya perumusan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Pendidikan di Indonesia dari tahun 1945 sampai 1950 adalah Pendidikan
masa perjuangan. Ciri-ciri utama pada masa periode ini adalah adanya
semacam dualism dalam Pendidikan. Salah satu pihak Pendidikan dan
pengajaran berlangsung di beberapa wilayah negara yang dikuasai atau
dipengaruhi oleh Belanda, dan yang lain dikendalikan langsung oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
d. Pendidikan pada Masa Orde Lama
Secara umum, pembentukan orde lama merupakan bentuk
pascakemerdekaan di bawah kendali Soekarno, memberikan ruang bebas
bagi Pendidikan. Pemerintah sosialis ini merupakan pedoman dasar
bagaimana Pendidikan dirancang dan dilaksanakan untuk pembangunan
dan kemajuan masa depan negara Indonesia. Dan secara kuantitatif,
Pendidikan di Indonesia telah berubah. Sesudah KMB tepatnya pada 1949
terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Di dalam RIS ini menyusun pendidikan dan pengajaran. Pada UUD
RIS diatur juga tentang pendidikan nasional. Kebijakan yang dimiliki
pendidikan nasional pada masa ini dimulai pada pasal 30 UUDS 1950
RI,yaitu 1). Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, 2).
Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas, 3). Mengajar adalah
bebas, dan tidak berkurangnya pengawasan penguasa yang dilakukan
terhadap itu menurut peraturan UU menurut Rifa’i.41 Menurut keputusan
Presiden Nomor 145 tahun 1965 dalam melakukan perumusan bertujuan
agar pendidikan nasional Indonesia sesuai dengan ManipolUsdek, yaitu
”Tujuan pendidikan nasional, baik yang dilakukan dari pihak pemerintah
maupun dari pihak swasta, serta dari pendidikan prasekolah hingga
pendidikan tinggi agar menciptakan warga negara sosialis Indonesia yang
susila dan bertanggung jawab atas diselenggarakannya masyarakat sosialis
Indonesia, adil dan makmur dari spiritual maupun material dan berjiwa
Pancasila”.
e. Pendidikan pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru merupakan masa pemerintahan dimana rezim
dapat bertahan lebih lama dan stabil jika dibandingkan dengan rezim Orde
Lama. Kestabilan politik tersebut juga berpengaruh pada kestabilan
program dan pelaksanaan pendidikan nasional pada masa Orde Baru. Hal
itu dapat dilihat dari institusi, lembaga, departemen, dan kementerian yang
mengurusi pendidikan relatif stabil, yaitu hanya satu nama institusi yang
menggantikan nama institusi Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan, yaitu menjadi Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen ini tidak pernah diganti selama masa pemerintahan Orde Baru
(1966 – 1998). Salah satu ciri pendidikan Orde Baru adalah bagaimana
bentuk dan implementasi atau kebijakan pendidikannya selalu dikaitkan
dengan persoalan pembangunan dan ekonomi. Intinya, lulusan pendidikan
di zaman Orde Baru dituntut untuk bisa bekerja.
Pendidikan pada masa Orde Baru dimulai dengan lahirnya Ketetapan
MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 bab II pasal 3, mencantumkan bahwa
tujuan pendidikan nasional Indonesia, dimaksudkan untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan
manusia Pancasila sejati adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah
mental masyarakat yang sudah banyak mendapat pengaruh dari Manipol
USDEK pada zaman Orde Lama, pemurnian semangat Pancasila dianggap
sebagai jaminan tegaknya Orde Baru.47 Dalam sidang MPR yang
menyusun GBHN tahun 1973 hingga sekarang, selalu di tegaskan bahwa
pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negri
dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama sudah di
kembangkan sejak taman kanak-kanak. Dengan demikian, setelah merdeka
pendidikan islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam
system pendidikan nasional
2. Sinopsis Aliran Pendidikan
Aliran-aliran pendidikan muncul sejak manusia hidup dalam suatu
kelompok yang diharapkan dengan problem regenerasi bagi keturunannya.
