Anda di halaman 1dari 24

PEMIKIRAN KH. M.

HASYIM ASY’ARI TENTANG AGAMA

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Hadratussyeikh KH. M. Hasyim


Asy’ari

Dosen Pengampuh:

Masyudan Dardiri, S.Sy., M.H

Oleh

1. Imam Kukuh Andrianto 1696164001


2. Umi Rosyidah 1696164008

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas  kehadirat Allah S.W.T dengan limpahan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Pemikiran
Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari  tentang agama.

Shalawat beriring Salam kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.


dan para Sahabatnya beserta  keluarganya yang telah memberikan contoh teladan
melalui sunnahnya sehingga membawa kesejahteraan di muka bumi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen-
dosen yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada kami, dan juga kepada
kawan- kawan kami yang telah memberikan motivasi serta membantu
menyelesaikan penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


terdapat kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta bimbingan dari
semua pihak yang bersifat membangun demi  perbaikan di masa yang akan
datang. Di samping itu, penulis terus berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat, baik bagi mahasiswa Ekonomi Syariah khususnya dan pembaca pada
umumnya. Semoga Allah meridhai
Jombang, 27 Februari 2020
segala usaha dan cita-cita kita. Amin.

                  

Umi Rosyidah

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. Dialektika Pemikiran Keagamaan Awal Abad Ke-20..........................2


1. Penyebaran Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Nusantara. . .2
2. Identitas Keagamaan Komunitas Islam di Jawa.............................8
3. Dialektika Aliran Pesantren dan Gerakan Pembaruan Islam..........12
4. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Pembelaan dari Pesantren16

BAB III PENUTUP.........................................................................................19

A. Kesimpulan...........................................................................................19
B. Saran.....................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga
peasantren di semping sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai
disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh, dan kependidikan. Bahkan,
masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau sebagai tokoh
awal yang membuat mata rantai trasionalisme di Indonesia, gara-gara dia
meletakkan kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, sebuah organisasi
sosial keagamaan yang saat ini terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pemimpin dan ulama yang
berhaluan islam tradisional. Tradisionalisme di ambil dari kata
“tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana mengandung arti sebuah
paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal. Tradisional
meupakan derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi
bersifat elastic, dapat di artikan secara berbeda-beda dan penuh
perdebatan. slam tradisonal sebenarnya adalah islam murni, yaitu islam
yang berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di
terima dari generasi pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan
menjadi lain apabila yang di laksanakan atau yang di lestarikan itu
merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak
menoleransi kebenarannya. Oleh karena itu makalah ini akan membahas
mengenai pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari mengenai agama, awal mula
penyebaran agama islam di-Indonesia akhir abad 19 hingga awal abad 20.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dialektika pemikiran keagamaan awal abad ke-20?
C. Tujuan
1. Mengetahui dialektika pemikiran keagamaan awal abad ke-20?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dialek Pemikiran Keagamaan Awal Abad Ke-20
Menurut [ CITATION Ahm10 \l 14345 ] dalam bukunya yang berjudul pemikra
KH. M Hayim Asy’ari menjelaskan mengenai pemikiran keagamaan pada
awal abad ke-20, sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini:
1. Penyebaran paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Nusantara
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam dinamika keagamaan Nusantara
dan terutama di pulau jawa, merujuk pada praktek keagamaan muslim
yang memegang teguh pada salah satu madzab populer (maliki, hanafi,
syafi’i, hambali). Catatan penting lainnya bahwa Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah Juga menunjuk pada seseorang, kelompok, organisasi atau
gerakan yang begitu afirmatif terhadap budaya setempat (local culture)
dalam konteks nusantara dan terutama jawa, misalnya berbagai artikulasi
kebudayaan yang sebelumnya tumbuh dan berkembang tetap
dipertahankan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Bahkan tradisi
keagamaan yang datang dari luar dirinya, shi’ah misalnya, juga diadopsi
dan diafirmasi menjadi bagian dari artikulasi keagamaan dikalangan
komunitas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Mengacu pada deskripsi singkat tersebut, pada dasarnya penyebarab
paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diamati sejak masuknya islam
pertama kali di nusantara. Tradisi keagamaan bermadhab yang merupakan
tipikal komunitas sunni dibangun oleh para pendakwah islam dan
didukung para penguasa di peurlak, pasai, dan aceh. Ibnu batutah
misalnya, dalam testimoni mengenai kedatangannya di samudra pasai pada
tahun 1345 M, menuturkan bahwa, pengajaran fiqh madzab syafi’i ketika
dilakukan didekat istana dengan raja sendiri sebagai tenaga pengajarannya
[ CITATION zuh79 \l 14345 ].
Kerajaan pasai mengalami puncak kejayaannya ketika masa
pemerintahaanya Sultan Ahmad Bahuan Syah Malik Al-zahir (727-
750H/1326-1345M). mengenai orang ini Syamsudin mencatatnya sebagai,
“Sebagai orang muslim penganut paham Ahl al-sunnah wa al-jama’ah,

2
sangat patuh terhadap agamanya, gemar mengadakan musyawarah
dengan para ulama dan ahli fiqh istananya, tumpuan penyiar-penyiar
agama islam dan orang-orang yang berilmu, juga pemimpin perang yang
agung” [ CITATION Muh99 \l 14345 ].
Dinamika penyebaran paham ini juga dapat dilihat pada laporan A.
Hasjmi, bahwa masa awal penyebaran Islam di Indonesia, diwarnai
perebutan pengaruh dan kekuasaan antara para pendukung paham shi’ah
dan ahl al-sunnah. Kondisi ini berlangsung cukup lama, terutama di
kerajaan islam Peurlak sepanjang masa kekuasaan Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abbas (285-300 H/888-913 M) dan sultan Alaiddin Maulana Ali
Mughaiyat Syah (302-305 H/915-918M) [ CITATION AHa83 \l 14345 ].
Di pulau jawa, penyebaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dimulai
sejak munculnya jaringan walisongo, penerimaan terhadap kebudayaan
lokal atau penggunaan pendekatan budaya (cultural approads) menjadi
bagian terpenting dari strategi dakwah jaringan walisongo tersebut.
Jaringan walisongo lebih menggunakan pendekatan yang lebih berusaha
menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan
dengan pengikut agam dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan
agama dan tradisi agama masing-masing [ CITATION Rid05 \l 14345 ].
Salah satu anggota terlibat dalam jaringan walisongo, yaitu Sunan
Kalijaga dalam melakukan Islamisasi tanah Jawa dalam menggunakan
pendekatan budaya. Beliau menggunakan media seni pewayangan untuk
menentang feodalisme kerajaan majapahit. Melalui pewayangan, sunan
kalijaga berusaha menggunakan unsucr-unsur lokal sebagai media
dakwanya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk
fisik dari alat-alatnya. Para wali juga mengafirmasi tradisi-tradisi
keagamaan Hindu Jawa yang sebelumnya telah mapan, misalnya
selamatan bagi orang yang telah meninggal. Upacara kematian – pada hari
ke 3,7,40,100 dan 1000 dari kematiannya—diterima dan dimodifikasi
sehingga tetaap dalam kerangkan monoterisme islam. Termasuk di
dalamnya menyertakan bacaan tahlil, yaitu membaca kalimat tayyibah, la
ilah illa alllah, secara bersma-sama sebagai cara efektif untuk

3
menanamkan tawhid. Disamping penciptaan ritus-ritus keagamaan,
akulturasi islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan,
contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih
berbentuk pura dan candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan
istana “gapura” nama yang diambil dari bahasa arab ghafura yang berarti
pengapuran [ CITATION Rid05 \l 14345 ]. Simbol-simbol kebudayaan sebagai
sebagai bentuk akulturasi, yang dapat dikemukakan pada pesantren. Selain
kata sebutan “pesantren” yang berasal dari bahasa kawi (kawa kuno), juga
site plan (tata letak bangunan/ komplek pesantren) yang mencerminkan
perpaduan antara kosmologi jawa dan spirit ke-islaman.
Tradisi keagamaan bermadzab dengan segala ramifikasinya yang
merupakan tipikal komunikas sunni, telah mengakar lama dan begitu kuat
pada kaum muslim di Nusantara. Sampai kemudian pada abad 19
mengalami persinggungan dengan orientasi keagamaan baru yang
merupakan kelanjutan dari dinamika keagamaan di Tnnur Tengah. Effendi
mencatat dua orientasi keagamaan yang saling berhadapan pada akhir abad
ke-19 sampai awal abad ke-20 di Nusantara, yaitu mazhabiyah
madzhabiyah dan tradisionalism dan salafiyah ortodoxy [CITATION Eff08 \l
14345 ]. Yang pertama menunjuk pada ekspresi keagamaan Muslim
Nusantara sejak era awal penyebaran Islam, sedangkan yang kedua
menunjuk pada kelanjutan gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah
yang mengkoreksi orientasi ideologi yang sudah establish (mapan)
sebelumnya.
Namun, secara organisatoris Ahl al-Sunnah wa al-jamaah mengalami
pelembagaan di tengah-tengah Muslim Nusantara sejak kehadiran Kyai
Hasyim dan generasi Muslim pada zamannya Bersama kolega-koleganya, 
Kyai Hasyim berhasil mempelopori beedirinya organisasi Islam Nahdlatul
Ulama (NU) yang secara legal mengklaim berbasis pada Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah. Dalam anggaran dasar hasil Muklamarnya yang ketiga pada
tahun 1928 M, secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan
membentengi artikulasi fiqh empat madhhab di tanah air. Sebagaimana

4
tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam'iyat Nahdat al-Ulama'
(Anggaran Dasar NU), yaitu:
a. Memegang teguh pada salah satu-dari madhhab empat (yaitu
madhhabnya Imam Muhammad bin Idris al-shafi'i, imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu'man, dan Imam Ahmad bin Hanbal);
b. Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemashlahatan agama
Islam.

Dari Anggaran Dasar ini, tampak bahwa Ahl al-Sunnah wa al-


jamaah lebih merupakan perseorangan maupun organisasi yang
mengharuskan para pengikutnya menjalankan fiqh dengan memilih salah
satu madhhab. Secara implisit, keteguhan memegang salah satu madhhab
itulah yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah wa al-jamaah . Proposisi ini
didasarkan atas pernyataan yang juga terdapat dalam AD hasil Muktamar
III NU tersebut. Bahwa, salah satu bentuk keteguhan memilih salah satu
madhhab adalah, dengan jalan “memeriksa kilab-kitab sebelumnya
dipakai Untuk mengajar, supaya diketahui apakah itu daripada kitab-
kitabnya Ahl Sunnah wa al-jamaah atau kitab-kitabnya ahli bid'ah.
pertanyaan ini menunjukkan, kilab-kitab Ahl al-Sunmh wa al-jamaah
adalah karya-karya di bidang fiqh yang dibakukan oleh pendiri maupun
pengikut empat madhhab. Sebaliknya, kitab-kitab yang tidak berasal dan
keluarga empat madhhab tersebut harus ditolaknya, karena tidak Ahl al-
sunnah wa al-jamaah, tetapi sebaliknya, hasil kaarya ahli bid'ah.

keteguhan memegang salah satu dari empat madhhab sebenarnya


sudah terlihat dalam Muktamar I NU pada tanggal 21-23 September 1926
di Hotel Muslimin, Peneleh (Surabaya). Dalam Muktamar tersebut,
tampak sekali keinginan peserta Muktamar untuk menempatkan NU
sebagai penjaga dan pelestari tradisi fiqh empat madhhab di Nusantara.
Hal ini dibuktikan oleh konsentrasi peserta pada isu-isu aktual yang
mengemuka saat itu. Dari 21 isu aktual yang dibahas peserta, masalah
bennadhhab menjadi isu utama dan paling menonjol Muktamar
menegaskan keharusan bagi umat Islam untuk mengikuti salah satu dan'

5
madhhab empat dalam rangka menjalankan ajaran Islam Ahl al-Su'nnah
wa al-jamaah.

Tidak hanya itu, NU juga membentuk perkumpulan jam'iyyag yang


akan mencetak agen transmisi ajaran bermadhhab. jam'iyyah ini lebih
merupakan media pendadaran bagi santri untuk dididik menjadi guru dan
muballigh (pendakwah Islam). Anggota komunitas melakukan diskusi
reguler mengenai berbagai keilmuwan Islam. Diskusi lebih terfokus pada
penguatan kapasitas anggota dalam bidang teologi, fiqh, dan tasyawuf.
Yang menarik, seluruh proses mengacu dan merujuk pada sumber-sumber
yang mereka pandang otoritatif, seperti kitab Fath al-Qarib, Tafdir al-
jalalayn, Kifayat Al-Awam dan seterusnya. Keluaran yang hendak dicapai
dari Jam'iyah ini adalah, terbentuknya kader-kader militan yang siap
mengawal transmisi kehidupan bermadhhab dan serangan pembaru Islam.

Pada saat yang sama, NU juga bergerak lebih jauh dengan


pelestarian dan melindungi tradisi keagamaan Jawa yang sebelumnya telah
mapan dari ancaman kepunahan. Pelestarian terhadap tradisi itu, dipahami
sebagai bentuk artikulasi dari prinsip dasar toleransi (tasamuh) secara
religius yang melekat dalam diri Ahl al-Sunnah wa al-jamaah.

Toleransi religius misalnya, telah mengakomodir proses pertukaran


dan pembauran yang menciptakan keunikan warna Islam dalam
kehidupan masyarakat jawa. Saling pengertian religius ini telah
membawa suatu harmoni sebagai satu elemen penting dalam kehidupan
religius santri, yakni ajaran Subni yang telah dimodifikasi, yang tidak
menghambat tradisi dan adat setempat. Paling tidak, konsep harmoni ini
berhubungan dengan tiga elemen, Tuhan, individu dan linhkungannya
termasuk mereka yang berbeda agama. Filosofi ini diyakini mampu
mewujudkan "kehidupan bersama yang penuh kedamaian" dalam suatu
masyarakat yang beragam, dan tentunya sejalan dengan falsafah jawa
yang menekankan persatuan, stabilitas, dan harmoni. Sebagai tambahan,
pola yang fleksibel ini menyerap elemen-elemen lokal dan asing, namun
tetap mempertahankan prinsip-prinsip islam.

6
Pengejawantahan dari toleransi secara religius ini yang membuka
jalan bagi NU untuk selalu terbuka terhadap lokalitas, termasuk dalam
penerimaan terhadap tradisi keagamaan setempat. Fakta tak terbantakan,
bahwa NU menerima dan bahkan melestarikan berbagai ragam bentuk
slametan (kenduren), tahlilan, ziara kubur, manaqib Shaykh ‘Abd al-Qadir
al-jilarii, dan sebagainya. Dengan toleransinya itu, berbagai bentuk tradisi
keagamaan Jawa yang diyakini sangat dipengaruhi tradisi Hindu-Budha
berhasil disubordinasikan ke dalam bendera Ahl al-Sunnah wa al-jamaah.

Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa


penyebaran Ahl al-Sunnah wa al jamaah secara kelembagaan mulai
menemukan bentuknya setelah kelahiran organisasi NU yang dipimpin
oleh Kyai Hasyim. Pada fase yang paling awal sekalipun, secara tegas NU
mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang bukan hanya memegang
teguh salah satu dari madhhab empat. Lebih dari itu, NU juga mengawasi
dan mengawal proses transmisi tradisi bermadhhab agar tidak digerus oleh
gerakan pembaruan Islam di tanah air. Selain itu, NU hadir juga untuk
melindungi praktekpraktek tradisi Islam, --terutama jawa-- dari
kepunahan. Penting dicatat bahwa, beragam tradisi keagamaan Muslim
saat itu menghadapi serangan serius dari kelompok pembaru Islam. Selain
tidak memiliki rujukan paling otoritatif (al-Qur'an dan al-Sunnah),
beragam tradisi tersebut, dalam pandangan pendukung pembaruan Islam,
hanya mengandaikan perilaku keagamaan penuh bid'ah, khurafat, dan
tahayul.

Perlu ditambahkan juga bahwa, pesantren memiliki peranan penting


dalam penyebaran dan pelestarian paham Ahl al sunnah  wa al jamaah di
Nusantara Sebagai lembaga pendidikan dan usat pengembangan
masyarakat, pesantren memiliki mekanisme yang khas dalam transformasi
keagamaan. Sistem pengajaran pesantren menjamin transmisi keilmuan
Islam dari jalur sanad yang beisambung sampai kepada imam-imam
madhhab. Pengajaran di pesantren menggunakan kitab-kitab standar yang
telah terseleksi dan dipandang sebagai bagian dari tradisi intelektual Ahl
al-Sunnah wa al-jama’ah. Tradisi intelektual pesantren antara lain juga

7
mengembangkan penghormatan dan penghargaan yang tinggi pada ulama
sebagai mata rantai periwayatan ajaran-ajaran agama.

2. Identitas Keagamaan Komunitas Islam di Jawa


Perkembangan penyebaran Ahl al-Sunnah wa al jamaah di Nusantara
--terutama di pulau jawa, tidak dapat dilepaskan dari identitas keagamaan
Muslim tradisional. Karena pada dasarnya, penyebaran tersebut lebih
merupakan kelanjutan dari pelestarian religiusitas Islam yang telah begitu
lama establish di kalangan Muslim tradisional. Dalam kajian anthropologi,
Muslim tradisional tersebut lebih dikenal sebagai mereka yang memiliki
identitas Islam sinkretis, Islam lokalitas, Islam akulturatif, dan Islam
kolaboratif. Hal ini berarti, Muslim tradisional, terutama di Jawa memiliki
identitas cukup beragam.
Greertz yang kali pertama mempopulerkan istilah islam sinkretis
dalam kajian Islam di indonesia. Dalam pandangan Geertz, islam sinkretis
menunjuk pada komunitas Muslim abangan yang memiliki pola
keagamaan simkretis, "suatu integrasi yang berimbang antara unsur-unsur
animisme, Hindu dan Islam". Pola sinkretis dalam komunitas Muslim
tradisonal tampak dalam berbagai artikumulasi tradisi keagamaan yang
dianutnya, terutama dalam pelaksanaan slametan, kepercayaan terhadap
makhluk halus, maupun praktek-praktek pengobatan dan magis. Dalam
berbagai tradisi keagamaan tersebut, ”kelihatannya dari luar Islam, tetapi
ketika dilihat secara mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis”
[ CITATION Cli83 \l 14345 ]
Tesis Geertz mendapat dukungan dari Andrew Beatty yang
mengidentifikasi Islam tradisional sebagai Muslim sinkretis. Melalui
artikelnya yang berjudul Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the
javanewe slametan (1994), ia menggambarkan slametan mengandung
unsur sinkretisme ”Islam dengan berbagai keyakinan lokal lainnya. ”
Dalam pernyataan terpisah, Beatty memperkuat proposisi yang telah
diajukan sebelumnya.
Saya tidak dapat menemukan seorang pun yang menganggap
slametan ( berbeda dari sedekah) adalah ritus Islami... Meski

8
slametan mengandung unsur-unsur Islam, kebanyakan orang
menganggap slametan sangat berciri jawa dan pra Islam atau
bahkan diilhami oleh Hindu. konsep-konsep Islam disesuaika. dan
dalam hal tertentu diberi pengertian yang sepenuhnya berbeda daru
yang dikenal oleh muslim, atau juga dikosongkam dari muatan
islam tertentu dengam mengubah pengertiannya menjadi simbol-
simbol universal.
Di lain pihak, Mulder lebih mengidentifikasi Muslim tradisional
sebagai Islam lokalitas. Namun, Islam lokalitas pada dasarnya memiliki
persamaan dan mendukung tesis Islam sinkretis. Bagi Mulder, lokalitas
menghadirkan adanya unsur yang selalu menyesuaikan, Biasanya, yang
hadir belakangan lah yang menyesuaikan. Islam adalah agama yang hadir
belakangan, dan sebab itu, akan mengadaptasikan diri dengan unsur lokal
yang sesuai. Dengan demikian, inti sesungguhnya adalah unsur lokalitas
dan bukan Islam. Oleh karena itu, meskipun dari luar yang tampak adalah
Islam, namun hakekatnya adalah agama lokal Jawa
Berbeda dengan Islam sinkretis dan Islam lokalitas, teori Islam
akulturatif lebih melihat perpaduan antara Islam dan kebudayaan lokal
secara kompatibel. Salah satu antropolog yang melansir istilah Islam
akulturatif adalah Max Woodward. Dalam pandangannya, interaksi budaya
Islam dan kebudayaan lokal ---termasuk tradisi keagamaa n lebih bersifat
akulturatif berdasarkan prosesnya masingmasing. Dengan demikian,
perpaduan antara Islam dan lokalitas "bukanlah sesuatu yang antonim
tetapi kompatibel”. Hal yang samajuga ditegaskan oleh Muhaimin AG
berdasarkan hasil risetnya di Cirebon (Jawa Barat). Hasil risetnya
melaporkan, Islam di Jawa (Cirebon) lebih mencerminkan Islam lokal,
pola ke-Islam-an yang dalam kesehariannya bercorak akulturatif dengan
kebudayaan lokal. Ketika Islam bersentuhan dengan kebudayaan lokal
tersebut, Intinya adalah islam.
sebaliknya, Nur Syam memberikan identitas muslim tradisional
sebagai islam kolaboratif. Menummya, baik Islam sinkretis, lokalitas yang

9
juga  bagian dari sinkretis, dan Islam akulturatif memiliki kelemahan
mendasar,jika digunakan untuk menunjuk identitas Muslim tradisional.
Konsep sinkretime jelas mengandung kelemahan, sebab
mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan
budaya lokal. Baik kajian yang dilakukan Greetz, Beatty, Mulder,
Budiwanti, Radam, dan Hutomo memberikan legitimasi bahwa
Islam hanyalah nominal saja, aspek luar, sebab inti dari semuanya
adalah budaya lokal. Islam tidak mampu menyentuh kedalaman
budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika harus
berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada di luar.
Kajian tentang Islam dalam kansep akulturasi yang compatible juga
menyasikan persoalan pada aras macam apa dan bagaimana Islam
dipahami dan sekaligus dikonstruksi seperti itu. jika Islam
mengalami proses saling menerima dan memberi dalam konteks
ajaran dan praktek ritual, maka semestinya terdapat gambaran
bagaimna proses kontruksi Islam sebagaimana keadaannya
sekarang. dialektika itu yang tidak diperoleh dalam berbagai kajian
tentang Islam akulturarif [ CITATION Nur05 \l 14345 ].
Sebaliknya, Islam kolaboratif mengandaikan relasi Islam dan
kebudayaan lokal secara akulturatif-sinkretik. Corak kolaboratif dihasilkan
atau dikonstruksi oleh para elit agama secara bersama-sama dengan
masyarakat melalui proses dialektika yang terjadi secara terus-menerus.
Catatan penting yang mesti ditegaskan adalah islam kolaboratif lebih
bercirikan pada "bangunan islam yang khas, mengadopsi unsur lokal yang
tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui
proses transformasi terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan
atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal.
Identifikasi Islam tradisional dengan beragam identitas Islam
tersebut, di kalangan anthropolog, pada dasarnya menguatkan tesis yang
berlaku umum dari Greetz, bahwa, Islam tradisional adalah mereka yang
memiliki identitas Muslim abangan. Tentu saja, identitas abangan untuk
menunjuk keperbedaannya secara kontras dengan Muslim santri.

10
Dalam pandangan Geertz, Muslim abangan menunjuk pada ”satu
titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme jawa yang melingkupi
semuanya, dan secara luas dihubungan dengan petani”. Sebaliknya,
Muslim santri lebih mengandaikan ”Islam yang lebih murni” dan
menunjuk pada komunitas Muslim ”yang tidak saja terdiri dari
pelaksanaan yang cermat dan teratur atas pokok peribadatan Islam
---sembahyang, puasa, haji--- tetapi juga suatu keseluruhan yang kompleks
dari organisasi sosial, kedermawanan dan politik Islam”.
Tampak sekali dalam tesis Geertz lebih memberi pemihakan
terhadap Muslim santri yang selanjutnya diidentifikasi sebagai Islam
modernis. Tesis yang lebih berpihak ini menyebabkan munculnya
gelombang kritik dari pakar studi Islam lainnya. Hodgson, misalnya,
dalam The Venture of Islam: Conscience cmd Histmy in a World
Civilization, Vol. III, mengklaim Geertz telah “membuat satu kesalahan
sistemik” atas tesisnya tentang dikotomi santri dan abangan tersebut.
Namun, nilainya yang tinggi pada umumnya dikaburkan oleh suatu
kesalahan pokok yanh sistematik. Karena dipengaruhi oleh, polemik
dikalangan umat islam tertentu dari madhzab modern syariah, greetz
mengidemtifikasikan islam hanyalah dengan apa apa yang kebetulan
disetujui oleh madhzab kaum modernis ini. Sedangkan sebaliknya
dihubungkan dengan suatu latar belakang kepercayaannya asli atau hindu-
budhistik. Tanpa alasan ini mengecap banyak dari kehidupan keagamaan
umat islam dijawa sebagai "bercorak hindu". Ia mengidentifikasikan
sebuah seri fenomena yang panjang, yang sebenarnya bercorak universal
bagi islam dan bahkan kadang kala dijumpai dalam al-quran sendiri,
sebagai suatu yang tidak islami. Oleh karena itu interpretasinya tentang
masa lampau islam dan juga tentang reaksi-reaksi anti-islam baru baru ini
sepenuhnya menyesatkan.
Lepas dari kekurangan Geertz, ia telah memberi jalan bagi para
pengkaji Islam di Nusantara, terutama di pulau Jawa. Geertz berhasil
memberi gambaran secara komprehensif tentang kehidupan keagamaan
masyarakat Muslim di Jawa. jika Islam abangan tidak seutuhnya

11
merepresentasikan identitas Islam, atau sebaliknya, namun terdapat
kesamaan yang hadir di antara keduanya. Pelestalian terhadap slametan
dan tahlilan dengan berbagai manifestasinya, misalnya, ternyata tidak
hanya menjadi properti keagamaan Muslim abangan. Di pesantren yang
selama ini disebut-sebut sebagai basis Islam tradisional, bukan hanya
dilestarikan tetapi juga sangat dianjurkan.
Perlu ditambahkan, bahwa pesantren dengan demikian merupakan
sub kultur masyarakat muslim dijawa. Pesantren dalam hal ini merupakan
lembaga kehidupan yang dalam beberapa hal "menyimpang" dark pola
kehidupan umum seperti diuraikan di atas ; mengandung keberlangsungan
proses pembentukan tata nilai yang tersendiri, lengkap dengan simbol-
simbolnya, dan ; berkembangnya suatu proses pengaruh-mempengaruhi
dengan masyarakat di luarnya, sebagai subkultur, pesantren memiliki
keunikan-keunikan tersendiri mengenai perspektif keagamaan dan
termasuk tradisi-tradisi keagamaan yang dikembangkannya. Oleh karena
itu, hasil kajian anthropologis seputar keagamaan masyarakat jawa tidak
bisa mencerminkan secara utuh identitas keagamaan entitas pesantren.

3. Dialektika Aliran Pesantren dan Gerakan pembaruan Islam


Pola keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren ditandai dengan
tradisi bermadhhab, atau yang dalam istilah Djohan Effendi disebut
Maghabiyah Traditionilism; Secara teologis mengikuti pandangan-
pandangan Asy‘ariyah; sangat kental dengan tradisi sufisme dan tarekat
serta eklektik terhadap tradisi lokal. Elemen penting dalam pengembangan
Islam oleh jaringan ulama pesantren adalah Masjid dan langgar, pesantren
(di Jawa) atau institusi semacamnya seperti surau (di Minangkabau) dan
dayah (di Aceh), serta ulama (kyai, ajengan, syaikh, tengku, tuanku, tuan
guru atau gurutta) sebagai patronnya. Pola keagamaan seperti tersebut di
atas bisa disebut aliran pesantren.
Pola keagamaan Islam yang begitu lama telah mapan di belantara
Nusantara ini, mulai terusik oleh kehadiran gerakan keagamaan baru yang
mengusung tema perbaruan islam. gerakan pembaruan islam adalah

12
gerakan yang berusaha membangkitkan dunia islam, mengadakan
pembaruan keagamaan dan reformasi moral. kecenderungan ini bersumber
dari para tokoh pembaruan abad-19 dan awal abad-20 dan merupakan
kelanjutan dari semangat pembaru sebelumnya, diantaranya wahabiyah.
Istilah wahabiyah (Wahadbism) menunjuk pada gerakan atau
ideologi yang terinspirasi dari pemikiran Shaykh Muhammad ibn 'Abd al-
Wahhab (w. 1207 H/1792 M).227 Namun, di kalangan internal atau
pengikut Shaykh Wahhab cenderung menolak penggunaan istilah
wahhabism. Sebaliknya, mereka mengidentifikasi dirinya sebagai
penganut monoteis murni (muwahidun atau ahl al tauhid), dan paling
otoritatif mengklaim sebagai salafi(salafism), pengikut setia ajaran
Muhammad (mohanmadis) dan menyebut gerakan mereka sebagai thariq a
muhammadiyah. identitas-identis yang laoin disebut terakhir ini
berhubungan dengan semangat gerakan ini untuk mengembalikan umat
Islam pada generasi awal (salaf al shalih), yakni generasi nabi dan para
sahabatnya dengan memurnikan ajaran islam dari bid'ah dan khurafat.
Kaum Wahhabi menentang pemujaan terhadap orang-orang yang
dihormati, dan tindakan-tindakan mistik yang dilakukan oleh aliran sufi.
Mereka pada intinya ingin memaksakan kembalinya keimanan yang murni
kepada Tuhan. Gerakan ini diteruskan oleh gerakan-gerakan Islam di
Timur Tengah, India dan Afrika Utara dan mengalami puncaknya dengan
perumusan Modernisme Islam dan Reformisme Islam oleh Muhammad
Jamal al-Din al-Afghani (Iran-Turki, w. 1315 H/ 1897 M), Muhammad
'Abdul (Mesir, w. 1323 H/1905 M), dan Rashid Rida (Shuriah, w. 1354 H/
1935 M) pada akhir abad sembilan belas dan awal abad ke dua puluh.
Perbedaan karakter pembaruan pada generasi Muhammad bin 'Abd al-
Wahhab dengan ketiga tokoh tersebut terutama terletak pada
pemenwhannya dengan ke-modern-an. Sehingga para pendukung
pemikiran mereka ini juga sering disebut Modernis. Penting untuk dicatat
bahwa, ide-ide ketiga tokoh tersebut menjadi referensi utama kalangan
Islam Modernis di Indonesia dalam merumuskan dan sikap-sikap

13
keagamaannya. Dengan kata lain, islam Modernis merupakan kelanjutan
emanatif dari Wahhabiyah.
Sebagai bagian yang sangat terkait dengan Timur Tengah, terutama
Makkah, Islam sayap pesantren tak urung juga bersinggungan dengan
gerakan tersebut. Sayangnya, persinggungan di antara keduanya tidak
menghadirkan suasana dialog, relasi timbal balik saling menguntungkan,
atau terjadi akulturasi antar keduanya. Yang justru mengemuka adalah,
ketegangan cukup kuat dengan melibatkan Islam aliran pesantren --atau
yang dapat diidentiiikasi Sebagai Sunnism dengan Islam modernis --yang
dalam beberapa hal tertentu mengusung ide-ide Wahhabisme.
Persinggungan antara Islam sayap pesantren -atau yang dapat
diidentifikasi sebagai pendukung Sunnism dengan Islam modernis -yang
mengusung ide-ide Wahhabismedi Indonesia sebenarnya sudah
berlangsung sejak akhir abad ke-19. Persinggungan ini mengalami
peningkatan intensitas setelah memasuki awal abad ke-20.
Rickler mencatat bahwa komunitas Muslim Arab (Hadramaut) dan
India yang tinggal di Singapura, memainkan peranan penting dalam
penyebaran gagasan pemurnian dan pembaruan Islam ke lndonesia.
Mereka ini adalah para pedagang yang memiliki mobilitas tinggi dan
berinteraksi secara langsung dengan komunitas Muslim melayu melalui
perdagangan. Pada akhir abad ke-19, mereka mendirikan percetakan-
percetakan litograf yang mengakibatkan membanjirnya buku-buku
keagamaan dan surat-surat kabar yang mencerminkan gagasan pembaruan
Islam.
Selain itu, orang-orang Minangkabau juga memainkan peranan
penting dalam gerakan pemurnian dan pembaruan Islam era awal itu. Di
antaranya adalah Shaykh Tahir bin jalaluddin al-Azhari (w. 1377 H/1957
M), terlibat aktif dalam penyebaran gagasangasasan pemurnian dan
pembaruan Islam melalui surat kabar al-Imam yang terbit di Singapura.
Selain itu, dikenal pula Shaykh Muhammad Djamil Djambek (w. 1367 H/-
1947 M) yang pulang dari Makkah ke Minangkabau pada tahun 1903 M
dan Haji Rasul (Haji Karim Amrullah, w. 1365 H/ 1945 M) pada tahun

14
1906 M. Ketiga putera Minang ini adalah murid Syaykh KhaGb al-
Minankabawi Mereka secara terbuka mencela tarekat dan praktek-praktek
beragama Muslim melayu.
Gerakan pembaruan Islam juga menyebar ke jawa. jamiyyat Khayr
(1905 M) yang merupakan komunitas Arab di Batavia, tercatat sebagai
organisasi umat Islam yang mengambil prakarsa pertama dalam
penyebarannya. Kemudian berturut-turut Persyerikatan Ulama (1911 M) di
jawa Barat, Muhammadiyah (1912 M) di Yogyakarta, dan At-Irsyad atau
Jam'iyyat al-Islah wa al-Irsyad (1915 M) dan Persis (Persatuan Islam,1923
M) di Bandung.
a. Konteks Global: Ekspansi Wahhabisme
Sejak runtuhnya rezim Turki Uthmani pada tahun 1922 M terjadi
perubahan luar biasa di Turki saat itu. Tidak ada lagi simbol
kedaulatan Islam yang dipresentasikan oleh Khalifah islamiyyah Turki
Uthmani. Melalui gerakan gemilang Majelis Nasional AgUng dan
Mustafa Kamal, Turki Uthmani dihapuskan dan dirubah menjadu
Negara sekuler pertama di dunia Islam, sebagai Negara Republik yang
dideklarasikan (diproklamirkan) pada tahun 1923 M.
Runtuhnya simbol kedaulatan Islam di Turki tentu saja sangat
memukul dunia Islam internasional. Bagaimanapun, sebagian
penguasa di Negara-negara Muslim masih menghendaki adanya
Khalifah Islamiyah yang bersifat transnasional. Atas dasar itu,
penguasa-penguasa di Timur Tengah mulai mengkonsilidasikan diri
dalam rangka pembentukan Khalifah Islamiyah berskala global,
terutama mereka yang berasal dari Negara-negara Timur Tengah. Pada
saat itu, terdapat tiga pihak yang memiliki ambisi meneruskan tradisi
Khalifah Islamihag, yaitu Sharif Husayn (Hijaz), Ibn Saud (Najed) dan
Raja Fu'ad (Mesir).
Ibn Sa’ud merupakan penyongkong utama dalam pergerakan
wahhabi (wahabisme). Raja fuad melakukan gerakan untuk
mendapatkan pergerakan daulah khalifah islamiyah. Beliau
mengkonsolidasi kekuatannya untuk mengadakan muktamar dunia

15
islam dengan membahas isu khalifah, pelaksanaan muktamar tersebut
pada bulan maret 1925 di Kairo (Mesir).
b. Konteks Lokal: Respons terhadap Modernisme
Pada tahun 1926, secara serius Ibn Sa’ud ingin menggantikan
Muktamar dunia Islam pada bulan Juni. Rencana tersebut sudah
tersusun sejak jatuhnya kekuasaan Sharif Ali. Para pemimpin Islam di
Tanah Air, awalnya terpecah menjadi dua kelompok dalam menangapi
undangan dari dua kongres berbeda tersebut.
4. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Pembelaan dari Pesantren
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa muculnya Hijaz
merupakan titik awal lahirnya Nahdlatul Ulama’ sangat bergantung pada
figur dan tokoh Kyai Hasyim. Sedangkan Wahab Hasbullah merupakan
motor penggerak utama sekaligus ulama yang berpengaruh saat itu.
Legalitas keagamaan Kyai Hasyim menjadi sangat dibutuhkan guna
mendapatkan dukungan tokoh-tokoh penting dari kalangan pesantren
terhadap keberadaan komite Hijaz.
Kyai Hasyim merupakan tokoh senior yang dikenal memiliki
kapasitas intelektual dibidang keislaman, melalui karya-karya beliau
merintis perkembangan sebuah mazhab pemikiran yang kemudian
diintrodusir sebagai referensi komunitas islam yang berkar pada tradisi
pesantren. Pemikiran Kyai Hasyim merupakan bagian dari tradisi
pemikiran ulama pesantren yang sarat komitmen, penuh militansi dan
menyertakan involnent terta dikembangkan berdasarkan nilai etis yang
berlaku. Semuanya terdapat dalam tataran ibadah dan mujahadah,
sehingga pemikiran yang dikembangkan selalu menampakkan integritasi
antara capaian spiritual dan cita-cita sosial. Melalui perspektif tersebut,
pemikiran Kyai Hasyim dapat dikenali karena pemikiran beliau lebih
bernuansa esoteris.
Karya tulisan beliau merupakann karya ilmiah yang dapat dianggap
mewakili tradisi keilmuan pesantren. Bangunan tradisi keilmuan
merupakan hasil dari suatu proses yang dinamis dan khas, melibatkan
jaringan yang kompleks dan demikian luas akan rentang waktu yang

16
cukup panjang. Dialektika antara paradikma islam dan hindunisme,
budhanisme dan jawanisme di Nusantara telah mendorong pemikiran
islam. Proses tersebut yang secara tipikal membedakan antara tradisi
pemikiran islam di Indonesia dan pemikiran islam di dunia arab pada
umumnya. Kyai Hasyim dalam hal ini memiliki kecenderungan mewakili
corak ulama pesantren yang adaptif terhadap tradisi lokal. Konsep islam
lokal yang tergambar dalam kontribusi pemikiran Kyai Hasyim juga
menjadi pembeda antara pandangan keagamaannya yang
mempresentasikam aliran pesantren dengan aliran pembaru. Perbedaan
yang dimaksud terletak pada metode penggalian hukum (istinbat al-
ahkam) menyikapi dinamika perubahan sosial dan realitas keberagaman
masyarakat muslim di Jawa. Dalam hal ini, Kyai Hasyim meletakkan
unsur lokalitas yang bersifat historis sebagai entitas penting memperoleh
pemahaman wahyu. Persentuhan Islam dengan historisitas secara faktual
telah menghasilkan kodifikasi hukum Islam sebagai khazanah yang
merupakan bagian dan Islam itu sendiri. Sementara kalangan pembaru
mengkn'tiknya sebagai bagian dari bid‘ah yang tidak didapati contohnya
pada zaman Nabi dan para sahabatnya, generasi yang mereka sebut salaf
al-salih. Akan tetapi, Kyai Hasyim tidak berhenti pada posisi pembelaan
terhadap realitas keberagamaan masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia berdiri
pada posisi pembaru dengan membawa karakter intelektualnya sebagai
Ahli Hadith, sangat kritis terhadap realitas keberagamaan dengan
melakukan otokritik.
Dengan mempertimbangkan posisi yang demikian itu, dapat
dikatakan bahwa pandangan Kyai Hasyim, mendorong terjadinya dialog
antara kelompok pesantren melalui mekanisme bertahan (deffensive
mechanism) terhadap isu-isu pembaruan dan pada saat yang sama
melakukan otokritik terhadap kalangan dengan mengkoreksi
praktekpraktek beragama masyarakat. posisi pemikiran Kyai Hasyim yang
demikian ini relatif dapat menengahi ketegangan ideologis antara sayap
pesantren dan kelompok pembaru. Posisi seperti ini mencerminkan pola
umum Sunnisme, yakni al-Tawasut dan al-Iqtisad (moderat dan

17
mengambiljalan tengah) seperti dilakukan oleh Abu Hasan ahl al-Ashari
yang berhasil mengambil jalan tengah antara ekstremitas ahl al-Hadiyh
dan Ahl al-Ra'y, atau al-Ghazali yang mengambil jalan tengah antara
ekstremitas tasauf falsafi dan Batiniyah.
Karakter pemikiran Kyai Hasyim yang demikian itu, tidak lepas dari
konteks historis pada saat dan dimana pemikirannya itu dirumuskan.
Situasi Jawa dengan Timur Tengah secara sosiokultural sangat berbeda.
Masyarakat jawa secara umum masih berada pada keragaman tingkat
pemahaman dan ketaatan kepada Islam, disamping juga masih banyak
kelompok non-muslim. Oleh karena itu, penekanan puritanisme gerakan
pembaruan -termasuk Wahhabisme juga tidak se-ekstrem gerakan serupa
di Timur Tengah. Demikian halnya pendekatan Ahl al-Sunnah wa al-
jama'ah yang dilakukan Kyai Hasyim, berbeda pula dengan yang
dilakukan oleh para ulama Sunni Timur Tengah dalam merespons isu-isu
pembaruan Islam dan puritanisme Wahhabiyah.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. a. penyebaran Ahl al-Sunnah wa al jamaah secara kelembagaan mulai
menemukan bentuknya setelah kelahiran organisasi NU yang dipimpin
oleh Kyai Hasyim. Pada fase yang paling awal sekalipun, secara tegas
NU mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang bukan hanya
memegang teguh salah satu dari madhhab empat. Lebih dari itu, NU
juga mengawasi dan mengawal proses transmisi tradisi bermadhhab
agar tidak digerus oleh gerakan pembaruan Islam di tanah air.
b. bahwa pesantren merupakan sub kultur masyarakat muslim dijawa.
Pesantren dalam hal ini merupakan lembaga kehidupan yang dalam
beberapa hal "menyimpang" dark pola kehidupan umum seperti
diuraikan di atas ; mengandung keberlangsungan proses pembentukan
tata nilai yang tersendiri, lengkap dengan simbol-simbolnya, dan
berkembangnya
c. Pola keagamaan Islam yang begitu lama telah mapan di belantara
Nusantara ini, mulai terusik oleh kehadiran gerakan keagamaan baru
yang mengusung tema perbaruan islam. gerakan pembaruan islam
adalah gerakan yang berusaha membangkitkan dunia islam,
mengadakan pembaruan keagamaan dan reformasi moral.
kecenderungan ini bersumber dari para tokoh pembaruan abad-19 dan
awal abad-20 dan merupakan kelanjutan dari semangat pembaru
sebelumnya, diantaranya wahabiyah.
d. Kyai Hasyim memiliki kecenderungan mewakili corak ulama
pesantren yang adaptif terhadap tradisi lokal. Konsep islam lokal yang
tergambar dalam kontribusi pemikiran Kyai Hasyim juga menjadi
pembeda antara pandangan keagamaannya yang mempresentasikam
aliran pesantren dengan aliran pembaru.
B. Saran
Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat
sederhana dan jauh dari kesempurnaan, Saran dan kritik yang konstruktif

19
sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah sehingga akan lebih
bermanfaat dalam kontribusinya bagi keilmuan

20
DAFTAR PUSTAKA

Djohan, E. 2008. A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a


New Discouse in Indonesia Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman
Wahid Era. Yogyakarta: Interfidei.
Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hasjmi, A. 1983. Shi'ah dan Ahlussunah, Saling Sebut Pengaruh dan kekuasaan
Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.
Ridwan. 2005. Dialek Islan dengan Budaya Jawa. Jurnal Ibda', 3, 5.
Samsyu, M. 1999. Ulama pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarna. Jakarta:
Lentera.
Syam, N. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Zuhri, A. M. 2010. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Surabaya: Khalista.
zuhri, s. 1979. sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di Indonesia.
Bandung: Al-Ma'arif.

Anda mungkin juga menyukai