Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia, hal ini

tidak lepas dari Peran Pondok Pesantren sebagai garda terdepan penyebaran Islam di

Indonesia. Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi

kemajuan pendidikan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak

tahun 1596. Pesantren menjadi garda terdepan penyebaran Islam di tanah air. Hal ini sangat

dimungkinkan karena para santri yang telah berguru kepada para kiai di pesantren kemudian

menyebarkan Islam ke daerah asal mereka masing-masing.

Selain sebagai lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren juga memiliki peran

yang sangat besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Para Kiai dan Santri turun ambil

bagian dalam perjuangan fisik dan politik melawan penjajah guna mewujudkan kemerdekaan

Indonesia sebagai negara berdaulat. Menurut Wahjoetomo dalam masyarakat pesantren

mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri).

Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial.

Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan

kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan. Kedua, bersikap

nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah

kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam

dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai
pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang,

dasi, sepatu dan sebagainya.

Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam

perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama

berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama

Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa

pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum

Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang  dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku

Imam Bonjol;  pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830);

Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan

diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849,

1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh

( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang

membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.1 Selain itu kaum santri juga melahirkan seorang

pemimpin militer yang ditakuti oleh pihak penjajah dalam perang kemerdekaan lewat diri

Jendral Besar Soedirman. Jendral besar Soedirman pada awalnya adalah seorang guru di

sekolah Muhammadiyah di Banyumas yang kemudian bergabung dengan tentara rakyat guna

melawan penjajah.

Perjuangan santri dalah kemerdekaan Indonsesia dari jalur politik juga dapat terlihat

dari terpilihnya wakil-wakil Islam dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Terdapat 15 tokoh Islam dari 68 anggota BPUPKI.

Kelimabelas tokoh ini merupakan perwakilan dari organisasi Islam pada masa itu, di

antranya: Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Mansyur, Abdul Kahar Mudzakkir

(Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo, Soekiman Wirjosandjojo (PII), KH. Wahid


1
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press,
1997) mengutip Agus Muhammad, Pesantren, Kemerdekaan, Keindonesian
(http://www.nu.or.id/post/read/62948/pesantren-kemerdekaan-dan-keindonesiaan).
Hasjim, KH. Masjkur (NU), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), K.H.A. Sanusi (PUII), Agus

Salim, K.H. Abdul Halim (PUI), K.H.A. Sanusi (PUII). Para tokoh ini berperan penting

dalam menyalurkan aspirasi umat Islam dan penyusunan dasar-dasar negara. Fakta sejarah ini

menunjukan peran umat Islam dan pondok pesantren sangat besar dalam melahirkan

kemerdekaan Indonesia.

Sikap nasionalisme masyarakat santri dapat terlihat jelas dalam perjuangan

kemerdekaan Indonesia lewat perjuangan fisik dan politik. Rasa nasionalaisme Umat Islam

yang tingi dapat terlihat dari kompromi yang dilakukan oleh para tokoh Isl4am dalam

BPUPKI yang dengan ikhlas menerima penghapusan kalimat “kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam jakarta. Kalimat ini dinilai menunjukan

dominasi Islam, serta ditentang juga oleh anggota BPUPKI yang non-muslim. Hal ini

menunjukan bahwa negara Indonesia yang akan dibentuk, adalah negara yang berdasarkan

nasionalisme bangsa, bukan berdasarkan nasionalisme agama (Islam). Sikap kompromi para

tokoh Islam dalam BPUPKI dengan mendahulakan kepentingan bangsa dan aspirasi para

anggota non-muslim menunjukan wajah Islam yang moderat. Secara garis besar hubungan

antara islam dengan negara berjalan saling melengkapi di Indonesia. dalam waktu tertentu

Isalm memiliki hubungan kurang baik dengan negara, khususnya pada zaman orde baru,

Umata Islam seakan danaktirikan pada awalnya. Namun pada akhirnya, Presiden Soeharto

dapat mengakomodasi kepentingan Umat Islam di akhir masa pemeritahannya.

Seiring berjalannya waktu, peran umat Islam dan khususnya masyarakat santri tetap

besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Pondok pesantren terus melah4irkan para

tokoh besar di tingkat nasional ataupun daerah. Hal ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah

pesantren di Indonesia. Menurut data Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun

2011-2012 terdapat 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.2 data ini
2
Kementrian Agama Republik Indonesia, Analisis dan Interpretasi Data padaPondok Pesantren,
Madrasah Diniyah(Madin), Taman Pendidikan Qur’an(TPQ)Tahun Pelajaran 2011-2012 (Jakarta:Depag,
2012, pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf), hlm.70.
jelas mengukuhkan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang terus eksis di

dalam sejarah nusantara. Peran pondok pesantren bukan hanya melahirkan para santri yang

memliki pengetahuan agama yang mendalam namun juga menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia lewat sistem pendidikan yang diterapkan.

Tapi dengan sejarah yang dimiliki Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan

yang juga ikut berjuang daalam kemerdekaan Indonesia mulai dipetanyakan. Rasa

nasionalisme para santri mulai dipertanyakan. Hal ini dikarenakan karena beberapa orang

yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren terlibat dalam berbagai aksi bom

bunuh diri berkedok radikalisisasi agama di Indonesia. Dimulai dari tragedi Bom Bali pada

tahun 2002 dan aksi teror lainnya atas nama agama membuat Islam sebagai agama mayoritas

di Indonesia menjadi terpojok. Para tersangka Bom Bali yang pernah mengeyam pendidikan

di pondok pesantren membuat pondok pesantren menerima sorotan tajam. Aksi radikalisme

yang dilakukan sebagian oknum (santri) yang pernah mengecap pendidikan pondok pesantren

ini dilandasi oleh pemikiran mereka pribadi, khususnya tentang pemeahaman agama yang

fundementalis yang berujung kepada aksi radikalisme atas nama agama.

