HUKUMNYA
Junaid J. Lamande/18020102014
Email: junamn3102@gmail.com
ABSTRAK
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia, sejak berdirinya sudah menjadikan paham Ahlussunnah walJama’ah
sebagai basis teologinya dan menganut salah satu dari empat mazhab, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pegangan dalam berfiqh. Dalam memutuskan
sebuah hukum, NU mempunyai sebuah forum yang dinamakan Bahtsul Masail atau
Lajnah Bahtsul Masail (LBM). Dalam forum ini, cara pengambilan keputusan hukum
tidak langsung merujuk pada sumber primer hukum Islam, al-Qur’an dan hadits,
tetapi hukum digali dari pemikiran para cendekiawan muslim masa silam yang
tertuang dalam khazanah Islam klasik, Selain itu, dalam mengambil keputusan,
Bahtsul Masail juga dibatasi oleh pendapat empat mazhab (al-mazahib al-arba’ah)
yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Beberapa kajian terhadap kegiatan Bahtsul
Masail NU yang selama ini ada, menyebutkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan,
diantaranya kelemahan teknis (kaifiyat al-bahts) dalam penyelenggaraannya yang
masih bersifat qauli (tekstual). dapat diketahui bahwa NU sejak berdirinya sampai
sekarang ini dalam Bahtsul Masailnya menggunakan tiga metode yaitu metode
qauli,metode Ilhaqi dan metode manhaji.
1
A. PENDAHULUAN
1
H. Soelaiman Fadali, Antologi NU, Sejarah istilah amaliah uswah Cet. II
(Surabaya, Khalista Parbruari 2005) hlm. 1
2
Solahuddin, Nasionalisme dan Islami Nusantara (Jakarta : PT Kompas
Gramedia Nusantara 2015),hlm.87
3
Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU, (Yogyakarta : LUIS Pelangi Aksara,
2004), hlm. 15
4
M. Mukhsin Jamil dkk,Nalar Islam Nusantara "Studi Islam ala
Muhammadiyah al-Irsyad, persis dan NU" (Jakarta, Departemen Agama Republik
Indonesia, 2007) hlm. 277
2
lokal kebangsaan adalah tercatat dalam musyawarah nasional ulama NU pada 1983 M
mengesahkan dokumen hubungan Islam dan Pancasila, dan diperkuat dengan
keputusan mukhtamar NU tahun 1984. 5 Lebih dari itu, menurut Zuhairi Miswari
dalam artikelnya yang berjudul menyongsong Seabad NU menyatakatan “NU secara
kasat mata telah terlibat dalam politik praktis, bukan politik kebangsaan sebagaimana
diamanatkan dalam khittah 1926 dan ditegaskan kembali dalam Muktamar 1984 M”.
5
Salahudin wahid, Nasionalisme, hlm. 22
6
Ahmad Arifin, 2009,"Dinamika Pemikiran Fiqih dalam Nu : Analisis atas
Nalar Fiqh Pola Mazhab Ulumuna : Jurnal studi keislaman vol. XIII No.1 hlm. 191
3
B. PEMBAHASAN
Nahdlatul Ulama
Begitu besar harapan masyarakat NU terhadap peran dan fungsi bahtsul masa’il
dalam upaya mencari kepastian hukum. Beragam persoalan yang muncul, baik yang
menyangkut masa’il diniyyah maudu’iyyah (masalah-masalah agama yang tematik)
maupun masa’il diniyyah waqi’iyyah (masalah-masalah agama sehari- hari) oleh
karena itu sudah barang tentu menjadi tugas bahtsul masa’il untuk menerbitkan fatwa.
Nahdlatul Ulama lahir sebagai penerus estafet dari apa yang diperjuangkan oleh
Walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di pulau Jawa. Ajaran yang diemban
oleh Walisongo ialah mengikuti irama Ahlussunnah wal Jamaah yang dilestarikan
dari generasi ke generasi selanjutnya, seperti tradisi-tradisi yang ada di Masjid Sunan
Ampel dan Masjid Demak, serta amalan-amalan dari banyaknya mayoritas umat
Islam di Nusantara khususnya Pulau Jawa, yang kebanyakan beraliran Sunni dengan
bermazhab fiqh mengikuti Mazhab Imam Syafi’i dan Abu Hasan al-Asy’ari dalam
bidang teologi, dalam berakhlak tasawuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi dan
Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain. 7
Sebelum jam’iyyah ini terbentuk, ada beberapa hal yang langsung maupun tidak
7
Amirul Ulum, Muasis Nahdatul Ulama : manaqib 26 tokoh pendiri NU,
(yogyakarta : aswaja presindo, 2015) hlm. 1
4
menjadi latar belakang berdirinya NU. Misalnya gerakan pembaruan di Mesir dan
sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang
dimotori oleh Jamaluddin al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam.
Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan
Khilafah Usmaniyyah serta timbulnya gerakan Wahabi di Arab Saudi yang bergulat
dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi paham tauhid dan
konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan
kemusyrikan yang melanda umat Islam.
a. Sikap Tasawut dan I’tidal; sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan
bersama. Nahdlatul Ulama (NU) dalam sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok
panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta
menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
b. Sikap Tasamuh; sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’atau menjadi masalah khilafiyah, serta
dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
d. Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar; selalu memiliki kepekaan untuk mendorong
perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak
dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai
kehidupan.Untuk membimbing warganya dalam berinteraksi dengan masyarakat
5
sekitar, NU telah memberikan beberapa sikap diantaranya Tawasuth dan I’tidal, sikap
tengah dan tegak lurus, berintikan keadilan dan tidak ekstrim. Di samping itu,
dikembangkan pula sikap Tasamuth yaitu toleransi dalam perbedaan perbedaan
pendapat baik dalam keagamaan (furu’) dan kemasyarakatan.
Lajnah Bahtsul Masa’il adalah forum ilmiah keagamaan tertinggi bagi warga NU
dan juga merupakan perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan program
kerja NU dalam mengembangkan hukum Islam Meninjau dari anggaran dasar NU,
munculnya Bahtsul Masa’il (pengkajian masalah-masalah agama) dilatar belakangi
oleh adanay kebutuhan masyarakat terhadap hukum islam praktis bagi kehidupan
sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya
dengan jalan Bahtsul Masa’il.
6
empat madzhab tersebut.
Aktivitas Lajnah Bahtsul Masa’il yang telah ada sebelum berdirinya NU. dengan
sepak terjang perjalanan lahirnya Lajnah Bahtsul Masa’il yang belum otonom, dalam
arti Nahdlatul Ulama belum membentuknya sebagai suatu badan otonom, namun
dalam Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tanggal 25-28 November 1989, (Bahtsul
Masa’il), merekomendasikan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk
membentuk Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah sebagai lembaga permanen yang khusus
menangani persoalan keagamaan, Yang terbentuk pada tahun 1990.
Dari segi historis maupun operasionalitas Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dengan
dikatanya dinamis sebab persoalan (masa’il) yang digarap selalu mengikuti
perkembangan hukum dimasyarakat. Demokratisnya Lajnah Bahtsul Masa’il karena
dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiyai, santri, baik yang tua maupun
yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Sedangkan
dikatakan berwawasan luas, sebab didalam Lajnah Bahtsul Masa’il tidak ada
dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam khilafiyah.Ada dua hal keunikan dalam
memahami dan mengkaji Lajnah Bahtsul Masa’il diantaranya pertama, pada tataran
teoritisnya Lajnah Bahtsul Masa’il mengkaji dan memutuskan masalah-masalah yang
amat urugen untuk ditetapkan kepastian hukumnya. Dan kedua, pada tataran
praktisnya, masyarakat Islam Indonesia, terutama keluarga nahdliyyin, biasanya lebih
patuh pada keputusan-keputusan induk organisasi yang sebagian bersar terformulasi
dalam Lajnah Bahtsul Masa’il.
Lajnah Bahtsul Masa’il adalah salah satu lembaga dalam Jam’iyyah NU yang
berfungsi sebagai suatu forum pengkajian yang membahas berbagai masalah
keagamaan (Islam). Lembaga ini penghimpun, membahas dan memutuskan masalah-
masalah yang menuntut kepastian hukum dalam bidang fiqih yang mengacu kepada
empat madzhab. Saat ini Lajnah Bahtsul Masa’il dari tahun 1926-1999 terbagi
menjadi dua sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al- Waqi’iyyah
(pengkajian masalah keagamaan aktual yang terjadi dan berkembang di masyarakat
sosial untuk memperoleh kepastian hukumnya), dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-
Maudhu’iyyah (Pengkajian masalah keagamaan konseptual).Agar terhindar dari
persepsi yang berbeda dikalangan masyarakat, yang perlu dijelaskan dari istilah yang
7
dimungkinkan akan salah persepsi yaitu Bahtsul Masa’il dan Lajnah Bahtsul Masa’il,
yang pertama yaitu sebutan bagi suatu prosesnya, sedangkan yang kedua adalah
sebutan Lembaga atau wadahnya.
Di kalangan NU, pengertian istinbath adalah menggali secara langsung dari al-
qur’an dan hadits, dengan cenderung ke arah perilaku Ijtihad yang oleh para ulama
NU dirasa sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang didasari oleh mereka. Oleh
karenanya para ulama NU menggunakan Istinbath ke arah yang tidak mengambil
langsung dari sumber aslinya, karena mereka menganggap lebih praktis dan dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat- ibarat kitab fiqih
sesuai dengan terminologi yang baku. Metode Istinbath yang digunakan Lanjah
Bahtsul Masa’il NU tidak mengambil langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an
dan Hadits melainkan sesuai dengan sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan
dan menetapkan suatu masalah keagamaan dengan Mentathbiqkan (memberlakukan)
secara dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya. Dalam mencari dan memberikan solusi jawaban terhadap kepastian
hukumnya, prosedur yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il dapat disusun sesuai
dengan urutan-urutannya diantaranya sebagai berikut:
8
a. Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan
menggunakan ‘ibarah kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah,
maka qaul/wajah yang ada dalam íbarah kitab itulah yang digunakan sebagai jawaban.
b. Bila dalam menjawab masalah masih mampu menggunakan ibarah kitab, tapi
ternyata lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iy, yang berfungsi
untuk memilih satu qaul/wajah.
d. Bila dalam menjawab masalah tidak ditemukan satu qaul/wajh sama sekali, dengan
menggunakan ’ibarah kitab sedangkan sudah menggunakan ilhaqiy hasilnya pun
masih belum bisa untuk disamakan ketetapan hukumnya, maka yang dilakukan adalah
istinbath jama’iy (dengan membahas dan mengambil keputusan bersama secara
kolektif), sesuai dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang
telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain dapat dikatakan ijma.
Proses penetapan hukum (istinbath al-ahkam) yang dikenal dalam Bahtsul Masail
NU berkembang 3 (tiga) metode, yaitu:
3.Metode manhajy, yakni dengan melakukan istinbath hukum menurut cara (manhaj)
yang telah ditempuh oleh imam madzhab yang dikenal dengan sebutan bermadzhab
secara manhajy.
9
Adanya tiga macam metode istinbath ini menunjukkan, bahwa pemikiran fiqh
“tradisi” pola madzhab dalam NU, betapapun ciri tradisional yang melekat pada NU,
dinamika pemikiran fiqh tetap terjadi. 8
C. Kesimpulan
Lajnah Bahtsul Masa’il adalah forum ilmiah keagamaan tertinggi bagi warga NU dan
juga merupakan perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan program kerja
NU dalam mengembangkan hukum Islam Meninjau dari anggaran dasar NU,
munculnya Bahtsul Masa’il (pengkajian masalah-masalah agama) dilatar belakangi
oleh adanay kebutuhan masyarakat terhadap hukum islam praktis bagi kehidupan
sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya
dengan jalan Bahtsul Masa’il.
Terdapat tiga metode dalam pengambilan hukum di Nahdlatul Ulama, yakni sebagai
berikut:
a) Metode Qauliy: Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh
ulama NU, dengan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi, kemudian mencari
jawabannya kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk
secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat
yang sudah ada jadi dalam lingkup madzhab tertentu.
b) Metode Ilhaqiy; Metode ini digunakan apabila tidak dapat dilaksanakan karena
tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan yakni
menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab mu’tabar
8
Ahmad Arifin, 2009, "Dinamika Pemikiran Fiqh dan NU, Analisis atas Nalar
Fiqh Pola Mazhab", Ulumuna : Jurnal Studi Keislaman, Vol. XIII, No.1,hlm.190
10
(belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab
oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya),dan menyamakan dengan pendapat yang
sudah jadi,
DAFTAR PUSTAKA
Fadali, H.Soelaiman, 2005, Anto logi NU, Sejarah Istilah Amaliah uswah
Cet.II : Khalista Parbruari.Surabaya.
Zahro, Ahmad, 2004, Tradisi Intelektual NU,: LKIS pelangi aksara, Yogyakarta
11