Keanggotaan Komite Hijaz pada awal mulanya terdiri atas KH. Wahab
Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghona’eim Al-Amir Al-Misri, seorang ulama’ terkenal
berasal dari Mesir yang menetap di Jawa Timur. Komite ini ditetapkan berangkat
Bulan Februari 1926 tetapi tidak terlaksana karena kesulitan masalah keberangkatan
yang berdekatan dengan musim haji sedangkan kapal haji sudah berangkat dan
baru berangkat lagi tahun 1927.
Dari sinilah Jam’iyah NU (Nahdlatul Ulama’) dilahirkan di Surabaya pada
Musyawarah Alim Ulama’ tanggal 31 Januari 1926 pada saat itu juga.
2. Fase-Fase Perjalanan NU
Secara historis, Greg Barton dan Greg Fealy (1996) membagi periodesasi NU
dalam tiga babak. Babak pertama, 1926-1955 sebagai organisasi sosial keagamaan.
Babak kedua, NU telah mentransformasikan diri sebagai ormas Islam dalam bidang
sosial politik dengan menjadi parpol dari 1955 hingga 1984. Babak ketiga, dimulai
sejak NU menyatakan diri khitah 1926. NU kembali menjadi ormas sosial-
keagamaan hingga sekarang.
a. NU sebagai Organisasi Sosial Kemasyarakatan (1926-1955)
Setelah kaum tradisionalis terorganisir, maka orientasi-orientasi yang menjadi
acuan mereka tampak lebih jelas, terlebih terhadap kaum imperialis baik Belanda
maupun Jepang. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil-hasil muktamar yang
diadakan pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Dengan rasa patriotisme
tinggi mereka mengambil langkah-langkah yang akomodatif namun tegas terhadap
imperialism. Adapun terhadap kaum pembaharu, kaum tradisionalis berhasil
mengadakan rekonsiliasi untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap
campur tangan dan tekanan yang dilakukan oleh kaum penjajah (dalam Martin van
Bruinessen, NU Tradisi ,Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru).