Anda di halaman 1dari 11

NU,LAJNAH BAHTSUL MASA’IL DAN METODE ISTINBATH

HUKUMNYA

Junaid J. Lamande/18020102014

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.

Email: junamn3102@gmail.com

ABSTRAK

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia, sejak berdirinya sudah menjadikan paham Ahlussunnah walJama’ah
sebagai basis teologinya dan menganut salah satu dari empat mazhab, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pegangan dalam berfiqh. Dalam memutuskan
sebuah hukum, NU mempunyai sebuah forum yang dinamakan Bahtsul Masail atau
Lajnah Bahtsul Masail (LBM). Dalam forum ini, cara pengambilan keputusan hukum
tidak langsung merujuk pada sumber primer hukum Islam, al-Qur’an dan hadits,
tetapi hukum digali dari pemikiran para cendekiawan muslim masa silam yang
tertuang dalam khazanah Islam klasik, Selain itu, dalam mengambil keputusan,
Bahtsul Masail juga dibatasi oleh pendapat empat mazhab (al-mazahib al-arba’ah)
yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Beberapa kajian terhadap kegiatan Bahtsul
Masail NU yang selama ini ada, menyebutkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan,
diantaranya kelemahan teknis (kaifiyat al-bahts) dalam penyelenggaraannya yang
masih bersifat qauli (tekstual). dapat diketahui bahwa NU sejak berdirinya sampai
sekarang ini dalam Bahtsul Masailnya menggunakan tiga metode yaitu metode
qauli,metode Ilhaqi dan metode manhaji.

1
A. PENDAHULUAN

Nahdlatul Ulama atau disingkat NU memiliki makna kebangkitan ulama. 1 adalah


salah satu organisasi masyarakat bersifat keagamaan terbesar di Indonesia. NU
menjadi tulang punggung keberadaan Islam yang bercorak lokal. Dalam sejarah
tercatat, bahwa NU adalah lembaga yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan
Republik Indonesia.Pendirian organisasi NU pada tahun 1926 merupakan respon
terhadap pemahaman Islam garis keras yang muncul dari berkuasanya kelompok
wahabi di Arab Saudi yang menekankan pada pemurnian islam dengan wadah negara
Islam. Menurut Solahuddin, ulama NU kemudian menyerukan ajaran yang berbasis
pada konteks lokal, lebih lembut, damai, dan menghormati keberagaman. 2

NU adalah satu Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah ( Organisasi Keagamaan Islam)


yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari
1926 M, berkaidah Islam menurut faham Ahlussunah waljamaah dan mengnut salah
satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. 3

Sedangkan dalam dokumen Panitia Hari lahir NU ke-40 “Sejarah Ringkas


Nahdlatul Ulama” tahun 1966, kita menemukan bahwa nama Nahdlatul Ulama di
usulakan oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Azis dari Surabaya (sepupu KH Mas Mansur,
tokoh NU yang kemudian mnyeberang ke Muhammadiyah tahun 1932 M karena
berbeda haluan dan pandangan keagamaan). Pengertian nama ini kurang
lebih“gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan bersama-
sama yang teroganisir”.4

Sebagai bukti kuatnya pengaruh NU dalam mempertahankan Islam yang bercorak

1
H. Soelaiman Fadali, Antologi NU, Sejarah istilah amaliah uswah Cet. II
(Surabaya, Khalista Parbruari 2005) hlm. 1
2
Solahuddin, Nasionalisme dan Islami Nusantara (Jakarta : PT Kompas
Gramedia Nusantara 2015),hlm.87
3
Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU, (Yogyakarta : LUIS Pelangi Aksara,
2004), hlm. 15
4
M. Mukhsin Jamil dkk,Nalar Islam Nusantara "Studi Islam ala
Muhammadiyah al-Irsyad, persis dan NU" (Jakarta, Departemen Agama Republik
Indonesia, 2007) hlm. 277

2
lokal kebangsaan adalah tercatat dalam musyawarah nasional ulama NU pada 1983 M
mengesahkan dokumen hubungan Islam dan Pancasila, dan diperkuat dengan
keputusan mukhtamar NU tahun 1984. 5 Lebih dari itu, menurut Zuhairi Miswari
dalam artikelnya yang berjudul menyongsong Seabad NU menyatakatan “NU secara
kasat mata telah terlibat dalam politik praktis, bukan politik kebangsaan sebagaimana
diamanatkan dalam khittah 1926 dan ditegaskan kembali dalam Muktamar 1984 M”.

