PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia, hal ini
tidak lepas dari Peran Pondok Pesantren sebagai garda terdepan penyebaran Islam di
Indonesia. Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi
kemajuan pendidikan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak
tahun 1596. Pesantren menjadi garda terdepan penyebaran Islam di tanah air. Hal ini sangat
dimungkinkan karena para santri yang telah berguru kepada para kiai di pesantren kemudian
Selain sebagai lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren juga memiliki peran
yang sangat besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Para Kiai dan Santri turun ambil
bagian dalam perjuangan fisik dan politik melawan penjajah guna mewujudkan kemerdekaan
mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri).
Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial.
Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan
nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah
kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam
dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai
pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang,
perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama
berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama
Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa
pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum
Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku
Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan
diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849,
1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh
( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang
membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.1 Selain itu kaum santri juga melahirkan seorang
pemimpin militer yang ditakuti oleh pihak penjajah dalam perang kemerdekaan lewat diri
Jendral Besar Soedirman. Jendral besar Soedirman pada awalnya adalah seorang guru di
sekolah Muhammadiyah di Banyumas yang kemudian bergabung dengan tentara rakyat guna
melawan penjajah.
Perjuangan santri dalah kemerdekaan Indonsesia dari jalur politik juga dapat terlihat
Kelimabelas tokoh ini merupakan perwakilan dari organisasi Islam pada masa itu, di
Salim, K.H. Abdul Halim (PUI), K.H.A. Sanusi (PUII). Para tokoh ini berperan penting
dalam menyalurkan aspirasi umat Islam dan penyusunan dasar-dasar negara. Fakta sejarah ini
menunjukan peran umat Islam dan pondok pesantren sangat besar dalam melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
kemerdekaan Indonesia lewat perjuangan fisik dan politik. Rasa nasionalaisme Umat Islam
yang tingi dapat terlihat dari kompromi yang dilakukan oleh para tokoh Isl4am dalam
BPUPKI yang dengan ikhlas menerima penghapusan kalimat “kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam jakarta. Kalimat ini dinilai menunjukan
dominasi Islam, serta ditentang juga oleh anggota BPUPKI yang non-muslim. Hal ini
menunjukan bahwa negara Indonesia yang akan dibentuk, adalah negara yang berdasarkan
nasionalisme bangsa, bukan berdasarkan nasionalisme agama (Islam). Sikap kompromi para
tokoh Islam dalam BPUPKI dengan mendahulakan kepentingan bangsa dan aspirasi para
anggota non-muslim menunjukan wajah Islam yang moderat. Secara garis besar hubungan
antara islam dengan negara berjalan saling melengkapi di Indonesia. dalam waktu tertentu
Isalm memiliki hubungan kurang baik dengan negara, khususnya pada zaman orde baru,
Umata Islam seakan danaktirikan pada awalnya. Namun pada akhirnya, Presiden Soeharto
Seiring berjalannya waktu, peran umat Islam dan khususnya masyarakat santri tetap
besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Pondok pesantren terus melah4irkan para
tokoh besar di tingkat nasional ataupun daerah. Hal ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah
pesantren di Indonesia. Menurut data Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun
2011-2012 terdapat 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.2 data ini
2
Kementrian Agama Republik Indonesia, Analisis dan Interpretasi Data padaPondok Pesantren,
Madrasah Diniyah(Madin), Taman Pendidikan Qur’an(TPQ)Tahun Pelajaran 2011-2012 (Jakarta:Depag,
2012, pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf), hlm.70.
jelas mengukuhkan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang terus eksis di
dalam sejarah nusantara. Peran pondok pesantren bukan hanya melahirkan para santri yang
memliki pengetahuan agama yang mendalam namun juga menjaga keutuhan Negara
Tapi dengan sejarah yang dimiliki Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang juga ikut berjuang daalam kemerdekaan Indonesia mulai dipetanyakan. Rasa
nasionalisme para santri mulai dipertanyakan. Hal ini dikarenakan karena beberapa orang
yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren terlibat dalam berbagai aksi bom
bunuh diri berkedok radikalisisasi agama di Indonesia. Dimulai dari tragedi Bom Bali pada
tahun 2002 dan aksi teror lainnya atas nama agama membuat Islam sebagai agama mayoritas
di Indonesia menjadi terpojok. Para tersangka Bom Bali yang pernah mengeyam pendidikan
di pondok pesantren membuat pondok pesantren menerima sorotan tajam. Aksi radikalisme
yang dilakukan sebagian oknum (santri) yang pernah mengecap pendidikan pondok pesantren
ini dilandasi oleh pemikiran mereka pribadi, khususnya tentang pemeahaman agama yang
Kemudian, munculnya gerakan fundametalis Islam yang tak memiliki akar sejarah
yang kuat di Indonesia sejak era reformasi membuat wajah Islam yang moderat dan ramah
tercoreng. Gerakan fundamentalis Islam dapat eksis di Indonesia pada saat ini karena
memiliki momentum pada era reformasi. Pada era reformasi, keran demokrasi dibuka
fundamentalis Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok yang
terdapat dalam agama Islam yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan
reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin, varian
fundamentalisme Islam dapat dikategorikan menjadi dua yaitu fundamentalisme Islam murni
atau fundamentalisme Islam tradisional dan neo-fundamentalisme Islam atau
Gerakan fundamentalis Islam modern yang ada di Indonesia hari ini sesuai dengan
yang digambarkan Olivier Roy semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela
melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis dan menekankan pada pemurnian doktrin.
Hal ini dapat dilihat dari setiap wacana yang mereka angkat, seperti menafikkan
maupun Hadist. Kemudian menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara
sebagai produk kafir. Penolakan HTI dan FPI terhadap UUD 1945 dan Pancasila dikarenakan
kedua organisasi ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan Khilafah Islam di Indonesia. selain
itu juga terdapat varian gerakan fundementalis Islam modern di Indonesia seperti Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengadopsi bentuk Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perbedaan
mendasar antara PKS dan HTI atau FPI adalah strategi yang dipakai, jika HTI
mengempanyekan Ide Khilafah Islam, PKS terjun langsung ke dalam dunia politik dengan
menjaring suara rakyat untuk mengubah konstitusi. Namun secara garis besar mereka
memiliki cara yang sama untuk mendapatkan massa pendukung, yakni melalui infelterasi
ide fundemntalis silam melalui lembaga pendidikan Islam, salah satunya lewat pondok
pesantren.
fundementalis agama, hal ini diakui oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Menurut Abdul Rahman Kadir, “paham radikal(fundamentalis) agama bisa saja datang dari
bawah naungan Muhammadiyah juga menyeruak. Dua Opini Farid Setiawan dalam Suara
3
Olivier Roy, The Failure of Political Islam, (London: IB Tauris, 1994), hlm. 30.
Muhammadiyah, yang berjudul Ahmad Dahlan Menangis dan Tiga Upaya Muallimin-
Muallimat5, adalah upaya untuk membendung pengaruh paham fundementalis Islam yang di
Yogyakarta dikukuhkan sebagai sekolah kader Muhammadiyah serta di bawahi langsung oleh
fundementalis Islam di dalam Muhammadiyah sangat luar biasa, dengan menjadikan kader-
kader Muda Muhammadiyah menjadi kader-kader fundementalis yang tidak ada sangkut
khususnya dalam bidang sosial-keagamaan. Hal ini sesuai dengan Matan dan Cita-cita Hidup
segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang
yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-
sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: Baldatun
4
http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/JKRj05xK-bnpt-tegaskan-ponpes-bukan-sarang-
radikal. lihat juga https://daerah.sindonews.com/read/1099314/191/bnpt-tegaskan-pondok-pesantren-bukan-
sarang-radikalisme-1460086991
5
Suara Muhammadiyah, 20 Februari 2006 dan 3 April 2006.
6
Matan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
bentuk bangsa Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan
Yogyakarta. Serta tanggapan para santri terhadap konsep penerapan Khilaf Islam yang
diusung gerakan fundamentalis Islam di Indonesia. Pandangan nasionalisme para santri jelas
merupakan hal yang penting untuk mengetahui pandangan para santri tentang wacana
penerapan Khilafah Islam yang diusung oleh gerakan fundementalis Islam. Hal ini menurut
peneliti sangat penting karena tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki peranan besar dalam
Yogyakarta sendiri memiliki posisi penting di tubuh Muhammadiyah. Para santri adalah
masa depan. Masa depan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat jelas dipertaruhkan,
apakah tetap moderat nasionalis ataukan telah berubah menjadi wajah gerakan fundamentalis
Islam?
B. Rumusan masalah
menjadi kader Muhammadiyah yang militan agar dapat berguna bagi nusa, bangsa dan
agama. Para santri digembleng baik mental dan mental 24 jam dengan kurikulum yang
didesain secara khusus oleh pihak Pondok, pembelajaran yang diterima baik pelajaran sekuler
dan juga pelajaran agama islam oleh para santri. Studi ini berfokus terhadap Bagaimana
Yogyakarta? Kemudian dari pandangan nasionalisme yang dipahami para santri akan
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Para Santri
merupakan syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar master sosiologi pada jurusan
D. Urgensi Penelitian
berkecimpung tak hanya di dalam Muhammadiyah saja namun juga di kancah politik,
2. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi pimpinan Pondok
nasionalisme para santri dan serta, mengetahui pandangan mereka terhadap Ormas
4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian tradisi pesantren pada Fakultas
Kajian ilmiah dengan objek Pesantren telah banyak dilakukan oleh para penelitian
baik dari Indonesia ataupun luar negeri. Pertama karya Zamakhsyari Dhofier berjudul Tradisi
Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia. 7
Karya ini merupakan hasil dari disertasi doktor beliau di Australia National University. Karya
ini membahas tradisi pesantren dengan pusat kajian utama terletak pada peran kiai dalam
lingkungan pesantren dan Islam yang dianut oleh para kiai di Indonesia pada masa
modern(1977-1978). Karya berasal dari penelitian yang dilakukan oleh beliau pada pesantren
di Jawa, yakni Pesantren Tegalsari di Kabupaten Semarang dan Pesantren Tebuireng di Kota
Kedua, karya Clifford Geertz berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa.8 Karya Geertz ini merupakan karya yang banyak dirujuk oleh para ilmuwan sosial
tentang konstruksi sosial pada masyarakat Jawa. Penelitian ini dilakukan di Mojokerto, Jawa
Timur. Fokus kajian terletak pada kebudayaan jawa telah terintegrasi dengan agama Islam
sebagai agama mayoritas yang dianut , melahirkan konstruksi sosial. Kontruksi sosial yang
dilahirkan dari sistem ini pada masyarakat adalah Abangan (yang berpusat di pedesaan),
Santri (yang intinya berpusat di tempat perdangangan atau pasar), sertta Priyayi (yang intinya
berpusat di kantor pemerintahan, di kota). Ketiga lingkungan yang berbeda dan dibarengi
dengan latar belakang sejarah Jawa melahirkan simbol-simbol sosial dalam kehidupan
mereka. Pengunaan santri sebagai salah satu kelompok yang dilahirkan dari konstruksi sosial
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011).
8
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa , (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1981).
yang pada masyarakat jawa di Kota Mojokerto menunjukkan bahwa tradisi pesantren telah
Ketiga, karya dari Ali Maschan Moesa berjudul Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial
Berbasis Agama.9 Karya ini berfokus terhadap peran kiai dalam memberikan pemahaman
nasionalisme terhadap para santri yang mereka didik. Para kiai (orang yang diikuti para
santri) mengonstruksi paham kebangsaannya dari ajaran Islam. Mereka (para kiai) meyakini
bahwa sampai saat ini agama (Islam) menjadi faktor pokok yang mengintegrasikan bangsa
dan sekaligus menjadi supra identity, yaitu sebagai basis ikatan solidaritas sosial yang kuat.
