Anda di halaman 1dari 119

Ke-NU-an

AHLU SUNNAH WALJAMA`AH AN-


NAHDLIYYAH

KELAS
X

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-ASY’ARIYAH


DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) AL-
ASY’ARIYAH LOSARI
NSS : 32.2.02.17.03.002 NPSN : 69934870
1
KATA PENGANTAR

S
egala Puji Millik Allah SWT, yang atas karunia-Nya buku Aswaja
Ke-NU-an ini selesai dalam waktu singkat. Aswaja atau
Ahlussunah Waljamaah atau Ke-NU-an merupakan mata
pelajaran wajib di sekolah/madrasah yang berhaluan NU. Melalui mata
pelajaran Aswaja, faham Ahlussunah Waljamaah Annahdliyah
diajarkan dan ditumbuhkan dalam diri anak didik. Kader-kader muda
NU atau masyarakat umum yang menimba ilmu di SMK Al-Asy`ariyah
atau sejenisnya memperoleh kesempatan mengenal dan memahami
bagaimana Aswaja diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. melalui
buku ini pula, peserta didik dapat belajar bagaimana NU meletakkan
landasan berinteraksi, berjual-beli, bermasyarakat, berpolitik,
beragama, berbangsa, dan bernegara.
Sejarah membuktikan bahwa Nu dengan Aswaja-nya berhasil
membawa bangsa Indonesia ke peri kehidupan yang damai, adil,
demokratis, dan berkeadilan. Ahlussunah waljamaah memiliki tiga
aspek penting yang menjai dasar berperikehidupan dalam beragama,
berbangsa, dan bernegara, yakni aspek aqidah, syariah atau fiqh, dan
akhlak atau karakter. Dengan ketiga aspek inilah NU memberikan
kontribusinya bagi Indonesia. Warga NU hidup dengan aqidah,
syariah, dan karakter yang khas.
Buku ini merupakan bunga rampai yang ditulis oleh guru- guru
Aswaja. Oleh karena itu, penulis buku ditampilkan pada awal Bab. Hal
ini dimaksudkan agar tingkat kesulitan buku, kedalaman, serta
keterbacaan buku ini lebih mendekati tingkat kemampuan siswa.
Selain itu, sudah saatnya guru Aswaja memperoleh kesempatan untuk
menuangkan pengetahuan dan kemampuan mereka. Hal ini akan
mendorong para guru Aswaja untuk terlibat lebih aktif dalam proses
pembelajaran.
Kelemahan adalah keniscayaan. Oleh karena itu, segala tegur sapa
dan masukan terhadap buku ini akan diterima dengan tangan terbuka
dan akan dijadikan dasar bagi perbaikan edisi kedua. Tegur sapa

2
ilmiah sangat dinantikan dari para Kyai, Nyai, Dosen, sesama Guru
Aswaja, pun dari pembaca umum. Semoga Allah merodloi kita.
Semoga Aswaja, NU semakin jaya. Aaminn

SAMBUTAN KEPALA SEKOLAH


SMK AL-ASY`ARIYAH
Alhamdulillaah wa syukrulillaah alaa ni'matillah... kami
panjatkan syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta'ala atas limpahan
berkah, rahmah, hidayah, maunah, dan inayah-Nya semoga tercurah
melimpah kepada kita semua, aamin.
Buku ke-NU-an (Ahlussunnah Wal Jama'ah An-Nahdliyyah) yang
ada di tangan pembaca ini merupakan buku yang sudah disiapkan
oleh Pengurus Wilayah LP Maarif NU Daerah Istimewa Yogyakarta,
buku ini selanjutnya kita tetapkan sebagai buku yang amat penting
sebagai salah satu referensi wajib bagi guru dan siswa di lingkungan
sekolah-sekolah Ma'arif NU di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara strategis buku ini dirancang mampu memuat tentang nilai
keyakinan, prinsip, karakteristik, dan ajaran aqidah Ahlussunnah Wal
Jama'ah An-Nahdliyyah beserta praktek amaliyah ibadah yang dimiliki
oleh jamaah Nahdlatul Ulama. Dengan demikian buku ini diharapkan
dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada komunitas
masyarakat pendidikan NU khususnya para guru dan siswa sekolah-
sekolah Maarif NU di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam membantu
tentang pemahaman aqidah yang benar sesuai ajaran Rasulullah SAW
yang disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah dengan cara
memberikan motivasi dalam membangun pendidikan yang lebih
berkualitas dan berakhlaq.
Kami selaku Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah
Istimewa Yogyakarta, menyampaikan selamat dan sukses atas
terbitnya buku ini, semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan
keberkahan seluas-luasnya. Semoga Allah Subkhanahu Wata'ala
menerima semua amal baik dan memberikan imbalan pahala yang
melimpah kepada kita semua. Amin ya robbal alamiin…

3
Kepala Sekolah SMK Al-ASY`ARIYAH

Ahmad Hisyam M.Hum

MARS SYUBBANUL
WATHON (Cinta Tanah Air)

‫َيا َل ْل َو َطن َيا َل ْل َو َطن َيا َل ْل َو َطن‬


Yaa Lal Wathon Yaa lal Wathon Yaa lal Wathon

‫حُبُّ ْال َو َطن م َِن اِإْل ْي َمان‬


Hubbul Wathon Minal Iman

‫َواَل َت ُكنْ م َِن ْال ِحرْ َمان‬


Wa Laa Takumminal Khirmaan

‫ِا ْن َهض ُْوا َأهْ َل ْال َو َطن‬


Inhadluu Ahlal Wathon

‫ِإ ْن ُدو َنيْس َيا ِب ْياَل دِي‬


Indunesiya Biilaadii

َ ‫َأ ْن‬
‫ت ُع ْن َوانُ ْال َف َخا َما‬
Anta ‘Unwaanul Fakhoomaa

4
َ ‫ُك ُّل َمنْ َيْأ ِتي‬
‫ْك َي ْو َما‬
Kullu Mayya’tiika Yaumaa

‫َطا ِمحً ا َي ْل َق ِح َما َم‬


Thomikhayyalqo Khimaama

BAB I
AHLU SUNNAH WALJAMA`AH

5
A. PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
Ahlussunnah Waljama’ah atau yang sering disebut Aswaja
merupakan istilah yang terdiri dari tiga kata, yaitu :
1. Ahlu yang berarti keluarga, pengikut, dan penduduk;
2. Al-sunnah yang bermakna jalan atau langkah. Maksudnya
adalah suatu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw;
3. Al-jama’ah yang artinya adalah perkumpulan. Maksudnya
adalah perkumpulan para sahabat Nabi Muhammad saw. Bisa
juga diartikan sebagai kekompakan atau kebersamaan. Kata
Al-jama’ah merupakan kebalikan dari Al-furqoh yang artinya
perpecahan.
Golongan Imam Al-Asy’ari disebut Al-jama’ah dikarenakan
golongan ini konsisten merawat kekompakan atau
kebersamaan. Meskipun terjadi perbedaan pendapat
dikalangan sesama, maka perbedaan tersebut tidak sampai
saling menuduh kafir pada golongan yang berbeda selama
tidak menyentuh masalah tauhid.
Jadi, Aswaja adalah golongan yang memiliki keyakinan kuat
dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. serta para sahabatnya.
Dengan demikian Aswaja merupakan ajaran yang sudah ada sejak
zaman Nabi Muhammad saw. Yakni ajaran Islam yang murni
sebagaimana yang diamalkan Rasulullah dan para sahabatnya. Dilihat
dari kacamata sejarah Islam, ajaran ini muncul sebagai wacana
tandingan terhadap maraknya madzhab Mu’tazilah di dunia Islam
pada abad ke 11 H, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Dalam sebuah hadits Riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat
Abdullah Bin ‘Amru Bin Ash, Nabi Muhammad saw. mengatakan

6
bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan satu
diantaranya yang akan selamat. Saat ditanyakan kepada beliau,
siapakah golongan yang akan selamat itu? Nabi Muhammad saw.
menjawab, “Mereka adalah kelompok yang setia mengamalkan apa
yang aku perbuat saat ini dan para sahabatku”.
Lalu siapakah yang dimaksud dengan golongan yang oleh
Nabi saw. dinyatakan selamat, tidak masuk neraka? Menurut Syihab
Al-Khafaji dalam Kitab Nasamur Riyadl bahwa satu golongan yang
dinyatakan selamat adalah Ahlussunnah Waljama’ah. Kemudian
siapakah Ahlussunnah Waljama’ah itu? Menurut Al-Hasyiyah Asy-
Syanwani, Ahlussunnah Waljama’ah adalah pengikut Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari dan pengikut imam empat madzhab (Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
Menurut Al-Imam Al-‘Alim Al-‘Alamah Al-Sayyid
Muhammad Bin Muhammad Al-Husaini yang dikenal dengan Al-
Syekh Murtadla Al-Zabidi (1732-1790 M.) dalam kitab Al-Ittihaf Al-
Sadat Al-Muttaqin mengomentari kitab Ihya’ ulumuddin karya Imam
Al-Ghazali dalam pasal ke dua dari Muqoddimah Syarah ‘Aqoid
mengatakan bahwa “Jika diucapkan Ahlussunnah Waljama’ah, maka
yang dikehendaki adalah golongan Asya’riyah (pengikut Imam Al-
Asy’ari) dan Al Maturidiyah (pengikut Imam Al-Maturidi)”.
Kemudian Syekh Ahmad Bin Musa Al-Kayali dalam
komentarnya atas kitab Al-Aqoid karangan Al-Imam Najmuddin
Umar Bin Muhammad An-Nasafi menuturkan bahwa “Golongan
pengikut imam Abu Hasan Al-Asy’ari semuanya merupakan
Ahlussunnah Waljama’ah. Jika dikatakan Ahlussunnah Waljama’ah,
maka tidak dapat diartikan selain golongan mereka”.

7
Karena, merekalah yang ditakdirkan oleh Allah sebagai
hujjah atas makhluk-Nya. Mereka pula yang dimaksud dalam sabda
Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah swt. tidak akan
mengumpulkan umatku (para pengikut Al-Asy’ari) dalam kesesatan”.

B. SEJARAH ASWAJA
Perihal pendalaman lebih lanjut mengenai paham Aswaja ini,
pada periode masa lalu tentu sudah melalui pengecekan terhadap
hadits-hadits yang dinilai dapat dipertanggung jawabkan (valid).
Sebab, tidak ada cara lain untuk dapat memperoleh gambaran secara
utuh atas paham keagamaan seperti Islam, melainkan melalui telaah
Al-Qur’an dan hadits secara mendalam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. agama Islam tersebar
luas ke daerah luar semenanjung jazirah Arab. Tidak sedikit bangsa
yang semula asalnya memiliki kepercayaan yang bertentangan
dengan Islam, namun pada akhirnya memeluk agama Islam. Bahkan
diantaranya, ada sebagian golongan yang ingin memasukan
kepercayaan mereka kedalam ajaran agama Islam.
Mulanya, hanya muncul perbedaan pandangan tentang politik
yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman Bin
Affan. Kemudian, pada masa kepemimpinan Khalifah Ali Bib Abi
Thalib, muncul dua ajaran yang bertentangan, yakni aliran Syiah dan
aliran Khawarij. Perbedaan keduanya adalah soal sosok Sayyidina
Ali, kelompok Syiah mendukung dan mengagungkan Sayyidina Ali,
sedangkan kelompok Khawarij membencinya. Kemudian muncul lagi
aliran Murji’ah yang mengambil jalan tengah dan tidak melibatkan
diri dalam perseteruan dua kelompok tadi.

8
Sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, sebagian
sahabat membaiat Ali menjadi Khalifah. Hal ini dikarenakan Ali
adalah salah satu dari enam calon yang ditunjuk oleh Khalifah Umar
sebelum wafat dan memperoleh suara yang sama dengan Utsman.
Sayangnya, orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman
juga ikut berbaiat terhadap kekhalifahan Ali. Hal ini menimbulkan
fitnah di kalangan sebagian sahabat. Apalagi sebagian sahabat
menghendaki para pelaku pembunuhan Khalifah Utsman diadili
dahulu sebelum pembaiatan khalifah yang baru.
Legitimasi kekhalifahan Ali tidak mencapai seratus persen
dari umat Islam saat itu. Hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak menginginkan persatuan umat Islam untuk memecah belah
umat hingga terjadi Perang Jamal (perang unta). Parang Jamal adalah
perang antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah dengan
Sayyidatina Aisyah ummul mukminin radliyallahu ‘anha. Perang ini
terjadi karena adanya perbedaan pendapat perihal penyelesaian kasus
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan dan juga adanya fitnah keji
yang dilancarkan oleh provakator sehingga perang ini tidak dapat
terelakkan yang mengakibatkan korban jiwa cukup banyak. Disebut
dengan perang Jamal karena Aisyah mengendarai unta.
Selain perang Jamal, ada pula Perang Siffin. Perang Siffin
adalah perang antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan
Mu’awiyyah. Dalam Perang Siffin tersebut pasukan Ali hampir
memenangkan peperangan. Akan tetapi, atas ide Amr bin Ash,
pasukan Mu’awiyah kemudian mengajak melakukan tahkim (damai)
dengan mengangkat mushaf. Atas desakan para qurra’ (orang-orang
ahli Al-Qur’an), Khalifah Ali menyetujui tahkim tersebut. Lalu
dilakukanlah pembicaraan oleh kedua pihak. Pihak Mu’awiyah

9
diwakili oleh Amr bin Ash sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu
Musa Al-Asy’ari.
Hasil dari pembicaraan dari kedua kubu tersebut adalah
peletakan jabatan dari masing-masing pihak, baik Ali maupun
Mu’awiyah. Keduanya pun sepakat untuk mengumumkan hasil
pembicaraan tersebut kepada publik. Amr bin Ash mempersilakan
Abu Musa Al- Asy’ari untuk berbicara terlebih dahulu dengan alasan,
Abu Musa Al- Asy’ari lebih tua darinya. Sebagai seorang yang
bertakwa dan konsisten terhadap perjanjian, Abu Musa
mengumumkan peletakan kedudukan Khalifah yang dipegang oleh
Ali. Ketika Amr bin Ash mendapat giliran untuk mengumumkan
hasil pembicaraan, ternyata ia mengatakan yang berbeda dari
kesepakatan. Karena Ali meletakkan jabatan, maka Muawiyahlah
yang naik jabatan. Tentu hal ini sangat merugikan pihak Ali. Ali pun
enggan melepaskan kedudukannya hingga terbunuh.
Tahkim Shiffin ini menimbulkan kekecewaan besar di pihak
Ali. Bahkan sebagian pengikut Ali keluar dari barisan Ali. Merekalah
yang disebut Khawarij. Menurut Khawarij, baik Muawiyah maupun
Ali keduanya bersalah. Muawiyah dianggap merampas kedudukan
Khalifah yang dimiliki Ali sedangkan Ali bersalah karena menyetujui
tahkim padahal dia di pihak yang benar. Golongan yang kedua adalah
golongan Syi’ah. Golongan syi’ah adalah golongan pendukung Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pemikiran aliran
muncul di tengah-tengah umat Islam. Seperti Jabariyah, Qodariyah
dan Mu’tazilah. Dari ketiga aliran tersebut, aliran Mu’tazilah
merupakan golongan yang paling memiliki pengaruh kuat, sebab
paham ini mendapatkan dukungan penuh dari Khalifah Al-Makmun
dari dinasti Abbasiyah. Bahkan, paham ini digunakan sebagai

10
ideologi negara, hal ini berdampak bagi umat Islam yang dipaksa
harus mengikuti paham tersebut.
Pada saat itulah, hadir dua sosok ulama agung yang mampu
mengembalikan umat Islam menuju ajaran yang benar sesuai dengan
ajaran Nabi Muhammad saw, sahabat dan para tabi’in. Beliau adalah
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit
ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu
dalam membendung kuatnya gerakan hegemoni Mu’tazilah yang
dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya. Dari kedua
pemikir ini selanjutnya lahir kecenderungan baru yang mewarnai
pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal itu menjadi mainstream
(arus utama) pemikiran-pemikiran di dunia Islam yang kemudian
mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan yang
sering dinisbatkan pada sebutan Ahlussunnah Waljama’ah yang
kemudian populer dengan sebutan Aswaja. Hal ini bukan berarti
Ahlussunnah Waljama’ah baru ada sesudah Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi. Pada hakikatnya Ahlussunnah
Waljama’ah sudah ada sebelumnya. Terbukti golongan ini dalam hal
fikih berkiblat kepada salah satu dari keempat imam madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
Pada dasarnya, ajaran Rasulullah saw. telah tertuang didalam
kitab suci Al-Qur’an dan hadits Nabi. Akan tetapi, masih belum
tertata rapih dan tidak beraturan. Kemudian oleh dua ulama tersebut,
ajaran Nabi dikumpulkan secara rapih lalu merumuskan aqoid (ajaran
tauhid) yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, hadits, ijma’
(kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).

11
Untuk mengetahui secara mudah tentang Ahlussunnah
Waljama’ah masa kini, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari
mengatakan pada saat sambutan pembukaan deklarasi berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU), bahwa “Ciri khas Ahlussunnah Waljama’ah
adalah mereka yang di bidang fikih mengikuti paham Imam Abu
Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Muhammad Bin Idris (Imam
Syafi’i) atau Imam Ahmad Bin Hanbal. Dan di bidang tasawuf
mengikuti ajaran Syekh Junaid Al-Baghdady dan Imam Ghozali. Dan
dalam bidang tauhid mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari atau
Imam Abu Manshur Al-Maturidi”.

C. CIRI-CIRI AKIDAH ASWAJA


Paham akidah Ahlussunnah Waljama’ah memiliki corak
tertentu yang membedakan dengan paham lainnya. Aswaja memiliki
ajaran akidah yang moderat. Artinya tengah-tengah, tidak terlalu
ekstrim ke kanan seperti paham Jabariyah dan tidak terlalu ekstrim ke
kiri seperti Qodariyah. Dibawah ini, disebutkan beberapa ciri-ciri
akidah Aswaja, diantaranya adalah:
1. Aswaja mengakui bahwa perbuatan manusia itu diciptakan
oleh Tuhan, namun manusia memiliki peran juga dalam
perbuatannya yang disebut dengan kasb. Sementara, golongan
Jabariyah menganggap bahwa semua perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sama
sekali dalam perbuatannya. Sebaliknya golongan Qodariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh
dirinya sendiri. Tuhan tidak turut campur dalam perbuatan
manusia.

12
2. Paham Aswaja sangat berhati-hati soal vonis kafir atau
munafik pada golongan atau seorang mukmin yang
melakukan dosa atau yang tidak sepaham. Mukmin yang
berdosa, kelak di akhirat akan di hukum sesuai dengan dosa
yang diperbuat saat masih hidup. Golongan manapun tidak
berhak menuduh kafir terhadap golongan lain yang berbeda
pandangan. Karena hal semacam itu ranah Tuhan bukan
urusan manusia. Tuduhan kafir kepada sesama mukmin
adalah hal yang sejak dulu sudah ada. Nabi dan ulama salaf
mewanti-wanti agar tidak menganggap remeh persoalan ini.
Rasulullah saw. bersabda:
‫ "يَا َكافِرُ" فَقَ ْد بَا َء بِهَا َأ َح ُدهُ َما‬: ‫ال ال َّر ُج ُل َأِل ِخ ْي ِه‬
َ َ‫ِإ َذا ق‬
Artinya: Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya,
“Wahai kafir”, maka salah satu diantara keduanya telah menjadi
kafir.
3. Aswaja berpendapat bahwa kelak di surga orang mukmin bisa
melihat Allah, sedangkan di dunia manusia tidak bisa melihat
Allah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang
menyatakan orang mukmin tidak bisa melihat Allah di dunia
maupun di akhirat.
4. Aswaja meyakini bahwa Allah swt. itu wujud (ada) tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Allah swt. berfirman:
ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ٖه َش ْي ٌء َۚوهُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْالب‬
‫ص ْي ُر‬ َ ‫لَي‬
Artinya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Rasulullah saw. bersabda:

13
َ‫ َكان‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هَّللا‬:‫ال‬َ َ‫ص ْي ٍن ق‬َ ‫ع َْن ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح‬
ِ ‫ َر َواهُ ْالبُخ‬.ُ‫هَّللا ُ َولَ ْم يَ ُك ْن َش ْي ٌء َغ ْي َره‬
ُّ‫َاري‬
Artinya: Imran Bin Hushain berkata: “Rasulullah saw.
bersabda: Allah swt. sudah wujud pada azali (keberadaan tanpa
permulaan) dan belum ada sesuatu apapun selain-Nya”.
Maksudnya adalah, Allah swt. tidaklah menyerupai dengan
makhluk-Nya yang harus terikat oleh ruang dan waktu.
5. Mengenai Al-Qur’an, Aswaja berpendapat bahwa Al-Qur’an
itu adalah kalamullah dan bukan makhluk. Berbeda dengan
pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu
adalah makhluk.

D. PRINSIP-PRINSIP ASWAJA
Paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat prinsip,
yaitu tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (tegak), tawazun (seimbang)
dan Tasamuh (toleran).
Adapun Ahlussunnah Waljama’ah, dalam keyakinan memiliki
prinsip dasar sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadits, yakni
sebagaimana berikut:
1. Tauhid
Tauhid adalah mempercayai bahwa Allah swt. esa dalam
dzat-Nya, tidak ada sekutu, maha tunggal, tidak ada yang
menyerupai, dibutuhkan oleh semua makhluk, tidak ada yang
bisa melawan kehendakNya, dahulu tanpa permulaan, wujud
sebelum wujudnya alam semesta, wujud tanpa batas akhir,
abadi tanpa hilang, berdiri sendiri, selalu memiliki sifat
kesempurnaan dan keagungan, tidak pernah sirna, maha awal
dan maha akhir, maha mengetahui segala sesuatu apapun.

14
2. Kesucian Allah swt.
Meyakini bahwa Allah swt. adalah dzat yang suci. Artinya,
Allah swt. merupakan dzat yang bersih dari sifat kurang, tidak
berupa jisim, tidak terbatas oleh dimensi ruang dan waktu,
tidak serupa dengan ciptaan-Nya dan tidak ada yang
menyerupai, bukan merupakan sifat, tidak berubah, dan kelak
di surga dapat dilihat dengan mata oleh orang-orang mukmin.
3. Sifat-sifat Allah swt.
Ahlussunnah Waljama’ah memiliki keyakinan bahwa Allah
swt. mempunyai sifat-sifat yang tidak menyerupai dengan makhluk-
Nya. Iman kepada Allah swt. artinya meyakini bahwa Allah swt.
adalah dzat yang memiliki sifat-sifat sempurna dan disucikan dari
segala macam sifat kurang.

LATIHAN SOAL:

1. Apa pengertian dari Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)?


2. Jelaskan perbedaan paham Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah!
3. Jelaskan ciri khas Aswaja Menurut Hadratus Syekh KH.
Hasyim Asy’ari!
4. Jelaskan prinsip dasar Aswaja terhadap persoalan Tauhid!
5. Bagaimana pendapat paham Jabariyah tentang perbuatan
manusia?Jelaskan!
6. Sebutkan dalil Qur’an yang mengatakan bahwa Allah wujud!
7. Apa perbedaan keyakinan Aswaja dan Mu’tazilah tentang Al-
Qur’an?
8. Jelaskan terjadinya perang Siffin!

15
9. Siapakah yang mewakili Sayyidina Ali saat tahkim (damai)
perang siffin?
10. Bagaimanakah keyakinan Aswaja perihal melihat Allah?

16
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA ASWAJA

A. Sejarah NU
Nahdlatul Ulama atau yang biasa dikenal dengan sebutan NU,

merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berlandaskan

ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Sekaligus sebagai organisasi

17
kemasyarakatan yang lebih dikenal dengan istilah jam’iyah, yang

memiliki prinsip moderat (tawassuth) terhadap adat istiadat dengan

toleransinya terhadap masyarakat dan selalu teguh memegang prinsip

Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama menjadi salah satu organisasi

sosial keagamaan di Indonesia yang faktor pembentukannya

merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren dalam

melawan kolonialisme di Indonesia, sekaligus sebagai wadah untuk

memperjuangkan dan meyebarkan wawasan teologi yang diyakini,

yakni ajaran Ahlussunnah Waljama’ah.

Kalangan ulama pesantren yang selama ini gigih melawan

kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan

membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan

(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918

didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri

(Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik

dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut

Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk

memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar

itu, maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi juga

menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan

memiliki cabang di beberapa kota. Sebagai komite dan berbagai

18
organisasi yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu

untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih

sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah

berkordinasi dengan berbagai kiai dan mengadakan rapat di

Kertopaten, Surabaya, muncul nama Nahdlatul Ulama. Nama tersebut

pertama kali diusulkan oleh KH. Mas Alwi Bin Abdul Aziz. Usulan

tersebut pernah disampaikan oleh KH. Abdul Hamid pengasuh

Pondok Pesantren Sedayu, Gresik, dengan nama Nuhudhul Ulama,

namun nama tersebut dirasa kurang pas dan pada akhirnya muncul

kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul

Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926

M. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais

Akbar.

Nahdlatul Ulama merupakan gabungan dari dua kata bahasa

arab, yaitu nahdlah dan ulama. Nahdlah artinya kebangkitan,

sedangkam ulama bararti pewaris ilmu para Nabi. Jadi, Nahdlatul

Ulama adalah kebangkitan orang-orang yang mewarisi ilmu para

Nabi.

Menurut KH. Abdurrohman Wahid atau yang akrab disapa

Gusdur, istilah nahdlah terinspirasi dari pesan Syekh Ibn Atha’illah

As-Sakandari dalam karyanya Syarh Al-Hikam:

19
ُ‫ك َعلَى هَّللا ِ َمقَالُه‬
َ ُّ‫اَل تَصْ َحبْ َم ْن اَل يُ ْن ِهضُكَ َحالُهُ َواَل يَدُل‬

Artinya: Jangan engkau jadikan teman, orang yang tingkah

dan ucapannya tidak membangkitkan dan menunjukkan kepada Allah

swt.

Sedangkan kata ulama diambil dari firman Allah swt:

‫اِنَّ َما يَ ْخ َشى هّٰللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَمٰۤ ُؤا‬

Artinya: Sesungguhnya, yang takut kepada Allah diantara

hambanya-Nya hanyalah ulama. (QS. Fathir:28)

A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA NU

Berdirinya NU dilatar belakangi oleh perkembangan

pemikirin ideologi agama dan sosial politik yeng terjadi pada saat itu.

Pada tahun 1924, Syarif Husain, Raja Hijaz (Mekkah Al-

Mukarromah) yang berpaham Ahlussunnah Waljama’ah ditaklukkan

oleh Abdul Aziz Bin Saud yang berpaham Wahabiyah. Sebagaimana

diketahui, bahwa konsep yang diajarkan oleh wahabi sebagian besar

berhenti pada gaya berfikir Ibnu Taimiyah dan Muhammad Bin

Abdul Wahhab yang mengaku hanya kelompok merekalah yang

benar. Sedangkan kelompok yang tidak satu paham dengan

pemikiran mereka dianggap salah dan sesat. Bahkan, pengikutnya

20
sampai terlalu mudah memvonis kafir terhadap sesama muslim yang

berbeda pemikiran dengan mereka.

Kemudian, muncul kabar bahwa pemimpin Abdul Aziz Bin

Saud selaku pemimpin baru tanah Hijaz akan melarang segala bentuk

ritual yang biasa dilakukan oleh pengikut Ahlussunnah Waljama’ah.

Padahal, ritual pengikut Aswaja sudah berlangsung sejak berabad-

abad yang lalu. Dan semua itu akan digantikan dengan model ritual

ibadah berpaham wahabi. Tradisi-tradisi yang sudah mengakar kuat

dikalangan umat Islam dan ritual-ritual ibadah yang sesuai dengan

ajaran Nabi akan dihilangkan oleh paham wahabi. Diantanya ritual

ibadah maulidan, tahlilan, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.

Kontan saja, hal itu menuai protes keras dari berbagai kalangan yang

berpaham Aswaja seluruh dunia. Bahkan, Raja Abdul Aziz Bin Saud

juga bermaksud memperluas pengaruhnya hingga ke seluruh penjuru

dunia dengan tipu dayanya demi kajayaan Islam, ia berencana

melanjutkan estafet kekhalifahan Turki yang terputus setelah

runtuhnya Daulah Islamiyah. Demi melancarkan dan mensukseskan

misi tersebut, ia mengadakan sebuah agenda Muktamar Khilafah di

kota suci Mekkah. Seluruh negara Islam di dunia akan diundang

untuk ikut serta menghadiri acara Muktamar tersebut, termasuk

negara Indonesia.

21
Delegasi dari Indonesia yang direkomendasikan untuk

menghadiri acara Muktamar tersebut mulanya adalah KH. Abdul

Wahab Hasbullah mewakili dari kalangan pesantren, KH. Mas

Manshur mewakili Muhammadiyah dan HOS Cokroaminoto

mewakili SI (Serikat Islam). Akan tetapi, nama KH. Abdul Wahab

Hasbullah dicoret dari daftar delegasi yang akan berangkat,

dikarenakan ada oknum tertentu yang bermain curang sehingga KH.

Abdul Wahhab Hasbullah tidak jadi berangkat dengan alasan tidak

mewakili organisasi resmi.

Dari peristiwa tersebutlah, akhirnya para ulama pengasuh

pondok pesantren tersadarkan akan pentingnya organisasi sebagai

wadah untuk memperjuangkan ajaran Aswaja. Dari kejadian itu pula,

para ulama merasa sakit hati dan kecewa berat karena tidak ada yang

bisa menyampaikan pandangannya terhadap rencana Raja Abdul

Aziz Bin Saud yang akan merubah total model beragama di Mekkah.

Para ulama Indonesia tidak bisa menerima kebijakan Raja Saud yang

anti kebebasan bermadzhab, anti tahlil, anti tawassul, anti maulidan,

anti ziarah kubur dan lain-lain. Lebih dari itu, Raja Saud memiliki

rencana untuk membongkar makam Nabi Muhammad saw.

Menurut para kiai pesantren, pembaharuan merupakan

keniscayaan dan keharusan, namun tidak dengan cara menghilangkan

22
prinsip bermadzhab. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak

mempermasalahkan dan bisa menerima kaum modernis menghimbau

umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang murni, akan tetapi

beliau tidak bisa menerima jika sampai meninggalkan prinsip

bermadzhab. Disamping itu, dikarenakan rencana pembaharuan

dilakukan dengan cara yang tidak baik seperti halnya melecehkan,

membodoh-bodohkan, merendahkan bahkan mengkafirkan sesama

umat muslim, maka para ulama pesantren menolaknya dengan keras.

Pembaharuan tetap dibutuhkan namun dengan cara yang bijak, tidak

meninggalkan khazanah keilmuan yang masih relevan.

Dari peristiwa tersebut, akhirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama

dibentuk. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur adalah pendiri Nahdlatul

Ulama, sedangkan KH. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok

Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur

bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak NU. Beliau

merupakan murid utama Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, beliua

juga merupakan sosok ulama yang alim, enerjik, lincah, cekatan dan

memiliki banyak gagasan serta berwawasan luas.

Nahdlatul Ulama berdiri dari munculnya Komite Hijaz yang

diprakarsai oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah setelah mendapatkan

23
restu dari KH. Hasyim Asy’ari. Komite ini memilik misi, yakni

menggagalkan tujuan dari Raja Saud yang ingin menghilangkan cara

bermadzhab di Tanah Suci. Komite Hijaz dibentuk untuk menghadap

Raja Saud secara langsung untuk menyampaikan keberatan atas

kebijakan yang telah dibuat oleh pimpinan tanah Hijaz tersebut.

Awalnya, delegasi para ulama adalah KH. Asnawi dari Kudus, akan

tetapi karena Kiai Asnawi ketinggalan kapal, akhirnya beliau tidak

jadi berangkat. Kemudian usulan keberatan tersebut tetap dikirimkan

lewat telegram. Namun, karena telegram itu tidak kunjung dibalas,

akhirnya berangkatlah KH. Wahab Hasbullah bersama Syekh

Ghana’im (Warga negara Mesir yang di kemudian hari di angkat

menjadi salah satu anggota Mustasyar NU pada periode awal) dan

KH. Dahlan Abdul Qahhar (Pelajar Indonesia yang sedang studi di

Mekkah) sebagai utusan para ulama Indonesia.

Berikut ini adalah surat balasan dari Raja Abdul Aziz Bin

Abdurrahman pada tanggal 4 Dzulhijjah 1346 H.

Dari Abdul Aziz Bin Abdurrahman, keluarga Faishal, kepada

segenap pemuka Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Jawa, Syekh Hasyim

Asy’ari dan sekretarisnya, As Syekh Alwi Bin Abdul Aziz, semoga

Allah swt. menjaga mereka. Setelah kalian menuliskan surat yang

ditandai pada tanggal 15 Syawal 1346 H. apa yang tertulis

24
didalamnya sudah kami baca, khususnya tentang keprihatinan kalian

terhadap kondisi penganut Islam. Sedang utusan yang kalian

kirimkan, KH. Abdul Wahab, sebagai sekretaris satu Jam’iyyah

Nahdlatul Ulama dan sebagai Mustasyar As Syekh Ahmad Ghana’im

Al Mishri, mereka sudah bertatap muka dengan kami.

Sesuai dengan ketentuan tanah Hijaz, hal di atas berkaitan erat

dengan hukum kenegaraan untuk memberikan kenyamanan bagi

setiap orang yang sedang melakukan ritual haji di Baitullah dan tidak

mencegah setiap orang yang mengerjakan kebaikan yang sesuai

dengan tuntunan Syariat.

Sedang terkait dengan kebebasan setiap orang untuk memilih

madzhab yang ia condongi, alhamdulillah, semua orang Islam bebas

untuk beribadah semaunya, kecuali untuk hal-hal yang diharamkan

oleh Allah swt. dan tidak ada yang menghalalkan ritualnya dari Al-

Qur’an, hadits, madzhab ulama terdahulu, atau salah satu dari

madzhab empat. Ritual yang sesuai dengan ketentuan di atas tidak

akan kami usik dan akan kami beri kebebasan. Namun untuk kegiatan

yang bertentangan dengan syariat Allah swt., maka tiada ketaatan

pada makhluk dalam durhaka kepada Allah swt. Dan hakikat yang

kami tetapkan adalah mengajak seseorang untuk mengikuti apa yang

ada ada didalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. dan

25
alhamdulillah, kami sudah berada di jalur ulama terdahulu, yang

awalnya adalah sahabat Rasulullah dan akhirnya adalah ulama

madzhab empat.

Hanya kepada Allah kami meminta petunjuk agar kita

sekalian diberi petunjuk kejalan kebaikan, kebenaran dan akhir yang

baik. Inilah yang wajib kami jelaskan. Semoga kalian mendapatkan

perlindungan dari Allah swt. Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa

Barakatuh

Pada akhirnya Raja Abdul Aziz bin Saud menjamin

kebebasan beramal dengan keberagaman sesuai dengan hasil ijtihad

para ulama madzhab empat. Dan rencana penggusuran makam

Rasulullah saw. dan para sahabat Nabi yang sebelumnya sudah

diagendakan akhirnya dibatalkan.

Setelah tiba di Indonesia, KH. Abdul Wahab Hasbullah

bermaksud untuk membubarkan Komite Hijaz, dengan alasan tugas

yang diamanatkan sudah selesai, namun keinginan tersebut ditolak

oleh KH. Hasyim Asy’ari, karena beliau punya alasan lain. Komite

Hijaz itu tetap diteruskan, akan tetapi dalam bentuk yang berbeda,

yakni dengan format organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul

Ulama, sebagaimana petunjuk yang didapat oleh Syaikhona Kholil

26
Bangkalan Madura. Ketika KH. Abdul Wahab Hasbullah

mengumpulkan para ulama di Surabaya, ternyata intelijen Belanda

telah mencium gelagat akan adanya pergerakan besar-besaran yang

dilakukan oleh para ulama Indonesia. Pergerakan tersebut diyakini

oleh Belanda bisa mengganggu sekaligus mengancam kekuasaan

mereka. Oleh sebab itu pemerintahan Belanda tidak setuju dengan

agenda yang direncanakan Kiai Wahab.

Karena agenda pertemuan tersebut dirasa sangat penting,

maka para kiai pun tidak kehabisan cara untuk mengelabui Belanda

agar pertemuan tetap bisa dilaksanakan. Dengan alasan akan

melakukan tahlilan untuk memperingati haul Syaikhona Kholil

Bangkalan, para ulama berkumpul di kediaman KH. Ridwan

Abdullah di Jl. Bubutan VI Surabaya. Para hadirin yang datang

membaca tahlil diluar rumah, sedangkan para kiai yang ada di dalam

rumah menggelar pertemuan membahas pembentukan Jam’iyah

Nahdlatul Ulama. Setelah tahlilan selesai, tepatnya pada 16 Rajab

1344 H. atau bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. lahirlah

sebuah organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama.

Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk

melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam

aswaja dengan menganut salah satu Madzhab empat (Hanafi, Maliki,

27
Syafi’i dan Hanbali). Bahkan dalam Anggaran Dasar Pertama tahun

1927, dinyatakan bahwa organisasi tersebut untuk memperkuat

kesetiaan umat Islam pada salah satu Madzhab empat.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat itu antara lain:

1. Memperkuat persatuan ulama yang masih setia kepada

madzhab empat;

2. Memberi bimbingan tentang jenis kitab yang diajarkan pada

Lembaga Pendidikan Islam;

3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan

madzhab empat;

4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki

organisasinya;

5. Membantu pembangunan masjid, musholla, dan pondok

pesantren;

6. Membantu anak yatim piatu dan fakir miskin.

Dalam pasal 3 statuen perkumpulan NU tahun 1933

disebutkan, “Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang

bermadzhab, memeriksa kitab-kitab, apakah itu dari kitab Aswaja

atau kitab-kitab ahli bid’ah, menyiarkan agama Islam dengan cara

apa saja yang halal, beikhtiar, memperbanyak madrasah, masjid,

28
surau, dan pondok pesantren. Begitu juga dengan kondisi anak yatim

piatu dan orang fakir miskin, serta memajukan urusan pertanian,

perniagaan yang tidak dilarang oleh syariat agama”.

Sejak didirikannya, NU menegaskan dirinya sebagai

organisasi keagamaan (Jam’iyah Diniyah). Lebih dari itu, NU

menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyah

Diniyah Al-Islamiyah). Bukan hanya organisasi yang didirikan oleh

para pemeluk Islam untuk memperbaiki kedudukannya pada bidang

tertentu, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. NU

didirikan untuk meningkatkan kualitas pribadi muslim yang mampu

menyesuaikan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta

mengembangkannya. Sehingga, terwujudlah peranan agama Islam

dan para pemeluknya sebagai rahmat alam semesta.

Sebagai organisasi keagamaan, NU memiliki wawasan-

wawasan tersendiri dalam memahami, menghayati, mengamalkan,

dan cara menempatkan diri sebagai pemeluk agama:

1. Agama sebagai wahyu Allah swt. harus ditempatkan pada

kedudukan paling tinggi dan dijaga keluhurannya dengan

mengamalkan yang sesuai dengan kehendak Allah;

2. Agama Islam sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah swt.

kepada Rasulullah saw. harus dipahami, dihayati, dan

29
diamalkan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh

beliau;

3. Al-Qur’an dan As-sunnnah sebagai sumber ajaran Islam harus

dipelajari melalui jalur yang dapat dipertanggungjawabkan

kemurniannya, yaitu melalui jalur khulafa al-rashidin dan

generasi sesudahnya;

4. Al-Qur’an dan As-sunnah harus dipahami dengan:

a. Cara yang dapat dipertanggungjawabkan kekuatannya,

diukur dengan prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri, dan

dengan logika yang benar;

b. Dengan bekal perbendaraan ilmu yang cukup, jumlah,

dan jenisnya;

c. Dengan landasan akhlak dan niat semata-mata mencari

kebenaran dari Allah swt. dan yang diridoi oleh-Nya;

5. Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat, dan sarananya,

tersedia cara untuk dapat memahami Al-Qur’an dan As-

sunnah, yaitu dengan mengikuti pendapat hasil daya pikir

tokoh-tokoh agama yang dapat dipertanggungjawabkan

kemampuannya.

Dikalangan NU, sudah lama terdapat kesamaan wawasan

keagamaan yang sudah melembaga dan membudaya sehingga

30
merupakan rangkaian karakter. Bahkan, kesamaan wawasan ini

merupakan warisan ulama pendahulunya sejak beberapa abad yang

lalu. Wawasan yang sudah membudaya ini dituangkan kedalam tubuh

NU untuk dipelihara, dikembangkan, dan diamalkan. Inilah yang

menjadi kekuatan yang paling utama bagi NU yang mengguncangkan

sejarah. Wawasan ini disebut Khitthah Nahdliyyah (garis-garis NU).

Corak keagamaan didalam tubuh NU memiliki ciri-ciri

tertentu, hal tersebut tercermin pada beberapa hal, diantaranya:

1. Didirikan karena motif agama, bukan dibentuk berdasarkan

unsur politik, ekonomi, atau lainnya;

2. Berlandaskan keagamaan, sehingga segala sikap, tingkah

laku, dan watak perjuangannya sesuai dengan tuntunan Islam;

3. Bercita-cita memuliakan Islam dan semua pemeluknya

menuju rahmatan lil ‘alamin;

4. Kegiatannya fokus pada bidang keagamaan, seperti masalah

ubudiyah, dakwah, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan

dibidang lain sekedar dukungan dan syarat perjuangan

keagamaan.

Konsep dakwah yang diterapkan NU lebih banyak mengikuti

model dakwah Walisongo, yakni menyesuaikan dengan budaya

masyarakat setempat dan tidak menggunakan model kekerasan.

31
Budaya yang berasal dari suatu daerah ketika agama Islam belum

masuk, apabila tidak bertentangan dengan Islam, maka boleh

diteruskan dan dilestarikan. Sedangkan, budaya yang bertentangan

dengan Islam, maka harus ditinggalkan.

Secara garis besar, konsep pendekatan dakwah NU kepada

masyarakat ada tiga jenis:

1. Tawassuth dan I’tidal, adalah sikap moderat, lunak yang

berpijak pada prinsip keadilan, serta berusaha menghindari

segala bentuk kekerasan atau radikalisme;

2. Tasamuh, merupakan sikap toleran yang intinya saling

menghargai terhadap perbedaan pendapat dan keberagaman

identitas budaya masyarakat;

3. Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi

terwujudnya keserasian hubungan antar manusia dengan

Allah swt.

Karena konsep dakwah NU sejalan dengan model dakwah

Walisongo, NU masyhur sebagai organisasi pelopor Islam yang

moderat. Kehadiran NU bisa diterima oleh semua kalangan

masyarakat. Bahkan, NU berperan sangat penting sebagai garda

terdepan membela bangsa dan tanah air.

32
B. SEJARAH PERJUANGAN NU

NU didirikan di Surabaya pada tahun 1344 H/1926 M. atas

nama perkumpulan para ulama pada masa itu. Perjuangan NU fokus

pada penguatan paham Aswaja terhadap serangan aliran yang

menyimpang. Diantara program kerja NU adalah menyeleksi kitab-

kitab yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.

Disamping itu, juga melakukan penguatan persatuan diantara para

kyai dan pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1937 M, empat orang tokoh pergerakan Islam

berkumpul di Surabaya untuk mendirikan organisasi Islam. Mereka

adalah KH. Wahab Hasbullah dan KH. Dahlan Ahyad (keduanya

merupakan delegasi NU), KH. Mas Manshur (delegasi

Muhammadiyah), serta Wondoawisono (delegasi Sarikat Islam).

Dalam pertemuan itu, mereka mendirikan Majlis Islam Ala Indonesia

(MIAI). Dibentuknya MIAI bertujuan untuk mengkordinasikan

berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam di Indonesia dalam

menghadapi politik Belanda seperti wajib militer bagi umat Islam dan

menolak undang-undang perkawinan yang di anggap bertentangan

dengan syariat Islam.

Dalam perjalanan selanjutnya, KH. Abdul Wahid Hasyim

terpilih sebagai ketua dewan MIAI, jabatan tertinggi dalam organisasi

33
itu. Ketika putra KH. Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri,

posisinya digantikan oleh KH. Dahlan Ahyad yang juga tokoh NU.

Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin yang menjabat

ketua komisi pemberantas penghinaan Islam dan KH. Mahfudz

Shiddik dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Namun, ketika Jepang

datang pada bulan Maret 1942 M, semua oraganisasi sosial

kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan,

termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. Hasyim

Asy’ari dan ketua umum PBNU KH. Mahfudz Shiddik ditahan oleh

Jepang. Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan

kiai NU difokuskan melalui jalur diplomasi. KH. Wahid Hasyim dan

beberapa kiai lain masuk parlemen buatan Jepang yang bernama

Chuo Shangi-in. Lewat parlemen itu pula KH. Wahid Hasyim

meminta agar pemerintahan Jepang mengijinkan NU dan

Muhammadiyah diaktifkan kembali. Permintaan baru dikabulkan

pada September 1943 M, sehingga NU dan Muhammadiyah kembali

bisa bergerak seperti masa penjajahan Belanda. Perjuangan diplomasi

terus ditingkatkan. Hasilnya pada akhir Oktober 1943 M, berdirilah

Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai wadah

perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang dipimpin oleh KH.

Hasyim Asy’ari. Sedangkan, KH. Wahid Hasyim sebagai wakilnya.

34
Ketika pemerintah Jepang meminta pemuda Islam bergabung

mejadi prajutit pembantu tantara Jepang (Heiho), KH. Wahid Hasyim

atas nama pemimpin Masyumi justru meminta agar Jepang melatih

kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan terpisah. Pada 14

Oktober 1944 M, permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya

Hizbullah. Para santri menjadi prajurit, para putra kiai menjadi

komandannya, sedangkan para kiai menjadi penasehat spiritual

sekaligus penentu kebijakan.

Sementara itu, dibidang politik, selain aktif dalam pucuk

kepemimpinan Masyumi, KH. Wahid Hasyim juga duduk sebagai

pemimpin tertinggi Shumubu (Departemen Agama) menggantikan

KH. Hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.

Selain itu, KH. Wahid Hasyim duduk sebagi salah seorang anggota

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 M, bersama

KH. Wahab Hasbullah, KH. Masjkur, dan KH. Zainul Arifin.

KH. Wahid Hasyim juga bergabung sebagai anggota Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau juga termasuk

salah satu perumus dasar negara dan turut serta dalam penanda

tanganan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) bersama delapan orang

lainnya.

35
Disaat datang lagi bersama negara sekutu, Belanda

mengancam agar para pejuang Indonesia menyerah dan mencoba

merebut kembali kekuasannya. Didorong semangat jihad yang

digelorakan oleh KH. Hasyim Asy’ari, NU mengeluarkan fatwa jihad

pada tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa itu dikenal dengan Resolusi

Jihad NU. Fatwa itu mampu membakar semangat para pejuang kaum

muslimin utamanya para kiai pesantren dan santri-santri. Mereka

tidak gentar menghadapi kematian karena perang itu disebut dengan

perang fi sabilillah (perang untuk menegakkan agama Allah swt.).

Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang

NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan

menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad.

Resolusi Jihad punya dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-

hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan santri dan jamaah

NU untuk ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945.

Hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari

laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November

1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika

tentara sekutu juga mendarat di ibu kota Jawa Tengah it u. Dari

peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh,

Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan sekutu.

36
Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar

ke daerah Parakan, Temanggung. Dengan niat jihad fi sabilillah

untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan

ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah

dari daearah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari

seluruh daerah Kedu (Magelang, Temanggung, Wonosobo,

Purworejo dan Kebumen). Setelah berhasil bergabung dengan ribuan

tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya,

Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka

terlebih dahulu mampir ke daerah Kawedanan Parakan guna mengisi

dan memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari

seorang ulama tersohor di daerah Parakan, yaitu Kiai Subchi.

Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari

melalui Resolusi Jihad NU serta kesadaran agar terlepas dari

belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di

Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan

tantara Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan

bambu runcingnya dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ oleh doa

Kiai Subchi yang disepuhkan ke bambu runcing. Yang kemudian

beliau di kenal dengan sebutan “Kiai Bambu Runcing”.

37
Inilah isi dari keputusan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.

RESOLUSI NU Tentang Djihad fi Sabilillah

Bismillahirrochmanir Rochim

Resolusi:

Rapat besar wakil-wakil Daerah (konsul 2) perhimpunan

NAHDLATOEL OELAMA seluruh Djawa-Madura pada tanggal 21-

22 Oktober 1945 di SURABAYA.

Mendengar:

Bahwa ditiap-tiap daerah diseluruh Djawa-Madura ternyata

betapa besarnya Hasrat Umat Islam dan Alim Oelama di tempatnya

masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA,

KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang:

a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan

Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama

Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap

orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negara adalah besar

terdiri dari Umat Islam.

Mengingat:

38
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dari Djepang yang

datang dan berada disini telah banyak sekali

didjalankan dan kekedjaman jang mengganggu

ketentraman umum.

b. Bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan

maksud melanggar kedaulatan Republik Indonesia dan

Agama, dan ingin kembali mendjajah disini, maka di

beberapa tempat telah terjadi pertempuran jang

mengorbankan beberapa banyak djiwa manusia.

c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar

telah dilakukan umat Islam jang merasa wajib menurut

hukum agamanya untuk mempertahankan

kemerdekaan Negara dan Agamanya.

d. Bahwa dalam menghadapi kejadian-kejadian itu perlu

mendapatkan perintah dan tuntunan jang nyata dari

Pemerintah Republik Indonesia jang sesuai dengan

kedjadian tersebut.

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik

Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang

39
nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan

membajakan kemerdekaan Indonesia dan Agama dan Negara

Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-

tangannya.

2. Supaja memerintahkan melandjutkan perdjuangan bersifat

“Sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia

Merdeka dan Agama Islam.

Ulama NU menegaskan bahwa umat dan ulama di banyak

tempat punya hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan

mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Niat itu tertuang

dalam pertimbangan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad tersebut juga

merupakan bentuk tekanan kepada pemerintah, agar segera

menentukan sikap dan tindakan yang nyata terhadap situasi yang

bisa membahayakan kemerdekaan Republik Indonesia utamanya

terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.

Setelah pertempuran 10 November 1945 berlalu, Resolusi

Jihad NU terus digelorakan. Dalam Muktamar ke-16 Nahdlatul

Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah, KH.

Hasyim Asy'ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan

para peserta muktamar. “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan

kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” kata Kiai

40
Hasyim Asy’ari. Demikian jelas bahwa syarat tegaknya syariat Islam

adalah kemerdekaan dari penjajah asing.

Dibawah ini adalah isi Resolusi Jihad NU yang kedua:

RESOLUSI DJIHAD – II

NAHDLATOEL OELAMA

“RESOLUSI”

MOEKTAMAR NAHDLATOEL ‘OELAMA’ ke-XVI jadi diadakan

di POERWOKERTO moelai malam hari Rebo 23 hingga malam

Sabtoe Robioetsani 1365, bertepatan dengan 26 hingga 29 Maret

1946.

Mendengar:

a. Bahwa Indonesia adalah Negeri Islam

b. Bahwa Oemmat Islam di masa laloe telah tjoekoep menderita

kedjahatan dan kezholiman kaoem pendjajah;

Menimbang:

a. Bahwa mereka (kaoem pendjajah) telah menjalankan

kedjahatan dan kezholiman di beberapa daerah daripada

Indonesia.

41
b. Bahwa meraka telah mendjalankan mobilisasi (pengerahan

tenaga peperangan) oemoem, goena memperkosa kedaoelatan

Republik Indonesia.

Berpendapat:

Bahwa oentuk menolak bahaja pendjadjahan itoe tidak moengkin

dengan djalan pembitjaraan sadja;

1. Berperang dan menolak melawan pendjadjahan itoe Fardloe

‘ain (jang harus dikerjakan) oleh tiap-tiap orang Islam, laki-

laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak (bagi

orang jang berada djarak lingkaran 94 Km. Dari tempat

masoek kedoedoekan moesoeh).

2. Bagi orang yang berada di luar djarak lingkaran tadi,

kewadjiban itoe fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalua

dikerdjakan sebagian sadja).

3. Apabila kekoeatan No. 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh,

maka orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran 94 Km.

wajib berperang djoega membantoe No.1, sehingga moesoeh

kalah.

42
4. Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah keboelatan tekad dan

kehendak ra’jat, dan haroes dibinasakan menoeroet hoekoem

Islam sabda chadis, riwajat Moeslim.

Resoloesi ini disampaikan kepada:

1. P.J.M. Presiden Repoeblik Indonesia dengan perantara delegasi

Moe’tamar.

2. Panglima tertinggi T.R.I.

3. M.T. Hizboellah.

4. M.T. Sabilillah.

5. Ra’jat Oemmoem.

Keberadaan penjajah dianggap KH. Hasyim Asy’ari akan

menyulitkan penegakan syariat Islam. Perjuangan ini merupakan

kristalisasi dan wujud hubbul wathon minal iman (cinta tanah air

bagian dari iman) yang juga dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari, bahwa

perjuangan mempertankan kemerdekaan dan kedaulatan negara

merupakan kewajiban agama.

Dari peristiwa Resolusi Jihad yang digelorakan oleh KH.

Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya setiap tanggal 22 Oktober

diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Hal itu tertuang dalam

43
Keputusan Presiden (Keppres)  Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2015 tentang Hari Santri.

Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan, tidak sedikit

tokoh NU masuk jabatan strategis dalam pemerintahan.

1. KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Negara pada tanggal

22 September 1945 M. dalam kabinet Presidentil, kabinet RIS

tanggal 20 Desember 1945 M. kabinet Natsir dan kabinet

Sukiman 20 Desember 1949 – 03 April 1952 M.

2. KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dalam kabinet Amir

Syarifuddin II tahun 1947 M. dan kabinet Hatta I, kabinet

Hatta II, dan kabinet Susanto pada tahun 1948-1949 M.

3. KH. Fathurrahman Kafrawi sebagai Menteri Agama pada

tanggal 2 Oktober 1946 M. dalam kabinet Syahrier III.

Dalam dunia militer, semenjak tahun 1947 M, seluruh laskar

dibubarkan dan dilebur menjadi satu dalam wadah Tentara Nasional

Indonesia (TNI). Sedangkan dalam dunia perpolitikan Indonesia,

pasca Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952 M, NU

memposikan diri sebagai partai politik setelah melebur ke dalam

partai Masyumi. Pada pemilu pertama tahun 1955 partai NU sukses

menempati urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi. Berkat hasil

tersebut, tidak sedikit tokoh-tokoh NU menduduki posisi jabatan

44
strategis dalam kabinet pemerintah saat itu. NU yang dulu dipandang

sebelah mata, ternyata muncul sebagai kekuatan yang

diperhitungkan.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya tahun 1973 M.

penguasa mengeluarkan kebijakan yang merugikan NU. Dari 10

partai peserta pemilu 1971 dipangkas menjadi dua partai saja.

Pertama, partai-partai yang berazas nasionalis dilebur ke dalam Partai

Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua, partai yang berazas Islam dilebur

ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan adanya

kebijkan tersebut, NU sudah tidak lagi diakui sebagai partai politik

dan harus menyatu ke dalam PPP. Akan tetapi, partai Golongan

Karya (GOLKAR) yang sebetulnya tidak diakui sebagai partai politik

tetap dibolehkan menjadi peserta pemilu. Hal ini berdampak pada

posisi tokoh-tokoh NU yang menduduki jabatan tertentu pada masa

itu. Tokoh-tokoh NU akhirnya diberhentikan dari jabatannya.

Menteri Agama yang biasanya dijabat oleh orang NU, maka NU

harus rela jabatan itu dijabat orang diluar NU. Begitu juga jabatan-

jabatan lain yang dipegang NU disingkirkan oleh pemerintah, kecuali

KH. Masjkur sebagai wakil ketua MPR DPR RI tahun 1977-1983 dan

Dr. KH. Idham Chalid sebagai ketua dewan pertimbangan agung

pada tahun 1977-1983. Dalam dunia perpolitikan saat itu, orang-

45
orang NU benar-benar dipinggirkan oleh penguasa Orde Baru yang

didukung penuh oleh TNI dan POLRI.

Setelah 32 tahun NU berkutat dalam dunia perpolitkan,

akhirnya NU kembali pada jati dirinya sebagaimana awal dibentuk.

NU mengambil langkah untuk kembali ke Khitthah 1926, NU

Kembali pada tujuan awal didirikannya, yaitu mengurusi dakwah dan

pendidikan. Keputusan tersebut terjadi setelah Muktamar ke-27 di

Situbondo tahun 1984. Berikut adalah konsep kembali Khittah NU:

1. NU sebagai jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) adalah

wadah para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan,

antara lain, berdasarkan kesadaran bermasyarakat, pada

tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan 31 Januari 1926

M, dan bertujuan memelihara, melestarikan, dan

mengamalkan ajaran Islam Aswaja, menciptakan

kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian

martabat manusia.

2. Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak

warga NU yang tercermin dalam tingkah laku perseorangan

maupun organisasi, dan dalam setiap proses pengambilan

keputusan berupa paham Islam Aswaja dan juga digali dari

sejarah pengabdiannya dari masa ke masa.

46
3. Dasar-dasar paham keagamaan NU bersumber dari Al-Qur'an,

as-sunnah, al-ijma’, al-qiyas, dan menggunakan jalan

pendekatan madzhab yang dipelopori Imam Abul Hasan Al-

Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al- Maturidi di bidang

akidah, salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan

Hambali di bidang fiqih, di bidang tasawuf, mengikuti, antara

lain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan NU

mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri (murni),

bersifat menyempurnakan, dan tidak menghapus nilai luhur

yang sudah ada.

4. Dasar-dasar paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan

sikap kemasyatrakatan yang bercirikan tawasuth wal i’tidal

(tengah-tengah dan lurus), tasamuh (toleran), tawazun

(keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar.

5. Dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU itu

membentuk perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai

keikhlasan, mendahulukan kepentingan bersama,

persaudaraan, persatuan, saling mengasihi, berbudi pekerti

luhur, kesetiaan, amal dan prestasi kerja, ilmu pengetahuan

dan para ahlinya, siap menyesuaikan diri dengan setiap

perubahan yang membawa manfaat bagi kebaikan umat

47
manusia, kepeloporan dalam usaha, mempercepat

perkembangan masyarakat, dan kebersamaan di tengah

kehidupan berbangsa dan bernegara.

6. Ikhtiar (usaha) yang dilakukan NU meliputi, antara lain,

peningkatan, silaturrahmi, peningkatan di bidang

keilmuan/pengkajian/Pendidikan penyebarluasan agama

Islam/pembangunan sarana peribadatan/pelayanan sosial,

peningkatan taraf, dan kualitas hidup masyarakat melalui

kegiatan yang terarah.

7. Ulama sebagai mata rantai pembawa paham Islam Aswaja,

selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas,

dan pembimbing utama jalannya organisasi, sedangkan untuk

menangani kegiatan- kegiatannya ditempatkan tenaga-tenaga

yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebagai

organisasi kemasyarakatan, NU senantiasa menyatukan diri

dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan aktif

mengambil bagian dalam pembangunan bangsa.

8. Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian tak

terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa

berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi,

dan hidup berdampingan dengan baik sesama umat Islam

48
maupun sesama warga negara yang berbeda agama, untuk

mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang

kokoh dan dinamis.

9. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, NU

senantiasa berusaha secara sadar menciptakan warga negara

yang menyadari hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan

negara.

10. Sebagai jam’iyah, NU secara organisatoris tidak terikat

dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan

mana pun. Dalam hal warga, NU menggunakan hak

politiknya, harus dilakukan dengan tanggung jawab sehingga

dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, taat hukum,

mampu mengembangkan mekanisme musyawarah-mufakat

dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.

Pewujudan khittah NU dengan seizin Allah, terutama

tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU, yaitu

cita-cita hanya akan tercapai jika mereka benar-benar

meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini.

Dalam dua kali pelaksanaan pemilu berikutnya (tahun 1987

dan 1992), banyak tokoh NU menjadi penggembos dalam

49
merosotnya perolehan suara PPP. Hal itu juga tidak lepas dari

intervensi pemerintah Orde Baru terhadap partai. Sangat terasa

adanya unsur adu domba diantara pihak NU dan MI dalam tubuh PPP

yang berdampak pada perolehan suara PPP saat itu merosot secara

drastis. Akan tetapi, dari kejadian itu ada dampak positif bagi NU,

yang dulunya NU sibuk terjun dalam dunia politik praktis, sekarang

mulai mengalihkan fokusnya pada sekolah dan rumah sakit NU yang

selama ini kurang mendapatkan perhatian. Pengajian-pengajian mulai

masuk ke dalam unit-unit pemerintah yang sekian lama terhenti.

Cabang dan ranting NU yang dulunya tidak berjalan secara perlahan

mulai aktif kembali. Disisi lain, waktu itu NU mulai masyhur sampai

mancanegara. Beberapa kali ketua umum NU yang saat itu dipimpin

oleh KH. Abdurrohman Wahid mendapatkan penghargaan dari luar

negeri. Bahkan, untuk pertama kalinya ketua umum PBNU terpilih

sebagai salah satu presiden agama-agama di dunia untuk perdamaian

(World Conference on Religion for Peace/WCRP).

C. TOKOH-TOKOH NU.

1. Syaikhona KH. Muhammad Kholil Bangkalan

Syaikhona Muhammad Kholil atau lebih akrab dengan nama

Mbah Kholil Bangkalan lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir

50
1235 H/ 14 Maret 1820 M di Desa Langundih (Desa Keramat),Ujung

Piring, Bangkalan, Madura.

Oleh ayahnya, beliau di didik dengan sangat ketat. Mbah

Kholil kecil memang sudah menunjukan bakat yang istimewa.

Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqih dan Nahwu, sangat luar

biasa . Bahkan beliau sudah hafal dengan baik seribu bait Nadzam

Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan

juga kehausannya mengenai ilmu Fiqih dan ilmu lainnya, maka orang

tua beliau mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Ketika usianya hampir menginjak usia tiga puluh, Kiai Kholil

muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di pesantren Langitan,

Tuban. Kemudian, untuk menambah wawasan dan pengalaman,

beliau nyantri di pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini,

pindah ke pesantren Kebon Candi, Pasuruan. Selama di Kebon Candi,

beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan Sidogiri, Pasuruan.

Selama di Kebon Candi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan

belajarnya sendiri dengan menjadi buruh batik agar tidak merepotkan

orang tuanya. Padahal, ayahnya cukup mampu untuk membiyainya.

Kemandiriannya nampak ketika beliau berkeinginan belajar ke

Mekkah. Beliau tidak mengutarakan niatnya pada orang tuanya,

apalagi meminta biaya. Akan tetapi, beliau memutuskan belajar di

51
pesantren Banyuwangi. Selama belajar di Banyuwangi, beliau juga

menjadi buruh pemetik kelapa kepada gurunya dengan diberi upah

2,5 sen setiap pohon. Upah ini selalu di tabung. Pada tahun 1859 M,

Kiai Kholil memutuskan berangkat ke Mekkah dengan biaya

tabungannya. Namun, sebelum berangkat, oleh orang tuanya, Kiai

Kholil dinikahkan dengan seorang perempuan yang Bernama Raden

Ayu Assek binti Lodrapati (Nyai Assek). Di Mekkah, beliau belajar

kepada guru dari lintas madzhab di Masjidil Haram. Tapi, beliau

lebih banyak kepada guru yang bermadzhab Imam Syafi’i. Sepulang

dari tanah suci, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli Fiqih dan Tarekat

yang hebat. Bahkan, beliau dapat memadukan kedua ilmu dengan

serasi. Beliau juga seorang penghafal Al-Qur’an 30 juz. Kiai Kholil

kemudian mendirikan pesantren di desa Cengkebuan, sekitar 1

kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Setelah putrinya yang bernama Siti Khotimah dinikahkan

dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha, pesantren di desa

Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya tersebut. Sedangkan

Kiai Kholil sendiri mendirikan lagi pesantren di desa Kademangan,

yang terletak hampir di kota Bangkalan. Sekitar 200 meter sebelah

barat alun-alun kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini, beliau

52
cepat memperoleh santri. Santri dari Jawa tercatat Bernama Hasyim

Asy’ari dari Jombang.

Pada tahun 1924, di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi

yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kyai Abdul

Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, Ketika Kiai Wahab

beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, setelah

dimintakan persetujuan kepada Kiai Kholil, ternyata beliau

memberikan restu dengan isyarat memberikan tongkat dan tasbih

melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 29 Ramadan 1343 H/24 April 1925 M, beliau

wafat dalam usia 105 tahun. Hampir semua pesantren yang ada di

Indonesia masih memiliki sanad kepada Kiai Kholil. Setelah wafat,

makamnya tetap menjadi rujukan yang tidak pernah sepi dari

peziarah yang mengharapkan berkah dari Syaikhona Kholil. Makam

beliau terletak di daerah Mertajasah, Bangkalan, Madura.

2. Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari

Nama lengkap beliau adalah Hadratus Syekh KH. Muhammad

Hasyim Bin Asy’ari Bin Abdul Wahid Bin Abdul Halim (Pangeran

Benowo) Bin Abdurrahman (Joko Tingkir, Sultan Hadi Wijaya) Bin

Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Abdul Fattah Bin Maulana Ishak (ayah

Raden ‘Aynul Yaqin/Sunan Giri). Beliau lahir di Desa Gendang,

53
utara Jombang, pada hari Selasa Kliwon 24 Dzul Qo’dah 1287 H/14

Februari 1871 M. Beliau merupakan putra dari KH. Asy’ari yang

berasal dari Demak, Jawa Tengah.

Muhammad Hasyim Asy’ari muda memulai pendidikannya

kepada orang tuanya sendiri di Pondok Gendang. Sejak kecil, ia

sudah dikenal sangat cerdas. Ketika usianya baru menginjak 13

tahun, ia sudah diminta untuk membantu mengajar santri-santri di

Pondok Gendang.

Di tahun berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari muda memulai

petualangan barunya dalam mencari ilmu. Pertama kali, ke Pondok

Wonokoyo (Probolinggo), Langitan (Tuban), Trenggilis (Semarang),

kemudian belajar di Bangkalan kepada Syaikhona Kholil.

Dilanjutkan lagi ke Pondok Siwalanpanji (Sidoarjo) yang diasuh KH.

Ya’qub Hamdani. Akhirnya, beliau diambil menantu oleh Kiai

Ya'qub.

Tidak hanya sampai di situ, KH. Hasyim Asy’ari dalam

menimba ilmu. Setelah menikah, beliau masih melanjutkan

perjalanannya ke Mekkah di bawah bimbingan Syekh Khotib

Minangkabau, Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, juga

kepada ulama-ulama terkemuka di Mekkah. Sepulang dari Mekkah,

KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.

54
Tepatnya pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M dengan

murid pertamanya sebanyak 28 santri. Pada tahun 1925, beliau turut

serta mengirimkan utusan ke Arab Saudi yang dikenal dengan

Komite Hijaz. Berawal dari sinilah, akhirnya jam’iyah Nahdlatul

Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M di

Surabaya. Di dalam Jam ’iyah tersebut Kiai Hasyim menjabat sebagai

Ras Akbar hingga akhir hayatnya. Di kemudian hari, jabatan Rais

Akbar diganti dengan nama Rais ‘Aam. Hadratus Syekh KH. Hasyim

Asy’ar wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H dan dimakamkan di

belakang Pesantren Tebuireng. Beliau meninggalkan sejumlah karya

tulisan berupa kitab berbagai bidang ilmu. Antara lain: Risalah Ahl

Al-Sunnah wal Jama'ah, Al-Risalah Al-Tauhidiyah dan Al-Qala’id Fi

Ma Yajibu Min Al-Aqa’id (fan tauhid). Dalam bidang akhlak, beliau

menulis kitab Adab Al-Alim wal Muta’allim. Kitab ini memaparkan

kode etik seorang ulama dan pelajar.

3. KH. Abdul Wahab Hasbullah

Kiai Wahab Hasbullah Iahir pada bulan Maret tahun 1888 di

Tambakberas, Jombang. Selama 20 tahun Kiai Wahab mendalami

agama di berbagai pesantren. Beliau pernah belajar di Langitan,

Tuban, Mojosari, Nganjuk, Tawang Sari, Sepanjang, Branggahan,

Kediri, Syaikhona Kholil Bangkalan, Tebuireng, Jombang dan

55
Mekkah Al-Mukarramah. Setelah menyelesaikan studi di berbagai

pondok pesantren, Kiai Wahab mendirikan Syarikat Islam Cabang

Mekkah pada tahun 1914 dan juga mendirikan perguruan pendidikan

di Kawatan gang IV, Surabaya dengan nama Nahdlatul Wathan

(kebangkitan tanah air) pada tahun 1916. Dua tahun kemudian, beliau

meresmikan madrasah Tashwiru Al-Afkar yang terletak di kawasan

Ampel Suci pada tahun 1918 M. Madrasah itu awalnya merupakan

perkumpulan anak-anak muda sebagai forum diskusi.

Kiai Wahab adalah seorang tokoh yang sangat dinamis,

lincah, pantang menyerah, dan banyak akal. Beliau bisa bergaul

dengan berbagai macam tokoh pergerakan. Sebagai ketua cabang

Syarikat Islam Mekkah, beliau sering mengarah pada politik. Di

madrasah Nadlatul Wathan, beliau berteman dengan KH. Mas

Manshur yang merupakan tokoh Muhammadiyah dan di Madrasah

Tafkir Al-Afkar Kiai Wahab bergaul dengan KH. Ahmad Dahlan

Ahyad, seorang tokoh NU yang belakangan dikenal salah satu pendiri

MIAI.

Pada tahun 1925 Kiai Wahab bersama dengan Syekh

Ghana’im Al-Mishri dan KH. Dahlan Abdul Qahhar (mahasiswa NU

yang tinggal di Mekkah) menemui Raja Ibnu Saud di Mekkah

sebagai utusan jam’iyah NU. Tim yang dikenal dengan sebutan

56
Komite Hijaz ini bertujuan untuk melobi pemerintah Kerajaan Arab

Saudi agar ajaran bermazhab tetap dijamin di Tanah Haram. Misi itu

berhasil diemban dengan baik. Raja Saud menyetujui permintaan itu.

Kiai Wahab pula yang memprakarsai adanya tradisi jurnalistik di

kalangan NU dengan mendirikan majalah tengah bulanan yang

bernama Soeara Nahdlatoel Oélama’. Majalah itu dipimpin oleh Kiai

Wahab sendiri dari Surabaya dan mampu bertahan hingga 7 tahun

yang kemudian hari majalah itu berganti nama menjadi Berita

Nahdlatoel Oélama’ ketika dipimpin oleh KH. Mahfudz Siddiq dan

Abdullah Ubaid sebagai wakilnya.

Ketika ANO (cikal bakal Anshor) mulai mengenalkan

seragam barunya dalam Muktamar Menes, Banten 1938 M, para kiai

sepuh menolak seragam tersebut sebab seragam yang dipakai adalah

celana panjang, dasi, kopiah, dan tanda bintang di pundak. Persoalan

yang paling utama adalah dasi, karena dinilai meniru busana non

muslim yang menjajah Indonesia. Disisi lain, ada usulan agar kongres

ANO digabung dengan Muktamar NU. Akan tetapi, usulan tersebut

ditolak oleh ANO sehingga gesekan dan ketidak cocokan antara kiai

muda dan kiai sepuh mulai tampak. Pada saat itulah, Kiai Wahab

diminta nasihatnya perihal masalah yang terjadi diantara kiai muda

dan kiai sepuh, kemudian Kiai Wahab naik ke forum untuk

57
menyampaikan nasihatnya, “Soal tidak setujunya kaum sepuh

terhadap ANO tidak boleh berlangsung terus. Sebab, kalau dibiarkan,

tidak akan ada habisnya. Ada contoh menarik tentang ini. Dulu, para

sahabat Rasulullah saw. sewaktu melawan orang-orang Persi,

masing-masing pihak tak ada yang ada yang berani memulai

peperangan ini. Mengapa? Karena kuda para sahabat belum pernah

mengenal gajah yang menjadi kendaraan perang tentara Persi.

Sehingga, ketika perang akan dimulai, kuda tunggangan itu berbalik.

Begitu juga gajah-gajah orang Persi. Keduanya sama-sama takut

karena belum saling mengenal. Tapi, setelah para sahabat membeli

gajah, kemudian dikenalkan pada kuda-kuda yang terlatih untuk

perang, lama-lama kuda tidak takut lagi. Setelah itu, mereka

berangkat perang dan berhasil menaklukkan tentara Persi”.

Dengan nasihat yang jitu dari Kiai Wahab, rukunlah kedua

kelompok itu. Akhirnya, mereka sepakat untuk menggabungkan

kongres ANO dengan Muktamar NU.

Beliau termasuk penggagas berdirinya jam’iyah NU bersama

KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 M. Di masa KH. Hasyim

Asy’ari menjabat sebagai Rais Akbar Jam iyah NU, Kiai Wahab

menjabat sebagai Katib ‘Aam PBNU.

58
Sepeninggal KH. Hasyim Asy’ari, pada tahun 1947, jabatan

Rais Akbar diganti nama menjadi Rais ‘Aam. Kiai Wahab menjadi

orang pertama menduduki jabatan itu hingga wafatnya tahun 1971,

sedang Kiai Bisri Syansuri (adik iparnya) menggantikan posisi Kiai

Wahab setelah beliau wafat. Beliau semasa hidupnya dikenal sebagai

seorang ulama yang ahli diskusi. Dalam suatu pertemuan Rais

Syuriyah PBNU, beliau berdebat sengit dengan Kiai Bisri Syansuri

membahas sebuah yayasan di Semarang yang mengurusi ibadah haji.

Kiai Bisri menyatakan hal tersebut tidak diperbolehkan menurut kaca

mata fiqih, sedangkan Kiai Wahab membolehkannya. Sampai

akhirnya, Kiai Wahab mengatakan “Pekih iku lek rupek yo diokeh-

okeh” (Fiqih itu kalau sempit ya diusahakan longgar). Hal itu

terdengar sebagai gurauan, tapi sebenarnya menyimpan makna

filosofi yang tinggi. Dalam bidang ekonomi, Kiai Wahab

mempelopori berdirinya Syirkah Inan Murabathah Nabdlatu Al-

Tujjar pada tahun 1918 M. Tujuannya adalah membangun kerja sama

dalam bidang perekonomian. Tapi, karena mayoritas umat Islam

Indonesia adalah petani, maka kegiatannya lebih mengutamakan

bidang pertanian.

59
Kiai Wahab wafat pada tanggal 29 Desember 1971 dalam usia

83 tahun dikediamannya kompleks Pesantren Tambakberas,

Jombang.

4. KH. BISRI SYANSURI

Kiai Bisri lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada tanggal

28 Dzulhijjah 1304 H./18 September 1886 M, dari keluarga penganut

tradisi keagamaan yang sangat kuat yang menurunkan ulama-ulama

besar dalam beberapa generasi.

Pada usia 7 tahun, Kiai Bisri belajar ilmu agama kepada Kiai

Sholeh di desa kelahirannya. Kemudian, belajar kepada KH. Abdul

Salam di Desa Kajen. Lalu, Pindah ke Pesantren Kasingan, Rembang,

untuk belajar kepada Kiai Kholil Harun. Dilanjutkan kepada Kiai

Syu’aib di Pesantren Sarang. Menginjak usia 15 tahun, Kiai Bisri

belajar kepada Syaikhona Kholil Demangan, Bangkalan Madura.

Kiai Bisri juga melakukan tradisi santri keliling, dengan

menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun dalam asuhan

KH. Hasyim Asy’ari. Lalu, melanjutkan pendidikannya ke Mekkah

selama 2 tahun. Setelah kembali dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di

Jombang karena menikah dengan adik KH. Wahab Hasbullah. Di

kota itulah, beliau mendirikan Pondok Pesantren Manbaul Ma’arif,

Denanyar, Jombang.

60
Kiai Bisri termasuk salah satu kiai yang hadir pada pertemuan

31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menyepakati berdirinya

organisasi NU. Beliau duduk sebagai A'wan (anggota) Syuriah dalam

susunan PBNU pertama pada saat itu. Pada masa perjuangan

kemerdekaan, beliau bergabung dalam barisan Sabilillah dan

menjabat kepala staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-

DT) yang kantornya berada di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo.

Sejak KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, jabatan Rais

Akbar dihapus dan diganti dengan nama Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat

oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri ditetapkan

sebagai wakilnya. Pada tahun 1971, Kiai Bisri menggantikan Kiai

Wahab sebagai Rais ‘Aam hingga akhir hayatnya.

Dalam sejarah kelahiran NU, KH. Bisri Syansuri dikenal

sebagai pendamping utama KH. Wahab Hasbullah. Kiai Bisri

berperan sebagai penghubung utama antara KH. Abdul Wahab

Hasbullah dengan KH. Hasyim Asy’ari. Saat para ulama pondok

pesantren berkumpul di Kertopaten, Surabaya, pada tanggal 16 Rajab

1344 H/31 Januari 1926 M, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari

belum kunjung hadir. Padahal, tanpa kehadiran beliau, rencana

mendirikan jam'iyah NU bagi para ulama pesantren akan mengalami

kegagalan. Karena itu, Kiai Bisri dimintai tolong untuk menjemput

61
Hadratus Syekh KH.Hasyim Asy'ari ke Tebuireng, Jombang. Pilihan

itu didasarkan pada pengalaman bahwa beliaulah satu-satunya ulama

yang dapat meyakinkan KH. Hasyim Asy’ari.

Memang, setiap kali muncul gagasan ulama pesantren yang

belum memperoleh restu Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, maka

Kiai Bisri diminta untuk mengadakan pendekatan. Pendekatan yang

beliau jalankan selalu berhasil.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Kiai Bisri Syansuri

memiliki peranan yang sangat menentukan dalam kelahiran

Nahdlatul Ulama. Selain itu, pada susunan Pengurus Besar Nahdlatul

Ulama (PBNU) yang pertama beliau duduk sebagai A’wan Syuriah.

5. KH.R. Asnawi

KH.R. Asnawi adalah putra pertama dari H. Abdullah Husnin,

seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada

waktu itu. Sedang, ibunya bernama R.A. Sarbinah. KH.R. Asnawi

lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H. Beliau

termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shadiq)

dan keturunan ke-5 dari KH Mutamakin, seorang wali yang keramat

di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, yang hidup pada zaman Sultan

Agung Mataram.

62
Sejak kecil Kiai Asnawi berada di bawah bimbingan

orangtuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur'an. Setelah

berumur 15 tahun, beliau diajak oleh orangtuanya ke Tulungagung,

Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah

mendapat asuhan dan didikan dari orangtuanya, beliau kemudian

mengaji di sebuah pondok pesantren di Tulungagung. Lalu, berguru

kepada KH. Irsyad Naib dari Mayong, Jepara, sebelum pergi haji.

Sewaktu berumur 25 tahun, beliau menunaikan ibadah haji

yang pertama. Selama di Mekkah, beliau berguru, antara lain kepada

Kiai H. Soleh Darat, Semarang, Kiai H. Mahfudz Termas, dan Sayyid

Umar Shatha. Sepulang dari ibadah haji, beliau mulai mengajar dan

menyebarkan ilmu agama. Di antaranya, pada setiap hari Jum'at

Pahing sesudah salat Jum’at beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid

Muria (Masjid Sunan Muria) yang betjarak 18 km dari Kudus. Hal ini

beliau lakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling ke masjid-masjid

sekitar kota bila melakukan salat subuh.

Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya pergi haji

untuk yang kedua kalinya dengan niat bermukim di Tanah Suci.

Ketika melakukan ibadah haji, ayahnya wafat. Meskipun demikian,

niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Pada waktu

bermukim di Mekkah, beliau pernah mengadakan tukar pikiran

63
dengan salah seorang ulama besar, mufti Mekkah, yang bernama

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Tukar pikiran itu terkait

beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara

tertulis dari awal masalah hingga akhir meskipun tidak memperoleh

kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu, beliau bermaksud

ingin memperoleh fatwa dari seorang mufti di Mesir. Maka semua

catatan, baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut

dikirim ke alamat Sayyid Husain Bek, seorang mufti di Mesir. Tapi,

mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwa.

Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh

Ahmad Khatib itu, Sayyid Husain Bek tertarik untuk berkenalan

dengan Kiai Asnawi. Karena belum kenal, maka mufti Mesir itu

meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan

KH. Asnawi. Akhirnya, disepakati waktu perjumpaan, yaitu sesudah

salat Jum’at. Oleh Syekh Hamid Manan, maksud ini diberitahukan

kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani

mengeluarkan jamuan. Sesudah salat Jum’at, datanglah Sayyid

Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang

melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap,

bertanyalah tamu itu, “Fin, Asnawi?” (Di mana Asnawi?) “Asnawi?

Hadza huwa.” (Asnawi? Inilah dia) sambil menunjuk Kiai Asnawi

64
yang sedang duduk di pojok dan sedang mendengarkan percakapan

tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, mufti segera berdiri

dan mendekati Kiai Asnawi, seraya membuka kopiah, dan diciumlah

kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek

kepada Syekh Hamid Manan, “Sungguh, saya telah salah sangka

setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian

melihat tubuhnya yang kecil.”

Pada tahun 1924 M, Kiai Asnawi ditemui oleh KH. Abdul

Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat

benteng pertahanan ajaran Aswaja. Beliau menyetujui gagasan KH.

Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para ulama

yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari

1926 M mendirikan Jam'iyah NU.

Pada zaman penjajahan Belanda, beliau sering dikenakan

hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian

Islam serta menanamkan nasionalisme kepada umat Islam, baik di

Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang, Kiai

Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api. Akibatnya, rumah

dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon. Beliau dibawa

ke markas Kempetai di Pati.

65
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H,

bertepatan dengan tanggal 26 Desember 1959 M, tepat pukul 03.00

sebelum fajar, beliau dipanggil keharibaan Allah swt. KH.R. Asnawi

seorang ulama besar dan salah seorang pendiri jam'iyah. Beliau wafat

dalam usia 98 tahun.

6. KH. Ridwan Abdullah

KH. Ridwan Abdullah adalah putra dari KH. Abdullah.

Beliau dilahirkan di Bubutan, Surabaya pada tanggal 1 Januari 1884

M. Sesudah tamat Sekolah Dasar Belanda, KH. Ridwan Abdullah

belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Madura. Di

antaranya Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Pondok Pesantren

Siwalanpanji Buduran, Sidoarjo dan Pondok Pesantren Kademangan,

Bangkalan, Madura.

Pada tahun 1901, KH. Ridwan Abdullah pergi ke tanah suci

Mekkah dan bermukim di sana selama kurang lebih tiga tahun,

kemudian pulang ke tanah air. Pada tahun 1911, beliau kembali lagi

ke Mekkah dan bermukim di sana selama 1 tahun.

KH. Ridwan Abdullah menikah dengan Nyai Makiyah.

Istrinya tersebut meninggal dunia pada tahun 1910. Kemudian, beliau

menikah lagi dengan Siti Aisyah, gadis asal Bangil, Pasuruan yang

66
masih ada hubungan keluarga dengan istri KH. Abdul Wahab

Hasbullah.

KH. Ridwan Abdullah dikenal sebagai kiai yang dermawan.

Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau,

selain diberi nasihat juga diberi uang. Padahal, beliau sendiri tidak

tergolong orang kaya. Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama

yang memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi.

Salah satu maha karya beliau adalah Masjid Kemayoran Surabaya.

Pola arsitekturnya memiliki gaya dan khas tersendiri.

KH. Ridwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren, tapi

beliau dikenal sebagai guru agama/muballigh yang tidak kenal lelah.

Beliau diberi gelar kiai keliling. Maksudnya, kiai yang menjalankan

kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat

ke tempat yang lainnya. Biasanya, beliau mengajar dan berdakwah

pada malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke

kampung lain dan dari satu surau ke surau yang lain.

Ketika KH. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul

Wathan, Kiai Ridwan merupakan pendamping utamanya. Beliaulah

yang berhasil menghubungi KH. Mas Alwi untuk menduduki jabatan

sebagai kepala Madrasah Nahdlatul Wathan menggantikan KH. Mas

Mansur. Beliau juga aktif mengajar di madrasah tersebut.

67
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Kiai

Ridwan ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan Kiai

Ridwan tidaklah sedikit. Salah satu putranya yang menjadi tentara

PETA (Pembela Tanah Air) gugur di medan perang. Pada tahun

1948, beliau ikut berperang mempertahankan kemerdekaan RI dan

pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.

Nama KH. Ridwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari

sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jam'iyah NU. Pada susunan

pengurus NU periode pertama, Kiai Ridwan masuk menjadi anggota

a'wan syuriyah. Selain jadi anggota PBNU, beliau juga masih dalam

pengurus syuriyah NU Cabang Surabaya. Pada tanggal 12 Rabiul

Tsani 1346 H, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927 M,

diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar NU saat

itu diselenggarakan di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta Muktamar

dan seluruh warga Surabaya tertegun melihat lambang NU yang

dipasang tepat pada pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih

asing karena baru pertama kali ditampilkan. Ternyata penciptanya

adalah Kiai Ridwan. Untuk mengetahui arti lambang tersebut, dalam

Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus. Pimpinan sidang

adalah Kiai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan

sidang meminta kepada Kiai Ridwan untuk menjelaskan arti lambang

68
Nahdlatul Ulama tersebut. Secara rinci Kiai Ridwan menjelaskan

semua isi yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan

bahwa lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari

bumi melambangkan ukhuwah islamiyah kaum muslimin seluruh

dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan asmaul husna.

Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi

Muhammad saw. Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan

melambangkan Khulafa'ur Rasyidin. Dan empat bintang di bagian

bawah melambangkan Madzahib Al Arba'ah (empat Mazhab).

Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan

melambangkan Wali Songo.

Setelah mendengarkan penjelasan Kiai Ridwan, seluruh

peserta majelis sepakat menerima lambang itu. Kemudian, Muktamar

ke-2 NU memutuskannya sebagai lambang NU. Dengan demikian,

secara resmi lambang yang dibuat oleh Kiai Ridwan menjadi

lambang NU. Kiai Ridwan juga menjelaskan bahwa sebelum

menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan salat istikharah,

meminta petunjuk kepada Allah swt. Hasilnya, beliau bermimpi

melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih. Bentuknya persis

dengan gambar lambang NU yang kita lihat sekarang.

69
Setelah Kiai Ridwan memaparkan secara detail, Hadratus

Syekh KH. Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian, beliau

mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa

beliau berkata, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang

dimaksud dalam lambang Nahdlatul Ulama.”

Kiai Wahab Hasbullah (pendiri NU), KH. Mas Alwi Abdul

Aziz (pencipta NU), dan KH. Ridwan Abdullah (pencipta lambang

NU) dikenal sebagai Tiga Serangkai NU. Kiai Ridwan wafat 1962,

pada umur 78 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Tembok,

Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam melukis diwarisi oleh

salah seorang putranya, KH. Mujib Ridwan.

7. KH. Mas Alwi

KH. Mas Alwi merupakan putra KH. Abdul Aziz yang

bertempat tinggal di Jalan Ampel Sawah, Surabaya. Pada usia remaja,

KH. Mas Alwi pernah belajar di Pondok Kademangan, Bangkalan,

kepada Syaikhona Kholil. Di situ, beliau berteman akrab dengan KH.

Ridwan Abdullah. Kemudian, keduanya melanjutkan belajar di

Pondok Siwalan, Buduran, Sidoarjo. Kiai Mas Alwi melanjutkan

belajarnya ke Mekkah. Beliau juga pernah menimba ilmu

pengetahuan di beberapa negara di kawasan Eropa. Misalnya,

Inggris, Jerman, dan Belanda. Semasa hidupnya, Kiai Mas Alwi

70
pernah menjabat sebagai kepala madrasah Nahdlatul Wathan. Di

bawah pimpinan beliau, Nahdlatul Wathan berkembang dengan

pesat. Bersama Kiai Wahab Hasbullah, beliau mendirikan beberapa

cabang Nahdlatul Wathan, Seperti: Akhul Wathan, Far’ul Wathan,

Hidayatul Wathan, Khithabul Wathan dan Ahlul Wathan. Pada

tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926

M. para ulama berkumpul di kediaman KH. Wahab Hasbullah di

jalan Kertopaten Surabaya, untuk mendirikan sebuah jam’iyah

keagamaan sebagai wadah pemberdayaan paham Aswaja.

Diantara para ulama, muncul beberapa usulan terkait nama

Jam'iyah tersebut. KH. Abdul Hamid dari Sedayu, Gresik,

mengusulkan agar diberi nama Nuhudlul Ulama (kebangkitan ulama).

Nama itu diusulkan sebab lewat organisasi ini para ulama bergegas

untuk bangkit dalam memperjuangkan ajaran Aswaja. Usulan

tersebut mendapat tanggapan dari Kiai Mas Alwi. Menurut beliau,

para ulama sebenarnya sudah bangkit dari dulu. Namun,

perjuangannya hanya sebatas perorangan, tanpa ada wadah yang

mengumpulkan mereka. Akhirnya, Kiai Mas Alwi mengusulkan

nama Nahdlatul Ulama. Usulan ini disepakati oleh para ulama yang

lain. Akhirnya, menjadi kesepakatan bersama dan ditetapkan nama

Nahdlatul Ulama.

71
8. KH. Abdul Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari 10

saudara pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti

Kiai Ilyas. Beliau lahir pada hari Jum’at legi, Rabiul Awwal 1333 H,

bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Ketika itu, di rumahnya sedang

ramai dengan pengajian.

Kiai Abdul Wahid mempunyai otak yang sangat cerdas. Pada

usia kanak- kanak, ia sudah pandai membaca Al-Qur’an. Bahkan,

sudah khatam Al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Pada usia

13 tahun, ia dikirim ke Pondok Siwalanpanji, sebuah pesantren tua di

Sidoarjo. Ternyata, di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan,

ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah pantauan

KH. Mahrus Aly. Sepulang dari Lirboyo, Kiai Abdul Wahid tidak

meneruskan belajarnya di pesantren lain, tapi memilih tinggal di

rumah. Selama berada di rumah, semangat belajarnya tidak pernah

padam, terutama belajar secara otodidak.

Pada usia 15 tahun, ia sudah mengenal huruf latin dan

menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Tahun 1939 terpilih sebagai

Ketua Dewan MIAI. Ketika Masyumi berdiri tahun 1943, ia duduk

sebagai ketua II, sedangkan ayahnya, Kiai Hasyim, terpilih sebagai

ketua umumnya.

72
Pada tahun 1944 Kiai Wahid didatangi bala tentara Jepang

untuk menggerakkan para santri guna masuk dalam Heiho (prajurit

pembantu Jepang) di Burma. Namun, berkat kejeniusan Kiai Wahid

dalam berdiplomasi, keinginan Jepang tidak kesampaian. Bahkan

Kiai Wahid meminta Jepang untuk melatih para santri dalam

kemiliteran untuk pertahanan dalam negeri. Dan pada akhirnya

usulan itu diterima. Maka, sejak 14 Oktober 1944 berdirilah

Hizbullah yang merupakan cikal bakal TNI. Para santri dilatih

tentang militer oleh tentara Jepang dan para Shadanco PETA selama

tiga bulan di Cibarusa, Bogor. Itu semua tidak lepas dati jasa Kiai

Abdul Wahid Hasyim.

Pada tanggal 19 April 1953, merupakan hari yang membuat

bangsa ini sangat berduka. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April,

KH. Abdul Wahid Hasyim mengalami kecelakaan ketika beliau

bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Pada

pukul 10.30, hari Ahad, 19 April 1953, beliau dipanggil ke hadirat

Allah swt. dalam usia 39 tahun.

Berdasarkan surat keputusan Presiden Republik Indonesia No.

206, tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid

Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional

mengingat jasa-jasanya terhadap bangsa Indonesia.

73
9. KH. Mahrus Aly

KH. Mahrus Aly lahir di Dusun Gedongan, Desa Ender,

Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan

KH. Aly Bin Abdul Aziz dan Nyai Hasinah Binti Kiai Sa’id pada

tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara.

Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak

tinggal ditanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak

saat masih kecil. Sehari-hari, beliau menuntut ilmu di surau pesantren

milik keluarga. Beliau diasuh oleh ayah sendiri, KH. Aly dan sang

kakak kandungnya yang bernama Kiai Afifi. Saat berusia 18 tahun,

beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal,

Jawa Tengah, asuhan Kiai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Di sinilah

kegemaran belajar ilmu nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan

mumpuni. Selain itu, beliau juga belajar silat pada Kiai Balya, ulama

jawara pencak silat asal Tegalgubug, Cirebon. Pada saat mondok di

Tegal inilah, Kiai Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun

1927 M.

Di tahun 1929 M, Kiai Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren

Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5

tahun menuntut ilmu di pesantren ini (sekitar tahun 1934 M), beliau

berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

74
Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni, Kiai Mahrus hanya

berniat tabarrukan (mengharapkan berkah) di Pesantren Lirboyo.

Namun beliau malah diangkat menjadi pengurus pondok dan ikut

membantu mengajar. Selama nyantri di Lirboyo, beliau dikenal

sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba,

maka akan beliau gunakan untuk tabarrukan dan mengaji di

pesantren lain. Misalnya, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang

asuhan KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Watucongol,

Muntilan, Magelang, asuhan Kiai Dalhar, dan Pondok Pesantren

Langitan, Tuban, Pondok Pesantren Sarang, Rembang dan Pondok

Pesantren di Lasem, Rembang.

Kiai Mahrus mondok di Lirboyo tidak lama. Hanya sekitar

tiga tahun. Namun, karena kealimannya, KH. Abdul Karim (pendiri

Pondok Pesantren Lirboyo) menjodohkan dengan salah seorang

putrinya yang bernama Zaenab pada tahun 1938 M. Pada tahun 1944

M, KH. Abdul Karim, mengutus Kiai Mahrus Aly untuk membangun

kediaman disebelah timur komplek pondok.

Sepeninggal KH. Abdul Karim, Kiai Mahrus Aly bersama

KH. Marzuqi Dahlan (menantu KH. Abdul Karim) meneruskan

tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah

kepemimpinan beliau berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok

75
Pesantren Lirboyo. Santri berduyun-duyun datang untuk menuntut

ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi Dahlan dan KH.

Mahrus Aly. Bahkan, berkat Kiai Mahrus , tepatnya pada tahun 1966,

lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama

Islam Tribakti).

Kiai Mahrus ikut berperan dalam memperjuangkan

kemerdekaan dan ini nampak saat pengiriman 97 santri pilihan

Lirboyo guna menumpas sekutu di Surabaya. Peristiwa itu

belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang

menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu, beliau

juga berperan dalam penumpasan PKI di sekitar daerah Kediri.

Kiai Mahrus mempunyai andil besar dalam perkembangan

NU. Bahkan, beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa Timur

selama hampir 27 tahun. Akhirnya, beliau diangkat menjadi anggota

Mustasyar PBNU pada tahun 1985 M. Pernah pula beliau di mohon

untuk menjadi Rais ‘Aam PBNU, namun beliau tidak berkenan

dengan jabatan tersebut.

Kiai Mahrus dengan dua sahabat karibnya, Kiai As’ad

Syamsul Arifin dan Kiai Ali Maksum, merupakan tiga tokoh NU di

zamannya yang dipercaya untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan dan polemik yang terjadi di NU. Bahkan, jika ada

76
ketidakcocokan dalam pengurus NU, maka beliau bertigalah yang

menjadi juru ishlah (damai).

Pada hari Senin, 4 Maret 1985 M, sang istri tercinta, Nyai Hj.

Zaenab berpulang ke rahmatullah karena sakit tumor kandungan

yang telah lama diderita. Sejak saat itulah, kesehatan Kiai Mahrus

mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat Kiai Mahrus

terus menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar

beliau menikah lagi supaya ada yang mengurus, namun dengan sopan

beliau menolaknya. Akhirnya, pada Sabtu sore tanggal 18 Mei 1985

M, kesehatan beliau benar- benar terganggu. Bahkan, setelah opname

selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS dr.

Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya,

tepatnya pada hari Ahad malam Senin, tanggal 6 Ramadan 1405 H/26

Mei 1985 M, Kiai Mahrus Aly berpulang ke rahmatullah. Beliau

wafat di usia 78 tahun.

10. KH. Abdullah Ubaid

Tokoh yang satu ini digolongkan sebagai salah seorang tokoh

pemuda yang mendahului zamannya. Karena selain sebagai

muballigh ia juga dikenal sebagai pembalap karena gemar bermotor

di jalanan. Hampir setiap perjalanan tugasnya, dia lebih suka

mengendarai HD (Harley Davidson), termasuk ketika menghadiri

77
Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten tahun 1938. Dari Surabaya

sampai Menes Banten yang berjarak ratusan kilometer itu ditempuh

dengan bersepeda motor.

KH. Abdullah Ubaid lahir di Kawatan Gg. V, Surabaya, pada

hari Jumat, 4 Jumada Al-Tsaniyah 1318 H/ 1899 M. Ia adalah anak

kedua dari pasangan Kiai Muhammad Ali Bin Kiai Muhyiddin

(Surabaya) Bin Raden Onggo Yogyakarta dengan Syafi'ah Binti Kiai

Yasin Pasuruan. Ayahnya dikenal sebagai ulama ternama di

Surabaya. Kiai Ali wafat ketika Abdullah Ubaid masih berumur 11

tahun. Kemudian, Abdullah Ubaid diasuh oleh KH. M. Yasin

Pasuruan, sahabat karib ayahnya, ayah angkat yang kelak menjadi

mertuanya. Pendidikannya dengan mondok dari satu pesantren ke

pesantren yang lain. Oleh Kiai Yasin, Abdullah kecil dimasukkan ke

Madrasah Al-Chairiyah, yaitu madrasah yang didirikan oleh Sayyid

Abdullah Zaini Dahlan atas usaha orang-orang Arab. Di madrasah

ini, ia mendapatkan ilmu pendidikan dari Kiai Yasin sendiri dan juga

dari Sayyid Ahmad Assegaf.

Setelah tamat dari Madrasah Al-Chairiyah, Abdullah Ubaid

kembali ke Pasuruan belajar kitab pada ayah angkatnya. Kemudian,

pada usia 14 tahun, ia dikirim ke Tebuireng bersama dengan putra

Kiai Yasin, Muhammad, untuk meneruskan pendidikan pada

78
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Di pesantren inilah, beliau

berteman akrab dengan KH. Mahfudz Siddiq. Sekembalinya dari

Tebuireng tahun 1919, dia diangkat menjadi guru di Madrasah

Nahdlatul Wathan. Kiai Abdullah Ubaid mampu memberikan

kontribusi yang besar bagi kemajuan Nahdlatul Wathan ketika ia

berperan di dalamnya baik sebagai guru maupun sebagai

penggeraknya yang dapat membuka cabang-cabang di beberapa kota

di luar Surabaya.

Akhirnya, Kiai Abdullah Ubaid diambil menantu oleh ayah

angkatnya. Kiai Yasin tertarik dengan kecerdasan, bakat-bakat

kepemimpinan, dan keahliannya menguntai kata-kata dakwah. Dia

merupakan satu satunya muballigh yang mendapat kesempatan

mengisi pengajian rutin di NIROM, radio milik Pemerintah Hindia

Belanda. Baginya radio merupakan media yang efektif untuk

menyampaikan pesan-pesan dakwahnya yang dapat didengar oleh

kalangan luas, tak peduli radio itu milik siapa, yang terpenting bisa

menyampaikan misi dakwahnya.

Pengakuan terhadap kearifan dan kehebatan teantang Kiai

Abdullah Ubaid tidak hanya datang dari kalangan masyarakat, tapi

juga dari kalangan Hindia Belanda. Maka ketika Kiai Abdullah

wafat, Pemerintah Belanda tidak keberatan lewat radio ini

79
dikumandangkan tahlilan dan doa bersama untuk mengantar

kepergian sang pengasuh rubrik siraman rohani itu.

Kiai Abdullah Ubaid memiliki peran yang sangat penting

dengan berdirinya Gerakan Pemuda Ansor. Awalnya organisasi ini

bernama Syubbanul Wathan (pemuda tanah air) dengan pengurus

pertamanya Abdullah Ubaid sebagai ketua dan Thohir Bakri sebagai

wakil ketua.

Usaha yang tak kenal lelah ini, akhirnya berbuah hasil. Pada

tahun 1924, Kiai Abdullah Ubaid berhasil mendirikan organisasi

pemuda Syubbanul Wathan, Kemudian pada tahun 1932 mendirikan

BANO (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama), yang kemudian menjadi

ANO (Ansor Nahdlatul Oelama), dan seterusnya GP (Gerakan

Pemuda) Ansor hingga sekarang.

Bersama KH. Ridlwan Abdullah yang mewakili Syuriah, Kiai

Abdullah menghadiri Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, Jawa

Barat yang berlangsung 16 Juni 1938. Beliau mewakili Tanfidziyah

NU Cabang Surabaya. Kiai Abdullah berangkat dari Surabaya

dengan mengendarai sepeda motor Harley Davidson menuju Menes

yang berjarak ratusan kilometer. Mungkin karena kelelahan atau

tanda-tanda Tuhan telah tiba, Kiai Abdullah merasa sakit-sakitan

selama mengikuti Muktamar. Usai mengikuti Muktamar, beliau dapat

80
musibah di daerah Pekalongan. Motornya selip dan oleng karena

jalan licin sehingga beliau terjatuh. Sejak saat itulah, kondisi

kesehatannya terus menurun. Pada hari Kamis tanggal 20 Jumada Al-

Tsaniyah 1357 H/8 Agustus 1938 M, beliau wafat dalam usia yang

masih muda, 39 tahun.

11. Prof. Dr. KH. M. Tolchah Manshur

KH. Tolchah Manshur lahir pada 10 September 1930 M, Di

Malang, Jawa Timur. Setiap bulan Ramadhan, beliau mengikuti

pengajian di beberapa Pondok Pesantren. Seperti Pesantren

Tebuireng, Pesantren Lasem Rembang, dan lain sebagainya. Di

samping itu, beliau juga belajar di Sekoah Rakyat (SR) NU Malang,

lalu melanjutkan ke Taman Madya dan Taman Dewasa (tingkat

SLTA). Kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial

dan Politik Universitas Gajah Mada. Pada 17 Desember 1969 M, Kiai

Tolchah meraih gelar doktor dari kampus tersebut.

Sejak muda, Kiai Tolchah memiliki bakat kepemimpinan

yang menonjol. Ketika usia SMP, dia dipercaya sebagai sekretaris

umum Ikatan Murid Nahdlatul Ulama (IMNU) untuk wilayah Kota

Malang, anggota Organisasi Putra Indonesia, dan anggota pengurus

Himpunan Putra Islam Indonesia di Malang. Pada tahun yang sama,

beliau juga dipercaya menjadi sekretaris Barisan Sabilillah untuk

81
daerah pertempuran Malang Selatan sekaligus menjadi sekretaris

bagian penerangan Markas Oelama Djawa Timoer (MODT).

Kiai Tolchah adalah pencetus berdirinya Ikatan Pelajar

Nahdlatul Ulama (IPNU) dalam konfrensi Ma’arif NU di Semarang

pada 20 Jumadil Akhir 1373 H/24 Februari 1954 M. Beliau juga

tercatat sabagai ketua yang pertama. Bahkan, posisi itu terus

dipercayakan hingga tiga kali muktamar berikutnya.

Tujuan didirikan IPNU adalah sebagai wadah himpunan para

pelajar dan santri NU membentuk putra-putra bangsa yang bertakwa

kepada Allah swt., berilmu, berakhlak mulia, berwawasan

kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegaknya Aswaja dalam

kehidupan masyarakat Indonesia.

Kiai Tolchah wafat pada tanggal 17 Shofar 1406 H/20

Oktober 1986 M dalam usia 56 tahun. Beliau dimakamkan di Dusun

Dongkelan, Taman Tirto, Bantul, Yogyakarta, berdekatan dengan

makam KH. Munawir dan KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta.

Semoga Allah swt. senantiasa memberikan rahmat dan ampunan-

Nya. Amin.

82
LATIHAN SOAL:

1. Jelaskan latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama!

2. Bagaimana strategi para ulama ketika rencana perkumpulan di

Surabaya untuk membentuk NU diketahui oleh pihak

Belanda?

3. Apa tujuan Nahdlatul Ulama didirikan?

4. Sebutkan kegiatan-kegiatan NU pada awal berdirinya yang

sesuai dengan Anggaran Dasar tahun 1927!

5. Usaha untuk mendirikan NU adalah dengan membentuk

Komite Hijaz yang di prakarsai oleh KH. Abdul Wahab

Hasbullah. Jelaskan misi dari Komite Hijaz!

6. Bagaimanakah konsep dakwah yang diterapkan oleh

Walisongo?

7. Sebutkan dan jelaskan konsep pendekatan dakwah NU pada

masyarakat!

8. Jelaskan rangkaian peristiwa sehingga tanggal 22 Oktober

diperingati sebagai Hari Santri Nasional!

9. Apa penyebab NU keluar dari dunia perpolitikan Indonesia

setelah selama 32 tahun bergelut dalam dunia politik?

10. Siapakah ulama yang dijuluki sebagai “Kiai Bambu

Runcing”?

83
BAB III
SISTEM ORGANISASI NU

84
NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang

berpengaruh di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 1926, NU

mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sebagai organisasi

masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia,

keberadaannya menjadi tolak ukur oleh berbagai kalangan. NU

didirikan berdasarkan tujuan yang jelas, yaitu berlakunya ajaran

Islam yang menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah serta menurut

pada salah satu dari keempat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i

dan Hanbali) untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis

dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.

Untuk mewujudkan tujuannya, didalam tubuh NU terdapat

sistem organisasi yang dibuat secara sistematis, sehingga program-

program NU bisa berjalan dengan terarah sesuai dengan tugas pokok

dan fungsinya.

A. KEPENGURUSAN NU

Kepengurusan memiliki arti seluk beluk yang berhubungan

dengan bagian-bagian dan tugas yang melekat pada posisi jabatan.

Kepengurusan NU terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Mustasyar

85
Mustasayar merupakan penasehat yang terdapat pada tingkat

kepengurusan kecuali tingkat ranting. Mustasyar bertugas dan

berwenang memberikan nasehat kepada Pengurus Nahdlatul

Ulama menurut tingkatannya baik diminta ataupun tidak.

2. Syuriyah

Syuriyah adalah pimpinan tertinggi NU. Secara umum,

Syuriyah memiliki kedudukan, tugas dan wewenang yang

khusus menyangkut kebijakan organisasi NU, sedangkan

kebijakan-kebijakannya dilaksanakan oleh Tanfidziyah.

Syuriyah juga bertugas dan berwenang membina dan

mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan perkumpulan

sesuai tingkatannya.

Pengurus Harian Syuriyah berbeda-beda sesuai dengan

tingkatannya. Pengurus Harian Syuriyah tingkat pusat terdiri

dari Rais ‘Aam, beberapa Wakil Rais ‘Aam, beberapa Rais,

Katib ‘Aam, dan beberapa Katib. Pengurus lengkap Syuriyah

tingkat pusat terdiri dari Pengurus Harian Syuriyah dan

A’wan.

Sedangkan secara terperinci Syuriah memiliki beberapa tugas.

Diantaranya adalah sebagai berikut:

86
a. Menentukan arah kebijakan NU dalam melakukan

usaha dan tindakan untuk mencapai tujuan NU;

b. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan,

memahami, mengamalkan dan mengembangkan

ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah

Waljama’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun

tasawuf;

c. Mengendallikan, mengawasi dan memberi koreksi

terhadap semua perangkat NU agar berjalan di atas

ketentuan jam’iyah dan agama Islam;

d. Membimbing, mengarahkan dan mengawasi Badan

Otonom, Lembaga dan Lajnah yang langsung berada

di bawah Syuriyah;

e. Jika keputusan suatu perangkat Organisasi NU dinilai

bertentangan dengan ajaran Islam menurut faham

Ahlussunnah Waljama’ah, maka pengurus Syuriyah

yang berdasarkan keputusan rapat dapat membatalkan

keputusan atau langkah perangkat tersebut.

3. Tanfidziyah

Tanfidziyah merupakan pelaksana kebijakan Syuriyah dan

program-program NU. Secara umum, Tanfidziyah memiliki

87
tugas dan wewenang menjalankan pelaksanaan keputusan-

keputusan perkumpulan sesuai tingkatannya secara operatif

karena kedudukannya sebagai pelaksana.

Pengurus Harian Tanfidziyah berbeda-beda sesuai dengan

tingkatannya masing-masing. Pengurus Harian Tanfidziyah

tingkat pusat terdiri dari Ketua Umum, beberapa Wakil Ketua

Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Jenderal, beberapa Wakil

Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum dan beberapa

Bendahara. Pengurus lengkap Tanfidziyah terdiri dari

Pengurus Harian Tanfidziyah dan Ketua Lembaga tingkat

pusat.

Sedangkan secara terperinci Tanfidziyah memiliki beberapa

tugas. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Memimpin jalannya organisasi sehari–hari sesuai

dengan kebijakan yang ditentukan oleh pengurus

Syuriyah;

b. Melaksanakan program jam’iyah NU.

c. Membina dan mengawasi kegiatan semua perangkat

jam’iyah yang berada di bawahnya;

d. Menyampaikan laporan secara periodik kepada

pengurus Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya.

88
Kesuksesan NU tentu tidak lepas dari peran para Founding

Father (pendiri), tokoh-tokoh sentral hingga pengurus yang mengisi

di setiap struktur organisasi.

Pengurus Nahdlatul Ulama berkewajiban membina,

mengayomi dan dapat mengambil tindakan organisatoris terhadap

Lembaga dan Badan Otonom pada tingkat masing-masing. Didalam

NU, terdapat enam struktur organisasi, baik dari tingkat pusat hingga

paling bawah. Berikut adalah struktur organisasi NU.

1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk tingkat

Nasional dan berkedudukan di Jakarta, Ibu kota Negara.

Terdiri dari:

a. Mustasyar Pengurus Besar;

b. Pengurus Besar Harian Syuriyah;

c. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah;

d. Pengurus Besar Harian Tanfidziyah;

e. Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah;

f. Pengurus Besar Pleno.

2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) untuk tingkat

Provinsi dan berkedudukan di wilayahnya. Terdiri dari:

a. Mustasyar Pengurus Wilayah;

89
b. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah;

c. Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah;

d. Pengurus Wilayah Harian Tanfidziyah;

e. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah;

f. Pengurus Wilayah Pleno.

3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) untuk tingkat

Kabupaten atau Kota dan berkedudukan diwilayahnya dan

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) untuk

tingkat luar negeri dan berkedudukan di wilayah negara yang

bersangkutan. Terdiri dari:

a. Mustasyar Pengurus Cabang;

b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah;

c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah;

d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah;

e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah;

f. Pengurus Cabang Pleno.

4. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) untuk

tingkat luar negeri dan berkedudukan di wilayah negara yang

bersangkutan. Terdiri dari:

a. Mustasyar Pengurus Cabang Istimewa;

b. Pengurus Cabang Istimewa Harian Syuriyah;

90
c. Pengurus Cabang Istimewa Lengkap Syuriyah;

d. Pengurus Cabang Istimewa Harian Tanfidziyah;

e. Pengurus Cabang Istimewa Lengkap Tanfidziyah;

f. Pengurus Cabang Istimewa Pleno.

5. Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) untuk

tingkat Kecamatan dan berkedudukan diwilayahnya. Terdiri

dari:

a. Mustasyar Majelis Wakil Cabang;

b. Majelis Wakil Cabang Harian Syuriyah;

c. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap Syuriyah;

d. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian Tanfidziyah;

e. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap

Tanfidziyah;

f. Pengurus Majelis Wakil Cabang Pleno.

6. Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) untuk tingkat

Kelurahan atau Desa. Terdiri dari:

a. Pengurus Ranting Harian Syuriyah;

b. Pengurus Ranting Lengkap Syuriyah;

c. Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah;

d. Pengurus Ranting Lengkap Tanfidziyah;

e. Pengurus Ranting Pleno.

91
7. Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama (PARNU) untuk

tingkat Dusun, Kelompok Masyarakat, Masjid atau Musholla.

Terdiri dari:

a. Pengurus Anak Ranting Harian Syuriyah;

b. Pengurus Anak Ranting Lengkap Syuriyah;

c. Pengurus Anak Ranting Harian Tanfidziyah;

d. Pengurus Anak Ranting Lengkap Tanfidziyah;

e. Pengurus Anak Ranting Pleno.

Masa khidmat kepengurusan adalah 5 (lima) tahun dalam satu

periode di semua tingkatan, kecuali Pengurus Cabang Istimewa yang

masa khidmatnya selama 2 (dua) tahun.

B. KEANGGOTAAN NU

Keanggotaan Nahdlatul Ulama terdiri dari:

1. Anggota Biasa

Anggota Biasa adalah setiap warga negara Indonesia yang

beragama Islam, baligh, dan menyatakan diri setia terhadap

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulan.

2. Anggota Luar Biasa

Anggota Luar Biasa adalah setiap orang yang beragama

Islam, baligh, menyetujui akidah, asas dan tujuan Nahdlatul

92
Ulama namun yang bersangkutan bukan warga negara

Indonesia.

3. Anggota Kehormatan

Anggota Kehormatan adalah setiap orang yang bukan anggota

biasa atau anggota luar biasa yang dinyatakan telah berjasa

kepada Nahdlatul Ulama dan ditetapkan dalam keputusan

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Pada keanggotaan NU, terdapat mekanisme penerimaan dan

pemberhentian sebagai anggota, serta hak dan kewajiban anggota

yang tertuang didalam AD/ART NU.

C. PERMUSYAWARATAN NU

Permusyawaratan adalah suatu pertemuan yang dapat

membuat keputusan dan ketetapan perkumpulan yang diikuti oleh

struktur perkumpulan di bawahnya. Permusyawaratan di lingkungan

Nahdlatul Ulama meliputi Permusyawaratan Tingkat Nasional dan

Permusyawaratan Tingkat Daerah.

Permusyawaratan Tingkat Nasional terdiri dari:

1. Muktamar

Muktamar adalah forum permusyawaratan tertinggi di dalam

perkumpulan Nahdlatul Ulama. Muktamar dipimpin dan

93
diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sekali

dalam 5 (lima) tahun. Pada forum ini membahas dan

menetapkan beberapa hal terkait. Diantaranya adalah:

a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;

c. Garis-garis besar program kerja Nahdlatul Ulama 5

(lima) tahun;

d. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

e. Rekomendasi perkumpulan;

f. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;

g. Memilih ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul

Ulama.

Muktamar dihadiri oleh tiga unsur, yaitu Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Wilayah

Nahdlatul Ulama (PWNU), Pengurus Cabang/Cabang

Istimewa Nahdlatul Ulama (PC/PCINU). Keputusan

Muktamar bisa sah apabila dihadiri oleh 2/3 (dua

pertiga) jumlah wilayah dan cabang/cabang istimewa

yang sah.

2. Muktamar Luar Biasa

94
Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan apabila Rais

’Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan

pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga. Muktamar Luar Biasa dapat

diselenggarakan atas usulan sekurang-kurangnya 50% (lima

puluh persen) plus satu dari jumlah wilayah dan cabang.

Muktamar Luar Biasa dipimpin dan diselenggarakan oleh

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Sedangkan ketentuan

tentang peserta dan keabsahan Muktamar Luar Biasa merujuk

kepada ketentuan Muktamar.

3. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama

Musyawarah Nasional Alim Ulama merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar yang dipimpin

dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Didalam forum ini membicarakan berbagi masalah

keagamaan yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa.

Pada forum ini dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno

dan Pengurus Wilayah Syuriyah. Musyawarah Nasional Alim

Ulama dapat mengundang alim ulama, pengasuh pondok

pesantren dan tenaga ahli, baik dari dalam maupun dari luar

pengurus Nahdlatul Ulama sebagai peserta. Perkumpulan ini

95
dapat diselenggarakan atas permintaan sekurang-kurangnya

separuh dari jumlah wilayah yang sah. Akan tetapi tidak dapat

mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,

keputusan Muktamar dan tidak memilih pengurus baru.

Forum ini dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali

dalam masa jabatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

4. Konferensi Besar (Konbes)

Konferensi Besar merupakan forum permusyawaratan

tertinggi setelah Muktamar yang dipimpin dan

diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Hal-

hal yang dibicarkan adalah pelaksanaan keputusan-keputusan

Muktamar, mengkaji perkembangan dan memutuskan

Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama. Konferensi Besar

dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno dan Pengurus

Wilayah Nahdlatul Ulama. Didalam konferensi ini tidak dapat

mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,

keputusan Muktamar dan tidak memilih pengurus baru.

Konferensi Besar bisa sah apabila dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah wilayah. Dan

diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam masa

jabatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

96
Permusyawaratan Tingkat Daerah terdiri dari:

1. Konferensi Wilayah (Konferwil)

Konferensi Wilayah adalah forum permusyawaratan tertinggi

untuk tingkat wilayah. Pada Konferwil membahas dan

menetapkan berbagai hal, diantaranya:

a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Wilayah

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Pokok-pokok program kerja wilayah 5 (lima) tahun

merujuk pada garis-garis besar program kerja

Nahdlatul Ulama;

c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

d. Rekomendasi perkumpulan;

e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;

f. Memilih Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama.

Konferwil dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus

Wilayah Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun yang

dihadiri oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)

dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU). Untuk

meningkatkan pembinaan dan pengembangan perkumpulan,

forum ini dapat dihadiri oleh Majelis Wakil Cabang Nahdlatul

Ulama (MWCNU). Konferwil bisa sah apabila dihadiri oleh

97
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah cabang di

daerah.

2. Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil)

Musyarawah Kerja Wilayah merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Konferensi Wilayah yang

dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah

Nahdlatul Ulama (PWNU). Didalamnya membicarakan

pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Wilayah dan

mengkaji perkembangan perkumpulan serta peranannya di

tengah masyarakat. Musyarawah ini dihadiri oleh anggota

Pengurus Wilayah Pleno dan Pengurus Cabang Nahdlatul

Ulama. Muskerwil sah apabila dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah cabang. Muskerwil

diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam masa

jabatan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama. Dan tidak dapat

melakukan pemilihan pengurus.

3. Konferensi Cabang (Konfercab)

Konferensi Cabang adalah forum permusyawaratan tertinggi

untuk tingkat cabang. Konferensi Cabang membicarakan dan

menetapkan:

98
a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Cabang

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Pokok-pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk

pada Pokok-pokok Program Kerja Wilayah dan Garis-

garis Besar Program Kerja Nahdlatul Ulama;

c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

d. Rekomendasi perkumpulan;

e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;

f. Memilih Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama.

Konfercab dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus

Cabang Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun dan

dihadiri oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dan Majelis

Wakil Cabang Nahdlatul Ulama. Untuk meningkatkan

pembinaan dan pengembangan perkumpulan, Konfercab

dapat dihadiri oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama.

Konfercab sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah wakil cabang di daerahnya.

4. Musyawarah Kerja Cabang (Muskercab)

Musyarawah Kerja Cabang merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Konferensi Cabang yang

dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Cabang

99
Nahdlatul Ulama (PCNU). Musyarawah ini membicarakan

pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Cabang dan

mengkaji perkembangan perkumpulan serta peranannya di

tengah masyarakat. Forum ini dihadiri oleh anggota Pengurus

Cabang Pleno dan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama

(MWCNU). Muskercab bisa sah apabila dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah wakil

cabang dan diadakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam

masa jabatan pengurus Cabang Nahdlatul Ulama. Muskercab

juga tidak dapat melakukan pemilihan pengurus.

5. Konferensi Wakil Cabang

Konferensi Wakil Cabang adalah forum permusyawaratan

tertinggi untuk tingkat wakil cabang. Konferensi Wakil

Cabang membicarakan dan menetapkan:

a. Laporan pertanggungjawaban Majelis Wakil Cabang

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Pokok-Pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk

pada Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Wilayah

dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama;

c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

d. Rekomendasi perkumpulan;

100
e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;

f. Memilih Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul

Ulama.

Konferensi ini dipimpin dan diselenggarakan oleh Majelis

Wakil Cabang Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun

yang dihadiri oleh Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama

(MWCNU) dan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU).

Untuk meningkatkan pembinaan dan pengembangan

perkumpulan, Konferensi Wakil Cabang dapat dihadiri oleh

Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama. Konferensi Wakil

Cabang sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah ranting di daerahnya.

6. Musyawarah Kerja Wakil Cabang

Musyarawah Kerja Wakil Cabang merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Konferensi Wakil Cabang

yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Majelis Wakil

Cabang Nahdlatul Ulama. Musyarawah Kerja Wakil Cabang

membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi

Wakil Cabang dan mengkaji perkembangan perkumpulan

serta peranannya di tengah masyarakat. Musyarawah ini

dihadiri oleh Majelis Wakil Cabang Pleno dan Pengurus

101
Ranting Nahdlatul Ulama dan keputusannya sah apabila

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen)

lebih satu jumlah peserta. Forum ini diadakan sekurang-

kurangnya 3 (tiga) kali dalam masa jabatan Majelis Wakil

Cabang Nahdlatul Ulama. Dan tidak dapat melakukan

pemilihan pengurus.

7. Musyawarah Ranting

Musyawarah Ranting adalah forum permusyawaratan

tertinggi untuk tingkat ranting. Musyawarah Ranting

membicarakan dan menetapkan:

a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Ranting

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Pokok-pokok program kerja 5 (lima) tahun merujuk

pada pokok-pokok program kerja Pengurus Cabang

dan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama;

c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

d. Rekomendasi perkumpulan;

e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;

f. Memilih Ketua Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama.

Musyawarah Ranting dipimpin dan diselenggarakan oleh

Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima)

102
tahun yang dihadiri oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama

(PRNU) dan Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama

(PARNU). Musyawarah ini sah apabila dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anak

ranting di daerahnya.

8. Musyawarah Kerja Ranting

Musyarawah Kerja Ranting merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Musyawarah Ranting yang

dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Ranting

Nahdlatul Ulama. Musyarawah Kerja Ranting membicarakan

pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Ranting dan

mengkaji perkembangan perkumpulan serta peranannya di

tengah masyarakat. Musyarawah ini dihadiri oleh anggota

Pengurus Ranting Pleno dan utusan Pengurus Anak Ranting

Nahdlatul Ulama dan keputusannya sah apabila dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) lebih satu

jumlah peserta. Musyarawah Kerja Ranting diadakan

sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam masa jabatan

Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama. Dan tidak dapat

melakukan pemilihan pengurus.

9. Musyawarah Anak Ranting

103
Musyawarah Anggota adalah forum permusyawaratan

tertinggi untuk tingkat anak ranting. Musyawarah Anggota

membicarakan dan menetapkan:

a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Anak Ranting

Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;

b. Pokok-pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk

pada Pokok-pokok Program Kerja Majelis Wakil

Cabang dan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama;

c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;

d. Rekomendasi perkumpulan;

e. Ahlul Halli Wal ‘Aqdi;

f. Memilih Ketua Pengurus Anak Ranting Nahdlatul

Ulama.

Musyawarah Anggota dipimpin dandiselenggarakan oleh

Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama sekali dalam 5

(lima) tahun yang dihadiri oleh Pengurus Anak Ranting dan

anggota Nahdlatul Ulama. Musyawarah Anggota sah apabila

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah anggota di wilayahnya.

10. Musyawarah Kerja Anak Ranting.

104
Musyawarah Kerja Anggota merupakan forum

permusyawaratan tertinggi setelah Musyawarah Anggota

yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Anak

Ranting Nahdlatul Ulama yang dihadiri oleh Pengurus Anak

Ranting Pleno. Forum ini membicarakan pelaksanaan

keputusan-keputusan Musyawarah Anggota dan mengkaji

perkembangan perkumpulan serta peranannya di tengah

masyarakat. Keputusunnya bisa sah apabila dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) lebih satu

jumlah anggota. Musyawarah Kerja Anggota diadakan

sekurang-kurangnya 5 (lima) kali dalam masa jabatan

pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama. Dan tidak dapat

melakukan pemilihan pengurus.

Sedangkan permusyawaratan Badan Otonom diatur tersendiri

dan dimuat dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga

Badan Otonom yang bersangkutan.

D. RAPAT-RAPAT NU

105
Rapat adalah suatu pertemuan yang dapat membuat keputusan

dan ketetapan perkumpulan yang dilakukan pada masing-masing

tingkat kepengurusan. Rapat-rapat di lingkungan Nahdlatul Ulama

terdiri dari:

1. Rapat Kerja Nasional

Rapat Kerja Nasional dihadiri oleh Pengurus Lengkap

Syuriyah, Pengurus Lengkap Tanfidziyah dan Pengurus

Harian Lembaga. Rapat Kerja Nasional membicarakan

perencanaan, penjabaran dan pengendalian operasional

keputusan-keputusan Muktamar. Rapat ini diadakan 1 (satu)

kali dalam setahun. Rapat Kerja Nasional yang pertama

diadakan selambat-lambatnya tiga bulan setelah Muktamar;

2. Rapat Pleno

Rapat Pleno adalah rapat yang dihadiri oleh Mustasyar,

Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah,

Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom. Rapat Pleno

diadakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

Didalamnya membicarakan pelaksanaan program kerja;

3. Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah

Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah dihadiri oleh

Pengurus Harian Syuriyah dan Pengurus Harian Tanfidziyah.

106
Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah diadakan sekurang-

kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. Rapat ini membahas

kelembagaan perkumpulan, pelaksanaan dan pengembangan

program kerja;

4. Rapat Harian Syuriyah

Rapat Harian Syuriyah dihadiri oleh Pengurus Harian

Syuriyah dan dapat mengikut sertakan Mustasyar. Rapat

Harian Syuriyah diadakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan

sekali. Rapat ini membahas kelembagaan perkumpulan,

pelaksanaan dan pengembangan program kerja;

5. Rapat Harian Tanfidziyah

Rapat Harian Tanfidziyah dihadiri oleh Pengurus Harian

Tanfidziyah dan diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan

sekali. Rapat ini juga membahas kelembagaan perkumpulan,

pelaksanaan dan pengembangan program;

6. Rapat-rapat lain yang dianggap perlu

Rapat-rapat lain yang dianggap perlu adalah rapat-rapat yang

diselenggarakan sewaktu waktu sesuai dengan kebutuhan.

107
LATIHAN SOAL

1. Apa perbedaan tugas dan wewenang Mustasyar, Syuriyah dan

Tanfidziyah?

2. Sebutkan susunan kepengurusan Tanfidziyah tingkat pusat!

3. Apa kewajiban dari pengurus Nahdlatul Ulama?

4. Sebutkan struktur NU mulai dari tingkat pusat sampai tingkat

bawah!

5. Apa yang dinamakan dengan Anggota Kehormatan NU?

6. Sebutkan secara urut Permusyawaratan yang ada di dalam

NU!

7. Pembahasan apa yang terdapat pada Musyawarah Nasional

Alim Ulama NU?

8. Sebutkan Rapat-Rapat NU dan jelaskan pembahasannya!

9. Apa yang dinamakan Permusyawaratan?

10. Hal apa saja yang dibahas pada Musyawarah Ranting?

108
BAB IV

PERANGKAT PERKUMPULAN DAN BADAN KHUSUS NU

109
Untuk melaksanakan tugas dan usaha-usaha, NU membentuk

perangkat perkumpulan yang meliputi Lembaga, Badan Otonom dan

membentuk Badan Khusus yang merupakan bagian tak terpisahkan

dari kesatuan perkumpulan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

A. LEMBAGA

Lembaga adalah perangkat departementasi perkumpulan

Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan

Nahdlatul Ulama berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu

dan atau yang memerlukan penanganan khusus. Seperti dakwah,

pertanian, perekonomian, pesantren, pendidikan dan sebagainya.

Ketua Lembaga ditunjuk langsung dan bertanggung jawab

kepada pengurus Nahdlatul Ulama sesuai dengan tingkatannya

masing-masing. Dan Ketua Lembaga dapat diangkat untuk maksimal

2 (dua) kali masa jabatan.

Pembentukan dan penghapusan Lembaga ditetapkan melalui

Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah masing-masing tingkat

kepengurusan Nahdlatul Ulama. Pembentukan Lembaga di tingkat

wilayah, cabang dan cabang istimewa Nahdlatul Ulama, disesuaikan

dengan kebutuhan penanganan program.

110
Berikut adalah Lembaga dibawah naungan yang berjumlah

delapan belas:

1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama disingkat LDNU,

bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang

pengembangan agama Islam yang menganut faham

Ahlussunnah Waljama’ah;

2. Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama disingkat LP

Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul

Ulama dibidang pendidikan dan pengajaran formal;

3. Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama disingkat

RMINU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama

di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan

keagamaan;

4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama disingkat LPNU

bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang

pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama;

5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama

disingkat LPPNU, bertugas melaksanakan kebijakan

Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pengelolaan

pertanian, kehutanan dan lingkungan hidup;

111
6. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama disingkat

LKKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama

di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan;

7. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Nahdlatul Ulama disingkat LAKPESDAM NU, bertugas

melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang

pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia;

8. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama

disingkat LPBHNU, bertugas melaksanakan pen- dampingan,

penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hukum;

9. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama

disingkat LESBUMI NU, bertugas melaksanakan kebijakan

Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan seni dan budaya;

10. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama

disingkat LAZISNU, bertugas menghimpun zakat dan

shadaqah serta mentasharufkan zakat kepada mustahiqnya;

11. Lembaga Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama disingkat

LWPNU, bertugas mengurus tanah dan bangunan serta harta

benda wakaf lainnya milik Nahdlatul Ulama;

12. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama disingkat

LBMNU, bertugas membahas masalah-masalah maudlu’iyyah

112
(tematik) dan waqi’iyyah (aktual) yang akan menjadi

Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;

13. Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama disingkat LTMNU,

bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di

bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid;

14. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama disingkat LKNU,

bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang

Kesehatan;

15. Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama disingkat LFNU,

bertugas mengelola masalah ru’yah, hisab dan pengembangan

iImu falak;

16. Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama disingkat

LTNNU, bertugas mengembangkan penulisan, penerjemahan

dan penerbitan kitab atau buku serta media informasi menurut

faham Ahlussunnah Waljama’ah;

17. Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama disingkat

LPTNU, bertugas mengembangkan pendidikan tinggi

Nahdlatul Ulama;

18. Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim

Nahdlatul Ulama disingkat LPBINU, bertugas melaksanakan

113
kebijakan Nahdlatul Ulama dalam pencegahan dan

penanggulangan bencana serta eksplorasi kelautan.

B. BADAN OTONOM

Badan Otonom adalah Perangkat Perkumpulan Nahdlatul

Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama

yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan

beranggotakan perorangan. Pembentukan dan pembubaran Badan

Otonom diusulkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ditetapkan

dalam Konferensi Besar dan dikukuhkan dalam Muktamar.

Badan Otonom berkewajiban menyesuaikan dengan akidah,

asas dan tujuan Nahdlatul Ulama dan harus memberikan laporan

perkembangan setiap tahun kepada Nahdlatul Ulama di semua

tingkatannya. Badan Otonom dikelompokkan dalam kategori Badan

Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan

Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.

Jenis Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat

tertentu adalah:

1. Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimat NU untuk

anggota perempuan Nahdlatul Ulama;

114
2. Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Fatayat NU untuk anggota

perempuan muda Nahdlatul Ulama yang berusia maksimal 40

(empat puluh) tahun;

3. Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama disingkat GP Ansor

NU untuk anggota laki-laki muda Nahdlatul Ulama yang

berusia maksimal 40 (empat puluh) tahun. GP ANSOR

memiliki organisasi yang berada dibawah nauangannya yang

bernama Barisan Ansor Serbaguna disingkat BANSER.

BANSER merupakan pasukan yang terlatih yang berfungsi

serba guna, terutama di bidang pertahanan dan keamanan,

baik untuk kepentingan GP Ansor sendiri, NU maupun

masyarakat pada umumnya;

4. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia disingkat PMII untuk

mahasiswa Nahdlatul Ulama yang berusia maksimal 30 (tiga

puluh) tahun;

5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar

dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama Ulama yang berusia

maksimal 27 (dua puluh tujuh) tahun;

6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk

pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang berusia

maksimal 27 (dua puluh tujuh) tahun.

115
Jenis Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya

adalah:

1. Jam’iyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah

disingkat JATMAN untuk anggota Nahdlatul Ulama

pengamal thariqat yang mu’tabar;

2. Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh disingkat JQH untuk anggota

Nahdlatul Ulama yang berprofesi Qori/Qoriah dan

Hafizh/Hafizhah;

3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama disingkat ISNU adalah

Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan

kebijakan Nahdlatul Ulama pada kelompok sarjana dan kaum

intelektual;

4. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia disingkat SARBUMUSI

untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai

buruh/karyawan/tenaga kerja;

5. Pagar Nusa untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak

pada pengembangan seni bela diri;

6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama disingkat PERGUNU untuk

anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai guru dan

atau ustadz;

116
7. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama untuk anggota

Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai nelayan;

8. Ikatan Seni Hadrah Indonesia Nahdlatul Ulama disingkat

ISHARI NU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak

dalam pengembangan seni hadrah dan sholawat.

C. BADAN KHUSUS

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dapat membentuk

Badan Khusus. Sementara pengertian Badan Khusus adalah

perangkat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang memiliki struktur

secara nasional yang berfungsi sebagai pengelola, penyelenggara, dan

pengembangan kebijakan perkumpulan di bidang tertentu yang

melekat dibawah kordinasi PBNU. Dalam Pembentukan dan

penghapusan Badan Khusus ditetapkan melalui Rapat Harian

Syuriyah dan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketua

Badan Khusus dapat diangkat untuk maksimal 2 (dua) kali masa

khidmat.

Jenis Badan Khusus NU adalah sebagai berikut:

1. Ahlussunnah Waljama’ah Nandlatul Ulama Center (Aswaja

NU Center);

2. Detasemen Satuan Khusus 26 NU (Detasemen 26 NU);

117
3. Satuan Komunitas Pramuka Ma’arif NU (SAKO Ma’arif

NU);

4. Badan Pengembangan Administrasi Keorganisasian dan

Kader;

5. Badan Pengembangan Jaringan Internasional;

6. Badan Pengembangan Inovasi Strategis.

LATIHAN SOAL

1. Apakah perbedaan Fatayat NU dan Muslimat NU?

2. Apa fungsi Lembaga NU?

3. Berapa lama Ketua Lembaga NU menjabat?

4. Jelaskan fungsi dari Badan Otonom!

5. Jelaskan perbedaan antara GP Ansor dan Banser!

6. Apa tugas dari Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul

Ulama (LPPNU)?

118
7. Apa fungsi dari Badan Khusus? dan sebutkan jenisnya!

8. Apa kewajiban Badan Otonom?

9. Sebutkan Badan Otonom yang berbasis profesi dan

kekhususan lainnya!

10. Badan Otonom yang bergerak dalam pengembangan seni

hadrah dan sholawat disebut

119

Anda mungkin juga menyukai