Secara historis bahwa aliran-aliran pendidikan ataupun berbagai pemikiran
tentang pendidikan dapat ditemukan dalam berbagai literature. Setiap aliran
pendidikan dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk memperbaiki martabat
manusia. Pemahaman terhadap berbagai aliran pendidikan memiliki arti yang
sangat penting ketika seorang pendidik ataupun calon pendidik hendak
menangkap hakikat dari setiap dinamika perkembangan pemikiran tentang
pendidikan yang tengah terjadi. Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran
yang demikian dianggap penting dalam dunia pendidikan karena akan menjadi
bekal bagi tenaga pendidik, sehingga memiliki wawasan historis yang lebih
luas, juga dapat menambah ketajaman analisisnya dalam mengaitkan antara
keberadaan masa lampau dengan tuntutan dan kebutuhan masa kini dalam
rangka mengantisipasi masa yang akan datang. Berbagai pemikiran tentang
pendidikan tempo dulu secar realitas telah memberikan kontribusi yang cukup
berarti bagi praktek pendidikan bahkan pengaruhnya sempat meluas dan
berkembang di benua Eropa dan Amerika. Sehubungan dengan hal ini, maka
sangat logis bila aliran-aliran pendidikan sebagian besar berasal dari kedua
benua tersebut. Pada setiap aliran pendidikan memiliki pandangan yang
berbeda dalam memandang perkembangan manusia. Hal ini berdasarkan atas
faktor-faktor dominan yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi
perkembangan manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh,
berikut aliran dalam pendidikan.
1) Aliran Nativisme
Idris (1992) menjelaskan bahwa nativisme berasal dari bahasa Latin nativus
yang artinya terlahir. Salah satu tokoh aliran ini adalah Arthur Schoupenhauer
(1788-1860). Inti ajarannya adalah bahwa perkembangan seseorang
merupakan produk dari faktor pembawaan yang berupa bakat. (Munib, 2008)
aliran ini dikenal sebagai aliran pesimistik karena pandangannya yang
menyatakan bahwa orang yang “berbakat tidak baik” akan tetap tidak baik,
sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik. Sebaliknya orang yang
“berbakat baik” akan tetap baik dan tidak perlu dididik, karena ia tidak
mungkin akan terjerumus menjadi “tidak baik”. Aliran ini juga mempunyai
ajaran bahwa bakat yang merupakan pembawaan seseorang akan menentukan
nasibnya. Walau dalam kenyataan sering dijumpai adanya kemiripan antara
orang tua dan anaknya baik secara fisik maupun bakat-bakatnya, tapi
pembawaan bukan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangannya.
Sejalan dengan Sumitro (2005) nativisme berpendapat bahwa perkembangan
individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor bawaan semenjak lahir.
Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan
anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Bahkan oleh nativisme dikatakan bahwa anak yang mempunyai pembawaan
jahat akan menjadi jahat dan anak membawa pembawaan baik akan menjadi
baik. Aliran nativisme bertolak dari Libnitzian Tradition yang menenkan
kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan juga termasuk dalam
kategori pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak
(Suardi, Tri dan Syofrianisda, 2016). Namun demikian menurut aliran ini tetap
saja berpendapat bahwa pendidikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap
perkembangan seseorang, sehingga bila pendidikan yang diberikan tidak
sesuai dengan pembawaan seseorang maka tidak akan ada gunanya. Dengan
demikian mendidik adalah membiarkan seseorang tumbuh berdasarkan
pembawaannya.
2) Aliran Empirisme
Aliran ini dimotori oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang
rasionalis bernama John Locke (1632-1704). Menurut Umar Tirtarahardja
(Munib, 2008) aliran ini bertolak dari Lockean Tradition yang lebih
mengutamakan perkembangan manusia dari sisi empiric yang secara eksternal
dapat diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia.
Kata empiris berasal dari kata empericus bahasa Latin. Secara etimologis
empirisme berasal dari kata empiri yang berarti pengalaman. Pokok pikiran
yang dikemukakan oleh aliran ini menyatakan bahwa pengalaman adalah
sumber pengetahuan, sedangkan pembawaan yang berupa bakat tidak
diakuinya. Menurut aliaran empirisme pada saat manusia dilahirkan
sesungguhnya dalam keadaan kosong bagaikan “tabula rasa” yaitu sebuah
meja berlapis lilin yang tidak terdapat tulisan apapun di atasnya. Dengan kata
lain, seseorang yang dilahirkan mirip atau bagaikan kertas putih bersih yang
masih kosong, sehingga pendidikan memiliki peran yang sangat penting
bahkan dapat menentukan keberadaan anak (Munib, 2008). Sehubungan
dengan hal ini dikatakan bahwa pendidikan adalah “maha kuasa”, artinya
seolah-olah pendidikan memiliki kekuasaan dalam menentukan nasib anak.
John Lock menganjurkan agar pendidikan di sekolah dilaksanakan
berdasarkan atas kemampuan rasionya dan bukan atas perasaannya. Mendidik
menurut John Locke adalah membentuk pribadi anak sesuai dengan yang
dikehendakinya. Aliran ini dikenal juga dengan aliran optimisme. Aliran ini
juga meyakini bahwa dengan memberikan pengalaman melalui didikan
tertentu kepada anak, maka akan terwujudlah apa yang diinginkan. Tentu saja
aliran ini memiliki pandangan yang berat sebelah dalam melihat keberhasilan
seseorang yakni hanya semata-mata dari pengalaman (pendidikan) yang
diperolehnya. Sejalan juga bahwa aliran empirisme ini dipandang berat
sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang dperoleh dari
lingkungannya. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dianggap tidak menentukan dan tidak berpengaruh sama sekali. Menurut
kenyataan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun
lingkungan sekitarnya tidak mendukung sama sekali (Suardi, Tri dan
Syofrianisda, 2016).
