Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama’ yang berarti (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan
Cendekiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam besar di
Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah
penting dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Seperti semangat
kebangkitan bangsa Indonesia terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa
lain. Sebagai jawabannya, munculah berbagai organisasi pendidikan dan
pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Nahdlatul Fikri
(kebangkitan pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya
muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama NU
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).

B. RUMUSAN MASLAH
Rumusan Masalah Makalah ini adalah :
1. Apakah Pengertian Nahdlatul Ulama?
2. Apakah latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama?
3. Bagaimanakah Proses Berdirinya Nahdlatul Ulama?
4. Siapakah tokoh-tokoh pendiri Nahdlatul Ulama?

1
5. Apakah Faham dan Pedoman Nahdlatul Ulama?
6. Apakah Peran NU pada masa Penjajahan?
7. Apakah peran NU pada masa Persiapan kemerdekaan?
8. Bagaimanakah Perkembangan Nahdlatul Ulama MAsa Sebelum
Kemerdekaan?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui Pengertian Nahdlatul Ulama?
2) Untuk mengetahui latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama?
3) Untuk mengetahui Proses Berdirinya Nahdlatul Ulama?
4) Untuk mengetahui tokoh-tokoh pendiri Nahdlatul Ulama?
5) Untuk mengetahui Faham dan Pedoman Nahdlatul Ulama?
6) Untuk mengetahui Peran NU pada masa Penjajahan?
7) Untuk mengetahui peran NU pada masa Persiapan kemerdekaan?
8) Untuk mengetahui Perkembangan Nahdlatul Ulama Masa Sebelum
Kemerdekaan?

D. MANFAAT MAKALAH
Manfaat makalah ini adalah Sebagai sumber informasi tambahan mengenai
Peranan Nahdlatul Ulama Dari Masa Penjajahan

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN NAHDLATUL ULAMA


Nahdhatul `Ulama secara etimologis mempunyai arti “Kebangkitan Ulama”
atau “Bangkitnya Para Ulama” , sebuah organisasi yang didirikan sebagai
tempat berhimpun seluruh Ulama dan umat Islam. Sedangkan menurut istilah
Nahdhatul `Ulama adalah jam`iyah Diniyah yang berhaluan Ahlussunah wal
Jama`ah yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan pada tanggal
31 Januari 1926 M.1
Sedangkan Nahdlatul Ulama dalam rumusan Khittah Nahdlatul Ulama
dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan yang
berfaham Ahlus Sunnah wal Jamaah, berhaluan salah satu dari madzhab
empat yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas manusia yang
bertaqwa. Dalam redaksi lain juga dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama adalah
jamiah diniah Islamiah berakidah Islam menurut ahlus sunnah wal jamaah
serta mengikuti salah satu madzhab empat.2

2. LATAR BELAKANG BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA


Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor
pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama
globalisasi yang terjadi dalam dua hal :
1) Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz
(Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh abdul aziz bin saud
yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan
melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah
berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya
dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab,

1
PC. IPNU-IPPNU Pinrang, “Nahdlatul Ulama”, PC. IPNU-IPPNU Pinrang Blogs, diakses dari
https://ipnupinrang.wordpress.com/nahdlatul-ulama-nu/, pada tanggal __
2
Hilmy Muhammad dan Sulthan Fatoni., Identitas Islam Indonesia, (Jakarta : eLSAS, 2004), Hal.
120 – 121

3
tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera di
larang.
2) Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan
oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan
bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang di jajah
bangsa Eropa.

3. PROSES BEDIRINYA NAHDLATUL ULAMA


Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini,
melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut
dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus
menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah
berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Merespon kebangkitan
nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ
kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok
studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota. Berangkat dari munculnya berbagai
macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup
dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka
setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari
kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di
Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama
pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota

4
Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais
Akbar. Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara
faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang
menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah
pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan
cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai
pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu
keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para
ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama
cukup mendesak untuk segera didirikan. Untuk menegaskan prinsip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU,
yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.3
Menurut H.Martono Margono dalam bukunya yang berjudul KH. Hasyim
Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer
Kelahiran Nahdlatul Ulama, prose berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan
respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang
banyak di pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan
Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Gerakan pembaharuan Islam
di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan
yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi Muhammadiyah yang
banyak melakukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan
kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti
talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.
Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini
terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin
mengadakan kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk
mendirikan kekhalifahan baru. Hal ini mendapatkan respons yang positif dari
tokoh-tokoh Islam di Indonesia, sehingga diadakanlah kongres di Bandung
3
Wikipedia, “Nahdlatul ‘Ulama”, Wikipedia, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_
’Ulama#Sejarah, pada tanggal 25 Februari 2018 pukul 06.11

