Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“ PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH ”

Mata Kuliah : Fiqh Jinayah


Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Fauzan, S,H,I.,M.H

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Andika Azhar Firdaus 2121020320


2. Darmawanto 2121020166
3. Marsela Asifa Gayatri 2121020227
4. Muhammad Iqbal 2121020243
5. Nurmaliyana 2121020257

FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, hidayah
serta Inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dan tidak lupa pula, sholawat
serta salam tercurahkan kepada Nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang berderang dengan
tersyiarnya agama islam seperti sekarang ini.

Kami mengucapkan Terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqh Jinayah
yaitu Bapak Dr. Ahmad Fauzan, S,H,I.,M.H

Demikian, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih dan luas dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi semua pihak, baik yang menyusun maupun yang
membaca. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari dosen dan berbagai kalangan
sangat diperlukan untuk perbaikan makalah ini.

Bandar Lampung, 27 Oktober 2022

Kelompok 1
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Percobaan Melakukan Jarimah..........................................................................2

B. Percobaan Menurut Fuqoha.................................................................................................2

C. Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah...........................................................................................3

D. Sebab Tidak Terjadinya Jarimah.........................................................................................6

E. Hukuman Untuk Percobaan Jarimah ..................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .........................................................................................................................9

B. Penutup…………………………………………………………………………………....9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman had atau
ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah
apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap
jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan  kepada tata urutan masyarakat
atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus
dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak
menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena
dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang di temukan
perbuatan membawa keuntungan semata-mata  atau menimbulkan kerugian semata tetapi
setiap perbuatan akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai
dengan tabi’atnya manusia.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut ada kalanya telah selesai di lakukan dan
ada kalanya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Disamping itu perbuatan
tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama
dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah.

A. Rumusan Masalah
1. Apa itu percobaan melakukan Jarimah ?
2. Apa Percobaan Menurut Fuqoha ?
3. Apa Saja Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah ?
4. Apa Sebab Tidak Terjadinya Jarimah ?
5. Apakah Hukuman untuk Percobaan Jarimah ?

B. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui dan memahami percobaan melakukan jarimah.
2. Dapat mengetahui dan memahami percobaan menurut fuqoha.
3. Dapat mengetahui apa saja fase-fase pelaksanaan jarimah.
4. Dapat mengetahui bagaimana sebab terjadinya jarimah.
5. Dapat mengetahui bagaimana hukuman percobaan melakukan jarimah.
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Percobaan Melakukan Jarimah


Dalam Pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang
pengertian percobaan sebagai berikut:

‫ضا ُء‬ ْ َ‫ت لَهُ ُعقُوْ بَةٌ ي‬


َ َ‫طبَقُهَا ْالق‬ ُ ‫اَ ِالرْ تِ َكابُ بِ ْالفِع ِْل َأ ِو ْالقَوْ ِل لَِأْل ْم ِر الَّ ِذى َو َر َدبِ ِه النَّ ْه‬
ْ ‫ى َوقُ ِّر َر‬

Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan


(jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada
sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.1

B. Percobaan Menurut Para Fuqoha


Istilah percobaan dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi tersebut
ita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka,
karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimahyang sudah
selesai dan juga jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus
terhadap jarimah percobaan oleh kedua hal:

1) Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas. Melainkan dengan


hukuman tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak
memperhatikan jarimah-jarimah hudud  dan qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya sudah
tetap tanpa mengalami perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan
perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan
pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah sudah
termasuk jarimah ta’zir.

2) Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman


untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu diadakan,

1
Topo Santoso,S.H,M.H,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Gema Insani Press,2003).hal.38
2
sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had
atau khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana dikemukakan di atas adalah mulai
melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi tidak selesai, termaksuk pada maksiat yang
hukumannya adalah tak’zir. Dengan demikian, percobaan sudah taermasuk kedalam
kelompok ta’zir, sehingga para fuqaha tidak membahas secara khusus.

Pendiri hukum pidana islam tentang percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup


dari hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan hukuman
tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan dikenakan
hukuman, menurut Pasal 54 KUHP pidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba melakukan
pelanggaran tidak dipidana. sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan
melakukan jarimah jinayah saja yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan
melakukan jarimah mukalafah tidak dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).2

C. Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah


‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses
melakukan perbuatan jarimah
1) Fase pemikiran atau perencanaan (marhalat al-tafkir)
Pemikiran dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi
hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam, seseorang tidak dapat
dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang tarkandunga dalam hatinya.
Halini didasarkan Hadis Nabi saw.

ْ ‫ِإ َّن هّللا تَ َجا َو َزلِى ع َْن ُأ َّمتِى َما َو َس َو َس‬:‫ال النَّبِ ُّى ص م‬
‫ت بِ ِه‬ َ َ‫ضى هّللا َع ْنهُ ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ِ ‫ع َْن أبى هُ َري َْرةَر‬
‚‫ص ُدوْ ُرهَا َمالَ ْم تَ ْع َملْ َأوْ تَ َكلَّم‬
ُ

Abu hurairah ra. Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah mengampuni
umatku karna aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belumdikerjakan atau
diucapkan.”

2
Drs.H.Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.60-61
3
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa
mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18
Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap
perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan. Pada hukum positif terhadap aturan
tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara
pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang
tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman
yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap
pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan
hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau
dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya
lima belas tahun.3

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.


a. Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan
biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.4

2) Fase persiapan (marhalat al-tahdhir)


Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli
senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan
juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum kecuali, apabila perbuatan persiapan itu
sendiri dipandang sebagai maksiat seperti, hendak mencuri milik seseorang dengan jalan
membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau orang lain itu sendiri dianggap

3
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.121
4
 Drs.C.S.T.Kansil,S.H, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka,1998),hal.273
4
maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dicuri
yaitu dicuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa
perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan yang maksiat, dan maksiat
baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan hak manusia,
sedangkan pada penyiapan pada alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian
yang nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian,maka
anggapan ini masih bisa ditakwilkan,artinya bisa diragukan,sedangkan menurut syari’at,
seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada
keyakinan.

3) Fase pelaksanaan (marhalat al-tahfidz)


Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum,
tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur
materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat,
yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan
pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur
materiil masih terdapat beberapa langkah lain.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya
dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai
percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan
membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan
tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk
menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum
adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan
pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau
tidak.5
Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman
pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase
5
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.122-123
5
pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang
penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu. Sedangkan menurut aliran objektif,
saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu
jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu
adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa
perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila
pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya
untuk melakukan kejahatan.6

D. Sebab Tidak Selesainya Perbuatan


Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena
salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1) Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
 Bukan karena taubat, dan
 Karena taubat.

Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan
hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau
pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat.
Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu
adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah itu
jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman.7 Hal ini berdasarkan firman Allah
surat Al-Maidah 34:

‫اِالَّ الَّ ِذ ْينَ تَابُوْ ا ِم ْن قَب ِْل َأ ْن تَ ْق ِدرُوْ ا َعلَ ْي ِه ْم فَا ْعلَ ُموْ آ َأ َّن هللاَ َغفُوْ ٌر َر ِحي ٌم‬

6
ibid, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.64
7
Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo,tanpa
tahun, hal.63
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang(surat Al-Maidah 34).8

Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih
diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1) Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman.
Alasanya adalah:
 Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah
hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman
untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.

 Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan


pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman
zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16.9

‫ان يَْأتِيَنِهَا ِم ْن ُك ْم فَأ ُذوْ هُ َما فَِإ ْن تَابَا َوَأصْ لَ َحا فََأ ْع ِر ضُوْ ا َع ْنهَا‬
ِ ‫َوالَّ َذ‬

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-Nisaa;16).10

2) Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali
untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah
sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat
terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak
sukar mengatakan telah bertaubat.

8
 Al-jumanatul ‘Ali,Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.113
9
 ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.64
10
ibid, Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.80
7
3) Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat
membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang
berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat).
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengah  yang
mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun
demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya
berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah
yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.11

E. Hukuman untuk Jarimah Percobaan


Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud
dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak
boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rasullah
saw, bersabda:

َ‫َم ْن بَلَ َغ َحدًافِى َغي ِْر َح ٍّدفَهُ َو ِم ْن ال ُم ْعتَ ِد ْين‬

Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud
maka ia termasuk orang yang melampaui batas.

Percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu jilid seratus
kali atau rajam. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had
pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah
hukuman ta’zir itu sendiri. 12

Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat
(2) KUHPidana yang berbunyi:
1) Maksimum itu pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka
dijatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

11
ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.64-65
12
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.67
8
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan
(jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena ada sebab
yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.
Fase-fase Pelaksanaan Jarimah menurut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa
paling tidak ada tiga fase dalam proses melakukan perbuatan jarimah yaitu :
 Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)
  Fase persiapan (marhalat al-tahdhir)
 Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena
salah satu dari dua hal sebagai berikut.
 Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
 Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
 Bukan karena taubat, dan
 Karena taubat.

Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud


dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak
boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai (percobaan). Dan Dalam KUHP
Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2) KUHPidana

B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, kami selaku penulis sangat memahami bahwa masih
banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi materi maupun dari
segi kata kata, kami juga menyadari bahwa hal tersebut terbatasnya kemampuan pengetahuan
yang kami miliki, maka dari itu kami sebagai penulis meminta maaf kepada pembaca atas
keterbatasan tersebut, namun saran dan juga kritik yang diberikan oleh para pembaca akan
tetap dibutuhkan dalam perbaikan makalah ini.
9
DAFTAR PUSTAKA

 Zahrah. Abu Muhammad. Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al


Misriyyah, Kairo
‘Ali. Al-jumanatul. 2005.Al-Qur’an dan Terjemahannya,Jakarta:CV Penertbit J-Art
Hanafi.Ahmad Hanafi.1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: PT Midas Surya
Grafindo
Santoso. Topo. 2003.Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:Gema Insani Press
S.C.T.Kansil.1998. Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai
Pustaka
Wardi. Ahmad Muslich. 2006.Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar Grafika
Topo Santoso,S.H,M.H,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Gema Insani
Press,2003).hal.38
Drs.H.Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.60-61
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo,
1993),hal.121
Drs.C.S.T.Kansil,S.H, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka,1998),hal.273
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.122-123
ibid, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.64
Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al
Misriyyah, Kairo,tanpa tahun, hal.63
Al-jumanatul ‘Ali,Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.113
ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun,
hal.64
ibid, Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.80
 ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa
tahun, hal.64-65
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.67
ibid, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka,1998),hal.273
10

Anda mungkin juga menyukai