Kemudian, munculnya gerakan fundametalis Islam yang tak memiliki akar sejarah

yang kuat di Indonesia sejak era reformasi membuat wajah Islam yang moderat dan ramah

tercoreng. Gerakan fundamentalis Islam dapat eksis di Indonesia pada saat ini karena

memiliki momentum pada era reformasi. Pada era reformasi, keran demokrasi dibuka

selebar-lebarnya membuat gerakan fundamentalis Islam tumbuh subur di Indonesia. Gerakan

fundamentalis Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok yang

terdapat dalam agama Islam yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan

reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin, varian

fundamentalisme Islam dapat dikategorikan menjadi dua yaitu fundamentalisme Islam murni
atau fundamentalisme Islam tradisional dan neo-fundamentalisme Islam atau

fundamentalisme Islam modern.3

Gerakan fundamentalis Islam modern yang ada di Indonesia hari ini sesuai dengan

yang digambarkan Olivier Roy semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela

Islam(FPI). HTI maupun FPI sama-sama mengunakan pendekatan konservatif dalam

melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis dan menekankan pada pemurnian doktrin.

Hal ini dapat dilihat dari setiap wacana yang mereka angkat, seperti menafikkan

nasionalisme. HTI menganggap nasionalisme tidak memiliki dalil di dalam Al-Qur’an

maupun Hadist. Kemudian menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara

sebagai produk kafir. Penolakan HTI dan FPI terhadap UUD 1945 dan Pancasila dikarenakan

kedua organisasi ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan Khilafah Islam di Indonesia. selain

itu juga terdapat varian gerakan fundementalis Islam modern di Indonesia seperti Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengadopsi bentuk Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perbedaan

mendasar antara PKS dan HTI atau FPI adalah strategi yang dipakai, jika HTI

mengempanyekan Ide Khilafah Islam, PKS terjun langsung ke dalam dunia politik dengan

menjaring suara rakyat untuk mengubah konstitusi. Namun secara garis besar mereka

memiliki cara yang sama untuk mendapatkan massa pendukung, yakni melalui infelterasi

langsung terhadap lembaga Islam. Kader-kader gerakan fundementalis Islam menanamkan

ide fundemntalis silam melalui lembaga pendidikan Islam, salah satunya lewat pondok

pesantren.

Pondok pesantren dianggap sebagai tempat strategis untuk menyebarkan paham

fundementalis agama, hal ini diakui oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Menurut Abdul Rahman Kadir, “paham radikal(fundamentalis) agama bisa saja datang dari

pondok pesantren”.4 Dugaan paham fundementalis agama menghinggapi Pondok Pesantren di

bawah naungan Muhammadiyah juga menyeruak. Dua Opini Farid Setiawan dalam Suara
3
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, (London: IB Tauris, 1994), hlm. 30.
Muhammadiyah, yang berjudul Ahmad Dahlan Menangis dan Tiga Upaya Muallimin-

Muallimat5, adalah upaya untuk membendung pengaruh paham fundementalis Islam yang di

Muhammadiyah. Farid Setiawan menyoroti terjadi penyebaran paham fundamentalis Islam di

Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah sendiri memiliki fungsi penting untuk mencetak kader Muhammadiyah.

lewat Muktamar Muhammadiyah di Medan, Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta dikukuhkan sebagai sekolah kader Muhammadiyah serta di bawahi langsung oleh

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bahkan Farid Setiawan menyarankan untuk membubarkan

Sekolah Kader Muhammadiyah kerana dianggap terkontaminasi oleh paham

fundamentalisme yang dibawa oleh para guru (Ustadz/Musyrif/Musyrifa). Penetrasi kaum

fundementalis Islam di dalam Muhammadiyah sangat luar biasa, dengan menjadikan kader-

kader Muda Muhammadiyah menjadi kader-kader fundementalis yang tidak ada sangkut

pautnya dengan Muhammadiyah dan juga Indonesia.

Bersama NU, Muhammadiyah menjadi payung bagi umat Islam di Indonesia,

khususnya dalam bidang sosial-keagamaan. Hal ini sesuai dengan Matan dan Cita-cita Hidup

Muhammadiyah yang berkomitmen untuk kemajuan bangsa. Muhammadiyah mengajak

segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang

mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia

yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-

sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: Baldatun

Thayyibatub Wa Robbun Ghofur.6 Matan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dalam

hubungannya dengan Negara dibaca sebagai pengakuan final Muhammadiyah terhadap

4
http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/JKRj05xK-bnpt-tegaskan-ponpes-bukan-sarang-
radikal. lihat juga https://daerah.sindonews.com/read/1099314/191/bnpt-tegaskan-pondok-pesantren-bukan-
sarang-radikalisme-1460086991
5
Suara Muhammadiyah, 20 Februari 2006 dan 3 April 2006.
6
Matan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
bentuk bangsa Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan

Muhammadiyah mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adil dan makmur.

Dinamika di Muhammadiyah inilah yang melatarbelakangi untuk meneliti tentang

pandangan nasionalisme para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta. Serta tanggapan para santri terhadap konsep penerapan Khilaf Islam yang

diusung gerakan fundamentalis Islam di Indonesia. Pandangan nasionalisme para santri jelas

merupakan hal yang penting untuk mengetahui pandangan para santri tentang wacana

penerapan Khilafah Islam yang diusung oleh gerakan fundementalis Islam. Hal ini menurut

peneliti sangat penting karena tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki peranan besar dalam

perjuangan kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah dan NU memiliki peranan penting

sebagai wajah Islam moderat di Indonesia. Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta sendiri memiliki posisi penting di tubuh Muhammadiyah. Para santri adalah

kader-kader Muda Muhammadiyah yang akan disiapkan untuk memimpin Muhammadiyah di

masa depan. Masa depan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat jelas dipertaruhkan,

apakah tetap moderat nasionalis ataukan telah berubah menjadi wajah gerakan fundamentalis

Islam?

B. Rumusan masalah

Para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta disiapkan untuk

menjadi kader Muhammadiyah yang militan agar dapat berguna bagi nusa, bangsa dan

agama. Para santri digembleng baik mental dan mental 24 jam dengan kurikulum yang

didesain secara khusus oleh pihak Pondok, pembelajaran yang diterima baik pelajaran sekuler

dan juga pelajaran agama islam oleh para santri. Studi ini berfokus terhadap Bagaimana

pandangan nasionalisme para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta? Kemudian dari pandangan nasionalisme yang dipahami para santri akan

dimintai pandangannya terkait dengan isu penerapan khilafah Islam di Indonesia?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Para Santri

Pesantren Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta mengenai nasionalisme dan

pandangan mereka terhadap organisasi masyarakat (Ormas) yang mengusung konsep

Khilafah/Syariat Islam di Indonesia. Kemudian menganalisis Selain itu penelitian ini

merupakan syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar master sosiologi pada jurusan

sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Univeristas Gadjah Mada.

D. Urgensi Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan refensi tentang

pandangan nasionalisme di kalangan santri Muhammadiyah, para santri di Pondok

Pesantren Muallimin Muhammadiyah merupakan para kader muda Muhammadiyah

yang dipersiapkan sebagai wajah Muhammadiyah di masa depan yang akan

berkecimpung tak hanya di dalam Muhammadiyah saja namun juga di kancah politik,

sosial, agama, ekonomi di tingkat nasional.

2. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi pimpinan Pondok

Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta utnuk mengetahui pandangan

nasionalisme para santri dan serta, mengetahui pandangan mereka terhadap Ormas

yang mengusung wacana Khilafah/Syariat Islam.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk Muhammadiyah

khususnya dalam strategi perkaderan di tubuh Muhammadiyah.

4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian tradisi pesantren pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada


E. Tinjauan Pustaka

Kajian ilmiah dengan objek Pesantren telah banyak dilakukan oleh para penelitian

baik dari Indonesia ataupun luar negeri. Pertama karya Zamakhsyari Dhofier berjudul Tradisi

Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia. 7

Karya ini merupakan hasil dari disertasi doktor beliau di Australia National University. Karya

ini membahas tradisi pesantren dengan pusat kajian utama terletak pada peran kiai dalam

upaya memilhara dan mengembangkan paham ahlussunnah wal-Jam’ah di Indonesia. karya

ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan mengamati perubahan yang terjadi di

lingkungan pesantren dan Islam yang dianut oleh para kiai di Indonesia pada masa

modern(1977-1978). Karya berasal dari penelitian yang dilakukan oleh beliau pada pesantren

di Jawa, yakni Pesantren Tegalsari di Kabupaten Semarang dan Pesantren Tebuireng di Kota

Jombang Jawa Timur.

Kedua, karya Clifford Geertz berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat

Jawa.8 Karya Geertz ini merupakan karya yang banyak dirujuk oleh para ilmuwan sosial

tentang konstruksi sosial pada masyarakat Jawa. Penelitian ini dilakukan di Mojokerto, Jawa

Timur. Fokus kajian terletak pada kebudayaan jawa telah terintegrasi dengan agama Islam

sebagai agama mayoritas yang dianut , melahirkan konstruksi sosial. Kontruksi sosial yang

dilahirkan dari sistem ini pada masyarakat adalah Abangan (yang berpusat di pedesaan),

Santri (yang intinya berpusat di tempat perdangangan atau pasar), sertta Priyayi (yang intinya

berpusat di kantor pemerintahan, di kota). Ketiga lingkungan yang berbeda dan dibarengi

dengan latar belakang sejarah Jawa melahirkan simbol-simbol sosial dalam kehidupan

mereka. Pengunaan santri sebagai salah satu kelompok yang dilahirkan dari konstruksi sosial

7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011).
8
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa , (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1981).
yang pada masyarakat jawa di Kota Mojokerto menunjukkan bahwa tradisi pesantren telah

mengakar kuat dalam kebudayaan mereka.

Ketiga, karya dari Ali Maschan Moesa berjudul Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial

Berbasis Agama.9 Karya ini berfokus terhadap peran kiai dalam memberikan pemahaman

nasionalisme terhadap para santri yang mereka didik. Para kiai (orang yang diikuti para

santri) mengonstruksi paham kebangsaannya dari ajaran Islam. Mereka (para kiai) meyakini

bahwa sampai saat ini agama (Islam) menjadi faktor pokok yang mengintegrasikan bangsa

dan sekaligus menjadi supra identity, yaitu sebagai basis ikatan solidaritas sosial yang kuat.

Dalam lingkungan pesantren para kiai memaknai kembali nasionalisme dari perjuangan untuk

merebut kemerdekan menjadi semangat untuk mengisi kemerdekaan dengan bekerya

langsung untuk masyarakat.

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah para santri Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah Yogyakarta, oleh sebab itu kajian pustaka yang berkaitan tentang

Muhammadiyah khususnya tentang lembaga pendidikan Muahmmadiyah kami anggap

penting. Kajian mengenai Muhammadiyah baik sebagai gerakan ataupun yang menggunakan

warga/angggota Muhammadiyah sebagai objek penelitian telah banyak dilakukan oleh

berbagai disiplin keilmuan sosial-keagamaan. Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Abdul

Munir Mulkhan dengan judul Islam Murni dalam Masyarakat Petani.10 Dalam laporannya,

Munir menemukan adanya varian keberagamaan warga Muhammadiyah di sebuah desa di

Kecamatan Wuluhan, Jember Jawa Timur. Varian tersebut yaitu: 1). Kelompok al-Ikhlash,

yakni kelompok yang dikenal fundamentalis dan mengklaim dirinya sebagai kaum Islam

Murni serta cenderung tidak berkompromi dengan warga lain yang tidak sependapat dengan

pemikirannya. 2) Kelompok Dahlan, yakni merupakan kelompok mainstream di


9
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial berbasi Agama (Yogyakarta, LKIS,
2007).
10
Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan bentang
Budaya, 2000).
Muhammadiyah, mereka cenderung taat semua aturan dan keputusan di Muhammadiyah

serta cenderung akomodatif terhadap pemikiran lain yang tidak sejalan dengan mereka. 3)

Kelompok Munu, yakni kelompok campuran antara faham Muhammadiyah dan Nahdhatul

Ulama (baca: Munu=Muhammadiyah-NU). Kelompok ini sangat toleran terhadap berbagai

perbedaan bahkan mereka cenderung mencampur-adukkan antara amalan ibadah faham

Muhammadiyah dan faham Nahdatul Ulama. 4) Kelompok Marmud, yakni kelompok

Marhaenisme dalam Muhammadiyah. Kelompok ini terdiri dari orang –orang yang memiliki

semangat nasionalis yang tinggi sekaligus memiliki kebanggaan yang tinggi terhadap

Muhammadiyah meskipun kedalaman pemahaman keagamaan mereka sebenarnya tidak

mendalam.

Kedua, penelitian yang berjudul, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan,

Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah11 yang ditulis oleh Biyanto. Buku ini merupakan

hasil dari disertasi Biyanto untuk mendepatkan gelar Doktor di IAIN Sunan Ampel. Isu

pluralisme agama merupakan salah satu tema yang menimbulkan diskurusus di kalangan

warga Muhammadiyah, tak terkecuali di kalangan muda Muhammadiyah. Diskurusus

pluralisme agama juga lahir dari pemahaman warga Muhammadiyah tentang pemurnian dan

pembaharuan Islam. Fokus penelitian yang dilakukan Biyanto adalah terbaginya(plural) kaum

muda Muhammadiyah dalam menyikapi isu Pluralisme Agama. Hasil penelitian memaparkan

terdapat dua kubu dalam kaum muda Muhammadiyah yakni, yang menentang dan yang

mendukung Pluralisme agama. kesimpulan akhir dari penelitian ini pihak yang mendukung

pluralisme memahami bahwa paham ini dengan sikap positif, optimis dan terbuka. Pluralisme

bagi mereka adalah paham yang mengajarkan agar setiap pemeluk agama mengakui

keberadaan agama yang lain yang berbeda, terlibat aktif dalam memahami perbedaan dan

memiliki komitmen untuk menemukan persamaan dan perbedaan. Sementara mereka yang
11
Biyanto, Pluralisme Kegamaan dalam Perdebatan, pandangan Kaum Muda Muhammadiyah,
(Malang: UMM Press, 2009).
menolak pluralisme memahami pluralisme dalam pengertian yang negatif, pesimis dan

terbatas pada pemahaman yang bersifat filosofis dan teologis.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Chusnul Azhar berjudul Manejemen

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kader di Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta.12 Kesimpulan dari Penelitian ini adalah perkaderan yang dijalankan Madrasah

Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta diorientasikan untuk melahirkan kelompok manusia

terbaik atau pilihan yang nantinya menjadi kekuatan inti atau tulang punggung dari

persyarikatan Muhammadiyah. Output dari proses kaderisasi adalah para kader yang punya

integritas, berdedikasi tinggi, cakap, handal, dan kalau perlu militan untuk mewujudkan misi

persyarikatan Muhammadiyah sekaligus menjaga kontinuitas roda organisasinya. Kader

sangat ditunggu kiprahnya karena mereka telah melalui pendidikan dan latihan tertentu.

Dengan demikian, seorang kader mempunyai tugas pokok untuk mengembangkan organisasi

dan sekaligus menghindarkan ideologi dari kemungkinan distorsi. Karena itu, di samping

kader harus aktif secara fisik, dia harus terus-menerus mempelajari rumusan ideologi tersebut

dalam kaitannya dengan tugas di organisasi beserta ilmu-ilmu pendukungnya.