5
yang dihadiri kelompok Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres
ini menunjuk Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari
Muhammadiyah (keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres
tentang kekhalifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan
kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili mengikuti kongres tersebut.
Karena itu KH. Wahab Hasbullah (kelompok tradisional) mengusulkan agar
utusan Indonesia meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar
tetap mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab,
walaupun permintaan itu ditolak. Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-
ulama tradisional agar dapat bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31
Januari 1926 KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka
seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk
membicarakan langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat
mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di Arab Saudi,
dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting sebagai
berikut:
1. Mereka secara resmi membentuk komite Hijaz, yang akan mengirimkan
utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
2. Membentuk organisasi yang berfungsi sebagai wahana para ulama dalam
membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi tersebut diberi nama
“Nahdlatul Ulama” Adapun peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam
pembentukan NU ini sangat penting, karena restu dan legitimasi yang dia
berikan sangat berpengaruh terhadap pembentukan organisasi NU. Oleh
karena itu dia ditunjuk sebagai rais akbar, sementara ketua tanfiziyah adalah
H. Hasan Gipo. Dalam perkembangan selanjutnya, warna dan corak NU
sangat dipengaruhi oleh KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini terlihat dari pidato
iftitah yang disampaikannya kepada warga NU tentang faham Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang menganut satu dari empat mazhab yang dijadikan sebagai
azas NU. Bahkan muqaddimah NU Qonun Asasy karangan beliau dijadikan
sebagai satu kesatuan yang utuh dari Anggaran Dasar NU..4

4
Martono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan
Kontemporer Kelahiran Nahdlatul Ulama, ( Jakarta: Media Akedemika, 2011), hal. 340

6
Berhubungan dengan itu, maka K.H. Wahab Hasbullah bersama-sama para
ulama’ Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu K.H. Hasyim
Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri kemukatamar pada
juni 1926 dengan membentuk komite sendiri yaitu komite hijaz.
“Susunan Komite Hijaz :”
Penasehat : K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Cholil Masyhuri
Ketua : H.Hasan Gipo
Wakil Ketua : H.Sholeh Syamil
Sekretaris : Muhammad Shodiq
Pembantu : K.H. Abdul Halim
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk
mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk
mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga
mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah
guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan
itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul
Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98,
Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:
1) Tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab syafi’i.
2) Melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau
menghalang-halangi perjalanannya mazhab syafi’i.
3) Menetap adakan angkatan ziarah ke medinah al-munawarah dan ziarah di
beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.
4) Tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau
wirid membaca dalail al-khairat atau burdah atau mengaji kitab fiqh
mazhab syafi’i, seperti tuhfah, nihayah, bajah.
5) Memelihara qubur rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.
6) Jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada dan qubahnya aulia atau
ulama.
7) Mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada
pelabuhan jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai jeddah
terus madinah.

7
8) Melarang syeikh-syeikh haji mekkah turun (datang) ke tanah jawa perlu
mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan
kehebatan tanah mekah dan kemudian umumnya orang-orang mekkah,
serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos…, lebih utama dalam
pemerintahan mengadakan satu komite pengurus haji di Mekkah.5
Pada tanggal 31 Januari 1926 komite mengadakan rapat di Surabaya
dengan mengundang para ulama’ terkemuka di surabaya dan dihadiri K.H.
Hasyim Asy’ari dan K.H. Asnawi Kudus. rapat memutuskan K.H. Asnawi
Kudus sebagai delegasii komite Hijaz menghadiri muktamar dunia islam di
mekkah.6

