Disusun Oleh:
Kelompok 6
Muhammad Arief Husein (220101010233)
Fikri Haykal Ulil Albab (220101010237)
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan peyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini sangat kami harapkan,
sehingga penyusun dapat memperbaiki isi makalah ini kedepannya lebih baik lagi.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A. Latar Belakang………………………………………………….…………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………2
A. Kesimpulan………………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...………27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang. Pendidikan dari
waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik
seperti halnya penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran yang
mengusung konsep memberi kebebasan siswa dalam berpendapat,
menyampaikan sanggahan, dan juga memiliki kesempatan yang sama
tanpa ada pembedaan dari segi suku, ras, dan golongan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui penerapan demokrasi pendidikan dalam
proses pembelajaran siswa di Sekolah.
Dewasa ini, situasi pendidikan Indonesia dalam banyak hal
bertentangan dengan cita-cita demokrasi. Hal ini terlihat dari berbagai
fakta. Yang pertama masih model pembelajaran ala bank. guru mengajar
dan siswa belajar. Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa. Guru
berpikir, siswa berpikir. Guru berbicara dan siswa mendengarkan. Disusun
oleh guru dan dikoordinir oleh siswa. Guru memilih dan memaksimalkan
pilihannya. siswa patuh. Guru dipandang sebagai reservoir pengetahuan
yang tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan kepada siswa.
Paradigma seperti itu sebagian besar bertanggung jawab atas kelambatan
dalam proses pembentukan ruang partisipasi di antara siswa dan
mempertahankan budaya pasif. Para siswa sudah menganggap guru,
sumber segala sesuatu dan sumber kebenaran,
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dari Demokrasi Pendidikan?
2. Apa Problematika Demokrasi Pendidkan Di Indonesia?
3. Bagaimana Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
menyampaikan pendapat, menjawab ataupun yang lainnya. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa penerapan demokrasi pendidikan2
3
Belanda) tidak dapat kita ragukan kemampuannya. Coba kita lihat latar belakang
pendidikan dari founding fathers kita yang telah memperoleh pendidikan kolonial
tetapi yang justru telah menjadi bumerang terhadap kekuasaan kolonial. Dalam
sejarah pendidikan kita dapat kita katakan bahwa inteligensi manusia Indonesia
tidak kalah dengan apa yang dimiliki oleh kaum penjajah. Masalah yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama
yang diberikan kepada semua anak bangsa. Itulah sebabnya di dalam UUD 1945
dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem
pendidikan nasional untuk rakyat, bukan untuk segolongan kecil di dalam
masyarakat. Kesempatan yang sama harus diberikan oleh sistem pendidikan
nasional untuk semua anak bangsa.
4
bagaimana upaya kita untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional seperti
peningkatan mutu pendidikan teknologi di ITB dengan Universitas Kentucky,
peningkatan mutu pendidikan di IPB juga dengan beberapa pendidikan tinggi di
Amerika atas bantuan kerjasama Amerika Serikat, Ford Foundation dan beberapa
lembaga-lembaga swasta internasional lainnya.
Pada masa Orde Lama sudah kita kenal juga mengenai upaya untuk
meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah menengah. Pada masa itu
dilaksanakan ujian-ujian negara yang terpusat. Ujian-ujian negara yang terpusat
itu masih mengikuti sistem kolonial yang ketat tetapi tetap jujur dan
mempertahankan kualitas. Sistem kontinental digunakan, asing dari pengukuran
performance hanya serba semata-mata dari test multiple choice tetapi ditekankan
kepada
Suatu kebijakan yang diambil pada masa Orde Lama dalam bidang
pendidikan tinggi ialah mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini
tentunya mempunyai tujuan untuk lebih meratakan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi yang berkualitas pada waktu itu
hanya ada di Pulau Jawa yang kemudian terkenal sebagai The Five Center of
5
Excellence (UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR). Sayangnya, terbukanya
kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak disertai
dengan program yang sungguh sungguh untuk meningkatkan kemampuan dosen
serta sarana-sarana yang memadai untuk suatu universitas. Akibatnya dapat kita
duga ialah kemerosotan mutu pendidikan tinggi telah dimulai.
