Anda di halaman 1dari 13

Genealogi Islam Indonesia

Ahmad Kurnia Sidik*

Populasi muslim dewasa ini merupakan yang kedua terbesar di dunia. Setidaknya, pada
tahun 2020 jumlahnya mencapai 1,9 miliyar jiwa. Indonesia dalam hal ini memliki posisi
penting dalam menyumbang kurang lebih 229 juta penduduknya yang muslim dan
menempatkannya pada peringkat negara dengan penduduk muslim tebesar di dunia. Apalagi
jika kita lihat dari kekayaan yang dimiliki Indonesia dengan bentangan pulau yang berjumlah
16.771 pulau, 300 kelompok etnik dengan 1.340 suku bangsa, 187 kepercayaan, serta 6 agama
besar ini menjadi menarik untuk dibahas mengenai perjalanan genealogi muslim Indonesia
yang hari ini menjadi penyumbang terbesar di dunia. Ditambah lagi, jika mengingat pernyataan
Indonesianis di masa Orde lama, Boyd Compton bahwa, keberjalanan bangsa ini dimainkan
oleh empat aktor utama, yaitu Islam baik yang moderat atapun ekstremis, komunis, nasionalis
radikal, dan tentara.

Istilah “Genealogi” sendiri memiliki definisi yang hampir mirip antara artian
konvensional maupun artian Foucauldian. Secara konvensional “genealogi” diartikan sebagai
studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generaso.
Sementara dalam pandangan Foucault, kata “genealogi” berarti sebuah usaha untuk
membongkar asumsi-asumsi mengenai nilai dalam pandangan tradisional serta memberi
alternatif tafsiran yang baru. Genealogi beroperasi secara mendetail terhadap kumpulan arsip-
arsip dan penelitian yang terperinci. Foucauldian juga beranggapan bahwa sejarah selalu harus
ditulis dari perspektif masa kini, karena sejarah merupakan akar yang bertransformasi menjadi
hari ini dengan evaluasi yang berulang-ulang. Dengan begitu, “Genealogi” berguna untuk
memperhatikan dinamika, transformasi, dan diskontuinitas dari suatu peradaban, tentu dengan
cacatan untuk seorang geneolog harus matang dengan kubangan-kubangan arsip sejarah.

Dalam Pusaran Sejarah

Sejarawan Yale University, Timothy Snider pernah berujar bahwa “Sejarah


mengungkap momen-momen, dan memahami satu momen dalam sejarah adalah melihat
kemungkinan turut menciptakan momen berikutnya”. Hal ini menunjukan bahwa sejarah
memiliki peran penting baik bagi individu, masyarakat, bahkan bangsa suatu negara dalam
memainkan peran bermasyarakatnya. Selain itu juga, hal senada terlontar dari Ibnu Khaldun,
salah satu sejarawan terpenting dunia, bahwa “Sejarah tidak semata-mata kerja merekam
kembali apa yang sudah terjadi, tapi sejarah menangkap i’tibar (pelajaran moral) dari kejadian
masa lalu umat manusia. Oleh karena itu, membahas perihal genealogi Islam di Indonesia, kita
jadikan bersama sebagai pemahaman sejarah dan refleksi nilai moral yang terjadi di masa lalu.

Sosiologis Umat di Indonesia.

Sebelum memulai wisata genealogi Islam di Indonesia, mungkin ada baiknya kita
memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi sosiologis umat Islam yang ada di Indonesia.
Dalam catatan yang dibuat oleh Ahmad Syafii Maarif tertulis bahwa terdapat dua fenomena
sosiologi umat yang saling berhadapan. Hal tersebut terjadi karena terdapat dua pandangan
besar terhadap penerapan syariat dalam bernegera. Pandangan pertama yaitu, kelompok umat
Islam Indonesia yang menganggap Islam sebagai cara dan pandangan hidup yang sempurna
dan lengkap sampai ke hal-hal terkecil dalam hidup. Hal ini berkebalikan dengan pandangan
kedua, yaitu kelompok yang acuh tak acuh terhadap ritus-ritus keagamaan yang ada dan
kelompok ini juga membatasi perihal agama pada tahap hal-hal terpenting, seperti kelahiran,
perkawinan, dan kematian. Dari kedua pandangan tersebut muncullah istilah yang disebut
sebagai Santri dan Abangan. Baik santri maupun abangan, dalam keberjalanan sejarah bangsa
ini sama-sama memiliki peran penting.

