Anda di halaman 1dari 19

PERCOBAAN JARIMAH

MAKALAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih IV
(Jinayah)

Dosen Pengampu : Drs. H. D.A Syuja’I,M.Ag.

Disusun Oleh : Kelompok II


Amiera Zulvaa
Ahmad Sahbudin
Elis Nurasiah
Farhan Firdaus Kamil

SEMESTER IV
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-MASTHURIYAH
SUKABUMI
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah


Ta’ala. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul,
“PERCOBAAN JARIMAH” dapat kami selesaikan dengan baik. Penulis berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang
percobaan dikalangan fuqoha, pase-pase pelaksanaan jarimah, hukum terhadapan
percobaan dan sebagainya. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan
yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun
melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media
internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kami, dosen pembimbing kami, dan juga kepada teman-teman
seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi
dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha
Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam


penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada
makalah ini, kami mohon maaf. Penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya
dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan
berikutnya.

Sukabumi, 18 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BABI PENDAHULUAN.....................................................................................
A. Latar belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Percobaan Dikalangan Pukoha..................................................................
B. Pase-pase Pelaksanaan Jarimah................................................................
C. Hukuman Terhadap Percobaan.................................................................
D. Tidak Selesainya Percobaan......................................................................
E. Percobaan Melakukan Jarimah Mustahil..................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................
A. Kesimpulan...............................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman
had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang
dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’.
Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut
dapat merugikan kepada tata urutan masyarakat atau kehidupan anggota
masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan
dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak
menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya
jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam
pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata
atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat
campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia
akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan
merugikan masyarakatnya.

Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur


materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada
individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah
adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur
materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang.
Unsur materiil ini akan mencakup tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang
telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam
melakukan jarimah.

Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di


lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar.
Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (
‫)الشروع‬. Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja
maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan
turut serta melakukan jarimah (‫)االءشتراك‬.

B. Rumusan Masalah
1. Apasaja percobaan dikalangan fuqoha ?
2. Apasaja pase-pase pelaksanaan jarimah ?
3. Apasaja hukum terhadap percobaan ?
4. Sebab tidak selesainya percobaan ?
5. Apasaja percobaan melakukan jarimah mustahil ?

C. Tujuan
1. Mengetahui percobaan dikalangan fuqoha.
2. Mengetahui pase-pase pelaksanaan jarimah.
3. Mengetahui hukum terhadap percobaan.
4. Mengetahui tidak selesainya percobaan.
5. Mengetahui percobaan melakukan jarimah mustahil.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Percobaan Dikalangan Fuqoha

Sudah dijelaskan dalam pasal 45 kitab undang-undang hukum pidana


Mesir, tentang pengertian percobaan yaitu: ” percobaan adalah mulai melakukan
suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah) tetapi perbuatan
tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehendak pelaku”.

Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha,


bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh
mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang
telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan
terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan
disebabkan karena dua hal:disebabkan oleh dua hal:

a. Percobaan melakukan jarimah tidak dikenai hukuman had atau qishash,


melainkan hukuman ta’zir, bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah
tersebut. Para fuqaha lebih memperhatikan jarimah hudud dan qishash karena
unsur dan syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan dan
hukumannya juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi
dan dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah ta’zir dengan mengecualikan jarimah ta’zir
seperti memaki-maki atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya
diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) untuk menentukan
macamnya jarimah itu untuk menentukan jarimah tersebut baik yang dilarang
dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara
tersebut diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. Kemudian hakim diberikan wewenang luas dalam
menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak dengan batas tertinggi dengan
batas terendah.
Kebanyakan jariamah ta’zir bisa mengalami perubahan antara di hukum
dan tidak dihukum, dari masa ke masa , dan dari tempat ke tempat lain dan
unsur-unsurnya dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan
penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqaha tidak ada
perhatian khusus terhadap jarimah ta’zir dan kelanjutannya adalah tidak
adanya pembicaraan tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah,
karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.
b. Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang
hukuman jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus percobaan tidak
perlu di adakan, sebab hukuman ta’zir di jatuhkan atas perbuatab maksiat
yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Percobaan yang
pengertiannya sudah dikemukakan di atas adalah mulai mengenakan susuatu
perbuatan yang dilarang tetapai tidak selesai, termasuk kepada maksiat yang
hukumannya ta’zir. sehingga para fuqaha tidak membahasnya secara khusus.
[2] Dengan demikian percobaan sudah termasuk dianggap maksiat dan
dikenai hukuman ta’zir yakni jarimah yang selesai juga meskipun satu bagian
saja dari bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai,
selama satu bagian itu dilarang. Jadi tidak aneh jika sesuatu perbuatan itu
semata-mata menjadi jarimah dan apabila bergabung dengan yang lain maka
akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Misalnya saja pencuri apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian
dapat di tangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu
dianggap semata-mata maksiat (kesalahan) yang dapat dikenai hukuman
meskipun sebenarnya baru permulaan dari pelaksanaan jarimah pencuri.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan niatan untuk
mencuri tanpa melobangi dindingnya telah dianggap berbuat suatu jarimah
tersendiri meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak
selesai. Jika pencuri tersebut dapat menyelesaikan penrbuatannya tersebut
dengan membawa hasil barang curiannya keluar rumah maka kumpulan
perbuatan tersebut dinamakan “pencurian” dan hukuman had yang akan
dijatuhkan kepadanya dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk
pencurian tidak boleh dikenakan hukuman ta’zir sebab masing-masing
perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian. Jadi sudah jelas
mengapa para fuqaha tidak membahas secara khusus tentang percobaan
melakukan jarimah sebab yang di butuhkan dari mereka adalah pemisahan
antara jarimah yang selesai dan jarimah yang tidak selesai dimana untuk
jarimah yang pertama dikenakan had atau qishash sedangkan untuh jarimah
yang kedua dikenakan ta’zir.

B. Pase-pase Pelaksanaan Jarimah


Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya.
Pembagian fase-fase ini sangat penting, Karena hanya salah satu fase saja pelaku
dapat di tuntut dan di kenakan hukuman, sedangkan fase-fase lainya tidak
dituntut.

Fase-fase ini ada tiga macam:

1. Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)

Memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat


yang di jatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syari’at
islam, seorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau
niat yang tergantung dalam hatinya. Sesuai dengan sabda Rosulullah SAW
“Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikan oleh dirinya,selama ia tidak
berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-
kata yang diucapkanya dan perbuatan yang dilakukanya.”

Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya
tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada
akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat
dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.
Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA
antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan
pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk
pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman
pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana
dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman
kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).

Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau


dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman
penjara selama lamanya lima belas tahun. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
338 dan 340 KUH Pidana.

a) Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang,


karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima belas tahun.
b) Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

2. Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)

Fase ini merupakan untuk menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan
jarimah, seperti rnembeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci
palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma'siat yang dapat
dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai
ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya.
Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap
ma'siat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak
dituju, yaitu mencuri. Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai
jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa
perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap
hak masyarakat dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada
galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita'wilkan,
artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan Syari'at seseorang tidak bisa
diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya
dikenakan hukuman ta'zir.

Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan


dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah
haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al Qayyin
menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan
persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya
haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman
pokoknya”.

Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab hambali sebagaimana digambarkan


oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah, menganggap perantara kepada
jarimah sebagai jarimah. Demikian juga perbuatan-perbuatan persiapan yang
disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan jarimah merupakan jarimah juga.

3. Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)

Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk


dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan
permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup
dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas
hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk
melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur
materiil masih terdapat beberapa langkah lain.

Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan


sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya
dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya
perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk
rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila
perbuatan tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat
penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak.

Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah


dan merupakan percobaan yang bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut
sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat
penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan.

Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya
hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi
hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif
berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak
pidana itu.

Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku


melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah
tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika
memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa
perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah
tersebut.

Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan


cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan
kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.

C. Hukuman Terhadap Percobaan


Menurut ketentuan pokok dalam syari’at islam yang berkaitan dengan
jarimah huddud dan qhisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh
dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Rosulullah
SAW bersabda yang artinya : “siapa yang mencapai hukuman had bukan pada
jarimah huddud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng.”
Percobaan melakukan pencurian tidak boleh dihukum dengan had
pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah
percobaan adalah hukuman ta’zir.

Dalam hukum pidana Indonesia, hukuman untuk percobaan ini tercantum


dalam pasal 53 ayat (2) KUHPidana yang berbunyi:

1. Maksimum pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi


sepertiganya.
2. Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup maka dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Dalam Syariat Islam harus ada perbedaan hukuman antara perbuatan


jarimah yang telah selesai dengan percobaan jarimah. Contoh perbuatan
percobaan jarimah zina tidak bisa dihukum dengan rajam, perbuatan percobaan
jarimah pencurian tidak bisa dihukum dengan potong tangan. Begitu juga semua
jarimah, tak terkecuali dengan jarimah ta'zir.

Sebab jika disamakan hukumannya maka akan menimbulkan pemikiran,


"daripada setengah-setengah melakukannya (percobaan), lebih baik sekalian
(diselelasaikan) toh hukumannya sama", seperti itu. Maka lebih baik dibedakan,
karena bisa saja si pembuat dapat hidayah atau menyesal ketika masih setengah-
setengah melakukan jarimah.

D. Tidak Selesainya Percobaan

Suatu perbuatan  jari  tidak selesai dilakukan oleh pembuat karena salah


satu dari dua hal sebagai berikut.

1. Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.


2. Adakalanya karena kehendak sendiri.Berdasarkan kehendak sendiri ini ada
dua macam:
a. Bukan karena taubat, dan
b. Karena taubat.
Kalau tidak selesainya jarimah terpaksa maka pelaku tetap harus
dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan karena
ma'siat.Demikian pula jika pelaku tidak menyelesaikan bukan jarimahnya karena
kehendak sendiri tetapi karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesai itu karena
taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan
adakalanya bukan jarimah hirabah. Jika jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku
dibebaskan dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:

َ‫اِالَّ الَّ ِذ ْينَ ابُوْ ا ِل ا لَ ْي ِه ْم ا ْعلَ ُموْ آ هللا‬

kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang(surat Al-Maidah 34). [8]

Bila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih
diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:

1) Pendapat fuqoha dari madzab Syafi'I dan Hambali, taubat bisa


menghapuskan hukuman. Alasanya adalah:
a. Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah,
sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau
taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling
berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b. Dalam beberapa jarimah disebutkan, Alquran selalu mengiringinya
dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan
dalam surat An-Nisaa' 16:

‫الَّ َذا ِن ا ا ابَا لَ َحا ا ا‬

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara


kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang (Surat An-Nisaa;16).
2) Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan
hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada
ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat
maksiat.Selain itu jika taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus,
maka konsekuensi hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah
tidak sukar mengatakan telah bertaubat.

3) Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali,
hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus
hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah
(hak masyarakat), kecuali jika pelaku meminta untuk di hukum maka ia
bisa dijatuhi hukuman walaupun aku telah bertaubat.

Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim tampakya merupakan


jalan tengah yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang
saling bertentangan.Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap
hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah
yang perasaan hak saja. Sedangkan dalam jarimah tetap yang
mempengaruhi hak individu taubat tidak berpengaruh terhadap hukuman.

E. Percobaan Melakukan Jarimah Mustahil

Jarimah Mustahil atau dalam hukum positif dikenal dengan nama 'oendeug
delijk poging' (percobaan tak terkenan = as-syuru'fi al Jarimah al-mustahilah)
yaitu jarimah yang tak mungkin terjadi. Jarimah mustahil ini dibagi menjadi dua
yaitu 'percobaan tak terkenan absolut (absolut ondegudelijke poging)' dan
'percobaan tak terkenan relatif (relatief ondegudelijke poging)'.

Contoh dari 'percobaan tak terkenan absolut' adalah seseorang yang


hendak meracun orang lain dengan racun yang sedikit sehingga orang tersebut
tidak mati merupakan 'percobaan tak terkenan absolut' - midded (karena alat yang
dipakai). Dan contoh kedua adalah seorang wanita yang berusaha menggugurkan
kandungannya namun ternyata tidak hamil merupakan 'percobaan tak terkenan
absolut' - voorwerp (karena obyek).

Apabila racun tersebut banyak dan orang tersebut tetap tidak mati maka itu
merupakan 'percobaan tak terkenan relatif'. Atau seseorang yang hendak
meledakkan gudang senjata, namun senjata tersebut ternyata sedang basah
merupakan contoh 'percobaan tak terkenan relatif' dari segi obyek.

Jarimah Mustahil atau percobaan tak terkenan memiliki beragam pendapat


oleh para sarjan-sarjana mengenai hukuman yang dijatuhi. Jika aliran obyektif
berpendapat bahwa jarimah mustahil tidak dapat dihukum karena tidak ada
kepentingan yang dilanggar disitu.

Akan tetapi Syariat Islam dan aliran subyektif memiliki pandangan yang
sama. Dan hal ini diterapkan sekarang. Selama perbuatan merupakan ma'siat,
Syariat Islam tetap memberlakukan hukaman. Selama niatan salahnya sudah
nampak dan menjelma pada perbuatan-perbuatan nyata, dengan maksud
melakukan jarimahnya, maka si pembuat tersebut berhak akan hukumannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha,


bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh
mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang
telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan
terlihat.

Fase-fase ini ada tiga macam:

1. Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)


2. Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
3. Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)

Menurut ketentuan pokok dalam syari’at islam yang berkaitan dengan


jarimah huddud dan qhisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh
dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Rosulullah
SAW bersabda yang artinya : “siapa yang mencapai hukuman had bukan pada
jarimah huddud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng.”

Suatu perbuatan  jari  tidak selesai dilakukan oleh pembuat karena salah


satu dari dua hal sebagai berikut.

1. Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.


2. Adakalanya karena kehendak sendiri.

Jarimah mustahil ini dibagi menjadi dua yaitu 'percobaan tak terkenan
absolut (absolut ondegudelijke poging)' dan 'percobaan tak terkenan relatif
(relatief ondegudelijke poging)'.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami tulis tentang Percobaan Jarimah,
materi pokok yang menjadi bahan bahasan dalam makalah kami ini masih banyak
kekurangan, karena terbatasnya pengetahuan kami, karena kami juga masih dalam
proses pembelajaran.

Kami banyak berharap teman-teman dan dosen kami yang membaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya
makalah ini dan dapat memperbaikinya pada makalah-makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Percobaan Jarimah Halaman 1 - Kompasiana.com

https://kumpulanmakalah-artikel.blogspot.com/2012/05/makalah-fiqh-jinayah-
percobaan.html

Ahmad hanafi, Asas-asas hukum pidana islam, jakarta:PT bulan bintang, 1993

Ahmad Wardi Muslich , pengantar dan asas hukum pidana islam, jakarta: sinar
grafida,2004

http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html

Hukum Pidana Islam (Buku) - Prof. Makhrus Munajat

Topo Santoso,SH,MH,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Gema Insani


Press,2003).hal.38
Drs.H.Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar
Grafika,2006),hal.60-61
NILAI KEGIATAN KELOMPOK

Ketua : Amiera Zulvaa


Sekretaris : Elis Nurasiah
Anggota : Ahmad Sahbudin
Farhan Firdaus Kamil
Nilai
No Nama Jumlah
1 2 3 4
1 Amiera Zulvaa
2 Ahmad Sahbudin
3 Farhan Firdaus Kamil
4 Elis Nurasiah

Anda mungkin juga menyukai