6
yang dikenal dengan UMPTN tetapi juga hal tersebut tidak menolong oleh sebab
hasil EBTANAS sekolah menengah juga dijadikan sebagai indikator penerimaan
di perguruan tinggi. Banyak kritik yang muncul dari dunia pendidikan tinggi itu
sendiri untuk memperbaiki UMPTN seperti yang dikemukakan oleh mendiang
Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, mantan Rektor IPB. Beliaulah yang
menganjurkan di samping UMPTN, pendidikan tinggi negeri mengadakan
penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Para siswa yang
berpotensi tersebut tidak perlu mengikuti ujian saringan dan langsung memasuki
dunia pendidikan tinggi khususnya IPB. Cara ini kemudian diikuti oleh
universitas-univer sitas lain dalam rangka untuk mempertahankan mutu
pendidikan tingginya. Seperti yang kita lihat pendidikan tinggi negeri mulai
berkembang pesat sejak Orde Baru. Pendidikan tinggi yang relatif sudah lebih
maju seperti di The Five Center of Excellence di Pulau Jawa Gap antara
pendidikan tinggi terutama di Pulau Jawa dengan di luar Jawa semakin menganga.
4. Era Reformasi
7
Era reformasi yang dimulai sejak 1998 merupakan suatu era transisi
dengan tumbuhnya proses demokratisasi di dalam masyarakat Indo nesia. Proses
demokratisasi juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-Undang ini telah menangkap perubahan-perubahan yang
dikehendaki dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yaitu: 1) Desentralisasi
sistem pendidikan dari sistem yang sentralistis menjadi suatu sistem yang
desentralistis. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah
pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah. Sebagaimana
yang diatur di dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Perubahan dari sistem yang sentralistis ke desentralistis tentunya mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional. Memang kita masih berada pada masa transisi, banyak hal yang masih
harus diatur seperti yang diminta oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Banyak PP yang mengatur mengenai wewenang daerah belum dilahirkan.
Demikian pula yang sangat serius adalah komitmen dan kemampuan daerah untuk
menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya. Dapat dibayangkan bagaimana
pendidikan nasional kita diletakkan kepada lebih dari 300 kabupaten dan kota
serta pada lebih dari 30 provinsi 2) Sesuai dengan tuntutan era globalisasi
Indonesia tidak terlepas dari kewajibannya untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusianya dalam menghadapi persaingan bebas dalam dunia yang terbuka
abad ke-21. Kebutuhan ini telah ditampung oleh adanya Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen
sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional. Lahirnya Undang-
Undang No. 14 Tahun 2005 di dalam segala kekurangannya merupakan suatu
tonggak yang sangat berarti di dalam reformasi pendidikan nasional. Apabila isi
undang-undang tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan didukung oleh
anggaran pendapatan dan belanja negara baik di pusat maupun daerah yang
memadai, maka dapat kita jamin berkembangnya pendidikan nasional yang
bermutu di masa depan. Sudah barang tentu pelaksanaan dari kedua undang-
8
undang tersebut meminta program dan waktu yang mencukupi. Sayang sekali
program yang dinanti-nantikan belum kunjung tiba. Sebagaimana yang penulis
kemukakan di dalam bab sebelumnya, pendidikan nasional kita sampai dewasa ini
tidak mempunyai platform yang jelas sehingga terjadi perubahan-perubahan
kebijakan menurut selera seorang menteri, atau seperti yang kita lihat di dalam
polemik Ujian Nasional sejak tahun 2003 menunjukkan kemauan pemerintah
yang tidak dapat dibendung oleh keinginan rakyat. Semua hal ini menunjukkan
suatu gejolak di dalam masa transisi dalam pendidikan nasional Indonesia. Di
dalam Bab selanjutnya penulis akan kemukakan mengenai apa saja yang perlu
diprogramkan dan dilaksanakan dan ditunjang oleh biaya yang optimal dalam
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Apabila orang bertanya quo vadis
pendidikan nasional Indonesia? Penulis telah mengemukakan beberapa pemikiran
seperti yang telah dikemukakan di dalam Manifesto Pendidikan Nasional (2005),
tentang perlu adanya suatu pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional serta
kesepakatan untuk menangani masalah-masalah yang mendasar yang dihadapi
oleh sistem pendidikan nasional. Apabila benar-benar tuntutan UUD 1945
mengenai tersedianya dana yang memadai untuk pengembangan pendidikan
nasional perlu disertai dengan adanya suatu program pengembangan yang solid
serta tidak melupakan masalah inti dalam pendidikan kebutuhan anak bangsa.
Seperti yang telah dikemukakan, pemecahan masalah pendidikan tidak hanya
dapat berhenti dengan menggunakan epistema politik serta epistema ekonomi
tetapi perlu dilengkapi dengan epistema pedagogis. Epistema politik kita perlukan
untuk menjaga kohesi nasional dalam membangun negara kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, keyakinan dan agama.
Epistema ekonomis diperlukan di dalam manajemen pendidikan nasional yang
terbentang luas di Nusantara dengan berbagai standar kualitas serta kemampuan
daerah. Epistema pedagogis mengintegrasikan berbagai pandangan dalam sistem
pendidikan nasional ialah untuk kepentingan anak bangsa sebagai peserta-didik
dan sebagai subjek seorang manusia.
9
2. Problematika Pendidikan Di Indonesia
4
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20 Tahun 2003),
Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Hlm. 5.
10
Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritik baik dari
praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan nasional yang
tidak mempunyai arah yang jelas. Ketiadaan arah yang tidak jelas dalam
pendidikan nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan
nasional yang menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita- cita
bersama Indonesia raya.5
5
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
6
H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 59
7
Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008), h. 20
11
pada atasan dan menghilangkan hak-hak dan kewenangan profesional. Alhasil
pendidikan memproduk manusia-manusia penurut, tidak berani mengambil
Keputusan tidak ada kemandirian karena lebih banyak terpaksa dan kepura-
puraan.
8
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
12
Banyaknya sarana pendidikan yang rusak dan tidak layak ini merupakan
salah salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan. Dari 1,3 juta ruang kelas,
769 ribu dalam kondisi layak pakai (59%), 299 ribu rusak berat (23%) dan 242
ribu rusak ringan (18%). Pada taun 2012 sudah 22 ribu ruang kelas yang
diperbaiki.15 Proyek perbaikan sekolah ini tidak akan pernah selesai. Sekolah
yang sekarang masuk dalam kategori ringan akan naik menjadi rusak sedang, lalu
rusak berat jika tidak ditangani tentunya akan menjadi rusak berat.
Kesenjangan yang lain juga pada jumlah dan ketersediaan buku yang,.
Ketersediaan buku di daerah perkotaan dan dan daerah terpencil serta perbatasan
terjadi kesenjangan baik dari segi jumlah ketersediaan dan kualitas buku.
Sementara ketersediaan buku merupakan penunjang pendidikan yang sangat
penting karena hal ini akan menunjang keberhasilan proses pendidikan.
13
satunya apabila didukung oleh dana yang cukup dan pengelolaan yang baik.
Tentunya kita berharap banyak pada pemberlakuan otonomi pendidikan sebagai
salah satu kebijakan pendidikan nasional dapat dilaksanakan dengan baik dan
terarah. Otonomi pendidikan diharapkan menghasilkan sistem pendidikan yang
lebih mandiri, terbuka, demokratis dan maju masih jauh dari tercapai.9
Kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis.
Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini
tidak dapat dipukul rata begitu saja Tetapi harus diakui bahwa jumah guru yang
sedikit salah satu indikator kesenjangan dalam masalah pemerataan guru.
Jumlah guru yang kurang memadai ini banyak terjadi di daerah pedesaan,
terpencil dan perbatasan, jumlah guru hanya ada sekitar 3-4 orang. Sementara itu,
di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya memada terjadi penumpukan
guru. Bahkan dalam satu SD dijumpai 11- 14 orang guru, termasuk diantaranya
kepala sekolah.10 Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju di perkotaan
dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan
guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolosi dan semakin terpuruk.
Posisi guru sangat vital dalam pendidikan. Dari segi kuantitas dan
pemerataan guru mengalami persoalan yang dilematis, ada sekolah yang
kelebihan guru tetapi ada juga sekolah yang kekurangan guru. Salah satu faktor i
kesenjangan pemerataan guru di Indonesia karena kondisi geografis negara kita
yang sangat luas.
9
Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta: All Rihgts
Reserved, 2011), h. 40
10
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011) h.58
14
yang tinggal di daerah terpencil. Upaya- upaya yang dilakukan pemerintah ini
tentunya tidak langsung menyelesaikan masalah.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki
posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik
amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan profesionalitas senantiasa
harus ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia yang
mampu menghadapi persaingan global.
Masalah kompetensi guru adalah masalah serius, untuk itu perlu dilakukan
pembinaan secara baik, selain itu juga tentunya guru terus belajar untuk
11
Ibid, h. 62
12
Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta: graha Guru, 2011),
h. 99
15
mengembangkan wawasan dan intelektualitas yang pada gilirannya bisa
membangun kreativitas guru.
Situasi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini seringkali
menampilkan wajah yang cukup kontradiktif dengan gagasan demokrasi. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai macam fakta. Pertama adalah model pembelajaran yang
masih kental dengan gaya bank yang tercermin melalui: guru mengajar, murid
belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid
dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru
memilih dan memaksimalkan pilihannya, murid menuruti. Guru dilihat sebagai
gudang pengetahuan yang bertujuan untuk mentransferkan ilmunya kepada
peserta didik. Paradigma seperti ini menjadi penyebab utama terhambatnya proses
pembentukan ruang yang partisipatif dan melanggengnya budaya pasif dalam diri
para pelajar. Para pelajar sudah beranggapan bahwa guru adalah sumber
segalanya, sumber kebenaran, dianggap “perfect”. Model pembelajaran inilah
yang dikritisi oleh seorang tokoh pendidikan yaitu Paul Freire. Freire menekankan
pentingnya pendidikan yang membebaskan, tidak ada pihak yang mendominasi
dan didominasi.13
13
Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi
16
Pendidikan yang demokratis merupakan gagasan yang mengedepankan
unsur partisipasi aktif dari semua pihak (pemerintah, pengajar dan anak didik).
Kemajuan dari sebuah institusi pendidikan tidak terlepas dari peran setiap aktor-
aktor tersebut. Adanya proses integrasi secara terpadu dan terus-menerus melalui
pembentukan pendapat umum (opini publik) dalam mengambil suatu keputusan
merupakan esensi utama dari gagasan demokrasi. Pendidikan yang demokratis
merupakan pendidikan yang mengedepankan partisipasi aktif. Semua orang
memiliki kebebasan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan gagasan
dalam mengaktualisasikan dirinya. Situasi pendidikan di Indonesia pada
umumnya dan di NTT pada khususnya, belum menampilkan konsep demokrasi
yang sesungguhnya.Kalaupun ada, jumlahnya masih sangat minim. Oleh karena
itu, sudah saatnya pendidikan yang demokratis diwujudkan, agar generasi yang
lahir dari sistem pendidikan di Indonesia bukanlah generasi yang pasif, melainkan
aktif, generasi yang kritis, bukan krisis dan generasi yang selalu inklusif, bukan
eksklusif. Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia harus diterjemahkan
ke dalam praktik yang demokratis, bukan otoritarian. Mewujudkan pendidikan
yang demokratis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang sulit, sepanjang kita
mempunyai misi yang sama yaitu terwujudnya keadilan sosial dalam bidang
pendidikan. Semua aktor dalam dunia pendidikan memiliki kedudukan yang
sama, baik sebagai peserta didik, para pendidik dan juga pemerintah.