Perlu dicatat juga dari pendapatnya Syafii Maarif tersebut, bahwa kelompok yang
memiliki pandangan pertama (dibaca: santri) seperti yang disebut diatas karena menganggap
perlunya penerapan syariat, maka muncullah pemikiran untuk menciptakan tata sosio-politik
yang berlandaskan moral kokoh yang kemudian hari setelah merdekanya Indonesia
mendukung gerakan-gerakan berlabel Islam yang ada. Dalam kelompok ini sendiri memiliki
dua faksi lagi, faksi pertama yaitu, golongan yang menganggap bahwa perlunya menghidupkan
kembali prinsip dan semangat ijtihad, faksi ini menurut Syafii Maarif adalah golongan yang
terpengaruhi oleh pemikiran reformis dan modernis Islam dari Asia Barat dan Mesir (tokohnya
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dll), yang kemudian disebut oleh Yudi Latif
sebagai golongan muda atau golongan modernis. Di sampingnya ada faksi yang berkebalikan,
dengan menolak ide-ide dari golongan reformis dan modernis Islam sampai batas-batas tertentu
di kemudian hari disebut sebagai golongan tua atau golongan tradisional. Dari dolongan
tradisional inilah muncul organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar yaitu NU di Jawa
Timur (1926), serta Perti di Sumatera Barat (1930).

Dari corak kedua faksi tersebutlah yang menjadi sorotan dan akan dibahas disini secara
umum terhadap perkembangan, pendewasaan, serta arah gerak genealogi umat Islam di
Indonesia baik pra-kemerdekaan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi dan sampai
tulisan ini dibuat dan dibaca oleh pembaca yang budiman.

Umat Islam Pra-Kemerdekaan

Wisata genealogi kali ini dimulai dengan pembentukan Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) pada 21 September 1937. Dibentuk pada masa pendudukan Belanda di Indonesia oleh
tiga aktor utama, yaitu KH. Abdulwahab Chasbullah, KH. Achmad Dachlan, dan KH. Mas
Mansur. Ketiga tokoh tersebut melihat perlunya penyatuan umat Islam dalam menghadapi
kolonial belanda pada masanya, selain itu juga MIAI itu dibentuk sebagai wadah pusat kegiatan
bermusyrawarat serta saling kenal lahir bathin para alim yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam keberjalanannya pun, di tubuh MIAI ini perbedaan pandangan tetap menjadi
keniscayaan, yaitu hal-hal yang sifatnya hokum-hukum kecil dalam fiqh. Kendati demikian
ketiga tujuan utamanya tersebut berjalan sesuai harapan sampai sebelum datangnya Jepang ke
Indonesia pada tahun 1942-1945. Belanda yang memiliki corak berbeda dari Jepang yaitu tidak
turut campur dalam masalah agama yang menyebabkan tubuh MIAI ini memerlukan
penyesuaian sebelum akhirnya dibubarkan.

Melalui Nippon’s Islamic Grass-Root Policy, Jepang berusaha untuk memanfaatkan


agama sebagai bagian dari katalisator propangandanya. Hal tersebut bisa kita lihat dari sejak
pertama menginjakan kakinya di Indonesia, Jepang mendirikan kantor yang bernama Shumubu
(Kantor Urusan Agama) dan dalam selang waktu dua tahun mereka telah membuka cabang-
cabang Shumubu di seluruh Indonesia. Shumubu ini pada mulanya dikepalai oleh Kolonel
Horie, kemudian Prof. Husein Djajaningrat yang merupakan islamis kenamaan Indonesia pada
masanya, serta terakhir oleh KH. Hasyim Asyari. Jepang dalam laporannya H.J. Benda,
beranggapan bahwa dengan membujuk serta mengajak bekerja sama para pimpinan agama
sama dengan memobilisasi umat Islam yang ada untuk membantu Jepang dalam melawan
sekutu. Oleh karenanya, di masa pendudukan Jepang ini terbuka kesempatan untuk pamuda-
pemudi belajar politik-militer yang kemudian membentuk lascar Hizbullah (kesatuan militer
bagi pemuda islam) dan Sabilillah (kesatuan militer bagi para Ulama).

MIAI yang menjadi wadah para pimpinan umat ini baru ketahui oleh Jepang pada
Oktober 1943 bahwa tujuannya adalah melawan kolonialisme akhirnya harus dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Tentu seharusnya kita tahu,
bagaimana tendensi maksud dan tujuan berdirinya organisasi yang diprakarsai oleh penjajah,
Masyumi dalam hal ini bisa kita lihat di Anggaran Dasar pasal 4 yang berbunyi: “….agar
supaya umat Islam membantu dan menyumbangkan tenaganya untuk membentuk Lingkungan
Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, yang memang
sesuai dengan perintah Allah”. Sebelas kata dari belakang tersebut sangatlah kentara “bau
Jepang”nya. Oleh karena itu, Islam hadir seolah membutuhkan perlindungan pihak asing, juga
merubah kondisi dari yang sebelumnya untuk basis perlawanan kolonialisme.