F. Kerangka Teori

Nasionalisme

Secara etimologis, term nasionalisme, natie, dan national, kesemuanya berasal dari

bahasa latin, yakni natio, yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio

berasal dari kata nascie yang berarti kelahiran. Karena itu, jika dapat dihubungkan secara

objektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras, agama, peradaban,

wilayah, negara dan kewarganegaraan.13 Faktor utama yang dikandung dalam term

12
Chusnul Azhar, Manejemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kader di Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta, (Yogyakarta, Tesis, UIN Suka, 2014).
13
Hans Kohn, The Idea of Nationalism, (New York: Macmillan,1944), hlm, 14. Lihat juga Ali
Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial berbasi Agama (Yogyakarta, LKIS, 2007), hlm. 28-29.
nasionalisme adalah nation yakni bangsa. Menurut Ernest Renan Bangsa, adalah suatu

nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dari dua hal: Pertama rakyat itu dulunya harus bersama-

sama menjalani satu riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus punya kemauan, keinginan

hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya pula

batas negeri yang menjadikan bangsa itu. 14 Pada intinya nasionalisme mencakup segala

bentuk identitas yang dibawa oleh suatu bangsa yang digunakan untuk membuat sebuah

persatuan. Persatuan ini akan semakin kuat karena jika memiliki akar sejarah yang sama. Hal

ini tidaklah mengherangkan apabila sejarah tumbuhnya nasionalisme di kalangan rakyat

terkait perlawanan terhadap kolonialisme. Hal ini juga terjadi dalam sejarah Indonesia,

tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan respon terhadap praktek kolonialisme yang

dilakukan oleh Belanda dan Jepang.

Selain itu faktor yang mempengaruhi nasionalisme adalah kesamaan rasa yang

dialami oleh rakyat. Pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas

persamaan-persamaan darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan

agama, bahasa dan kebudayaan.15 Dalam kasus Indonesia, semua unsur pokok nasionalisme

melahirkan persatuan yang kuat dalam melawan penjajah. Persatuan atas nama bangsa

Indonesia telah dipakai sebelum Indonesia merdeka. Pada prakteknya, nasionalisme di

Indonesia adalah nasionalisme berdasarkan bangsa, bahsa dan budaya yang paling utama,

nasionalisme berdasarkan kesamaan agama, dan wilayah jelas mempengaruhi, namun

nasionalisme agama dan nasionalisme daerah rentan melahirkan sesama anak bangsa. Hal ini

juga disadri oleh para pendiri bangsa. Pada akhirnya nasionalisme yang dipilih adalah

nasionalsime berdasarkan kebangsaan. Hal ini juga yang mempprngaruhi bentuk Negara

Indonesia yang berdasarkan Negara kesatuan.

14
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, ( Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964).

15
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi,
1964), hlm. 76.
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nasionalisme dijelaskan

sebagai (1) paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan, (2)

kesadaran anggota dalam suatu bangsa yang secara potensial bersama-sama mencapai,

mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa

itu; semangat kebangsaan.16 Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan

mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris nation) dengan

mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai

tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme

juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal. 17 Dalam

Nation and Identity in Contemporary Europe Brians Jenkins dan Spyros Sofos menyebut

bahwa `nation' sebagai suatu konstruksi sosial, sementara `nasionalisme' adalah suatu proyek

politik.18 Nasionalisme sendiri pada akhirnya menjadi senjata bagi negara dan rakyat untuk

menjadi kuat dalam menghadapi perpecahan yang bisa dilakuakn oleh penjajah atau

perpecahan yang terjadi di dalam negara. Pada akhirnya nasionalisme menjadi kunci

keberlangsungan negara.

Menurut Anthony D. Smith nasionalisme sebagai sebuah ideologi, memiliki tujuan

untuk mencapai pemerintahan yang kolektif, penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga

kerap kali mempunyai program politik dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut.”Pemahaman tersebut berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu

dicapainya otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam

sebuah pemahaman mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial.19

16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008)Hlm 997.

17
https://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme
18
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj6pn1-akar-nasionalisme-
dalam-islam
19
Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003) hal.26
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai

persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama.

Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan

dan penindasan dari bumi Indonesia.20 Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang

sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme

inilah yang menghilangkan harga diri manusia (the human dignity).21

Pondok Pesantren dan Santri

Dalam sejarahnya Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berperan besar

terhadap penyebaran Islam di Indonesia. Suku kata Pesantren berasal dari kata santri, yang

diberikan awalan pe di depan dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah

santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Versi lain menyebutkan bahwa

kata santri berasal dari bahasa India yakni Shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku

suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-

buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari asal-usul kata santri banyak

ilmuwan beranggapan bahwa lembaga pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan

keagamaan bangsa Indonesia pada masa menganut agama Hindu-Budhha yang bernama

mandala yang diislamkan oleh para Kiai.22

Pondok Pesantren terdiri dari dua suku kata yakni “pondok” dan “pesantren”. Istilah

pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat

tinggal yang terbuat dari bambu, atau kata “pondok” berasal dari bahasa Arab “funduq” yang

artinya hotel atau asrama.23 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pesantren diartikan

20
Redaksi Great publisher, buku pintar politik: sejarah, pemerintahan, dan ketatanegaraan,
(Yogyakarta: Galang Perss, 2009), hlm.64.
21
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 7.
22
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES,2011),hlm. 41.
23
Ibid, hlm. 41.
sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. 24

Sedangkan kata pesantren merupakan yang berasal dari kata “santri”, menurut Nurcholish

Madjid berasal dari dua bahasa. Pertama, dari bahasa Sansekerta, kata santri berasal dari kata

“sastri” yang berarti melek huruf. Sementara dari bahasa Jawa, kata “santri” berasal dari kata

“cantrik”, yakni orang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru itu pergi atau

menetap.25 Kedua pengertian ini menekankan bahwa bahwa para santri ditempatkan pada

asrama sebagai tempat tinggal dan juga tempat belajar. Sedangakan pendapat yang diajukan

oleh Nurcholis Madjid menunjukan bahwa santri sebagai murid dalam pesantren memliki

tujuan untuk menuntu ilmu dengan aktifitas mengikuti sang guru/kiai. Pada intinya Pesantren

dengan Kiai/ustadz, santri, dan Pondok merupakan satu kesatuan yang meahirkan tradisi

pesantren.

