Indonesia.”
Sejak awal berdirinya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan
tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah.
Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan
lembaga pendidikan non-formal yang tersebar di seluruh Indonesia.
6. Persatuan Islam (1923 M)
Persatuan Islam (PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia.
Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang
berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang
sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan
pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak
orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis,
dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadis
yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga
dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam
yang hanya bersumber dari Alquran dan Hadis (sabda Nabi).
Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik namun lebih fokus
terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran
Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid’ah yang telah banyak
menyebar di kalangan awwam orang Islam.
7. Nahdlatul Ulama (1926 M)
Nahdlatul Ulama (NU), merupakan sebuah organisasi Islam terbesar di
Indonesia dan dunia. Organisasi ini berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926
dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU
merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang
dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.
NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat
sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya
merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya NU
dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan
kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi
dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.
Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial
politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut
Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar,
selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Dalam sejarahnya, NU tampil sebagai organisasi Islam yang moderat di
Indonesia dan mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap
perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Al Muhafadhah ‘alal qadimial
shalih wa al akhdu bi al jadid al ashlah” atau “Memelihara hal lama yang masih
baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.”
Sikap NU terbuka atas keragaman dan perbedaan, karena dipengaruhi
budaya Nusantara. NU juga memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran)
serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial,
politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU
sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tatharruf).
Dalam menegaskan prisip dasar orgasnisai, KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Nadhlatul Ulama (NU) menorehkan sejarah tersendiri bagi perjuangan
bangsa Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum gaung mempertahankan NKRI
menggema, para ulama telah bergerak terlebih dahulu. Para ulama, kyai, santri,
warga nahdliyin memberikan kontribusi nyata dalam mengawal perjuangan
kemerdekaan, mempertahankan dan mengisinya dengan spirit yang tak kenal lelah
dan pamrih.
Perjuangan semakin menggelora setelah keluar fatwa jihad
yang dikumandangkan Hadharatus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan lebih dikenal
dengan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Peristiwa penting yang merupakan
rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Peristiwa
tersebut kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional.
Pada tanggal 9 November 1945 Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari
sebagai pemimpin tertinggi Laskar Hizbullah menggalang kekuatan dari seluruh
penjuru Surabaya untuk menghadapi setiap kemungkinan dengan penolakan
terhadap sekutu NICA (Netherlands-Indies Civil Administration). KH. Abbas
Abdul Jamil (Buntet) memimpin Komando Pertempuran dibantu oleh KH. Wahab
Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, KH. Mas Mansur dan Cak Arnomo.
Bung Tomo berpidato dengan disiarkan radio, membakar semangat para pejuang
dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid fi sabililah. Peristiwa heroik pada
tanggal 10 November 1945 yang diperingati sebagai hari Pahlawan tidak lepas dari
rangkaian panjang semangat resolusi jihad yang dicetuskan di markas NU, Jalan
Bubutan VI No. 2 Surabaya.
Kiranya kegigihan perjuangannya, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari
dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno
dalam Keppres nomor 249 tahun 1945.
8. Majelis Islam A’la Indonesia (1937 M)
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan wadah bagi ormas-ormas
Islam di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan. MIAI didirikan pada Selasa
Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa KH. Hasyim Asy’ari.
Di antara organisasi Islam anggota MIAI adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama
(NU), Al Irsyad, Partai Arab Indonesia (PAI), Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al-Hidayatul
Islamiyah,
Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Jong Islamiaten Bond,
AlIttihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator (mediator) untuk berbagai
kegiatan, kemudian dikembangkan sebagai wadah untuk mempersatukan para umat
Islam tanah air untuk menghadapi politik Belanda yang memecah belah para ulama
dan partai Islam. Pada periode 1939-1945 para ulama bergabung bersama dalam
satu majelis.
Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan, karena penjajah yang berkuasa pada saat
itu menganggap MIAI sudah tidak relevan dengan kebijakan penjajah. Oleh sebab
itu dibuat kebijakan baru yang bisa mengakomodasi kebijakan penjajah terhadap
umat Islam. Untuk merealisasikannya, maka diganti dengan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi baru yang menjadi salah satu
tempat aspirasi umat Islam.
1. Tugas Individu
a. Tuliskan cerita singkat 1tokoh biografi pendiri organisasi Islam di Indonesia.
b. Carilah beberapa hasil pembaruan di Indonesia yang dilakukan oleh organisasi
organisasi Islam dengan mengisi kolom di bawah ini :
No. Nama Organisasi Pembaruan di Indonesia
1
2
3
4
5