3) Aliran Naturalisme
Aliran ini tumbuh pada abad ke XVIII tepatnya pada tahun 1712-1778
yang dipelopori oleh J.J Rousseau. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan
hanya memiliki kewajiban memberi kesempatan kepada anak untuk tumbuh
dengan sendirinya. Pendidikan hendaknya diserahkan kepada alam.
Pendidikan hanya dapat berbuat menjaga agar pembawaan yang baik pada
anak tidak menjadi rusak akibat campur tangan masyarakat. Ciri utama aliran
ini adalah bahwa dalam mendidik seorang anak hendaknya dikembalikan
kepada alam agar pembawaan yang baik tidak dirusak oleh pendidik. Pada
saat anak menjadi remaja hendaknya diajarkan agama dan moral yang semata-
mata sebagai alas an alamiah semata (Munib, 2008). Sejalan dengan Sumitro
(2005) nativisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak lahir mempunyai
pembawaan “baik”. Namun pembawaan baik tersebut akan menjadi rusak
karena pengaruh lingkungan, sehingga naturalisme sering pula disebut
negativisme. Sebaiknya pendidik membiarkan anak berkembang sesuai
dengan pembawaan sejak lahir dan proses pendidikan diserahkan saja kepada
alam. Hal ini dimaksudkan pembawaan baik tidak menjadi rusak oleh tangan
manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan. Seperti diketahui, gagasan
naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini malahan
terbukti sebaliknya, yakni pendidikan sangat dibutuhkan pada era globalisasi
saat ini. Rousseau berpendapat bahwa lebih baik menunda suatu pengajaran
daripada cepat-cepat melaksanakannya hanya karena ingin menanamkan suatu
aturan atau otoritas tertentu (Ditjen Dikti,1983)
4) Aliran Konvergensi
Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938) dalam (Munib,
2008). Inti ajaran aliran konvergensi adalah bahwa bakat, pembawaan dan
lingkungan atau pengalamanlah yang menentukan pembentukan pribadi
seseorang. Setiap pribadi merupakan hasil konvergensi dari faktor-faktor
internal dan eksternal. Perpaduan antara pembawaan dan lingkungan keduanya
menuju pada satu titik pertemuan yang terwujud sebagai hasil pendidikan.
William berpendapat bahwa:
a) Pendidikan memiliki kemungkinan untuk dapat dilaksanakan, dalam
arti dapat dijadikan sebagai penolong kepada anak untuk
mengembangkan potensinya.
b) Yang membatasi hasil pendidikan anak adalah pembawaan dan
lingkungannya. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ilmu
pengetahuan modern, aliran konvergensi dipandang lebih realistis,
sehingga banyak diikuti oleh para pakar pendidikan.
Aliran ini semakin berkembang pada abad XX. Sebagai kelanjutan dari
perkembangan aliran ini tumbuh “gerakan baru” dalam dunia pendidikan.
Pemikiran bahwa keadaan di luar diri anak dapat meningkatkan
kepribadiannya terwujud dalam pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat
perhatian, sekolah kerja dan pengajaran proyek.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses untuk memperoleh
keterampilan, kebiasaan, dan sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang
menjadi warga negara yang baik. Tujuan pendidikan adalah untuk
menumbuhkan atau mengubah kognisi, emosi, dan konasi seseorang. Tujuh
faktor pendidikan: pendidik, anak didik, tujuan, materi pendidikan, alat,
lingkungan, dan hubungan timbal balik. Faktor-faktor ini dapat bekerja sama
atau berdampak satu sama lain. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan didalam kehidupan keluarga, sekolah, dan Masyarakat.
Mengingat pentingnya hubungan timbal balik antara keluarga, sekolah, dan
Masyarakat. Maka penting untuk direalisasikan dengan berbagai bentuk dan
cara pelaksanaannya guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
B. Saran
Dengan meningkatkan kualitas Pendidikan berarti sumber daya manusia
akan semakin baik mutunya maka, seorang siswa lebih termotivasi untuk
belajar agar mampu membawa bersaing secara sehat dalam segala bidang
maupun bersaing secara di dunia internasional. Oleh karena itu diharapkan
juga pada era modern ini ada pengaruh timbal balik antara keluarga, sekolah,
dan Masyarakat sehingga tercipta anak yang baik dan benar dalam bidang
Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai