Anda di halaman 1dari 28

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar. M.Ag

Nama: Alif Nurul Mubarok

NIM: 19204010031

1. Jelaskan pengertian filsafat pendidikan Islam itu? Kemudian jelaskan


perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Barat
pada umumnya dalam hal: (1) proses belajar mengajar, (2) konsep
pendidikannya dan (3) tujuan akhir pendidikannya? Berikanlah analisis
dengan piranti SWOT?
A. pengertian filsafat pendidikan Islam, Menurut al-Alinain (1980) bahwa
filsafat pendidikan ialah kegiatan berfikir yang sistematis yang di ambil
dari sistem filsafat sebagai cara mengatur pendidikan dan menyusunnya,
menerangkan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya yang telah ditetapkan untuk
dilalui, dalam rangka membina praktik pendidikan. Menurut al-Najihi
(1967) bahwa apabila pendidikan itu merupakan lapangan ilmu
pengetahuan dan pengalaman kemanusian, dan apabila praktik
pendidikan merupakan pemberian ilmu pengetahuan dan pengalaman
kemanusian kepada generasi berikutnya, maka filsafat pendidikan adalah
penerapan pemikiran-pemikiran filsafat dan system (aliran-aliran) filsafat
dalam lapangan pengalaman kemanusian yang disebut pendidikan.
Menurut P. Phenix bahwa filsafat pendidikan mengandung pembahasan
tentang pengertian-pengertian diantara pandangan-pandangan yang
berlain-lainan mengenai proses pendidikan dalam rencana yang lengkap,
mengandung pola, penjelasan arti-arti yang dipengangi oleh ungkapan-
ungkapan pendidikan dan memberikan prinsip-prinsip dasar yang
dipengangi oleh kepahaman-kepahaman pendidikan serta menumbuhkan
hubungan pendidikan itu dengan yang lainnya dalam lapangan
kepentingan umat manusia. Menurut al-Syaibani (1979) bahwa filsafat
pendidikan merupakan sejumlah prinsip, kepercayan, konsep, andaian
yang telah ditetapkan dalam bentuk yang sempurna, berkaitan satu sama
lain, dan berjalan agar dapat menjadi pedoman untuk usaha pendidikan
dan proses pendidikan dengan segala seginya dan terhadap politik
pendidikan dalam suatu Negara. Sedangkan menurut hasan langgulung
(2000) bahwa filsafat pendidikan Islam ialah sejumlah prinsip,
kepercayaan, dan premis yang diambil dari ajaran Islam atau sesuai
dengan semangatnya dan mempunyai kepentingan terapan dan bimbingan
dalam bidang pendidikan.
Dari berbagai definisi yang saling melengkapi tersebut dapatlah
dijelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam ialah pemikiran-pemikiran
filosufis yang sistematis dan radikal, yang diambil dari (1) sistem filsafat (2)
jawaban filosufis terhadap masalah pendidikan, yang dapat dijadikan
pedoman bagi proses pendidikan yang didasarkan ajaran Islam. Maksud dari
system filsafat ialah pemikiran dari para filosuf di bidang pendidikan atau
aliran tertentu dalam bidang pendidikan, dijadikan pedoman untuk
memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya
memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan
Islam. Sebagai contoh, aliran konvergensi mengatakan bahwa seseorang
dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh factor hereditas
(bawaan dan bakat) dan lingkungan1.
Pada dasarnya Aktivitas belajar Menurut filsafat Pendidikan Islam, proses
mengajar ialah amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah.
Tanggung jawab kemanusiaan dan keagamaan. Karena dalam belajar
mengeajar, terdapat hak-hak Allah dan hak-hak mahkluk lainnya pada setiap

1
Maragustang Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, Kurnia Kalam Semesta, Maguworhajo, Yogyakarta, 2010. Hal 26-28
individu, khusunya bagi orang yang berilmu. Belajar tidak hanya untuk
kepentingan hidup dunia sekarang, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di
akhirat nanti.
Peluang memberikan informasi yang komprehensif, mendalam, dan sistematis
tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan dan
mendesain konsep pendidikan, seperti informasi tentang manusia dengan
berbagai potensi, bakat dan minat yang dimilikinya; tentang alam jagat raya
dengan berbagai macam ragam, sifat dan karakternya; tentang ilmu
pengetahuan tentang sumber (ontologi), metodelogi (epistemologi), dan
penggunaanya (aksiologi)nya. Tentang akhlak (etika) dengan berbagai macam
dan proses menanamkannya dalam diri manusia, tentang masyarakat dengan
berbagai stratifikasinya, tentang nilai-nilai budaya dan lain sebagainya.
Informasi tentang berbagai hal yang dikaji dalam filsafat tersebut selanjutnya
digunakan dalam merumuskan visi, misi,tujuan, kurikulum, proses belajar
mengajar, dan berbagai komponen pendidikan lainnya. Ancaman memberikan
informasi tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan Islam, tentang
bermutu atau tidaknya pendidikan tersebut, atau tercapainya tidaknya tujuan
pendidikan yang ditetapkan, serta berbagai kelemahan lainnya. Dengan
bantuan filsafat pendidikan akan dapat diketahui letak kelemahan pendidikan
tersebut, dan sekaligus memberikan altenatif-alternatif perbaikan dan
pengembangannya. Sedangkan filsafat pendidikan barat hanya mementingkan
Karenasekularisti- materialistik, maka motif dan objek belajar mengajar
semata-mata masalah keduniaan (profane), yang artinya proses pendidikan
hanya sebatas kebutuhan dunia.
2. Bertolak dari QS. Ar-Rum: 30 tentang fitrah, aliran filafat pendidikan Islam
mengenai konsep dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar
terbagi kepada empat. Apa pengertian “fitrah manusia” secara istilah? Dua
diantaranya ialah (1) positif-aktif, dan (2) dualis-aktif. Pertanyaannya
adalah: Jelaskan (1) masing-masing karakteristik aliran tersebut, (2)
lengkapi jawaban saudara dengan argumen masing-masing baik secara
normative maupun secara rasional-empiris dan (3) bagaimana dampaknya
dalam pendidikan Islam ?

Kata Fitrah dan segala bentuk kata jadiannya dalam Al-Qur’an tertera pada 19
ayat dalam 17 surah , dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari kata a;-fajr yang
bentuk pluralnya fitar yang dapat berarti cara penciptaan, sifat bawaan sejak lahir,
sifat watak manusia , agama dan sunnah. Fitrah secara istilah sistem penciptaan
atau aturan yang diberi potensi dasar dan kecenderungan murni yang diciptakan
kepada setiap mahluk sejak keberadaanya baik ia makluk manusia ataupun
makhluk lainnya2.

Positif-Aktif, maksud Positif, yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak
lahir adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidensial. Sedangkan maksud
aktif,adalah responnya terhadap dunia luar biasa menerima, atau menolak, atau
sintesis yakni perpaduan antara nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan nilai-nilai
yang berasal dari luar3.

Positif-aktif berpandangan bahwa bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir
adalah karakter, sedangkan seseorang menjadi tuna bersifat aksidental atau
sementara. Artinya seseorang lahir sudah membawa karakter. Karakter itu
bersifat dinamis dan aktif mempengaruhi lingkungan sekitar. Lingkungan atau
alam sekitar memiliki peranan penting dalam pendidikan Islam. Karena
lingkungan merupakan elemen yang signifikan dalam pembentukan personalitas
serta pencapaian keinginan-keinginan individu dalam rangka umum peradaban.

2
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global. Hal, 81.
3
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global. Hal, 132
Biasanya individu-individu dimasyarakat mengikuti kebiasaan yang ada
disekitarnya dengan sadar atau tidak sadar4

Karakterisstik aliran ini ialah (1) Dari demensi potensi manusia, bahwa
karakter seseorang dapat diubah dan dibentuk, (2) dari demensi asal usul
penciptaan, bahwa secara asal manusia diberi potensi dasar dan kecendurungan
murni lebih kuat dan kecenderungan kepada yang baik atau berkarakter dari
pada tuna karakter. (3) Dari demensi pengaruh lingkungan, bahwa manusia dapat
memberi respon ( menerima, menolak, atau sebagian diterima dan sebagian
ditolak) terhadap dunia luar (lingkungan) seperti pengaruh pendidikan sosio-
kultural, sosmed, tradisi-pembiasaan, dan lain-lain.( 4) dari dimensi tuhan, bahwa
tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan dirinya
apakah berkarakter atau tuna karakter sesuai sunnahtullah ( hukum-hukum
keteraturan). Dan (5) dari dimensi hasil, bahwa jika manusia berkarakter maka
hal itu sudah merupakan bagian integral dari dirinya yang dititipkan Tuhan dan
dilengkapi dengan polesan lingkungan, sedangkan jika manusia tuna karakter,
maka hal itu bukan bagian integral dari dirinya, bukan pula kehendak Tuhan
tetapi perbuatan dan kehendak manusia untuk menjadi tuna karakter itu adalah
kecelakaan yang sifatnya sementara5.

Dualis-Aktif, maksud “Dualis” ialah manusia sejak awal membawa sifat


ganda secara integral dan berlawan. Di satu sisi cenderung kepada kebaikan, dan
disisi lain cenderung kepada kejahatan. Sedangkan maksud “Aktif” adalah
responnya terhadap dunia luar bisa menerima, atau menolak, atau sistesis yakni

4
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentuntukan Karakter Menghadapi
Arus Global. Hal 81
5
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global Hal, 259.
perpaduan antara nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan nilai-nilai yang berasal
dari luar6.

Karakteristik aliran ini ialah (1) dari potensi manusia, bahwa karakter
seseorag dapat diubah dan dibentuk, (2) dari dimensi asal usul penciptaan, bahwa
secara asal manusia diberi potensi dasar dan kecenderungan murni yang sama
dan bertolak belakang yakni kecenderungan kepada yang jahat atau menjadi tuna
karakter, (3) dari dimensi pengaruh lingkungan, bahwa manusia dapat memberi
respon ( menerima , menolak, atau sebagian diterima dan sebagian ditolak)
terhadap dunia luar (lingkungan) seperti pengaruh pendidikan, sosio-kultural,
sosmed, tradisi-pembiasaan , dan lain-lain. (4) dari dimensi Tuhan, bahwa Tuhan
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan dirinya apakah
menjadi berkarakter atau menjadi tuna karakter sesuai dengan sunnatullah (
hokum-hukum keteraturan), dan (5) Dari dimensi hasil, bahwa manusia menjadi
berkarakter atau menjadi tuna karakter, maka hal itu sudah merupakan bagian
integral fari dirinya dan dilengkapi dengan polesan lingkungan7.

Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan


manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinyaa manusia tidak merasa
keberatan atas ketetpan Allah dan Rasul-Nya.
Abdurrahman An Nahlawi melihat adanya empat tujuan umum
pendidikan Islam, yaitu: 8
1. Pendidikan akal dan pengembangan fitrah, karena hanya dengan akal dan
fitrah yang terdidik manusia akan sanggup merenungkan kejadian alam
ini yang pada gilirannya akan melahirkan keimanan kepada Allah.

6
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global Hal, 134.
7
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global Hal, 262.
8
Juwatiyah, Dasar-dasar Pendidkan Anak dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal.
48-49.
2. Menumbuhkan potensi dan bakat asal yang terdapat pada peserta didik,
karena setiap peserta didik memiliki potensi yang berbeda-beda yang
semuanya memerlukan pengembangan.
3. Memberikan perhatian yang cukup pada kekuatan dan potensi peserta
didik/generasi muda untuk mendapatkan pengembangan yang optilmal
agar mereka menjadi insan yang tangguh dan potensial.
4. Menyeimbangkan potensi dan bakat yang dimiliki manusia/peserta didik
(An-Nahlawi, 1979:12)
Dengan Demikian aliran positif-aktif dan aliran dualis-aktif. Karakter
seseorang di pengaruh oleh lingkungan yang akan membentuknya dan
pendidikan dalam keluarga yang berperan juga untuk mendidik anak
tersebut. Dengan lingkungan yang baik maka tersebut akan didik yang
baik pula dalam berprilaku, bagiamna penanam nilai-nilai karakter yang
di tanamkan sejak dini agar kelak anak tidak susah lagi di bentuk.
3. Dalam penentuan nasib seseorang sangat tergantung kepada tiga hal yakni
faktor heriditas, faktor lingkungan, dan faktor kehendak bebas manusia atas
hidayah Allah. Jelaskan masing-masing faktor dan jelaskan pula hubungan
masing-masing faktor sehingga melahirkan sikap dan perbuatan!
A. Fakor hereditas,
Hereditas bagian dari integral dari nativisme. Hereditas merupakan
kecenderungan alami cabang- cabang untuk meniru sumber mulanya dalam
komposisi fisik dan psikologi. Ahli hereditas lainnya mengambarkan sebagai
penyalinan cabang-cabang dari sumbernya ( Baqir Sharif al-Qarashi,2003).
Manusia berasal dari sebuah sel tunggal kecil yang bernama gamate yang
paling mengagumkan, penuh misteri, dan kecil di jagad raya ini sebagai ke
Maha Kuasa Allah SWT. Penggabungan dua sel ini menghasilkan nucleus
(inti) seorang individu itu akan menjadi laki-laki atau perempuan, pendek atau
tinggi, cerdas atau bodoh, dan seterusnya.
Hereditas dikelompokkan menjadi lima bagaian yakni (1) Hereditas
konformitas, (2)Hereditas partiality (pernikahan), (3) coalition(penyatuan), (4)
penggabungan (5) regresi filial. Pertama hereditas konformitas ialah setiap
jenis atau golongan akan menghasilkan jenisnya sendiri bukan jenis yang
lain.Kedua heriditas “pernikahan” yakni anak yang lahir mewarisi salah satu
dari dua sumber aslinya secara keseluruhan atau sebagian besar sifat-sifat dari
salah satu sumbertadi. Yang ketiga, Hereditas “penyatuan” yakni sifat
anaknya tidak menaggung sifat-sifat fisik yang sama dengan orangtuanya
mereka, dan mungkin anak menyakin dari sifat-sifat dari kakeknya baik dari
pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keempat hereditas “ penggabungan” yakni
anak (cabang) menyalin salah satu sifat tertentu dari sumber aslinya serta
menyalin selain dari sumber tinggi badan dari sang ayah , namun wajah dan
mata dari sang ibu. Dan yang kelima hereditas “ regresi filial” sifat-sifat dari
orang tua akan menghasilkan keterunan dengan kecenderungan pada sifat
rata-rata pada umumnya.
Islam sangat memperhatikan factor al- waris ( hereditas) ini dalam
pembentukan kepribadian manusia dan mengarahkannya ke hal-hal yang
positif. Seperti doa Nabi Nuh AS mengindikasikan begitu kuatnya factor
membentukkepribadian manusia. Ini doanya Nabi as dalam QS.Nuh:26-28:
‫ُضلُّواْ ِّعبَادَكَ َو ََل يَ ِّلد ُواْ إِّ ََّل‬ ً ‫رض ِّمنَ ٱل َٰ َك ِّف ِّرينَ دَي‬
ِّ ‫ إِّنَّكَ إِّن تَذَرهُم ي‬٢٦ ‫َّارا‬ ِّ َ ‫ب ََل تَذَر َعلَى ٱأل‬
ِّ ‫َوقَا َل نُوح َّر‬
َّ َٰ ‫ت َو ََل ت َِّز ِّد ٱل‬
‫ظ ِّل ِّمينَ إِّ ََّل‬ ِّ َ‫ؤم َٰن‬
ِّ ‫ؤمنِّينَ َوٱل ُم‬
ِّ ‫ؤمنا َو ِّلل ُم‬
ِّ ‫ي ُم‬ ِّ ‫ َّر‬٢٧ ‫اجرا َكفَّار‬
َّ َ‫ب ٱغ ِّفر ِّلي َو ِّل َٰ َو ِّلد‬
َ ِّ‫ي َو ِّل َمن دَ َخ َل بَيت‬ ِّ َ‫ف‬
َ ‫تَ َب‬
٢٨ ‫ارا‬
Artinya: Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di
antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.Sesungguhnya jika Engkau
biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu,
dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi
sangat kafir. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim
itu selain kebinasaan".
Teks Alquran ini mengindikasikan bahwa keterunan orang kafir yang secara
genetic riwayat keluarga menerima sifat-sifat bruk dari ayah-ayah mereka,
juga akan mewarisi kenyakinan.
B. Faktor Lingkungan
Pada faktor Lingkungan, lingkungan ialah mencakup segala materil dan dan
stimuli didalam dan diluar dari individu, baik yang bersifat fisiologis,
psikologi, maupun sosio-kultural. Lingkungan atau alam sekitar punya
peranan penting dalam pembentukan jati diri manusia. Karena lingkungan
merupakan elemen yang signifikan dalam pembentukan personalitas serta
pencapaian keinginan-keinginan individu dalam kerangka umum peradaban.
Lingkungan terbagi menjadi tiga yakni (1) fisiologis, (2), psikologis, (3)
sosio-kultural. Lingkungan fisiologis meliputi segala kondisi dan materiil
jasmani di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhum sistem
saraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan makanan, kelenjar-kelenjar
indokrin sel-sel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani. Lingkungan psikologi
ialah mencakup segenap stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak
dalam kandungan, kelahiran, proses kehidupan, dan sampai matinya.
Sedangkan lingkungan sosio-kultural ialah mencakuo segenap stimulasi
interaksi, dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan
ataupun karya orang lain. Seperti pola hidup keluarga, pendidikan, pergaulan
kelompok, pola hidup masyarakat, latiham, belajar, pendidikan dan
pengajaran, bimbingan dan penyuluhan, budaya dan tradisi.
Al-qur’an dan hadits memperhatikan factor lingkungn ini dalam pembentukan
jati diri manusia. Pengaruh lingkungan ini dapat dijumpai dalam Al-Qur,an
seperti tanah subur akan tumbuh subur tanaman –tanaman dengan izin Allah.
Dengan demikian islam mengakui keberadaan pengaruh hereditas dan alam
lingkungan dalam bentuk kepribadian dan eksogen (alam lingkungan) tersebut
tidaklah berjalan secara otomatis artinya, sekalipun seseorang berada pada
lingkungan sekitar yang baik dan heriditasnya baik, belum tentu ia menjadi
baik pula.
Dengan demikian, pendidikan Islam bersandar pada tiga nilai dasar yang asasi
yang saling berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian manusia
yaitu, (1) hereditas berupa kapasitas akal, kalbu, nafs, fisik, bakat,
kecenderungan-kecenderunganlainnya, (2)factor lingkungan , ( lingkungan
fisiologis, psikologi, dan sosio-kultural), teristimewa lingkungan sosio-
kultural dan (3) factor kehendak dan kemauan bebas manusia merespon
dirinya dan lingkungannya. Tiga factor tersebut berada dalam kawalan
hidayah Allah.
C. Faktor Kehendak Manusia
Faktor kebebasan manusia Adapun istilah manusia selalu dikaitkan dengan
tema bahasa arab yang antara lain: “insan”, “basyar”, dan “an-naas”.
Penyebutan manusia juga seringkali dikaitkan dengan istilah-istilah yang
melekat padanya, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (homo socius),
manusia sebagai mahkluk yang bertuhan, manusia sebagai hewan yang
berbicara (hayawan al-naatiq), manusia sebagai makhluk yang memerlukan
pendidikan (homo educandum), dan manusia sebagai makhluk yang dapat
mendidik (homo educandus). Adapun peran manusia dalam perspektif
Pendidikan Islam dinyatakan dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah
atau pemimpin di muka bumi ini. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS.
Al-An’am: 165 dan QS. Al-Baqarah: 30)
Berkenaan dengan konsep manusia sebagai khalifah, manusia diciptakan
dengan membawa seperangkat potensi dalam dirinya. Hal ini dilandaskan
pada sebuah asumsi bahwa ketika manusia diberikan beban dan tanggung
jawab untuk “memimpin” apa yang telah diciptakan di bumi, maka sudah
tentu Allah memberikan kelebihan sebagai bekal untuk mengelola bumi.
Bekal itulah yang dinamakan potensi. Sesuai dengan firman Allah yang
artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas
kemampuannya”, yang ditarik dalam lingkup lebih luas lagi, maka tentunya
Allah juga tidak mungkin membebani tanggung jawab khalifah pada manusia
tanpa menganugrahkan pada manusia kemampuan untuk mengemban amanat
tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah pula dalam QS. Al-Baqarah: 31-
32. Dalam ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai salah satu potensi
yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu pengetahuan. Secara implisit
melalui ayat tersebut disampaikan mengenai kelebihan manusia dibanding
makhluk lain yang dalam ayat ini mengarah pada malaikat. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka tugas sebagai khalifah tidak dibebankan pada malaikat
yang meskipun notabennya diciptakan dari nur (cahaya), tapi dibebankan
pada manusia sebagai pengelola tunggal di bumi yang ditempatinya. Dengan
demikian, kedudukan manusia disamping sebagai khalifah yang memiliki
kekuasaan mengolah alam, sekaligus juga sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha
dan aktivitasnya harus dilaksanakan dalam rangka beribadah hanya kepada
Allah
D. Hubungan antara Heriditas, Lingkungan,dan Kebebasan manusia
Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa faktor internal yaitu heriditas
mempunyai peran dan pengaruh yang kuat dalam menentukan potensi
seseorang. Baik didalam Al-Qur’an maupun hadits juga telah menyebutkan
beberapa penjelasan tentang hal tersebut. Ilmu yang membahas tentang
heriditas menetapkan bahwa anak mewarisi sifat-sifat orang tuanya, baik
secara moral (al-khalqiyah), kinestetik (al-jismiyah), maupun intelektual (al-
aqliyah), sejak masa kelahirannya, namun ternyata harus diakui bahwa faktor
heriditas tidak selalu berjalan otomatis.
Keterbatasan dan ketidakleluasaan faktor heriditas dikarenakan manusia juga
diberikan kebebasan dalam bertindak mengikuti kematangan usianya beranjak
dewasa. Allah memberikan keleluasaan pada manusia berupa kehendak yang
bebas, dan atas pertolongan Allah SWT (bi ma’unatillah) kebebasan tersebut
bisa mengalahkan faktor heriditas ataupun lingkungan secara murni. dapat
kita simpulkan sederhana bahwa ternyata tidak selamanya faktor heriditas
menjadi faktor utama dalam pembentukan kepribadian maupun potensi. Allah
memberikan porsi lain dalam membentuk mahkluk ciptaan-Nya yaitu salah
satunya adanya faktor lain yang juga berperan besar, yaitu lingkungan.
Lingkungan dalam pandangan Islam merupakan elemen yang signifikan
dalam pembentukan personalitas serta pencapaian keinginan-keinginan
individu dalam kerangka umum peradaban, dan disadari atau tidak,
masyarakat cenderung mengikuti kebiasaan yang ada di sekitar. Hal ini
tentunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial.
Manusia bebas berkehendak dan menentukan pilihan untuk menjadi apa dan
hidup seperti apa. Dari segi perbuatan, aliran ini membagi gerak manusia ke
dalam dua bagian yaitu, gerak sadar (harakah ikhtiyariyyah) dan gerak tidak
sadar (harakah idhtiariyah). Pada hakikatnya, manusia diberi kebebasan atau
kemerdekaan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan
potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut, namun demikian dalam
pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-
batas tertentu yang menjadi hukum alam,] atau sunnatullah. Hukum tersebut
adalah hukum yang pasti menguasai alam, hukum yang menguasai segala hal
yang diciptakan di dunia ini, terutama manusia, namun hukum tersebut tidak
tunduk pada kemauan manusia. Hukum inilah yang dinamakan “Taqdir”,
yaitu berupa kepastian-kepastian umum sebagai batas akhir dari ikhtiar
(usaha) manusia.
4. Para filosuf muslim sangat ketat membuat kriteria seorang
„alim/guru/pendidik/dosen dalam pendidikan Islam. Paling tidak ada empat
argumen yang melatar belakanginya. Setelah anda jelaskan, mengapa
mereka berpendapat demikian? Beri analisis saudara?
Para ahli pendidik Muslim memberikan kriteria yang ketat mengenai syarat-
syarat pendidik atau guru. Hal itu tidak lain karena (1) besarnya andil pendidik
dalam membentuk dan mengembangkan potensi-potensi pribadi peserta didik
menjadi actual, (2), pendidik adalah suri tauladan kedua setelah orang tua sehingga
peserta didik banyak meneladani karakter gurunya dan karenanya pendidik
mempunyai pengaruh besar dalam membentuk karakter peserta didik, (3) agar
pendidik tidak merusak fitrah peserta didiknya terutama fitrah agamanya. Karena
manusia lahir pada awalnya baik dari sang pencipta tetapi rusak ditangan-tangan
manusia termasuk karena peran besar dari sang pendidik terhadap peserta
didiknya. (4) Pendidik diangap sebagai ulama, atau sebagai pewaris para nabi
sehingga harus dapat dijadikan sebagai teladan bagi peserta didiknya dan segala
sikap dan perilakunya mencerminkan sikap dan perilaku para nabi.(5) Islam sangat
menghormati ilmu dan ilmuan yang disertai dengan iman taqwa. Para malaikat
dan iblis disuruh sujud kepada Adam as tiada lain karena penghormatan terhadap
ilmu yang dimiliki Nabi Adam as. Sujud tersebut bukan sujud peribadatan tetapi
sujud penghormatan.
Kriteria pendidik dalam pandangan para ahli pendidik muslim sangat ketat
terutama yang berkaitan dengan kompetensi kepribadian atau personal. Nerikut ini
adalah gambaran sebagaimana para ahli pendidik muslim memberikan syarat-
syarat pendidik yang super ketat.
Menurut Imam al-Ghazali (Muhammad jawad Rida,1980 dan Fathiyah
Sulaiman,1964) seorang pendidik harus memiliki delapan sifat khusus atau tugas-
tugas yaitu
a. Guru memiliki rasa sayang, karena dengan sifat ini, maka akan timbul rasa
percaya diri dan rasa tenteram pada diri peserta didik terhadap gurunya.
b. Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya dalam mengajar,
menghadapi ujian, ucapan terima kasih atau balasan dari peserta didiknya,
karena mengajar itu wajib bagi setiap orang berilmu.
c. Guru bertindak sebagai petugas penyuluh yang jujur dan benar dihadapan
peserta didiknya.
d. Guru tidak menggunakan kekerasan dan mencemooh dalam membina
mental dan perilaku peserta didiknya,
e. Mengingat guru sebagai teladan, maka kebaikan hati dan toleran haruslah
dimilikinya, seperti meghargai terhadap ilmu lain yang bukan
spesialisasinya, tidak menjelekkan, dan merendahkan nilainya.
f. Guru menjaga prinsip penjagaan perbedaan-perbedaan antar individu, yang
menuntut diadakan perbedaan antara masing-masingpeserta didik
berdasarkan kemampuan akal atau kemampuan-kemampuan lainnya.
g. Guru mempelajari kejiwaan peserta didik, sehingga ia tahu bagaimana
seharusnya ia memperlakukannya sehingga ia terjauh dari rasa ragu-ragu
dan gelisah.
h. Guru harus mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatukan
antara ucapan dan tindakan.
Menurut al-Abrasyi (1975), syarat menjadi guru itu ialah zuhud, suci ihlas
dalam bekerja, lemah lembut, tenang, sopan, dan suka pemaaf, menjadi bapak
sebelum dia menjadi guru, mengerti tabiat, kecenderungan, kebiasaan, perasaan
dan pikiran peserta didiknya agar tidak salah arah dalam peserta didikan, bersih
fisik dan jiwa dari dosa besar dan kesalahan, jauh dari sifatnya, tetap menekuni
dan membahas mata pelajaran tidak menjadi kering,
Menurut Ibnu Taimiyah yang dikutip al-Abrasyi (1975) bahwa etika pendidik ialah
a. Ulama sebagai pengganti Nabi SAW dan dari celah-celah mereka risalah
berjalan terus.
b. Ia dapat menjadi panutan bagi peserta didiknya baik dalam hal kejujuran,
akhlak, dan kepemilikan nilai-nilai Islam
c. Ia wajib menyebarkan ilmunya tanpa menyia-nyiakan dan menganggap
remeh.
d. Ia selalu memperbaruhi ilmunya dengan cara memelihara,menambah, dan
tidak melupakannya, seperti halnya para ahli memelihara kitap dan sunnah
baik rupa maupun maknanya.
Menurut Imam Nawawi, ada beberapa hal yang harus melekat pada diri
seseorang pendidik atau ilmuan (etika guru), dalam kepemilikan dan
perkembangan keilmuannya.
a. Tujuan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah, bukan untuk
memperoleh keduniaan seperti memperoleh harta, pangkat, popularitas,
kemasyhuran dan lain-lain.
b. Harus berakhlak terpuji sebagaimana yang disyariatkan oleh agama dan
menganjurkan peserta didik berskhlak terpuji,
c. Ia berhati-hati terhadap sifat dengki, riya , ujub, menghina sekalipun
peserta didik nya bawah derajatnya
d. Jangan memandang hina terhadap ilmu dan tidak boleh mendatangi temapt-
tempat peserta didiknya sekalipun peserta didiknya orang penting
kedudukannya atau hebat kemampuannya.
e. Apabila ia melakukan sesuatu yang benar dan memang boleh dilakukian
dari zat perkara itu, akan tetapi nampaknya haram atau mahruh atau
merusak muru’ah dan seumpamanya, maka sebaiknyaberitahu kepada
sahabat-sahabatnya.
Analisi Penulis:
5. Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Hasyim Asy‟ari (Religius-
Konservatif), Harun Nasution (religious-rasional), dan Fazlur Rahman
(Pragmatis-instrumental)? Apa pula perbedaan ketiga aliran tersebut (buat
dalam bentuk matrik)?
A. Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari
Signifikansi pendidikan menurut Hasyim Asy’ari adalah upaya memanusiakan
manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (tajut) kepada Allah SWT,
dengan benar-benar mengamalkan segala perintahNYA mampu menegakkan
keadilan di muka bumi, beramal shaleh dan maslahat, pantas menyandang
predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajadnya dari
segala jenis makhluk Allah SWT yang lainnya. KH Hasyim Asy’ari
menyebutkan tujuan pendidikan adalah:
a. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

Menurut KH Hasyim Asy’ari, tujuan utama ilmu pengetahuan adalah


mengamalkannya, demikian ini agar dapat menghasilkan buah dan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.9

Di dalam salah satu karyanya, Adabul al Alim wa al Muta’allim, K.H. Hasyim


Asy’ari menyebutkan bahwasanya pendidikan itu penting sebagai sarana
mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya
penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjauhi
segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia dengan menegakkan keadilan,
sehingga layak disebut makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain yang diciptakan oleh Tuhan. Di dalam buku “99 Kiai
Karismatik Indonesia” disebutkan bahwa kitab “Adab al Alim wa al
Muta’alim” merupakan kitab tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai
disusun pada hari Ahad tanggal 22 Jumada al-Tsaniyah 1343 H. K.H Hasyim
Asy’ari menulis kitab ini di dasari oleh kesadaran akan perlunya mencari
literatur yang membahas etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan.
Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur, sehingga orang
yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula. Dengan
demilkian literatur yang menyajikan etika-etika belajar merupakan keniscayaan.
Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap manusia
ada dua, yaitu: 1. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada

9
Suryadi, Filsafat Pendidikan Islam,(Yogyakarta:Belukar, 2014), hal.19.
Allah SWT. 2. Insan purna yang bertujuan mendapat kebahagian dunia dan
akhirat. 10

Beliau juga sangat menekankan menggunakan musyawarah bagi para


santrinya untuk dijadikan tradisi dalam membahas ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh ustadz-ustadzahnya yang kemudian hari menjadi Lajnah Bahtsul Masa’il
sebagai bentuk tradisi intelektual NU atau pesantren. Namun selain itu, juga
digunakan untuk masalah lain, seperti masalah bagaimana menghadapi
penjajahan Belanda dan masalah keseharian, entah itu ekonomi, maupun
mencari mata pencaharian. Mukani, “Kontribusi Hasyim Asy’ari pada
pendidikan Islam”.11

B. Pemikiran Harun Nasution

dikenal umum sebagai seorang cendikiawan muslim yang sangat


rasioanl. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum muslim
Indonesia berfikir secara rasional. Ia juga menganjurkan sepatutnya kita dapat
meniru syi’ah yang sudah berfikir rasional12.Harun menyatakan bahwa keadaan
statis yang melanda di tubuh umat muslim saat ini ialah karena merasa terikat
dengan ajaran-ajaran bukan dasar yang di hasilkan oleh zaman silam.