Menurut Zamakhsari Dhofier pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam

tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau

lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai/ustadz.26 Pengertian ini sepenuhnya benar,

selain tinggal di asarama para santri juga harus memiliki guru sebagai pembimbing dan juga

sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam tahapan emenuntut ilmu., dalam tradisi pesantren

sang guru biasanya dipanggil dengan sebutan Kiai atau Ustadz. Panggilan ini merupakan

bentuk penghormatan terhadap orang guru sebagai orang yang dituakan dan sebagai orang

yang lebih itnggi ilmunya.

Secara umum Pondok Pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan yang

memiliki 5 elemen pokok; (1) Pondok/Asrama: adalah tempat tinggal bagi para santri.

Pondok inilah yang menjadi ciri khas dan tradisi pondok pesantren dan membedakannya

24
Alwi Hasan dkk, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,2005), hlm. 866
25
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997),

hlm. 19-20.
26
Op. Cit Zamakhsyari Dhofier, hlm. 79.
dengan sistem pendidikan lain yang berkembang di Indonesia, (2) Masjid: merupakan tempat

untuk mendidik para santri terutama dalam praktek seperti shalat, pengajian kitab klasik,

pengkaderan kyai, dll, (3) Pengajaran kitab-kitab klasik: merupakan tujuan utama pendidikan

di pondok pesantren, (4) Santri: merupakan sebutan untuk siswa/murid yang belajar di

pondok pesantren, dan (5) Kyai: merupakan pimpinan pondok pesantren. Kata kyai sendiri

adalah gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang menjadi

pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik.27

Dalam perkembanganya, pendidikan pesantren dikenal menjadi dua tipe sistem

pendidikan, yakni sistem pendidikan pesantren modern dan sistem pendidikan pesantren

tradisional. Pembagian ini berdasarkan metode pengajaran serta kurikulum yang digunakan

para kiai dalam mengajar para santri. Pertama, pondok pesantren tipe klasik/lama/tradisional.

Pondok pesantren tipe ini pada intinya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Tipe ini tidak

mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Kedua, tipe pondok pesantren baru/modern,

tipe pondok pesantren yang selain mengajarkan kitab-kitab klasik, juga mengajarkan

pengetahuan umum kepada para santri selain kitab-kitab Islam klasik. Pengetahuan umum

diajarkan melalui madrasah setingkat SMP ataupun SMA yang sengaja didirikan di

lingkungan pondok pesantren. Biasanya pendidikan umum dilakukan pada pagi hari sampai

siang. Sedangkan pendidikan kitab-kitab klasik dilakukan pada sore dan malam hari.28

Dengan banyaknya variasi Pondok Pesantren yang ada di Indonesia berdasarkan

metode pengajaran, kurikulum, maka diekelompokkan oleh Kementrian Agama Indonesia.

Tim Kementerian Agama RI mencoba mengkategorikan pesantren menjadi: (a) Pondok

Pesantren tipe A, yakni pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;

(b) Pondok Pesantren tipe B, yakni pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran

secara klasikal (madsarah); (c) Pondok Pesantren tipe C, yakni pondok pesantren yang hanya

27
Op. Cit Zamakhsyari Dhofier, hlm.79-99.
28
Op.cit. Zamakhsyari Dhofier, hlm. 76.
merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar; (d) Pondok pesantren tipe D, yakni

pondok pesantren menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah

atau madrasah.29

G. Kerangka Konseptual

Pemahaman nasionalisme para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah

merupakan kunci untuk memahami pandangan para santri terhadap wacana penerapan

Khilafah Islam di Indonesia. Pemahaman para santri tentang sejarah Indonesia, terutama

peran umat Islam dari masa perjuangan sampai berdirinya NKRI adalah point penting yang

akan dikaji dalam penelitian ini. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua,

memiliki peran penting yang melahirkan pemahaman para santri tentang nasionalisme.

Hubungan Islam dan Negara tanpa mengesampingkan kelompok agama yang lain bereperan

besar melahirkan tiang penyangga terhadap lahirnya NKRI. Nasionalisme sendiri merupakan

ajaran penting dalam Islam, namun kemudian pada prakteknya Negara tak harus

berlandaskan hukum Islam. Hal ini menjadi bahan perdebatan panjang di Indoensia. Bahkan

sampai memunculkan pemberontakan dalam sejarah Indonesia, seperti DI/TII di Jawa Barat

dan Permesta di Sulawesi. Pemberontakan ini dilandasi penerapan syariat Islam sebagai dasar

negara Indonesia.

Dari sejarahnya wacana Khilafah Islam sendiri bukanlah barang baru bagi Indonesia.

