Anda di halaman 1dari 18

Percobaan Melakukan Jarimah dan Kerja Sama Dalam Jarimah

Dosen Pengampuh :
H. ISLAMUL HAQ Lc, M

Disusun oleh : Kelompok 3

St. Fatimah 2220203874234061

Suhati 2220203874234040

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PARE PARE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Percobaan Melakukan
Jarimah dan Kerja Sama Dalam Jarimah”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan Fiqhi Jinaya ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
menyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam Fiqhi Jinayah ini. Oleh karena itu kami
dengan rendah hati menerimah saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Fiqhi
Jinayah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB 1..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
C. Tujuan Masalah...........................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Pengertian Percobaan Melakukan Jarimah.................................................................................5
B. Kerja Sama Dalam Jarimah.......................................................................................................12
2. Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir................................................................14
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
A. Kesimpulan..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang diancam dengan hukuman had


dan ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang dilarang, dianggap jarimah
apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu dianggap
jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan kepada tata urutan masyarakat arau
kehidupan anggota masyarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus
dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini
tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimahkarena
dari segi kerugiannnya itulah yang diutamakan dalam pertmbangan. Jarang kita
temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata atau menimbulkan kerugian
semata-mata tetapi setap perbuatan akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan
kerugian, sesuai dengan tabiatnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari
pada kerugiannya meskipun akan merugikan masyarakat.

Didalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur


materil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau
masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materilnya adalah hal yang merusak keturunan,
sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materilnya adalah hal atau perbuatan yang
menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materil ini mencakup tiga pokok yaitu
tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta
dalam melakukan jarimah.

B. Rumusan Masalah

1. Percobaan Melakukan Jarimah

2. Kerja Sama Dalam Jarimah


C. Tujuan Masalah

1. Kita dapat memahami percobaan melakukan Jarimah dan kerja sama dalam Jarimah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Percobaan Melakukan Jarimah

Dalam Pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang


pengertian percobaan sebagai berikut:
‫َاِال ْر ِتَك اُب ِباْلِفْع ِل َأِو اْلَقْو ِل ِلَأْلْم ِر اَّلِذ ى َو َر َد ِبِه الَّنْهُى َو ُقِّر َر ْت َلُه ُع ُقْو َبٌة َيْط َبُقَها اْلَقَض اُء‬
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan (jinayah
atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang
tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.1

1. Percobaan Menurut Para Fuqoha

Istilah percobaan dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi tersebut kita
perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena
dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimahyang sudah selesai dan
juga jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus
terhadapjarimah percobaan oleh kedua hal:
Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas. Melainkan dengan
hukuman tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak
memperhatikan jarimah-jarimahhudud dan qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya sudah
tetap tanpa mengalami perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan
perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan
pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah sudah termasuk
jarimah ta’zir.
Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman
untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab
hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau
khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana dikemukakan di atas adalah mulai melakukan
suatu perbuatan yang dilarang tetapi tidak selesai, termaksuk pada maksiat yang hukumannya

1
Topo Santoso,S.H,M.H,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Gema Insani Press,2003).hal.38
adalah tak’zir. Dengan demikian, percobaan sudah taermasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga
para fuqaha tidak membahas secara khusus.
Pendiri hukum pidana islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari
hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan hukuman tanpa
pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman,
menurut Pasal 54 KUHP pidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba melakukan pelanggaran
tidak dipidana. sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja
yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah mukalafah tidak
dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).2

2. Fase-fase Pelaksanaan Jarimah

‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses
melakukan perbuatan jarimah
a. Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)
Pemikiran dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi
hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam, seseorang tidak dapat
dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang tarkandunga dalam hatinya.
Halini didasarkan Hadis Nabi saw.
‫ِإَّن هّللا َتَج اَو َز ِلى َعْن ُأَّم ِتى َم اَو َس َو َس ْت ِبِه ُص ُد ْو ُر َها َم اَلْم َتْع َمْل َأْو َتَك َّلم‬:‫ َقاَل الَّنِبُّى ص م‬: ‫َعْن أبى ُهَر ْيَر َةرِض ى هّللا َع ْنُه َقاَل‬
Abu hurairah ra. Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah mengampuni umatku
karna aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belumdikerjakan atau diucapkan.”
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa
mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18
Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan
jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan. Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada
pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara
pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak
direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang
lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan
2
Drs.H.Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.60-61
berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja
berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum
penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan
kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun. 3
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
1) Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena
pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2) Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun. 4
b. Fase persiapan(marhalat al-tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata
untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak
dianggap maksiat yang dapat dihukum kecuali, apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang
sebagai maksiat seperti, hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam
contoh ini membeli alat bius atau orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa
memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dicuri yaitu dicuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan
seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan yang maksiat, dan maksiat baru terwujud
apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan
pada alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian yang nyata terhadap hak-hak
tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian,maka anggapan ini masih bisa
ditakwilkan,artinya bisa diragukan,sedangkan menurut syari’at, seseorang tidak bisa diambil
tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
c. Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)

3
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.121

4
Drs.C.S.T.Kansil,S.H, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1998),hal.273
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak
menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil
jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang
berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk
melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih
terdapat beberapa langkah lain.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya
dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai
percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan
membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan
tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk
menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum
adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan
pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau
tidak.5
Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman
pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase
pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan
saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu. Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut
adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau
jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika
memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka
memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut. Sedangkan menurut
aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai
sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.6

5
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.122-123

6
ibid, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hal.64
3. Sebab Tidak Selesaianya Perbuatan

Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah
satu dari dua hal sebagai berikut.
1) Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a) Bukan karena taubat, dan
b) Karena taubat.
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan
hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku
tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat. Akan
tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya
jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah
maka pelaku dibebaskan dari hukuman.7 Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
‫ِاَّال اَّلِذ ْيَن َتاُبْو ا ِم ْن َقْبِل َأْن َتْقِدُرْو ا َع َلْيِهْم َفاْع َلُم ْو آ َأَّن َهللا َغُفْو ٌرَر ِح يٌم‬
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang(surat Al-Maidah 34).8
Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih
diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1).Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman.
Alasanya adalah:
a. Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah
adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah
yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b. Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan
bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama
kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:9
‫َو اَّلَذ اِن َيْأِتَيِنَها ِم ْنُك ْم َفأُذ ْو ُهَم ا َفِإْن َتاَبا َو َأْص َلَح ا َفَأْع ِر ُضْو ا َع ْنَها‬
7
Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.63

8
Al-jumanatul ‘Ali,Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.113

9
ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.64
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman
kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-
Nisaa;16).10
2).Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk
jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat
maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya
ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah
bertaubat.
3).Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat
membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang
berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hukum
maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengah yang
mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian
pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam
jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung
hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman. 11

4. Hukuman untuk Jarimah Percobaan

Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan
qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak boleh
diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rasullah saw,
bersabda:
‫َم ْن َبَلَغ َح ًداِفى َغْيِر َح ٍّدَفُهَوِم ْن الُم ْعَتِد ْيَن‬
Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka
ia termasuk orang yang melampaui batas.

10
ibid, Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Jakarta:CV Penertbit J-Art,2005),hal.80

11
ibid, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo, tanpa tahun, hal.64-65
Percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu jilid seratus kali
atau rajam. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian,
yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah hukuman
ta’zir itu sendiri.12
Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2)
KUHPidana yang berbunyi:
1) Maksimum itu pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka
dijatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.13

B. Kerja Sama Dalam Jarimah

Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana, ada kalanya dilakukan oleh satu orang dan
adakalanya pula oleh beberapa orang atau sekelompok orang yang masing-masing ikut andil
dalam melaksanakannya.
Turut serta melakukan jarimah ialah melakukan jarimah secara bersama-sama. Baik
melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan atau
keluasan dengan berbagai bentuk agar perbuatan jarimah dapat dilakukan. Dari definisi tersebut
dapat diketahui sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara
kebetulan,sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau memberi fasilitas bagi
terselanggaranya suatu jarimah.

Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):


a. Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material
tindak pidana bersama orang lain
b. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c. Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah )
d. Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara
tanpa turut berbuat.14

12
ibid, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1993),hal.67

13
ibid, Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1998),hal.273

14
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
Dari bentuk-bentuk kerjasama di atas, dapat dikemukakan 2 syarat umum tindakan
jarimah yang harus terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah
keturut-sertaan secara langsung atau tidak langsung.
Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman
jika melanggarnya. Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak
masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah keturut-sertaan.

1. Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Turut-Serta Jarimah

Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua
hal, yaitu langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).
a. Keikutsertaan Langsung, mubasyir15
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi
satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menjadi dua bagian:
1) Tawafuq (kebetulan)
Tawafuq artinya si pelaku jarimah membuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa
kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas kehendak
pribadinya atau refleksi atas suatu kejadian dihadapannya. Jadi, setiap pelaku dalam jarimah
yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak saling mengenal antara satu dan yang lainnya
dan mereka tidak melakukan kesepakatan untuk merrencanakan secara kolektif.
2) Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)

Mayoritas fuqaha membedakan antara tanggung jawab pelaku-langsung pada kasus


kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu’). Pada
kasus “kebetulan”, setiap pelaku-langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya
dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul
seseorang. Salah satu di antara dua orang ini memukul seseorang. Salah satu di antar dua orang
ini memotong tangannya, sedangkan yang lain memotong lehernya. Orang pertama
bertanggungjawab atas pemotongan, sedangkan orang kedua bertanggungjawab atas
pembunuhan. Pidana semacam ini adalah kasus pidana yang direncanakan; mereka berdua sama-
sama bertanggungjawab atas pembunuhan itu.
15
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 2005), hal. 95
Sedangkan tawafuq adalah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang
melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu
terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Hal ini
yang terjadi pada kasus kerusuhan spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada
kesepakatan terlebih dahulu dan melakukannya berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya
secara spontanitas. Karena itu, mereka hanya bertanggungjawab atas perbuatannya, tanpa harus
bertanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain.

Dalam kaitannya dengan ini, Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara tawafuq dan
tamalu’. Menurutnya, hukum pada kasus itu sama, yaitu masing-masing adalah pelaku atas
perbuatannya sendiri. Jadi, dalam kasus tamalu’ pada contoh di atas, yang satu dipersalahkan
karena memukul kepala hingga mati, yang satu lagi dipersalahkan karena berbuat rusuh. Sedang
Imam madzhab yang lainnya membedakan antara tawafuq dan tamalu’ sebagaimana yang telah
diterangkan sebelumnya . Akan tetapi sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil
pendapat Imam Abu Hanifah.

2. Keikutsertaan Tidak-Langsung, ghayr mubasyir

Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang
lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan
dan menyuruh serta memberi bantuan .

Adapun unsur-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:

 Unsur pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam
pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli
harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli
(langsung) tidak dihukum.
 Unsur kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan
berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu.16

16
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam (Surabaya: Dunia Ilmu. 1990) hal. 160
Sedangkan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, pada dasarnya, kaidah hukum Islam
menetapkan hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak
pidana hudud dan qishash, dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada
pelaku tidak langsung. Berdasarkan prinsip tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak
pidana hudud dan qishash tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya,
bagaimanapun bentuk keturut-sertaannya. Dalam hal ini, ia hanya dijatuhi ta’zir. Alasan
pengkhususan kaidah tersebut untuk tidak pidana hudud dan qishash adalah karena umumnya
hukuman-hukumanyang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat dan keturut-sertaan tidak
langsung si pelaku tidak dianggap syubhat yang menolak yang menolak hukuman hudud atasnya.
Juga karena pelaku tidak-langsung pada umumnya lebih ringan kejahatannya dan lebih sedikit
bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya, hukuman terhadapnya tidak sama.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan
(jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena ada sebab
yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku
Fase-fase Pelaksanaan Jarimah menurut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa
paling tidak ada tiga fase dalam proses melakukan perbuatan jarimah yaitu :

1) Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)


2) Fase persiapan (marhalat al-tahdhir)
3) Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena
salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1) Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada
dua macam:
a) Bukan karena taubat, dan
b) Karena taubat.
Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan
dengan jarimah hudud dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan
untuk jarimah yang telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum
selesai (percobaan). Dan Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini
terancam dalam Pasal 53 ayat (2) KUHPidana
Empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a. Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur
material tindak pidana bersama orang lain
b. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c. Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d. Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai
cara tanpa turut berbuat.

Sedangkan bentuk-bentuk pelaksanaanya terdapat dua macam; langsung (mubasyir) dan tidak
langsung (ghayr mubasyir).
Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan tindak pidana melebihi
satu orang. Keikutsertaan secara langsung ini diklasifikasikan menja9iooidi dua bagian:
c. Tawafuq (kebetulan)
d. Tamalu’ (kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya)
Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang
lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah. Abu Muhammad. Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah,


Kairo

‘Ali. Al-jumanatul. 2005.Al-Qur’an dan Terjemahannya,Jakarta:CV Penertbit J-Art

Hanafi.Ahmad Hanafi.1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: PT Midas Surya Grafindo

Santoso. Topo. 2003.Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:Gema Insani Press

S.C.T.Kansil.1998. Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka

Wardi. Ahmad Muslich. 2006.Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar Grafika

Zainuddin Ali, 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika


Ahmad Hanafi, 2005. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Topo Santoso, 200

Anda mungkin juga menyukai