Kendati demikian, perjuangan umat Islam terus berlanjut. Diterangkan oleh Ahmad
Mansur Suryanegara bahwa Agama Islam dalam hal ini yang dianut oleh mayoritas penduduk
di Indonesia menjadi modal yang mempercepat persatuan dan kesatuan bangsa. Ditambah lagi,
Islam tidak hanya diajarkan membangun jamaah tapi juga melawan penjajah. Perlawanan
tersebut oleh KH. Wahid Hasyim dikategorikan menjadi tiga model, pertama, yaitu nasionalis
oportunis yang mempercayai Jepang akan memberi kemerdekaan, kedua, kelompok yang
memiliki caranya sendiri untuk memperjuangkan kemerdekaan bahkan dengan melawan
Jepang, dan ketiga, kaum nasionalis muslim Masyumi yang terdiri dari dua subkelompok.
Adapun subkelompoknya menurut KH. Wahid Hasyim yang pertama ialah para politisi salon
yang lahir dari gaya pendidikan barat, sehingga memiliki pandangan mirip dengan nasionalis
oportunis, dan kedua ialah kelompok nonakademis/tradisional yang memiliki caranya sendiri
seperti kelompok lain dalam memperjuangkan kemerdekaan. Terlepas dari dikotomi diatas,
perjuangan umat Islam lebih terang ketika dibentuknya panitia Sembilan dari BPUPK yang
berhasil menempatkan Sila Ketuhanan sebagai mahkota sila walaupun menempuh perjuangan
yang cukup sengit dengan penghapusannya delapan atau sembilan kata dalam sila tersebut di
siding PPKI 18 Agustus 1945.

Umat Islam, Kemerdekaan, dan Orde Lama

Angin berganti arah, begitupun arah asap. Pasca proklamasi Indonesia mulai
dihadapkan pada pertarungan melawan bekas tuannya yang tamak dengan tanpa senjata atau
politik, seperti di Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvile dan lainnya. Kondisi umat pada
masa tersebut masihlah menyatu dan dibuktikan dengan reformasinya tubuh Masyumi yang
bukan lagi “made in Japan” tapi seutuhnya melanjutkan perjuangan MIAI. Pada November
1945, mereka mengadakan kongres sekaligus deklarasi di gedung Muallimin Muhammadiyah,
Yogyakarta. Dalam kongres tersebut, KH. Hayim Asyari terpilih sebagai ketua majelis syuro
pengurus besar Masyumi serta deklarasi yang bertujuan sebagai penguatan bahwa satu-satunya
partai Islam adalah Masyumi. Lagi-lagi tulang punggung dari partai Islam ini adalah NU dan
Muhammadiyah yang memiliki basis masa sangat besar.
Kehilangan salah satu dari sayapnya akan membuat wadah penyatu umat tersebut
lumpuh. Dan hal itu benar terjadi adanya. Masyumi, walaupun dalam slogannya “penyatu
umat” namun dalam praktiknya sendiri minus akan persatuan. Tahun 1952, NU (golongan
tradisonal) yang notabene penyokong organisasi tersebut merasa peran serta dan aspirasinya
dimandulkan oleh golongan-golongan yang mengaku reformis tersebut. Alasan yang
melandasinya mungkin terlalu kompleks, tapi menurut catatan Mahbub Djunaidi, faktor yang
membuat NU (melalui Muktamar ke 19 di Palembang) merangsek keluar dari Mayumi
sekaligus menjadi partai politik sendiri karena NU hanya diberi kedudukan sebagai dewan
penasehat yang mana tidak bisa memberi efek bagi keberjalanan organisasi “penyatu umat”
tersebut, juga ketidakpuasan dalam perolehan kursi di parlemen. Semenjak saat itu, gerakan-
gerakan yang dilakukan umat Islam di Indonesia menjadi terkotak-kotak, seperti NU, PSII,
Perti, Muhammadiyah (diwakilkan Masyumi), dan lain sebagainya.

