Disusun oleh :
(210400867)
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Ahli Sunnah Waljamaah?
2. Bagaimana kegiatan amaliyah golongan Aswaja An Nahdliyah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tawasuth
2. Tasamuh
3. Tawazun
4. Amar ma’ruf nahi munkar
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama
dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di
Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja ( ahlussunah waljama’ah)
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi /Jam‘iyyah
merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok
Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai,
dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi
pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi
tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang
siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai
penganut setia paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) dengan mempertahankan,
melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara
eksplisit, tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-
Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis.
Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :”Adapoen maksoed
perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja
Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan
apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang
berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama”
atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :
Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada
Allah SWT.
Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW,
meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.
Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari-hari seperti : tekun
beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat &
mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur,
10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun
memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras
yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai
pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir
abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di
Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara
ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya
yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas
dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren
ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren
Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh
Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan
mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan
pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa
pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren
Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren
itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para
santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama.
Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari
pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu
dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma
menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah.
Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara
mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah
dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu
gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat)
didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo
(kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua
KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU).
Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera
Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-
Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat).
Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo
untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam
di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah
dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di
Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah
dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret
1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk
mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam
akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan
furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres
al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan
mencari penyelesaian masalah Khilafah.
BAB III
KESIMPULAN
1. https://www.anekamakalah.com/2012/10/sejarah-ahlussunnah-wal-jamaah.html
2. http://grupsyariah.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-ahlussunnah-wal.html
3. Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)
Sidogiri.com
4. Azyumardi, Azra, jaringan ulama. 1994, Bandung ; Mizan.
5. Badri, Yatim, sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
6. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos,
Jakarta : 1999,
7. Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik,
Jakarta : Gramedia, 1995,
8. KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran
dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS,
Yogyakarta, 1999.