Anda di halaman 1dari 18

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang dua ORMAS besar: Nahdatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah dalam khilafiyah tata cara beribadat, politik, sosial, dll. (kajian
Teoritis tentang perbedaan masalah furu’) kerana perbedaan furuiyah tersebut
banyak mempengaruhi sikap keberagaman muslim di Indonesia
Kata kunci: NU, Muhammadiyah, Perbedaan furuiyah.

A. Latar Belakang

NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam di Indonesia. Keduanya


mempunyai pandangan yang berbeda, Nahdatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 dan
bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sedangkan Muhammadiyah
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.

Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat


banyak perbedaan yang terjadi di kedua ORMAS ini, yang paling nyata adalah dalam
berbagai masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan
membid’ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan
masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi, dan
berbagai masalah lain. Oleh karena itu dalam makalah ini kami meneliti/ menelaah lebih
dalam tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah NU itu?
2. Bagaimana Sejarah Muhammadiyah itu?
3. Siapa Tokoh NU dan MUhammadiyah?
4. Apa Perbedaan NU dan Muhammadiyah?

1
C. Metode Penelitia

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskritif
analisis dengan kegiatan telaah naskah, dokumen, dan arsip yang kemudian
disempurnakan dengan wawancara dari berbagai narasumber. Semua kegiatan ini
bertujuan untuk mengkonstruksi berbagai kejadian yang berkaitan deng kausal
kondisional, kontektual, serta komponen-komponen yang saling berkaitan dalam proses
sejarah serta khilafiyah furu’iyyah dikalangan NU dan Muhammadiyah.

D. Pembahasan
1. Sejarah NU & Muhammadiyah
Dalam menelaah bagaimana NU dan Muhammadiyah, kita perlu mengetahui
terlebih dahulu bagaimana sejarah maupun latar belakang terbentuknya dua ORMAS
(Organisasi Masyarakat) tersebut.
a. Sejarah NU

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa


Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan
“Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana
setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa
lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.1

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon


kebangkitan nasional tersebut dengan Membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
Didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan
pemikiran), Sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri.

1
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik & Kekuasaan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), 35.

2
Didirikan Kemudian dan situ Nalidlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab
Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam
maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah. Gagasan
kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dan kaum modernis di Indonesia, baik
kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak
pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga
tidak dilibatkan dalam delegasi sebagai Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain
menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan sesepuh NU
lainnya berjalan keluar membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab


serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa
membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH Wahab
Hasbullah.2

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan
tantangan dan segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan

2
Saifudin Zuhri, Kebangkitan Umat Islam “Kertas Prasaran pada Diskusi menyambut Abad XV
H, 31 Januari 1980”, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), 117.

3
niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan
mazhab mereka masing-masing. Peran itulah internasional kalangan pesantren pertama,
yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Komite Berangkan dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc,
maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi
dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad
Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.3

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang


mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli
(skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu sepert Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam
bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga
madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki, dan imam Hanbali sebagaimana yang
tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,

3
H. Soeleiman Fadeli, “Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU”, (Surabaya: Khalista,
2007), 30.

4
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.

b. Sejarah Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi Islam pertama kali yang didirikan oleh


Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan. Didirikan pada
tanggal 8 Zulhijjah 1330 H. bertepatan 18 November 1912 M. di Yogyakarta.4
Secara umum faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula dari beberapa
kegelisahan dan keprihatinan sosial religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi
disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat.
Kegelisahan religius muncul karena melihat praktik keagamaan yang mekanistik tanpa
terlihat kaitannya dengan perilaku sosial dan positif di samping syarat dengan tahayul,
Sedangkan kegelisahan moral disebabkan oleh kaburnya batas antara baik dan buruk,
serta pantas dan tidak pantas.5

Muhammadiyah adalah salah satu gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang


dimulai pada permulaan abad ke 20. Dimana pada saat itu, adalah masa di Timur Tengah
mengalami perubahan-perubahan yang dibawakan seperti para tokoh: Ibnu Taimiyah,
Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Ridho. Menurut Mukti Ali, Muhammadiyah sering disebut sebagai
gerakan modern. Dimana Muhammadiyah memiliki pemikiran yang berbeda, yakni
dengan cara memahami Islam langsung berpegang pada Al-Qur’an dan Assunnah lewat
jalan Ijtihad, dalam permulaan abad 20 dimana pada umumnya umat Islam, memahami
ajaran Islam dengan cara taklid serta mengikuti para imam mazhab.6

K.H. Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah mempunyai


maksud dan tujuan yang mulia dimana tertera dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah

4
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Antara
PT, 1989), 32.
5
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, 33.
6
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, 1-3.