Jika mundur ke tiga tahun sebelumnya, tepat pada Agustus 1949, Indonesia menghadap
badai konflik pertama dengan sesama anak bangsa yang mengatasnamakan Islam. Dipimpin
oleh S.M Kartosuwiryo, di Tasikmalaya bekas pejuang dari Hizbullah dan Sabilillah
memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dengan pemberontakan yang dikenal sebagai
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
ketidakpuasan ex-Hizbullah dan Sabilillah dengan hasil perundingan Renville. Mereka
menganggap bahwa Indonesia harus merdeka seratus persen seperti halnya yang dicita-citakan
kaum sosialis komunis pada masanya juga. Masih dengan akar yang sama, pengakuan akan
ketidakdaulatan atas pemerintah, terpecah-pecahnya wilayah Indonesia yang melahirkan
pemberontakan juga terjadi di Sumatera. Melalui dewan militer, di sana dibentuk dewan militer
untuk memproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan
Perdana Mentri yaitu Surya Prawiranegara. PRRI ini rupanya mendapat dukungan dari
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Indonesia bangian Timur yang kemudian dikenal
sebagai PRRI/Permesta. Pemberontakan daerah ini rupanya yang juga disanyalir (selain
masalah elit politik dengan Soekarna) menjadi pintu bagi Masyumi untuk menggelepar dari
kancah politik nasional.

Tahun 1960, Masyumi yang merupakan wadah berpolitiknya golongan Islam


Pembaharu resmi dibubarkan. Aktor besar Islam dalam kancah politik Indonesia menyisakan
NU sendiri. Sebagai aktor, tentu mata tertuju kepadanya. NU mendapat kedekatan yang cukup
signifikan di masa-masa menjelang akhir pemerintahan Soekarno. Bisa kita lihat dari hal yang
disangkakan oleh Syafii Maarif sebagai kegagalan menempatkan doktrin Quran serta upaya
pelicinan kuasa oleh golongan Islam Tradisional (NU) dengan memberi gelar ke Soekarno
Waliyyul-‘amri dharuuri bii asy-syaukah pada 1953. Dalam kacamata NU sendiri tentu
tidaklah seperti yang disangkakan oleh tokoh diatas, menurut catatannya Mahbub Djunaidi
bahwa pemberian gelar yang terjadi di masa mentri agamanya KH. Masykur dikarenakan
pemberontakan Darul Islam di daerah yang memunculkan dualism kepemimpinan masih
marak, oleh karena itu perlu melegitimasi kepemimpinan yang telah disepakati sebelumnya
yaitu Soekarno.

Didekat-dekat titik kulminasi dari kepemimpinan orde lama terdapat dua sumbu besar
di kancah politik nasional, selain Islam yang menjadi patron NU pada masanya, ada golongan
“kiri” yang diwakili PKI pada masa itu yang juga sangat dekat dengan Soekarno. Dalam
lakonnya kedua patron tersebut ibarat dua kutub yang berlawanan. Dimulai dengan klaimnya
D.N Aidit atas seluruh masyarakat yang tidak berpartai adalah bagian dari PKI pada detik-detik
pemilu 1955 yang kemudian ditentang oleh KH. Idham Chalid dengan debat terbuka yang
dimoderatori oleh Menteri Dalam Negri membuat suhu politik keduanya menjadi tak pernah
dingin. Hal tersebut berlanjut dengan penyerangan masjid peninggalan Sunan Ampel di
Surabaya oleh Pemuda Rakyat yang didukung Gerwani membuat suhunya semakin panas.
Puncak konfliknya dalam laporan yang ditulis Abdul Munim ketika 1965 dengan kudeta
berdarah yang dilakukan PKI. Kekerasan pecah diberbagai daerah, NU dalam hal ini melalui
Banser dan Ansornya memberi respon guna membendung kekerasan-kekerasan yang terjadi.

Umat Islam dan Orde Baru

Rezim berganti dengan gaya kepemimpinan militeristik yang dipimpin oleh Soeharto.
Langkah yang diambil oleh rezim ini seperti lazimnya yaitu dengan pembungkaman suara
rakyat. Dimulai dengan penyatuan partai-partai yang ada sepeninggalan Orde Lama menjadi
dua partai, yaitu partai berhaluan Islam ditabungkan menjadi satu partai PPP (NU termasuk
dalam sini) dan partai yang berhaluan Nasionalis ditabungkan juga menjadi PDI pada tahun
1970an. Dalam perkembangannnya untuk semua itu pemerintah menghadiahi umat Islam atau
mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai bentuknya, misalnya dalam bentuk
akomodasi struktural; diberlakukannya Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Undang-
undang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya
peraturan tentang seragam sekolah dalam hal ini penggunaan tentang jilbab tahun 1991,
keputusan bersama ditingkat menteri tentang amil zakat, infak dan shadakah juga tahun 1991,
dan lain-lain.
Dengan permberlakuan fusi partai tersebut, NU yang merupakan pemilik basis massa
sangat besar merasa disakiti untuk yang kedua kalinya. Disimpulkan dari tulisan KH.
Syaifuddin Zuhri dengan judul NU Sekedar Mempertahankan Asas Musyawarah bahwa wadah
PPP tersebut sebagai de javu dari yang sudah pernah terjadi di Masyumi, NU dipaksa hanya
untuk pompa suara dengan massa besarnya. “Dalam kesempatan bermusyawarah berkali-kali
antara NU-MI-SI-Perti, meja musyawarah itu tidak digunakan sebagai forum mengadu hujjah
menggelar argumentasi. Forum itu Cuma gebrak-gebrakan untuk menuntut NU mengurangi
jatahnya dari 56 menjadi 49 agar NU tidak menjadi kekuatan mayoritas”. Tulis KH. Syaifuddin
Zuhri. Akhirnya juga NU menarik diri untuk yang kedua kalinya, melalui Munas ke 27 di
Situbondo menetapkan kembalinya NU ke Khittah 26, dimana kembali mengurus garapan
sesuai dengan tujuan pendirian awalnya dulu, yaitu pendidikan, keagamaan, dan sosial
masyarakat.

Masyarakat di masa ini menurut Syamsuddin dan Fatkhan, bahwa tidak memandang
politik sebagai satu-satunya wadah dalam berkhidmat pada Islam, spectrum yang lebih
dominan adalah kebudayaan. Sementara menurut Kuntowijaya gerakan umat Islam
digolongkan menjadi tiga model, yaitu gerakan intelektual, gerakan etik, dan gerakan estetik.
Akibatnya di masa ini gerakan kepemimpinan Islam mulai mengendur dan lemah. Polemik
yang lebih terang muncul ketika pemerintah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan sosial dan politik. “Asas Tunggal Pancasila” sebagai satu-satunya asas dalam
berbangsa dan bernegara ditetapkan melalui Undang- undang No. 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan Atas UU No.3 Tahun 1975 . Penerapan “Asas Tunggal” tersebut agaknya tidak saja
berlaku bagi partai- partai politik, melainkan juga berlaku bagi semua organisasi apapun sesuai
dengan nafas ketetapan Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tantang Organisasi
Kemasyarakatan.

Saat mendekati akhir masa jabatannya, Soeharto terlihat berubah pola hidupnya dan
lebih menerima budaya Islam. Disamping itu juga munculnya beragama tokoh-tokoh
intelektual islam muda di berbagai kampus yang ada (akan dijelaskan di bawah). Menyikapi
hal itu, Soeharto menyetujui usulan yang dibawa oleh B.J Habibie terkait dibentuknya satu
wadah intelektual muslim yang kemudian diberi nama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI). ICMI membawa ide-ide Revivalisme Islam dengan mengadopsi para cendikiawan-
cendikiawan muslim ditempatkan dalam satu wadah untuk mendongkrak perkembang
pengetahuan muslim di Indonesia. Namun setelah terbentuknya ICMI ini ternyata mendapat
banyak sentilan dari cendikiawan muslim yang kurang sepakat dengan hadirnya ICMI, yang
paling keras dari KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dalam tulisannya Intelektual di Tengah
Eksklusivisme, Gus Dur mengkritik habis orang-orang yang berada di dalamnya sekaligus
wadahnya, ICMI. Beliau berpendapat bahwa adanya ICMI ini membuka peluang sangat lebar
untuk konflik horizontal yang baru karena dengan gayanya yang ekslusif sebagai “ikatan
cendikiawan muslim” berpeluang mendiskriminasi pemeluk agama lainnya. Gus Dur juga
berpendapat bahwa eksistensi intelektual tidak membawa bendera, apalagi formalisme agama,
yang ada hanya pengotak-kotakan intelektual di Indonesia.

Umat Islam, Reformasi, dan Islam Transnasional

Dekade belakangan benturan-benturan antar-umat nyaris memenuhi laman, dan


mirisnya hal itu terjadi karena masalah spele yang acapkali dijadikan bumbu perpecahan,
misalnya penggunaan kata Islam Nusantara, perdebatan music haram atau tidak, masalah
jenggot dan cadar, atau hal-hal lainnya yang membuat kita lupa esensi dari beragama.

Islam di Indonesia dalam keberjalanannya penuh dengan pengalaman yang sangat


komplek. Hal tersebut bisa kita lihat dalam catatannya Imdadun Rahmat dalam bukunya Islam
Paripurna. Ia menyebutkan bahwa Islam di Indonesia penuh dengan corak interaksi yang lahir
dari pergulatan, dialog, rekonsiliasi, maupun adaptasi. Jauh sebelum masuknya Islam, negeri
ini sudah di dominasi oleh agama dan kepercayaan yang telah mengakar sebelumnya, seperti
Hindu, Buddha, Kepercayaan Kapitayan, dan sebagainya. Karena pengalamannya tersebut,
disamping tetap berpedoman teguh pada Al-Quran, Sunah Nabi, Ijma, dan Qiyas, Islam
menjadi mampu beradaptasi yang melahirkan Islam Nusantara, Islam yang mampu
mengakulturasikan budaya setempat, Islam toleran terhadap perbedaan, dan Islam yang tetap
membuka kemungkinan modernisasi. Umatnya sendiri menurut Imdadun sangat dikenal
sebagai umat yang akrab dengan amalan spiritual dengan bingkai tasawuf dan tarekat, juga
sangat menghormati orang alim, habaib, dan para pemimpinnya. Religiusitas mereka
berkembang juga dengan memadukan ritus-ritus keagamaan dengan kesenian baik tradisional
maupun Timur Tengah. Oleh karena itu, Islam yang berakar dengan Nusantara ini melahirkan
organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti),
Al-Washliyah, dan sebagainya.

Masih dalam rumpun yang sama, yaitu itu Islam di Nusantara, tumbuh juga kelompok
pembaharu yang maksud mereka ingin purifikasi ajaran Islam. Kelompok mendapatkan hal
semacam itu dari pengaruh pemikiran tokoh-tokoh Timur Tengah, seperti Muhammad Abduh,
Rashid Ridho, Muhammad Iqbal, Seyyed Hosen Nasr, dan sebagainya. Namun dalam
keberjalannya sendiri, menurut Imdadun juga kelompok ini tidak sepenuhnya meraih apa yang
dicita-citakan dan dengan sendirinya juga beradaptasi mengikuti pola tradisi yang ada hingga
melahirkan organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, Al-irsyad, dan sebagainya. Dari kedua
kelompok baik tradisional maupun pembaharu saling bahu-membahu membangun bangsa ini
bersama sampai dewasa ini.

Masih pada waktu dewasa ini, ternyata efek globalisasi juga mempengaruhi gerakan-
gerakan Islam yang ada. Kemudahan akses informasi yang dihasilkan globalisasi mampu
membawa corak gerakan Islam yang di negara asalnya kurang laku untuk merangsek ke
Indonesia. Gerakan tersebut dikenal sebagai Islam Transnasional atau gerakan yang merujuk
pada gerakan keagamaan tunggal, dan lintas negara, serta berbasis pada satu tradisi yaitu Timur
Tengah. Gerakan ini dalam proses geraknya di Indonesia secara umum memanfaatkan “lahan
kosong” untuk dijadikan sasaran dakwahnya. Jika kita membandingkan dengan gerakan-
gerakan yang dilakukan model Islam tradisional dan Islam Pembaharu adalah pada tataran
masyarakat akar rumput, gerakan transnasional ini memulai dengan gaya ekslusivismenya di
kalangan mahasiswa kampus-kampus umum.

Implikasi yang dihasilkan oleh gerakan Transnasional menurut Imdadun dapat


dibedakan menjadi dua. Pertama, Implikasi kultural. Jika gerakan ini semakin mendominasi,
maka orientasi keagamaan umat Indonesia yang hari ini dikenal sebagai Islam yang ramah,
toleran, dan plural akan berubah menjadi sebaliknya. Hal tersebut bukan tanpa alasan, kita bisa
melihat bagaimana dibeberapa waktu belakang tuduhan sesat, kafir, bidah, dan sebagainya
teramat gencar menyasar pada tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, dkk. Catatan
oleh KH. Masdar Masudi mengatakan bahwa ada pihak-pihak yang disinyalir sengaja
memprovokasi dan mengadu domba para tokoh NU dengan menciptakan konflik horizontal.
Kedua, Implikasi politik. Karena sejatinya gerakan ini sifatnya berpusat dibawah satu negara
tempatnya lahir, hal ini berakibat pada ketidakpahamannya terhadap dinamika yang terjadi di
Indonesia. Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Albana dan Sayyid Quthb di Mesir
kemudian di Indonesia bertansformasi menjadi partai politik, Hizbut Tahrir yang didirikan oleh
Taqiyyuddin An-Nabhani di Palestina yang kemudian cabangnya di Indonesia dibubarkan oleh
pemerintah melalui UU No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat, Salafi (Wahabi)
yang terpengaruh oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan sebagian dari
banyak gerakan-gerakan Islam Transnasional di Indonesia.
Memang gencarnya Islam Transnasional ini menurut Irfan Noor, adalah pasca orde
baru. Berubahnya sistem pemerintahan otoriter ke demokrasi politik itu menandakan juga
kebebasan berekspresi yang termasuk didalam agama yang memunculkan politik identitas.
Setidaknya, lanjut Irfan Noor, ada tiga fase yang membuat Islam Transnasional tumbuh subur
dalam tubuh Indonesia ini. Fase pertama, melalui politik identitas ini konflik antar umat
mencapai puncaknya yang bisa kita lihat di konflik Poso (yang berbasis keagamaan). Dari
konflik ini menimbulkan banyak keresahan dan ketakutan umat yang pada akhirnya dalam
tubuh Islam dijadikan pembenaran atas berdirinya kelompok-kelompok ekstremisme seperti
Front Pembelas Islam (FPI), Majelis Mujahiddin, Laskar Jihad, Hizbut Tahrir, dan sebagainya.
Fase kedua, maraknya Perda Syariah yang merupakan hasil dari perjuangan di tahun 1998 -
1999 dalam Sidang MPR guna pengembalian sembilan kata pada Piagam Jakarta yang dahulu
dihapus, di sisi lain multi partai dalam demokrasi di Indonesia kembali hidup, dengan 48 parta
yang ikut dalam pemilu 1999 , banyak diantaranya pengakar politik identitas. Fase Ketiga,
penyerangan terhadap aliran-aliran yang dianggap sesat dari kelompok Islam Transnasional
dengan tanpa kompromi dan tidak sedikit menggunakan kekerasan. Basis masa yang direkrut
oleh kelompok Islam Transnasional ini menurut Irfan Noor, biasanya para pengangguran,
pemuda fanatik, dan preman. Dengan memposisikan diri sebagai pemberi tekanan terhadap hal
yang tidak aspiratif terhadap islam secara ekslusif, kelompok Islam Transnasional hadir dalam
“wajah muram”nya yang pada titik selanjutnya bertujuan mendirikan negara Islam. Selain itu,
pintu masuk Islam Transnasional tidak bisa dilepaskan dari peran Masyumi yang para mantan
pemimpinnya melalakukan pertemuan di Masjid Al-Munawarrah (Tanah Abang, Jakarta)
tahun 1967 yang menghasilkan keputusan untuk mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII). DDII ini melalui Natsir mendapat kesempatan donor-donor dari Timur Tengah, dengan
dana tersebut DDII mampu membiayai jalannya dakwah di masjid-masjid dan universitas-
universitas umum di Indonesia juga mampu mengirim kader-kader mudanya ke Timur Tengah.
Lebih jauh lagi DDII ini yang juga mempelopori berdirinya Lembaga Ilmu Islam dan Arab
(LIPIA) yang merupakan perpanjangan dari Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud di
Riyadh.

Tak kalah pentingnya, DDII juga melakukan usaha-usaha awal untuk merekrut kader-
kader muda dengan tujuan untuk menciptakan para intelektual ―organik‖ bagi gerakan-
gerakan dakwah masjid kampus. Rekrutmen kader-kader muda dengan tujuan pelatihan keder
dakwah kampus ini bermarkas besar di asrama Panitian Haji Indonesia (PHI) Kwitang Jakarta.
Rekrutmen kader-kader muda ini menjadi fenomena 1970-an dan 1980-an di Indonesia.
Pendirian kampus-kampus prestisius seperti UGM, ITB, UI. DDII menyusun program
pelatihan yang diperuntukkan bagi instruktur universitas yang merupakan alumnus berbagai
organisasi pelajar Islam. Pada 1974, DDII mengawali usaha yang lebih sistematik berbasis
kampus yang disebut Bina Masjid Kampus. Kegiatan Latihan Mujahid Dakwah di Masjid
Salman ITB merupakan realisasi dari usaha DDII untuk menjadikan kampus sebagai sasaran
dakwah. Inspirasi bagi penekanan terhadap tauhid dan ghazwul fikr ini diambil dari doktrin
gerakan Islam yang terkenal di Mesir, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM). Program LMD ini
berhasil membangkitkan gerakan dakwah masjid kampus yang ditandai dengan lahirnya LDK
di beberapa universitas umum di Indonesia.

Adapun corak yang dibawa dalam Islam Transnasional adalah, Pertama pemahaman
agama yang cenderung tekstualis (memaknai berbagai hal sesuai yang tersurat), puritan (mudah
menuduh sesat, bidah, syirik, dan sebagainya), dan radikal (menghendaki perubahan mendasar
dan tanpa kompromi). Secara umum, menurut Imdadun Rahmat kelompok ini menganut paham
“Salafisme radikal” yang menganggap bahwa merekalah umat yang paling murni dan bersih
dari campuran budaya lainnya. dalam beragama, padahal sejatinya pembacaan tersebut didapat
secara tekstualis. Selain itu, kelompok ini menjunjung tinggi formalisme, atau antara teks dan
realitas dipaksa untuk menyatu hingga mereka gagal memahami substansi Islam. Kedua,
pemahaman agama yang tunggal dan ekslusif. Mereka acapkali menggunakan logika binner
(benar-salah), dan pendekatan soliter yang mengakibatkan diri merekalah yang paling benar.
Klaim atas Tuhan dan Nabi secara sepihak ini, tak lain dan tak bukan adalah untuk mencapai
tujuan berdirinya Islam Transnasional, yaitu negara Islam dan atau penerapan syariat secara
menyeluruh. Ketiga, politisasi agama. Mereka cenderung menggunakan jargon “janji surge”,
simbol agama, serta meneriakan kalimat ketuhanan hanya untuk menarik simpati dan
dukungan. Keempat, yang terakhir adalah otoritas politik tunggal yang otoritarian atas nama
Tuhan. Dengan atas nama khilafah, mereka bermaksud untuk menyatukan semua manusia
dalam satu pimpinan. Cita-cita tersebut mirip dengan yang dicita-citakan golongan Anarkisme
atau Sosialisme dengan Internasionalismenya, yang membedakan Islam Transnasional ini
menyeret-nyeret nama Tuhan. Dalam catatan Ahmet T. Kuru, mengatakan bahwa salah satu
penyebab terpuruknya, ketertinggalannya, serta kemiskinannya negera dengan penduduk
mayoritas muslim adalah pemimpin otoriter yang mengatasnamakan segala tindakannya sesuai
kehendak Tuhan. Dengan otoritarianismenya tersebut, sangat terbuka lebar penyalahgunaan
kuasa yang berakibat pada kesengsaraan bersama.
Akhirnya, dengan mengutip ceramah yang sering disampaikan oleh KH. Said Aqil
Siradj, beliau kurang lebih mengatakan bahwa, Indonesia merupakan sebuah negara yang luar
biasa unik dan hebat, buktinya dengan ribuan suku yang ada, dijadikan, disatukan, didamaikan
dalam satu bentuk negara yang kita sebut NKRI. Berbeda misalnya dengan arab yang satu suku
namun terpecah menjadi puluhan negara. Begitu juga dengan Islam-nya Islam Nusantara yang
Rahmatan Lil Alamin, yang damai, santun, menerima perbedaan, serta membuka pintu-pintu
dialognya.

Referensi:

Rahmat, Imdadun. (2017). Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan
Islam Transnasional. Jakarta. Yayasan Omah Aksoro Indonesia.

Wahid, Abdurrahman., dkk. (1993). Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung.


Remaja Rosdakarya.

Zuhri, Syaifuddin., dkk. (1984). PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam. Jakarta.
Integrita Press.

Ridwan, Nur Khalik. (2020). Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah,
Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya. Yogyakarta. IRCiSoD.

Maarif, Ahmad Syafii. (1996). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). Jakarta. Gema Insani Press.

DZ, Abdul Munim. (2013). Benturan NU-PKI 1948-1965. Depok. Langgar Swadaya
Nusantara.

Latif, Yudi. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi
Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Yudi. (2013). Genealogi Inteligensia: Pengetahuan dan Kekuasaan Inteligensia Muslim
Indonesia Abad XX. Jakarta. Kencana.

Kuru, Ahmet T. (2020). Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas


Zaman dan Kawasan Dunia Muslim. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.
Wahid, Abdurrahman. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta. The Wahid Institute.

Pranowo, Yogie. (2016). Genealogi Moral Menurut Foucault dan Nietzsche: Beberapa
Catatan. 32.(3).2016. (52-69). Diakses pada 6 Agustus 2021 dari: https://journal.unpar.ac.id

Jainuddin. (2019). Islam dan Politik Orde Lama; “Dinamika Politik Islam Pasca Kolonial
Sejak Kemerdekaan sampai Akhir Kekuasaan Soekarno”. 3.(2).2019. (225-243). Diakses pada
6 Agustus 2021 dari: https://media.neliti.com

Syaoki, Muhammad. (2017). Gerakan Islam Transnasional dan Perubahan Peta Dakwah di
Indonesia. 9.(2).2017. (167-182). Diakses pada 6 Agustus 2021 dari:
https://journal.uinmataram.ac.id

Asroor, Zaimul. (2019), Islam Transnasional vs Islam Moderat: Upaya NU dan MD dalam
Menyuarakan Islam Moderat di Panggung Dunia, 6.(2).2019. (171-213). Diakses pada 6
Agustus 2021 dari: https://www.researchgate.net

Noor, Irfan. (2012), Laporan Penelitian: Pola Jejaring dan Penetrasi Islam Transnasional di
Kalimantan Selatan. Program Pascasarjana. Diakses pada 8 Agustus 2021 dari:
https://www.core.ac.uk

Syamsuddin, Muh & Muh. Fatkhan. (2010). Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru.
11.(2).2010. (139-156). Diakses pada 8 Agustus 2021 dari: https://media.neliti.com

Anda mungkin juga menyukai