4. TOKOH-TOKOH PENDIRI NAHDLATUL ULAMA


1) KH Hasyim Asy’ari (1817-1947), Tebu Ireng Jombang, Pendiri NU &
rais Akbar
2) KH Bisri Syamsuri (1886-1980) Denayar, Jombang A’wan & Rais Aam
3) KH Abdullah Wahab Chasbullah (1888-1971),Tambak Beras Jombang
Katib & Rais AaM.
4) KH Abdul Chamid Faqih, Sedayu, Gresik Pendidri dan Pengusul nama
NU.
5) KH Ridwan Abdullah 1884-1962, Surabaya Pendiri dan Pencipta
Lambang NU
6) KH Abdullah Halim Leuwemunding-Cirebon Pendiri NU
7) Abdul Aziz, Surabaya Pendiri NU dan Pencipta Nama NU.
8) KH Ma’shum(1870-1972) Lasem Pendiri NU
9) KH A Dachlan Achjad, Malang Pendiri NU dan Wakil Rais Pertama
10) KH Nachrowi Thahir (1901-1980), Malang Pendiri NU dan a’wan
Pertama

5
Deliar Noer, “Gerakan Modren Islam Indonesia 1900-1942”, ( Jakarta: LP3S, 1985), Hal. 244
6
Mshol, “NAHDATUL ULAMA” (Latar Belakang, Proses Kelahiran, Tokoh-Tokohnya dan Sikap
kemasyarakatannya), Mshol Jawaban Problematika Diri Dan Motivasi, diakses dari
https://mshol.wordpress.com/2012/09/03/nahdatul-ulama-latar-belakang-proses-kelahiran-tokoh-
tokohnya-dan-sikap-kemasyarakatannya/, pada tanggal 9 maret 2012

8
11) KH R Asnawi (1861-1959) Kudus Pendiri NU dan Mustasyar Pertama
Syekh Ganaim (tinggal di Surabaya berasal dari Mesir) Pendiri NU dan
Mustasyar Pertama
12) KH Abdullah Ubaid (1899-1938) Surabaya Pendiri NU daan A’wan
Pertama.
Selain itu juga ada beberapa tokoh terkenal yang menjadi tokoh belakang
layar yaitu KH Kholil Bangkalan yang notabennya sebagai guru dari KH
Hasyim Asy’ari dan KH As’ad yang menjadi saudara seperguruannya ketika
menyantri di KH Kholil.

5. FAHAM DAN PEDOMAN NAHDLATUL ULAMA


Menurut AD-ART NU Bab II tentang Pedoman, Aqidah dan Asas sebagai
berikut:
Pasal 4
Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al- Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan
Al-Qiyas.
Pasal 5
Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah
dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari
Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); dan dalam bidang
tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-
Ghazali.
Pasal 6
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama
berasas kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.. 7

6. PERAN NU PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA


7
Pengurus Besar Nahdlatul ulama, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul
Ulama, ( Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, 2015), Hal. 38

9
Setelah mengurai secara singakat namun jelas dan gamblang berdirinya
organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan embrio-embrio dari
fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya terbentuk
secara de facto dan de jure organisasi yang bernama Nahdhatul Ulama yang
bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan
membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan Negara Republik
Indonesia.8
Menurut Luqman Hakim, dan Muhammad dalam Buku NU di Tengah
Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, penerbit Yayasan pondok PETA
Tulungagung Tahun 1994 ,Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam
pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan
hanya organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-
nilai tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme
atau kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial
Belanda. NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan
kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul
Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai
pondasi awal semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan
ditujukan untuk menggarap para murid-muridnya untuk menanamkan rasa
nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk,
Nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan
kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-
kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah
kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan
anti-penjajah merupakan asal usul Nahdhathul Ulama. Akan tetapi, mengutip
dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan
Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an,
dalam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang didirikan oleh para
kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari kamis

8
Sitompul, dan Martahan Einar, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 56

10
setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang
dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah, beredar di pesantren-pesantren
serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa Nahdhatul Ulama serius dalam
pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa nasionalisme sebagai pondasi
awal perlawanan terhadap Belanda.9
Dalam bidang hukum khususnya pada urusan keagamaan umat islam,
Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak interfensi dari  pemerintahan
Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisan ditarik dari wewenang
Pengadilan Agama, artinya bahwa hukum adat yang kembali diberlakukan di
Pulau jawa, Madura dan Kalimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata
diberlakukannya hukum adat akan tetapi penggrogotan wewenang
Pengadilan Agama yang merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang
menimbulkan rasa tidak senang tersebut.10

7. PERAN NU PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG


Pada masa penjajahan Jepang semua organisasi pergerakan nasional
dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan
K.H.Hasyim Asy’ary (Rois Akbar) dipenjarakan karena menolak
penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah
timur pada waktu-waktu tertentu. Mengantisipasi perilaku Jepang, NU
melakukan serangkaian pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan
kepada K.H.Nahrowi Thohir sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada
K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Wahab Hasbullah. Program perjuangan
diarahkan untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu :
1) Menyelamatkan aqidah Islam dari faham Sintoisme, terutama ajaran
Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
2) Menanggulangi krisis ekonomis ebagai akibat perang Asia Timur
bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk
melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang

9
Luqman Hakim, dan Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat,
(Tulungagung: Yayasan pondok PETA, 1994), 89
10
Zada, Khamami dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas,
2010), hal. 53.

11
menyadari kesalahannya memperlakukan umatIslam dengan tidak adil.
Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuannya.
3) Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi
antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis SyuroMuslimin Indonesia
(MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu (Kantor
Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat
daerah.11

8. PERAN NU MASA PERSIAPAN KEMERDEKAAN


Perjuangan memerdekakan Indonesia dari kolonialiasme telah melalui
tahapan dan usaha yang panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik,
bangsa Indonesia secara gigih mampu membangun pondasi kemerdekaan
dengan merumuskan dasar dan ideologi negara melalui persiapan-persiapan
yang dilakukan oleh para tokoh bangsa. Yaitu dengan wadah BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
Agustus 1945. Sejarah mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam
Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa
melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi
berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT Radjiman
Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua.
Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan
yang duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan
bangsa. BPUPKI menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada
tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945.
Sidang pertama menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua
menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada
tanggal 29 Mei 1945, Mohammad Yamin mengucapkan pidato yang berisi
tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal
31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara.
11
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia,( Jakarta: Pustaka Ma’arif
NU, 2006), Hal. 12

12
Akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5
poin yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang
pertama kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu
perumus Pancasila KH Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama
tidak lantas membuat mereka optimis dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal
ini diungkapkan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam salah satu
kolomnya berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41). Dalam
tulisan tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah para
tokoh bangsa dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI ini
mengatakan bahwa pada sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para pemimpin
rakyat peserta sidang kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa
Indonesia untuk merdeka. Meskipun demikian, dalam kesangsian sikap itu,
justeru dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa sebagai energi positif untuk
dapat merumuskan dasar negara. Artinya, kesangsian yang timbul bukan
semata dari semangat perjuangan, tetapi dari pergolakan politik yang masih
berkecamuk saat itu. Namun demikian, Gus Dur menegaskan akhirnya para
pemimpin rakyat itu melalui perjuangan jiwa, raga, dan pikiran berhasil
memerdekakan Indonesia dua bulan kemudian (17 Agustus 1945). Dalam
konteks ini, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan
hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality)
di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur
mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan
masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan
kekuasaan itu.

Peran KH Abdul Wahid Hasyim


Jika balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa
Pancasila dan UUD 1945, apa yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi yang
dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan pondasi
kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya
Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui bahwa Tim 9

13
(sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta,
A.A. Maramis, KH A Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno
Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin,
merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan
Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Sebelum
Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus
1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian
Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin
“Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan
para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim,
dan Teuku Muh Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta
yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang
akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim
Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu,
“Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga
tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam
Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak
menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama
lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan
Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak
ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-
lain. Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut
mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan
negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula
negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan
beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91). Jika saat ini
ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan
tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan
dasar negara ini. Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu
menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal
yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan

14
bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap
inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Sehingga
Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa
Indonesia. Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016),
tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid
berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa
Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan
hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.12

9. PERKEMBANGAN NAHDLATUL ULAMA MASA SEBELUM


KEMERDEKAN
Dikutip sebagaimana aslinya dari buku Martin van Bruinessen: NU,
Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. LkiS Yogyakarta,
1994. hal. 47-51. Perkembangan NU pada masa sebelum kemerdekaan
sebagai berikut:
Sangat sedikit hal yang luar biasa dalam kegiatan-kegiatan NU selama
dasawarsa-dasawarsa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Ia menahan diri
dari terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik; dan ketika membuat pernyataan
politik, ia bersikap mendukung pemerintah Belanda. Muktamar tahunannya
didominasi pembicaraan tentang masalah-masalah yang murni agama. Pada
Muktamar ke-15 di Menes (Banten) pada 1938, sebagian anggotanya
mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad
(Dewan Rakyat), parlemen-semu-tak-bergigi yang dibentuk oleh penguasa
Hindia Belanda. Usulan ini ditolak oleh mayoritas sangat besar pesertanya,
tampaknya karena mereka menginginkan NU tidak terlibat dalam dunia
politik dalam bentuk apapun. Sikap apolitik ini mungkin telah beerperan bagi
pesatnya perkembangan pendukung NU dalam rentang waktu dimana Sarekat