5
Pasal satu disebutkan: Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar Berasaskan Islam dan Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Sudah jelas
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang sudah pasti menjunjung dan
menegakkan Islam di Indonesia dengan pemikiran pembaharuanya dan modernisasinya
yang bertujuan jelas tercantum dalam anggaran dasarnya yang berbunyi: menegakkan dan
menjujung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya.

2. Tokoh-Tokoh NU dan Muhammadiyah

Banyak tokoh-tokoh dari NU maupun Muhammadiyah yang mewarnai sejarah ke


Islaman di Indonesia. Sedikit akan kami jabarkan tokoh-tokoh dari kedua belah ormas
tersebut.

a. Tokoh-Tokoh NU
 K.H. M. Hasyim Asyari

Nama beliau adalah Muhammad Hsyim bin Asyari atau lebih di kenali sekarang
K.H. M. Hasyim Asyari. Beliau lahir pada tanggal 14 Febuari tahun 1871 di utara kota
Jombang. Ayahnya bernama Asyari dan ibunya bernama Halimah.

Secara geonologi, K.H. M. Hasyim Asyari merupakan keturunan Kyai, kerana


kakenya sebelah abahny Kyai Sihah merupakan pendiri pondok pesantren tambak beras,
sedangkan kakek sebelah ibunya Kyai usman merupakan Kyai terkenal pendiri pondok
pesantren Gendang, sedangkan ayahnya juga yaitu Asyari adalah pengasuh pondok
pesantren Keras Jombang.

Setelah usia 15 tahun, K.H. M. Hasyim Asyari mulai berkelana ke berbagai


pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama. Mula-mula beliau menjadi
santri di Pesantren Wonokolo, Pesantren Langitan, Pesantren Probalinggo, Pesantren
Trenggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura.

6
Pada tahun 1893 K.H. M. Hasyim Asyari meninggalkan tanah air dan pergi ke
Mekkah untuk berguru disana. Di Mekkah K.H. M. Hasyim Asyari berguru pada Syekh
Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hassan al-Attas,
Syakh Said al-Yamani serta Syekh Mahfudh al-Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa
Timur dan beliau juga adalah pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ahli di dalam
bidang hadis di Mekkah.7

Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, K.H. M. Hasyim Asyari


kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Namun sekian banyak
gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikirannya adalah Syekh Mahfudh al-
Tarmisi. Dari gurunya inilah beliau memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan
Naqsabandiah.

Setelah 7 tahun belajar di Mekkah, K.H. M. Hasyim Asyari pulang ke tabah air
dan mendirikan Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Di pesantren inilah K.H. M. Hasyim
Asyari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya yang biasa di panggil “kitab
kuning”. Dari pesantren ini banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang
mewarnai pemikiran Islam di Indonesia. Setelah mendirikan pesantren tebu ireng. K.H.
M. Hasyim Asyari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi
tradisional.

 K.H. Bisri Syansuri

Bisri bin Syansuri dilahirkan pada tanggal 18 September tahun 1886 di Tayu, Pati
Jawa Tengah. Ayahnya bernama Syansuri dan nama bagi ibunya Mariah Sewaktu kecil,
beliau belajar pada K. H. Abdul Salam, seorang ahli dalam bidang al-Quran dan ilmu
fiqih. Gurunya dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan
agama, atas bimbingannya ia mempelajari berbagai ilmu agama yang lainnya.

7
Hartono Margono, “K.H. M. Hasyim Asyari Dan Nadhatul Ulama Perkembangan Awal
Dankonteporer”,(Jurnal Media Akademika, Vol 26, No 3, Juli 2011), diakses pada tanggal, 13 Oktober
2019, 12:19 PM

7
Setelah menginjak usia 15 tahun, K.H. Bisri Syansuri mulai mendalam ilmu
agama miliknya dengan berguru kepada K. H. Kholil Kasingan, Rembang dan K. H
Syuaib Sarang, Lasem. Kemudian dilanjutkan kepada Syaikona Kholil Bangkalan, K. H.
Hasyim Asyari Tabuireng. Selama 6 tahun beliau belajar d pesantren dan memperoleh
ijazah dari gurunya dalam mengajar kitab-kitab.

Pada tahun 1912 K.H. Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke


Mekkah bersama temannya Abdul Wagab Hasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar
kepada Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim
Madani dan Syekh Maliki. Sepulanganya di Mekkah, beliau mendirikan Pesantren
Mambauk Maarif, di Denanyar, Jombang. K.H. Bisri Syansuri adalah orang yang pertama
membuka kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.8

Pada tahun 1926 beliau hadir dalam pertemuan menyepakati berdirinya organisasi
NU. Beliau duduk sebagai anggota Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali. Tahun
1947 ia menggantikan Kyai Wahab yaitu sahabat beliau sebagai wakil Rais Aam sampai
akhir hayatnya.

 K. H. Abdurrahman Wahid

K. H. Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 4 Augustus tahun 1940 di sebuah


tempat Denayur, Jombang. Beliau lebih dikenali sebagai Gusdur. Ayahnya bernama K.H.
Wahid Hasyim, adalah putra dari K.H. M. Hasyim Asyari. Sedangkan ibunya, Ny. Hj.
Solichah adalah putri dari K.H. Bisri Syansuri. Dari kedua jalur tersebut diketahui bahwa
K. H. Abdurrahman Wahid mempunyai aliran darah biru kia yang sangat besar dan
berpengaruh.

Pada tahun 1953, Gusdur mulai berpendidikan di sekolah dasar di kota Jakarta.
Lalu pada tahun 1956 beliau menerusakan di SMEP Gowangan, Yogjakarta, sambil
belajat di sebuah pesantre Krapyak. Setelah tamat di SMEP, beliau melanjutkan

8
H. Soeleiman Fadeli, “Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU”, 204.

8
pendidikan di Pesantren Tegalrejo di Magelang selaa tiga tahun. Setalah itu beliau pergi
ke pesantrenTambakberas di Jombang dan mengajar di Madrasah Muallimat
Tambakberas sejak tahun 1959.

Tahun 1960 beliau melanjutkan lagi pendidikan di Universitas al-Azhar, Mesir.


Kemudian pindah ke Fakultas sastra Universitas Baghdad, Iraq. Namun sayang
keduannya tidaklah sampai tamat pengajian. Sampai awal tahun 1970. Beliau sangat aktif
di dalam kegiatan Perhimpunan pelajar Indonesia di timur tengah. Kemudian beliau
pulang tanah air dan mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyari,
Tebuireng, Jombang. Pada tahun 1972 beliau dilantik menjadi dekan dan pada tahun 1974
beliau menjabat jawatan seketaris di Pesantren Tebuireng.9

Gusdur mulai masuk ke jajaran NU pada tahun 1979 atas dorongan kakeknya,
K.H. Bisri Syansuri yang sangat saat itu menjabat Rais Aam PBNU. Gusdur langsung
menjabat posisi Wakil Katib Aam PBNU. Pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di
Situbondi Gusdur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU bersama K. H. Acmad Siddq
sebagai Rais Alam. Jabatan ini disandang olehnya selama tiga periode, yakni lewat
muktamar yang ke-27, muktamar ke-28 tahun 1989 di Yogjakarta dan multamar ke-29
tahun 1994 di Cipasung. Dalam muktamar yang ke-30 kalinya tahun 1999 di Lirboyo,
Gusdur pada saat itu menjadi Presiden RI diangkat sebagai seorang Mustasyar PBNU.

b. Tokoh Muhammadiyah
 K.H Ahmad Dahlan

K.H Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1864 di Kauman, Yogjakarta. K.H Ahmad
Dahlan sewaktu kecil biasa dipanggil dengan nama Muhammad Darwisy di kalangan
keluarga. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar bin K.H. M. Sulaiman, menjabat sebagai
Khatib di Masjid Agung Yogjakarta sedangkan ibunya Nyai Abu Bakar adalah puteri dari
K.H. Ibrahim bin K.H. Hasan.

9
H. Soeleiman Fadeli, “Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU”, 173.

9
K.H Ahmad Dahlan memperoleh pendidikan agama pertama kali dari ayahnya
sendiri. Setelah menginjak remaja beliau mulai belajar ilmu fiqih dengan K.H. M Saleh
dan belajar ilmu nahwu dan shorof kepada Kyai Haji Muchsin. Untuk mempelajari ilmu-
ilmu yang lainnya diserahkan kepada para ulama lainnya. Kemudian beliau melanjutkan
pendidikan agama kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura salah satu Syekh penyebar
Islam di Madura. 10

 K. H. Ibrahim

K. H. Ibrahim lahir pada tahun 7 Mei 1874 di Yogjakarta. Beliau adalah putera
dari K. H. Fadlil Rachmanigrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogjakarta.

Masa kecil K. H. Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuannya dengan diajarkan
menkaji al-Quran sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agamanya
oleh kakaknya sendiri yaitu K. H. Muhammad Nur.

Setelah belajar di beberapa pesantren di sekitar Yogjakarta, K. H. Ibrahim belajar


ke Mekkah selama 8 tahun. Beliau sangat alim dan penguasaan bahasa Arab sangat
mendalam. K. H. Ibrahim adalah seorang pemimpin yang punya perhatian besar dalam
memajukan kaum perempuan, ekonomi dan mendorong kemajuan para takmirul mesjid.11

 Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagus Hadikusumo (1890 – 1954), nama kecilnya Hidayat, lahir di Kauman


Yogyakarta tanggal 24 Nopember 1890 dan wafat 3 September 1954 (usia 64 tahun).
Menjadi ketua PP Muhammadiyah tahun 1942-1953. Menjadi anggota BPUPKI yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan menjadi salah satu dari 15 anggota yang
menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar Negara.

10
Nafilah Abdullah, “K. H Ahmad Dahlan”, (UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta), diakses pada
tanggal, 10 Oktober 2019, 10.19 PM
11
M. Sukriyanto, “Profil Singkat Para Tokoh Penganjur Muhammadiyah”, (Jurnal, Universitas
Muhammadiyah Yogjakarta, 2010), diakses pada tanggal, 10 Oktober 2019, 10:23 PM

10
Beliau adalah tokoh Muhammadiyah yang gigih memperjuangkan untuk
menginstitusionalisasikan syariat Islam di Indonesia. Sumbangan terbesar beliau untuk
Republik Indonesia adalah ikut merumuskan kalimat "Ketuhanan yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta
yang ditolak oleh utusan Kristen dari Indonesia Timur sehingga rumusannya berubah
menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai sila I Pancasila.

3. Ikhtilaf antara Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyyah12

Organisasi Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah adalah organisasi yang bergerak


dalam sosial masyarakat, tetapi juga lebih dominan pada masalah keagamaan sehingga
sebagian orang salah paham bahwa antara NU dan Muhammadiyah itu beda Mazhab
bahkan bukan Islam yang baik.

a. Perbedaan yang spesifik berada dalam ruang lingkup Furuiyyah ibadah antara lain:13
 Jika muhammadiyyah memiliki majelis tarjih sedangkan NU memiliki bahtsul
masail, Muhammadiyyah tidak terikat dengan sesuatu mazhab, NU terikat dengan
salah satu mazhab.14
 Muhammadiyyah tidak mengamalkan dan memasukkan budaya ke dalam ranah
ibadah seperti tahlilan, maulidan,ziarah kubur, manaqiban dan lainnya. Apalagi
kenduri arwah dianggap meratapi mayat dan itu haram hukumnya. Ziarah kubur,
bernazar, mengagungkan kuburan orang yang telah mati sudah dianggap merusak
tauhid dan membawa pada kemusyrikan.
 NU meyakini kesunnahan qunut subuh berdasarkan pendapat dalam mazhab
syafii dengan adanya landasan dalil. Berbeda dengan muhammadiyyah yang

12
Setelah dilakukan wawancara dan melihat kondisi lapangan disertai pengalaman belajar disemua
golongan, baik NU, Muhammadiyah, Salafi dengan diambil kesimpulan.
13
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Dan Pengabdian Muhammadiyah, 19-21.
14
Wawancara pada seorang mahasiswa bernama Ahmad Maulana Muhammadiyah jurusan
Psikologi Islam fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Antasari Banjarmasin.

11
tidak menerima kesunnahan qunut subuh bahkan ada yang menganggapnya
bid’ah.
 Kita coba lihat ketika panggilan sholat jum’at, nu dengan 2 kali azan berbeda
dengan muhammadiyan 1 kali azan.
 Penentuan isbat nu dengan metode rukyah, muhammadiyah dengan hisab. Sebab
ilmu hisab juga ilmu pasti dalam dunia ilmu falak bukan ilmu tenung-tenungan.
 Melafazkan niat ketika memulai sholat dengan dikenal ucapan ‘Ushulli”
dikalangan NU dianggap kesunnahan15 dengan tujuan untuk memperkuat niat,
berbanding terbalik dengan Muhammadiyah yang menganggapnya tidak
perlu,tidak dianjurkan dan itu bid’ah.
 Mentalkinkan mayat diatas kuburan tidaklah memiliki sanad hadis yang kuat
menurut orang muhammadiyah, yang benar adalah sebelum dia meninggal. Kalau
dari NU meyakini kesunnahan talqin mayit sesudah dikubur16.
 Zikir berjamaah dengan suara jahar dianggap sunnah oleh NU17, dan Bid’ah bagi
Muhammadiyah.
 Perbincangan panjang lebar mengenai arti bid’ah menurut bahasa dan bid’ah
menurut syara’.
 Pada masa dahulu pakaian yang menyerupai orang kafir seperti dasi, jas dan
lainnya bagi ulama dahulu adalah haram karena tasyabbuh. Padahal bagi orang
Muhammadiyah yang dimaksud tasyabbuh itu adalah memakai tanda tanda
keagamaaan, seumpama salib.

15
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan
Sehari-hari, (Malang: Pustaka Bayan, 2004), 86. Bisa juga lihat buku Antologi NU karya Soeleiman Fadeli
dan Mohammad Subhan terbitan Surabaya: Khalista, 2007, 130-162
16
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan
Sehari-hari, 197-230.
17
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan
Sehari-har, 334.

12
 Sifat yang melekat dari orang muhammadiyah adalah rasional dalam berfikir dan
kritis dengan pedoman al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda hal dengan NU yang lebih
taklid buta pada seorang guru atau imam danm lebih patuh serta taat selalu.
 Dalam aqidah, muhammadiyah dipengaruhi paham salafiyyah pembaharuan
yang lebih kepada ulama seperti Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahab, berbeda dengan NU yang lebih ke paham
Asy’ariyah dan Maturidiyyah yang berdominasi pemikiran Ghazali, Abu Junaidi,
Nawawi.
 Dunia tasawuf sangat ditekuni oleh orang NU dengan banyaknya tokohnya,
berbeda dengan Muhammadiyah yang menolak tasawuf yang ekstrim walaupun
ada juga mengikuti tasawuf sebagian contohnya Buya Hamka.
 Sholat terawih orang NU jumlahnya 20 rakaat ditambah witir 3 dan diselelingi
setiap 2 rakaat denga sholawat, berbeda dengan Muhammadiyah yang jumlah
terawihnya 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir tanpa adanya sholawatan, tetapi
biasanya dengan ceramah agama.
b. Perbedaan dalam Aspek Ekonomi dan Pendidikan18
Kita bisa melihat begitu pesatnya perkembangan perekonomian orang
muhammadiyah dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang dirintis oleh
mereka dan itu didukung oleh semangat kemajuan yang mereka jalani dengan
berdasarkan sisi Islam yang menyuruh untuk optimis.19 Tak mau kalah juga sudah
bermunculan juga ekonomi orang Nahdlatul Ulama untuk memajukan
organisasinya.
Dalam dunia pendidikan orang Muhammadiyah lebih banyak terfokus pada
masyarakat perkotaan yang ingin lebih maju dengan banyaknya lembaga formal
sekolah, perguruan tinggi yang dibangun.20 Selain itu cara berfikir untuk lebih

18
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Dan Pengabdian Muhammadiyah, 42-46.
19
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Dan Pengabdian Muhammadiyah, 201-212
20
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Dan Pengabdian Muhammadiyah, 225-227.

13
maju dari warga Muhammadiyah lebih timbul sehingga menghasilkan manusia
yang cerdas, mandiri, maju dan sholeh. Disisi lain orang NU lebih pada sifat
adem, berfokus pada masyarakat pedalaman yang kental akan budaya dan adat
istiadat. Sistem pendidikan NU juga mengarah pada metode salafiyyah yakni
mengkaji kitab, hadis dan fiqih. Sehingga lebih menjurus pada keagamaaan,
berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih mencetak manusia yang maju.
Sistem pendidikan Muhammadiyah juga bertujuan untuk menghapus dan
menghilangkan keca mpuradukan dan tidak bersihnya Islam dari kesyirikan,
khurafat, bid’ah dan adat yang merusak.21 Gaya pendidikan orang
Muhammadiyah terstruktur sehingga memiliki kemajuan yang pesat. Contohnya
saja Universitas Muhammadiyah Banjarmasin yang memiliki kelengkapan
administrasi, gedung, dan tenaga pendidik yang bermutu sehingga wajar orang
Muhammadiyah lebih maju. Pembaharuan begitu kental dalam diri
Muhammadiyah dengan karakter reformasi pemikiran dengan bukti tindakan.
Dalam arti faham liberalisme menguasai Muhammadiyah tetapi liberalisme yang
Islami dan sangat beda dengan liberalisme barat. Berbeda halnya dengan NU yng
cenderung baku, jumud dan terkekang, walaupun sudah mulai melepaskan diri ,
juga sistemnya yang kurang dikontrol untuk kemajuan umat, di samping sikap
tradisonalisnya lebih dikedepankan dengan adanya sifat wara’ zuhud dan
berusaha menjauhi kemajuan. Walaupun ada juga perguruan tinggi yang dibangun
NU seperti Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan.
Warga NU lebih menghabiskan waktu belajarnya di pesantren sehingga sisi
emosional dan kepatuhannya pada ucapan guru tanpa banyak pertimbangan
logika, sehingga kurang rasional. Kalau Muhammadiyah banyak mengenyam
pendidikan formal sehingga terkesan rasional dan objektif dalam memandang
sesuatu. Sektor ekonomi Muhammadiyah begitu maju disebabkan dikelola

21
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Dan Pengabdian Muhammadiyah, 33-34.

14
dengan baik, system infaq, shodaqah dan zakat memang betul dikelola untuk
masyarakat.
c. Lingkup Sosial22 dan Budaya23
Dalam aspek ini kedua organisasi ini mempunyai lembaga-lembaga yang
didirikan untuk memajukan masyarakat Islam dengan tujuan yang mulia. Untuk
memajukan itu maka diperlukan lembaga untuk memfasilitasinya, misal sekolah,
madrasah, pengajian umum, ceramah umum, rumah sakit, panti asuhan dan
lainnya. Ulama atau para muballigh harus membimbing umat Islam dalam
memahami agamanya dengan akal sehat dan benar. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya ustadz- ustadz yang masuk kampung dan desa-desa.
Kedua organisasi ini juga berusaha membantu masyarakat yang miskin, menderita
dengan misal adanya lembaga BAZNAZ. Penampungan orang miskin, balai
pengobatan didirikan. Pembinaan, pendidikan, dan pembangunan karakter
semangat untuk merdeka, maju dan nasionalisme perlu dilakukan terutama setelah
kita pernah dijajah oleh belanja dan jepang.
Sejatinya yang diperlukan dimasyarakat adalah bagaimana doktrin al-Qur’an dan
Sunnah menjadi etos kerja yang mendorong semangat untuk tekun, disiplin, rajin,
dan menghargai waktu terutama dalam ranah sosial dan pola pikir masyarakat.
Makanya diperlukan terobosan yang relavan dengan kondisi sosialnya, selain dari
keberanian dalam menjalankan program, perbaikan dalam segala hal, serta
penggunaan teknologi demi kemaslahatan. Dengan demikian korelasi antara
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan pelembagaan yang bisa terjalankan
dimasyarakat. Dengan kata lain aktualisasi pesan agama merekat bukan hanya
untuk kepentingan pribadi misal sifat kaya, tetapi juga harus diterapkan dan
dikembangkan dalam sosial dan kultural.24 Nilai-nilai agama, pendidikan, dan

22
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam
Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 105-107.
23
Dapat juga melihat dari karakter masyarakatnya, meneliti kondisi dan keadaan mereka.
24
M. Rusli Karim, MUHAMMADIYAH dalam kritik dan komentar, (Jakarta: Rajawali, 1986), 21-
24.

15
penataan sangat diperlukan mengingat sekarang krisis moral dengan banyaknya
perzinahan, perjudian, korupsi merajalela dimasyarakat maka kedua organisasi ini
perlu membantu mengetasinya.
Ciri khas dari orang Muhammadiyah kita bisa lihat dari cara berpakainnya yang
lebih menggunakan gamis atau celana yang cingkrang atau tidak melewati mata
kaki, berbeda dengan NU yang kental menggunakan peci hitam, memakai sarung
jika sholat. Selain itu pula didalam mesjid, orang orang Muhammadiyah
menggunakan podium dan mesjidnya jarang ada pemutaran audio morottal al-
Qur’an.
d. Aspek politik25
Dalam ranah politik tidak begitu terlihat dikarenakan organisasi muhammadiyah
tidak berorientasi kearah sana walaupun ada sebagian kader atau tokoh yang
berpartai politik. Orang muhammadiyah dilihat dari sisi historisnya lebih
menyasar pada memperbaiki masalah sosial, agama, propaganda, pendidikan dan
ekonomi umat. Berbeda dengan warga nahdliyin dengan karakter NU nya lebih
bergumul di politik. Contoh saja kita bisa lihat wakil presiden kita berasal dari
NU yaitu KH. Makhruf Amin.
Politik dan dakwah dalam struktur pemikiran Muhammadiyah adalah bagian dari
teori dan strategi perjuangan dan kondisional sesuai masyarakat. Banyaknya
tokoh yang masuk pilitik seperti Natsir dan lainnya berarti ada cukup andil
didalamnya. Padahal dulu kader Muhammadiyah banyak yang berada di partai
Bulan Bintang tetapi sekarang bebas untuk memasuki partai dan golongan apa
saja. Dominannya kader Muhammadiyah lebih menginginkan adanya peraturan
Islam berlaku dimasyarakat, penekanannya lebih pada amal, karya dan gerak
dakwah.26

25
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam
Perspektif Perubahan Sosial, 77-80
26
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam
Perspektif Perubahan Sosial, 77 -84,101-103.

16
E. Penutup

Berbagai organisasi keislaman yang ada diindonesia memiliki ciri khas tertentu,
begitu juga organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sisi perbedaaan diantara
keduanya selama ini menjadi mimik buruk ditengah masyarakat. Sehingga hubungan
sosialnya kurang merekat disebabkan masing-masing membawa paham organisasinya.
Yang lebih parah lagi saling mengolok, mencela dan mencemooh yang lain karena
berbeda paham. Sejatinya perbedaan itu semakin membuat kita rukun, damai dan saling
menghargai. Proses saling mentolerer itu bisa menjadikan kita umat yang satu, kuat dan
berperadaban seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Cara boleh berbeda tapi masih
dala ruang lingkup yang dibenarkan untuk kebaikan kita dimasa yang akan datang.
Demikian pula untuk membentuk kebaikan di bumi Indonesia ini dengan bingkai Bhineka
Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua).

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Munir, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam
Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Fadeli, H. Soeleiman, “Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU”, Surabaya:


Khalista, 2007.

Karim, M. Rusli, Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, Jakarta: Rajawali, 1986.

Muhyiddin, Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan


Keagamaan Sehari-hari, Malang: Pustaka Bayan, 2004.

17
Puar, Yusuf Abdullah, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka
Antara PT, 1989.

Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik & Kekuasaan, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010.

Zuhri, Saifudin, Kebangkitan Umat Islam “Kertas Prasaran pada Diskusi menyambut
Abad XV H, 31 Januari 1980”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980.

Jurnal:

Abdullah, Nafilah, “K. H Ahmad Dahlan”, (UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta), diakses
pada tanggal, 10 Oktober 2019, 10.19 PM.

Margono, Hartono, “K.H. M. Hasyim Asyari Dan Nadhatul Ulama Perkembangan


Awal Dankonteporer”, (Jurnal Media Akademika, Vol 26, No 3, Juli 2011),
diakses pada tanggal, 13 Oktober 2019, 12:19 PM.
Sukriyanto, M., “Profil Singkat Para Tokoh Penganjur Muhammadiyah”, Jurnal,
Universitas Muhammadiyah Yogjakarta, 2010, diakses pada tanggal, 10 Oktober
2019, 10:23 PM.

Wawancara:
Setelah dilakukan wawancara dan melihat kondisi lapangan disertai pengalaman belajar
disemua golongan, baik NU, Muhammadiyah, Salafi dengan diambil kesimpulan.

Wawancara pada seorang mahasiswa bernama Ahmad Maulana Muhammadiyah


jurusan Psikologi Islam fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Antasari
Banjarmasin.

18

Anda mungkin juga menyukai