Dalam lingkungan pesantren para kiai memaknai kembali nasionalisme dari perjuangan untuk
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah para santri Pondok Pesantren Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta, oleh sebab itu kajian pustaka yang berkaitan tentang
penting. Kajian mengenai Muhammadiyah baik sebagai gerakan ataupun yang menggunakan
berbagai disiplin keilmuan sosial-keagamaan. Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Abdul
Munir Mulkhan dengan judul Islam Murni dalam Masyarakat Petani.10 Dalam laporannya,
Kecamatan Wuluhan, Jember Jawa Timur. Varian tersebut yaitu: 1). Kelompok al-Ikhlash,
yakni kelompok yang dikenal fundamentalis dan mengklaim dirinya sebagai kaum Islam
Murni serta cenderung tidak berkompromi dengan warga lain yang tidak sependapat dengan
serta cenderung akomodatif terhadap pemikiran lain yang tidak sejalan dengan mereka. 3)
Kelompok Munu, yakni kelompok campuran antara faham Muhammadiyah dan Nahdhatul
Marhaenisme dalam Muhammadiyah. Kelompok ini terdiri dari orang –orang yang memiliki
semangat nasionalis yang tinggi sekaligus memiliki kebanggaan yang tinggi terhadap
mendalam.
Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah11 yang ditulis oleh Biyanto. Buku ini merupakan
hasil dari disertasi Biyanto untuk mendepatkan gelar Doktor di IAIN Sunan Ampel. Isu
pluralisme agama merupakan salah satu tema yang menimbulkan diskurusus di kalangan
pluralisme agama juga lahir dari pemahaman warga Muhammadiyah tentang pemurnian dan
pembaharuan Islam. Fokus penelitian yang dilakukan Biyanto adalah terbaginya(plural) kaum
muda Muhammadiyah dalam menyikapi isu Pluralisme Agama. Hasil penelitian memaparkan
terdapat dua kubu dalam kaum muda Muhammadiyah yakni, yang menentang dan yang
mendukung Pluralisme agama. kesimpulan akhir dari penelitian ini pihak yang mendukung
pluralisme memahami bahwa paham ini dengan sikap positif, optimis dan terbuka. Pluralisme
bagi mereka adalah paham yang mengajarkan agar setiap pemeluk agama mengakui
keberadaan agama yang lain yang berbeda, terlibat aktif dalam memahami perbedaan dan
memiliki komitmen untuk menemukan persamaan dan perbedaan. Sementara mereka yang
11
Biyanto, Pluralisme Kegamaan dalam Perdebatan, pandangan Kaum Muda Muhammadiyah,
(Malang: UMM Press, 2009).
menolak pluralisme memahami pluralisme dalam pengertian yang negatif, pesimis dan
Yogyakarta.12 Kesimpulan dari Penelitian ini adalah perkaderan yang dijalankan Madrasah
terbaik atau pilihan yang nantinya menjadi kekuatan inti atau tulang punggung dari
persyarikatan Muhammadiyah. Output dari proses kaderisasi adalah para kader yang punya
integritas, berdedikasi tinggi, cakap, handal, dan kalau perlu militan untuk mewujudkan misi
sangat ditunggu kiprahnya karena mereka telah melalui pendidikan dan latihan tertentu.
Dengan demikian, seorang kader mempunyai tugas pokok untuk mengembangkan organisasi
dan sekaligus menghindarkan ideologi dari kemungkinan distorsi. Karena itu, di samping
kader harus aktif secara fisik, dia harus terus-menerus mempelajari rumusan ideologi tersebut
F. Kerangka Teori
Nasionalisme
Secara etimologis, term nasionalisme, natie, dan national, kesemuanya berasal dari
bahasa latin, yakni natio, yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio
berasal dari kata nascie yang berarti kelahiran. Karena itu, jika dapat dihubungkan secara
objektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras, agama, peradaban,
wilayah, negara dan kewarganegaraan.13 Faktor utama yang dikandung dalam term
12
Chusnul Azhar, Manejemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kader di Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta, (Yogyakarta, Tesis, UIN Suka, 2014).
13
Hans Kohn, The Idea of Nationalism, (New York: Macmillan,1944), hlm, 14. Lihat juga Ali
Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial berbasi Agama (Yogyakarta, LKIS, 2007), hlm. 28-29.
nasionalisme adalah nation yakni bangsa. Menurut Ernest Renan Bangsa, adalah suatu
nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dari dua hal: Pertama rakyat itu dulunya harus bersama-
sama menjalani satu riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus punya kemauan, keinginan
hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya pula
batas negeri yang menjadikan bangsa itu. 14 Pada intinya nasionalisme mencakup segala
bentuk identitas yang dibawa oleh suatu bangsa yang digunakan untuk membuat sebuah
persatuan. Persatuan ini akan semakin kuat karena jika memiliki akar sejarah yang sama. Hal
terkait perlawanan terhadap kolonialisme. Hal ini juga terjadi dalam sejarah Indonesia,
Selain itu faktor yang mempengaruhi nasionalisme adalah kesamaan rasa yang
dialami oleh rakyat. Pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas
agama, bahasa dan kebudayaan.15 Dalam kasus Indonesia, semua unsur pokok nasionalisme
melahirkan persatuan yang kuat dalam melawan penjajah. Persatuan atas nama bangsa
Indonesia adalah nasionalisme berdasarkan bangsa, bahsa dan budaya yang paling utama,
nasionalisme agama dan nasionalisme daerah rentan melahirkan sesama anak bangsa. Hal ini
juga disadri oleh para pendiri bangsa. Pada akhirnya nasionalisme yang dipilih adalah
nasionalsime berdasarkan kebangsaan. Hal ini juga yang mempprngaruhi bentuk Negara
14
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, ( Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964).
15
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi,
1964), hlm. 76.
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nasionalisme dijelaskan
sebagai (1) paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan, (2)
kesadaran anggota dalam suatu bangsa yang secara potensial bersama-sama mencapai,
itu; semangat kebangsaan.16 Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai
tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme
juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal. 17 Dalam
Nation and Identity in Contemporary Europe Brians Jenkins dan Spyros Sofos menyebut
bahwa `nation' sebagai suatu konstruksi sosial, sementara `nasionalisme' adalah suatu proyek
politik.18 Nasionalisme sendiri pada akhirnya menjadi senjata bagi negara dan rakyat untuk
menjadi kuat dalam menghadapi perpecahan yang bisa dilakuakn oleh penjajah atau
perpecahan yang terjadi di dalam negara. Pada akhirnya nasionalisme menjadi kunci
keberlangsungan negara.
untuk mencapai pemerintahan yang kolektif, penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga
kerap kali mempunyai program politik dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan
dicapainya otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam
sebuah pemahaman mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial.19
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008)Hlm 997.
17
https://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme
18
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj6pn1-akar-nasionalisme-
dalam-islam
19
Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003) hal.26
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama.
Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan
dan penindasan dari bumi Indonesia.20 Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang
sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme
Dalam sejarahnya Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berperan besar
terhadap penyebaran Islam di Indonesia. Suku kata Pesantren berasal dari kata santri, yang
diberikan awalan pe di depan dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah
santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Versi lain menyebutkan bahwa
kata santri berasal dari bahasa India yakni Shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku
suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-
buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari asal-usul kata santri banyak
ilmuwan beranggapan bahwa lembaga pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan
keagamaan bangsa Indonesia pada masa menganut agama Hindu-Budhha yang bernama
Pondok Pesantren terdiri dari dua suku kata yakni “pondok” dan “pesantren”. Istilah
pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat
tinggal yang terbuat dari bambu, atau kata “pondok” berasal dari bahasa Arab “funduq” yang
artinya hotel atau asrama.23 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pesantren diartikan
20
Redaksi Great publisher, buku pintar politik: sejarah, pemerintahan, dan ketatanegaraan,
(Yogyakarta: Galang Perss, 2009), hlm.64.
21
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 7.
22
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES,2011),hlm. 41.
23
Ibid, hlm. 41.
sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. 24
Sedangkan kata pesantren merupakan yang berasal dari kata “santri”, menurut Nurcholish
Madjid berasal dari dua bahasa. Pertama, dari bahasa Sansekerta, kata santri berasal dari kata
“sastri” yang berarti melek huruf. Sementara dari bahasa Jawa, kata “santri” berasal dari kata
“cantrik”, yakni orang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru itu pergi atau
menetap.25 Kedua pengertian ini menekankan bahwa bahwa para santri ditempatkan pada
asrama sebagai tempat tinggal dan juga tempat belajar. Sedangakan pendapat yang diajukan
oleh Nurcholis Madjid menunjukan bahwa santri sebagai murid dalam pesantren memliki
tujuan untuk menuntu ilmu dengan aktifitas mengikuti sang guru/kiai. Pada intinya Pesantren
dengan Kiai/ustadz, santri, dan Pondok merupakan satu kesatuan yang meahirkan tradisi
pesantren.
tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau
lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai/ustadz.26 Pengertian ini sepenuhnya benar,
selain tinggal di asarama para santri juga harus memiliki guru sebagai pembimbing dan juga
sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam tahapan emenuntut ilmu., dalam tradisi pesantren
sang guru biasanya dipanggil dengan sebutan Kiai atau Ustadz. Panggilan ini merupakan
bentuk penghormatan terhadap orang guru sebagai orang yang dituakan dan sebagai orang
memiliki 5 elemen pokok; (1) Pondok/Asrama: adalah tempat tinggal bagi para santri.
Pondok inilah yang menjadi ciri khas dan tradisi pondok pesantren dan membedakannya
24
Alwi Hasan dkk, kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,2005), hlm. 866
25
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997),
hlm. 19-20.
26
Op. Cit Zamakhsyari Dhofier, hlm. 79.
dengan sistem pendidikan lain yang berkembang di Indonesia, (2) Masjid: merupakan tempat
untuk mendidik para santri terutama dalam praktek seperti shalat, pengajian kitab klasik,
pengkaderan kyai, dll, (3) Pengajaran kitab-kitab klasik: merupakan tujuan utama pendidikan
di pondok pesantren, (4) Santri: merupakan sebutan untuk siswa/murid yang belajar di
pondok pesantren, dan (5) Kyai: merupakan pimpinan pondok pesantren. Kata kyai sendiri
adalah gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang menjadi
pendidikan, yakni sistem pendidikan pesantren modern dan sistem pendidikan pesantren
tradisional. Pembagian ini berdasarkan metode pengajaran serta kurikulum yang digunakan
para kiai dalam mengajar para santri. Pertama, pondok pesantren tipe klasik/lama/tradisional.
Pondok pesantren tipe ini pada intinya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Tipe ini tidak
tipe pondok pesantren yang selain mengajarkan kitab-kitab klasik, juga mengajarkan
pengetahuan umum kepada para santri selain kitab-kitab Islam klasik. Pengetahuan umum
diajarkan melalui madrasah setingkat SMP ataupun SMA yang sengaja didirikan di
lingkungan pondok pesantren. Biasanya pendidikan umum dilakukan pada pagi hari sampai
siang. Sedangkan pendidikan kitab-kitab klasik dilakukan pada sore dan malam hari.28
Pesantren tipe A, yakni pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;
(b) Pondok Pesantren tipe B, yakni pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran
secara klasikal (madsarah); (c) Pondok Pesantren tipe C, yakni pondok pesantren yang hanya
27
Op. Cit Zamakhsyari Dhofier, hlm.79-99.
28
Op.cit. Zamakhsyari Dhofier, hlm. 76.
merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar; (d) Pondok pesantren tipe D, yakni
pondok pesantren menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah
atau madrasah.29
G. Kerangka Konseptual
merupakan kunci untuk memahami pandangan para santri terhadap wacana penerapan
Khilafah Islam di Indonesia. Pemahaman para santri tentang sejarah Indonesia, terutama
peran umat Islam dari masa perjuangan sampai berdirinya NKRI adalah point penting yang
akan dikaji dalam penelitian ini. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua,
memiliki peran penting yang melahirkan pemahaman para santri tentang nasionalisme.
Hubungan Islam dan Negara tanpa mengesampingkan kelompok agama yang lain bereperan
besar melahirkan tiang penyangga terhadap lahirnya NKRI. Nasionalisme sendiri merupakan
ajaran penting dalam Islam, namun kemudian pada prakteknya Negara tak harus
berlandaskan hukum Islam. Hal ini menjadi bahan perdebatan panjang di Indoensia. Bahkan
sampai memunculkan pemberontakan dalam sejarah Indonesia, seperti DI/TII di Jawa Barat
dan Permesta di Sulawesi. Pemberontakan ini dilandasi penerapan syariat Islam sebagai dasar
negara Indonesia.
Dari sejarahnya wacana Khilafah Islam sendiri bukanlah barang baru bagi Indonesia.
Di kalangan Umat Islam di Indonesia. Wacana Khilafah Islam bahkan ditolak oleh kalangan
umat Islam sendiri. Penolakkan terhadap konsep Khilafah Islam di kalangan umat Islam
Islam yang termasuk dalam agenda pembaharuan Islam. Walaupun memiliki agenda
29
Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 18.
pembaharuan Islam sikap yang diambil Muhammadiyah berbeda dengan golongan
fundamentalis Islam. Hal ini menjadi menarik jika ditelusuri lebih mendalam kepada anggota
sama seperti Muhammadiyah atau malah mendukung berdirinya Khilafah Islam akibat
memiliki kesamaan pemahaman tentang pemurnian agama (Islam). Subjek penelitian ini
tanggapannya mengenai nasionalisme dan Khilafah Islam. Para santri Pondok Pesantren
melahirkan berbagai respon bagi para Santri Pondok Pesantren Muallimin. respon yang
dihasilkan beragam, seperti menolak, menerima atau malah sama sekali tidak peduli terhadap
diskursus Khilafah Islam. Dalam pendekatan konstruksi sosial, respon ini merupakan hasil
dari pengetahuan yang dikembangkan individu terhadap realitas sosial yang terjadi di
pengetahuan.30 Pendek kata, menurut Peter L. Berger dan T. Luckmann yang dikutip oleh
pengetahuan dengan struktur dan kesadaran sosial masyarakat.31 Dalam penelitian ini respon
yang diperhatikan adalah pandangan nasionalisme dan respon para santri Pondok Pesantren
merupakan hasil dari pemahaman para santri terhadap pandangan nasionalisme dan teologi
terhadap interaksi sosial dan realitas sosial pada lingkungan masyarakat Islam di sekitar
mereka.
Pandangan yang diungkapkan oleh siswa Muallimin tentang Khilafah Islam dan
konsep Khilafah Islam dapat dianalisis lewat teori sosiologi pengetahuan/konstruksi sosial.
memiliki pandangan mengenai konsep Khilafah Islam dari sistem pembelajaran di bangku
sekolah lewat teologi Pemurnian dan Pembaharuan Islam, proses ini dapat dmaknai sebagai
proses kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh para santri di Pondok Pesantren Muallimin
oleh para siswa disesuaikan dan dibaca lewat realitas sosial yang mereka temui sehari-hari.
Realitas sosial ini dibangun berdasarkan interaksi sosial dalam lingkungan mereka. Proses
internalisasi adalah hasil akhir dari ekternalisasi dan objektivitas yang dilakukan oleh para
pengetahuan pribadi yang dapat mereka gunakan untuk menanggapi berbagai macam isu-isu
Islam kontemporer, salah satunya terkait nasionalisme dan wacana khilafah Islam.
Respon ini merupakan bentuk tindakan yang dapat dihubungkan langsung dengan
pemahaman mereka dengan teologi pembaharuan Islam yang mereka dapatkan di Pondok
Pesantren Muallimin Muhammadiyah. Pada akhirnya disadari atau tidak menjadi pilihan
32
Lihat Peter L. Berger, Langit Suci, agama sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm,5-24.
Atau Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 28-65.
mereka terhadap untuk mendukung atau menolak Khilafah Islam. Sikap dan pilihan para
santri Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah dapat dibaca dengan tipe rasionalitas
tindakan sosisal Max Webber. Max Webber membagi tindakan tersebut menjadi empat tipe,
(wertrationalitat), ketiga, tindakan tradisional, dan yang terakhir merupakan tindakan afeksi,
Dalam penelitian ini keempat tipe tindakan sosial ini digunakan secara menyeluruh
guna menganalisis sikap yang ditunjukan oleh para santri Pondok Pesantren Muallimin
Muhammadiyah terhadap isu Khilafah Islam. keempat tipe tindakan sosial Max Webber ini
terhadap para Khilafah Islam. Secara out put, hasil yang diharpakan bahwa siswa Muallimin
diharpakan merespons Khilafah Islam menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Pada
akhirnya hal respons terhadap Khilah Islam menunjukan bahwa santri Pondok Pesantren
memberikan kontribusi di masa depan dan memiliki pemahaman yang baik terkait teologi
pembaharuan secara mendalam tanpa melepaskan konteks sosial umat Islam di Indonesia.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mencoba untuk memahami pandangan
Penelitian ini menitik beratkan terhadap pemahaman para siswa dan mencoba
Lokasi Penelitian
33
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 219-222.
Penelitian ini dilakukan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
mengumpulkan data.
Sifat Penelitian
dipilih secara acak dari kelas 2 dan 3 Aliyah. Para santri kelas 2 dan 3 Aliyah
dipilih karena dianggap telah memiliki pemahaman sejarah Indonesia yang baik
dan memiliki pemahaman agama yang baik. Asumsi pemahaman para santri yang
agama Islam yang baik dari para ustadz. Selain itu pemahaman yang baik dapat
mereka dapatkan dengan membaca buku atau koran, media sosial ataupun lewat
menonton televisi.
Muallimin, para alumni dan juga para Ustadz/guru. Wawancara dapat dialkukan
selanjutnya adalah tahapan analisis, hasil dari observasi dan wawancara mendalam.
Analisis yang difunakan adalah analisi induktif, yakni analisis berdasarkan fakta yang
terjadi di lapangan.
I.Sistematika Penulisan
Secara garis besar rencana penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab agar karya
ini menjadi terstruktur. Bab pertama , pendahuluan. Berisikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan urgensi penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, Profil Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Bab ini
terdiri dari beberapa sub bab diantaranya, sejarah Pondok Pesantren Muallimin
Informasi jumlah santri dan staf pengajar beserta kurikulum dan sistem pengajaran yang
nasionalisme, pesantren, santri. Untuk melengkapi wawasan nasionalisme, juga akan dibahas
pandangan nasionalisme dalam perspektif Islam. Kemudian juga akan membahas wacana
Selain itu bab ini juga membahsa tetang peran Muhammadiyah terhadap isu-isu
khilafah/syariat Islam di Indonesia. Hal ini penting karena Pondok Pesantren Muallimin
Untuk melengkapi bab ini juga akan membahas wacana hubungan agama (Islam) dan negara.
Bab keempat, merupakan bab pembahasan tentang pandangan para santri Madarasah
Muallimin Muhammadiyah tentang nasionalisme dan respon mereka terhadap isu khilafah
Islam yang diangkat oleh Ormas Islam tertentu. Setelah pandangan dan respon para santri
berhasil didapatkan makan akan dianalis dan dikelompokkan. Bab kelima, merupakan
kesimpulan dan saran. Bab ini berisi pemaparan hasil penelitian serta saran-sara yang
diperlukan.