12
GP ANSHOR JAWA TENGAH, “ Peran KH Wahid Hasyim di Balik Rumusan Pancasila”,
Ansorjateng.net, diakses dari https://ansorjateng.net /2016/06/02/peran-kh-wahid-hasyim-di-balik-
rumusan-pancasila/ tanggal 2 juni 2016

15
Islam, yang pada lahirnya lebih nasionalis, terus dilanda penurunan
pengaruhnya. Penguasa kolonial secara konsisten bersikap sangat baik kepada
NU –sebagaimana sikap mereka kepada Muhammadiyah. Periode
perkembangan NU hingga 1942 dicirikan dengan pertambahan pengikut dan
perluasan geografis yang luar biasa pesatnya. Anggota NU tidak terdaftar
secara sistematis, dan taksiran mengenai jumlahnya sangat fluktuatif. Pada
pertengahan 1930-an, sekitar 400-an kiai sudah menjadi anggota NU dan
jumlah keseluruhan pengikutnya diperkirakan 67.000 orang. Sulit
mengatakan berapa banyak di antara mereka yang dapat dianggap sebagai
anggota aktif, yang berpartisipasi dalam kegiatan selain berhadir pada acara
pengajian yang diorganisasi NU secara berkala.
Indikasi yang lebih baik mengenai perluasan NU diberikan oleh jumlah
cabang-cabang yang berdiri. Menurut anggaran dasarnya, cabang-cabang
dapat didirikan di suatu kabupaten apabila di sana terdapat paling tidak dua
belas anggota. Muktamar kedua (1927) dihadiri 36 cabang; muktamar
keempat (1929) oleh 62 cabang. Pada 1938 jumlah ini bertambah menjadi 99
cabang, dan sekitar akhir masa penjajahan Belanda konon sudah berdiri 120
cabang (Haidar 1991: 140-1; Aboebakar 1957:477).
NU juga melebarkan sayapnya melampaui daerah pusatnya semula, Jawa
Timur. Walaupun sebagian besar pendirinya adalah orang Jawa Timur, pada
Muktamar ke-4 jumlah cabang yang ada di Jawa Tengah sudah lebih besar
daripada di Jawa Timur, dan separuh lebih besar dari jumlah cabang di Jawa
Barat (yakni, 31 cabang di JawaTengah, 21 di Jawa Timur, dan 10 di Jawa
barat). Pada 1930-an, NU juga sudah mendapatkan tempat berpijak di
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. NU
menunjukkan keinginannya untuk menjadi organisasi berskala nasional
dengan menyelenggarakan muktamarnya di berbagai wilayah Indonesia.
Muktamar 1932 diadakan di Bandung (Jawa Barat). Muktamar 1936 di
Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Namun, hal ini tidak dapat
menyembunyikan kenyataan bahwa NU tetap saja sangat didominasi oleh
para kiai Jawa Timur.

16
Jumlah madrasah yang didirikan dengan bantuan NU, baik pesantren yang
sudah ada ataupun yang sama sekali baru, juga terus bertambah. Karena
kekurangan guru yang memenuhi tuntutan madrasah-madrasah ini, Muktamar
ke-8 (1933) mendukung Kiai Wahab untuk mendirikan sebuah sekolah
pendidikan guru di Solo.
Hubungan dengan kaum pembaru yang sangat tegang pada tahun-tahun
awal berdirinya NU, secara bertahap diperbaiki kembali. Sekitar pertengahan
1930-an, berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah
pihak. Pada Muktamar ke-11 (1936) di Banjarmasin, Kiai Hasjim Asj’ari
mengajak umat Islam Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan
kritik sektarian satu sama lain dan mengingatkan bahwa satu-satunya
perbedaan yang sebenarnya hanyalah antara mereka yang beriman dan yang
kafir. Ajakan ini, walaupun ditujukan terutama kepada pengikutnya sendiri,
juga membangkitkan respons positif dari kalangan pembaru.
KH Machfoedz Siddiq, yang pada 1937 menjadi Ketua Umum Tanfidziah,
menerbitkan sebuah buku penting. Dalam buku tersebut dia mengemukakan
bahwa taqlid dan ijtihad tidak benar-benar berlawanan secara diametral
sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka yang terlibat dalam polemik
sebelumnya. Rumusannya, yang mendamaikan kaum tradisionalis dan
pembaru moderat yang sedang berselisih paham, disambut baik oleh kaum
pembaru. Kelompok yang terakhir ini kemudian mengurangi kritik mereka
terhadap berbagai praktek keagamaan tradisional.
Rekonsiliasi antara berbagai aliran Islam Indonesia sebagian merupakan
respons terhadap beberapa tindakan pemerintah yang membuat kaum
muslimin merasa perlu membentuk sebuah front bersama. Salah satu masalah
penting pada masa itu berkaitan dengan prioritas yang diberikan penguasa
Hindia Belanda kepada hukum (adat) atas hukum Islam di pengadilan-
pengadilan. Masalah yang lebih peka lagi adalah sebuah draft hukum
perkawinan yang secara langsung bertentangan dengan ketentuan Syari’ah.
Dalam pandangan umat Islam, ini merupakan sebuah campur tangan
pemerintah yang tidak dapat ditolerir dalam bidang keagamaan. Pada 1937,
para pemimpin NU, Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam sepakat