17
yang sangat kuat dan besar dalam menentukan arah kebijakan kurikulum sekolah.
Kuat dan besarnya hak sekolah dalam menetapkan arah kebijakan kurikulum, bisa
dikatakan sama dengan pemerintah.
18
3. Kurikulum merupakan sebuah konsep dinamis; Kurikulum merupakan
konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan dan penyesuaian dengan
tuntutan pasar atau idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Dengan kata lain prinsip utama yang paling mendasar pada kurikulum
2013 adalah penekanan pada kemampuan guru mengimplementasikan proses
19
pembelajaran yang otentik, menantang dan bermakna bagi peserta didik sehingga
dengan demikian dapatlah berkembang potensi peserta didik sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Namun, masih banyak guru
yang belum bisa atau masih bingung dalam melaksanakan atau
mengimplementasikan kurikulum 2013 itu dalam pembelajaran.
20
Kurikulum 2013 mendefinisikan standar kompetensi lulusan (SKL) sesuai
dengan yang seharusnya, yakni sebagai kriteria mengenai kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Acuan dan prinsip
penyusunan kurikulum 2013 mengacu pada pasal 36 Undang-Undang No. 20
tahun 2003, yang menyatakan bahwa penyusunan kurikulum harus
memperhatikan peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia;
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi
daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan
dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama;
dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan.14
14
(Kurniasih, 2014).
21
kewenangan pemangku kebijakan. Sistem pendidikan harus terus dikembangkan
untuk generasi masa depan yang tanggap dengan segala tantangan. Saat ini
banyak dijumpai pekerjaan yang dilakukan dengan bantuan teknologi sehingga
sangat berdampak pada lapangan pekerjaan yang tersedia. Oleh sebab itu
masyarakat harus memperoleh pendidikan yang layak agar memiliki kreativitas
dan mampu menyeimbangi perkembangan teknologi agar kodrat sebagai manusia
tetap menjadi yang utama dalam menjalankan kehidupan berkelanjutan.
22
3 Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 dapat dilaksanakan pada program Hak Belajar Tiga
Semester Diluar Program Studi meliputi: pertukaran pelajar, magang/praktik
kerja, asistensi mengajar disatuan pendidikan, penelitian/riset, proyek
kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi /proyek independen, KKN tematik.
Program studi harus berusaha mengembangkan kurikulum dengan menyesuaikan
model pengembangan kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka agar mampu
mengimplementasikan keleluasaan pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan
mahasiswa dan tidak monoton. Melalui program merdeka belajar kampus
merdeka yang telah dipersiapkan dan dilaksanakan maka diharapkan mampu
menjadi jawaban atas permasalahan mutu pendidikan di Indonesia serta dapat
menanggulangi banyaknya lulusan yang menjadi pengangguran ditengah era
society 5.015
15
Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus
Merdeka Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.0
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan besar pada kebijakan pengembangan di bidang pendidikan di
Indonesia semenjak terjadi reformasi di bidang politik, yang secara umum
tertumpu pada otonomisasi dan demokratisasi. Politik, ekonomi dan demokrasi
mempunyai keterkaitan yang cukup erat, yang saling berpengaruh yang muncul
dari sumber kemerdekaan individu atas kekuasaan Negara. Dalam membangun
masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan, agar masyarakat tidak
sekedar mampu membaca dan menulis serta berhitung, akan tetapi mampu
memahami fungsi pemerintah yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan pasar
bebas.
24
mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
pasal 11 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
25
DAFTAR PUSTAKA
26