Anda di halaman 1dari 7

Film Dokumenter - Nahdlatul Ulama dan Sejarah Kebangsaan

Video berdurasi 54 menit 45 detik ini merupakan Film Dokumenter Nahdlatul Ulama (NU) dan Sejarah
Kebangsaan. Film ini mengungkap sejarah-sejarah yang terhapus dan perjalanan Nahdlatul Ulama sejak
sebelum berdirinya hingga masa kini.

Film Dokumenter "Nahdlatul Ulama dan Sejarah Kebangsaan", produksi Yayasan Ircos Jakarta & Yayasan
135. Film ini memadukan rekaman-rekaman visual sejarah otentik dengan narasi apik dari beberapa
narasumber:

1. KH. A. Musthofa Bisri.

2. Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, MA.

3. KH. Muchit Muzadi.

4. Yenni Wahid, MA.

5. KH. Hasyim Muzadi.

6. Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, MH, MU.

7. Ir. KH. Salahuddin Wahid.

8. Dr. Andree Feillard.

Sangat patut dan penting untuk ditonton sebagai bahan pembelajaran warga Negara Indonesia,
khususnya warga Nahdliyyin dan pesantren.

ISI DARI FILM DOKUMENTER NAHDLATUL ULAMA DAN SEJARAH KEBANGSAAN

31 Januari, pada tahun 1926 silam, Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan. Organisasi Islam
terbesar di Indonesia ini digagas oleh para kiai ternama dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, dan
Jawa Barat, yang melakukan pertemuan di rumah K.H Wahab Hasbullah di Surabaya.

Pertemuan yang diberi nama Komite Hijaz ini diprakarsai oleh K.H. Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim
Asy’ari. Komite Hijaz inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya NU untuk membahas berbagai macam
persoalan keagamaan.

Lahirnya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-
alasan kebangsaan dan sosial masyarakat.
Pada intinya, Komite Hijaz dibentuk sebagai upaya agar Islam tradisional di Indonesia dapat
dipertahankan. Selain itu, panitia ini juga bertugas untuk mempersiapkan pengiriman delegasi ke
Muktamar Islam di Mekkah yang digagas Ibnu Saud, penguasa baru Hijaz.

Latar Belakang Pembentukan Komite Hijaz

Gambar nu

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Komite Hijaz yang dibentuk pada 31 Januari menjadi salah satu cikal bakal
berdirinya NU. Komite ini lahir karena masalah keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren,
ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Rasulullah SAW karena menjadi tujuan
ziarah, yang dianggap bid’ah. Tak hanya itu, bahkan Raja Saud juga menginginkan kebijakan untuk
menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya.

Penolakan praktik bermadzhab ini terjadi sejak Ibnu Saud, Raja Najed beraliran Wahabi, menaklukkan
Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada tahun 1924-1925. Seperti dikutip dari NU Online, para ulama
menganggap bahwa sentimen anti-madzhab itu cenderung puritan karena berupaya memberangus
tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam itu sendiri.

Atas dasar rasa prihatin, para ulama Indonesia yang berhaluan ahlusunnah wal jamaah bersepakat untuk
mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite
Hijaz.

Pemilihan Delegasi Komite Hijaz

Sebelumnya, pada awal 1926, koordinasi antar-organisasi Islam di Cianjur menyatakan akan mengirim
dua utusan ke Mekah untuk menghadap Raja Sa’ud. Kiai Wahab mengusulkan delegasi tersebut agar
membawa persoalan praktik keagamaan Islam tradisional di Indonesia. Usul dari Kiai Wahab tersebut
tidak disetujui oleh golongan Islam-reformis, yang akhirnya membuat Islam-tradisional memutuskan
untuk menghadap Raja Sa’ud sendiri.

Melihat situasi Islam-tradisional yang kerap ditentang oleh golongan Islam-reformis, Kiai Wahab dan
para kiai Islam tradisional lainnya merasa perlu untuk menjaga Islam Nusantara. Seperti dikutip dari NU
Online, para kiai Islam-tradisional berkumpul di kediaman KH Wahab Hasbullah dan membentuk Komite
Hijaz.

Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam telah mendapatkan izin dari KH
Hasyim Asy’ari. Kemudian pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka dan
membicarakan perihal utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Akhirnya, para ulama yang
hadir pada pertemuan itu, bersepakat menunjuk KH Raden Asnawi sebagai delegasi Komite Hijaz.

31 Januari 1926: Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU)

KH Raden Asnawi atau Raden Syamsi, merupakan sosok ulama karismatik dari Kudus, Jawa Tengah. Kiai
Asnawi menjadi salah satu poros keilmuan, aktivisme, dan keteladanan bagi masyarakat Kudus dan
sekitarnya. Berkat kemampuannya dalam berdiplomasi, ulama yang dikenal sebagai pejuang ahlusunnah
wal jamaah itu, dipercaya untuk menyalurkan aspirasi Komite Hijaz.

Menurut Choriul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), untuk mengirim
utusan ini diperlukan adanya organisasi formal. Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama atau
"kebangkitan para ulama" pada16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926. Nama
Nahdlatul Ulama sendiri diusulkan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz.

Berbicara mengenai pendirian organisasi NU, tentu tidak lepas dari peran beberapa ulama terkemuka di
Indonesia, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Selain itu, juga ada
peran besar dari Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Kiai Hasyim. Berkat perjuangan
beberapa tokoh karismatik tersebut, telah membawa NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Di samping itu, peristiwa bersejarah itu juga membuktikan bahwa NU tidak hanya merespons kondisi
problem sosial di Tanah Air, namun juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam
yang diperjuangkan oleh Rasulullah SAW. Tepat pada 31 Januari 2021, Nahdlatul Ulama berusia 95
tahun dan berhasil memberi sumbangsih bagi kehidupan beragama di Indonesia.

Paham keagamaan

Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah wal Jama'ah, yaitu sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara Nash (Al Qur'an dan Hadits) dengan Akal (Ijma' dan Qiyas). Oleh sebab itu sumber
hukum Islam bagi warga NU tidak hanya Al Qur'an, dan As Sunnah saja, melainkan juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris.

Maka, di dalam persoalan aqidah, NU merujuk kepada Imam Abul Hasan Al Asy'ari, sedangkan dalam
persoalan fiqih, NU merujuk kepada Imam Syafi'i, dan dalam bidang tashawwuf, NU merujuk kepada
Imam Al Ghazali. Namun NU tetap mengakui dan bersikap tasamuh kepada para mujtahid lainnya,
seperti dalam bidang aqidah dikenal seorang mujtahid bernama Abu Mansur Al Maturidi, kemudian
dalam bidang fiqih terdapat tiga mujtahid besar selain Imam Syafi'i, yakni Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, dan Imam Hanbali, serta dalam bidang tashawwuf dikenal pula Imam Junaid al-Baghdadi
Adapun gagasan "Kembali ke Khittah NU" pada tahun 1984 merupakan momentum penting untuk
menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik
dalam bidang fiqih maupun sosial, serta merumuskan kembali hubungan NU dengan Negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[6]

Hirarki organisasi

1. PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat nasional

PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat provinsi

PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat kabupaten/kota

MWCNU (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat kecamatan

Pengurus Ranting untuk tingkat desa/kelurahan

Pengurus Anak Ranting untuk tingkat dusun

PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) untuk cabang di luar negeri.

Lembaga

Lembaga Nahdlatul Ulama adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai
pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama sesuai dan berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu
dan yang memerlukan penanganan khusus. Lembaga Nahdlatul Ulama meliputi:

Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU)

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LPMNU)

Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)

Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)

Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU)

Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPKNU)

Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)


Lembaga Kajian & Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-NU)

Lembaga Penyuluhan & Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU)

Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (LESBUMI)

Lembaga Zakat, Infaq, & Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU)

Lembaga Waqaf & Pertanahan Nahdlatul Ulama (LWPNU)

Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU)

Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU)

Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

Lembaga Penanggulangan Bencana & Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBPINU)

Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU)

Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU)

Badan Otonom Sunting

Badan Otonom NU adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan
kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan
perorangan. Badan otonom dikelompokkan dalam kategori badan otonom berbasis usia dan
kelompok masyarakat tertentu, dan badan otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya. Badan
otonom Nahdlatul Ulama meliputi:

Gerakan Pemuda Ansor / GP Ansor (berdiri 24 April 1934)

Muslimat (berdiri 29 Maret 1946)

Fatayat (24 April 1950)

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama / IPNU (berdiri 24 Februari 1954)

Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama / IPPNU (berdiri 3 Maret 1955)

Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah / JATMAN (berdiri 10 Oktober 1957)

Jam'iyatul Qurra' wal Huffazh / JQH (berdiri 1950)

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama / ISNU (berdiri 2010)

Sarikat Buruh Muslimin Indonesia / SARBUMUSI (berdiri 27 September 1955)


Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa (berdiri 3 Januari 1986)

Persatuan Guru Nahdlatul Ulama / PERGUNU (berdiri 14 Januari 1959)

Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama / SNNU (15 Agustus 2015)

Ikatan Seni Hadrah Indonesia / ISHARI (berdiri 1959)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia / PMII (berdiri 17 April 1960)

NU dan Politik Sunting

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi
pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR
dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung
Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasionalis diwakili Partai
Nasional Indonesia (PNI), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dll. Agama diwakili Partai Nahdhatul
Ulama, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dll. Dan Komunis diwakili oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI).

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973
atas desakan penguasa orde baru Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di
Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting
adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB
memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Anda mungkin juga menyukai