17
membentuk sebuah kerangka kelembagaan untuk menyelenggarakan
komunikasi dan musyawarah secara teratur. Kesepakatan ini akhirnya
melahirkan sebuah organisasi payung MIAI (Al-Majlis al-Islami al-A’la
Indonesia, Dewan Tertinggi Islam Indonesia), di mana kebanyakan organisasi
Islam menyatakan diri sebagai anggotanya.
MIAI menghidupkan kembali Kongres Islam berkala nasional (Kongres
Al-Islam) yang pernah diadakan pada dasawarsa sebelumnya. Setelah 1926,
beberapa kali kongres masih diselenggarakan, tetapi anggota NU tidak ikut
serta lagi. Muhammadiyah juga secara bertahap sudah menarik diri, dan
kongres tersebut hampir hanya menjadi urusan Sarekat Islam, dengan jumlah
peserta yang terus merosot. Kongresnya yang kesembilan dan terakhir
diselenggarakan pada 1932, MIAI mengadakan kongres Al-Islam yang
pertama pada 1938 (Sarekat Islam menyatakannya sebagai kongres ke
sepuluh, tetapi organisasi lain bersikeras bahwa acara tersebut adalah kongres
yang pertama). Setelah itu, masih ada dua kali Kongres, 1939 dan 1941.
Topik-topik yang dibicarakan dalam kongres-kongres ini (lihat Noer: 244-7)
pada umumnya menyangkut masalah-masalah agama dalam pengertian yang
ketat, tetapi beberapa di antaranya mengandung implikasi politik. Partisipasi
NU di dalam MIAI merupakan langkah pertama ke arah sikap yang lebih
politis. Demikian juga, nampaknya, Muhammadiyah.13

13
Nur Hidayat, “NU Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda”, Nurhidayat Foundation, diakses
dari https://nurdayat.wordpress.com/2008/03/07/nu-pada-masa-pemerintahan-kolonial-belanda/
pada tanggal 7 Maret 2008 pukul 2.22 pm

18
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Nahdalatul Ulama adalah organisasi keagamaan yang berfaham Ahlus
Sunnah wal Jamaah, berhaluan salah satu dari madzhab empat yang memiliki
tujuan untuk meningkatkan kualitas manusia yang bertaqwa. Dalam redaksi
lain juga dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama adalah jamiah diniah Islamiah
berakidah Islam menurut ahlus sunnah wal jamaah serta mengikuti salah satu
madzhab empat.
Peran Nahdlatul Ulama sejak berdiri tahun 1926 pada masa penjajahan
adalah sebagai berikut:
1. NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan
untuk pengusiran penjajah di Nusantara.
2. Perjuangan anti-penjajah merupakan asal usul Nahdhathul Ulama menurut
KH. Achmad dahlan
3. Mendirikan Pesantren-Pesantren Sebagai Pusat pendidikan
4. Menyelamatkan aqidah Islam dari faham Sintoisme, terutama ajaran
Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
5. Menanggulangi krisis ekonomis ebagai akibat perang Asia Timur
bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk
melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang
menyadari kesalahannya memperlakukan umatIslam dengan tidak adil.
Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuannya.
6. Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi
antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis SyuroMuslimin Indonesia
(MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu (Kantor
Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah
7. Tokoh NU berperan dalam proses perumusan Pancasila yaitu KH Wahid
Hasyim.

19

Anda mungkin juga menyukai