Menurut Harun Nasution, istilah pembaharuan tidak dapat lepas dengan


kata modernisasi. Dalam Bahasa Indonesia, kata modern, modernisasi, dan
moderisme seperti yang terdapat dalam istilah “aliranaliran modern dalam
islam” dan “islam modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat13. berarti
pikiran, aliran, gerakan, serta usaha untuk merubah paham-paham adat istiadat,

10
Muhammad Rifa’I, K.H Hayim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947, (Yogyakarta:Ar Ruzz
Media, 2010),. hal 75-76.
11
Ibid,. 79.
12
Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution (Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, Jakarta: 1989) hal. 59
13
Herlina Harahap, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun Nasution, (Pontianak,
STAIN Pontianak Press : 2016), hal. 23.
institusi-institusi lama untukdisesuaikan dengan suasana yang baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.
Modernism keagamaan di Barat bertujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran
yang terdapat dalam agama Katholik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan
dan falsafat modern sehingga aliran ini menimbulkan sekularisme pada
masyarakat Barat.14 Karena itulah dosen-dosen IAIN tidak dikirim ke Mesir
melainkan ke dunia Barat untuk mempelajari Islam dari segi metodologinya
serta cara berpikir rasional, sehingga mereka akan dapat menjadi ulama yang
berpikir rasional.

Dalam pembaharuan islam yang di gagas oleh Harun Nasution adalah


upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.15 Pada hakikatnya pembaharuan pendidikan islam
merupakan usaha reinterpretasi berkelanjutan dan lebih khusus ditekankan
untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama islam sesuai dengan
semangat zaman. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa semangat
pembaharuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk terwujudnya insan
kamil yang berpikiran rasional yang berlandaskan alQur’an dan as-Sunnah.

Harun Nasution juga melakukan gebrakan dalam pengembangan


akademik di lingkungan perguruan tinggi. Dalam tradisi akademik di
lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia, ada tiga perubahan dan
pembahruan system yang diupayakan, antara lain :

15
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution dan Pembaharuan Pendidikan Islam (Jurnal
Tadris, Volume 10 No.1 : 2015) hal. 28.
Merubah system yang selama ini dinilai feudal menjadi sesuatu yang
lebih baik.

a. Merubah budaya lisan menjadi budaya tulisan. Dalam hal ini Harun
Nasution dengan tekun melatih mahasiswanya untuk menulis pemikiran
secara sistemastis. Budaya ini diperkenalkan untuk mengatasi kelamahan
dalam budaya lisan.
b. Harun Nasution memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh
dan universal.16
1. Ruang lingkup pendidikan menurut Harun Nasution

Hubungan agama dengan moral sangat erat sekali dan merupakan hal
yang esensial. Demikian juga halnya dengan islam. Di dalam al-Qur’an banyak
terdapat ajaran-ajaran mengenai akhlak. Dalam pendidikan agama terutama di
TK, SD, SMP, dan SMA, pendidikan moral inilah rasanya perlu ditingkatkan.
Pelajaran-pelajaran mengenai keagmaan lain, terutama ibadah sebaiknya
dihubungkan dengan pendidikan moral ini. Di perguruan tinggi, pendidikan
moral masih dapat dilanjutkan tetapi disini yang perlu ditingkatkan adalah
pendidikan spiritual dan pelajaran rasional tentang ajaran agama.

a) Kurikulum

Penyusunan kurikulum atau silabus pendidikan agama di sekolah-sekolah


umum sebaiknya didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :

Untuk TK dan tahun-tahun pertama SD mencakup : (1) mengenal Tuhan


sebagai pemberi dan sumber dari segala yang dikasihi dan disayangi anak didik
(2) berterima kasih atas pemberian pemberian itu (3) pendidikan : jangan
menyakiti orang lain, binatang, dan tumbuhtumbuhan (4) pendidikan berbuat
baik dan suka menolong orang lain, binatang, dan tumbuh-tumbuhan dan (5)

16
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution dan Pembaharuan Pendidikan Islam.., hal 31
pendidikan sopan-santun dalam pergaulan. Untuk SD dan lanjutannya, meliputi
: (1) kenal dan cinta kepada Tuhan sebagai yang Maha Pengasih, Penyayang,
dan Pengampun (2) Ibadah sebagai tanda terima kasih kepada tuhan atas
nikmat-nikmatNya (3) memperdalam rasa sosial dan kesediaan menolong orang
lain, binatang, dan lain-lain (4) ajaran-ajaran dan didikan tentang akhlak Islam
dan (5) pengetahuan tentang agama Islam seperti tauhid, fiqih, dan lain-lain,
sekadar perlu dan sesuai dengan perkembangan mental anak didik.17

Untuk SMP dan SMA mencakup: (1) memperdalam hal-hal tetsebut


dalam sub SD di atas; (2) ibadah di sini diajarkan sebagai latihan spiritual
sebagai pendekatan terhadap Tuhan. Tujuannya ialah memperoleh kesucian dan
ketentraman jiwa; (3) pengetahuan tentang ajaran Agama diperdalam dan
diperluas (akhlak, tauhid, fiqih, tafsir, hadits, dan lain-lain yang diperlukan); (4)
menanamkan rasa toleransi terhadap mazhab-mazhab yang ada di dalam agama
sendiri dan toleransi terhadap agama Iain; dan (5) dedikasi terhadap
masyarakat.18

Untuk tingkat PT mencakup: (1) memperdalam rasa keagamaan dengan


pendekatan spiritual dan intelektual; (2) ibadah sebagai didikan mahasiswa
untuk merendahkan hati, di samping berpengetahuan tinggi, tidak merasa
takabur, tetapi sadar, bahwa di atasnya masih terdapat Zat yang lebih
mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun; (3) memperluas pengctahuan
tentang agama Islam secara global, dalam aspek sejarah, kebudayaan, hukum,
teologi, filsafat, mistik, dan IainIainnya. Di sini akan dijumpai ketcrangan
rasional mengenai ajaranajaran agama, yang dapat mempertebal keyakinan
terhadap agamanya; (4) memperdalam rasa toleransi bermazhab dan tolcransi
beragama; (5) memperdalam rasa dedikasi terhadap masyarakat.

17
Ibid., hal 111
18
b) Metode
Karena tujuan utama dari pendidikan agama adalah pendidikan moral, maka
metode Yang sebaiknya dipakai antara Iain ialah: (a) pemberian contoh dan
teladan yang baik dari pcndidik agama kepada anak didik; (b) pcmbcrian
nasihat kcpada siswa atau mahasiswa; (c) tuntunan dalam mcnyelcsaikan
persoalan moral atau spiritual, baik yang bersifat individual maupun yang
bcrsifat kolektif; (4) kerja sama dengan lingkungan rumah dan lingkungan
pergaulan anak didik; (5) kerja sama dcngan pcndidik pengetahuan umum
lainnya; dan (6) metode tanya jawab dan diskusi dalam hal pendekatan
intelektual tentang ajaran ajaran agarna.19
c) Kualitas pendidik agama

Menurut Harun Nasution ada beberapa syarat yang perlu bagi pendidik
agama, antara lain

1) sanggup memberi contoh dan teladan yang baik bagi anak didik
2) menguasai ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan pendidikan anak,
sepcrti pedagogi, psikologi anak, dan sebagainya
3) mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama selain pengetahuan agama
yang menjadi jurusannya
4) mempunyai pengetahuan umum yang seimbang pengetahuan yang dipelajari
siswa dan mahasiswa.20
C. Pemikiran Fazlur Rahman

berbicara tentang berbagai aspek fundamental tentang pendidikan, antara


lain tentang dasar pemikiran pendidikan Islam, corak dan bentuk pendidikan
Islam.

a. Dasar pemikiran pendidikan

19
Ibid., hal 112
20
Ibid., hal. 113
Pemikiran Fazlur Rahman baik dalam bidang pendidikan maupun lainnya
dibangun atas dasar pemahamannya yang mendalam tentang khazanah
intelektual Islam di zaman klasik untuk ditemukan spiritnya guna
memecahkan berbagai masalah kehidupan modern. Hal ini misalnya dapat
dilihat dari analisis yang diberikannya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam yang dilaksankan mulai zaman Rasulullah
Saw. Sampai dengan zaman Abbasiyah, misalnya mengatakan, bahwa
pendidikan Islam di zaman klasik itu menerapkan metode membaca dan
menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal Al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun ada juga kelompok kecil yang berusaha mengebangkan kemampuan
intelektualnya. Kemudian pada masa Abbasiyah, Khalifah-khalifah tertentu,
seperti harun al-Rasyid dan al-Ma’un menekankan adu pendapat di antara para
pelajar di istana mengenai persoalan logika, hokum, gramatika dan
sebagainya.
Melalui kajiannya terhadap berbagai literature klasik Fazlur Rahman
memperkenalkan gagasan dan pemikirannya tentang pembaruan pendidikan.
Menurutnya, bahwa pembaruan pendidikan Islam dapat dilakukan dengan
menerima pendidikan sekuler modern,kemudian berusaha memasukinya
dengan konsep-konsep Islam. Upaya pembaruan pendidikan Islam ini
menurutnya dapat ditempuh dengan cara. Pertama, membangkitkan ideologi
umat Islam tentang pentingnya belajar mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kedua, berusaha mengikis dualism sistem pendidikan umat Islam. Pada satu
sisi lain, ada pendidikan modern (sekuler). Karena itu, perlu ada upaya
pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan
pendapat yang orisinil. Bahkan, ia katakana, bahwa umat Islam adalah
masyarakat tanpa bahasa, keempat, pembaruan dibidang metode pendidikan
Islam, yaitu beralih dari metode mengulang-mengulang (membeo) dan
menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis.
b. Pengertian pendidikan Islam
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan dapat mencangkup dua pengertian besar:
pertama, pendidikan dalam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang
dilaksanakan di dunia Islam, seperti yang diselenggarakan di Pakistan, Mesir,
Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan sebagainya, mulai dari pendidikan
dasar hingga perguruan tinggi. Dalam konteks Indonesia, meliputi pendidkan
di Pesantren, madrasah (mulai dari tingkat Ibtidayah sampai dengan aliyah),
dan di perguruan tinggi Islam, bahkan dapat juga mencangkup pendidikan
agama Islam di sekolah mulai dari tingkat dasar hingga lanjut atas, serta
pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan Islam
dalam arti inteletualisme Islam, seperti yang diselenggarakan di perguruan
tinggi. Selain itu, pendidikan Islam menurut Rahman, dapat juga dipahami
sebagai proses untuk menghasilkan manusia integratif, yang padanya
terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil,
jujur, dan sebagainya. Manusia lulusan atau ilmuan yang dihasilkan
pendidikan yang demikian itu diharapkan dapat memberikan alternatif solusi
atas problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia dimuka bumi.
c. Tujuan pendidikan
Menurut Fazlur Racman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
mengembangkan manusia sedemikan rupa, sehingga semua pengetahuan yang
diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang
memungkinkan manusia dapat memanfaatkan sumber-sumber alam untuk
kebaikan umat manusia dan untuk menciptkan keadilan, kemauan dan
keteraturan dunia.
Selain itu, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman juga menekankan aspek
moral. Ia mengatakan, bahwa tanggung jawab pendidikan yang pertama
adalah menanamkan pada pikiran-pikiran siswa mereka dengan nilai-nilai
moral. Pendidikan Islam didasarkan pada ideology Islam. Karena itu, pada
hakikatnya, pendidikan Islam tidak dapat meninggalkan keterlibatannya pada
persepsi benar dan salah. Dalam hubungan ini, Fazlur Rahman menunjukkan,
bahwa di dalam al-Qur’an sering dijumpai ayat-ayat membicarakan pasangan
antara al-dun-nya dan al-akhirah. Al-dun-nya bermakna bernilai lebih rendah,
sisi kehidupan materiil, sedikit hasil serta tidak memuskan. Sementara al-
akhirah menunjukkan sisi sebaliknya, yakni bernilai lebih tinggi, lebih
baik,dan menjadi tujuan, bukan yang lebih rendah. Selain itu, Al-Qur’an juga
menyuruh manusia mempelajari kejadian yang terjadi pada diri sendiri, alam
semesta dan sejarah umat manusia dimuka bumi dengan cermat dan
mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan
pengetahuannya dengan tepat, serta agar tidak mengikuti orang yang berbuat
kerusakan.
d. Strategi pendidikan Islam
Strategi pendidikan Islam yang ada sekarang menurut Rahman cenderung
bersifat defensive, yaitu hanya untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslim
dari pencemarandan kesusahan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-
gagasan barat yang dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagagsan-
gagasan yang mengancam akan kerusakan standar-standar moralitas
tradisional Islam.
e. Problem pendidikan Islam
Menurut Fazlur Rahman, bahwa pendidikan Islam menghadapi berbagai
problem, yaitu problem ideologis, dualism system system pendidikan, bahasa
dan problem metode pembelajaran.
Berkaitan dengan problem yang pertama (ideologis), Rahman menjelaskan
bahwa orang-orang Islam mempunyai problem ideologis, mereka tidak dapat
mengaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi
ideologinya. Akibatnya, masyarakat muslim tidak terdorong untuk belajar.
Tampaknya mereka tidak mempunyai tujuan hidup. Secara umum, terdapat
kegagalan dalam menghubungkan prestasi pendidikan umat Islam dengan
amanah ideologi mereka. Masyarakat tidak sadar, bahwa mereka berada di
bawah perintah moral kewajiban Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Selanjutnya berkaitan dengan problem yang kedua (dualism system
pendidikan), Rahman menjelaskan sebagai berikut: yang terkait erat dengan
yang pertama adalah bencana besar umat Islam dengan adanya dualism,
dikotomi dalam system pendidikan.pada satu sisi disebut dengan system
pendidikan “Ulama” yang dilaksanakan di Madrasyah, begitu tertinggal
sehingga sekarang hasilnya betul-betul mengecewakan. Produk dari system
ini, menurut Rahman tidak dapat di dunia modern dan tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman. Kurikulum dan silabusnya harus diubah secara
radikaldan mendasar agar dapat bersaing dalam kehidupan modern. Prinsip-
prinsip dasar ilmu sosial, worldview sain modern dan pengantar sejarah dunia,
bersama-sama dengan ilmu-imu humaniora modern, harus dimasukkan pada
silabus untuk menambah disiplin-disiplin spesialis agama. Namun, penting
juga dipahami tentang kenyataan bahwa system pendidikan modern
masyarakat Islam yang dilaksanakan di universitas-universitas telah
berkembang, namun sama sekali tanpa menyentuh ideology dan nilai-nilai
sosial serta budaya Islam. Mahasiswa tidak terinspirasi sama sekali dengan
cita-cita yang mulia. Hasil tragisnya adalah bahwa standar pendidikan Islam
memburuk, dan di bawah pengaruh secara tiba-tiba dari perkembangan
ekonomi, bahkan dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung jawab tidak
muncul. Dengan demikian, kedua system pendidikan (Islam-tradisional dan
Barat-sekuler) ini tersakiti oleh bentuk bentuk frakmentasi yang paling jelek.
Pada bagian berikutnya, Fazlur Rahman menjelaskan akibat dari kondisi
dualism tersebut di atas, yakni pencarian pengetahuan umat Islam secara
umum sia-sia, pasif, dan tidak kreatif. System madrasyah yang tidak asli dan
tidak kreatif itu menjadi paten. Namun sayang, system pendidikan modern di
duni Islam pun begitu juga. Dewasa ini umat Islam tengah berada pada abad
pendidikan modern, namun cara belajar mereka belum mampu menambah
nilai orisinalitas dan investasi pengetahuan kemanusian, terutama pada ilmu
humaniora dan ilmu-ilmu sosial, dan kualitas sarjana muslim benar-benar
rendah. Jika umat Islam tidak menghasilkan pemikir yang berkualitas bagus
dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial, mereka tidak dapat berharap mampu
memberikan kontribusi yang berharga sekalipun pada ilmu-ilmu murni.
Karena itu, ilmu-ilmu murni tidak ditanamkan pada ruang kosong dan terpisah
dari ilmu ilmu yang lain.21
Dengan demikian Pemikiran KH Hasyim Hasy’ari (Religius-
Konservatif) Aliran pendidikan KH Hasyim Asy’ri adalah yang berorentasi
kepada pendidikan non formal yang di selenggarakan di bangku madrasyah
yang bentuk metode yang di gunakan adalah sorogan dan bandongan. Di sini
sangat terfokus bagaimana santri-santri lebih sering mendengarkan apa yang
di sampaikan oleh sang guru. Berbeda dengan pemahaman Harun Nasution
(Religius- Rasional) upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan
islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Pada hakikatnya pembaharuan
pendidikan islam merupakan usaha reinterpretasi berkelanjutan dan lebih
khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik
agar lebih mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama
islam sesuai dengan semangat zaman. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa semangat pembaharuan pendidikan Islam adalah untuk
membentuk terwujudnya insan kamil yang berpikiran rasional yang
berlandaskan alQur’an dan as-Sunnah. Menurut Fazlur Rahman Pragmatis-
Intrumental yaitu upaya memperkenalkan gagasan dan pemikirannya tentang
pembaruan pendidikan. Menurutnya, bahwa pembaruan pendidikan Islam
dapat dilakukan dengan menerima pendidikan sekuler modern, kemudian
berusaha memasukinya dengan konsep-konsep Islam. Upaya pembaruan
pendidikan Islam ini menurutnya dapat ditempuh dengan cara. Pertama,
membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar

21
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, penerbit PT Raja Grafindo
Indonesia, Depok, Jakarta, 2013. Hal 318-324
mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, berusaha mengikis dualism
sistem pendidikan umat Islam. Pada satu sisi lain, ada pendidikan modern
(sekuler). Karena itu, perlu ada upaya pentingnya bahasa dalam pendidikan
dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat yang orisinil. Bahkan, ia
katakana, bahwa umat Islam adalah masyarakat tanpa bahasa, keempat,
pembaruan dibidang metode pendidikan Islam, yaitu beralih dari metode
mengulang-mengulang (membeo) dan menghafal pelajaran ke metode
memahami dan menganalisis

DAFTAR PUSTAKA

Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan


Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2010.

Juwatiyah, Dasar-dasar Pendidkan Anak dalam Al-Qur’an,


Yogyakarta: Teras, 2010.

Suryadi, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Belukar, 2014

Muhammad Rifa’I, K.H Hayim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947,


Yogyakarta:Ar Ruzz Media, 2010.

Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun


Harun Nasution Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta: 1989.

Herlina Harahap, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun


Nasution, Pontianak, STAIN Pontianak Press : 2016.

Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution dan Pembaharuan


Pendidikan Islam Jurnal Tadris, Volume 10 No.1 : 2015.

Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution dan Pembaharuan


Pendidikan Islam.

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, penerbit PT


Raja Grafindo Indonesia, Depok, Jakarta, 2013

Anda mungkin juga menyukai