Memang seiring berkembangnya zaman, keberadaan organisasi masyarakat di


Indonesia semakin banyak. Namun yang selalu konsisten dengan karakter Islam ke
Indonesiaan barangkali salah satunya adalah NU. Sebagaimana kita ketahui NU
merupakan organisasi masyarakat berbasis keagamaan yang lahir sebelum Indonesia
merdeka. Di prakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri NU
sangat di segani di kalangan masyarakat. Sebagian besar warga NU masuk organisasi
ini karena pertimbangan emosional, seperti kekerabatan, majikan, tetangga, sahabat,
dan atau panutan.Yang menjadi catatan penting adalah, sebelum muncul nama
Nahdlatul Ulama, sudah lebih dulu muncul nama “Nuhudlul Ulama”, yang diusulkan
oleh KH. Abdul Hamid dari Sedayu, Gresik, dengan argument bahwa para ulama
mulai bersiap- siap untuk bangkit melalui wadah formal tersebut. Pergulatan
pemikiran dalam NU dengan ragam ekspresi pemikiran di atas tidak terlepas dari
sikap ulama NU dalam memaknai adagium al-muhafadhat ala al-qadim al-shalih wa
alakhdzu bi al-jadid al- ashlah sebagai ruang dinamis NU. Adagium ini memposisikan
NU pada dua kutub yang saling tarik-menarik. Satu sisi NU sebagai jam’iyyah
diniyyah meneguhkan pola bermadzhab dengan memegangi warisan klasik (al-turats
alqadim), yakni kitab-kitab fiqh madzhab. Pada sisi yang lain, NU tidak bisa
menghindar dari perubahan dan kemajuan hasil modernisasi, yakni karya- karya
intelektual modern (Barat) sebagai al-turats al-gharbi. Dengan kata lain, meminjam
istilah Al-Jabiri, pergulatan pemikiran Islam (NU) berada pada sikap tarik-menarik
antara warisan lama/klasik (al-turats) dan modernitas (al- hadatsah).6

5
Salahudin wahid, Nasionalisme, hlm. 22
6
Ahmad Arifin, 2009,"Dinamika Pemikiran Fiqih dalam Nu : Analisis atas
Nalar Fiqh Pola Mazhab Ulumuna : Jurnal studi keislaman vol. XIII No.1 hlm. 191

3
B. PEMBAHASAN

Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama adalah sebagai gerakan Jam’iyah Diniyyah Ijtima’iyyah


menggunakan paham Ahlussunnah wal jama’ah dan menganut salah satu dari imam
madzhab empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali ,sebagai pegangan dalam
berfiqih. Dengan mengikuti empat madzhab ini, menunjukkan bahwa elastisitas dan
fleksibilitas serta memungkinkan bagi NU untuk pindah madzhab secara total atau
beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah).

Dalam memutus hukum NU mempunyai wadah yang disebut dengan bahtsul


masa’il, Bahtsul masa’il adalah forum yang membahas dan memecahkan masalah
maudu’iyah (tematik) dan memecahkan masalah-masalah waqi’iyah (aktual) yang
memerlukan kepastian hukum dan sebagai jawaban atas persoalan yang muncul
maupun respon dari keadaan yang ada dalam jam’yyah maupun masyarakat.

Begitu besar harapan masyarakat NU terhadap peran dan fungsi bahtsul masa’il
dalam upaya mencari kepastian hukum. Beragam persoalan yang muncul, baik yang
menyangkut masa’il diniyyah maudu’iyyah (masalah-masalah agama yang tematik)
maupun masa’il diniyyah waqi’iyyah (masalah-masalah agama sehari- hari) oleh
karena itu sudah barang tentu menjadi tugas bahtsul masa’il untuk menerbitkan fatwa.

Nahdlatul Ulama lahir sebagai penerus estafet dari apa yang diperjuangkan oleh
Walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di pulau Jawa. Ajaran yang diemban
oleh Walisongo ialah mengikuti irama Ahlussunnah wal Jamaah yang dilestarikan
dari generasi ke generasi selanjutnya, seperti tradisi-tradisi yang ada di Masjid Sunan
Ampel dan Masjid Demak, serta amalan-amalan dari banyaknya mayoritas umat
Islam di Nusantara khususnya Pulau Jawa, yang kebanyakan beraliran Sunni dengan
bermazhab fiqh mengikuti Mazhab Imam Syafi’i dan Abu Hasan al-Asy’ari dalam
bidang teologi, dalam berakhlak tasawuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi dan
Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain. 7

Sebelum jam’iyyah ini terbentuk, ada beberapa hal yang langsung maupun tidak

7
Amirul Ulum, Muasis Nahdatul Ulama : manaqib 26 tokoh pendiri NU,
(yogyakarta : aswaja presindo, 2015) hlm. 1

4
menjadi latar belakang berdirinya NU. Misalnya gerakan pembaruan di Mesir dan
sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang
dimotori oleh Jamaluddin al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam.
Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan
Khilafah Usmaniyyah serta timbulnya gerakan Wahabi di Arab Saudi yang bergulat
dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi paham tauhid dan
konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan
kemusyrikan yang melanda umat Islam.

Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan Organisasi Jam’iyah


Diniyah sebagai wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan
pada 16 Rajab 1344 atau bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 M, dengan tujuan
untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan ajaran Islam yang berhaluan
ahlus sunnah wal Jama’ah.

Dasar-dasar pendirian keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yakni dalam Sikap


kemasyarakatannya yang bercirikan pada:

a. Sikap Tasawut dan I’tidal; sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan
bersama. Nahdlatul Ulama (NU) dalam sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok
panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta
menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

b. Sikap Tasamuh; sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’atau menjadi masalah khilafiyah, serta
dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

c. Sikap Tawazun; Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah


kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang.

d. Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar; selalu memiliki kepekaan untuk mendorong
perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak
dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai
kehidupan.Untuk membimbing warganya dalam berinteraksi dengan masyarakat

5
sekitar, NU telah memberikan beberapa sikap diantaranya Tawasuth dan I’tidal, sikap
tengah dan tegak lurus, berintikan keadilan dan tidak ekstrim. Di samping itu,
dikembangkan pula sikap Tasamuth yaitu toleransi dalam perbedaan perbedaan
pendapat baik dalam keagamaan (furu’) dan kemasyarakatan.

Lajnah Bahtsul Masa’il

Lajnah Bahtsul Masa’il adalah forum ilmiah keagamaan tertinggi bagi warga NU
dan juga merupakan perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan program
kerja NU dalam mengembangkan hukum Islam Meninjau dari anggaran dasar NU,
munculnya Bahtsul Masa’il (pengkajian masalah-masalah agama) dilatar belakangi
oleh adanay kebutuhan masyarakat terhadap hukum islam praktis bagi kehidupan
sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya
dengan jalan Bahtsul Masa’il.

Dikalangan Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masa’il merupakan tradisi intelektual yang


telah berlangsung lama. Sebelum NU berdiri dalam bentuk organisasi formal,
aktivitas Bahtsul Masa’il telah berlangsung sebagai praktek yang hidup ditengah
masyarakat muslim nusantara, khususnya pesantren. NU kemudian melanjutkan
tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul
Masa’il sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama kali dilaksanakan tahun
1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Muktamar I NU (21-23
September 1926). Saat itu selama beberapa dekade, forum ini ditempatkan sebagai
salah satu komisi yang membahas materi muktamar dan belum diwadahi dalam organ
tersendiri.

Lembaga Pengkajian Masalah-Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama

Studi tentang Lajnah Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah


keagamaan) Nahdlatul Ulama tidak dapat dilepaskan dari tradisi pemikiran fiqh
madzhabi atau fiqh empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sudah
menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu bahwa untuk memecahkan masalah-
masalah keagamaan yang terkait dengan hukum fiqh, NU mempergunakan acuan fiqh

6
empat madzhab tersebut.

Aktivitas Lajnah Bahtsul Masa’il yang telah ada sebelum berdirinya NU. dengan
sepak terjang perjalanan lahirnya Lajnah Bahtsul Masa’il yang belum otonom, dalam
arti Nahdlatul Ulama belum membentuknya sebagai suatu badan otonom, namun
dalam Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tanggal 25-28 November 1989, (Bahtsul
Masa’il), merekomendasikan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk
membentuk Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah sebagai lembaga permanen yang khusus
menangani persoalan keagamaan, Yang terbentuk pada tahun 1990.

Dari segi historis maupun operasionalitas Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dengan
dikatanya dinamis sebab persoalan (masa’il) yang digarap selalu mengikuti
perkembangan hukum dimasyarakat. Demokratisnya Lajnah Bahtsul Masa’il karena
dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiyai, santri, baik yang tua maupun
yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Sedangkan
dikatakan berwawasan luas, sebab didalam Lajnah Bahtsul Masa’il tidak ada
dominasi madzhab dan selalu sepakat dalam khilafiyah.Ada dua hal keunikan dalam
memahami dan mengkaji Lajnah Bahtsul Masa’il diantaranya pertama, pada tataran
teoritisnya Lajnah Bahtsul Masa’il mengkaji dan memutuskan masalah-masalah yang
amat urugen untuk ditetapkan kepastian hukumnya. Dan kedua, pada tataran
praktisnya, masyarakat Islam Indonesia, terutama keluarga nahdliyyin, biasanya lebih
patuh pada keputusan-keputusan induk organisasi yang sebagian bersar terformulasi
dalam Lajnah Bahtsul Masa’il.

Lajnah Bahtsul Masa’il adalah salah satu lembaga dalam Jam’iyyah NU yang
berfungsi sebagai suatu forum pengkajian yang membahas berbagai masalah
keagamaan (Islam). Lembaga ini penghimpun, membahas dan memutuskan masalah-
masalah yang menuntut kepastian hukum dalam bidang fiqih yang mengacu kepada
empat madzhab. Saat ini Lajnah Bahtsul Masa’il dari tahun 1926-1999 terbagi
menjadi dua sub-komisi, yaitu: Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al- Waqi’iyyah
(pengkajian masalah keagamaan aktual yang terjadi dan berkembang di masyarakat
sosial untuk memperoleh kepastian hukumnya), dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-
Maudhu’iyyah (Pengkajian masalah keagamaan konseptual).Agar terhindar dari
persepsi yang berbeda dikalangan masyarakat, yang perlu dijelaskan dari istilah yang

7
dimungkinkan akan salah persepsi yaitu Bahtsul Masa’il dan Lajnah Bahtsul Masa’il,
yang pertama yaitu sebutan bagi suatu prosesnya, sedangkan yang kedua adalah
sebutan Lembaga atau wadahnya.

Permasalahan-permasalahan yang sering dikaji pada umumnya adalah masalah


problematika keagamaan yang aktual dan sering terjadi serta dialami oleh masyarakat
yang dihadapkan dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan ilmu
pengetahuan teknologi yang semakin meningkat menjadikan suatu hal yang tidak bisa
dikesampingkan untuk tetap membimbing, menuntun dan menemukan solusi untuk
kepastian hukumnya, yang kemudian menjadi suatu inventarisasi oleh Syuri’ah
(sebutan Legislatifnya NU) maka diadakan skala prioritas yang dilakukan oleh tingkat
cabang, wilayah, kemudian disalurkan ke pengurus besar, dan dari pengurus besar
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) dan berakhir pada Muktamar.
Permasalahan keagamaan yang sering terjadi dikalangan masyarakat dan warga
Nahdliyyin yang paling dominan dalam pembahasan Lajnah Bahtsul Masa’il adalah
masalah fiqih.

Metode Istibanth Hukum Nahdlatul Ulama

Di kalangan NU, pengertian istinbath adalah menggali secara langsung dari al-
qur’an dan hadits, dengan cenderung ke arah perilaku Ijtihad yang oleh para ulama
NU dirasa sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang didasari oleh mereka. Oleh
karenanya para ulama NU menggunakan Istinbath ke arah yang tidak mengambil
langsung dari sumber aslinya, karena mereka menganggap lebih praktis dan dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat- ibarat kitab fiqih
sesuai dengan terminologi yang baku. Metode Istinbath yang digunakan Lanjah
Bahtsul Masa’il NU tidak mengambil langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an
dan Hadits melainkan sesuai dengan sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan
dan menetapkan suatu masalah keagamaan dengan Mentathbiqkan (memberlakukan)
secara dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya. Dalam mencari dan memberikan solusi jawaban terhadap kepastian
hukumnya, prosedur yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il dapat disusun sesuai
dengan urutan-urutannya diantaranya sebagai berikut:

8
a. Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan

menggunakan ‘ibarah kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah,
maka qaul/wajah yang ada dalam íbarah kitab itulah yang digunakan sebagai jawaban.

b. Bila dalam menjawab masalah masih mampu menggunakan ibarah kitab, tapi
ternyata lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’iy, yang berfungsi
untuk memilih satu qaul/wajah.

c. Bila dalam menjawab masalah tidak menemukan jawabannya dengan


menggunakan ibarah kitab, dalam suatu kitab maka yang perlu dilakukan adalah al-
ilhaqiy al-masa’il bi nadzair menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada
ketetapan hukumnya) dengan menserupakan serta menyamakan suatu kasus yang
sudah ada ketetapan hukumnya yang sudah jadi. Dengan kata lain bisa dikatakan
hampir mirip dengan qiyas.

d. Bila dalam menjawab masalah tidak ditemukan satu qaul/wajh sama sekali, dengan
menggunakan ’ibarah kitab sedangkan sudah menggunakan ilhaqiy hasilnya pun
masih belum bisa untuk disamakan ketetapan hukumnya, maka yang dilakukan adalah
istinbath jama’iy (dengan membahas dan mengambil keputusan bersama secara
kolektif), sesuai dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang
telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain dapat dikatakan ijma.

Proses penetapan hukum (istinbath al-ahkam) yang dikenal dalam Bahtsul Masail
NU berkembang 3 (tiga) metode, yaitu:

1.Metode Qauly, yakni pengambilan keputusan hukum dengan mengutip teks/redaksi


pendapat dari ulama madzhab yang tertulis di dalam kitab-kitab fiqh madzhab,

2.Metode Ilhaqy atau ilhaqy al-masa’il binadhairiha yakni dengan cara


menganalogkan persoalan tersebut dengan masalah serupa yang sudah ada ketetapan
hukumnya dalam kitab fiqh madzhab dan,

3.Metode manhajy, yakni dengan melakukan istinbath hukum menurut cara (manhaj)
yang telah ditempuh oleh imam madzhab yang dikenal dengan sebutan bermadzhab
secara manhajy.

9
Adanya tiga macam metode istinbath ini menunjukkan, bahwa pemikiran fiqh
“tradisi” pola madzhab dalam NU, betapapun ciri tradisional yang melekat pada NU,
dinamika pemikiran fiqh tetap terjadi. 8

C. Kesimpulan

Nahdlatul Ulama adalah sebagai gerakan Jam’yah Diniyyah Ijtima’iyyah


menggunakan paham Ahlussunnah wal jama’ah dan menganut salah satu dari imam
madzhab empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pegangan dalam
berfiqih. Dengan mengikuti empat madzhab ini, menunjukkan bahwa elastisitas dan
fleksibilitas serta memungkinkan bagi NU untuk pindah madzhab secara total atau
beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah).

Lajnah Bahtsul Masa’il adalah forum ilmiah keagamaan tertinggi bagi warga NU dan
juga merupakan perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan program kerja
NU dalam mengembangkan hukum Islam Meninjau dari anggaran dasar NU,
munculnya Bahtsul Masa’il (pengkajian masalah-masalah agama) dilatar belakangi
oleh adanay kebutuhan masyarakat terhadap hukum islam praktis bagi kehidupan
sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya
dengan jalan Bahtsul Masa’il.

Terdapat tiga metode dalam pengambilan hukum di Nahdlatul Ulama, yakni sebagai
berikut:

a) Metode Qauliy: Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh
ulama NU, dengan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi, kemudian mencari
jawabannya kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk
secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat
yang sudah ada jadi dalam lingkup madzhab tertentu.

b) Metode Ilhaqiy; Metode ini digunakan apabila tidak dapat dilaksanakan karena
tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan yakni
menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab mu’tabar
8
Ahmad Arifin, 2009, "Dinamika Pemikiran Fiqh dan NU, Analisis atas Nalar
Fiqh Pola Mazhab", Ulumuna : Jurnal Studi Keislaman, Vol. XIII, No.1,hlm.190

10
(belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab
oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya),dan menyamakan dengan pendapat yang
sudah jadi,

c) Metode Manhajiy: adalah suatu cara menyelesaikan keagamaan yang ditempuh


oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang
telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain, metode Manhajiy bisa dikatakan
dengan ber-ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama NU secara Kolektif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Ahmad, “Dinamika Pemikiran Fiqh dalam NU : Analisis atas Nalar


Figh Pola Mazhab”, Ulumuna : Jurnal Studi Keislaman.Vol.XIII No.1, 2009.

Fadali, H.Soelaiman, 2005, Anto logi NU, Sejarah Istilah Amaliah uswah
Cet.II : Khalista Parbruari.Surabaya.

M.Mukhsin, Jamil dkk,2007,Nalar Islam Nusantara “Studi Islam ala


Muhammadiyah al-Irsyad, persis, dan NU”, Cet.I,Depertemen Agama Republik
Indonesia, Jakarta.

Solahuddin, 2015 , Nasionalisme dan Islam Nusantara : PT Kompas


Gramedia Nusantara, Jakarta

Ulum, Amirul, 2015,Muasis Nahdatul Ulama : manaqib 26 tokok pendiri NU,


(aswaji presindo), Jakarta.

Wahid, Salahudin, 2015, Nasionalisme dan Islam Nusantara,: PT Kompas


Gramedia Nusantara, Jakarta.

Zahro, Ahmad, 2004, Tradisi Intelektual NU,: LKIS pelangi aksara, Yogyakarta

11

Anda mungkin juga menyukai