Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA DALAM PRESPEKTIF ISLAM”

Dirancang oleh :

Rizqiatus Shofiyyah (195050100111111)

Vivi Kartika Putri (195050100111125)

Muhammad Rezza Pramadhana (195050100111141)

Akbar Riza Ananda (195050100111157)

Novaliana Rukmana (195050100111171)

KELAS B

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Banyak ahli menyebut bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime), mengingat motivasi dan dampak yang diakibatkannya sangat
kompleks. Korupsi dapat pula diibaratkan sebagai sebuah penyakit mematikan, yang jika
dipelihara sekian lama tanpa ada penanganan serius dari berbagai pihak akan membunuh
bangsa itu sendiri secara perlahan-lahan tapi pasti.
Korupsi sangat erat kaitannya dengan harta benda, maka ia dapat pula dikatakan
sebagai kejahatan terhadap harta benda (mâliyah). Kejahatan mâliyah ini banyak terjadi
pada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Bahkan China sebagai salah satu
negara yang menjadi basis kekuatan ekonomi dunia memperbolehkan perusahaan-
perusahaannya untuk menyuap di luar negeri. Di Indonesia sendiri, praktik suap-
menyuap, mafia peradilan, pungli, dan perilaku-perilaku koruptif lainnya setiap waktu
menghiasi layar kaca televisi dan selalu menjadi pembicaraan yang tidak kunjung selesai.
Sebagai negara hukum, Indonesia tentu telah melakukan berbagai upaya, baik
yang bersifat preventif maupun represif. Namun di lapangan, seberat apa pun hukuman
yang dijatuhkan negara melalui aparat penegak hukumnya terhadap para pelaku tindak
pidana korupsi dan seberapa pun besarnya upaya preventif yang dilakukan, seperti
digalakkannya seminar anti-korupsi, pendidikan anti-korupsi, dan sejenisnya, ternyata
masih belum cukup untuk meredam dan menghentikan perilaku korup tersebut. Terbukti
dengan ditangkapnya ketua DPD Irman Gusman pada 17 September 2016 oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap impor gula. Kemudian belum sebulan
berlalu, tepatnya 11 Oktober 2016, instansi kepolisian juga berhasil menangkap tiga
orang aparat sipil negara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang diduga
melakukan pungli. Kedua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus
korupsi yang ada di Indonesia. \
Kendati demikian, perang melawan korupsi sebagai bentuk nahi munkar harus
terus ditabuh. Tidak boleh berputus asa, berdiam diri tanpa aksi, apalagi apatis atau
malah menjadi bagian dari para pelaku korupsi. Memusuhi korupsi adalah bagian dari
jihad. Karena jihad esensinya bukan hanya berkenaan dengan perang fisik pada
kelompok di luar Islam, tetapi mencurahkan tenaga dan pikiran dalam melawan korupsi
juga dapat dikatakan jihad.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dikaji tentang bagaimana pengertian
tindak pidana korupsi, ragam korupsi beserta hukumnya, motif korupsi, serta upaya
pencegahan korupsi, dan ancaman perilaku korupsi dalam ajaran islam.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian, korupsi, ragam, dan hukumannya?
2. Bagaimana motif-motif korupsi?
3. Bagaimana upaya penegahan korupsi?
4. Bagaimana ancaman perilaku korupsi dalam ajaran Islam?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mampu memahami dan menjelaskan tentang pengertian, korupsi, ragam, dan
hukumannya.
2. Mampu memahami dan mengenali motif-motif korupsi.
3. Mampu mencegah dan menjauhi perilaku korupsi.
4. Mampu menjelaskan ancaman perilaku korupsi dalam ajaran Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Korupsi, Ragam, dan Hukumannya

2.1.1. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan yang dikategorikan berupa


penyuapan, manipulasi dan lainnya. Dalam kajian hukum di Indonesia, korupsi
tergolong dalam perbuatan tindak pidana seperti tertuang dalam UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001. Dilihat dari dampaknya, perbuatan ini tidak hanya
mempengaruhi moralitas manusia secara personal, tetapi juga menyangkut kepentingan
umum. Dimana rusaknya sendi-sendi kehidupan dalam segala aspek mampu
menciptakan kemerosotan nilai-nilai moralitas dan kesenjangan sosial yang paling
parah, seperti kemiskinan, tidak kejahatan yang parah dan lainnya. Hal ini
menyebabkan pengrusakan terhadap kemaslahatan umum dan bertentangan dengan
tujuan pensyari’atan. Akibat dari dampak tersebut, Islam melarang dan mengharamkan
perbuatan tersebut dan dapat diganjar dengan sanksi yang berat. Metode yang
digunakan yaitu penelitian hukum normatif, yang mencari dan menemukan sumber
hukum dari literatur-literatur kepustakaan yang berkaitan dengan topik bahasan yang
dikaji

Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu tindakan


mengambil uang negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. Kata korupsi
berasal dari bahasa Latin yaitu Corruptie atau Corruptus yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Dalam bahasa latin inilah yang
kemudian diikuti dalam bahasa Eropa seperti Inggris (Corrupt, Corruption: korup, jahat,
buruk, kecurangan), Perancis (Rompu, Corrompu: patah, rapuh, korup), dan Belanda
(Corruptie, Corrupt: korupsi, kerusakan akhlak, pemalsuan, dapat disogok,
penyelewengan). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, korupsi berarti rusak,
buruk, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat
disogok, dan perbuatan yang buruk seperti penyelewengan atau penggelapan uang,
penerimaan uang sogok untuk kepentingan pribadi, golongan atau orang lain yang
memiliki kepentingan dengannya. Korupsi juga dapat diartikan sebagai pajak tambahan
yang tersamar.

2.1.2. Ragam Korupsi

1. Discretionery corupption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan


dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik
praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh: Seorang pelayan
perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada ”calo”,
atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa
saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberi pendapatan tambahan.
2. Illegal corupption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa
atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi hukum. Contoh: di dalam
peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui
proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya
anggaran terlambat), maka proses itu tidak dimungkinkan. Untuk pemimpin proyek
mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan
sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang
memungkinkan untuk bisa digunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya
pelaksanaan tender. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya sah atau
tidak sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku.
Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan
memainkan kata-kata, bukan substansinya.
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Contoh: Dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang mempunyai
kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-
terangan ia mengatakan untuk memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan
uang ”sogok” atau ”semir” dalam jumlah tertentu.
4. Ideologi corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh: Kasus skandal watergate
adalah contoh ideological corruption, dimana sejumlah individu memberikan komitmen
mereka terhadap presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum.
Penjualan aset-aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum.

2.1.3. Hukum Korupsi

Istilah dari penggunaan mempunyai pengartian yang luas seperti menyantap,


mengeluarkan untuk keperluan ibadah, keperluan sosial dan lain sebagainya.
Menggunakan harta kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama saja dengan hasil
rampasan, hasil judi, hasil curian dan hasil haram lainnya. Dengan cara meraihnya yang
sama, maka hukum menggunakan hasilnya juga tentunya sama. Ulama fikih dalam
urusan ini juga sepakat jika menggunakan harta yang didapat dengan cara terlarang
maka hukumnya adalah haram karena prinsip harta tersebut bukan menjadi milik yang
sah namun milik orang lain yang didapat dengan cara terlarang.
Dasar yang menjadi penguat pendapat ulama fikih ini diantaranya adalah
firman dari Allah SWT sendiri, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Dalam ayat tersebut juga tertulis larangan mengambil harta orang lain yang
didapat dengan cara batil seperti menipu, mencuri dan juga korupsi. Harta yang didapat
dari hasil korupsi juga bisa diartikan menjadi harta kekayaan yang didapat dengan cara
riba, sebab kedua cara ini sama – sama berbentuk ilegal. Jika memakan harta yang
diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130).
Para ulama juga menggunakan kaidah fikih yang memperlihatkan keharaman
dalam memakai harta korupsi yakni “apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram
juga untuk memberikan atau memanfaatkannya.” Seperti yang juga sudah ditegaskan
Imam Ahmad bin Hanbal, selama sebuah perbuatan dipandang sebagai hal yang haram,
maka selama itu juga diharamkan untuk menggunakan hasil dari cara tersebut. Namun,
jika perbuatannya sudah tidak dikatakan haram, maka hasilnya bisa digunakan.
Selama hasil dari perbuatan diharamkan untuk menggunakannya, maka selama
itu juga pelaku akan diharuskan untuk mengembalikan pada pemilik harta yang sah.
Apabila ulama fikih sepakat untuk mengharamkan menggunakan harta kekayaan yang
didapat dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum
dari menggunakan hasil korupsi itu.

2.2. Motif-motif Korupsi

1. Corruption by Need (Korupsi karena Keperluan)


Bagi karyawan dan pegawai rendahan di indonesia pada umumya korupsi yang
mereka lakukan disebabkan kebutuhan. Korupsi yang dilakukan seseorang secara terpaksa,
atau karena kedangkalan keimanan dan pengetahuan. Korupsi jenis ini biasanya dilakukan
oleh pegawai yang memiliki penghasilan rendah sehingga tidak mampu untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. diindonesia korupsi ini sering dilakukan oleh PNS karena gaji
mereka, bukan kecil tetapi bahkan tidak manusiawi.

2. Corruption by Greed  (Korupsi karena Serakah)


Merupakan korupsi yang disebabkan karena sifat keserakahan seseorang atas
apa yang sudah diterimanya. Sikap serakah dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
gengsi dan tidak memiliki “sense of crisis”.

3. Corruption by Oportunity (Korupsi karena Peluang)


Merupakan orupsi yang dilakukan karena adanya peluang untuk melanggar
aturan. Peluang tersebut dapat disebabkan karena tiga faktor utama, yaitu penyelenggaraan
negara khususnya layanan publik yang terlalu birokratis, manajemen yang aburadul, dan
petugas yang kurang bermoral.

4. Corruption by Exposes (Korupsi yang Telanjang),


Merupakan tindak korupsi yang dilakukan hanpir oleh seluruh strata sosial,
sehingga pelaku tidaka menyadari bahwa ia sedang melakukan korupsi. korupsi keempat ini
disebut korupsi yang telanjang karena ia berlaku hampir diseluruh setrata masyarakat.tetapi
tidak dianggap sebagai tinda pidana. Keadaan ini mulai berlaku dari presiden sampai dengan
lurah. misalya seorang presiden ketika melakukan pesta pernikahan anaknya diistana bogor
dan istana cipanas, tidak dianggap suatu kegiatan tercela, kalau toh tidak dikategorikan
gratifikasi. Begitu pula halnya dengan kunjungan dinas wakil presiden atau para menteri.
2.3. Upaya Pencegahan Korupsi

Secara preventif ada 5 (lima) langkah untuk mencegah korupsi menurut paradigma
syari’ah Islam sebagai berikut :

1. Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan Integritas, bukan
berasaskan egoisme yang pada akhirnya berujung pada korupsi,kolusi, dan nepotisme.
Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur wajib memenuhi kriteria yang
individunya berkepribadian islam (syakhsiyah islamiyah). Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda “ Barangsiapa memperkerjakan seseorang karna faktor suka atau
hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum
mukminin”.
2. Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah
Umar bin khotob selalu memberikan nasihat kepada bawahannya “ Kekuatan dalam
bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok, kalau kamu
menundanya pekerjaannya akan menumpuk...’’
3. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya ,
sebagaimana Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para
pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat”.
4. Islam melarang menerima suap atau hadiah atau dalam istilah korupsi dikatakan
gratifikasi bagi para aparat negara sebagai sabda Nabi “Barangsiapa yang sudah
menajadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar
itu adalah harta yang curang.’’ (HR.Abu Daud). Tentang hadiah kepada aparat
pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa suht
adalah haram dan suap yang diberikan kepadahakim adalah kekufuran. (HR.Ahmad)
5. Adanya keteladanan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang
dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka disini pemimpin juga memiliki
peran besar untuk menjadi teladan yang baik bagi umatnya atau masyarakatnya.

2.4. Ancaman Perilaku Korupsi dalam Ajaran Islam

Adapun sanksi moral bagi pelaku korupsi adalah jenazahnya tidak dishalatkan,
terutama bagi para pemuka agama ataupun tokoh masyarakat yang di akui di tengah
masyarakat. Hal ini sebagaimana yang telah pernah dilakukan Nabi terhadap salah
seorang sahabat yang melakukan korupsi pada waktu perang khaibar meskipun hanya
dalam jumlah yang relatif kecil yaitu dua dirham.

Adapun sanksi dunia bagi para pelaku korupsi tidak ada disebutkan secara
jelas di dalam nash, sebagaimana hukum potong tangan bagi pencuri. Meskipun
demikian bagi pelaku korupsi bukan berarti terbebas sama sekali dari kejahatan yang
telah dilakukannya, pelaku korupsi harus dikenakan ta’zir, yang bertujuan untuk
memberikan pelajaran kepada pelaku tindak kejahatan agar tidak mengulangi lagi
kejahatan yang pernah dilakukan. Untuk tindak pidana korupsi terdapat beberapa unsur
yang dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menentukan jenis hukuman yang
tepat untuk pelaku korupsi, di antaranya: perampasan harta orang lain, pengkhianatan
atau penyalahgunaan wewenang, kerja sama dalam kejahatan. Unsur hukuman ini
tergantung kepada bentuk dan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari korupsi yang
dilakukan.

Kejahatan seperti ini jelas sesuatu yang dilarang dalam syariat Islam. Untuk
selanjutnya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk memutuskan apa jenis
hukuman yang pantas. Hukuman ini tentu saja harus dilandasi oleh akal sehat, keyakinan
dan rasa keadilan hakim yang didasarkan pada keadilan masyarakat untuk menentukan
jenis hukuman yang pantas bagi pelaku korupsi. Jenis hukumannya disebut dengan
‘uqubah mukhayyarah (hukuman pilihan).

Adapun jarimah yang dikenakan hukuman ta’zir ada dua jenis yaitu:

a. Jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishas jika tidak terpenuhi salah satu dari
unsur atau rukunnya. Misalnya jarimah pencurian dihukum ta’zir jika barang yang
dicuri tidak mencapai nishab (kadar minimal) atau barang yang dicuri tidak disimpan
di tempat yang semestinya.
b. Jarimah yang tidak dikenakan hukuman hadd dan qishas seperti jarimah
pengkhianatan terhadap suatu amanat, jarimah suap dan lain-lain. Untuk tindak pidana
korupsi jelas merupakan suatu maksiat yang mana tidak terdapat hukuman yang tegas
dalam al-Quran ataupun sunnah Nabi, maka dari itu untuk pelaku tindak pidana
korupsi hukuman yang layak bagi pelaku adalah hukumta’zir.

Menurut penulis bentuk hukuman ta’zir bagi pelaku korupsi bermacam-


macam sesuai dengan berat dan ringannya akibat yang ditimbulkan dari perilaku
tersebut, di antaranya:
1) Hukuman Berupa Teguran dan Peringatan
Hukuman berupa teguran dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi yang
dinilai ringan namun merugikan orang lain. Peringatan ini bertujuan mendidik pelaku
dengan memberikan ancaman kepada pelaku bahwa jika ia mengulangi lagi
perbuatannya maka akan diberikan hukuman yang lebih berat seperti penjara.
2) Memasukkan pelaku korupsi kepada daftar orang-orang tercela, Mengucilkan dan
menjauhkannya dari pergaulan sosial.
Ta’zir seperti ini pernah dilakukan Rasulullah kepada tiga orang sahabat yang
enggan ikut berperang dalam perang Tabuk (Mirarah ibn alRabi’ al-“Amiri, Ka’ab ibn
Malik, dan Hilal ibn Umayyah al-Waqifi), dengan cara menjauhkan mereka
(mendiamkan) mereka selama lima puluh hari, dan tidak ada yang berbicara dengan
mereka sehingga sampai turun firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 118 yang
artinya: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) me- reka,
hingga apabila bumi Telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bu- mi itu luas dan
jiwa merekapun Telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka Telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya
saja. Kemudian Allah menerima Taubat mereka agar mereka tetap dalam tau- batnya.
Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(Q.S.
at-Taubah: 188)
3) Memecat Pelaku Korupsi dari Jabatannya.
Pemecatan merupakan bentuk ta’zir yang mennerangkan kepada masyarakat
bahwa pelaku korupsi tidak layak lagi mengemban amanah karena pengkhianatannya
yang telah melakukan korupsi. Hal ini bisa diberlakukan kepada pejabat public, yang
mana dia mendapat gaji dari jabatannya tersebut ataupun jabatan yang sifatnya
sukarela.
4) Hukuman berupa dera atau cambuk.
Hukuman ini diberlakukan terhadap pelaku korupsi tidak dimaksudkan untuk
melukai tetapi untuk membuat jera pelaku. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang jumlah cambuk. Imam Abu Hanifah dan sekelompok pengikut Imam
Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir melebihi sepuluh
kali deraan.
5) Hukuman berupa harta (denda)
Hukuman ini seperti hukuman yang dikenakan kepada pencurian buah-buahan
yang masih berada di pohon.
6) Penjara
Penjara bisa berjangka panjang dan bisa berjangka pendek, bahkan sampai
seumur hidup. Berapa lama seseorang di penjara sepenuhnya ditentukan oleh hakim.
Hukuman bisa saja diperpanjang atau diperpendek dengan memperhatikan akhlak
pelaku selama menjalani masa hukuman. Jika pelaku korupsi selalu mengulangi
kejahatannya, dan kejahatannya membahayakan banyak pihak, maka hukumannya
bisa dipenjara sampai mati. (Syamsul Anwar 2006, h. 85)
7) Pengasingan
Untuk pengasingan, ulama berbeda pendapat tentang batas maksimal
pengasingan. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah pengasingan tidak boleh lebih
dari satu tahun, karena pengasingan awalnya diberlakukan kepada pelaku zina yang
lamanya satu tahun. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan lebih dari satu tahun,
karena tujuan ta’ziruntuk memberikan penyadaran dan bukan berari sebagai
pemberlakuan hadd seperti pada pelaku zina.
8) Penyaliban
Hukuman berupa penyaliban pernah dilakukan Rasulullah terhadap pelaku
kerusuhan, keonaran dan pembangkangan yang biasa disebuthirabah Pelaku korupsi
dalam jumlah besar seperti mencapai jumlah milyaran pada dasarnya telah membuat
kerusuhan yang sangat besar karena dengan uang rakyat yang telah dikorupnya telah
menimbulkan penderitaan bagi banyak orang, di samping juga merupakan
pembangkangan terhadap peraturan yang telah di buat pemerintah.
9) Hukuman mati
Bisa jadi hukuman ta’zir adalah berupa hukuman mati. Hal ini diberlakukan
jika kemaslahatan benar-benar menghendakinya. Ini akan membawa pengaruh dan
nilai pendidikan yang besar sekali bagi masyarakat lainnya, karena akan menjadikan
orang lain takut untuk melakukan hal yang serupa. Bentuk-bentuk hukuman ta’zir di
atas bisa saja diberlakukan bagi para pelaku korupsi. Ini berdasarka pada kenyataan
bahwa praktek korupsi bisa dari tingkatan yang sangat sederhana hingga terberat
yang mengakibatkan banyak kerugian ditengah-tengah masyarakat, bahkan lebih
buruk lagi bisa berakibat kehancuran suatu tatanan Negara. Menurut penulis tindak
pidana korupsi harus benar-benar dilaksanakan dengan serius dan tegas dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan. Adapun hak untuk memutuskan perkara
tersebut sepenuhnya menjadi hak hakim yang telah diamanahi untuk memutuskan
perkara tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), korupsi
merupakan suatu bentuk perbuatan yang dikategorikan berupa penyuapan, manipulasi
dan lainnya. Dampaknya, perbuatan ini mempengaruhi moralitas manusia secara
personal juga menyangkut kepentingan umum. Dimana rusaknya sendi-sendi
kehidupan dalam segala aspek mampu menciptakan kemerosotan nilai-nilai moralitas
dan kesenjangan sosial yang paling parah, seperti kemiskinan, tidak kejahatan yang
parah dan lainnya.
Kejahatan seperti ini jelas sesuatu yang dilarang dalam syariat Islam dan harus
mendapat pencegahan dan tindakan hukum. Hukuman yang diberikan tentu saja harus
dilandasi oleh akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan pada
keadilan masyarakat untuk menentukan jenis hukuman yang pantas bagi pelaku
korupsi.

3.2. Saran
Di era zaman sekarang ini, bangsa Indonesia memerlukan perbaikan moral dan
kejujuran. Masih banyak kasus korupsi yang terjadi yang melibatkan pejabat negara
yang merugikan negara dalam jumlah yang besar. Diperlukan upaya pencegahan yang
efektif agar kasus korupsi dan suap tidak terjadi lagi dan juga kita dapat menanamkan
penerapan nilai-nilai UUD 1945 dan Pancasila agar bangsa Indonesia menjadi negara
yang bersih dan maju.

Anda mungkin juga menyukai