A. Latar Belakang
memiliki pendidikan yang baik maka ia tidak akan dapat berkreasi, berinovasi dan
sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya dan beragama.1
merdeka hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya
lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah,
di masyarakat.
pengembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam berbagai jenis dan bentuknya. Para
ahli pendidikan menyatakan bahwa adanya kegiatan pendidikan Islam yang memiliki ciri-
ciri tertentu, menunjukkan adanya bangunan filosofis yang kokoh dari praktek pendidikan
Islam. Hal ini antara lain dikemukakan Hasan Langgulung, bahwa tidaklah mungkin
dibayangkan ada pendidikan Islam, sistem pendidikan Islam yang mempunyai ciri-ciri,
1
Farid Hasyim, Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Filosofi Pengembangan Kurikulum 2013,
(Malang: Madani Media, 2015), hlm.17.
filsafat dan tujuan-tujuannya, yang mencerminkan ideologi kehidupan dalam masyarakat
Muslim tanpa adanya teori pendidikan Islam, atau pemikiran (filsafat) pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan interaksi antara manusia yang melibatkan antara pendidik dan
yang dididik demi mencapainya tujuan Pendidikan nasional. Dalam hal demikian proses
interaksi tersebut harus benar-benar melalui kajian teoritis dan praktis. Apa yang akan
menjadi tujuan Pendidikan, siapakah saja yang terlibat dan bagaimana proses interaksi
mendasar yang bersifat filosofis. Dewasa ini Pendidikan agama islam sering mendapatkan
kritikan dari berbagai pihak. Diantara kritikan tersebut ialah bahwa Pendidikan agama
islam di Indonesia belum menemuka paradigma dan blue print yang berlanjut baik dalam
kajian filosifis maupun praktis, sehingga terkesan pendidik hanya sebagai percobaan
Kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh
seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan
dalam bentuk ijazah. Istilah kurikulum sering dimaknai plan for learning (rencana
tentang jenis, lingkup, urutan isi dan proses pendidikan. Konsep kurikulum berkembang
sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan dari waktu ke waktu, juga
kreatif, inovatif dan berkarakter. Dengan kreativitas anak-anak bangsa mampu berinovasi
2
Mukh Nursikin, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan dan Implementasinya Dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam,Pasca Sarjan Universitas Islam Indonesia, Vol. 01, Nomor 02, Desember 2016,
hlm. 305.
3
Heri Gunawan, Kurikulum Dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Bandung:
Alfabeta,2012),1-
secara produktif untuk menjawab tantangan masa depan yang semakin rumit dan
kompleks.
produktif, kreatif, dan inovatif serta dalam merealisasikan tujuan pendidikan nasional
untuk membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat sangat ditentukan oleh
peserta didik, sosialisasi, fasilitas dan sumber belajar, lingkungan yang kondusif dan
beberapa aspek dianataranya ialah tujuan, isi,bahan dan metode pemebelajaran yang
Sementara itu, perubahan kurikulum merupakan suatu keniscayaan, pasti dan kebutuhan
yang terus berkembang dengan perubahan zaman baik itu secara teoritis maupun praktik
dalam sebuah proses pendidikan. Kurikulum harus menjadi wahana yang efektif untuk
mewujudkan kondisi yang idealis dengn kondisi yang dihadapinya. Kurikulum yang
bersifat dinamis dan tidak bisa dijadikan suatu acuan dengan jangka tertentu karena pada
dasarnya kurikulum itu akan terus berkembang secara dinamis mengikuti perubahan-
kerangka berfikir yang menjadi dasar untuk menjadi sistem yang memberikan dampak
ada seolah membuat akademisi menjadi geram dan mulai mencari cara agar pendidikan
Indonesia bangkit dan membawa Indonesia pada pemecahan masalah pendidikan yang
Continues dan bertahap. Hingga sampailah negara Indonesia pada fase di mana Indonesia
4
Ibid., 39.
5
UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, pasal 1 ayat 19, hlm 19
membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum, memberi subsidi besar-besaran dalam
pendidikan. Dengan demikian perlu adanya perubahan dalam kurikulum khususnya dalam
kurikulum Pendidikan agama isalam dan menetapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi
akan menjadi sia-sia ketika guru sebagai pemopong utama pendidikan tetap menggunakan
pola lama dalam pembelajannya. Bahwa konsep pendidikan di Indonesia hanya akan
menghasilkan output yang cerdas secara akademik dan kognitif tetapi nihil di afektif dan
psikomotorik.
Konsep yang seperti itu dijelaskan oleh Paulo Friere bahwa selama ini Pendidikan
masih mengikuti sistem “Gaya Bank”, yakni: Guru mengajar- murid diajar, guru
mengetahui segala sesuatu-murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir-murid dipikirkan, guru
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, para guru sering menganggap anak didik
merupakan anak manis yang patuh, memiliki disiplin yang tinggi dan mudah beradaptasi,
bukan merupakan anak didik yang memiliki keunikan-keunikan yang harus dipahami dan
potensi-potensi yang harus digali. Kenyataan tersebut hampir melanda semua lembaga
pendidikan.7 Percaya atau tidak praktek pembelajaran dikelas antara guru dan murid
seperti diatas sampai sekarang ini masih sangat umum ada ditengah-tengah pendidikan di
negara kita.
6
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 1985), hal. 51-52)
7
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal.
188.
Dalam konsep pendidikan lama situasi pembelajaran didominasi oleh guru. Siswa
lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang disampaikan dan
diberikan guru. Kurikulum, mutlak direncanakan, disusun dan dibuat oleh pemerintah dan
guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa. Berkait dengan hal tersebut berdasarkan
perubahan dan hendaknya konsep pendidikan terutama dalam pengajaran agar lebih
pemahamannya tentang pendidikan itu sendiri, tujuan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan
pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam
pendidikan atau student centred dan pembelajaran berbasis pengalaman siswa. Pola
pendidikan progresiv menutut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara
aktif. Bukan hanya pasif, mendengarkan, mengikuti, menaati dan mencontoh guru tanpa
Progresivisme merupakan suatu faham yang berasaskan pada sebuah asumsi bahwa
manusia itu mempunyai kemampuan yang wajar dan dapat mengatasi berbagai
8
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 205.
9
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John
Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004), hal. 3.
permasalahan yang mengancam manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu progresivisme
menolak corak pendidikan yang otoriter yang terjadi di masa lalu dan sekarang.
Pendidikan yang otoriter diasumsikan bisa menghambat diri dalam mencapai tujuan-
tujuan yang baik, karena kurang menghargai kemampuan yang dimiliki manusia dalam
proses pendidikan. Padahal dalam pendidikan semuanya ibarat motor penggerak sebagai
proses untuk mencapai kemajuan atau ”progres”. Dengan demikian, bagi progresivisme,
ide-ide, teori-teori, dan/atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang
ada (being), tetapi yang ada ini harus dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-
Pengetahuan ini disusun atas dasar pengamatan yang teratur. Ketika para observer
menjumpai gejala atau data, maka ia bertanya dan berusaha menguji apakah data itu
benar-benaryang dicari. Pengujian itu didasarkan pada kritreria yang telah ditetapkan, dan
Pendidikan agama islam tahun 2013 dalam perspektif filsafat pendidikan progresivisme
Islam. Hal tersebut sangat perlu dibahas bertujuan agar kita mengetahui apa yang
pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut di atas, maka setiap individu akan
Dari latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengkaji lebih
mendalam mengenai konsep pendidikan progresiv yang dicetuskan oleh tokoh pendidikan
10
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem & Metode, cet. 9 (Yogyakarta: ANDI, 1997), hlm, 59
11
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem & Metode, hlm 7
sekaligus tokoh filsafat John Dewey berdasarkan aliran filsafat progressivisme-nya dan
islam. Dimana harapan penulis adalah skripsi ini mampu menunjukkan kebenaran sebuah
konsep tokoh pendidikan pogresif dan bentuk nyata keberadaan atau pelaksanaan konsep
B. Fokus Penelitian
Merujuk pada latar belakang di atas, penulis menganggap perlu adanya penelitian
melebar, maka penelitian ini hanya dibatasi pada Filsafat Pendidikan Progresvisme
Dengan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dengan berpatokan pada kurikulum 2013
C. Rumusan Masalah
Aliran Progresivisme ?
Islam ?
D. Tujuan penelitian
Ada pun tujuan penelitian ini, diambil berdasarkan rumusan masalah yang telah
dipaparkan, yaitu:
E. Kajian Pustaka
Untuk mengindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang membahas
permasalahn yang sama dari karya sebelumnya, maka kami melakukan analisis terhadap
literatur-literatur yang mebahas hal hal yang berkaitan dengan masalah diatas
diantaranya:
1. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, VOL: 10/NO: 01 Februari 2021 P-ISSN:
Pendidikan Islam yang ditulis oleh Moch Yasyakur, Kholid Sirojuddin, Wartono, Ari
Julmanan. Yang membahas tentang, Gaya hidup materialistik, ateistik, dan skeptis
satu pemecahan masalah tersebut pada sektor pendidikan adalah dengan menanamkan
perenialisme memiliki konsep pembinaan karakter holistik dan siklis yang sesuai
dengan tujuan pendidikan, pembinaan akhlak mulia dan menjadikan insan kamil.
generasi baru, yakni berupa nilai-nilai abadi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu,
berisikan pengertian akan benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Pandangan
aksiologi bahwa prilaku manusia berasal dari potensi pribadi manusia itu sendiri
sebagai kodrat baik potensi positif maupun negatif. Perenialisme memiliki pandang
masalah nilai berdasarkan pada prinsip supranatural, yakni menerima universal yang
abadi. Masalah utama prinsip supernatural adalah tingkahlaku maka manusia sebagai
subjek telah memiliki potensi kebaikan. Sebagai solusi bagi lembaga pendidikan
dengan memilih metode yang mampu menanamkan doktrin kemuliaan hidup,
Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan yang diterbitkan oleh Cakrawala Pendas Vol.2
NO.1 Januari 2016. Membahas tentang, Proses pendidikan yang melibatkan berbagai
pihak, sekurang-kurangnya pendidik dan peserta didik. Partisipasi dari berbagai pihak
alasan: bahwa keduanya menghendaki agar tidak ada pendidikan bercorak otoriter,
merupakan dinamika hidup. Progresivisme tidak hanya mengakui akan adanya ide-
ide, teori-teori, atau cita-cita, tetapi sesuatu yang ada itu harus bermakna bagi suatu
kemajuan atau tujuan yang baik. Progresivisme dan esensialisme mendorong manusia
untuk memfungsikan jiwa untuk membina hidup yang dinamis dan tegar dalam
Pembelajaran Mata Pelajara Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Di SMAN
1,6 dan 7 Kota Banjar masin”. Tesis ini focus pada penelitian bagaimana
implementasi kurikulum 2013 pada guru PAI dan budi pekerti. Yaitu meliputi
serta kendala yang direahkan oleh guru PAI dalam implementasi Kurikulum 2013
pembelajran PAI dan budi pekerti di SMAN 1,6 dan 7 kota banjar masin yang
pemebelajaran (RPP) guru tidak selalu menghadirkan RPP Ketika hendak mengajar
karena menurut guru yang terpenting adalah dalam hal penguasaan materi yang akan
apa yang dikehendaki oleh kurikulum 2013 dengan penedekatan saintifik, namun
dalam pelaksanaanya masih sangat minim dan yang selanjutnya pada sisitem
Pendidikan masih dirasakan masih sangat rumit karena guru harus mengamati satu
4. Tesis “Landasan Filosofis Pendidikan Agama Islam: Telaah Kajian Teoritik dalam
Upaya mempekokoh Landasan Filsafat Pendidikan Islam”. Tesis ini mebahas konsep
dan teori yang ideal dalam pendidikan Islam ialah karena belum ditemukannya
konsep dan teori baru yang memadai, selama ini konsep dan teori yang berkembang
lebih banyak merupakan produk hasil pemikiran barat yang bersifat antroposentris.
pendidikan Islam jauh lebih baik dan lebih unggul daripada sistem-sistem pendidikan
dan teori pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, artinya pendidikan Islam tidak
terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai sumber nilai (value),
motivasi dan pemikirannya. Mengutip pernyataan dari Azyumardi Azra dalam “Islam
dan budaya lokal” bahwa Islam Indonesia adalah flowery Islam atau Islam yang
berbunga-bunga.
12
Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Moderniatas,
(Jakarta: Bakti Aksara Persada, 2003), hlm. 8.
5. Penelitian Fitri Al-Faris “Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
berkembang dalam beberapa kali namun landasan filsafat yang digunakan jarang
digali. Landasan filsafat yang digunakan menjadi pemikiran menarik karena dengan
landasan filsafat yang jelas maka arah dan tujuan pendidikan menjadi jelas. Hasil
penelitian ini yang utama menemukan bahwa hakikat kurikulum pendidikan 2013
adalah meningkatkan basis perubahan pada sikap, pengetahuan dan keterampilan pada
diri peserta didik demi terciptanya pendidikan karakter yang baik. Tujuan yang ingin
dicapai dalam kurikulum 2013 adalah menghasilkan generasi yang kreatif dan inovatif
peradaban bangsa.
terbukti dengan sistem pendidikan yang sangat menitikberatkan murid sebagai subjek
pendidikan, guru bertindak sebagai fasilitator, serta mata pelajaran yang terintegrasi
dalam satu unit. Kurikulum 2013 menunjukkan kalau anak atau subjek Pendidikan
harus diberi pelajaran dan pengajaran sesuai dengan perkembangan zaman agar tidak
menghasilkan generasi usang serta tiga kompetensi utama dalam diri anak harus
bidang pendidikan Islam dibangun diatas fondasi keilmuan yang filosofis dan
dinamis. Dalam artian bahwa perlu adanya perombakan besar-besaran dalam bidang
pendidikan, agar dapat mememnuhi kriteria perkembangan zaman, yang mana
pendidikan Islam tidak terlepas dari agama Islam itu sendiri. Agama menurutnya lebih
dari sekedar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral, tetapi harus
konsepsi Iqbal mengacu kepada proses menciptakan kreatifitas dalam diri manusia,
Sebab dalam catatan Iqbal, pendidikan bersifat dinamis dan kreatif, dan diarahkan
untuk memupuk dan memberikan kesempatan gerak kepada semangat kreatif yang
menguasai bidang seni, dan ilmu pengetahuan yang baru, kecerdasan dan kekuatan
pendidikan Islam secara umum dan khususnya di Indonesia sekarang ini. Atas dasar
itu, tulisan ini menggali lebih jauh pemikiran filosofis Iqbal dalam pendidikan Islam.
berkelanjutan dalam proses pendidikan, baik melalui proses ta’lîm, tarbiyah, ta’dîb,
tanggung jawab individu dan sosial (kemasyarakatan), sifat dan sikap solidaritas
8. Jurnal Edutech Kurikulum Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam karya Agus
Salim Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syekh H. Abdul Halim Hasan Al-
Ishlahiyah yang membahas tentang Kurikulum adalah alat atau instrumen untuk
mendidik peserta didik untuk mengembangkan potensi jismiyah dann ruhiyahnya agar
peserta didik mampu menuju kepada Tuhannya. Jadi substansi pembahasan ini adalah
mengenai hakikat atau dasar kurikulum dalam sudut pandang fisafat pendidikan
Islam. Jika kurikulum merupakan suatu jalan atau manhaj, maka esensi kurikulum
adalah Alquran dan hadis. Dalam suatu hadis diterangkan bahwa menjelang
Rasulullah saw. wafat, beliau menegaskan ia tidak meninggalkan harta benda yang
dipusakai. Tetapi beliau mewasiatkan agar berpegang teguh kepada Alquran dan
hadis.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara-cara atau prosedur ilmiah yang digunakan untuk
menggunakan metode-metode ilmiah dan dapat mencoba hasil yang valid dengan
rumusan yang sistematis agar sesuai apa yang diharapkan, secara tepat dan terarah yaitu
untuk menjawab persoalan yang menyusun teliti. Adapun metode yang digunakan
sehingga dengan metode ini akan dikaji dari berbagai sumber kepustakaan yang
berkaitan dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, baik berupa
buku, artikel maupun opini. Muhammad Nadzir dalam bukunya yang berjudul Metode
risearch adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap
Sesuai dengan konsepsi awal bahwa variabel merupakan obyek penelitian ini,
maka yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah konsep pemikiran
c. Journal of Islamic Culture and Education Karya Mukh Nurshikin dengan judul
I. Sumber Skunder
Sumber skunder tesis ini adalah buku, jurnal, majalah, bulletin, koran dan lain-
tesis.
J. Sifat Penelitian
Penelitian bersifat deskritif analisis yaitu suatu metode yang menggambarkan dan
menjelaskan secara sistematis, metode deskritif analisis ini dapat diartikan sebagai
prosedur pemecah masalah yang diteliti berdasarkan fakta fakta yang tampak
Dokumen yang dipilih sesuai dengan tujuan dan fokus masalah, dokumen tersebut
diurutkan sesuai sejarah kelahiran, kekuatan dan kesesuaian isinya dengan tujuan
kajian sistematis, padu dan utuh. Dokumen disini meliputi materi atau bahan seperti :
fotografi, film, video, memo, surat dan sebagainya yang digunakan sebagai bahan
informasi penunjang.14
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi, pengolahan data berassal dari buku dan lkiteratur yang terdapat di
perpustakaan.15
data memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekkan
Dalam penelitian ini, peneliti menguji keabsahan data dengan teknik triangulasi
berupa triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Triangulasi teknik berarti peneliti
dari sumber yang sama, sedangkan triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data
13
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
hlm. 221.
14
Fauzan Al mashur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm 199.
15
Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2000), hlm.
330.
16
Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan.hlm. 330.
Teknik analisis data ini disebut juga metode pengolahan data yang mengandung
pengertian proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis
deskriptik analitik, yaitu data-data yang berkaitan dengan tema dan diklasifikasikan
kemudian dilakukan deskripsi yaitu memberikan penafsiran atau uraian tentang data
metode Induktif dan deduktif. Metode induktif adalah metode pembahasan yang
berangkat dari fakta- fakta khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Metode deduktif adalah metode pembahasan yang berangkat dari pengetahuan yang
diteliti dalam keadaan yang sebenarnya. Dalam penelitian ini data diperoleh dari
berbagai literatur seperti buku-buku, media internet, jurnal dan karya ilmiah yang
17
Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
103.
18
Ibid, hlm. 42
BAB II
PEMBAHASAN
John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik Amerika, pemikir yang paling
tidak hanya mempengaruhi secara luas teori dan praktek filsafat pendidikan, tetapi
Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober 1859 M dan meninggal pada 1 Juni
peranannya sebagai ketua jurusan filsafat, psikologi dan pedagogi pada universitas
Chicago. Pada sekolah tersebut ia mendirikan sekolah percobaan, untuk menguji dan
Keberhasilannya mengajak para orang tua murid untuk berpartisipasi bersama guru
dalam proses pendidikan anak, menjadi dasar bagi gagasanya yang paling
19
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal.
133.
berpengaruh dalam bidang pendidikan.20
”John Dewey is probably most famous for his role in what is called
progressive education. Progressive education is essentially a view of
education that emphasizes the need to learn by doing. Dewey believed that
human beings learn through a 'hands on' approach. This places Dewey in
the educational philosophy of pragmatism. Pragmatists believe that reality
must be experienced. From Dewey's educational point of view, this
means that students must interact with their environment in order to adapt
and learn. Dewey felt that the same idea was true for teachers and that
teachers and students must learn together. His view of the classroom was
deeply rooted in democratic ideals, which promoted equal voice among
all participants in the learning experience.”21
John Dewey paling terkenal dengan perannya dalam apa yang disebut
percaya bahwa manusia belajar melalui 'tangan' pendekatan. Ini menempatkan Dewey
dialami. Dari sudut pandang pendidikan Dewey, ini berarti bahwa siswa harus
berinteraksi dengan lingkungan mereka untuk beradaptasi dan belajar. Dewey merasa
bahwa ide yang sama juga berlaku untuk guru dan bahwa guru dan siswa harus
demokrasi, yang dilakukan dengan cara yang sama diantara semua peserta dalam
pengalaman belajar.
John Dewey pakai adalah pragmatis artinya sebuah hal yang nyata adalah hal yang
20
Ibid., hal. 133.
21
Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses di laman
http://study.com/academy/lesson/john-dewey-on-education-impact-theory.html pada pada 22 september 2021,
pukul 21.48 WIB.
dialami sebagai sebuah pengalaman. Dalam konteks pembelajaran, guru dan murid
adalah sama-sama seorang pembelajar yang sedang belajar bersama dalam suasana
kelas yang demokratis yakni keduanya secara bersama berpartisipasi aktif dalam
pengalaman pembelajaran.
Peserta didik atau anak-anak, menurut Dewey, tidak hadir di sekolah seperti
sebuah papan tulis kosong yang padanya guru tinggal menuliskan mata pelajaran
mengenai peradaban. Pada saat anak memasuki ruang sekolah, ia sebenarnya sudah
sangat aktif, dan persoalan pendidikan adalah persoalan tentang bagaimana guru
mengarahkan aktivitas mereka.22 Konsep dari John Dewey yang demikianlah yang
pendidikan di dunia.
realita hidup manusia sampai ia mati. Bagi kaum progresiv, tidak ada hal yang
absolut. Tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang abstrak. Kenyataan adalah
Dewey sebagai tokoh utama progresivisme juga dipengaruhi oleh teori evolusi
biologis dari Charles Darwin yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang
berevolusi secara gradual melalui proses alam, mulai dari sel yang sangat sederhana
sampai kepada struktur yang sangat kompleks sebagaimana yang tampak sekarang
ini. Teori ini juga berasumsi bahwa manusia dengan kecerdasannya akan melanjutkan
22
Ibid., hal. 104.
evolusi melalui berbagai jalan dan cara agar dapat meningkatkan kemampuan dirinya
untuk bertahan hidup. Dewey meyakini bahwa manusia berevolusi, berkembang tanpa
filsuf idealisme dan realisme. Dewey beranggapan bahwa suatu hal yang tidak ada
gunanya mencari hakikat atau fundamen kenyataan yang tidak berubah. Walaupun
sendiri. Suatu organisme tidak dapat berada tanpa berinteraksi dengan lingkungannya.
Hanya saja, Dewey tidak mau terlibat lebih jauh dalam diskursus metafisika tentang
eksistensi Tuhan dan takdir manusia. Perhatian Dewey dan kaum progresiv lainnya
hanyalah tentang dunia ini sebagaimana dialami oleh manusia. Itulah yang dapat
Mereka meyakini bahwa pengetahuan tidak ada artinya tanpa pengalaman manusia
yang terus berproses dan disempurnakan. Oleh karena manusia hidup dan berinteraksi
dengan makhluk lainnya, baik yang hidup maupun yang tidak, dalam suatu
masalahnya yang muncul seiring dengan proses kehidupan itu sendiri. Pengalaman itu
terbentuk dalam interaksi yang aktif maupun yang pasif. Jika lingkungannya
23
Akinpelu, J.A..1988. An Introduction to Philosophy of Education.London and Basingstoke:
Macmillan Publishers Ltd. Hlm 14.
memunculkan masalah, maka manusia terkena dampaknya; itulah yang disebut unsur
diri dengan situasi baru yang diciptakan oleh lingkungannya, atau ia memodifikasi
it; then we suffer or undergo the consequences. We do something to the thing and the
bukanlah sesuatu yang abstrak; bukan substansi yang ada di kepala manusia, juga
bukan bagian dari otak manusia; melainkan hanyalah suatu kualitas berpikir yang
bertujuan untuk menyelesaikan masalah kehidupan secara efektif. Dengan kata lain,
intelegensi atau kecerdasan adalah cara kita, manusia mendekati masalahnya untuk
masalahnya dengan cara-cara ilmiah. Orang yang cerdas adalah orang yang dapat
hidupnya. Metode berpikir reflektif disebut juga oleh Dewey sebagai Metode
adalah aspek lain yang menjadi perhatian para kaum progressi. Kebenaran adalah
ide yang dapat diuji, diverifikasi dan terbukti efektif untuk menyelesaikan masalah.
Sebuah ide dapat dikatakan benar apabila dapat dilaksanakan dan berguna.
Kebenaran itu juga merupakan konsep sosial. Jika sekelompok orang mempunyai
ide atau opini dan kemudian opini tersebut ditelaah oleh orang yang kompeten di
bidangnya dan dinyatakan atau diakui benar menurut mayoritas kelompok manusia
nilai bukan suatu kualitas yang sudah tetap dalam diri subjek, juga bukan sesuatu
yang berasal dari wahyu, melainkan berpusat pada manusia itu sendiri. Nilai-nilai
juga kelompok. Dengan kata lain, apa pun yang dipandang berharga, atau diinginkan,
itulah artinya nilai bagi individu atau kelompok tersebut . Jadi, individu atau
nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif, tidak ada prinsip mutlak. Nilai timbul karena
sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan
individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada, bila
pergaulan manusia. Kriteria tindakan etik adalah uji sosial dalam masyarakat.
Kriteria keindahan (estetik) bergantung pada selera sosial. Seni tidak dibedakan antara
b. Peserta didik mempunyai potensi kreatif dan dinamis, sebagai bekal untuk
c. Hal penting bagi peserta didik adalah pengalaman. Dengan inteligensinya manusia
dapat menyelesaikan masalah. Peserta didik belajar dari lingkungan dan bertindak
d. Pendidikan merupakan wahana efektif dengan orientasi pada sifat dan hakikat
dipandang sebagai pembimbing atau pengarah oleh peserta didik. Guru tidak
dan minat peserta didik. Mata pelajaran dipilih berdasarkan kebutuhan peserta
didik.
g. Sekolah adalah bagian dari kehidupan, bukan sekedar persiapan untuk hidup. Apa
yang dipelajari di sekolah tidak banyak berbeda dengan apa yang dipelajari dalam
dipandang sebagai proses dan sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan proses belajar
dari kejadian di sekitarnya. Oleh karena itu, dinding pemisah antara sekolah dan
masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan
lingkungan sekitar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Sekolah harus
didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhasan daerah tersebut. Sekolah
menghasilkan orang yang cakap yang dapat berguna di masyarakat kelak. Sekolah
dengan cara yang benar. Sekolah membiasakan peserta didik untuk belajar
beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah baik sekarang maupun di masa datang.
Sekolah adalah juga sebagai wahana peserta didik belajar demokrasi. Sekolah
adalah kehidupan demokratis dan lingkungan belajar yang setiap orang berpartisipasi
masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial, ekonomi dan politik dipandang baik
sosial dan kesusilaan. Kecerdasan adalah hal yang penting akan tetapi bukan yang
Untuk mencapai kedua pendidikan tersebut, John Dewey membagi pendidikan untuk
perkembangan, cara berpikir dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pengajaran
wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak, sebagai akibat dari
instingnya.
26
Gutek, Gerald L. 1974. Philosophical Alternative in Education. USA: A Bell & Howell
Company.48
27
Muid Sad Iman, Pendidikan Partisipatif..., hal. 71
adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban
Pendidikan yang diusung oleh John Dewey ini dikenal dengan pendidikan
berperan aktif dalam proses belajar ataupun dalam menentukan materi pelajaran.
”Dewey continually argues that education and learning are social and
interactive processes, and thus the school itself is a social institution
through which social reform can and should take place. In addition, he
believed that students thrive in an environment where they are allowed to
experience and interact with the curriculum, and all students should have
the opportunity to take part in their own learning. (My pedagogic creed,
Dewey, 1897). Since education is a social process, and there are many
kinds of societies, a criterion for educational criticism and construction
implies a particular social ideal”29
dan interaktif, dan dengan demikian sekolah itu sendiri adalah lembaga sosial dimana
reformasi sosial dapat dan harus dilakukan. Selain itu, ia percaya bahwa siswa
berinteraksi dengan kurikulum, dan semua siswa harus memiliki kesempatan untuk
ambil bagian dalam pembelajaran mereka sendiri. (dalam buku Pedagogic Creed,
Dewey, 1897). Karena pendidikan merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis
masyarakat, kriteria untuk kritik pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal sosial
tertentu.
28
Zulkarnain el Lomboky, Konsep Pendidikan John Dewey sebuah tinjauan Kritis
(Majalah Gontor Media Perekat Umat, Edisi 03 tahun IX Juli 2011, hal. 28.
29
Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses di laman
http://study.com/academy/lesson/john-dewey-on-education-impact-theory.html pada pada 22 september 2021,
pukul 22.09 WIB.
Dalam bukunya berjudul My Pedagogic Creed dan Democracy and
adalah sebuah proses interaktif. Sekolah adalah institusi sosial yang mana reformasi
sosial dapat dan harus dilakukan. Ia berpendapat bahwa siswa harus berkembang
dalam lingkungannya dan berhak berinteraksi dengan kurikulum serta setiap siswa
berhak untuk mengambil bagian dalam proses pembelajaran mereka sendiri. Karena
pendidikan merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis masyarakat, kriteria
untuk kritik pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal masyarakat sosial tertentu.
Sehingga benar adanya bahwa output sebuah lembaga pendidikan harus disesuaikan
All education forms character, mental and moral, but formation consist in
the selection and coordination of native activities so that thay may utilize
the subject matter of the social environtment. Moreover, the formation is
not only a formation of native activities, but, it takes place through them.
It is a process of reconstruction, reorganization.30
Semua pendidikan membentuk karakter, mental dan moral, tetapi formasi
terdiri dalam pemilihan dan koordinasi kegiatan asli sehingga mungkin untuk
memanfaatkan siswa sebagai subjek lingkungan sosial. Selain itu, formasi tidak hanya
pembentukan kegiatan asli, tetapi dapat terjadi dengan cara melibatkan mereka. Itu
Artinya bahwa semua jenis pendidikan adalah sebuah proses yang secara
berkelanjutan guna membentuk karakter, mental dan moral manusia. Tetapi proses
tersebut adalah berupa aktivitas nyata dengan memanfaatkan sebuah materi yang
berkenaan dengan lingkungan sosial, sehingga siswa dilibatkan dalam aktivitas dalam
30
John Dewey, Democracy and Education, (New York: Macmillan, 1916), hal. 95.
rekonstrusi pembentukan karater, mental dan moral.
a. Hakikat Pendidikan
menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuai inteligen dan mampu
lingkungan.
b. Tujuan pendidikan
dengan l ingkungan).
c. Kurikulum
d. Metode
proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat
31
Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Stain PO Press, 2010),
hal. 43-46.
dan minatnya.
kritis.
sekolah.
pendidikan Progresiv terhadap materi pokok pelajaran. Bahwa telah menjadi ajaran
pokok pendidikan gaya baru bahwa awal pembelajaran harus dimulai dengan
pengalaman yang telah dimiliki para pelajar, hal ini adalah titik awal bagi proses
belajar selanjutnya. Tugas pendidik adalah memilih hal-hal tertentu dalam lingkup
pengalaman yang ada, yang mengandung janji, dan kemampuan untuk menyajikan
sejumlah masalah baru yang dengan cara merangsang cara observasi dan
berikutnya adalah perkembangan Progresiv dari apa yang telah dialami untuk menjadi
bentuk pengalaman yang lebih penuh, lebih kaya dan juga lebih tersusun, yaitu suatu
kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau
mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha
kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus
praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan
itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik
yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Progressivisme
dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaaan baru yang dapat
menyelamatkan manusia dalam menghadapi hari esok yang semakin komplek dan
penuh tantangan. Pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk
mendorong manusia dalam menghadapi periode transisi antara zaman tradisional yang
32
John Dewey, pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo, (Yogyakarta: Kepel Press,
2002), hal. 73-75.
akan segera berakhir, untuk siap memasuki zaman progresiv (modern).33
utama dalam pendidikan, ini hal yang signifikan. Hal ini akan menjadi lebih
signifikan bila difahami dalam konteks kecerdasan yang lebih luas, seperti multiple
intelligences yang telah dikenal dewasa ini; berarti yang dikembangkan bukan hanya
memandang bahwa peserta didik hendaknya tidak hanya dipandang sebagai individu,
pengalaman. Hal ini berarti eksistensi kecerdasan tidak akan memadai bila terisolir.
manusia maupun yang lain, tidak bersifat sama atau statis, tetapi selalu megalami
mempelajari banyak hal dengan mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi di masa
mendatang. Meskipun yang dialami manusia itu kadang kekecewaan, tetapi itu akan
kemajuan iptek telah berhasil mengungkap rahasia alam semesta yang bisa
kemampuan manusia, maka segala yang ada diharapkan tidak berdampak negatif.
dan keterampilan yang telah dipelajari dan dimiliki. Yang dimaksud dengan
alternatif pemecahannya.35
progresivisme. Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang
sifatnya yang dinamis dan kreatif, peserta didik mempunyai bekal untuk menghadapi
dan memecahkan problem-problem yang ada. Terkait dengan itu, usaha untuk
hendaklah dipandang tidak sekedar sebagai makhluk yang berkesatuan jasmani dan
ruhani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang
berlangsung di sekitarnya. Di sini, agar sekolah dapat berlaku wajar, maka perlu
terbuka dan tidak perlu ada dinding pemisah dengan masyarakat. Sekolah merupakan
yang edukatif, dan bukan mis-edukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara
bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil- hasil yang konstruktif, yang nilai-nilai dan
kebudayaan negara atau bangsa. Sementara yang kedua, belajar mis-edukatif, ialah
yang ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong ke arah perkembangan yang
bersifat tidak serasi dengan tujuan. Untuk suasana belajar edukatif, bisa dilaksanakan
di dalam kelas maupun di luar kelas, sehingga pendidikan merupakan hidup itu
sendiri. dapat berlaku wajar, maka perlu terbuka dan tidak perlu ada dinding pemisah
yang edukatif, dan bukan mis-edukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara
bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil- hasil yang konstruktif, yang nilai-nilai dan
kebudayaan negara atau bangsa. Sementara yang kedua, belajar mis-edukatif, ialah
yang ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong ke arah perkembangan yang
bersifat tidak serasi dengan tujuan. Untuk suasana belajar edukatif, bisa dilaksanakan
di dalam kelas maupun di luar kelas, sehingga pendidikan merupakan hidup itu
”menara gading” yang menjulang jauh di atas masyarakat. Keduanya perlu saling
berinteraksi secara positif. Pandangan ini perlu dipegang dengan teguh disertai
Amerika.36
dengan Plato, bahwa tidak ada individu atau masyarakat yang lepas antara satu
dengan yang lain. Fikiran pun tidak bisa lepas dari aktivitas mental dan pengalaman.37
curere(tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada
saat itu kurikulum diartukan sebagai jarak yang harus ditepuh oleh seorang pelari
pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampek akhir program
berarti lapangan perlombaan lari. Dan terdapat pula dalam bahasa Yunani “courir”
yang artinya berlari. Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga pada zaman
Romawi Kuno.38 Kemudian istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.39
kurikulum sebagai seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses
pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sitematis untuk
37
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, 47
38
Ibid.,h. 150
39
Ihsan Hamdani dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
h.131
40
Arifin, Ilmu Op. Cit., h. 183
41
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123
Menurut Zakiah Darajat, kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan
pendidikan tertentu.42
diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah. Saylor Alexander, dan
memengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruang kelas, di halaman sekolah,
Dari beberapa pengertian diatas, definisi M. Arifin dan Corow and Crow,
lebih tradisional karena kurikulum lebih menitik beratkan pada materi pelajaran
semata. Sedang pengertian Zakiah Daradjat lebih luas dari pengertian sebelumnya
karena disini kurikulum tidak hanya dipandang dalam artian mata pelajaran, namun
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
Dalam kurikulum tergantung dua hal pokok, yaitu : Adanya mata pelajaran yang
ditempuh oleh siswa, dan Tujuan utamanya yaitu untuk memperole ijazah.
siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan menempatkan guru
dalam posisi yang angat penting dan menentukan. Keberhasilan siswa ditentukan oleh
seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya dan biasanya dismbolkan dengan
42
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), h. 121
43
Toto Ruhimat, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 2
44
Ramayulis, IlmuPendidikan Islam,(Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.151
45
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bab I pasal 1
(Bandung: Fermana, 2006), h. 67
skor yang diperoleh setelah mengikuti suatu tes atau ujian.
bagian pendidkan islam. Pendidikan agama islam merupakan system pendidkan yang
diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-
Jadi kurikulum pendidikan agama islam ialah suatu program pendidikan yang
berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang direncanakan dan
dirancang secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan
pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik
untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan agama
islam.47
eksperimental dan adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman edukatif
adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang
digariskan dalam pendidikan, karena akan membantu dalam proses belajar serta
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik.48 Kurikulum yang baik adalah
type core curriculum ialah sejumlah pengalaman belajar disekitar kebutuhan umum.
Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari
yang bersendikan pengalaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. 49 Kualifikasi
semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan,
tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Progressivisme proses
46
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Pers,
2012), h. 6 & 8
47
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), h. 2
48
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, 36
49
Ibid., 37
pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis,
pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik
yang akan dikembangkan. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana
tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus
diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan
John Dewey memandang jiwa sebagai sesuatu yang fungsional dalam hidup sosial.
Daya-daya yang terdapat pada manusia adalah nasfu dan insting. Menurut Dewey insting
mempunyai jumlah yang banyak, akan tetapi paling utama diperlukan dalam
1. Insting sosial meruapakan keinginan anak mengadakan hubungan dengan orang lain
disekitarnya. Ini dapat dilihat pada waktu anak bermain bersama-sama. Alat
permainan saja belum cukup untuk anak, anak memerlukan teman untuk bermain
bersama. Frobel bahkan mengatakan, bahwa teman adalah alat permainan yang
terbaik. Kecuali alat-alat permainan dan bermacam-macam permainan, masih ada satu
alat penghubung sosial lain, yang dipergunakan dalam pergaulan semasa anak hidup,
tetapi juga ada alat penghubung antar generasi (buku-buku), berhubungan dengan
insting sosial itu anak perlu diberi banyak kesempatan untuk bekerja bersama-sama
2. Insting membangun dan membentuk dapat dilihat pada waktu anak bermain-main.
Mereka membuat kolam, jembatan, roti, dan sebagainya dengan bahan yang belum
terbentuk; pasir, tanah, kayu, air dan sebagainya. Bersama anak membuat rumah-
rumahan, laut-lautan dan sebagainya untuk kemudian dirusak, diperbaiki, dan dirusak
lagi. Juga dalam hal adanya insting sosial membentuk pada anak, Dewey sependirian
dengan Frobel.
50
I. Djumhur dan H. Danu Saputra, Sejarah Pendidikan, Cet. Ke-7, (Bandung: ILMU, 1984), 88-90
3. Insting menyelidiki. Bukti adanya insting meyelidiki ialah bahwa anak itu suka
merusak segala sesuatu yang anak pegang. Alat permaianan yang baru dibeli mahal
oleh orang tuanya sebentar saja anak merusaknya, karena anak ingin menyelidiki
seluk beluk. Anak ingin mengetahuai apa sebabnya mobil dapat berjalan; apakah isi
perahunya; apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan
sebagainya.
4. Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting membangun. Anak ingin menghias
hasil perbuatannya, agar menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang
baru selesai tidak ditinggalkan begitu saja. Rumah itu dihias dengan berbagai alat;
akan menari, menyanyi, menggambar dengan warna, menambah bukti, bahwa pada
Dengan demikian Bahwa dalam proses pendidikan asal dari tujuan pendidikan
adalah pada anak didik. Pendidikan tradisional tidak menempatkan anak didik pada peran
sentral. Akan tetapi anak didik dicoba untuk menentukan bahan pelajaran, apakah anak
didik tertarik atau tidak. Sebaliknya Progressivisme meletakan anak didik sebagai sentral
menekankan kebutuhan untuk belajar dengan melakukan. Dewey percaya bahwa manusia
belajar melalui 'tangan' pendekatan. Ini menempatkan Dewey dalam filsafat pendidikan
pragmatisme. Pragmatis percaya bahwa realitas harus dialami. Dari sudut pandang
pendidikan Dewey, ini berarti bahwa siswa harus berinteraksi dengan lingkungan mereka
51
Ag. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, Bagian ke-1, (Bandung: ILMU, 1978), 132-133
untuk beradaptasi dan belajar. Dewey merasa bahwa ide yang sama juga berlaku untuk
guru dan bahwa guru dan siswa harus belajar bersama-sama. Pandangannya tentang kelas
itu berakar dalam cita-cita demokrasi, yang dilakukan dengan cara yang sama diantara
menekankan bahwa pengalaman adalah sebuah proses belajar yang berharga. “Learning
by doing” artinya belajar dengan melakukan. Filosofi pendidikan yang John Dewey
pakai adalah pragmatis artinya sebuah hal yang nyata adalah hal yang dialami sebagai
sebuah pengalaman. Dalam konteks pembelajaran, guru dan murid adalah sama-sama
seorang pembelajar yang sedang belajar bersama dalam suasana kelas yang demokratis
Peserta didik atau anak-anak, menurut Dewey, tidak hadir di sekolah seperti sebuah
papan tulis kosong yang padanya guru tinggal menuliskan mata pelajaran mengenai
peradaban. Pada saat anak memasuki ruang sekolah, ia sebenarnya sudah sangat aktif,
dan persoalan pendidikan adalah persoalan tentang bagaimana guru dapat mengendalikan
aktivitas anak-anak itu, atau bagaimana guru dapat mengarahkan aktivitas mereka.
Konsep dari John Dewey yang demikianlah yang kemudian melahirkan sebuah konsep
Progresivisme yang berpijak pada asas fleksibilitas, dinamika, dan sifat-sifat lain
yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana serta suasana yang teratur.
keserasian antara elemen-elemen pendidikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh
karena tidak ada standar yang universal, maka kurikulum yang ada harus terbuka terhadap
tidak beku, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
Jenis ini, digambarkan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan diri
dari semua sekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit, yang dibentuk dan
dihasilkan dari pengalaman peserta didik sendiri yang diarahkan kepada pengembangan
Selain itu, yang dipandang maju oleh progresivisme adalah kurikulum jenis ”Core
Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai
dengan tujuan, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya insidental dan tidak
penting. Dengan demikian jelaslah bahwa suasana pendidikan yang baik adalah yang
besar, aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta
didik. Peserta didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam diri peserta didik tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu Progresivisme tidak
menyetujui pendidikan yang bersifat otoriter. Aliran ini memandang bahwa peserta didik
yang berkaitan dengan akal dan kecerdasan, hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa
memiliki sifat dinamis dan kreatif didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, aliran progresivisme ini
52
Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Perspective (New York: The Dryden
Press, 1958), hlm 173
53
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem & Metode, 37
menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan
martabat manusia sebagai pelaku hidup. Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja
dimaknai sebagai seperangkat rangkaian mata pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet
mengandung arti lebih luas sehingga banyak pakar memaknai kurikulum dengan titik
yang isinya sejumplah mata pelajaran yang disusun secara sistematis, sebagai syarat
kurikulum adalah rencana belajar murid, yaitu sejumplah mata pelajaran yang disiapkan
secara sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
ditetapkan.
bahwa pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaaan baru
yang dapat menyelamatkan manusia dalam menghadapi hari esok yang semakin komplek
dan penuh tantangan. Pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk
manusia dalam menghadapi periode transisi antara zaman tradisional yang akan segera
luwes dan terbuka. Kurikulum dapat dirubah dan dibentuk, dikembangkan sesuai dengan
perkembangan zaman dan Iptek. Hal ini sejalan dengan kenyataan sejarah yang
dimulai dari Rencana Pembelajaran pada tahun 1947, Kurikulum tahun 1975, Kurikulum
tahun 1984, kurikulum tahun 1994, kurikulum tahun 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006
54
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan Islam. (Pekanbaru: LSFK2P.2005), 161-162
(KTSP) dan kurikulum tahun 2013 yang belum dilaksanakan menyeluruh karena masih
banyak problem dan kajian yang mendalam terlebih dalam masalah evaluasi dan lainya.
memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait dengan
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni agar
trandisional yang selalu menekan kepada metode formal yang selalu menekankan kepada
metode formal pemebelajaran. pengajaran. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa
Pertama, Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik. Yang kedua,
Peserta didik adalah sesuatu yang aktif, bukan pasif. Yang ketiga, Peran guru hanya
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah, yang keempat, Sekolah harus menciptakan
iklim yang bersifat kooperatif dan demokratif dan yang kelima, Aktifitas pembelajaran
lebih focus pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan materi kajian.
teori yang relevan dengan kebutuhan peserta didik. Dalam pendidikan Islam, kurikulum
pendidikannya juga berisi tentang teori-teori yang dikemukakan oleh ulama atau ilmuwan
dengan nilai-nilai Islam terkadang dipakai dalam pendidikan Islam. Dengan demikian,
sampai di sini, antara kurikulum pendidikan progresivisme dengan pendidikan Islam tidak
ditemukan suatu perbedaan yang signifikan. Selain itu, progresivisme pendidikan amat
55
Mukh Nursikin, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan dan Imolementasinya Dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam,Pasca Sarjan Universitas Islam Indonesia, Vol. 01, Nomor 02, Desember 2016,
hlm. 305.
menekankan materi kurikulum pendidikan yang bersifat praktis-pragmatis. Hal ini sejalan
dengan asas kemanfaatan dalam pendidikan Islam. Islam menekankan adanya nilai guna
atau asas kemanfaatan dalam kurikulum pendidikannya. Dalam artian, materi pelajaran
yang diberikan kepada peserta didik harus berupa materi-materi yang bersifat praktis dan
tidak hanya teoritis, agar bisa dimanfaatkan oleh peserta didik dalam praktik
diikuti dalam progresivisme pendidikan Dewey dan pendidikan Islam. Asas kemanfaatan
dalam pendidikan Islam memberi bekal yang berguna bagi kepentingan peserta didik di
dunia dan akhirat. Bedanya, progresivisme pendidikan (Dewey) hanya menekankan pada
aspek tujuan duniawi, sementara pendidikan Islam menekankan aspek keduanya; dunia
dan akhirat. Lebih lanjut, progresivisme pendidikan Dewey menekankan perlunya materi
kurikulum pendidikan yang tidak terlalu padat, karena bisa membuat peserta didik stress
dan tidak enjoy dalam proses belajarnya. Kurikulum pendidikan perlu diusahakan
seminimal mungkin tetapi mendalam dalam proses pembelajarannya. Kalau suatu materi
kurikulum sudah dikuasai oleh peserta didik, maka perlu ditambahkan materi kurikulum
yang lain. Ini juga tidak bertentangan dengan konsep kurikulum pendidikan Islam.
Menurut al-Ghazali, dalam mempelajari suatu ilmu, jangan berpindah dulu ke ilmu lain,
menekankan adanya kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kerja. Dewey
menyatakan bahwa pendidikan adalah kerja, jadi kurikulumnya harus berbasis kebutuhan
kerja. Hal ini agak tidak sejalan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam pendidikan
Islam, kurikulum pendidikannya tidak selalu dirancang untuk memenuhi kebutuhan kerja,
sehingga tidak mesti memberikan materi kurikulum yang berbasis pada kebutuhan kerja.
Meski demikian, bukan berarti pendidikan Islam menolak muatan kurikulum pendidikan
yang berorientasi pada kerja. Akan tetapi, orientasi tersebut bukan menjadi tujuan utama.
Kurikulum pendidikan Islam lebih berorientasi pada kebutuhan penataan moral peserta
didik. Pemenuhan kebutuhan kerja hanya sebagai orientasi kedua setelah pemenuhan
kebutuhan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Abbudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005
Abbudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi
Kurikulum 2004,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses di laman
http://study.com/academy/lesson/john-dewey-on-education-impact-theory.html pada
pada 22 september 2021, pukul 21.48 WIB.
Ag. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, Bagian ke-1, Bandung: ILMU, 1978
Arifin, H.M. FIlsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 8, 2016.
Asy saibani, omar Muhammad Al-Taoumy, langgulung, hasan, Falsafah pendidikan Islam
Jakarta: bulan Bintang 1979
Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta: Stain PO Press,
2010
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Danah Zohar dan Marshall, Spiritual Intellegnce, Great Britain: Bloomsbury, 2000
Djumhur dan H. Danu Saputra, Sejarah Pendidikan, Cet. Ke-7, Bandung: ILMU, 1984
Gutek, Gerald L. 1974. Philosophical Alternative in Education. USA: A Bell & Howell
Company.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Ihsan Hamdani dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2007
Ilun Mualifah, konsep pendidikan partisipatif yang dikaitkan dengan konsep progresivisme
pendidikan John Dewey, Diakses pada tanggal 10 September 2021, pukul 21.00
WIB
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem & Metode, cet. 9 (Yogyakarta: ANDI, 1997).
John Dewey, pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo, (Yogyakarta: Kepel
Press, 2002
M. Athiyah al-Abrasy, Ruh al-Islam (Mesir: Mathba’ah Lajnah al-Bayan al- ’Arabi, 1964
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Yogyakarta: Safiria Insania Press & MSI UII, 2004
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002). Suhartono, Suparlan,
Wawasan Pendidikan, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, tt).
Sama’un Bakry, Menggagas Ilmu Pendidikan Islam Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2005
Tayaf Yusuf, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab Jakarta: Raja
GarafindoPersada, 1995
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra
Umbara, 2003
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tengtang sistem pendidikan
nasional, Bab IX Pasal 35 ayat 1, (Jakarta: Darmabakti, 2003
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bab I pasal
1 Bandung: Fermana, 2006
Zakiyah Daradjat dalam Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 224