Di kalangan Umat Islam di Indonesia. Wacana Khilafah Islam bahkan ditolak oleh kalangan

umat Islam sendiri. Penolakkan terhadap konsep Khilafah Islam di kalangan umat Islam

diwakili lewat NU dan Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Berbeda dengan NU yang memang besebrangan dengan gerakan fundementalis Islam

mengenai pemurnian agama, Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan konsep pemurnian

Islam yang termasuk dalam agenda pembaharuan Islam. Walaupun memiliki agenda

29
Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 18.
pembaharuan Islam sikap yang diambil Muhammadiyah berbeda dengan golongan

fundamentalis Islam. Hal ini menjadi menarik jika ditelusuri lebih mendalam kepada anggota

Muhammadiyah, khususnya golongan muda Muhammadiyah, apakah memiliki sikap yang

sama seperti Muhammadiyah atau malah mendukung berdirinya Khilafah Islam akibat

memiliki kesamaan pemahaman tentang pemurnian agama (Islam). Subjek penelitian ini

adalah Para Santri Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang ditanyakan

tanggapannya mengenai nasionalisme dan Khilafah Islam. Para santri Pondok Pesantren

Muallimin Muhammadiyah memiliki pemahaman terhadap teologi pembaharuan Islam yang

diterima dari hasil proses pembelajaran di bangku madrasah.

Khilafah Islam sebagai wacana yang mengancam sikap nasionalisme di Indonesia

melahirkan berbagai respon bagi para Santri Pondok Pesantren Muallimin. respon yang

dihasilkan beragam, seperti menolak, menerima atau malah sama sekali tidak peduli terhadap

diskursus Khilafah Islam. Dalam pendekatan konstruksi sosial, respon ini merupakan hasil

dari pengetahuan yang dikembangkan individu terhadap realitas sosial yang terjadi di

masyarakat. Tugas Sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial

pengetahuan, membicarakan proses bagaimana inidividu-indivudu memperoleh pengetahuan

tersebut dan akhirnya membahas pengorganisasian intitusional dan distribusi sosial

pengetahuan.30 Pendek kata, menurut Peter L. Berger dan T. Luckmann yang dikutip oleh

Muhyar fanani, sosiologi pengetahuan akan membantu memahami hubungan antara

pengetahuan dengan struktur dan kesadaran sosial masyarakat.31 Dalam penelitian ini respon

yang diperhatikan adalah pandangan nasionalisme dan respon para santri Pondok Pesantren

Muallimin Muhammadiyah terhadap Khalifah Islam. Respon terhadap Khilafah Islam

merupakan hasil dari pemahaman para santri terhadap pandangan nasionalisme dan teologi

pembaharuan yang diajarkan di Pondok Pesantren Muhammadiyah Yogyakarta. Selain itu


30
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 64.
31
Ibid, hlm 64-65.
sikap tersebut merupakan pengetahuan yang didapatkan ssantri Pondok Pesantren Muallimin

terhadap interaksi sosial dan realitas sosial pada lingkungan masyarakat Islam di sekitar

mereka.

Pandangan yang diungkapkan oleh siswa Muallimin tentang Khilafah Islam dan

Nasionalisme merupakan pandangan mereka terhadap realitas sosial di lingkungan Islam

Indonesia. Pandangan para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah tentang

konsep Khilafah Islam dapat dianalisis lewat teori sosiologi pengetahuan/konstruksi sosial.

Dalam sosiologi pengetahuan, khususnya pendekatan yang dikembangkan oleh Peter L.

Berger yakni, terkait proses eksternalisasi, objektivitas, dan internalisasi pengetahuan.32

Para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammdiyah sebagai individu dapat

memiliki pandangan mengenai konsep Khilafah Islam dari sistem pembelajaran di bangku

sekolah lewat teologi Pemurnian dan Pembaharuan Islam, proses ini dapat dmaknai sebagai

proses ekternalisasi. Proses ekternalisasi merupakan awal masuknya pengetahuan lewat

proses kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh para santri di Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah. Proses selanjutnya adalah proses objektivitas, pengetahuan yang didapatkan

oleh para siswa disesuaikan dan dibaca lewat realitas sosial yang mereka temui sehari-hari.

Realitas sosial ini dibangun berdasarkan interaksi sosial dalam lingkungan mereka. Proses

internalisasi adalah hasil akhir dari ekternalisasi dan objektivitas yang dilakukan oleh para

santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah dengan cara menjadikannya sebagai

pengetahuan pribadi yang dapat mereka gunakan untuk menanggapi berbagai macam isu-isu

Islam kontemporer, salah satunya terkait nasionalisme dan wacana khilafah Islam.

Respon ini merupakan bentuk tindakan yang dapat dihubungkan langsung dengan

pemahaman mereka dengan teologi pembaharuan Islam yang mereka dapatkan di Pondok

Pesantren Muallimin Muhammadiyah. Pada akhirnya disadari atau tidak menjadi pilihan
32
Lihat Peter L. Berger, Langit Suci, agama sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm,5-24.
Atau Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 28-65.
mereka terhadap untuk mendukung atau menolak Khilafah Islam. Sikap dan pilihan para

santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah dapat dibaca dengan tipe rasionalitas

tindakan sosisal Max Webber. Max Webber membagi tindakan tersebut menjadi empat tipe,

pertama, rasionalitas Instrumental (zweckrationalitat), kedua, rasionalitas nilai

(wertrationalitat), ketiga, tindakan tradisional, dan yang terakhir merupakan tindakan afeksi,

tindakan yang didominasi oleh emosi tanpa refleksi pengetahuan.33

Dalam penelitian ini keempat tipe tindakan sosial ini digunakan secara menyeluruh

guna menganalisis sikap yang ditunjukan oleh para santri Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah terhadap isu Khilafah Islam. keempat tipe tindakan sosial Max Webber ini

kemudian digunakan untuk mengidentifikasi dan mengkelompokkan pandangan para siswa

terhadap para Khilafah Islam. Secara out put, hasil yang diharpakan bahwa siswa Muallimin

diharpakan merespons Khilafah Islam menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Pada

akhirnya hal respons terhadap Khilah Islam menunjukan bahwa santri Pondok Pesantren

Muallimin Muhammadiyah merupakan Kader Muda Muhammadiyah yang mampu

memberikan kontribusi di masa depan dan memiliki pemahaman yang baik terkait teologi

pembaharuan secara mendalam tanpa melepaskan konteks sosial umat Islam di Indonesia.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mencoba untuk memahami pandangan

para santri Pesantren Muallimin Muhammdiyah tentang nasionalisme serta pandangan

mereka terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang mengusung wacana penerapan

khilafah/syariat Islam di Indonesia. Maka peneltian ini merupakan penelitian verstehen.

Penelitian ini menitik beratkan terhadap pemahaman para siswa dan mencoba

mengaktualisasiskan dengan perkembangan dunia Islam hari ini.

 Lokasi Penelitian
33
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 219-222.
Penelitian ini dilakukan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Madrasah Muallimin Yogyakarta terletak di Jalan S. Parman No. 68 Patangpuluhan

Yogyakarta. Sebagai pondok pesantren, seluruh kegiatan santri selama 24 jam

dilakukan di lingkungan ini. Sehingga sangat membantu peneliti dalam

mengumpulkan data.

Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif-analitis. Bersifat deskrifitif karena akan

mengambarkan pandangan para santri Madrasah Muallimin Muhammadiyah tentang

nasionalisme serta pandangan mereka terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang

mengusung wacana penerapan khilafah/syariat Islam di Indonesia. kemudian

menganalisis pandangan para santri Madrasah Muallimin Muhammadiyah terkait

nasionalime serta pandangan mereka terhadap Ormas yang mengusung wacana

penerapan khilafah/syariat Islam di Indonesia.

 Sumber dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakuan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan:

1. Para santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Santri yang

dipilih secara acak dari kelas 2 dan 3 Aliyah. Para santri kelas 2 dan 3 Aliyah

dipilih karena dianggap telah memiliki pemahaman sejarah Indonesia yang baik

dan memiliki pemahaman agama yang baik. Asumsi pemahaman para santri yang

baik dikarekanakan mereka telah mendapatkan pelajarab sejarah dan pelajaran

agama Islam yang baik dari para ustadz. Selain itu pemahaman yang baik dapat

mereka dapatkan dengan membaca buku atau koran, media sosial ataupun lewat

menonton televisi.

2. Para alumni Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang telah

terjun ke masyarakat. Para alumni Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah


dianggap sebagai sumber data penting karena mereka merupakan lulusan dari

sekolah ini yang telah berkecimpung di tengah masyarakat luas.

3. Para Ustadz/Guru Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

4. Data sekunder berupa karya ilmiah yang berkaitan dengan Muhammadiyah

terutama yang berkaitan dengan respon Muhammadiyah terhadap nasionalisme

dan Khilafah Islam.

 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data dikumpulkan dengan cara observasi langsung ke Madrasah Muallimin

Muhammadiyah, kemudian melakukan wawancara mendalam dengan Siswa

Muallimin, para alumni dan juga para Ustadz/guru. Wawancara dapat dialkukan

dengan cara bertemu langsung ataupun memalui sambungan telepon. Tahap

selanjutnya adalah tahapan analisis, hasil dari observasi dan wawancara mendalam.

Analisis yang difunakan adalah analisi induktif, yakni analisis berdasarkan fakta yang

terjadi di lapangan.

I.Sistematika Penulisan

Secara garis besar rencana penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab agar karya

ini menjadi terstruktur. Bab pertama , pendahuluan. Berisikan latar belakang, rumusan

masalah, tujuan dan urgensi penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab kedua, Profil Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Bab ini

terdiri dari beberapa sub bab diantaranya, sejarah Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah Yogyakarta. Visi dan Misi Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah.

Informasi jumlah santri dan staf pengajar beserta kurikulum dan sistem pengajaran yang

diterapkan di Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.


Bab ketiga, berisi tentang tinjauan umum yang membahas tentang wacana

nasionalisme, pesantren, santri. Untuk melengkapi wawasan nasionalisme, juga akan dibahas

pandangan nasionalisme dalam perspektif Islam. Kemudian juga akan membahas wacana

penerapan khilafah/syariat Islam di Indonesia yang diusung Ormas yang mengusungnya.

Selain itu bab ini juga membahsa tetang peran Muhammadiyah terhadap isu-isu

khilafah/syariat Islam di Indonesia. Hal ini penting karena Pondok Pesantren Muallimin

Muhammadiyah Yogyakarta diawasi secara langsung oleh Pimpinan Pusat Muahmmadiyah.

Untuk melengkapi bab ini juga akan membahas wacana hubungan agama (Islam) dan negara.

Bab keempat, merupakan bab pembahasan tentang pandangan para santri Madarasah

Muallimin Muhammadiyah tentang nasionalisme dan respon mereka terhadap isu khilafah

Islam yang diangkat oleh Ormas Islam tertentu. Setelah pandangan dan respon para santri

berhasil didapatkan makan akan dianalis dan dikelompokkan. Bab kelima, merupakan

kesimpulan dan saran. Bab ini berisi pemaparan hasil penelitian serta saran-sara yang

diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai