Anda di halaman 1dari 7

EFEKTIVITAS DALAM SISTEM ORGANISASI SEKOLAH

A. SEKOLAH SEBAGAI SISTEM ORGANISASI DINAMIS

Pendekatan dalam perspektif manajemen ilmiah (scientific management) digunakan untuk lebih dapat
memahami pengertian tentang sekolah sebagai suatu organsisasi dan sistem. Pandangan sekolah sebagai
organisasi dan sistem bertitik tolak dari pemahaman Teori Sistem. Teori Sistem memberikan focus perhatian
pada adanya hubungan antar subsistem dalam satu sistem, dan antar sistem dengan sistem lainnya, yang
dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan tersebut dapat diatur dalam dalam sistem
hirarki melalui struktur organisasi. Struktur organisasi adalah sebuah stuktur yang mendefisinikan dan
mengatur hubungan sistem hirarki (hierarchical system), menyangkut masalah otoritas
(authority), tanggung jawab (responsibility)dan otonomi (autonomy) level individual atau
level bagian/unit pada organisasi.

Berdasarkan Teori Sistem, sekolah merupakan organisasi yang terdiri atas bagian-bagian atau unit-unit
kerja (subsistem) yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Beberapa unit kerja dasar yang terdapat
di dalam sistem sekolah, antara lain : (1) bagian pengajaran (teaching), (2) bagian pendukung (supporting) dan
(3) bagian administrasi (administration). Dampak hubungan antar subsistem di sekolah adalah terjadinya
proses interkasi antar bagian dan unit kerja. Interkasi antar bagian dan unit kerja di sekolah
selanjutnya menciptakan suatu sinergitas kerja sama, aliran komunikasi, dan umpan balik.

Menurut Blau dan Scott (1962) sekolah dapat menciptakan peluang bagi semua komponen atau elemen
di sekolah untuk saling bekerja sama, terutama dalam hal-hal seperti : (1) penetapan tujuan sekolah, (2)
penetapan strategi pencapaian tujuan sekolah, (3) penetapan fungsi dan peran masing-masing setiap komponen
di sekolah, (4) penetapan dalam membentuk stuktur organisasi sekolah, dan (5) penetapan dalam memilih
pimpinan sekolah.

Masih dalam pandangan Teori Sistem, sekolah juga menjadi bagian (subsistem) dari sistem yang lebih
makro (supra sistem) yang dapat saling memberikan pengaruh satu sama lain. Supra sistem sekolah adalah
pengelola pendidikan di setiap wilayah sekolah, dengan beberapa subsistem di dalamnya, antara lain : (1) bagian
administrasi personalia (yang mengelola personalia pendidikan : guru, kepala sekolah, pengawas), (2) bagian
khusus/spesialist pendidikan yang mengelola kurikulum, test atau ujian, serta bagian pendukung yang
menangani hal-hal yang bersifat umum (sarana/prasarana, rumah tangga kantor, dsbnya).

Sekolah adalah sebuah organisasi dengan karakter organisasi umumnya yang memilikimemiliki
keunikan tersendiri yang dapat dibedakan dari organisasi lainnya. Sekolah berbeda dengan perusahaan bisnis,
industri pabrik, partai-partai politik, assosiasi profesi, organisasi kemasyarakatan. Sebagai sebuah organisasi,
karakter yang tampak dari sekolah adalah di dalamnya terdapat kumpulan dari orang-orang dengan berbagai
macam latar belakang yang berbeda (jenis kelamin, usia, status sosial, ekonomi, pekerjaan, agama, etnis,
dsbnya).
Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki tujuan yang akan dicapai bersama. Dengan adanya
tujuan yang akan dicapai, mengindikasikan bahwa sekolah merupakan organisasi yang bersifat dinamis,
artinya sekolah senantiasa akan bergerak dan berkembang, beradaptasi dengan proses perubahan yang terjadi.
Sekolah sebagai organisasi yang mengalami transformasi, sehingga mengikuti fase kelahiran, perkembangan,
dan perubahan. Perubahan sekolah akan menyangkut ukuran (size), skala (scale) dan pengendalian (control)
Dengan dinamika yang dimilikinya, maka sekolah cepat dapat beradabtasi dengan perubahan yang terjadi
pada lingkungan masyarakat.

Dinamika sekolah sebagai organisasi dinamis yang mengalami perubahan, diilustrasikan oleh Dreeben
(1968). Pada saat itu, sekolah harus melakukan perubahan orientasi terhadap fungsi sekolah yang tidak
berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan sekolah menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya.
Dreeben mengilustrasikan bahwa sekolah seharusnya
berfungsi untuk menghantarkan anak didik menuju masyarakat yang lebih maju melalui
penanaman sikap (attitude), melalui prinsip-prinsip : (1) independensi, (2) mengejar pencapaian satu standar,
(3) universal, sesuai dengan kondisi/karakter sosial masyarakat, (4) spesialisasi, sesuai dengan kebutuhan
perkembangan industri.

Namun, suatu saat sekolah berlebihan dalam menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut, yang tidak
mengakar kepada budaya masyarakat yang ada. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya keterasingan antara
sekolah dengan struktur masyarakat yang ada. Pelaksanaan fungsi sekolah dengan penterjemahan prinsip-prinsip
secara berlebihan malah mengakibatkan terjadinya penumpukan pengagguran, sekolah
membangun gap kaya-miskin, sekolah menciptakan kesenjangan gender, sekolah mempertajam rasialisme,
dll.

Karena itu, munculah sikap dan pikiran kritis dari para pendidik, ilmuwan dan masyarakat luas, sebagai
respon atas berjalannya fungsi sekolah yang berlebihan.
Solusi yang ditawarkan melalui pendekatan manajemen, antara lain : (1) menerapkan proses manajemen dalam
penyelenggaraan sekolah, (2) pengembangan struktur organisasi sekolah, (3) pengembangan sistem prosedur
sekolah, (4) pengelolaan sumber daya sekolah, (5) melakukan proses pemberdayaan semua komponen sekolah.

Dalam perspektif organisasi yang dinamis, penetapan fungsi sekolah dilakukan dengan mengikuti
dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat, agar sekolah berjalan sesuai dengan tujuan yang akan
dicapainya Karena itu fungsi sekolah ditetapkan secara khas, agar dapat memberikan pendidikan kepada anak
didik, sehingga dapat memiliki kemampuan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) serta pengetahuan-
pengetahuan lain yang dibutuhkan seperti sejarah, kebudayaan, dll, yang bermanfaat bagi masa depan anak didik.
Dengan penetapan fungsi sekolah seperti ini, maka sekolah secara organisasi dapat dibedakan dari organisasi-
organisasi lainnya.

John Dewey, seperti dikutip oleh Scotter dkk (1979) mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat
antara sekolah dengan pembudayaan masyarakat. Dikatakan bahwa pendidikan adalah embrio masyarakat
berbudaya tinggi. Dalam praktiknya, sekolah menciptakan lingkungan pembelajaran bagi anak didik, dengan
perpustakaan, lapangan olah raga, bidang pekerjaan, seni dan musik, laboratorium, sains, taman dan tempat
bermain. Di luar kelas, sekolah menjadi pusat dinamika perkembangan masyarakat.

Karena itu, sekolah tidak dapat dibiarkan tumbuh begitu saja, namun sekolah membutuhkan suatu
sistem pengelolaan yang baik agar menjadi sekolah bermutu, mengingat sekolah telah menjadi kebutuhan
universal, dan senantiasa menghadapi berbagai perubahan dalam dinamika lingkungan eksternal. Dengan
demikian fungsi-fungsi sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal sebagaimana dikatakan oleh
Ben M. Harris (1975) dalam bukuSupervisory Behavior in Education dapat diwujudkan, yaitu : (1) mengajar,
(2) pelayanan khusus kepada anak didik, (3) manajemen, (4) supervisi (pengawasan), dan (5)
administrasi. Semua fungsi sekolah pada akhirnya diharapkan akan bermuara pada pencapaian tujuan yaitu
hasil pembelajaran anak didik yang berkualitas. Penekanan tujuan akhir dengan orientasi kepada anak didik
itulah, yang membedakan sekolah dari lembaga atau institusi lainnya.

Dinamika perubahan sekolah sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan sistem pendidikan yang
semuanya terpengaruh oleh dinamika perkembangan sosial masyarakat. Karenanya dinamika sosial masyarakat
dapat ditempatkan sebagai demographic forces dari dinamika sistem pendidikan maupun dinamika sekolah.
Ilustrasi perubahan sistem pendidikan karena terpengaruh oleh transformasi masyarakat pertanian menjadi
masyarakat industri/pabrik di USA pada akhir abad 19, merupakan salah satu contoh yang dapat diberikan. Arus
imigran dari Eropa yang melanda USA, telah membawa perubahan pada tatanan masyarakat menuju masyarakat
berbasis kegiatan industri. Akibatnya harus dilakukan perubahan pada sistem pendidikan termasuk gagasan
tentang sekolah-sekolah di USA, yang memungkinkan untuk mempersiapan SDM yang berorientasi pada factory
life ataupun corporate world (Callahan, 1962).

Dinamika sekolah juga dapat dipengaruhi oleh democratic forces. Demokratisasi membawa perubahan
dengan semakin terbukanya masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan, termasuk
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Dalam sistem yang lebih demokratis, maka sekolah harus dapat
memberikan peluang bagi masyarakat, untuk dapat berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
Fenomena tersebut terjadi pada periode 1960-1970 di USA, dimana masyarakat mengambil bagian dalam
pengendalian dan pengawasan sekolah.

Dinamika sekolah dapat dipengaruhi oleh economic forces. Laju pertumbuhan ekonomi identik dengan
laju pengembangan sistem pendidikan atau sekolah. Gambaran laju pertumbuhan ekonomi di USA pada tahun
1970 pada kondisi a steady state, memberikan ilustrasi tentang masa suram pengembangan sistem pendidikan
dan sekolah di USA. Pada masa itu, sistem pendidikan di USA sangat menurun, ditandai dengan laju
perkembangan sekolah yang lambat, dan banyak keluarnya anak-anak didik dari sekolah, karena tekanan
ekonomi. Fenomena tersebut, identik dengan kondisi yang menimpa sistem pendidikan dan sekolah di
Indonesia pasca krisis moneter di pertengahan tahun 1997, dimana ditunjukkan semakin tingginya angka Drop
Out (DO) anak-anak didik karena tekanan ekonomi, dan semakin banyaknya ruang kelas dan banguan sekolah
SD/MI yang roboh karena ketidakmampuan pembiayaan untuk proses rehabilitasi atau renovasi.
Demikian pula, dinamika sekolah dapat terjadi karena pengaruh corparate forces. Bentuk peran dan
partisipasi dari pihak corparate melalui program-program Corporate Social Responsiblity (CSR) yang
dikembangkan dalam rangka community development, tentunya dapat membuka peluang terhadap perubahan
penyelenggara sistem pendidikan dan sekolah, terutama menyangkut pengelolaan anggaran. Perubahan pada
sistem pendidikan dan sekolah dapat dilakukan, untuk lebih memungkinkan pemanfaatan sumber-sumber dana
pendidikan yang dapat digali dari pihak corporate. Pada tahun 1980, fenomena ini terjadi di USA, dimana
pihak corporatebanyak berperan dan berpatisipasi aktif dalam membantu menanggulangi keterbatasan
pemerintah federal untuk membiayai pendidikan pendidikan.

2. EFEKTIVITAS SISTEM ORGANISASI SEKOLAH

Dalam perspektif manajemen, umumnya setiap organisasi senantiasa memiliki tujuan, dan proses
manajemen dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam menetapkan tujuan organisasi,
manajemen organisasi menetapkan kriterianya adalah rasional dan terukur, artinya dalam proses penentapan
tujuan ini harus mempertimbangkan secara logis dan rasional bagaimana peluang pencapaiannya.
Tingkat pencapaian tujuan organisasi menggambarkan efektivitas organisasi, yang dapat
diformulasikan dengan :

E = R/T ; dimana E = Efektivitas, R = Realisasi, T = Target

Berdasarkan rumusan tersebut, maka dalam manajemen organisasi, tindakan efektivitas dapat dengan
mudah dicapai, tetapi kemungkinan tidak efisien bila dipandang dari sisi biaya, tenaga, waktu ataupun sumber
daya yang digunakan. Untuk mencapai tingkat efisiensi, maka input (masukan) yang digunakan harus seminimal
mungkin. Dengan demikian, ada dua alternatif kemungkinan, pertama pada kondisi input tetap, tapi output tetap
maksimum; kedua, pada kondisi input minimum, tapi tetap menghasilkan output maksimum. Aspek efektifitas
dan efisiensi, keduanya adalah landasan untuk pemahaman masalah produktivitas.

Menurut Steers (1985), efektivitas dapat dimengerti dengan baik, jika dilihat dari sudut sejauh mana
organisasi telah berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan operasi
dan tujuan operasional. Kriteria yang paling banyak dipakai dalam melihat segi-segi efektivitas adalah
kemampuan menyesuaikan diri, produktivitas, kepuasan kerja, kemampuan berlaba, dan pencarian sumber daya.
Variabel-variabel sedemikian ini telah diidentifikasi dengan berbagai alternatif, yaitu sebagai alat pengukur
efektivitas itu sendiri, dan sebagai variabel yang memperlancar atau membantu memperbesar kemungkinan
tercapainya efektivitas.

Sementara itu, menurut Gibson et. al (1998), efektivitas dalam perilaku organisasi merupakan hubungan
optimal antara produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka efektivitas dapat diukur dari berbagai dimensi antara lain : produksi,
kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan.
Sedangkan pendapat lain tentang efektivitas, disampaikan oleh Etzioni (1985), menyatakan bahwa
efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usahan mencapai
tujuan atau sasaran. Berdasarkan pendapat tersebut, efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting
karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasaran.

Dengan demikian, berdasarkan pandangan dan pemikiran para ahli manajemen tersebut, maka
efektivitas merupakan suatu tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha mencapai apa yang menjadi tujuan dan
sasaran organisasi. Efektivitas adalah melakukan hal yang benar (doing rights thing), sedangkan efisiensi adalah
melakukan hal secara benar (doing thing rights).

Efisiensi, dapat saja tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan sumber daya
(input) baik, tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, dapat juga terjadi efektif tetapi tidak efisien, yang
menunjukkan dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya yang berlebihan atau disebut ekonomi biaya
tinggi. Menurut Atmosoeprapto, efisiensi banyak berhubungan dengan masalah kepemimpinan, dan efisiensi
banyak berhubungan dengan masalah manajemen.

Berdasarkan pemahaman tentang teori efektivitas seperti digambarkan di atas maka konsep tentang
efektivitas sekolah, akan menjelaskan hal-hal berikut ini :
1) Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan hubungan timbal balik yang harmonis antara sekolah dengan
lingkungan internal dan eksternal secara luas.
2) Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan kemampuan sekolah untuk bertahan dan hidup (eksis) dalam
lingkungannya, dengan demikian kelangsungan hidup sekolah merupakan ukuran terakhir atau ukuran jangka
panjang mengenai efektivitas sekolah.
3) Efektivitas sekolah dalam konteks perilaku sekolah harus merupakan hubungan optimal dimensi produksi,
kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan.
4) Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan mengenai keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan dan
sasaran sekolah.

Konsep efektivitas sekolah dalam konteks perilaku sekolah dengan melibatkan dimensi produksi,
kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan, lebih mudah untuk dimengerti
dan dipahami, karena lebih kongkrit, lebih terukur, sehingga lebih mudah diterapkan.

Bertolak pada pemahaman Teori Sistem, menempatkan sekolah sebagai suatu organisasi atau sistem
organisasi yang terdiri atas berbagai subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka
sekolah merupakan sebuah kesatuan sistem yang kompleks. Sebagai satu sistem yang kompleks, sekolah dalam
pengelolaan semua sumber dayanya akan dilakukan secara rasional demi tercapainya tujuan.

Menurut Steers (1985), semakin rasional suatu organisasi, maka semakin besar upayanya terhadap
semua kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Semakin besar kemajuan yang diperoleh ke arah tujuan,
organisasi akan semakin efektif. Karena itu, efektivitas dapat dipandang sebagai tujuan akhir organisasi.
Bekaitan dengan persoalan efektivitas organisasi, Gitosudarmo dan Mulyono (2001) menyatakan bahwa
efektivitas organisasi harus mampu menggambarkan hubungan timbal balik yang harmonis antara organisasi dan
lingkungannya yang lebih luas. Efektivitas organisasi juga adalah apakah satu organisasi itu mampu bertahan
dan hidup terus dalam lingkungannya sehingga kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan merupakan
ukuran terakhir atau ukuran jangka panjang mengenai efektivitas organisasi.

Karena itu dalam mengukur efektivitas sekolah, akan dilihat samapi sejauh mana atau seberapa besar
kemampuan sekolah dalam melakukan inovasi, kemampuan beradabtasi dengan perubahan lingkungan,
kemampuan sekolah dalam melakukan pembelajaran terhadap keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya,
dan kapasitas sekolah untuk menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan internal dan
eksternal. MacKenzie (1983) menyatakan dalam Research for School Improvement, ada beberapa dimensi
sebagai parameter untuk mengukur efektivitas sekolah, yaitu : (1) leadership dimensions dengan 8 elemennya,
(2) efficacy dimensions dengan 11 elemennya dan (3) efficiency dimensions dengan 8 elemennya.

Selanjutnya apabila bertolak dari pandangan Robbins (2001), maka dalam menyelenggarakan berbagai
aktivitas atau kegiatan sekolah, maka ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas sekolah, yaitu :
(1) adanya tujuan sekolah, (2) sumber daya manusia (SDM), (3) struktur organisasi sekolah, (4) adanya
dukungan atau partisipasi masyarakat dan (5) adanya sistem nilai yang luhur.

Konsep tersebut menegaskan tentang adanya pengaruh antara sumber daya manusia dan partisipasi
masyarakat terhadap efektivitas sekolah. Sumber daya manusia dan pertisipasi merupakan dua variabel yang erat
kaitannya dengan masalah pemberdayaan (empowerment). Tanpa pemberdayaan, upaya pengembangan
kualitas SDM dan partisipasi masyarakat sulit untuk diwujudkan.

Hal tersebut seperti dilustrasikan oleh Girling dan Keith (1989), berdasarkan uji standart kinerja sekolah
di California melalui California Assesment Program (CAP), diidentifikasi bahwa sekolah-sekolah yang
melibatkan para pendidik (teachers) dalam penetapan tujuan (goal setting), proses perencanaan, (planning),
dan pembuatan keputusan (decession making), dan menerima masukan atau belajar dari para kolega-koleganya,
berdasarkan hasil penilaian test yang dilakukan, menghasilkan unjuk kerja (performance) anak didik yang lebih
baik, dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak melibatkan partisipasi.

Sekolah-sekolah yang memiliki hasil CAP yang tinggi umumnya mengembangkan gaya manajemen
partisipatif (participatory management style), dan pada mereka ditemukan karakteristik antara lain : (1) adanya
banyak umpan balik (feed back), (2) adanya dukungan (supportive), (3) adanya budaya kritik membangun
(constructive critism), (4) adanya budaya komunikasi (commuinication), dan (5) adanya peningkatan
(improvement) .

DAFTAR PUSTAKA

A.Qodri Azizy, 2007, Change Management dalam Reformasi Birokrasi,


Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Fattah, Nanang, (2003), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung :
Remaja Rosdakarya

Hanif Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Jakarta: Grasindo.

Hikmat,Harry, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora


Utama Press.

Keith dan Girling, Education, Management and Participation, London :


Ally and Bacon

Komar, Oong, 2006, Filsafat Pendidikan Non-Formal, Bandung : Pustaka Setia.

Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational Management,


Jakarta : Grasindo.

Moekijat, 2002, Dasar-Dasar Motivasi, Bandung : Pionir Jaya.

Makmur, Syarif, 2008, Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas


Organisasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Syafarudin, 2002, Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R., 2003, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa


Depan, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai