Anda di halaman 1dari 16

MASALAH-MASALAH KONTEMPORER DALAM PIDANA

ISLAM : KORUPSI, PEMERKOSAAN, TRAFFICKING, DLL

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Jinayah

Dosen Pengampu:
Dr. Afidah Wahyuni M.Ag.

Disusun Oleh:

Wahyu Dwi Kanang 11210430000127


Muhammad Fachrurozy 11210430000015
Restu Utama Ramadhan 11210430000018
Aslamiyah 11210430000047

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H/2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam konteks negara modern, beberapa permasalahan yang menyangkut
ketertiban di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai banyak bermunculan.
Diantara permasalahan tersebut adalah seperti korupsi, pemerkosaan dan traficking.
Kesemuaan fenomena tersebut sejatinya mengindikasikan bahwa perkembangan umat
manusia selalu dihadapkan pada banyaknya permasalahan baru yang harus sama-sama
diselesaikan dan diakhiri dengan penegakan hukum yang berkeadilan dan
berkepastian.
Tidak diselesaikannya kesemuaan permasalahan tersebut secara adil, akan
berakibat pada terjadinya disorientasi tujuan daripada hukum. Oleh karena itu, kiranya
baik penegak hukum (law structur) maupun element masyarakat lainnya harus
mengetahui dan mengimplementasikan setiap peraturan yang ditentukan oleh negara
(peraturan perundang-undangan).
Seperti dalam permasalahan korupsi misalnya, jika dilihat dalam perspektif
hukum pidana islam, kiranya korupsi ini merupakan suatu tindak pidana (jarimah)
yang relatif baru. Meskipun, pada praktiknya tindak pidana ini sudah dilakukan sejak
lama. Sebagai contoh, setidaknya telah terjadi empat kali kasus korupsi pada zaman
Nabi SAW, yaitu pertama, kasus ghulul atau penggelapan yang dituduhkan oleh
sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi SAW. Kedua, kasus budak bernama
Mid’am atau Kirkirah yang menggelapkan mantel. Ketiga, kasus seseorang yang
menggelapkan perhiasan seharga 2 dirham. Keempat, kasus hadiah (gratifikasi) bagi
petugas pemungut zakat di kampung Bani Sulaim, bernama Ibn al-Lutbiyyah. Namun
demikian, pada masa itu semua perilaku tersebut belum diistilahkan sebagai tindak
pidana korupsi.
Begitu juga pada kasus pemerkosaan, perilaku ini jika dilihat berdasarkan
kacamata hukum pidana Islam masuk dalam kategori masalah kontemporer. Sebab,
pada zaman dahulu tindak pidana ini belum masif terjadi, berbeda halnya dengan
kondisi sekarang yang banyak terjadi pemerkosaan diberbagai tempat. Oleh

1
karenanya, tindak pidana ini perlu untuk dikaji lebih dalam berdasarkan perspektif
hukum pidana Islam.
Bertitik tolak dari kedua tindak pidana di atas (korupsi dan pemerkosaan), hal
yang selanjutnya menarik untuk disoroti adalah tindak pidana trafficking
(perdagangan orang). Salah seorang ahli seperti Hendardi mendefinisikan bahwa
trafficking adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, yang bertujuan
untuk eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi1.
Berdasarkan narasi di atas, makalah ini secara konstruktif mencoba untuk
menjelaskan lebih dalam mengenai masalah-masalah kontemporer dalam pidana Islam
yang akan difokuskan pada 3 (tiga) aspek pembahasan, yaitu korupsi, pemerkosaan,
dan trafficking. Oleh karenanya, pada bagian awal makalah penulis akan menguraikan
tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana Islam. Selanjutnya, pembahasan
akan dilanjutkan pada penjelasan tindak pidana pemerkosaan dan trafficking. Dan
bagian akhir makalah ini, akan memberikan simpulan. Maka, judul makalah yang akan
dibawakan oleh penulis adalah Masalah-Masalah Kontemporer Dalam Pidana
Islam: Korupsi, Pemerkosaan, Trafficiking, dan Terorisme.

2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana penjelasan terhadap tindak pidana korupsi, pemerkosaan,
trafficking, terorisme dalam perspektif hukum pidana Islam?
3. Tujuan Penulisan
1. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa/i terkait dengan tindak pidana
korupsi, pemerkosaan, trafficking, dan terorisme.

1
S. Edi Hardum, Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI, 20017, hal 23

2
2. Mengetahui dasar teoritis dan konseptual mengenai perkembangan tindak
pidana korupsi, pemerkosaan, trafficking, dan terorisme dalam perspektif
hukum pidana Islam.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Teori Korupsi


Secara Bahasa korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus2.
Dari bahasa latin itulah yang kemudian turun ke bahasa Eropa seperti Inggris
Corruption, Prancis La Corruption, dan Belanda Corruptie. Dapat dikatakan bahwa
dari bahasa-bahasa tersebut turun ke bahasa Indonesia, yang dapat disebut dengan “
Korupsi “3. Adapun dalam kamus umum bahasa Indonesia menurut Pius A. Partanto
dan M. Dahlan Al Bahrry, bahwa korupsi dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan
yang buruk seperti kecurangan, penyelewengan, penyalahgunaan, jabatan untuk
kepentingan diri dan mudah disuap4. Dengan demikian, dapat diartikan secara luas
bahwa korupsi adalah suatu tindakan pegawai-pegawai publik yang menggunakan
jabatannya5 untuk keuntungan peribadi6.
Lebih lanjut, definisi korupsi secara yuridis telah di tetapkan dalam undang-
undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi , yang mengatakan bahwa
korupsi secara terminologis adalah tindakan melawan hukum atau melakukan suatu
perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara7.
Lebih lanjut, definisi Korupsi dalam Hukum Islam Dalam khazanah hukum
Islam, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika
para fuqaha’ berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak

2
Kata tersebut mengandung makna yang artinya kebusukan, tidak jujur, dapat disuap, tidak
bermoral, dan penyimpangan kesucian yang berasal dari pegawai-pegawai publik, sebagaimana dapat
dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary, lihat Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan
Pemecahannya (Jakarta: Gramedia, 1986)
3
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia…, hal 7. Lihat juga, Djoko Prakoso, et. al., Upetisme:
Ditinjau dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1971 (Jakarta: Bina
Aksara, 1986), hal 2.
4
I.P.M Ranuhandoko, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 177
5
Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk
bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa dalam bentuk lembaga swasta atau lembaga
pemerintah.
6
Robert Klitgaard, et. al., Corrupt Cities. A Practical Guide to Cure and Prevention, terj.,
Oleh Masri Maris dengan “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hal 2.
7
Untuk lebih lanjut lihat Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4
benar (akl amwal al-nas bi al-batil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’an, tetapi
apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi, maka dapat berarti merusak (dalam
bentuk kecurangan) atau menyuap.
Oleh karena itu, dari definisi-definisi korupsi yang dikemukakan di atas,
terdapat dua unsur pokok di dalamnya, yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang
melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara, dan
pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para
pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.
Pada akhirnya, sebagai upaya optimalisasi dalam penegakan hukum
pemberantasan korupsi di Indonesia, terminologi tindak pidana korupsi, bukan hanya
(an sich) dilihat dalam perspektif kenegaraan, melainkan juga terdapat perspektif
keagamaan untuk melihat dan menilai perilaku koruptor.
Lebih lanjut, Korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat
diklasifikasikan kepada kategori khiyanah atau ghulul (pengkhianatan), al-ghasy
(penipuan), risywah (suap), dan Al-hirabah (perampasan).
a) Khiyanah/ghulul (pengkhianatan)
Khiyanah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi jahat
(syar). Menurut Al-Raghib Al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khiyanah adalah
sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya.
Ungkapan khiyānah juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil
hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya,
khususnya dalam masalah mu‘amalah8. Jarimah khiyanah terhadap amanah adalah
berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis maupun harganya sedikit maupun
banyak9.

8
dalam suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup hidup
sesama umat manusia, tentunya akan terdapat suatu peraturan yang dilanggar, seperti hal nya dalam
suatu perjanjian antara umat muslim dan yang lainnya. Lihat, Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), hal 913.
9
Ahmad Abu al-Rus, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khiyanat al-Amānah wa al Syayk
Bi Duni Rasid (Iskandariyah: al-Maktabah al-Jami‘i al-Hadīth, 1997), hal 580.

5
Lebih lanjut, korupsi dalam bentuk khiyānah dapat dibagi dalam beberapa
macam, yaitu Pertama, pengkhianatan terhadap rahasia negara10. Kedua,
penghianatan terhadap harta (ghulul)11.
b) Al-ghasy (penipuan)
Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya, karena nas
belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara kongkrit, baik dalam al-Qur’an
maupun dalam hadis. Oleh karena itu penentuan sanksi hukumannya kembali kepada
jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam memutuskan hukum terhadap
pelakunya. Istilah al-ghasy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan
mencampur dengan barang-barang baik dengan yang jelek12.
c) Al-risywah (suap)
Menurut terminologi fikih, suap adalah segala sesuatu yang diberikan oleh
seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu
perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti kemauannya13. Al Sayyid Abu
Bakr pun mendefinisikan risywah dengan “memberikan sesuatu agar hukum
diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau untuk mencegah putusan yang
benar/adil.”14.
d) Al-hirabah (Perampasan)
‘Abd al-Qadir ‘Awdah mendefinisikan hirabah sebagai perampokan atau
pencurian besar15. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sirqah) memang tidak

10
Islam sangat menjaga darah kaum muslimin, Imam al-Syāfi‘ī pernah ditanyakan tentang
seorang muslim yang membeberkan rahasia kaum muslimin kepada kaum musyrikin melalui sepucuk
surat. Al-Syāfi‘ī menjawab, “Tidak halal darah seorang muslim yang telah diharamkan darahnya
dengan keislaman, kecuali jika ia membunuh atau berzina setelah menikah. Atau ia jelas-jelas menjadi
kufur setelah beriman, lalu tetap dalam kekufuran, lihat Al-Syafi‘i, al-Um, Jil. 4 (Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, t. th.), hal 356. Lihat juga, H. M. Daud Zamzami, et. al., Pemikiran Ulama Dayah Aceh, Cet.
I (Jakarta: Prenada, 2007), hal 206.
11
Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu,
penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul
misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia
terima. Lihat CD-ROM Mawsu‘ah al-Hadīth al-Syarif, Edisi 1 dan 2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991. Lihat juga, Al-Syaukani, Nail al-Autar, Juz. VIII (Kairo: Dar al-Hadīth, t. th.), 278.
12
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), hal
136-137
13
Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn
‘Abidin, Juz. VII (Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987), hal 5.
14
Al-Sayyid Abu Bakr, I‘anah al-Talibin, Jil. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hal 232.
15
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami (Beirut: Dār al-Kutub, 1963), 638-
639.

6
sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena
dilakukan dengan berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan
pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan
harta. Oleh karena itu, Dalam hukuman bagi pelaku sirqah dan hirabah juga berbeda.
Lebih lanjut, pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor bisa mengambil landasan
dari ayat hirabah ini16. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan
disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik
hirabah. Berbeda dengan pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan.
Pencurian relatif lebih kecil dibandingan dengan hirabah. Demikian juga apabila
dibandingkan dengan korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang kriminal
murni mungkin relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan korupsi yang
akan membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
2. Pengertian Perkosaan
Pemerkosaan dalam istilah bahasa Arab disebut sebagai Ightisab yang berasal dari
perkataan ghasab yang berarti merampas atau mengambil sesuatu tanpa kerelaan 17.
Pemerkosaan adalah daripada bentuk perzinaan. Zina pada takrifan jumhur ulama ialah
persetubuhan antara lelaki dan perempuan melalui kemaluan tanpa milik atau syubhah
(kekeliruan) milik. Perbedaan diantara keduanya dapat dibedakan, bahwa zina itu
dengan adanya kerelaan kedua belah pihak sedangkan perkosaan dengan
menggunakan kekerasan atau paksaan ke atas korban atau zina yang dipaksa.
Pembuktian perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari
tiga bukti (al bayyinah) terjadinya perzinaan berikut; Pertama, pengakuan (iqrar)
orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tak menarik
pengakuannya itu hingga selesainya eksekusi hukuman zina. Kedua, kesaksian
(syahadah) empat laki-laki Muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka (bukan
budak), yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda)
dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian yang

16
Qur’an surat al-Ma’idah [5]: 33 dan 38, dalam ayat tersebut disebutkan secara khusus tentang
hirabah dan sirqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang
bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan
ayat kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.
17
Al-Namir Izat , Muhamad, Jara’im al-Ird Qanun al Uqubat al Misri, Dar al Arabia lil Mausu’at,
1984, hal. 249

7
menyifati perzinaan dengan jelas. Ketiga, kehamilan (al habl), yaitu kehamilan pada
perempuan yang tidak bersuami.18
a) Hukuman Pemerkosa
Perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut : “Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Dalam perspektif hukum islam menjelaskan bahwa perkosaan merupakan had
hirabah (Q.S. Al Maidah : 33)19. Sanksi nya berupa hukuman mati, di salib, di potong
tangan kaki bersilang atau di asingkan.
Jika seorang laki-laki memerkosa seorang perempuan, seluruh fuqaha sepakat
perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100
kali maupun hukuman rajam20. Karena perempuan tersebut merupakan korban dari
sebuah paksaan kepada nya dan hal ini di jelaskan di dalam Al Qur’an (Q.S. Al An’aam
: 145)21.
b) Dampak Korban Perkosaan
Berbagai dampak yang akan ditimbulkan dari para korban kejahatan atau
kekerasan seksual. Pertama, dampak psikologis korban kekerasan dan pelecehan
seksual akan mengalami trauma yang mendalam, selain itu stres yang dialami korban
dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya. Kedua, dampak fisik. Kekerasan
dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular
Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan
pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. dalam

18
(Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 34-38)
19
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.”
20
(Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364; Al Mausu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm. 31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz
20 hlm.18).
21
”Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”

8
beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Ketiga, dampak sosial. Korban
kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal yang
seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral
untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya.
c) Contoh Kasus Perkosaan
Seorang guru di pondok pesantren, Herry Wirawan (36), memperkosa 12
santrinya. Bahkan, tujuh santri yang jadi korbannya telah melahirkan sembilan bayi.
Korban diketahui merupakan santriwati di pesantren TM yang ada di Cibiru, Kota
Bandung. Usia para korban juga masih di bawah umur. Rata-rata usia 16-17 tahun.
3. Pengertian Trafficking
Definisi Trafficking adalah: perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang teroksploitasi.
Dari pengertian trafficking di atas ada 3 elemen pokok yang terkandung di
dalamnya. Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan, atau menerima. Kedua, elemen sarana (cara) untuk
mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai
bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan atau pemberian/ penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya,
yang meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual
lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
a) Penyebab Trafficking
Menurut Musdah mulia, ada 2 penyebab sering nya terjadi trafficking.
Yaitu kemiskinan dan pengangguran. Meskipun kemiskinan merupakan faktor
terbesar yang melatari munculnya perdagangan manusia, kemiskinan tak selalu
menghasilkan perdagangan manusia. Kecuali ada faktor katalisnya, dan kemudian

9
disusul dengan adanya penerimaan atau permintaan pasar terhadap obyek perdagangan
manusia atau korban.
Selain itu, salah satu penyebab perdagangan manusia bisa membesar
skalanya di Indonesia, karena tidak ada penegakan hukum.17 Menurutnya, polisi
Indonesia bisa berprestasi untuk dua dari tiga kejahatan besar dunia, yakni teorisme
dan narkotik. Namun kejahatan ketiga yang tidak kalah penting, yakni perdagangan
manusia, tidak cukup kuat untuk diberantas.
Pada dasarnya penyebab trafficking tidak dapat dilihat pada satu sisi karena
banyak factor lain yang saling mendukung dan tidak dapat diabaikan sehingga
permasalahan ini menjadi sistemik dan terstruktur.
b) Pencegah Trafficking
Upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang atau trafficking
dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu. Pertama, pemetaan tindak pidana
perdagangan orang di Indonesia baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri.
Kedua, peningkatan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternative bagi
anak-anak perempuan, termasuk dengan sarana prasarana pendidikannya. Ketiga,
peningkatan pengatahuan masyarakat melalui pemberian onformasi seluas-luasnya
tentang tindak pidana perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait
dengannya. Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan aksesbilitas bagi keluarga
khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,
peningkatan pendapatan dan pelayanan social. Cara-cara tersebut terkesan sangat
ideal, tinggal bagaimana implementasinya secara nyata.
Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai
tentang masalah ini. Untuk itulah perlu dilakukan kampanye (sosialisasi) secara massif
untuk menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek trafficking
(perdagangan orang) yang harus diwaspadai.
c) Hukuman Tindak Pidana Trafficking
Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan hukum
Islam. Hasil yang ditemukan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
hukuman terhadap pelaku kejahatan human trafficking akan dikenai sanksi pidana
pokok dan pidana tambahan terhadap kejahatan human trafficking. Adapun jenis-jenis

10
pidana pokok yaitu hukuman penjara dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan
yaitu berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana,
pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan pelarangan kepada pengurus
tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidan gusaha yang sama.
Sedangkan menurut hukum Islam hukuman terhadap kejahatan human
trafficking akan dikenai sanksi hukuman ta’zir yang berupa hukuman mati, penjara,
pengucilan, penyalipan, dera, pengasingan dan ancaman.
3. Pengertian Terorisme
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat
menimbulkan korban yang bersifat masal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kejahatan terorisme dilakukan dengan cara-cara anarkis yang banyak
mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa. Kejahatan ini dilakukan secara
terorganisir dan sistematis dengan melibatkan jaringan antar negara. Memang tidak
bisa disalahkan jika terorisme dikaitkan dengan persoalan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Dalam hukum pidana islam kejahatan terorisme tidak nyata-nyata
disebutkan dalan al-Qur'an dan as-sunnah, akan tetapi untuk mengkategorikan bahwa
kejahatan terorisme termasuk dalam tindak pidana (jar'imah) dalam hukum pidana
Islam harus dilakukakan suatu penelitian yang komprehensif dan bercorak akademis,
agar dalam mengkategorikan kejahatan terorisme tersebut juga dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam hukum pidana Islam terdapat banyak
syarat dan unsur yang harus dipenuhi apakah sebuah tindakan yang telah dikerjakan
termasuk dalam tindak pidana, baik yang berkaitan dengan syarat formil ataupun
syarat materiil. Demikian juga apakah kejahatan terorisme termasuk dalam jarimah
hudud, jarimah qisos diyat ataupun jarimah ta 'zir. Dengan melihat dampak yang
diakibatkan oleh kejahatan terorisme apakah bertentangan dengan nilai-nilai maqoyid
syari'ah yaitu; perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa dan
keturunan, perlindungan terhadap akal, dan juga perlindungan terhadap harta benda.

11
Hukum pidana Islam sangat memperhatikan nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam maqayid syari 'ah tersebut.
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan,
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban secara missal dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, menyebabkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional. Pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku
terorisme didasarkan pada sejauh mana keterlibatan dalam aksi teror tersebut.
Terorisme menurut hukum Islam terbagi menjadi dua: yakni terorisme biasa dan
terorisme politik. Pembagian tersebut didasarkan pada dua hal, yakni unsur tujuan dari
masing-masing tindak terorisme, serta pembagian jarimah dalam Islam; yang
dibedakan menjadi dua, yakni jarimah politik dan jarimah biasa. Berdasarkan dua hal
tersebut, maka hukum terorisme terbagi atas dua katergori. Apabila terorisme tersebut
adalah terorisme politik, proses pemidanaannya disandarkan pada jarimah politik.
Semisal sanksi bagi terorisme separatisme, maka hukumnya diserupakan dengan
jarimah bugat.
Dalam hukum Islam tindak pidana Terorisme tergambar secara jelas dalam surat
al-Maidah ayat 33 yang dengan hukuman qishas karena teroris merupakan orang yang
membuat kerusakan dimuka bumi yang dalam hukum Islam dapat dijatuhi hukuman
mati atau disalib. Akan tetapi dalam hukum Islam jika seseorang teroris tersebut
melakukan bentuk terorisme dengan membunuh atau menganiaya maka hukumannya
di qishsas, akan tetapi jika selain dari itu maka hukumannya ditetapkan oleh Ulama
atau lembaga atau seorang Hakim yang mengacu pada al-Qur’an dan Hadis yang
sesuai dengan ketentuan mengenai hukuman qishas.
Dalam hukum Islam jika seseorang yang telah membunuh maka ia harus dibunuh
atau dengan membayar diyat. Meskipun pembayaran diyat harus disetujui oleh para
pihak ahli waris korban. Karena selain hukuma qishas bagi para pemberontak atau
teroris, menurut hukum Islam, para pemberontak atau teroris dapat dijatuhi hukuman
denda (diyat).

12
BAB 3
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, setidaknya terdapat 4 point yang bisa dijadikan
kesimpulan dalam penjelasan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
Pertama, korupsi sesungguh nya adalah wabah berbahaya yang memiliki berbagai
efek korosif pada masyarakat. Ini merusak demokrasi dan supremasi hukum,
mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas
hidup dan memungkinkan kejahatan, terorisme dan ancaman lain terhadap keamanan
manusia untuk berkembang. Lebih lanjut, korupsi merupakan perilaku yang sangat
tercela menurut pidana islam yang dapat merugikan semua umat manusia bahkan
negara.
Kedua, pemerkosaan adalah sebuah tindak kejahatan yang melibatkan kekerasan
fisik, ancaman dan hubungan seksual dengan adanya paksaan. Perilaku ini dapat
merusak generasi generasi bangsa yang baik, dan menciptakan lingkungan yang tidak
ramah. Pelaku nya pun akan mendapat sanksi penjara atau bisa juga diasingkan
ataupun di rajam sedangkan korban nya bisa ber dampak ke dalam mental kesehatan
dia bisa sampai depresi berat lalu gangguan jiwa dan juga ada yang terkena penyakit
penyakit.
Ketiga, Definisi Trafficking adalah perekrutan,pengangkutan,
penampungan,pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang teroksploitasi.
Keempat, Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dan/atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau

13
gangguan keamanan. Dalam hukum pidana islam kejahatan terorisme tidak nyata-
nyata disebutkan dalan al-Qur'an dan as-sunnah, akan tetapi untuk mengkategorikan
bahwa kejahatan terorisme termasuk dalam tindak pidana (jar'imah) dalam hukum
pidana Islam harus dilakukakan suatu penelitian yang komprehensif dan bercorak
akademis, agar dalam mengkategorikan kejahatan terorisme tersebut juga dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.

14
DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN KITAB


Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami, Beirut: Dār al-Kutub, 1963.
Abu Al-Rus Ahmad, Jara’im al-Syariqat wa al-Nasbi wa Khiyanat al-Amānah wa al
Syayk Bi Duni Rasid, Iskandariyah: al-Maktabah al-Jami‘i al-Hadīth, 1997
Al-Syafi‘i, al-Um, Jil. 4 Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.
Ahmad Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003
Al-Syaukani, Nail al-Autar, Juz. VIII Kairo: Dar al-Hadīth, t. th.
Al-Sayyid Abu Bakr, I‘anah al-Talibin, Jil. 4, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
CD-ROM Mawsu‘ah al-Hadīth al-Syarif, Edisi 1 dan 2, Syarikah Shakhr Libarmij al-
Hasib, 1991.
Dahlan Abdul Azis, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3 Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2003
Djoko Prakoso, et. al., Upetisme: Ditinjau dari Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Tahun 1971, Jakarta: Bina Aksara, 1986
Edi Hardum S., Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI, 20017
Hamzah Andi, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia,
1986.
H. M. Daud Zamzami, et. al., Pemikiran Ulama Dayah Aceh, Cet. I, Jakarta: Prenada,
2007.
Ibn Amin Muhammad ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘ala al-Dar al-Mukhtar Hasyiyat Ibn
‘Abidin, Juz. VII, Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987
Ranuhandoko I.P.M, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Robert Klitgaard, et. al., Corrupt Cities. A Practical Guide to Cure and Prevention,
terjemahan Oleh Masri Maris dengan “Penuntun Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

15

Anda mungkin juga menyukai